KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA PENYESATAN PROSES PERADILAN KEPADA SAKSI OLEH ADVOKAT (Studi Pasal 278 Ayat (1) butir b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023)

Dini , Nursalina (2025) KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA PENYESATAN PROSES PERADILAN KEPADA SAKSI OLEH ADVOKAT (Studi Pasal 278 Ayat (1) butir b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023). HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG .

[img]
Preview
File PDF
Abstrak (Dini Nursalina 2112011027) - Dini Nursalina.pdf

Download (264Kb) | Preview
[img] File PDF
Skripsi full tanpa lampiran (Dini Nursalina 2112011027) - Dini Nursalina.pdf
Restricted to Hanya staf

Download (3085Kb) | Minta salinan
[img]
Preview
File PDF
Skripsi tanpa bab pembahasan (Dini Nursalina 2112011027) - Dini Nursalina.pdf

Download (2804Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Kebijkan formulasi tindak pidana penyesatan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 278 Ayat (1) butir b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentag KUHP Nasional telah mengatur tindak pidana dengan cara mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan. Pasal tersebut mengatur tindak pidana yang melibatkan penyalahgunaan proses peradilan oleh pihak yang terlibat dalam sistem peradilan, termasuk advokat, untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui manipulasi atau penyesatan proses hukum. Salah satu hambatan utama dalam menindak advokat yang terbukti melakukan perbuatan ini adalah kuatnya kedudukan profesi advokat sebagai penegak hukum yang memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya. Hak imunitas tersebut sering kali ditafsirkan secara luas, bahkan disalahgunakan untuk melakukan tindakan manipulatif dalam proses peradilan, termasuk mempengaruhi saksi. Akibatnya, tidak sedikit proses persidangan yang berpotensi tercemar oleh rekayasa keterangan yang disusun secara sistematis oleh advokat yang tidak beretika. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1) bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana penyesatan proses peradilan kepada saksi oleh advokat (2) bagaimanakah penegakan hukum pidana pada tahap formulasi terhadap advokat yang mengarahkan keterangan saksi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris berupa wawancara dari pakar hukum pidana dengan didukung pendekatan yuridis normatif berupa bahan-bahan kepustakaan. Jenis data yang digunakan mencakup data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari, Hakim Pengadilan Tinggi Lampung, Advokat pada Riza Hamim, Sumarsih, Syamsuddin (RHS) Law Firm, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana penyesatan proses peradilan dalam KUHP Nasional telah menunjukkan adanya pembaharuan hukum yang lebih baik dan Dini Nursalina spesifik dalam tindak pidana keterangan palsu. Sebelumnya, tindak pidana ini telah diatur dalam dalam Pasal 242 KUHP lama, namun pasal ini hanya dapat ditujukan kepada saksi saja. Pengaturan tersebut berbeda dari Pasal 278 Ayat (1) butir b KUHP Nasional yang mana pasal ini tidak hanya ditujukan kepada saksi saja melainkan pihak lain seperti aparat penegak hukum, petugas pengadilan dan pelaku juga dapat dikenakan pasal ini apabila terbukti telah memberikan arahan kepada saksi untuk memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu diperlukannya penafsiran otentik terhadap makna penyesatan untuk menghindari multitafsir dan dapat dimengerti masyarakat yang kurang memahami hukum. Selain itu, pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan lebih maksimal dalam memberantas tindak pidana penyesatan proses peradilan yang semakin sering terjadi. Penelitian ini juga merekomendasikan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Advokat sehingga dapat menciptakan advokat yang baik kedepannya. Kata Kunci: Kebijakan Formulasi, Penyesatan Proses Peradilan, Advokat, KUHP Nasional The policy formulation of the criminal act of misleading the judicial process, as regulated in Article 278 Paragraph (1) point b of Law Number 1 of 2023 concerning the National Criminal Code (KUHP Nasional), addresses criminal acts involving the act of directing witnesses to give false testimony in court proceedings. This article governs offenses involving the abuse of judicial processes by individuals involved in the justice system, including advocates, for personal gain through manipulation or deception of legal proceedings. One of the main obstacles in prosecuting advocates proven to engage in such actions is the strong position of the legal profession, which grants advocates immunity in the exercise of their duties. This immunity is often broadly interpreted and even misused to carry out manipulative actions during court proceedings, including influencing witnesses. As a result, numerous trials are potentially tainted by systematically fabricated testimonies orchestrated by unethical advocates. This thesis discusses the following problems: (1) How is the policy formulation of the criminal act of misleading the judicial process toward witnesses by advocates regulated? (2) How is criminal law enforcement carried out at the formulation stage against advocates who direct witness testimony? This research uses an empirical juridical method in the form of interviews with criminal law experts, supported by a normative juridical approach through library research. The data used includes both primary and secondary data. Informants consist of a High Court Judge of Lampung, advocates at Riza Hamim, Sumarsih, Syamsuddin (RHS) Law Firm, and lecturers from the Criminal Law Department of the Faculty of Law, University of Lampung. Data analysis is conducted using qualitative analysis. Based on the discussion of the research findings, it can be concluded that the regulation regarding the criminal act of misleading the judicial process in the National Criminal Code reflects a better and more specific legal reform in relation to false testimony offenses. Previously, this offense was regulated under Article 242 of the old Criminal Code, which only applied to witnesses. In contrast, Article 278 Paragraph (1) Point b of the National Criminal Code extends its application not only to witnesses but also to other parties such as law enforcement officers, court officials, and perpetrators who are proven to have directed witnesses to provide false testimony in court. Recommendations from this study include the need for an authentic interpretation of the term misleading to avoid multiple interpretations and ensure clarity for those with limited legal knowledge. Furthermore, the government and law enforcement authorities are urged to take stronger action against the increasingly frequent occurrences of misleading the judicial process. This research also recommends revisions to the Advocates Law in order to foster a more ethical and professional advocacy in the future. Keywords: Policy Formulation, Misleading the Judicial Process, Advocate, National Criminal Code (KUHP)

Jenis Karya Akhir: Skripsi
Subyek: 300 Ilmu sosial
300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum
Program Studi: FAKULTAS HUKUM (FH) > Prodi S1-Ilmu Hukum
Pengguna Deposit: . . Yulianti
Date Deposited: 21 Oct 2025 06:57
Terakhir diubah: 21 Oct 2025 06:57
URI: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/91608

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir Lihat Karya Akhir