TY - GEN CY - Universitas Lampung ID - eprints572 UR - http://digilib.unila.ac.id/572/ A1 - Alfian Zulkarnaen Husin , RIDHO ABDILLAH HUSIN Y1 - 2013/07/15/ N2 - Korupsi pada saat ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu Negara.mengingat telah adanya Undang-Undang tindak pidana korupsi no 20 tahun 2001 yang berbunyi?dalam hal sebagaimana dimaksud pasal 1 dilakukan dalam keadaan tertentu hukuman mati dapat dijatuhkan? Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapa hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap kaedah-kaedah, norma-norma, peraturan-peraturan, yang berhubungan dengan orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disinpulkan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat inisebab utamanya adalah undang-undang tidak menjadikan Instansi yang menanggulangi masalah tindak pidana korupsi sebagai institusi (single institution) yang berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, sehingga fungsinya kurang berjalan efektif karena seringkali berbenturan dengan kejaksaan dan kepolisian yang (dalam beberapa proses hukum) memiliki kewenangan serupa dengan KPK. yang menjadi dasar Pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dalam memberikan hukuman bagi tindak pidana korupsi hakim tentunya memiliki dasardasar yang dijadikan pedoman yakni Undang-undang yang bersinergi dalam mendukung pemberantasan korupsi. Secara asumtif, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yaitu mengenai adanya alat bukti yang sah, bedasarkan teori kepastian hukum, teori kemanfaatan, teori keadilan dan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan Perbuatan terdakwa menyebabkan ruginya negara. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan mengakui perbuatannya secara terus terang dan menyesali atas perbuatannya. Bedasarkan hasil pembahasan yang penulis kemukakan, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif pemecahan masalah dimasa yang akan datang sebgai berikut : 1. Mengingat undang-undang yang tidak bersinergi dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah dalam hal ini harus lebih membuat Undang-Undang yang dapat menyatukan instansi demi terciptanya hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir (organized corruption) agar tidak rumit dan sulit pengusutannya. 2 Penjatuhan pidana mati juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif untuk mencegah berkembangnya Praktek korupsi dan Undang-Undang telah sebagaimana ditetapkan telah dijalankan, tetapi penjatuhan pidana mati harus sangat selektif dan disertai pertimbanganpertimbangan yang sangat ketat karena dengan penjatuhan pidana yang sangat ketat maka ancaman pidana mati akan efektif untuk pencegahan. Kata Kunci : Urgensi,Tindak pidana Korupsi dan Pidana Mati. PB - Fakultas Hukum TI - ANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI AV - restricted ER -