@misc{eprints9222, month = {Februari}, title = {ANALISIS KONTROVERSI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM}, author = {HERLINA 0542011345}, year = {2010}, journal = {Digital Library}, url = {http://digilib.unila.ac.id/9222/}, abstract = {Abstrak Prinsip dasar hukum adalah memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada setiap warga negara secara sederajat dan tanpa pengecualian. Produk hukum yang dibuat tidak boleh membuka ruang multitafsir termasuk oleh JPU dan Hakim. PK menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini, karena adanya ?kesewenangan? penafsiran terhadap ketentuan KUHAP yang dilakukan oleh JPU dan Hakim. Penafsiran yang dilakukan berdasarkan selera sendiri ini telah menimbulkan kebingungan di kalangan hukum terutama praktisi hukum. Dengan demikian jelaslah, bahwa PK masih merupakan masalah yang belum tuntas dan perlu dicarikan jalan ke luarnya. Di satu sisi secara tegas KUHAP menentukan PK hanya diperuntukkan bagi terpidana atau ahli warisnya, sedangkan di sisi lain, dalam praktiknya PK yang diajukan oleh JPU juga diterima oleh MARI. Dalam hal yang demikian sudah sewajarnya apabila penulis tertarik untuk melakukan suatu pengkajian terhadap PK sebagai salah satu upaya hukum melalui penulisan skripsi yang berjudul ?Analisis Kontroversi Peninjauan Kembali yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut Umum?. Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang diajukan sebagai berikut (a) Apakah faktor penyebab terjadinya kontroversi terhadap peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum? (b) Bagaimanakah upaya mengatasi kontroversi terhadap peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Penentuan sampel menggunakan metode purposive sampling, Setelah data terkumpul, maka diolah dengan cara editing dan sistematisasi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Artinya menguraikan data yang telah diolah secara rinci ke dalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disusun kesimpulan sebagai berikut : (1) Faktor penyebab terjadinya kontroversi terhadap PK yang diajukan oleh JPU adalah : (a) Struktur hukum dalam hal ini Kejaksaan dengan JPUnya dan MARI dengan Hakim Agungnya tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya karena kelampauan beban tugas. (b) Kultur hukum dalam hal ini sikap dan perilaku JPU dan Hakim Agung yang kurang rasa tanggung jawab, justru memanfaatkan prinsip-prinsip hukum, keadilan, kebenaran yang berdasarkan Undang-Undang dan peraturan menjadi ruang bebas bagi hakim dan jaksa untuk menafsirkannya berdasarkan kepentingan pribadi dari jaksa dan hakim tersebut. Bahkan seorang hakim agung, pada posisi tertentu menolak PK dengan dasar tidak diatur dalam KUHAP tetapi hakim yang sama juga menerima PK yang diajukan oleh orang lain tanpa kita memahami apa dasar hukum penerimaan PK tersebut. (c) Substansi hukum dalam hal ini KUHAP tidak tegas menentukan apakah JPU berhak atau tidak mengajukan PK. Pasal 263 KUHAP yang mengatur tentang PK justru mengisyaratkan bahwa JPU berhak mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang mengandung pernyataan bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Padahal dasar filosofis diaturnya PK di dalam KUHAP hanya untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya. (2) Upaya mengatasi kontroversi terhadap PK yang diajukan oleh JPU adalah : (a) Secara struktural, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi total di tubuh MARI dan Kejaksaan agar menerapkan prinsip-pinsip good governance secara baik dan benar. Di sini perlu ada reward and punishment untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme individu dan lembaga. (b) Secara kultural, perlu ada desakan moral (moral action) dari publik untuk pihak kejaksaan dan MARI agar bertindak sesuai aturan hukum yang ada dan bukan melakukan penafsiran hukum di luar hukum tertulis itu sendiri. (c) Secara substansial, segera melakukan revisi terhadap KUHAP khususnya ketentuan yang mengatur tentang PK, sehingga jelas dan tegas dan tidak mengundang multitafsir. Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan : (a) Agar Jaksa Agung segera membuat Surat Edaran yang isinya melarang JPU mengajukan PK atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (b) Agar Pemerintah dan DPR segera melakukan reformasi secara menyeluruh terhadap sistem hukum pidana Indonesia yang sesuai dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.} }