PELAKSANAAN PENETAPAN BATAS LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

ADJI STYAWAN, 1212011012 (2016) PELAKSANAAN PENETAPAN BATAS LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN. FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.

[img]
Preview
File PDF
ABSTRAK (ABSTRACT).pdf

Download (14Kb) | Preview
[img] File PDF
SKRIPSI FULL.pdf
Restricted to Hanya pengguna terdaftar

Download (1179Kb)
[img]
Preview
File PDF
SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf

Download (1112Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dalam Pasal 17 ayat (1) menyatakan tentang batas maksimum dan minimum tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh satu keluarga, tujuan pasal ini yaitu agar tidak merugikan kepentingan umum dan keadilan bagi pemilik tanah. Peraturan pelaksanaan UUPA di keluarkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Di Lampung Selatan kepadatan penduduk 479 jiwa/Km2 sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) tergolong sangat padat sehingga batas maksimum yang ditetapkan adalah 5 hektar untuk sawah dan 6 hektar untuk tanah kering. Akan tetapi di Kecamatan Natar masih terdapat beberapa pihak yang menguasai tanah melebihi batas maksimum tersebut. Permasalahannya adalah bagaimana pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian? dan apasaja yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian? Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh diolah dan disajikan dalam bentuk uraian, kemudian dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian di Kecamatan Natar tidak terlaksana dengan baik. Di Kabupaten Lampung Selatran dengan kepadatan penduduk 479 jiwa/Km2 didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 batas maksimum kepemilikan tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah dan 6 hektar tanah kering, akan tetapi di masyarakat ada 3 dari 12 orang responden yang menguasai tanah kering melebihi batas maksimum. Uraian tersebut saat ini tidak dapat di terapkan padat atau tidaknya suatu daerah karena sudah tidak sesuai lagi dengan jumlah penduduk saat ini. Faktor penghambat terlaksananya penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian adalah masyarakat awam dengan aturan yang ada, dorongan untuk memecah tanah pertanian, tidak adanya sistem untuk mengawasi penguasaan tanah dari Kantor Pertanahan. Pemerintah perlu mengkaji ulang Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960. Kantor pertanahan perlu melakukan pengawasan terhadap penguasaan tanah pertanian sehingga kedepan pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian dapat terlaksana dengan baik dan dapat dipantau dengan baik oleh kantor pertanahan. Kata kunci: Pelaksanaan, Tanah Pertanian, Batas Maksimum dan Minimum. IMPLEMENTATION IN DETERMINING THE MAXIMUM AND MINIMUM BOUNDARY OF FARMLAND IN NATAR SUBDISTRICT, SOUTH LAMPUNG REGENCY Constitution No. 5 1960 is about Basic Principal of Agrarian Law (UUPA), in section 17 subsection (1) explains that the maximum and minimum boundary of farmland that one family can be had and owned, the purpose of this article that is not detrimental to the public interest and fairness to land owners. The Law of realization the UUPA is come up in Constitution No. 56 Prp 1960 about the Determining Farmland Width. In South Lampung 479 inhabitants population density/Km2 thus under section 1 subsection (2) belongs to the very solid so the maximum limit specified is 5 hectares for rice and 6 hectares for dry land. However, there are still several Sub Natar party that controlled the land exceeds the limits of the maximum. The problems are: (1) How is the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland? (2) What factors do inhibit the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland? The approaches used in this research are normative approach and empirical approach. The data used are primary and secondary data. The collected data are processed and served in description form, and then the data are analyzed qualitatively and last, we can take conclusion. Based on the research, the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland in Natar Subdistrict does not run well. In South Lampung 479 inhabitants population density/Km2 thus under section 1 subsection (2) Constitution No. 56 Prp 1960 belongs to the very solid so the maximum limit specified is 5 hectares for rice and 6 hectares for dry land, there are 3 from 12 respondent participants who own farmland over the maximum boundary. The current description can not be apply solid or whether an area because it does not fit with the current population. The inhibiting factors in determining the maximum and minimum boundary of farmland are the society itself with their existing rule, motivation to split farmland, and there is no system to monitor the farmland governance from Land Affairs Office. The Government need to review the Constitution No. 56 Prp in 1960. Land affairs office should monitor the farmland governance so that in the future the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland can run well and can be monitored well by land affairs office. Keywords: Implementation, Farmland, Maximum and Minimum Boundary.

Jenis Karya Akhir: Skripsi
Subyek: > KZ Law of Nations
Program Studi: Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1
Pengguna Deposit: 8533288 . Digilib
Date Deposited: 05 Apr 2016 06:58
Terakhir diubah: 05 Apr 2016 06:58
URI: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/21610

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir Lihat Karya Akhir