PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TRANSMISI INFORMASI ELEKTRONIK YANG MELANGGAR KESUSILAAN DAN MENGANDUNG PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 39/Pid.Sus/2024/PNMet)

M Arva , Zada Subarkah (2025) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TRANSMISI INFORMASI ELEKTRONIK YANG MELANGGAR KESUSILAAN DAN MENGANDUNG PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 39/Pid.Sus/2024/PNMet). FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.

Preview	File PDF Abstrak arva - Arva zada.pdf Download (126Kb) | Preview
	File PDF Skripsi fulll - Arva zada.pdf Restricted to Hanya staf Download (1560Kb) | Minta salinan
Preview	File PDF M Arva Zada Subarkah (Tanpa Pembahasan) - Arva zada.pdf Download (1462Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat telah membawa dampak positif dalam berbagai aspek kehidupan, namun juga memunculkan bentuk-bentuk kejahatan siber baru. Salah satu tindak pidana yang semakin marak terjadi adalah transmisi informasi elektronik yang melanggar kesusilaan dan mengandung unsur pemerasan. Kejahatan ini kerap dilakukan melalui penyebaran konten pribadi atau intim secara ilegal dengan tujuan untuk menakut-nakuti, mempermalukan, atau memaksa korban memenuhi tuntutan pelaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara menyeluruh bentuk perlindungan hukum yang tersedia bagi korban, baik dari segi kerangka hukum normatif, pelaksanaan oleh aparat penegak hukum, maupun mekanisme pemulihan hak korban Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Adapun narasumber penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Metro Kelas IB, Kejaksaan Negeri Metro dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis pengumpulan data dengan studi lapangan dan studi pustaka, dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerangka hukum yang berlaku, khususnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), telah memberikan dasar hukum untuk melindungi korban dan menindak pelaku penyebaran konten kesusilaan secara elektronik dan tindak pemerasan. Namun dalam implementasinya, korban masih menghadapi berbagai hambatan, antara lain kesulitan dalam proses pelaporan, kapasitas aparat penegak hukum, serta adanya stigma sosial yang masih kuat, terutama terhadap korban perempuan. Di samping itu, belum optimalnya dukungan psikologis dan bantuan hukum juga memperburuk dampak yang dialami korban. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis baik yang bersifat preventif maupun represif, seperti peningkatan literasi digital, penyempurnaan regulasi, pelatihan intensif bagi aparat penegak hukum, serta pembentukan unit khusus penanganan kejahatan siber. Upaya ini penting untuk memastikan perlindungan hukum bagi korban bersifat nyata, efektif, dan mampu menghadirkan keadilan serta pemulihan menyeluruh. Untuk mendukung proses pemulihan korban secara menyeluruh, negara sebaiknya menyediakan layanan terpadu yang mencakup pendampingan psikologis, hukum, dan sosial, yang mudah diakses, ramah korban, serta menjamin kerahasiaan identitas. Pemerintah juga perlu secara aktif melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya kejahatan siber, pentingnya menjaga privasi digital, serta mekanisme pelaporan yang tersedia, agar masyarakat lebih sadar akan hak-haknya dan korban tidak merasa malu atau takut untuk melapor. Di samping itu, optimalisasi peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu ditingkatkan melalui pendampingan aktif sejak awal proses pelaporan hingga pasca putusan pengadilan. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan perlindungan hukum terhadap korban tidak hanya bersifat normatif, tetapi benar- benar dapat dirasakan sebagai bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi warganya di era digital. Kata kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Kejahatan Siber The rapid development of information and communication technology has brought positive impacts across various aspects of life, but it has also led to the emergence of new forms of cybercrime. One increasingly prevalent offense is the transmission of electronic information that violates decency and contains elements of extortion. This crime is often committed through the illegal distribution of private or intimate content with the intent to intimidate, humiliate, or coerce the victim into complying with the perpetrator’s demands. This study aims to comprehensively examine the forms of legal protection available to victims, including the normative legal framework, the role of law enforcement authorities, and mechanisms for the recovery of victims' rights. This research employs both normative juridical and empirical juridical methods. The data sources used consist of both primary and secondary data. The informants in this study include a Judge of the Metro District Court Class IB, the Metro District Attorney's Office, and a Criminal Law Lecturer from the Faculty of Law, University of Lampung. Data were collected through field studies and literature review, and analyzed qualitatively. The results of the study show that the existing legal framework—particularly Law Number 1 of 2024 concerning the Second Amendment to Law Number 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions (ITE Law)—provides a legal basis for prosecuting perpetrators involved in the electronic distribution of indecent content and acts of extortion. However, in practice, victims continue to face various challenges, such as difficulties in the reporting process, lack of sensitivity and capacity among law enforcement officers, and persistent social stigma, especially against female victims. In addition, the lack of psychological support and legal assistance further worsens the impact on victims. Therefore, strategic efforts areneeded, both preventive and repressive, such as improving digital literacy, refining regulations, providing intensive training for law enforcement, and establishing specialized cybercrime units. These steps are crucial to ensure that legal protection for victims is real, effective, and capable of delivering justice and holistic recovery. To support a comprehensive victim recovery process, the state should provide integrated services that include psychological, legal, and social assistance, which are easily accessible, victim-friendly, and ensure confidentiality. The government must also actively conduct public education and awareness campaigns about the dangers of cybercrime, the importance of digital privacy, and available reporting mechanisms, so that victims are aware of their legal rights and feel empowered to report crimes. Furthermore, the role of the Witness and Victim Protection Agency (LPSK) must be optimized through active assistance from the initial reporting process until after the court's decision. By implementing these measures, legal protection for victims will not remain merely theoretical, but will be felt tangibly as a real form of the state's presence in protecting its citizens in the digital era. Keywords: Legal Protection, Victims, Cybercrime

Jenis Karya Akhir:	Skripsi
Subyek:	300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum > 345 Hukum pidana
Program Studi:	FAKULTAS HUKUM (FH) > Prodi S1-Ilmu Hukum
Pengguna Deposit:	UPT . Siswanti
Date Deposited:	10 Nov 2025 02:57
Terakhir diubah:	10 Nov 2025 02:57
URI:	http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/92892

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir