%0 Generic %A TANIA , AMALTA YUSUF %C UNIVERSITAS LAMPUNG %D 2024 %F eprints:78444 %I HUKUM %T PERAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK SEBAGAI ILMU PENDUKUNG DALAM PERSIDANGAN PERKARA PIDANA (Studi Putusan Nomor:47/PID.B/2022/PN.Gns) %U http://digilib.unila.ac.id/78444/ %X Pasal 44 Ayat (1) KUHP merumuskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungjawaban kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau karena sakit ingatannya. Pada saat ini banyak memanfaatkan keadaan seperti yang berpura-pura terjadi gangguan mental atau jiwanya. Pada bidang ilmu ini sangat membantu untuk melakukan proses penegakan hukum dengan mengungkapkan penyebab melalui pencegahan dan terapi. Maka perlunya peran psikiatri forensik untuk membuktikan apakah orang tersebut benar tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya ataukah sebaliknya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran ahli psikiatri forensik sebagai ilmu pendukung dalam persidangan perkara pidana dan faktor penghambat peran ahli psikiatri forensik sebagai ilmu pendukung dalam persidangan perkara pidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan sekunder. Narasumber merupakan seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Dokter Ahli Psikiatri Forensik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung, Penyidik Unit PPA Reskrim di Polres Lampung Tengah, dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diambil simpulan bahwa 1) Pada Pasal 120 KUHAP peran psikiatri forensik ini adalah untuk memenuhi permintaan sebagai ahli. saat diminta oleh penyidik, dia harus memberikan pandangan ahlinya menurut keilmuannya, yaitu ilmu psikiatri forensik atau ilmu tentang kejiwaan. berperan untuk memberikan keterangan ahli mengenai keadaan jiwa secara tertulis melalui Visum et Repertum. Sering kali para penegak hukum hanya bisa menduga- duga pelaku benar-benar gangguan jiwa atau hanya pura-pura gila untuk dapat dibebaskan dari pemidanaan. Jika dilihat Pasal 351 KUHP penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Akan tetapi, terhadap perbuatan terdakwa pada kasus ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 44 Ayat 2 KUHP. Dan memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk menempatkan terdakwa di Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani perawatan selama 8 bulan. 2) Faktor-faktor penghambat peran psikiatri forensik dalam tahap pemeriksaan sangat besar pengaruhnya pada faktor sarana dan prasarana, Menghadapi resiko seseorang dengan gangguan jiwa yang melakukan tindak pidana jangan sampai berkeliaran tanpa adanya pengawasan dari pihak yang ahli dalam hal itu, maka sangat diperlukan sarana dan prasarana rumah sakit jiwa. Faktor yang menghambat selanjutnya yaitu faktor masyarakat, tingkat kesadaran hukum pada Masyarakat masih rendah. Dan permasalahan mulai dari alibi sakit ataupun memberikan jawaban yang sulit untuk dimengerti sehingga psikiatri wajib ketahui gimana mengidentifikasi tanda-tanda nyata dan terus mengevaluasi secara konstistensi data di sumber yang berbeda. Saran dari penelitian ini adalah 1) Mengingat pentingnya peranan yang diberikan dalam proses pembuktian perkara di pengadilan. Peran masih sedikit hendaknya ditingkatkan dengan cara lebih banyak lagi dokter-dokter muda yang ingin mengabdikan atau melibatkan dirinya untuk membantu proses pembuktian suatu perkara pidana sehingga proses pemeriksaan dapat berjalan dengan cepat. 2) Agar menurunkan faktor-faktor penghambat yaitu perihal pengawasan, dan juga menyarankan untuk para apparat penegak hukum alangkah lebih baik mempelajari beberapa ilmu yang terkait dengan psikiatri untuk menjamin keamanan dalam memutus suatu perkara, sehingga pada saat memutuskan tidak merugikan semua pihak. Kata Kunci: Psikiatri Forensik, Visum et Repertum, Penganiayaan.