Ade , Aprilia Putri (2023) PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN RESTITUSI DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Lampung). FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.
|
File PDF
1. ABSTRAK-ABSTRACT.pdf Download (266Kb) | Preview |
|
File PDF
2. SKRIPSI FULL.pdf Restricted to Hanya staf Download (2164Kb) | Minta salinan |
||
|
File PDF
3. SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf Download (2047Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
Perdagangan manusia, juga dikenal sebagai TPPO, adalah kejahatan yang sangat serius yang melanggar hak-hak masyarakat. Setiap tahunnya, kasus kejahatan ini semakin banyak terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia. Meskipun hak-hak korban sudah diatur, namun belum bisa diimplementasikan dengan baik. Penyitaan barang-barang pribadi terpidana tidak diatur oleh ketentuan hukum. Akibatnya, Jaksa Penuntut Umum merasa sulit untuk melaksanakan putusan Restitusi. Selain itu, apabila terpidana menolak membayar Restitusi, maka pidana kurungan sebagai pengganti restitusi paling lama adalah satu tahun. Pendekatan masalah adalah suatu pendekatan ilmiah yang menggunakan metode, sistematika dan pemikiran tertentu untuk mempelajari gejala hukum tertentu dengan sistem analisis. Metode yuridis normatif dan yuridis empiris yang digunakan dalam penelitian ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa berbagai peraturan telah dibuat untuk mengatur penerapan pidana tambahan Restitusi. Di antaranya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan serta Pemberian Restitusi dan Ganti Kerugian kepada Korban Tindak Pidana. Namun implementasi peraturan tersebut belum maksimal. Selain itu, Kejaksaan hingga saat ini belum ada pedoman mengenai perampasan aset untuk pembayaran restitusi. Namun, penyelesaiannya dapat mulai dari tahap penyidikan. Jaksa berinisiatif memberikan petunjuk kepada penyidik untuk melacak aset dari terdakwa/tersangka, kemudian aset tersebut disita oleh penyidik untuk kemudian dimasukkan dalam tuntutan oleh jaksanya dalam surat tuntutan. Bahwa restitusi dibayarkan dari hasil aset-aset berupa aset yang disita dari tahap penyidikan. Seperti itulah yang bisa ditawarkan untuk menjembatani kekosongan pedoman perampasan aset pembayaran Restitusi. Diperlukan nya informasi yang masif mengenai Pidana Tambahan Restitusi agar masyarakat awam dapat mengenal lebih jauh mengenai Restitusi dan mekanisme pengajuan Restitusi, selain itu ketersediaan informasi mengenai upaya-upaya pemulihan hak korban dapat disebarluaskan melalui peran serta aparat penegak hukum. Selain itu, Terhadap pedoman yang mengatur mengenai perampasan aset untuk pembayaran restitusi, terutama terhadap eksekutor, jaksa seharusnya memiliki panduan, sehingga dalam eksekusinya dapat bergerak dengan cepat dan tertib. Kata Kunci : Restitusi, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kejaksaan Tinggi Lampung
Jenis Karya Akhir: | Skripsi |
---|---|
Subyek: | 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum |
Program Studi: | Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1 |
Pengguna Deposit: | 2308272137 . Digilib |
Date Deposited: | 13 Feb 2024 01:21 |
Terakhir diubah: | 13 Feb 2024 01:21 |
URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78750 |
Actions (login required)
Lihat Karya Akhir |