@misc{eprints26228, month = {Maret}, title = {ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016}, author = {1312011037 ANDRE RINALDY. T}, address = {UNIVERSITAS LAMPUNG}, publisher = {FAKULTAS HUKUM}, year = {2017}, url = {http://digilib.unila.ac.id/26228/}, abstract = {Dewasa ini, kekerasan seksual makin marak terjadi. Pemerintah sebagai pihak yang menjamin kesejahteraan warganya tak tinggal diam. Presiden melalui menterinya, melakukan rapat terbatas untuk membentuk perppu tentang pemberatan pidana yakni berupa pidana tambahan pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi eletronik bagi pelaku. Namun dengan pengesahan perppu tersebut terdapat berbagai penolakan sebab pidana tambahan yang terdapat dalam perppu tersebut tidak memenuhi rasa keadilan dan melanggar hak asasi manusia. Permasalahan yang dikaji penulis adalah analisis pidana tambahan pada pelaku kekerasan seksual berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2016, faktor-faktor penghambat dan apakah pidana tambahan tersebut memenuhi rasa keadilan. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa. pelaku kekerasan seksual yang dapat dituntut pidana tambahan sesuai Undang-undang nomor 1 tahun 2016 antara lain Residivis, incest, aparatur penegak hukum, tenaga pendidik, yang menimbulkan Korban banyak, dan apabila korban sampai meninggal dunia. Faktor penghambat yang paling urgen adalah faktor hukumnya, yaitu karena belum adanya undang-undang atau pun peraturan yang secara khusus mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana tambahan tersebut. Andre Rinaldy.T Pidana tambahan pada Undang-undang nomor 1 tahun 2016 yakni pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan chip elektronik hanya semata-mata sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi pelaku kekerasan seksual. Sedangkan bagian dari teori relative yang diterapkan di Indonesia terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tujuan sistem pemasyarakatan adalah untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan Indonesia. Pidana tambahan yang terdapat pada Undang-undang nomor 1 tahun 2016 yakni pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan chip elektronik juga tidak memenuhi rasa keadilan karena melanggar hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Undang- Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya. Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah diharapkan pemerintah juga mengkaji ulang Undang-undang nomor 1 tahun 2016 sebab pidana tambahan yang diatur dalam perppu tersebut dirasa tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan di Indonesia dan tidak memenuhi rasa keadilan. Dengan disahkannya undang-undang nomor 1 tahun 2016, diharapkan profesi dokter agar tidak menolak melakukan pidana tambahan kebiri kimia. Kata Kunci : Pidana Tambahan, Kekerasan Seksual, Anak} }