ANALISIS PENERBITAN SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA BIBIT – CHANDRA

0612011125, DWI FEBRIYANTO (2012) ANALISIS PENERBITAN SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA BIBIT – CHANDRA. Digital Library.

[img]
Preview
File PDF
abstrak 1.pdf

Download (91Kb) | Preview
[img]
Preview
File PDF
pendahuluan.pdf

Download (129Kb) | Preview
[img]
Preview
File PDF
simpulan.pdf

Download (9Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tergolong tegas dan terkadang dianggap melanggar privasi seseorang dalam mengungkap banyak kasus korupsi menyebabkan banyak pihak yang merasa terganggu sehingga berusaha melakukan pelemahan terhadap KPK. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang diduga menyalahgunakan kewenangan dan memeras bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo. Kasus kedua pimpinan KPK tersebut mendapat perhatian masyarakat yang begitu besar, simpati dan dukungan moral berbagai elemen masyarakat mengalir terhadap dua pimpinan KPK yang ditahan polisi. Bahkan masyarakat mendesak Polri agar membebaskan Bibit dan Chandra dengan menyodorkan diri mereka sebagai jaminan. Melihat dukungan masyarakat terhadap pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ini yang begitu besar, Presiden pun meminta agar penyelesaian perkara ini tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan karena dalam perkembangannya muncul ketidakpercayaan terhadap proses penyidikan sehingga menimbulkan silang pendapat. Pihak Kejaksaan Agung pun akhirnya mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dengan beberapa alasan, yakni alasan yuridis dan sosiologis. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui alasan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra, untuk mengetahui apakah penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan adakah alternatif lain selain surat ketetapan penghentian penuntutan untuk menghentikan perkara Bibit-Chandra. Untuk membahas permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah para aparat penegak hukum yang berada pada wilayah hukum Jakarta Selatan yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa alasan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra berdasarkan alasan yuridis dan sosiologis. Pasal 140 ayat 2 (a) KUHAP mengatur penghentian penuntutan, dimana ada tiga hal yang menjadi alasan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, yaitu tidak terdapat cukup bukti, perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum. Alasan pihak kejaksaan yang mengatakan adanya suasana kebatinan yang berkembang saat itu membuat perkara Bibit-Chandra tidak layak diajukan ke pengadilan, karena lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya tersebut memang kurang atau tidak tepat dan tidak sesuai dengan undang-undang. Karena alasan sosiologis tersebut tidak pernah diatur dalam undang-undang. Alternatif lain untuk menghentikan perkara Bibit-Chandra adalah dengan melakukan deponeering. Deponering adalah hak istimewa kejaksaan untuk mengesampingkan perkara karena alasan kepentingan umum yang lebih besar yang akan dilindungi. Hak tersebut diatur dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi, "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum". Setelah melakukan penelitian dan memperoleh kesimpulan maka penulis memberikan saran, diharapkan kepada para penegak hukum yang bertindak selaku penyidik dan penuntut umum harus lebih teliti, hati-hati dan lebih profesional dalam melakukan tugas-tugas baik itu penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan. Hal ini harus menjadi pegangan para penegak hukum, karena begitu penyidik mengangkat suatu perkara maka ia harus mampu menyelesaikannya sampai tuntas atau sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk lembaga penegak hukum (Kejaksaan, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk lebih menjaga keterpaduan/harmonisasi dalam menjalankan tugasnya melakukan pemberantasan korupsi. Sehingga tidak terjadi lagi kesalahpahamam yang mengakibatkan terpecahnya hubungan baik antar lembaga.

Jenis Karya Akhir: Artikel
Subyek:
Program Studi: FKIP > Prodi PPKN
Pengguna Deposit: tik . 8
Date Deposited: 15 Jan 2016 03:56
Terakhir diubah: 15 Jan 2016 03:56
URI: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/17844

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir Lihat Karya Akhir