TY - GEN CY - UNIVERSITAS LAMPUNG ID - eprints81868 UR - http://digilib.unila.ac.id/81868/ A1 - NYIMAS, NADITA ADHELIA Y1 - 2025/01/20/ N2 - Penerapan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik menjadi kontroversi dan menuai pro-kontra di Indonesia. Terdapat kekhawatiran bahwa pasal ini dapat disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama dalam konteks kritik terhadap pejabat publik atau lembaga negara. Awalnya, penerapan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik cenderung kaku dan berlebihan, sehingga banyak kasus pencemaran nama baik yang berujung pada pemidanaan tanpa mempertimbangkan konteks dan proporsi yang sesuai. Namun, seiring waktu, terjadi pergeseran paradigma dan penerapan yang lebih proporsional, dengan lebih banyak kasus yang diselesaikan secara damai atau melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti desakan masyarakat untuk menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Permasalahan penelitian yaitu bagaimanakah kebijakan formulasi perubahan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dalam revisi UU ITE tahun 2024 terkait pencemaran nama baik terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia dan apakah implikasi yuridis terhadap pemberlakuan revisi UU ITE tahun 2024. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan di dukung oleh metode yuridis empiris. Narasumber penelitian ini adalah Tenaga Ahli Komisi 1 DPR RI dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang digunakan adalah data primer, data sekunder, dan data tersier. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan mengenai kebijakan formulasi perubahan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dalam revisi UU ITE tahun 2024 terkait pencemaran nama baik terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia memiliki penambahan frasa ?untuk diketahui umum? frasa tersebut mempunyai makna yaitu apabila orang yang melakukan perbuatan menyerang kehormatan akan mendapatan jeratan pidana ketika pencemaran tersebut atau perilaku semena-mena yang dilakukan seseorang terhadap nama baik seseorang ditaruh ke wadah dimana orang-orang tersebut hampir tidak saling mengenal satu sama lain baru akan bisa dijerat pidana. Unsur ini ditambahkan untuk kemudian membantu para penegak hukum menelaah keberlakuan Pasal 27A berlaku efektif dan tidak menjadi pasal ?karet?, sehingga dalam hal ini masih tetap berdasarkan prinsip legalitas, subsidiaritas, proporsionalitas, kemanusiaan, serta prinsip keadilan terpenuhi. Implikasi yuridis terhadap pemberlakuan revisi UU ITE tahun 2024 adalah perubahan ini mengharuskan adanya penafsiran ulang oleh hakim dan penegak hukum mengenai apa yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan" dan "menuduhkan suatu hal". Selain itu, perubahan ini juga berdampak pada strategi pembuktian yang digunakan oleh penuntut umum, yang mungkin perlu disesuaikan untuk memenuhi unsurunsur baru dalam pasal tersebut. Adapun saran dari penelitian ini ialah kebijakan formulasi perubahan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dalam revisi UU ITE tahun 2024 terkait pencemaran nama baik terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia diharapkan Aparat Penegak Hukum meningkatkan pemahaman dan kapasitas dalam menangani kasus ITE melalui pelatihan khusus yang mencakup aspek teknis dan HAM. Mengembangkan Standard Operating Procedure (SOP) yang seragam dalam penanganan kasus pencemaran nama baik online. Mengedepankan pendekatan restoratif justice sebelum melakukan proses pidana. Terkait implikasi yuridis pemberlakuan revisi UU ITE dalam aspek implementasi diharapkan pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif dan berkelanjutan kepada masyarakat tentang perubahan substansi undang-undang informasi dan transaksi elektronik, terutama mengenai batasan antara kritik dan pencemaran nama baik. Kata kunci : Kebijakan Formulasi, Pencemaran Nama Baik, UU ITE The Implementation of Article 27 Paragraph (3) of the Electronic Information and Transactions Law (ITE Law) regarding defamation has become controversial and sparked pros and cons in Indonesia. There are concerns that this article can be misused to restrict freedom of expression and opinion, especially in the context of criticism towards public officials or state institutions. Initially, the implementation of Article 27 Paragraph (3) of the Electronic Information and Transactions Law tended to be rigid and excessive, resulting in many defamation cases leading to criminalization without considering appropriate context and proportion. However, over time, there has been a paradigm shift and more proportional implementation, with more cases being resolved peacefully or through alternative dispute resolution channels outside the court. This has been influenced by various factors, such as public pressure to uphold freedom of expression. The research problems are how the formulation policy changes Article 27 Paragraph (3) of the ITE Law in the 2024 ITE Law revision regarding defamation in relation to freedom of expression in Indonesia and what are the juridical implications of implementing the 2024 ITE Law revision. The research method used is normative juridical supported by empirical juridical methods. The research sources are Expert Staff of Commission 1 of the Indonesian House of Representatives and Lecturers of Criminal Law Department, Faculty of Law, University of Lampung. The data used are primary, secondary, and tertiary data. The obtained data is then analyzed qualitatively. The research results and discussion regarding the formulation policy changes of Article 27 Paragraph (3) of the ITE Law in the 2024 ITE Law revision concerning defamation in relation to freedom of expression in Indonesia include the addition of the phrase "for public knowledge." This phrase means that a person who commits an act of attacking honor will face criminal charges when such defamation or arbitrary behavior toward someone's reputation is placed in a medium where people hardly know each other. This element was added to help law enforcers examine the effectiveness of Article 27A and prevent it from becoming a "rubber article," while still maintaining the principles of legality, subsidiarity, proportionality, humanity, and justice. The juridical implications of implementing the 2024 ITE Law revision require reinterpretation by judges and law enforcers regarding what constitutes "attacking honor" and "alleging something." Furthermore, this change also impacts the evidence strategy used by prosecutors, which may need to be adjusted to meet the new elements in the article. The recommendations from this research are that law enforcement officials are expected to improve their understanding and capacity in handling ITE cases through special training covering technical aspects and human rights in the formulation policy changes of Article 27 Paragraph (3) of the 2024 ITE Law revision regarding defamation in relation to freedom of expression in Indonesia. Develop uniform Standard Operating Procedures (SOP) in handling online defamation cases. Prioritize restorative justice approaches before proceeding with criminal processes. Regarding the juridical implications of implementing the ITE Law revision in terms of implementation, the government needs to conduct massive and continuous socialization to the public about changes in the substance of electronic information and transaction laws, especially regarding the boundaries between criticism and defamation. Keywords: Formulation Policy, Defamation, ITE Law PB - FAKULTAS HUKUM TI - KEBIJAKAN FORMULASI PERUBAHAN PASAL 27 AYAT (3) TERKAIT PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK AV - restricted ER -