TY - JOUR ID - eprints9516 UR - http://digilib.unila.ac.id/9516/ A1 - 0912011017, DANAR OKTARIA PRASETIYAWATI Y1 - 2013/02/04/ N2 - ABSTRAK Korupsi merupakan bentuk tindak pidana yang sulit untuk diberantas. Pelaksanaan pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination (hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan). Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap identifikasi data klasifikasi data, dan penyusunan data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (Pasal 37 dan 37A) tindak pidana Danar Oktaria Prasetiyawati umum dan pembuktian terbalik penuh/murni (Pasal 12B ayat (1) a) tindak pidana suap/gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00. Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination dalam pelaksanaannya akan dikesampingkan, karena dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, maka terhadap kesalahan pelaku tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif, agar tidak terjadi benturan dengan HAM ataupun dengan asas hak untuk diam. Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas. JF - Digital Library TI - ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION AV - restricted ER -