@mastersthesis{eprints26061, month = {Februari}, title = {PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA KORUPSI MELALUI KEBIJAKAN EKSEKUSI SECARA INTEGRAL OLEH LEMBAGA KEJAKSAAN (Studi Pada Kejaksaan Negeri Metro)}, school = {UNIVERSITAS LAMPUNG}, author = {1522011099 LUTFI FRESLY }, year = {2017}, url = {http://digilib.unila.ac.id/26061/}, abstract = {ABSTRAK Kejaksaan RI mempunyai tugas dan wewenang melakukan eksekusi, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala dan hambatan khususnya dalam melakukan eksekusi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti perkara korupsi UUTPK Nomor 3 tahun 1971 yang mengakibatkan banyaknya tunggakan eksekusi perkara korupsi di Kejaksaan RI. Untuk menyelesaikan eksekusi perkara korupsi tersebut Kejaksaan melakukan upaya pengembalian keuangan negara melalui kebijakan secara integral sehingga dapat melakukan eksekusi pidana uang pengganti tersebut dan permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi? (2) Mengapa terjadi hambatan pada pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi? Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif yang selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat induktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan : (1) Pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi khususnya yang telah melanggar UUTPK 3 Tahun 1971 melalui kebijakan eksekusi secara Integral oleh lembaga Kejaksaan secara hukum pidana tidak dapat dilaksanakan eksekusinya dengan menggunakan ketentuan Pasal 18 UUTPK 31 tahun 1999 Jo. UUTPK 20 tahun 2001 karena UUTPK 3 tahun 1971 tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi yang tidak dibayarkan oleh terpidana tersebut. Untuk dapat melaksanakan eksekusinya tersebut seharusnya diatur tersendiri dengan instrumen Undang-undang. Pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi khususnya yang melanggar UUTPK 3 tahun 1971 dapat terlaksana dengan baik apabila RUU perampasan aset segera diundangkan dengan memasukkan aturan mengenai adanya kewenangan Jaksa selaku eksekutor untuk melakukan perampasan aset terpidana korupsi maupun ahli warisnya termasuk terpidana korupsi maupun ahli warisnya yang diputus dengan UUTPK 3 Tahun 1971. (2) Terjadinya hambatan dalam pelaksanaan pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi melalui kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan khususnya yang diputus berdasarkan UUTPK 3 tahun 1971 dikarenakan tidak adanya pengaturan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti didalam UUTPK 3 tahun 1971 tersebut sehingga Jaksa selaku Eksekutor tidak dapat melaksanakan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut menggunakan instrumen Pasal 18 UUTPK saat ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi Jaksa selaku eksekutor untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana maupun ahli warisnya yang secara nyata tidak mampu melakukan pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi tersebut. Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Dalam upaya pengembalian keuangan negara melalui eksekusi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti UUTPK 3 tahun 1971 disarankan menempuh jalur Perdata baik secara litigasi maupun dengan cara non litigasi (2) agar Pemerintah RI segera mengundangkan RUU perampasan aset guna mempermudah Jaksa selaku Eksekutor untuk melakukan eksekusi pidana uang pengganti dalam perkara korupsi UUTPK 3 tahun 1971. (3) agar Pemerintah RI membuat kebijakan dengan menggunakan konsep pengampunan untuk melakukan pemutihan terhadap perkara pembayaran uang pengganti bagi terpidana yang diputus dengan UUTPK 3 tahun 1971 yang secara nyata tidak mampu untuk membayar uang pengganti tindak pidana korupsi tersebut. Kata Kunci : Eksekusi, Keuangan Negara, Korupsi, Kejaksaan. ABSTRACT The Prosecutor of the Republic of Indonesia has the duty and authority to execute, but in practice there are still obstacles and barriers, particularly in the execution of criminal punishment in the form of additional compensation payments corruption UUTPK No. 3 of 1971 which resulted in the number of backlog cases of corruption in the execution of the Prosecutor. To solve the problem of corruption is execution Attorney efforts financial returns through state policies integrally so as to execute a criminal compensation and the problems in this study were (1) How does the implementation of integrally execution policy by the prosecutor?s agencies for state financial return in corruption case? (2) Why the barriers on the implementation of integrally execution policy policies for state financial return in corruption case ? This research used normative juridical and juridical empirical approach. Then the data was analyzed qualitatively the conclusion was drawn that is inductive. Based on the results of research and discussion, we can conclude: (1) Return on financial corruption in the country that have been particularly violated UUTPK 3 of 1971 through the execution policy for the agency Integral Prosecutor for criminal law can not be implemented with the execution using the provisions of Article 18 UUTPK 31, 1999 Jo. UUTPK 20, 2001 because UUTPK 3 1971 does not regulate the procedure for execution of an additional sentence in the form of payment of compensation of corruption that are not paid by the convicted person. To be able to carry out the execution should be governed by a law instrument. The implementation of additional executions for compensation of corruption, especially in violation UUTPK 3 1971 can be as good as an asset forfeiture bill enacted by inserting immediately rule on the authority of the Attorney as executor, to seize the assets of convicted of corruption and their heirs, including convicted of corruption and his heirs decided to UUTPK 3 year 1971. (2) the obstacles in the implementation of financial returns in the country through corruption policy execution by the integral institutions, especially Attorney decided by UUTPK 3 1971 due to a legal vacuum in the regulation on the procedure for execution additional payments in the form of criminal restitution in UUTPK 3 1971 until prosecutors as executor is unable to perform executions in the form of an additional payment of compensation using the instrument of Article 18 UUTPK today. Coupled with the lack of technical guidance and implementation of Attorney as executor to carry out the execution of the convicted person or his heirs are expressly not be able to do for compensation of corruption is. Suggestions in this research are: (1) In an effort to return the country through the financial execution of criminal punishment in the form of an additional payment of compensation UUTPK 3 1971 suggested pursue both civil litigation and nonlitigation by (2) to the Government of Indonesia immediately enact a bill of foreclosure assets to make it easier for prosecutors as executor to execute criminal restitution in corruption cases UUTPK 3 1971. (3) to the Government of Indonesia to make policy by using the concept of forgiveness to the bleaching of the payment of compensation for prisoners who decided to UUTPK 3 1971 for the real can not afford to pay cash instead of corruption is. Keywords: Execution, State Finances, Corruption, Prosecutor.} }