0642011088, ATIKA LESTARI (2012) TINJAUAN ATAS PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK KETIGA ATAS PENGHENTIAN PENUNTUTAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Digital Library.
|
File PDF
ABSTRAK1.pdf Download (8Kb) | Preview |
|
|
File PDF
PENDAHULUAN.pdf Download (122Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
ABSTRAK Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) untuk terdakwa perkara korupsi selalu mengundang kontroversi, perdebatan, dan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan. Dimata masyarakat yang menghendaki agar pelaku korupsi diproses secara hukum dan diganjar hukuman seberat-beratnya, maka SKP3 dianggap sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Berkaitan dengan hal ini, atas dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) oleh pihak Kejaksaan selaku Penyidik, hal ini dapat diajukan upaya hukum praperadilan oleh pihak ketiga, yang tentunya pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan perkara tersebut, dan mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan dengan menyebutkan dasar gugatan yang jelas. Sebagai contoh kasus dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat kasus korupsi yang melibatkan kedua pejabat KPK Bibit Chandra, dimana dengan dikeluarkannya SKP3 terhadap keduanya, pihak ketiga dapat mengajukan upaya praperadilan. Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan atas penghentian penuntutan oleh pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi, dan apakah hambatan-hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi. Untuk membahas permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian dilakukan dengan studi lapangan melalui wawancara dengan responden dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, dan Akademisi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa prosedur atau tata cara pengajuan praperadilan yang telah diatur dalam undang-undang meliputi pertama, permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri, semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan. kedua permohonan diregister dalam perkara praperadilan, segala permohonan yang ditujukan ke praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa. Ketiga Ketua Pengadilan Negeri segera menunjuk Hakim dan Panitera, keempat pemeriksaan dilakukan dengan Hakim Tunggal, semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.Yang kelima tata cara pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan acara cepat, dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus menjatuhkan putusan. Hambatan-hambatan yang biasa ditemui dalam praktek praperadilan biasanya, pertama lemahnya faktor hukum itu sendiri, yang terletak pada lemahnya ketentuan yang ada dalam undang-undang, faktor kedua ialah lemahnya penegakan hukum dalam menangani masalah korupsi, yang ketiga faktor budaya hukum, disini aparat cenderung tidak serius dalam menangani pemberantasan korupsi, bahkan para penegak hukum seringkali menjadi pelaku dari korupsi itu sendiri, dan yang terakhir faktor politik, para politisi selama ini diduga kuat sering berkonspirasi dengan pihak-pihak yang bermasalah dalam korupsi tersebut. Berdasarkan hal diatas, maka diharapkan kepada para penegak hukum yang bertindak selaku penyidik dan penuntut umum harus lebih teliti dan profesional dalam melaksanakan tugas baik itu penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Dan juga lembaga yang membuat peraturan harus lebih hati-hati dalam membuat dan merumuskan suatu peraturan, karena ketidakjelasan terhadap peraturan tersebut hanya akan menjadi titik lemah yang akan secara mudah dimanfaatkan untuk lepas dari jeratan hukum.
Jenis Karya Akhir: | Artikel |
---|---|
Subyek: | |
Program Studi: | FKIP > Prodi Magister Keguruan Guru SD |
Pengguna Deposit: | tik13 . Digilib |
Date Deposited: | 15 Jan 2016 02:46 |
Terakhir diubah: | 15 Jan 2016 02:46 |
URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/17583 |
Actions (login required)
Lihat Karya Akhir |