DEA, SILMI ATIKA (2025) PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL FISIK YANG DILAKUKAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA. FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.
|
File PDF
1. ABSTRAK - ABSTRACT.pdf Download (237Kb) | Preview |
|
|
File PDF
2. SKRIPSI FULL.pdf Restricted to Hanya staf Download (2233Kb) | Minta salinan |
||
|
File PDF
3. SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASASN.pdf Download (1946Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
Tindak Pidana kekerasan seksual fisik yang dilakukan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa merupakan pelanggaran hukum yang serius dan membutuhkan penegakkan hukum yang tegas oleh aparat. Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Putusan Nomor 657/Pid.B/2024/PN Tjk dimana terdakwa terbukti melakukan tindak pidana kekerasan seksual fisik pada Orang Dengan Gangguan Jiwa sesuai dengan pasal 285 KUHP, terdakwa dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Dan membayar perkara sejumlah Rp.2000,00,- (dua ribu rupiah).Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual fisik yang dilakukan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa dan apa saja faktor yang menghambat proses penegakkan hukum tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber, termasuk Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif. Penegakan hukum dalam Putusan Nomor 657/Pid.B/2024/PN Tjk telah melalui tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi, tetapi masih terdapat kekurangan. Pasal 285 dan 286 KUHP serta UU TPKS sebenarnya memberikan perlindungan lebih bagi korban ODGJ, termasuk hak pemulihan dan pemberatan pidana bagi pelaku, namun penerapannya belum berjalan maksimal. Pada tahap aplikasi, aparat penegak hukum terkendala minimnya bukti elektronik dan rendahnya partisipasi masyarakat. Pada tahap eksekusi, pidana telah dijalankan, tetapi pemulihan korban seperti restitusi, rehabilitasi, dan dukungan sosial belum terpenuhi optimal. Selain itu, hakim seharusnya tidak memberi keringanan hukuman hanya karena terdakwa sopan atau baru pertama kali dipidana, melainkan menjatuhkan pidana yang lebih tegas sesuai Pasal 285 KUHP yaitu pidana penjara maksimal 12 tahun, mengingat korban adalah penyandang disabilitas yang tidak mampu membela diri dikarnakan keterbatasan mental. Faktor-Faktor penghambat dalam penegakan hukum pada Putusan Nomor 657/Pid.B/2024/PN Tjk terlihat dari berbagai aspek. Faktor substansi hukum, KUHP masih lebih dominan digunakan dibanding UU TPKS sehingga perlindungan korban belum maksimal. Faktor aparat penegak hukum, polisi terhambat minimnya alat bukti, jaksa menghadapi ketidakkonsistenan keterangan korban, dan hakim harus melibatkan ahli karena kondisi psikologis korban. Selain itu, dalam putusan tersebut hakim belum memaksimalkan penerapan pidana sesuai Pasal 285 KUHP dan ketentuan pemberatan dalam UU TPKS, sehingga rasa keadilan bagi korban berkurang. Dari aspek sarana, dukungan teknologi dan layanan khusus bagi korban masih terbatas. Sedangkan dari faktor masyarakat dan budaya, rendahnya kesadaran hukum masyarakat untuk melapor serta penyelesaian secara kekeluargaan turut menghambat penegakan hukum. Saran dari penelitian ini adalah Aparat penegak hukum penyidik, jaksa, dan hakim diharapkan mengedepankan perlindungan terhadap korban, khususnya penyandang disabilitas, dengan menjatuhkan pidana yang tegas dan sepadan tanpa keringanan berdasarkan alasan subjektif seperti sikap sopan atau status pelaku pertama kali. Penggunaan UU TPKS perlu diperkuat dan disinkronkan dengan KUHP agar ketentuan perlindungan dan pemulihan korban, termasuk Pasal 70 dan Pasal 15 ayat (1) huruf h, dapat diterapkan secara efektif. Aparat penegak hukum juga perlu meningkatkan kualitas penyidikan dan penuntutan melalui penguatan alat bukti serta kemampuan menangani korban penyandang disabilitas, disertai penyediaan fasilitas restitusi, rehabilitasi, dan dukungan sosial yang memadai. Pemerintah perlu melengkapi sarana pendukung seperti teknologi forensik dan layanan khusus korban, sementara masyarakat diharapkan meningkatkan kesadaran hukum dan keberanian melapor agar penegakan hukum berjalan lebih efektif dan tidak terhambat budaya penyelesaian secara kekeluargaan. Kata Kunci: Penegakkam Hukum, Kekerasan Seksual, Orang Dengan Gangguan Jiwa.
| Jenis Karya Akhir: | Skripsi |
|---|---|
| Subyek: | 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum |
| Program Studi: | FAKULTAS HUKUM (FH) > Prodi S1-Ilmu Hukum |
| Pengguna Deposit: | 2507128492 Digilib |
| Date Deposited: | 12 Dec 2025 07:39 |
| Terakhir diubah: | 12 Dec 2025 07:39 |
| URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94206 |
Actions (login required)
![]() |
Lihat Karya Akhir |
