Lia , Puji Astuti (2024) PENERAPAN JUDICIAL ACTIVISM PADA PENYELESAIAN TINDAK PIDANA DAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP. Masters thesis, UNIVERSITAS LAMPUNG .
|
File PDF (ABSTRAK Lia Puji Astuti )
ABSTRAK - Lia Puji Astuti.pdf Download (16Kb) | Preview |
|
![]() |
File PDF (FILE FULL Lia Puji Astuti )
TESIS FULL - Lia Puji Astuti.pdf Restricted to Hanya staf Download (2319Kb) | Minta salinan |
|
|
File PDF (FILE TANPA BAB PEMBAHASAN Lia Puji Astuti )
TESIS TANPA BAB PEMBAHASAN - Lia Puji Astuti.pdf Download (1974Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
Penyelesaian terhadap suatu sengketa yang berhubungan dengan lingkungan hidup dapat dilakukan melalui jalur litigasi dilaksanakan untuk menetapkan ganti kerugian yang ditimbulkan, perbaikan terhadap keadaan lingkungan yang terusak, tanggung jawab mutlak, tenggang kadaluwarsa. Prinsip pencemar membayar merupakan model pengalokasian dan pengurangan kerusakan lingkungan dan permintaan pertanggungjawaban dari pihak pencemar, baik individu, perusahan maupun negara untuk menanggung pembiayaan atas terjadinya pencemaran. Penelitian ini bertujuan (1) untuk menganalisis urgensi Judicial Activism pada penyelesaian tindak pidana dan sengketa lingkungan hidup (2) Untuk mendeskripsikan Penerapan Judicial Activism pada penyelesaian tindak pidana dan sengketa lingkungan hidup. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian normative dan pendekatan peraturan Perundang-Undangan (statute approach). Hasil dari penelitian ini adalah (1) Undang-undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah menegaskan 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.Rumusan Masalah dengan banyaknya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, perlu hukum lingkungan hidup ditegakkan secara konsisten dalam masyarakat. Terutama hukum pidananya, karena hukum administratif kurang memberikan efek jera bagi para pelakunya, terutama pelakunya adalah korporasi.Dengan demikian dalam tulisan ini dapat dirumuskan. Judicial activism dalam perkara lingkungan hidup dilandasi oleh prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan selain prinsip hukum universal (2) Penerapan Judicial Activism dalam putusannya nomor 37/Pid.Sus-LH/2018/PN Sak, hakim memutus bersalah PT Triomas FDI karena kelalaiannya yang mana telah melanggar Pasal 99 ayat (1) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH. Hakim dalam memutus perkara mempertimbangkan bahwa tujuan pemidanaan bukan berupa balas dendam tetapi lebih kepada perbaikan sikap terdakwa dikemudian hari. Dan dalam Putusan No. 5/Pdt.G/2013/PN.Smda, Tergugat telah melakukan penerbitan izin usaha pertambangan sebelum seluruh persyaratan terpenuhi. Sehingga memicu terjadinya pemanasan global yang memperparah dampak terjadinya perubahan iklim di wilayah Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Judicial Activism dalam praktiknya dibatasi oleh pendekatan yang berlawanan, yaitu judicial restraint. Judicial restraint membatasi aktivisme dengan mendorong kehati-hatian dalam pengambilan keputusan. Di saat aktivisme berusaha untuk menangani masalah lingkungan melalui interpretasi yang luas di pengadilan, restraint menekan kekuasaan hakim dengan memastikan mereka bertindak sesuai dengan wewenang mereka dan menghormati pemisahan kekuasaan. Selain itu, penerapan judicial activism oleh hakim dalam sengketa lingkungan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan hukum, termasuk hukuman yang minim, bukti yang sulit, pembatasan hukum, interpretasi yang beragam, dan partisipasi publik yang terbatas. Untuk mencapai keadilan lingkungan yang berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan seimbang, kompleksitas dan tantangan spesifik dalam kedua sistem hukum. Kata Kunci: Peran hakim, Perkara Lingkungan Hidup, Penemuan Hukum, Judicial activism Settlement of a dispute related to the environment can be carried out through litigation to determine compensation for losses incurred, repairs to damaged environmental conditions, absolute responsibility, expiry date. The polluter pays principle is a model for allocating and reducing environmental damage and demanding accountability from polluters, whether individuals, companies or countries, to bear the costs of pollution. This research aims (1) to analyze the urgency of Judicial Activism in resolving criminal acts and environmental disputes (2) To describe the application of Judicial Activism in resolving criminal acts and environmental disputes. The methods used are normative research methods and a statutory approach. The results of this research are (1) Law 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management (UUPPLH) has emphasized 3 (three) systematic law enforcement steps, namely starting with administrative law enforcement, resolving disputes outside the court or through court and investigation of environmental crimes. Problem Formulation With the large number of violations against the environment, it is necessary to consistently enforce environmental laws in society. Especially criminal law, because administrative law does not provide a deterrent effect for the perpetrators, especially the perpetrators who are corporations. Thus in this paper it can be formulated. Judicial activism in environmental cases is based on the principles of environmental protection and management and sustainable development in addition to the principles of universal law (2) Application of Judicial Activism in its decision number 37/Pid.Sus-LH/2018/PN Sak, the judge found PT Triomas guilty FDI due to negligence which has violated Article 99 paragraph (1) in conjunction with Article 116 paragraph (1) letter a Law no. 32 of 2009 concerning UUPPLH. The judge in deciding the case took into account that the aim of the sentence was not revenge but rather to improve the defendant's attitude in the future. And in Decision no. 5/Pdt.G/2013/PN.Smda, the Defendant issued a mining business permit before all requirements were met. This triggers global warming which worsens the impact of climate change in the Samarinda City area, East Kalimantan. Judicial activism in practice is limited by the opposite approach, namely judicial restraint. Judicial restraint limits activism by encouraging caution in decision making. While activism seeks to address environmental issues through broad interpretations in court, restraint strains the power of judges by ensuring they act within their authority and respect the separation of powers. In addition, the application of judicial activism by judges in environmental disputes in Indonesia faces various legal challenges, including minimal penalties, difficult evidence, legal restrictions, diverse interpretations, and limited public participation. Achieving sustainable environmental justice requires a careful and balanced approach to the specific complexities and challenges in both legal systems. Keywords: Role of judges, Environmental Cases, Legal Discovery,Judicial activism
Jenis Karya Akhir: | Tesis (Masters) |
---|---|
Subyek: | 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum |
Program Studi: | Fakultas Hukum > Magister Hukum S2 |
Pengguna Deposit: | UPT . Siswanti |
Date Deposited: | 08 Feb 2025 04:47 |
Terakhir diubah: | 08 Feb 2025 04:47 |
URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/82670 |
Actions (login required)
![]() |
Lihat Karya Akhir |