Dewa , Ayu Putu Widia Asih (2024) AKIBAT HUKUM PERKAWINAN MEBYAKAONAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA RANTAU JAYA ILIR KECAMATAN PUTRA RUMBIA KABUPATEN LAMPUNG TENGAH). HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.
|
File PDF
ABSTRAK.pdf Download (2234Kb) | Preview |
|
File PDF
SKRIPSI FULL.pdf Restricted to Hanya staf Download (2235Kb) | Minta salinan |
||
|
File PDF
SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf Download (2238Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri untuk melanjutkan garis keturunannya. Perkawinan dalam adat Bali disebut dengan pawiwahan. Pawiwahan merupakan suatu hal yang sifatnya sakral dalam proses kehidupan manusia dari status brahmacari ke masa grhasta. Perkawinan mebyakaon merupakan perkawinan di bawah tangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapa perkawinan mebyakaon ditempuh oleh para pihak untuk membentuk sebuah perkawinan serta akibat hukum dari perkawinan mebyakaon terhadap status perkawinannya di masyarakat dan status anak yang terlahir dari perkawinan ini di Desa Rantau Jaya Ilir Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan sumber data adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan yaitu wawancara kepada informan dan responden yang menjalankan perkawinan mebyakaon. Analisis data adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa alasan ditempuhnya perkawinan mebyakaon disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor saling demen, faktor keinginan orang tua, dan faktor laki- laki yang masih terikat perkawinan sah dengan wanita lain. Status perkawinan mebyakaon tidak sama dengan perkawinan adat Bali pada umumnya yang membedakan dari perkawinan mebyakaon ialah terletak pada prosesi adat yang belum dilakukan secara utuh. Berdasarkan keputusan dan ketetapan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sahnya perkawinan ditentukan dengan syarat dihadirkannya Tri Upasaksi. Kedudukan hukum dari perkawinan mebyakaon tidak memiliki daya ikat yang kuat sehingga perkawinan ini tidak mungkin memiliki status hukum yang sama seperti pasangan suami istri adat Bali pada umumnya. Begitu pula dengan akibat hukum perkawinan yang ditimbulkan akan berbeda. Pasangan yang melangsungkan perkawinan mebyakaon tidak boleh memasuki pura dan ikut mebanjar di desa karena perkawinan mebyakaon sah menurut para pihak saja tetapi, menurut hukum adat Bali perkawinan ini tidak sah dan anak yang terlahir dari perkawinan mebyakaon adalah anak luar kawin (anak astra) serta harta perkawinan dalam perkawinan mebyakaon tidak memiliki kepastian hukum dan tidak adanya pencampuran harta antara suami-istri. Kata Kunci: Perkawinan Mebyakaon, Anak Astra, Hukum Adat Bali
Jenis Karya Akhir: | Skripsi |
---|---|
Subyek: | 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum |
Program Studi: | Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1 |
Pengguna Deposit: | 2308968591 . Digilib |
Date Deposited: | 14 Mar 2024 03:41 |
Terakhir diubah: | 14 Mar 2024 03:41 |
URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79662 |
Actions (login required)
Lihat Karya Akhir |