Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-28T18:33:45ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2023-09-02T01:34:21Z2023-09-02T01:34:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/27173This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/271732023-09-02T01:34:21ZFUNGSI DISTRIBUSI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJADAERAH DALAM PROGRAM RAGEM SAI MANGI WAWAI DI
KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT
ABSTRAK
Ragem Sai Mangi Wawai atau disingkat RSMW merupakan sebuah program
pembangunan fisik dan non fisik pada kampung di Kabupaten Tulang Bawang
Barat. Program tersebut merupakan inisiatif Bupati Tulang Bawang Barat sebagai
inovasi yang diatur dalam Pasal 388 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. APBD sebagai dasar pengelolaan keuangan daerah
yang diamanatkan dalam Pasal 309 Undang-Undang Pemerintahan Daerah
menjadikan sumber pendanaan bagi program RSMW. Program RSMW diatur
dalam Peraturan Bupati Tulang Bawang Barat Nomor 6 Tahun 2012 harus
memenuhi fungsi distribusi APBD dan meningkatkan pemberdayaan kampung di
Kabupaten Tulang Bawang Barat, sehingga dapat ditarik dua rumusan masalah
yaitu bagaimanakah kewenangan pemerintah daerah dalam menentukan fungsi
distribusi APBD melalui Program RSMW dan bagaimanakah Program RSMW
menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat kampung di Kabupaten Tulang
Bawang Barat.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan undang-undang, kasus dan konseptual yang berkenaan dengan fungsi
APBD dan pemberdayaan kampung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemenuhan fungsi distribusi APBD pada
Program RSMW juga harus memenuhi; 1) Fungsi Alokasi yang berupa
penganggaran melalui proposal rencana pada Program RSMW, 2) Fungsi
Distribusi yang berupa ketentuan pencairan dana pada Program RSMW dengan
laporan anggaran dana yang diberikan dan akuntabilitas program, 3) Fungsi
Stabilitas yang berupa perngawasan bersama anggaran program RSMW antara
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kampung dan Masyarakat Kampung. Stabilitas
ditambah dengan adanya dana swadaya dari masyarakat kampung berupa tenaga
dan sumber daya alam yang dikalkulasikan kedalam nominal Rupiah.
Pemberdayaan dapat dilihat dari kesiapan masyarakat kampung dalam mengelola
anggaran desa dengan nilai tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam UndangUndang
No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hal tersebut dibuktikan dengan tingkat
akuntabilitas program RSMW sejak tahun 2012 hingga 2014.
Kata Kunci: Ragem Sai Mangi Wawai, Distribusi Anggaran, :Pemberdayaan
Kampung, Dana Desa.
ABSTRACT
Ragem Sai Mangi Wawai as shortened with RSMW is a program which focused
on physical and non physical project in West Tulang Bawang Regency’s Village.
The Program is initiated by West Tulang Bawang Mayor as an inovation which
ruled on article 388 of Act No. 23/2014 about Local Government. Region Budget
Revenues and Expense as shortened with APBD in Indonesian is a legality of
region financial management which contain in article 309 on Local Government
Act which became a funding source in RSMW Program. This Program which is
ruled under West Tulang Bawang Mayor Rule No 6/2012 must fulfill APBD
distribution function and increased the village empowerment in West Tulang
Bawang Regency. So, there are two problem which are formulated with how is
local government authority deciding the function of APBD distribution through
RSMW Program and how this Program becoming an instrument for village
empowerment in West Tulang Bawang Regency.
This research is using nomartive law method with Indonesian Act, Cases and
Conceptual approach which linked with APBD function and village
empowerment.
Research shows that APBD distiribution function againts the RSMW Program
need to fulfill several things which are; 1) Alocation function is a budgeting action
through a proposal plan on RSMW Program, 2) Distribution Function is a guide
for RSMW Program bursement, 3) Stability Function is a RSMW Program
Budgets joint surveillance between Local Government, Village Government and
the Villagers. Stability circumstances is added by the villager self-helping fund
which are contained with villagers energy and natural resources which calculated
into Rupiah. The empowerment is visible to be sighted from the villagers
readiness to manage big nominal village fund as stated in Act No. 6/2014 about
Village. The empowerment is visible to be sighted with accountability level of
RSMW Program since 2012 until 2014.
Keywords: Ragem Sai Mangi Wawai, Budget Distribution, Village
Empowerment, Village Fund.
Kornelia13220110812023-09-02T01:33:20Z2023-09-02T01:33:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/27172This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/271722023-09-02T01:33:20ZPENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI
KECAMATAN PEMEKARAN SEBAGAI PERANGKAT
DAERAH PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, Pemerintah Daerah secara terus-menerus meningkatkan pelayanan
publik. Terkait dengan peningkatan kepuasan pelayanan masyarakat, Pemerintah
Kota Bandar Lampung telah menetapkan Perda Nomor 04 Tahun 2012 tentang
Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan, dimana Pemerintah Kota
Bandar Lampung melakukan pemekaran wilayah kecamatan dari 13 kecamatan
menjadi 20 kecamatan. Pemekaran wilayah yang banyak terjadi menimbulkan
permasalahan baru yang tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Kecamatan pemekaran sebagai kecamatan baru belum dapat memberikan
pelayanan publik yang cepat, efektif dan efesien seperti yang diinginkan. Hal ini
disebabkan kurang siapnya pemerintah daerah ketika melakukan pemekaran
wilayah seperti kantor-kantor kecamatan pemekaran kurang ideal untuk kantor
dan tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 7 Tahun 2006.
Berdasarkan alasan tersebut maka penulis mengangkat judul ini dengan tujuan
untuk mengetahui kesiapan dan penyelenggaraan dari kecamatan pemekaran
untuk melakukan pelayanan publik sebagai perangkat daerah dan untuk
menganalisis upaya penguatan pemerintah kecamatan untuk meningkatkan
pelayanan yang optimal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Dan dalam penelitian ini metodeyang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan persiapan dan penyelenggaraan
dalam pelayanan publik pada pemekaran kecamatan baru tidak terlaksana dengan
baik, hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya fator anggaran
dan dukungan dari pemerintah kota Bandar Lampung yang belum bisa
mengakomudir segala kebutuhan kecamatan baru seperti SDM, sarana dan
prasarana. Penyelenggaraan pemekaran kecamatan belum dapat memberikan
pelayanan publik secara maksimal.
Kata Kunci: Penyelenggaraan, Pelayanan Publik, Pemekaran, Kecamatan,
Pemerintah.
ABSTRACT
Since the enactment of Law Number 32 Year 2004 regarding Regional
Government which was then revised by Law Number 23 Year 2014, the Local
Government continuously improves public services. Related to the increase of
public service satisfaction, the City Government of Bandar Lampung has set
Local Regulation No. 04 Year 2012 on the Arrangement and Formation of SubDistrict
and District, where the Government of Bandar Lampung City to expand
the sub-district from 13 districts to 20 districts. Expansion of the area that many
occur to cause new problems that are not in accordance with the spirit of regional
autonomy. The subdistrict of newly created sub-districts has not been able to
provide a fast, effective and efficient public service as desired. This is due to the
lack of readyness of local governments when expanding regions such as
subdistrict offices of expansion less ideal for offices and not in accordance with
the Minister of Home Affairs Regulation No. 7 Year 2006.
Based on these reasons, the writer raised this title with the aim to know the
readiness and implementation of the subdistrict expansion to perform public
services as a regional tool and to analyze efforts to strengthen the district
government to improve the optimal service in accordance with Law Number 5
Year 2009 on Public Service. And in this research the method used is the
normative juridical approach and the empirical juridical approach
Based on the research that the authors do preparation and implementation in the
public service at new sub-district expansion not be implemented properly, it is
caused by various factors one of fator budget and support from the city
government Bandar Lampung that can not accommodate all the needs of new
districts such as human resources, and infrastructure. The implementation of
subdistrict expansion not able to provide maximum public service.
Keywords: Implementation, Public Service, Expansion, Sub-district,
Government.
Nevirda Sari Dewi 14220110252023-07-31T03:28:05Z2023-07-31T03:28:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25972This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259722023-07-31T03:28:05ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI PERAWAT SEBAGAI TENAGA KESEHATAN DI KLINIK PRATAMA
(Studi di Klinik Dua Putri Jaya dan Klinik Lematang Medical Center Lampung Selatan)
ABSTRAK
Perawat sebagai tenaga kesehatan dalam praktiknya dapat bekerja pada berbagai fasilitas kesehatan antara lain rumah sakit dan klinik. Perawat berhak memperoleh perlindungan hukum atas tindakan keperawatan yang dilakukannya, sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan,standar profesi standar prosedur operasional dan ketentuan peraturan perundang undangan. Permasalahan: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap profesi perawat sebagai tenaga kesehatan di Klinik Pratama? Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi perawat sebagai tenaga kesehatan di klinik pratama sudah memadai?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan narasumber yaitu pimpinan, dokter dan perawat pada Klinik Dua Putri Jaya dan Klinik Lematang Medical Center Lampung Selatan. Pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan: Perlindungan hukum terhadap profesi perawat sebagai tenaga kesehatan di Klinik Pratama telah diberikan dengan baik dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dengan ketentuan bahwa perawat sebagai tenaga kesehatan sudah melakukan tugas sesuai dengan keahliannya serta kewajiban mengembangkan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dimaksudkan agar tenaga kesehatan dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Perawat sebagai tenaga kesehatan dalam menjalankan asuhan keperawatan telah melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional. Bentuk perlindungan hukum terhadap profesi perawat sebagai tenaga kesehatan di Klinik Pratama diimplementasikan dengan Standar Operasional Prosedur berupa Alur Pelayanan Pasien dan Alur Penyampaian Hak dan Kewajiban Pasien Kepada Petugas. Perawat sebagai tenaga kesehatan di Klinik Pratama harus mengikuti Standar Operasional Prosedur, sehingga seluruh asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan ketentuan dan standar asuhan keperawatan.
Saran penelitian: Pimpinan Klinik Pratama agar memfasilitasi dan mengadvokasi perawat sebagai tenaga kesehatan apabila dihadapkan pada berbagai tuntutan atas gugatan atas tindakan keperawatan. Perawat agar memberikan pelayanan secara professional, sesuai dengan kompetensi dan standar praktik keperawatan.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tindakan, Perawat, Tenaga Kesehatan, Klinik Pratama
ABSTRACT
Nurse as health professionals in practice can work on a variety of health facilities include hospitals and clinics. Nurse the right to obtain legal protection of nursing actions that he did, all the duties in accordance with service standards, professional standards standard operating procedures and provisions of laws and regulations. Problem: How is legal protection for nurse as professional health workers at primary clinic? What kind of legal protection for nurse as professional health workers at primary clinic?
The approach used in this study is normative and empirical jurisdiction, with speakers, namely leaders, doctors and nurse at Dua Putri Jaya and Lematang Medical Center Clinic of South Lampung. The collection of data through library and field study. The data were analyzed qualitatively.
The results showed: The legal protection for nurse as professional health workers at primary clinic has been given properly and is guaranteed by Law No. 36 Year 2009 on Health and Law Number 36 Year 2014 concerning Health Workers, with the provision that the nurse as health professionals already perform tasks according to their expertise as well as the obligation to develop, improve knowledge and skill meant that health workers can provide quality services in accordance with the development of science and new technologies. Nurse as health workers in the running of nursing care has been carrying out duties in accordance with professional standards, professional service standards, and standard operating procedures. Forms of legal protection against the nursing profession as a health worker at the clinic Primary implemented in the form of Standard Operating Procedures Flow and Flow Patient Services Delivery of Patient Rights and Responsibilities To the clerk. Nurse as health workers in clinics Primary must follow the Standard Operating Procedures, so that all nursing care provided to clients in accordance with the provisions and standards of nursing care.
Suggestions study: Primary Clinical Leadership to facilitate and advocate for nurse as health professionals when faced with the demands of the lawsuit on the nursing actions. Nurse to provide services in a professional manner, in accordance with the competence and standards of nursing practice.
Keywords: Legal Protection, Measures, Nurse, Health Workers, Primary Clinic
Tri Pujiningsih Giyati 15220110252023-07-31T03:26:44Z2023-07-31T03:26:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25971This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259712023-07-31T03:26:44ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELARIKAN DIRI (DPO)MELALUI PERADILAN IN ABSENTIA
Penegakan hukum tindak pidana korupsi pada kenyataannya dihadapkan kendala yaitu pelaku tindak pidana yang melarikan diri atau masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Permasalahan penelitian: Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri (DPO) melalui peradilan In Absensia dan mengapa terdapat hambatan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri (DPO) melalui peradilan In Absensia?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh simpulan penelitian sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan.
Hasil penelitian menunjukkan: Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri (DPO) melalui peradilan In Absensia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peradilan In Absensia dilaksanakan untuk menyelamatkan keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, dengan adanya putusan hakim dalam Peradilan In Absensia, maka harta tersangka/terdakwa yang telah disita dapat langsung dieksekusi dalam upaya mengembalikan kerugian negara. Faktor-Faktor penghambatnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri (DPO) melalui peradilan In Absensia adalah faktor substansi hukum, yaitu tidak adanya pengaturan secara khusus peradilan In Absensia dalam KUHAP. Faktor aparat penegak hukum, penyidik tidak bisa secara objektif dalam memeriksa tersangka. Hambatan yang dihadapi jaksa bersifat teknis seperti pemanggilan terdakwa melalui surat kabar di mana harus memasang iklan yang membutuhkan biaya besar. Hambatan yang dihadapi hakim adalah tidak bisa melakukan klarifikasi terhadap terdakwa karena pembuktian sepihak. Faktor sarana prasarana, yaitu data persidangan tidak rill atau sepihak sedangkan dalam hukum pidana materil adalah kongkret. Faktor masyarakat, yaitu masyarakat memandang bahwa peradilan In Absensia bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan asas praduga tidak bersalah.
Saran penelitian: Agar dirumuskan aturan hukum acara mengenai pelaksanaan peradilan In Absensia dimulai pada tahap penyidikan hingga persidangan dalam perkara tindak pidana korupsi. Hendaknya direvisi rumusan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menghilangkan kata “dapat” sehingga diharapkan adanya kesamaan visi antara penyidik dan penuntut umum tentang pelaksanaan peradilan in absentia.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Korupsi, In Absentia
Law enforcement corruption in fact faced with obstacles, such as the criminal who escape. The research problem: How is law enforcement against the perpetrators corruption who escape trough in absentia court and why there are barriers on law enforcement against the perpetrators corruption who escape trough in absentia court?
The approach used in this study is juridical normative and empirical juridical approach. The data collection is done through library research and field study, then analyzed qualitatively to obtain research conclusions in response to the problems posed.
The results showed: law enforcement against the perpetrators corruption who escape trough in absentia court conducted under the provisions of Article 38 of the Law on Corruption Eradication. Justice in absentia was implemented to save the state finances caused by corruption, with a decision of the judge in the judiciary in absentia, then the property of suspects/defendants who have been seized can be directly executed in an attempt to restore losses to the state. Factors inhibiting law enforcement against the perpetrators corruption who escape trough in absentia court was a factor in the substantive law, namely the absence of special arrangements trial in absentia in the Criminal Code. Areas of law enforcement officers, investigators can not be objective in interviewing suspects. Barriers faced prosecutor technical nature such as summoning the accused in a newspaper where to place ads were costly. Barriers faced a judge is not able to clarify the defendant as evidence unilaterally. Factors infrastructure, ie the data is not the real or unilateral hearing whereas in criminal law is a concrete material. Community factors, namely the public perceives that justice in absentia is discriminatory and inconsistent with the presumption of innocence.
Suggestion research: To formulate rules of procedural law concerning the administration of justice in absentia begins at the stage of investigation to trial in a corruption case. Should be revised formulation of Article 38 Paragraph (1) of the Law on Corruption Eradication, by omitting the word "may" so hopefully common vision between the investigator and the prosecutor about the administration of justice in absentia.
Keywords: Law Enforcement, Corruption, In Absentia
Suprianus Andres 15220110132023-07-31T02:51:10Z2023-07-31T02:51:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25970This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259702023-07-31T02:51:10ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL
(Studi di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Way Kanan)
Kepemilikan senjata api ilegal di masyarakat berpotensi digunakan untuk berbagai tindakan kriminal atau kejahatan. Oleh karenanya kepemilikan senjata api secara ilegal oleh masyarakat merupakan perbuatan melanggar hukum dan bagi orang yang memilikinya dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan: Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kepemilikan senjata api illegal di Kepolisian Resor Way Kanan dan mengapa terdapat faktor pengambat penegakan hukum terhadap kepemilikan senjata api illegal di Kepolisian Resor Way Kanan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Kapolres, Kasatreskrim, Penyidik Satreskrim pada Kepolisian Resor Way Kanan dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Blambangan Umpu. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: Penegakan hukum terhadap kepemilikan senjata api illegal oleh Kepolisian Resor Way Kanan dilaksanakan dengan tahap aplikasi, yaitu dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait kepemilikan senjata api ilegal, melakukan penyidikan dan penegakan hukum terhadap masyarakat atau pelaku yang memiliki dan menggunakan senjata api secara illegal. Hasil tahap aplikasi dalam penegakan hukum tersebut menunjukkan pada tahun 2015 Kepolisian Resor Way Kanan berhasil mengungkap 71 kasus kepemilikan senjata api ilegal, terdiri dari 69 senjata api rakitan dan 2 senjata api organik. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap kepemilikan senjata api illegal oleh Kepolisian Resor Way Kanan adalah: faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya potensi penyalahgunaan kewenangan diskresi serta kuantitas dan kualitas penyidik yang belum memadai. Faktor masyarakat sebagai faktor yang dominan, tentang adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum. Faktor budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku pengguna senjata api ilegal.
Saran dalam penelitian ini adalah: Agar Kepolisian Resor Way Kanan meningkatkan razia terhadap peredaran senjata api ilegal di masyarakat, khusus di daerah-daerah yang rawan kriminalitas. Hendaknya kerjasama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat hendaknya semakin ditingkatkan dan dioptimalkan.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Senjata Api, Ilegal
Illegal possession of firearms in public could potentially be used for a variety of criminal acts or crimes. Therefore, the illegal possession of firearms by the public is unlawful and for people who have it can be subject to criminal sanctions as stipulated in the Emergency Law No. 12 of 1951. The problem of research formulated: How do law enforcement against illegal possession of firearms in Police of Way Kanan resorts and why there are factors pengambat enforcement against illegal possession of firearms in the Police of Way Kanan?
This study used juridical normative and empirical juridical approach. Resource consists of the Chief of Police, Chief of Criminal Unit, Criminal Unit Investigator of Way Kanan Police and prosecutors at the State Attorney Blambangan Umpu. The data collection is done through library research and field study, then analyzed qualitatively.
Based on the results of research and discussion it can be concluded: Enforcement of laws against gun ownership illegal by the Police of Way Kanan implemented by the application stage, namely the dissemination of legislation related to illegal possession of firearms, investigations and law enforcement against the people or actors who have and using a firearm illegally. The result of the application phase in enforcement of the law in 2015 shows the Way Kanan Police uncovered 71 cases of illegal possession of firearms, consisting of 69 homemade guns and two firearms organic. Factors inhibiting enforcement against illegal possession of firearms by Police of Way Kanan is: factors of law enforcement officers, namely the potential for abuse of discretionary authority and the quantity and quality of investigators who have been inadequate. Community factors as the dominant factor, about their fear or reluctance of the public to witness the process of law enforcement. Individualism cultural factors in the lives of urban communities, so that they are indifferent indifferent and do not care when encountering or know the perpetrators of illegal firearms users.
Suggestions in this study are: To improve the Way Kanan Police raids against the circulation of illegal firearms in the community, especially in areas prone to crime. Should cooperation with community leaders, religious leaders and traditional leaders should be improved and optimized.
Keywords: Law Enforcement, Firearms, Illegal
Adi Sigitjuli 15220110722023-07-31T02:49:38Z2023-07-31T02:49:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25968This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259682023-07-31T02:49:38ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM
TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SERTIFIKAT TANAH
(Studi Putusan Nomor: 1046/Pid.B/2014/PN.Tjk)
Pelaku tindak pidana penggelapan seharusnya dipidana sesuai ketentuan Pasal 372 KUHP, dengan ancaman pidana paling lama empat tahun penjara. Issu hukum dalam Putusan Nomor: 1046/Pid.B/2014/ PN.TJK adalah Majelis Hakim memutus Terdakwa dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tindak pidana penggelapan sertifikat tanah dan bagaimanakah akibat hukum putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggelapan sertifikat tanah?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan selanjutnya diambil simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan: Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tindak pidana penggelapan sertifikat tanah adalah terdiri dari pertimbangan yuridis, yaitu hakim mempertimbangkan unsur-unsur Pasal 372 KUHP yang didakwakan tidak terpenuhi. Pertimbangan filosofis, hakim mempertimbangkan bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan kepada terdakwa merupakan upaya untuk memperbaiki diri terdakwa agar tidak melakukan kesalahan yang serupa jika menjalin hubungan keperdataan dengan pihak lain. Pertimbangan sosiologis, hakim secara mempertimbangkan latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan telah sesuai dengan fakta-fakta persidangan. Akibat hukum putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggelapan sertifikat tanah ditinjau dari kekuatan hukumnya adalah putusan hakim tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sedangkan ditinjau dari hak terdakwa adalah terdakwa berhak mendapatkan rehabilitasi dalam hal mengembalikan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat terdakwa.
Saran penelitian ini adalah: Hendaknya hakim yang menangani tindak pidana penggelapan oleh terdakwa yang lebih dari satu orang mempertimbangkan cara pelaku dalam melakukan tindak pidana dan mempertimbangkan rasa keadilan dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan, Putusan Lepas, Wanprestasi
ABSTRACT
Perpetrators of criminal acts should be convicted of criminal evasion pursuant to Article 372 of Criminal Code, with a maximum penalty of four years in prison. Legal issues in the Decision No. 1046 / Pid.B / 2014 / PN.TJK is the Panel of Judges Accused by a decision free from any lawsuits. The research problem is how the consideration of judges in imposing the verdict free from any criminal offenses of embezzlement lawsuits certificates of land and how the legal consequences of the verdict off all lawsuits against the perpetrators of criminal acts of embezzlement of land titles?
The research approach used juridical normative and empirical jurisdiction. The data collection is done through library research and field study. The data were analyzed qualitatively and subsequently drawn conclusions.
The results showed: Basic consideration of the judge in imposing a decision free from any criminal offenses of embezzlement lawsuits land certificate is comprised of a juridical considerations, namely the judge to consider the elements of Article 372 Criminal Code indicted are not met. Philosophical consideration, the judge considered that the verdict free from all legal charges imposed on the defendant is an effort to improve the defendant from committing the same mistakes if civil relations with other parties. Sociological considerations, judges consider the social background of the accused and noticed that the verdict free from all legal charges imposed in accordance with the facts of the trial. The legal consequences verdict free from any legal action against the perpetrators of the crime of misappropriation of land certificates in terms of legal force is the judge's decision has binding legal force and binding, whereas in terms of the rights of the accused is the defendant entitled to rehabilitation in terms of restore capabilities, status, dignity and the dignity of the accused
Suggestion of this research is: Should judges handling criminal acts of embezzlement by the defendants that more than one person to consider how the perpetrator in committing a crime and consider the sense of justice in the verdict against perpetrators of the crime of embezzlement.
Keywords: Basic Considerations, Free From Any Criminal Offenses, Default
Prestasia Dewi 15220110612023-07-31T02:47:56Z2023-07-31T02:47:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25967This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259672023-07-31T02:47:56ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DANA REVITALISASI LAPANGAN SEPAK BOLA
DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Putusan Nomor: 13/Pid.Sus. TPK/2015/PN.Tjk)
Penyediaan lapangan olahraga seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tetapi pada kenyataannya hal tersebut seringkali diabaikan dan terjadi tindak pidana korupsi. Permasalahan penelitian: Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana revitalisasi lapangan sepak bola di Kabupaten Pesawaran dan apakah penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana revitalisasi lapangan sepak bola di Kabupaten Pesawaran telah sesuai dengan keadilan substantif?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris, dengan sumber data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan: Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana revitalisasi lapangan sepak bola di Kabupaten Pesawaran sesuai dengan tujuan pemidanaan, di mana hakim menjatuhkan pidana penjara dan pidana uang pengganti terhadap Terdakwa sebagai upaya pembinaan terhadap terdakwa yang melaksanakan proyek revitalisasi lapangan sepak bola dengan anggaran dari keuangan negara, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana revitalisasi lapangan sepak bola di Kabupaten Pesawaran sesuai dengan keadilan substantif, karena karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula. Penjatuhan pidana penjara dan pidana uang pengganti disesuaikan dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga sesuai dengan rasa keadilan dan relevan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saran dalam penelitian ini adalah: Agar penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi konsisten mengemban amanat pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan cara lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan. Agar penegak hukum memperhatikan pula perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam hal menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang tidak merugikan keuangan negara, tidak menguntungkan terdakwa serta kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Kata Kunci: Pemidanaan, Korupsi, Lapangan Sepak Bola
Provision of sports fields should be implemented as well as possible in accordance with the prescribed rules but in reality it is often overlooked and the criminal act of corruption. The research problem: How is punishment against corruption perpetrators of football field revitalization fund on Pesawaran Regency and whether criminal punishment against corruption perpetrators of football field revitalization fund on Pesawaran Regency compliance with substantive justice?
The approach used in this study is normative and empirical, with secondary data collected through literature. The data were analyzed qualitatively.
The results showed: Punishment against corruption perpetrators of football field revitalization fund on Pesawaran Regency in accordance with the purpose of sentencing, the judge handed down imprisonment and criminal restitution to the defendant as to provide guidance to the defendants to implement the revitalization project of the football field with a budget of state finances, but not in accordance with the provisions or regulations in force. Criminal punishment against perpetrators of football field revitalization fund on Pesawaran Regency accordance with substantive justice, because since corruption is an extraordinary crime and the handling of his case is done the extraordinary. Imposition of imprisonment and criminal restitution adapted to the lightness or heaviness of the mistakes made, so in accordance with the sense of justice and relevant to efforts to combat corruption.
Suggestions in this study are: To law enforcement officers who handle corruption consistently undertaking the eradication of corruption, in a way more careful and precise in decisions. In order for law enforcement pay attention to legal developments in the society, in terms of convict against defendants state financial harm, not favorable to the accused and their needs can be met.
Keywords: Punishment, Corruption, Football Field
Nanto Rossi Irdo 15220110242022-05-23T07:30:19Z2022-05-23T07:30:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25973This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259732022-05-23T07:30:19ZPERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA DIBERLAKUKANNYA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONALABSTRAK
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan idealnya relevan dan sinergi dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai kejahatan luar biasa, tetapi pemberlakukan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional berpotensi menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Permasalahan penelitian: Bagaimanakah perspektif penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi pasca diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 dan bagaimanakah implikasi Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, Narasumber terdiri dari Kepala Seksi Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dan Kepala Seksi Intelijen pada Kejaksaan Negeri Way Kanan serta Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung . Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan: Perspektif penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi pasca diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 menunjukkan adanya potensi intervensi oleh pemerintah atas proses penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman, karena proses penegakan hukum atas dugaan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional menjadi tertunda karena harus menunggu dan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. Implikasi hukum pemberlakuan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 terhadap penegakan hukum atas tindak pidana korupsi adalah tidak efektif tidak relevan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain itu tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi sebagai extra ordinary crime/white collar crime yang memerlukan upaya penegakan hukum pidana secara luar biasa pula.
Pemerintah disarankan untuk melakukan revisi atas pemberlakuan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Sedangkan bagi aparat penegak hukum disarankan untuk melaksanakan penegakan hukum dengan menjunjung tinggi asas kesamaan warga negara di depan hukum
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Korupsi, Proyek Strategis
ABSTRACT
Enforcement of legislation relevant ideally be aligned with efforts to combat corruption, as an extraordinary crime, but the imposition of Presidential Decree No. 3 of 2016 on Accelerating the Implementation of the National Strategic Project has the potential to impede law enforcement against corruption. The research problem: How does the perspective of law enforcement against perpetrators of corruption after the enactment of the Presidential Decree No. 3 of 2016 and how the implications of Presidential Decree No. 3 of 2016 on the eradication of corruption in Indonesia?
The approach used in this study is normative and empirical jurisdiction. The data collection is done through library research and field studies, Resource consists of Head of Section for Civil and State Administrative Law and Section Head of Intelligence at the State Attorney and the Right Way Academics Faculty of Law, University of Lampung. Data were analyzed qualitatively to obtain conclusions.
The results showed: Perspectives law enforcement against perpetrators of corruption after the enactment of the Presidential Decree No. 3 of 2016 suggest the potential for intervention by the government on the law enforcement and judicial authorities for law enforcement agencies on allegations of misconduct or abuse of authority in the implementation of projects of the National Strategic become delayed because of having to wait and put the administrative process in accordance with the provisions of the legislation in the field of public administration. The legal implications of the Regulation of President Number 3 of 2016 against law enforcement on corruption is not effectively irrelevant to the principle of justice that is simple, fast and inexpensive. In addition to the spirit of fighting corruption as extraordinary crime / white collar crime that requires a criminal law enforcement efforts are also remarkable.
The government is advised to do a revision of the implementation of Presidential Decree No. 3 of 2016. As for the law enforcement officers are advised to carry out law enforcement to uphold the similarity of citizens before the law
Keywords: Law Enforcement, Corruption, Strategic Projects
1522011100 Idwin Saputraidwinsaputra@gmail.com2017-12-29T07:23:55Z2017-12-29T07:23:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/29569This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/295692017-12-29T07:23:55ZPERAN PENJAMINAN KREDIT DENGAN POLA OTOMATIS BERSYARAT TERHADAP PEMBIAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sering dinilai tidak cukup layak sehingga sulit mendapat persetujuan kredit. Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) merupakan suatu organisasi yang berusaha membantu mencarikan solusi bagi mereka yang mencari pinjaman namun mengalami masalah karena dianggap tidak bankable (tidak layak) dan selanjutnya diusahakan menjadi bankable (layak memperoleh pinjaman). Lembaga Penjaminan Kredit berfungsi sebagai penanggung risiko atas kemungkinan terjadinya kredit macet yang dialami oleh usaha mikro dan kecil. Adanya kerja sama dengan Lembaga Penjaminan Kredit, maka pihak Bank dapat meminimalisasi apabila pengembalian kredit oleh debitur tidak dapat terlaksana sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana syarat dan prosedur untuk memperoleh penjaminan kredit dari Asuransi Kredit, bagaimana hubungan hukum para pihak pada penjaminan kredit dengan pola otomatis bersyarat terhadap pembiayaan UMKM, dan bagaimana mekanisme pembayaran subrogasi dari Asuransi Kredit jika debitur tidak mampu melaksanakan kewajiban. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Pengolahan data dilakukan dengan seleksi data, pemeriksaan data, klasifikasi data, dan penyusunan data. Narasumber penelitian ini adalah Analis Kredit UMKM dan Program PT Bank Lampung KCP Antasari sebagai Bank Pelaksana dan Staf bagian Klaim dan Subrogasi PT Askrindo Cabang Bandar Lampung sebagai Asuransi Kredit.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa syarat-syarat debitur yang dapat memperoleh kredit dari Bank yaitu memiliki dan menjalankan usaha produktif, mempunyai legalitas dan perijinan usaha, dan UMKM yang dinyatakan layak oleh Penerima Jaminan. Prosedur untuk mendapatkan Penjaminan, setelah mendapat pencairan kredit, Bank mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Penjaminan kepada Penjamin dan Penjamin memberikan Penjaminan otomatis bersyarat kepada Bank. Debitur memiliki hak untuk mendapat fasilitas kredit dan Penjaminan dari Bank. Debitur memiliki kewajiban untuk melunasi fasilitas kredit yang diperoleh dari Penerima Jaminan. Bank memiliki hak untuk mendapatkan jaminan dari pihak Asuransi Kredit serta menerima pelunasan kredit dari debitur. Bank memiliki kewajiban untuk menagih angsuran fasilitas kredit dari debitur. Asuransi Kredit memiliki hak untuk mendapatkan premi yang dijaminkan dari Bank. Asuransi Kredit memiliki kewajiban untuk memberikan Penjaminan terhadap fasilitas kredit yang didapat debitur. Mekanisme pelaksanaan subrogasi pada Penjaminan kredit UMKM yaitu Penjamin memiliki hak subrogasi yang penyelesaiannya dalam bentuk recoveries, baik yang berasal dari hasil penagihan maupun dari hasil penjualan agunan Terjamin. Recoveries akan dibagi untuk Penerima Jaminan dan Penjamin secara proporsional. Hal tersebut berlangsung sampai dengan kredit debitur lunas.
Kata kunci: Penjaminan Kredit, Pola Otomatis Bersyarat, Pembiayaan UMKM.
THE ROLE OF CREDIT GUARANTEE WITH CONDITIONAL AUTOMATIC PATTERN ON MICRO SMALL
AND MEDIUM ENTERPRISES
Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) are often considered uneligible to obtain credit approval. Credit Guarantee Institution (Lembaga Penjaminan Kredit) is an organization that helps finding solutions for those who seek a loan but experiencing problems because it is considered not bankable (not feasible) and subsequently to make it into a bankable (eligible to obtain loans). The Credit Guarantee Institution serves as a risk bearer for the possibility of non-performing loans experienced by micro and small enterprises. With the cooperation with the Credit Guarantee Institution, the Bank can minimize if the credit repayment by the debtor can not be executed in accordance with the agreement.
The problems in this research are formulated as follows: what are the requirements and procedures for obtaining credit guarantee from the Credit Insurance?, how is the legal relationship between the parties of the credit guarantee with automatic pattern of MSMEs financing?, and how is the mechanism for the subrogation payment from Credit Insurance if the debtor is unable to perform the obligation? The methods used in this research were normative and empirical approaches. The data collection technique was conducted through lliterature study and field study. While the data processing was done by data selection, data examination, data classification, and data preparation. The resource persons of this research consisted of MSMEs Credit Analyst and PT Bank Lampung KCP Antasari as the Implementing Bank and Staff of Claim and Subrogation of PT Askrindo Branch of Bandar Lampung as Credit Insurance.
The results and discussion of the research indicated that among the requirements to obtain credit from the Bank, included: to own and run a productive business, to own a legality and business licensing, and the MSMEs had been declared eligible by the Credit Insurance. While the procedures for obtaining the Guarantee were as follows: after obtaining credit disbursement, the Bank submits a request for the issuance of the Guaranteed Certificate to the Guarantor and the Underwriter grants a conditional automatic guarantee to the Bank. The Borrower has the right to obtain credit facilities and Guarantee from the Bank. The debtor has an obligation to pay off the credit facility obtained from the Beneficiary. The Bank has the right to obtain collateral from Credit Insurance and receives loan repayment from the debtor. The Bank has an obligation to collect the installment of credit facilities from the debtor. Credit Insurance has the right to obtain a guaranteed premium from the Bank. Credit Insurance has an obligation to provide Guarantee to credit facilities obtained by the debtor. The mechanism for subrogation implementation on MSMEs credit Guarantee was that the Guarantor has the right of subrogation in form of recoveries, either from the result of collection or from the sale of guaranteed collateral. The recoveries will be shared for Guarantees and Guarantor in proportion. This goes on until the debtor's credit is paid off.
Keywords: Credit Guarantee, Conditional Automated Pattern, MSMEs Financing.
1522011010 LARAS PURNAMA SARIlaraspurnamasari10@yahoo.co.id2017-12-29T07:18:14Z2017-12-29T07:18:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/29574This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/295742017-12-29T07:18:14ZPERAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM PEMBINAAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, apabila dipanggil kepersidangan harus dengan persetujuan majelis pengawas daerah (MPD), akan tetapi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 kewenangan tersebut menjadi kewenangan majelis kehormatan notaris (MKN). Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah: (1) Kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012. (2) Tugas dan fungsi majelis kehormatan notaris dalam melaksanakan pembinaan terhadap notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012. (3) Pertimbangan majelis kehormatan notaris dalam memberikan persetujuan atau menolak dilakukannya pemeriksaan terhadap notaris pada proses peradilan.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi pustaka, studi dokumen dan wawancara. Pengelolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, rekonstruksi data dan sistematisasi data. Selanjutnya, dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan pemberian persetujuan terhadap pemanggilan notaris untuk proses peradilan dimiliki oleh majelis pengawas notaris, namun pasca Putusan Mahkamah Kosntitusi kewenangan tersebut dimiliki pula oleh MKN. MKN Pusat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap MKN Wilayah. MKN Wilayah melakukan pemeriksaan dan memberikan persetujuan atau penolakan dalam proses peradilan dan memberikan perlindungan kepada notaris terkait pembuatan akta. Pertimbangan MKN dalam memberikan persetujuan pemanggilan notaris untuk proses peradilan yaitu: apabila minuta akta dan/atau surat-surat notaris diduga berkaitan dengan tindak pidana, apabila hak menuntut belum gugur (daluwarsa) berdasarkan ketentuan hukum pidana, adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih, adanya pengurangan dan penambahan minuta akta, adanya notaris melakukan pemunduran akta. Saran yang diharapkan dari penelitian ini adalah notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan isi akta, namun dalam kondisi tertentu kewajiban itu dapat dikesampingkan. jadi notaris harus lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas nya.
Kata Kunci: Pengawasan, Pembinaan, Notaris, Majelis Kehormatan Notaris.
THE ROLE OF NOTARY HONORARY BOARD IN THE GUIDANCE OF NOTARY AFTER THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 49/PUU-X/2012
Notary is the general official of the authentic deed of all deeds, If the notary is summoned to the court, it shall be subject to the approval of the notary supervisory board, but after the Constitutional Court Decision Number 49/PUU-X/2012 the authority becomes the jurisdiction of the notary honorary board. This study examines the role of notary honorary board in the guidance of a notary after the verdict of the constitutional court number 49/PUU-X/2012. The research problems in this research are formulated as follows: (1) Who is authorized to conduct guidance and supervision of the notary after the Constitutional Court Decision Number 49/PUU-X/2012 concerning Approval of the Regional Supervisory Board relating to the Judicial Process. (2) What are the duties and functions of the notary honorary board in carrying out guidance of the notary after the Constitutional Court Decision Number 49/PUU-X/2012 concerning Approval of the Regional Supervisory Board relating to the Judicial Process (3) What is the consideration of the notary honorary board in giving approval or rejecting the examination of the notary in the judicial process.
This research is an empirical normative legal research with descriptive type. The approach used in this research was empirical approach. The data sources consisted of secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The data collection method was done through literature study, documentation and interviews. While the data management is done by data examination, data reconstruction and data systematization. Finally, the data were being analyzed qualitatively.
The results and discussion of the research clearly showed that the authority to approve notary calls for the judicial process was owned by notary supervisory board. but after the Constitutional Court the authority becomes the jurisdiction of the notary honorary board.
The Central MKN has the duties and functions of conducting guidance and supervision on Regional. The Regional MKN shall conduct examination and give approval or rejection to the requests submitted by law enforcement in judicial process and to give protection to notary in relation to notary's obligation to conceal the contents of deed. The consideration of MKN in giving approval of notarial notification for judicial process was when: the original of the deed and/or notary letters allegedly related to crime. If the right sue has not been declared under the penal law, the denial of the validity of the signatures of one or more parties, the reduction and the addition of the deed minus, the notary to do the deed. The expected suggestion from this research is that the notary has an obligation to conceal the contents of the deed, but under certain conditions the obligation can be disregarded. so the notary must be more careful in carrying out his duties.
Keywords: Supervision, Guidance, Notary, Notary Honorary Board1522011008 INES SEPTIA SAPUTRIines_septia@yahoo.com2017-12-22T08:53:22Z2017-12-22T08:53:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/29462This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/294622017-12-22T08:53:22ZPERANAN PENYIDIK DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi di Polresta Bandar Lampung )Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana seharusnya ditangani oleh
penyidik anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, tetapi faktanya masih terdapat penyidik anak yang
belum memenuhi persyaratan, sehingga berpotensi melaksanakan penyidikan yang
tidak dengan amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bagaimanakah
peranan penyidik dalam penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan
mengapa terdapat faktor penghambat peranan penyidik dalam penyidikan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung?
Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Narasumber terdiri dari Penyidik, Advokat dan Akademisi. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan
secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Peranan penyidik dalam penyidikan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung termasuk dalam peranan
normatif dan faktual. Peran normatif dilaksanakan dengan peraturan perundangundangan,
khususnya Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Peranan faktual dilaksanakan berdasarkan fakta mengenai
adanya anak yang melakukan tindak pidana dengan cara menyediakan penyidik
khusus anak, melaksanakan penyidikan di ruang pemeriksaan khusus anak,
melaksanakan penyidikan dengan suasana kekeluargaan, meminta laporan penelitian
kemasyarakatan, melaksanakan upaya paksa dengan berpedoman pada Undang-
Undang Sistem Peradilan Anak. Penyidikan terhadap anak diwujudkan penyidik
dengan cara penyidikan secara kekeluargaan, tidak berpakaian dinas dan tidak
menekan anak. Faktor paling dominan yang menghambat peranan penyidik dalam
penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung
adalah faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak diversi
dan menginginkan agar anak sebagai pelaku tindak pidana tetap diproses hukum.
Saran penelitian: Peranan penyidik dalam penyidikan tindak pidana yang dilakukan
oleh anak hendaknya disesuaikan dengan sistem peradilan pidana anak.
Penyuluhan/sosialisasi mengenai diversi kepada masyarakat hendaknya ditingkatkan
sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang baik terhadap diversi dan sebagai
ABSTRACT
The investigation of the child who commits a criminal offense should be handled by
a child investigator who fulfills the requirements as regulated by the Criminal
Justice System Law, but in fact there are still child investigators who have not
fulfilled the requirements, thus potentially conducting an investigation that is not
mandated by the Criminal Justice System Act Child. What is the role of investigator
in investigation of crime committed by the child and why there are factors inhibiting
the role of the investigator in investigation of crime committed by the child on Police
Resort of Bandar Lampung?
The research was conducted by normative juridical approach and empirical
juridical approach. The resource persons consist of Investigators, Advocates and
Academics. Data collection was done by literature study and field study. Data
analysis is done qualitatively.
The results of this study indicate: The role of investigators in the investigation of
crime committed by children at Police Resort of Bandar Lampung included in the
role of normative and factual. The normative role is implemented by legislation, in
particular the Police Law and the Criminal Justice System Act. The factual role is
based on the facts about the existence of a child who commits a crime by providing
special child investigators, investigating child at special examination rooms for
children, conducting investigations in a familial atmosphere, soliciting public
research reports, carrying out forced attempts based on the Juvenile Justice System
Act. Investigation of the child is manifested by the investigator by familial
atmosphere, does not using uniform and does not pressure the child. The most
dominant factor that hampers the role of investigators in the investigation of crime
committed by children at Police Resort of Bandar Lampung is the factor of society,
especially the victim and the victim's family refuses to be diverted and wants the
child as perpetrator of crime to be processed by law.
Suggested research: The role of investigators in the investigation of criminal acts
committed by the child should be adjusted to the child criminal justice system.
Counseling of diversion to the community should be improved so that the community
has a good understanding of diversion and in an effort to minimize the opposition by
community.
Keywords: Role of Investigator, Investigation, Child
upaya untuk meminimalisasi penolakan diversi oleh masyarakat.
Kata Kunci: Peranan Penyidik, Penyidikan, Anak1522011047 YULIUS NANDA SIONARISyuliusnanda31@gmail.com2017-12-22T02:07:25Z2017-12-22T02:07:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/29431This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/294312017-12-22T02:07:25ZHUBUNGAN HASIL PENGAWASAN APIP DAN BPK DALAM
RANGKA AUDIT DENGAN TUJUAN TERTENTU DALAM
AKUNTABILITAS KEUANGAN DAERAHnamanya penggunaan anggaran, tentunya dalam penggunaan anggaran tersebut
diperlukan suatu control untuk menghindari pemborosan serta penyalahgunaan
dalam penggunaan anggaran. Terdapat dua lembaga pengawasan yang berwenang
melakukan control terhadap penyelenggaraan pemerintahan, yaitu ada pengawasa
intern dan pengawas ektern, pengawas internal merupakan Aparat Pengawas
Internal Pemerintah yang terdiri dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Inspektorat Jenderal, Inspektorat wilayah Provinsi dan Inspektorat
Wilayah Kabupaten/Kota, sedangkan pengawas ekternal terdiri dari Badan
Pemeriksa Keuangan dan juga ada DPR/DPRD.
Permasalahan dalam penelitian ini, bagaimana pelaksanaan pengawasan APIP dan
BPK dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam akuntabilitas keuangan
daerah, dan bagaimana hubungan hasil pengawasan APIP dan BPK dalam
pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan secara yuridis normatif dan empiris.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan audit yang dilakukan APIP
dan BPK dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dimana
pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Audit dilakukan dengan bentuk pemeriksaan secara langsung dan tidak langsung,
yang waktu pelaksanaannya pada awal tahun, pertengahan tahun dan pada akhir
tahun. Sebelum melakukan pemeriksaan terlebih dahulu auditor melakukan
pemilihan sample objek yang akan diperiksa. Setelah auditor selesai melakukan
pemeriksaan maka auditor membuat laporan hasil pemeriksaan yang nantinya
diserahkan kepada kepala pemerintahan dan DPR/D.
Audit dengan tujuan tertentu dilakukan oleh auditor ketika adanya temuan yang
terindikasi terjadinya penyalahgunaan anggara, auditor juga dapat melakukan
investigasi apabila ada suatu laporan dari masyarakat atau Lembaga masyarakat,
pelaksanaan audit dengan tujuan tertentu juga dapat dilakukan apabila ada
permintaan dari kepala instansi atau kepala daerah selaku pejabat pembina
kepegawaian, untuk meminta lembaga pengawas baik internal maupun ekternal
melakukan audit, permintaan audit dilakukan secara tertulis oleh kepala instansi
atau kepala daerah. Selain itu pelaksanaan audit juga dapat dilakukan apabila ada
permintaan dari Aparat Penegak hukum untuk dijadikan bukti dalam suatu kasus
korupsi.
Nantinya laporan hasil auditor intern diserahkan juga kepada BPK untuk nantinya
digunakan oleh BPK dalam proses pemeriksaan bila diperlukan oleh BPK. Dari
hasil pemeriksaan auditor memberikan opini atau rekomendasi yang nantinya
dapat dijadikan masukan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan
untuk mengeluarkan kebijakan yang tepat.
Kata Kunci : Hubungan, Pengawasan, APIP, BPK, Akuntabilitas
ABSTRACT
The exercise of government administration cannot be separated from budget
using, and certainly budget should be controlled to prevent waste and abuse from
the budget usage. There are two authorized monitoring institutions to control
government administration exercises; they are internal and external monitoring.
Internal monitoring is the government internal monitoring apparatus including
Finance and Development Audit Board, General Inspectorate, District/Municipal
and Provincial Inspectorates; while external monitoring contains of Audit Board
(BPK) and House of Representative/Regional House of Representative.
The problems of this research were how did the exercise of APIP and Audit Board
(BPK) monitoring in the regional finance accountability, and how did the
correlation of APIP and BPK monitoring results to the audit with special
purposes. This research used normative and empirical jurisdiction approaches.
The research results showed that the audit by APIP and BPK was conducted based
on legislative regulations, where the audit included financial audit, performance
audit, and audit with special purposes.
Audit was exercised directly and indirectly in the early, mid, and end of year.
Before the audit was exercised, auditors selected object samples to audit. After
auditors conducted the audits, they made reports to handover to government
leaders and House of Representative/Regional House of Representative.
Audit with special purposes was conducted by auditors when there were findings
indicating budget abuse. Auditors could also make audit based on reports from
public or non-government organizations. The audit with special purposes could
also be conducted upon the requests of the head of a government institution or
regional head as the elder member officials for civil servant affairs to both internal
and external auditors by written requests. This audit could also be conducted upon
request from law enforcers for evidences in corruption crime cases.
The internal auditor reports were handover to Audit Board (BPK) to use by BPK
in the BPK audit process if required. From the audit results, auditors provided
opinions or recommendations for government for proper policy makings.
Keywords : correlation, monitoring, APIP, Audit Board (BPK),
accountability.The exercise of government administration cannot be separated from budget
using, and certainly budget should be controlled to prevent waste and abuse from
the budget usage. There are two authorized monitoring institutions to control
government administration exercises; they are internal and external monitoring.
Internal monitoring is the government internal monitoring apparatus including
Finance and Development Audit Board, General Inspectorate, District/Municipal
and Provincial Inspectorates; while external monitoring contains of Audit Board
(BPK) and House of Representative/Regional House of Representative.
The problems of this research were how did the exercise of APIP and Audit Board
(BPK) monitoring in the regional finance accountability, and how did the
correlation of APIP and BPK monitoring results to the audit with special
purposes. This research used normative and empirical jurisdiction approaches.
The research results showed that the audit by APIP and BPK was conducted based
on legislative regulations, where the audit included financial audit, performance
audit, and audit with special purposes.
Audit was exercised directly and indirectly in the early, mid, and end of year.
Before the audit was exercised, auditors selected object samples to audit. After
auditors conducted the audits, they made reports to handover to government
leaders and House of Representative/Regional House of Representative.
Audit with special purposes was conducted by auditors when there were findings
indicating budget abuse. Auditors could also make audit based on reports from
public or non-government organizations. The audit with special purposes could
also be conducted upon the requests of the head of a government institution or
regional head as the elder member officials for civil servant affairs to both internal
and external auditors by written requests. This audit could also be conducted upon
request from law enforcers for evidences in corruption crime cases.
The internal auditor reports were handover to Audit Board (BPK) to use by BPK
in the BPK audit process if required. From the audit results, auditors provided
opinions or recommendations for government for proper policy makings.
Keywords : correlation, monitoring, APIP, Audit Board (BPK),
accountability.1522011037 MUHAMMAD FADEL NOERMANfadelnoerman@yahoo.co.id2017-12-15T07:43:43Z2017-12-15T07:43:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/29305This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/293052017-12-15T07:43:43ZPERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
TERHADAP TERDAKWA YANG TURUT SERTA MELAKUKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan No.11/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)Korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan sosial
dan politik, atau bahkan berubah merusak sendi-sendi kemanusiaan yang telah
dibangun bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut dirumuskan permasalahan mengenai
alasan hakim memutus menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang turut serta
melakukan tindak pidana korupsi dan unsur-unsur turut serta melakukan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam Putusan No.11/Pid.sus-
TPK/2016/PN.Tjk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sifat,
bentuk dan tujuannya adalah penelitian deksriptif dan problem identification, yaitu
mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturanperaturan
atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan
teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan diperoleh
simpulan bahwa Majelis Hakim menyatakan terdakwa Tauhidi telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama
dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Tauhidi pidana penjara selama 1
(satu) tahun 2 (dua) bulan serta denda sejumlah Rp.50.000.000,00. Perbuatan
terdakwa Tauhidi termasuk perbuatan turut serta. Terdapat syarat dalam bentuk
mereka yang turut serta, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan
keinsyafan bersama dengan memanfaatkan kewenangan yang ada pada diri Tauhidi.
Saran dalam penelitian ini adalah 1)Sebaiknya hakim menjatuhkan pidana yang lebih
berat agar dapat memberikan efek jera, 2)Sebaiknya untuk dapat terpenuhinya unsur
turut serta perlu ada ukuran yang baku sehingga terpenuhi unsur-unsur perbuatan
pidana yang disebut dengan turut serta.
Kata Kunci: Pertimbangan hukum, hakim, turut serta, korupsi
abstract
Corruption is an extraordinary crime, which can damage the joints of social and
political life, or even change the damaging joints of humanity that this nation has
built. Based on the above matters, it is formulated a matter of the reasons for the
judge to decide upon the imposition of a criminal defendant against the defendant
participating in the criminal act of corruption and the elements involved in
committing a criminal act of corruption committed jointly in Decision No.11 /
Pid.sus-TPK / 2016 / PN.Tjk.
This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. Its nature, its
form and its purpose is descriptive research and problem identification, that is
identifying emerging problem then explained based on applicable rules or legislation
and supported by base of theory related to research. Data analysis method used in
this research is qualitative.
Based on the result of the research and the discussion that has been done, it is
concluded that the Panel of Judges stated that the defendant Tauhidi has been proven
legally and convincingly guilty of committing a criminal act of corruption together
and imposing a criminal sanction against Defendant Tauhidi for 1 (one) year 2 (two)
months and a fine of Rp.50.000.000,00. The acts of the accused Tauhidi included acts
of participation. There is a requirement in the form of those who participate, namely
the act which is done with awareness and conformity together by utilizing the
authority that is in the self Tauhidi.
Suggestions in this research are 1)Should the judge impose a heavier penalty in order
to provide a deterrent effect,2) It is better to be able to fulfill the elements participate
in need of a standard size so that fulfilled elements of criminal act called by
participating.
Keywords: Legal considerations, judges, participation, corruption1522011016 RIZKI OKTAVIAo.rizki@yahoo.co.id2017-10-09T07:43:13Z2017-10-09T07:43:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/28235This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/282352017-10-09T07:43:13ZPENERAPAN ASESMEN TERPADU DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAH GUNA NARKOTIKAABSTRAK
Undang – Undang Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Dalam penegakan hukumnya, penyalah guna narkotika tidak serta merta direhabilitasi tetapi terlebih dahulu harus melalui proses asesmen terpadu. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan asesmen terpadu dalam penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika dan mengapa terjadi hambatan dalam penerapan asesmen terpadu dalam penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu dengan membaca dan mengutip dari buku-buku literatur serta wawancara kepada responden yang terdiri dari Anggota Tim Asesmen Terpadu, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang serta Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penerapan asesmen terpadu didasari adanya ketentuan Pasal 127 ayat (2) dan (3). Penerapannya berdasarkan Peraturan Bersama 7 (tujuh) Lembaga Negara sebagai pedoman teknis pembentukan dan bekerjanya Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Dokter untuk mengidentifikasi taraf kecanduan serta Tim Hukum guna menyelidiki keterlibatan penyalah guna dengan jaring peredaran narkotika. Penerapan asesmen terpadu menghasilkan rekomendasi mengenai rencana penempatan ke dalam instalasi rehabilitasi yang juga menjadi dokumen persidangan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Hambatan yang terjadi pada umumnya disebabkan faktor penegak hukum yang masih memiliki perbedaan persepsi dalam menentukan penerapan asesmen terhadap penyaalahguna narkotika serta faktor sarana dan prasarana yang dimiliki pada tiap BNNP masih terbatas.
Saran penulis, hendaknya penerapan asesmen terpadu menjadi inisiatif dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika. Kemudian, BNN agar memprioritaskan pengadaan laboratorium uji dan instalasi rehabilitasi di setiap daerah dengan pertimbangan agar mempermudah kerja tim asesmen terpadu serta untuk mengurangi over kapasitas daya tampung penjara. Selain itu, penyalah guna narkotika lebih dini ditempatkan ke dalam instalasi rehabilitasi agar pemulihannya dapat segera tercapai serta lekas terbebas dari ketergantungan narkotika
Kata kunci : Penerapan, Asesmen Terpadu, Penyalah Guna Narkotika.
ABSTRACT
The Narcotics Act aims to ensure the regulation of medical and social efforts for addicts and narcotic abuser. In law enforcement, a narcotic abuser could not suddenly be rehabilitated, but should through an integrated assessment process at first. The problem in this research are How is the application of integrated assessment in law enforcement against narcotic abuser and why there are some obstacles in the application of an integrated assessment in law enforcement against narcotic abuser.
This research uses normative juridical and empiric juridical approach. The normative juridical approach by reading and quoting from literature books, while the empiric juridical approach by interviewing some respondents. The respodent of this research consist of Integrated Assessment Team Member of Lampung Province National Narcotics Board, General Attorney of Bandar Lampung District Attorney, Judge of Tanjung Karang District Court and lecturer from Law Faculty of Lampung University.
Based on research and study, The implementation of the integrated assessment based on the provision in clause 127 article (2) and (3) which requires the judge to observe this articles in deciding cases against narcotic abuser. The implementation based on the Joint Regulation of 7 (seven) State Institutions as a technical guidance for Integrated Assessment Team which consist of Medical Team to identify its addiction level and also Legal Team to indentify its involvement in narcotics networking. The result of integrated assessment process is a recommendation about placement plan into rehabilitation institution that also become a court documents as a consideration for a judge to make a verdict. The obstacles that occur generally caused by different perceptions by the officer to determine the integrated assessment implementation and also the limitation of facilities and infrastructure which owned by each BNNP as the other factor.
The author advice is the implementation of integrated assessment should become an initiative in law enforcement against narcotic abuser. Then, BNN should make the procurement of laboratories and rehabilitation instalation in every region as a priority, it’s considerably to facilitate integrated assessment team in working and also to reduce over capacity in prison system. Beside that, by placing the narcotic abusers earlier in rehabilitation instalation, they can recover immediately and free from narcotic dependancy.
Keywords : Implementation, Integrated Assessment, Narcotic Abuser1522011066 Rama Manggala Utama Putrarama_utama@gmail.com2017-08-11T04:39:59Z2017-08-11T04:39:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/27848This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/278482017-08-11T04:39:59ZANALISIS HUKUM TERHADAP KONTRAK PEMBUATAN WEBSITE
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)ABSTRACT
Website is an important part in e-commerce activities so that now many emerging
web site development services or web development both individuals and
companies. The problems in this thesis are: How is the model of juridical
characteristic of cooperation contract of website creation between CV. Gink
Technology and the client. What is the legal relationship in the cooperation
contract between CV. Gink Technology and the client. How is the dispute
settlement agreed by the parties in the cooperation contract agreement between
CV. Gink Technology and the client.
This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. The type of
data used is primary data and secondary data. Primary data obtained from
interview and secondary data sourced from literature study.
The results showed that the model of juridical characteristic of cooperation
contract of website creation between CV. Gink Technology and the client is an
unnamed contract, in the contract there are characteristics of the agreement arising
under the agreement of the parties to bind for the common purpose which is the
agreement of the interaction of the parties. Legal relationship in the cooperation
contract between CV. Gink Technology and the client, the legal relationship
arising out of a contract which gives birth to the rights and obligations of the
parties in the contract up to the expiry of the contract by referring to the internal
provisions of the CV. Gink Technology No. 023 / KKW-001 / GINKTECH / X /
2016 as well as the provisions of Article 1338 paragraph (1) of the Civil Code as
well as the provisions in Article 18 of Act Number 19 of 2016 regarding
Information and Electronic Transactions. Settlement of disputes agreed by the
parties in the cooperation contract agreement between CV. Gink Technology and
the client agree to settle the matter by deliberation and kinship and if the
settlement by consensus and kinship does not reach agreement, the Parties agree
to settle the law by applying the Consumer Dispute Settlement.
The suggestion in this research is that in the formation of cooperation contract of
website creation, the parties must pay attention to matters regulated in the
legislation, so that the cooperation contracts are made have the force of law and
have the function as it should.
Keywords: Contract, Website Creation, Information, Electronic Transaction.
ABSTRAK
Website merupakan bagian penting dalam aktivitas e-commerce sehingga saat ini
banyak bermunculan jasa pembuatan website atau web development baik
perorangan maupun perusahaan. Permasalahan dalam tesis ini adalah:. Apakah
hubungan hukum dalam kontrak kerjasama antara CV. Gink Technology dan
pihak klien. Bagaimanakah model karakteristik yuridis kontrak kerjasama
pembuatan website antara CV. Gink Technology dan pihak klien Bagaimanakah
penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak dalam perjanjian kontrak
kerjasama antara CV. Gink Technology dan pihak klien.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder bersumber dari studi
pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Hubungan hukum dalam kontrak kerjasama
antara CV. Gink Technology dan pihak klien yakni hubungan hukum yang lahir
dari suatu kontrak yang melahirkan adanya hak dan kewajiban para pihak dalam
kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak dengan berpedoman pada ketentuan
internal CV. Gink Technology Nomor 023/KKW-001/GINKTECH/X/2016 dan
juga ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata serta Ketentuan dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Model karakteristik yuridis kontrak kerjasama pembuatan website
antara CV. Gink Technology dan pihak klien yakni merupakan kontrak tidak
bernama, dalam kontrak terdapat karakteristik perjanjian yang timbul berdasarkan
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan untuk tujuan bersama yang merupakan
kesepakatan dari interaksi para pihak Penyelesaian sengketa yang disepakati para
pihak dalam perjanjian kontrak kerjasama antara CV. Gink Technology dan pihak
klien yakni sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan
kekeluargaan dan apabila penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan
tidak mencapai kesepakatan maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikannya
secara hukum yang berlaku melalui Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya dalam pembentukan kontrak
kerjasama pembuatan website para pihak harus memperhatikan hal-hal yang diatur
dalam perundang-undangan, agar kontrak kerjasama yang dibuat mempunyai
kekuatan hukum dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya.
Kata Kunci: Kontrak, Pembuatan Website, Informasi, Transaksi Elektronik1422011035 Filuzil Fadli Adityafiluziladitya@gmail.com2017-08-11T02:34:46Z2017-08-11T02:34:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/27196This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/271962017-08-11T02:34:46ZANALISIS HUKUM TERHADAP RESTRUKTURISASI PERJANJIAN KREDIT DALAM PERHATIAN KHUSUS (Studi Kasus pada PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Bandar Jaya Unit Haduyang Ratu)
ABSTRAK
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank memiliki fungsi utama sebagai lembaga perantara keuangan antara kelompok yang memiliki kelebihan dana dengan kelompok yang kekurangan dana. Penyaluran dana yang sering dilakukanoleh bank adalah dalam bentuk kredit. Penyaluran kredit yang tidak tepat akan menimbulkan kredit bermasalah. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/10/UPPB tanggal 12November 1998, memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit apakah kredit yang diberikan bank termasuk kredit performing loan (tidak bermasalah) atau non performing loan (bermasalah), yaitu kredit lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet.Kredit dalam perhatian khusus termasuk dalam golongan kredit performing loan, namunjikatidakdilakukantidakansecaracepatdantepatakanmasukkedalamgolongankreditnon performing loan (bermasalah). Olehkarenaitu, perludilakukantindakansecaracepatdantepat, salahsatunyadenganmelakukanrestrukturisasikredit.Permasalahandalampenelitianiniadalah:(1) Bagaimana pelaksanaan dananalisishukumterhadaprestrukturisasi perjanjian kreditdalam perhatian khusus pada PT.Bank Rakyat Indonesia,TbkCabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu ? (2) Bagaimana akibathukumterhadaprestrukturisasiperjanjiankreditdalamperhatiankhususpada PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk.Cabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu ?
Metodepenelitian yang digunakanadalahpendekatanyuridisnormatifdanyuridisempiris.Teknikpengumpulan data dilakukandenganstudipustaka, dokumentasi, danwawancara, sedangkanuntukpengolahan data dilakukandenganediting, coding, dananalisis data.NarasumberpenelitianiniadalahKepala Unit BRI HaduyangRatu, AMBM BRI Kanca Bandar Jaya, danLegal Officer BRI Kanwil Lampung.
Hasilpenelitiandiketahuibahwapelaksanaanrestrukturisasiterhadaprestrukturisasiperjanjiankreditdalamperhatiankhususpada PT. Bank Rakyat Indonesia, TbkCabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatudilakukandalambeberapatahapan, yaitu Prakarsa RestrukturisasiKredit, NegosiasidenganDebitur, EvaluasidanAnalisis, PutusanRestrukturisasiKredit, DokumentasiRestrukturisasiKredit, danPengawasanRestrukturisasiKredit. Undang-UndangNo. 10 Tahun 1998 tentangPerbankanmerupakansumberhukumutamaperbankan di Indonesia.Selainitu,peratutanmengenaipenyalurankreditjugadiaturdalamKUHPerdata, khususnyaPasal 1243, yang memuatperaturanmengenaiakibat yang diterimabagidebitur yang melakukanwanprestasiterhadapkreditnya, Pasal 1267 yang berisitentanghakkrediturakibatwanprestasi, danPasal 1244 mengenaikebijakanrestrukturisasikredit.Analisishukumrestrukturisasiperjanjiankreditdalamperhatiankhususpada PT. Bank Rakyat Indonesia, TbkCabangBandarjaya Unit HaduyangRatudilakukansesuaidenganPasal29 danPasal30 UndangUndangNomor 10 Tahun 1998 tentangPerbankansertaPasal 1243,Pasal 1267,Pasal 1244 KUHPerdata.
Akibathukumpelaksanaanrestrukturisasiperjanjiankreditdalamperhatiankhususadalahtimbulnyakonsekuensibatalnyaperjanjiankreditawal yang telahdisepakati, danmembatalkansegalahakdankewajibanbagi BRI Unit HaduyangRatuselakukrediturdan Emi Rahayuniselakudebitur.Selainitu, jaminan yang telahdiikatHakTanggunganmemilikiakibathukumtersendiri. Bagi debitur, konsekuensinya adalah adanya negative covenant( klausa negatif) sedangkan bagi kreditur, bank menjadi kreditur preferent.
Kata Kunci: Restrukturisasi Kredit, Perjanjian Kredit Dalam Perhatian Khusus. PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk.
ABSTRACT
Banking institutions are the core of the financial system of each country. The Bank has a primary function as a financial intermediary between groups with excess funds and underfunded groups. Improper lending will cause a bad credit or bad loans. Indonesian Bank through Documents Indonesian Bank No. 3/10/UPPB on November 12th 1998, characterized credit quality what the credit performing loan is or non performing loan, they are; active credit, in special attention, substandard inactive credit. Special attention credit, althought categorized as non performing loan, if it is not executed properly and quickly can be categorized as non performing loan. Therefore, action needs to be done quicly and precisely, that is restructuring credit. The problems of the research are: (1) How does the law implementation and analysis towards restructuring credit agreement in a special attention at PT. Bank Rakyat Indonesia, TbkCabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu ?(2) How does effect law towards restructuring credit agreement in special attention at PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk, Cabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu ?
The Research method is normative juridical approach and empirical juridical approach by analytical descriptive approach. Data collecting techniques was done by library study, documentation, and interview, data processing was done by editing, coding and data analysis. Source of this research is the head of BRI HaduyangRatu, AMBM BRI Kabca Bandar Jaya, and Legal Officer BRI Kanwil Lampung.
The result of research shown that the implementation of restructuring credit apreement in special attention at PT Bank Rakyat Indonesia, TbkCabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu was done in some stages, they are Credit Restructuring Initiative, Negotiations with Debtor, Evaluations and Analysis, Credit Restructuring Decision, Credit Restructuring Controling. The Law No. 10 year 1998 stated that Banking is main source of law banking in Indonesia. Besides that, the regulations of credit distribution was managed in KUHP civil, especially article 1243, which stated the regulations the consequence to the sebtor which default towards their credit. Article 1267 stated that the rights creditors due to default and article 1244 stated that credit restructuring policy. Legal analysis of restructuring credut agreement in special attention at PT Bank Rakyat Indonesia, TbkCabang Bandar Jaya Unit HaduyangRatu which was execute according to the Article 29 and 30 Law No. 10 Year 1998 stated banking and Article 1243, 1267, 1244 KUHP civil.
The effects of law implementation of restructuring credit agreement in special attention leads to the consequences of cancellation of credit agreement early, and cancelling all rights and obligations for BRI Unit HaduyangRatu as creditors and Emi Rahayuni as Debtor. Beside that, guarantee that has been tied rights dependents have the legal consequences of its own. To debtor, consequences in negative covenant but to creditor, bank can be preferent creditor.
Keywords: Restructuring Credit, Credit Agreement in Special Attention, PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk.
1122011049 Ucok Parulianth Simamoralianmora85@gmail.com2017-08-03T07:12:54Z2017-08-03T07:12:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/27706This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/277062017-08-03T07:12:54ZPERSPEKTIF POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP
RANCANGAN UNDANG – UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI TINGKAT PEYIDIKANABSTRACT
The Corruption Eradication Commission (KPK) is an independent state institution
in carrying out its duties and authorities. Revision of Act Number 30 Year 2002
regarding the KPK is considered public will weaken the role and function of the
Corruption Eradication Commission in eradicating corruption. The problems in
this thesis are: How is the political perspective of criminal law against the Draft
Law on Corruption Eradication Commission level? What are the provisions that
should be used by the Corruption Eradication Commission at the level of
investigation.
This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. The type of
data used is primary data and secondary data. Secondary data obtained from
library materials, and primary data is done by observation. The data obtained were
analyzed by qualitative juridical and deductively deduced conclusions.
The result of the research shows that the political perspective of criminal law
against KPK of investigation level is by the existence of several things in
harmonization, rounding, and stabilizing the conception of KPK Bill which
includes the change of nomenclature, phrase and authority of KPK at the level of
investigation namely the establishment of supervisory board which interferes
independence in enforcement The KPK law, the KPK law led to the emergence of
dualism KPK, KPK bill led to loss of independence in conducting recruitment of
investigators and investigators, the KPK Bill provides consequences only KPK
investigators who come from the police and prosecutors can conduct
investigations, KPK bill eliminates the existence of Article 46 paragraph (1 ) Of
the Corruption Eradication Commission Law, which is essentially a suspect's
investigation regulated in other laws (KUHAP), is not applicable under the KPK
Law, the Draft Act on the KPK of SP3. The provisions that should be used by
KPK at the level of investigation are still guided by Act Number 30 of 2002
regarding KPK, KUHAP, Act Number 31 of 1999 in conjunction with Act
Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption as the legal basis
used by KPK At the investigation level.
Suggestions in this study is that the Government and the Parliament should need
to review the legal policy in revising the KPK Law because it can potentially
weaken the KPK. KPK should still be guided by Act Number 30 of 2002,
Criminal Procedure Code, Act Number 31 of 1999 in conjunction with Act
Number 20 of 2001 in the conduct of the eradication of corruption in Indonesia.
Keywords: criminal law politics, corruption eradication commission,
investigation.
ABSTRAK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Revisi Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai publik akan memperlemah
peran dan fungsi KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Permasalahan
dalam tesis ini adalah: Bagaimanakah perspektif politik hukum pidana terhadap
Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tingkat penyidikan.
Apakah ketentuan yang sebaiknya digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi
pada tingkat penyidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka, dan data primer dilakukan dengan
observasi. Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif dan ditarik
kesimpulan secara deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif politik hukum pidana terhadap
RUU KPK tingkat penyidikan yakni dengan adanya beberapa hal pokok dalam
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU KPK yang
mencakup perubahan nomenklatur, frasa dan kewenangan KPK pada tingkat
penyidikan yaitu pembentukan dewan pengawas yang mengintervensi
independensi dalam penegakan hukum KPK, RUU KPK menimbulkan
munculnya dualisme pimipinan KPK, RUU KPK menyebabkan hilangnya
kemandirian dalam melakukan rekruitmen penyelidik dan penyidik, RUU KPK
memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan
kejaksaan yang dapat melakukan penyidikan, RUU KPK menghapus keberadaan
Pasal 46 ayat (1) UU KPK yang intinya pemeriksaan tersangka yang diatur dalam
peraturan perundangan lain (KUHAP), tidak berlaku berdasarkan UU KPK, RUU
KPK kewenangan SP3. Ketentuan yang sebaiknya digunakan KPK pada tingkat
penyidikan adalah tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK, KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai dasar hukum yang digunakan KPK pada tingkat penyidikan.
Saran dalam penelitian ini adalah Pemerintah bersama DPR hendaknya perlu
mengkaji kembali kebijakan hukum dalam merevisi Undang-Undang KPK karena
dapat berpotensi terhadap pelemahan KPK. KPK hendaknya tetap berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KUHAP, Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam melakukan
pemeberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Kata Kunci: Politik Hukum Pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi, Peyidikan.1422011080 TERRY ABDULRAHMAN Mterryabdulrahman@gmail.com2017-06-19T02:34:11Z2017-06-19T02:34:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/26999This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/269992017-06-19T02:34:11ZPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP MAKANAN DAN MINUMAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALALABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP MAKANAN DAN MINUMAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL
Oleh
DEA ASRIKA
Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah upaya pemerintah menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada masyarakat agar hak-haknya sebagai konsumen tidak dilanggar. Adapun permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah bagaimana perlindungan hukum konsumen terhadap makanan dan minuman yang tidak halal/tidak bersertifikat halal dan bagaimana sistem ganti kerugian yang diperoleh konsumen terhadap makanan dan minuman yang tidak halal/tidak bersertifikat halal.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang. Narasumber penelitian adalah Kasi Kesmavet Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan Kota Metro. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa (1) Upaya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap makanan dan minuman yang tidak halal dan/atau tidak bersertifikat halal di Kota Metro cukup maksimal. Dalam hal kehalalan suatu produk dinas pertahanan pangan, pertanian dan perternakan mempunyai peran sebagai badan yang memeriksa kandungan yang terdapat pada makanan atau minuman di rumah makan yang ada di Kota Metro. Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan secara rutin setiap minggu melakukan surveillans pada pelaku usaha pangan dan hewan baik olahan daging susu telur dan produk olahan lainnya seperti bakso, mie ayam nugget dan sosis. Kegiatan ini telah dilakukan secara rutin disetiap minggunya oleh laboratorium kesmavet kota Metro. kemudian dicek di laboratoriun ternyata hasilnya ada yang positif mengandung babi langsung dari laboratorium kesmavet melaporkan hasilnya ke dinas ketahanan pangan, pertanian dan perternakan kota metro. Dari dinas akan ditindak lanjuti oleh pengawas kesmavetnya ibu drh. Ruri Astuti. Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan pemerintah Kota Metro adalah dengan memeriksa dan mengawasi makanan olahan daging, susu, telur yang dan produk olahan lainnya yang beredar di Kota Metro. Bila pelaku usaha terbukti menggunakan bahan olahan daging babi di produknya maka pelaku usaha wajib memberi informasi bahwa produk olahannya menggunakan olahan daging babi di label/banner produk usahanya.(2) Upaya preventif yang dilakukan oleh Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perternakan berkerjasama dengan LP POM MUI terkait dengan produk olahan pelaku usaha yang menjual produk tidak halal dan/atau tidak bersertifikat halal di Kota Metro yaitu dengan melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku usaha di Kota Metro. Upaya represif yang dilakukan oleh Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perternakan berkerjasama dengan LP POM MUI terkait dengan produk olahan pelaku usaha yang menjual produk tidak halal dan/atau tidak bersertifikat halal di Kota Metro yaitu dengan memberikan hukuman atau sanksi berupa sanksi administratif yang dapat diterapkan secara berjenjang mulai dari dengan diberikan teguran/peringatan, denda sampai pada pencabutan ijin usaha.
Saran dalam penelitian ini adalah: Pemerintah dan lembaga terkait haruslah memberikan pembinaan sosialisasi secara maksimal untuk konsumen dan pelaku usaha mengenai pentingnya memberikan informasi yang jelas terkait produk yang dijual. Perlunya akses yang menunjang, aturan dan tatacara yang kuat bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, usul dan keluhan terhadap ketidak jujuran informasi oleh pelaku usaha. Peran MUI sebagai pelaksana sertifikasi halal haruslah memaksimalkan pelaksanaannya agar tidak pasif. Bagi pelaku usaha janganlah menjadi pelaku usaha“nakal” dengan memasukan bahan olahan daging babi dan tidak mencantumkan informasi yang jelas terkait komposisi produk tersebut. Pemerintah harus lebih mempublikasikan bahwa produk olahan tersebut mengandung babi pada media. Jadilah konsumen yang cerdas dengan teliti atau bertanya sebelum membeli produk.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Makanan dan Minuman, Halal.
ABSTRACT
CUSTOMER'S CONSUMER PROTECTION OF FOOD AND BEVERIFICATION OF HALAL CERTIFICATE
By
DEA ASRIKA
Legal protection of consumers is the government's effort to ensure legal certainty to give protection to the public so that their rights as consumers are not violated. The problem in writing this thesis is how the protection of consumer law against foods and beverages that are not kosher / not certified halal and how the system of compensation obtained by consumers to food and beverages that are not kosher / not certified halal.
The problem approach used is the normative juridical approach and the empirical juridical approach as a supporter. The research sources are Kasi Kesmavet Food Security, Agriculture and Livestock Office of Metro City. Data collection was done by literature study and field study.
The results of research and discussion show that (1) The legal protection efforts for consumers against food and beverages that are not kosher and / or not certified halal in Metro City is maximum. In the case of the halal of a product of the defense service of food, agriculture and animal husbandry has a role as a body that check the content contained in food or beverages in restaurants in Metro City. Food Security, Agriculture and Animal Husbandry Department regularly conducts surveillance on food and animal business perpetrators of processed egg milk meat and other processed products such as meatballs, chicken nugget noodles and sausages. This activity has been done routinely every week by Metro municipal laboratory. Then checked in laboratory was the result there is a positive direct pig containing from kesmavet laboratory reported the results to the food security service, agriculture and livestock metro. From the service will be followed up by the supervisor kesmavetnya mother drh. Ruri Astuti. Forms of legal protection by Metro City government is to check and supervise processed meat, milk, eggs and other processed products that circulate in Metro City. If the business actor is proven to use pork processed ingredients in their products, then the business actor must inform that the processed products use processed pork in the label / banner of their business products. (2) Preventive efforts undertaken by the Office of Food Security, Agriculture and Livestock in cooperation with LP POM MUI is related to processed products of business actors who sell non-halal and / or halal certified products in Metro City by conducting socialization to business actors in Metro City. Repressive efforts undertaken by the Office of Food Security, Agriculture and Livestock in cooperation with LP POM MUI associated with processed products business actors who sell products are not kosher and / or not certified halal in Metro City is by imposing penalties or sanctions in the form of administrative sanctions that can be applied Tiered from the given warning / warning, fine to the revocation of business permit.
Suggestions in this research are: Government and related institutions must provide maximum socialization for consumers and business actors about the importance of providing clear information related to products sold. The need for strong access, rules and procedures for the community to express opinions, suggestions and complaints against dishonest information by business actors. The role of MUI as the implementer of halal certification must maximize its implementation so as not to be passive. For business actors do not become a "naughty business actors" by including pork processed ingredients and do not include clear information related to the composition of the product. The government should further publicize that the processed products contain pigs in the media. Be a conscientious consumer with care or ask before buying a product.
Keywords: Legal Protection, Consumer, Food and Beverage, Halal.1422011119 DEA ASRIKAdea.asrika@yahoo.com2017-06-09T03:31:42Z2017-06-09T03:31:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/26803This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/268032017-06-09T03:31:42ZPERLINDUNGAN KONSUMEN BERKENAAN DENGAN PENJUALAN DAGING SAPI DICAMPUR DAGING BABI HUTAN (CELENG)ABSTRAK
PERLINDUNGAN KONSUMEN BERKENAAN DENGAN PENJUALAN DAGING SAPI DICAMPUR DAGING BABI HUTAN (CELENG)
Oleh
MUHTAR HAK
Perlindungan konsumen merupakan salah satu perkembangan hukum di Indonesia, hal ini dianggap perlu pada zaman sekarang ini, karena saat ini banyak sekali dijumpai kasus-kasus pelanggaran konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, contohnya adalah kasus jual beli daging sapi yang dicampur dengan daging babi hutan yang sangat meresahkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang beragama Islam. Oleh sebab itu menarik untuk dikaji bagaimana pengaturan hukum terhadap pelarangan daging babi hutan bagi umat Islam, bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang beragama Islam, bagaimana upaya pemerintah dalam menangani peredaran daging sapi dicampur daging babi, dan upaya hukum seperti apa yang bisa dilakukan oleh konsumen.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisis bahan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprehensif.
Hasil penelitian di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwasanya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sudah mengatur sedemikian rupa mengenai tata cara penjualan daging sapi dan daging babi hutan, mulai dari proses penyaluran hingga pemotongan dan sampai pada penjualan kepada konsumen agar tidak terjadi keresahan yang ditimbulkan. Akan tetapi masih ada para pelaku usaha yang nakal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga dapat dikenakan sanksi baik secara administratif, maupun pidana kepada pelaku usaha.
Saran dalam penelitian ini: Pemerintah harus lebih aktif lagi dalam menegaskan mengenai perlindungan bagi konsumen muslim terkait penjualan daging sapi dicampur daging babi hutan (celeng) dan Bagi konsumen muslim Indonesia jadi lah pembeli yang pintar (smart buyer) yang bisa berpikir sebelum membeli.
Kata Kunci: Daging sapi, daging babi hutan, konsumen, pelaku usaha dan perlindungan konsumen.
ABSTRACT
CONSUMER PROTECTION WITH REGARD TO THE SALE OF BEEF MIXED WITH BOAR
By
MUHTAR HAK
Consumer protection is one of the development of law in Indonesia, it is considered necessary at this time, because at this time there are many cases of consumer violations committed by business actors, for example is a case of buying and selling of beef mixed with boar Very disturbing Indonesian people, especially the Moslem community. It is therefore interesting to examine how the law regulates the ban on wild boar for Muslims, how the legal protection of Muslim consumers, how the government's efforts in handling the distribution of beef mixed with pork, and what kind of legal efforts that can be done by consumers.
The type of research used in this research is normative legal research, namely a study that places the norm as an object of research in this case is Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. The approach used in this study is the normative juridical approach, namely research that emphasizes secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials. The collection of legal materials begins with an inventory with the collection and organization of legal materials. Material analysis in this research is done qualitatively and comprehensively.
The results of the above research, it can be concluded that the Laws and Government Regulations have arranged in such a way about the procedure of selling beef and pork meat, ranging from the process of channeling to cutting and to the sale to the consumer in order to avoid unrest caused. However, there are still naughty business actors in order to gain the maximum benefit of violating Law Number 8 Year 1999 regarding Consumer Protection so that it can be sanctioned either administratively or criminally to business actor.
Suggestions in this study: The government should be more active in asserting the protection for Muslim consumers related to the sale of beef mixed with boar and For Indonesian Muslim consumers to be smart buyers who can think before buying.
Keywords: Beef, wild boar, consumer, producer and consumer protection.
1422011119 Muhtar Hakmuhtarhaq@gmail.com2017-06-05T06:13:43Z2017-06-05T06:13:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/26754This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/267542017-06-05T06:13:43ZEKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARI’AH NASIONALABSTRAK
Eksekusi putusan atas perkara ekonomi syari’ah yang diselesaikan pada Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) mengalami tumpang tindih kewenangan antar lembaga peradilan yakni peradilan agama, dan peradilan negeri, tumpang tindihnya kewenangan lembaga pengadilan dalam pelaksanaan putusan Basyarnas akan menyebabkan suatu ketidak pastian hukum. Adapun permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui kewenangan pengadilan agama dalam mengeksekusi putusan Basyarnas dan untuk mengetahui implementasi eksekusi putusan badan arbitrase syari’ah nasional.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis normatif adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dimana data diperoleh dari penelitian kepustakaan. Analisis data, dilakukan dengan cara melakukan penafsiran atas data yang diperoleh yang selanjutnya disimpulkan dan dideskripsikan dalam bentuk uraian kalimat yang tersusun secara sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Kewenangan untuk menyelesaikan (mengeksekusi) sengketa ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi adalah kewenangan absolut peradilan agama. Pernyataan tersebut berdasarkan pada Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dan putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 93/PUU-X/2012. Undang-Undang dan putusan MK ini memberikan kewenangan absolut kepada peradilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah termasuk di dalamnya perbankan syari’ah. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis. Eksekusi putusan Basyarnas setelah 30 hari putusan dibacakan oleh arbiter diajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama.
Kata Kunci: Ekskusi Putusan Arbitrase, Badan Arbitrase Syariah Nasional, Pengadilan Agama.
ABSTRACT
The verdict execution against Syari’ah economic case that solved by institute of national syari’ah arbitration (Basyarnas) experienced the overlapping authority intercourt. Those were religious court and district court, The overlapping authority of the court in implementation Basyarnas verdict will cause the legal insecurity. Therefore, the aims of the research were : (1) to explain and analyze how the religious court authority in executing the Basyarnas verdict was; (2) to explain and analyze how the implementation of Basyarnas verdict was.
This research used normative legal research. This research used the secondary data that obtained from library research. The analyzed data carried out by way of interpretation of the data that had been obtained, than the data would be summarized and described in narrative sentences form that arranged systematically.
The result showed that the authority for executing the Syari’ah economic case through the litigation was a religious court. It was based on article 49 alphabet(i) the Law Number 3 year 2006 concerning Amendment of the Law Number 7 year 1989 concerning Religious Court and the Law Number 21 year 2008 concerning Syari’ah Banking that gave the absolute authority to religious court in settle the economic dispute including Syari’ah banking. Settlement Syari’ah economic dispute must not contradict with the Syari’ah principle that was lex specialis derogat legi generalis principle. Therefore, after 30 days the verdict has been read by arbitrator, than submitted the appeal execution to religious court.
Key Words: Verdict Execution Arbitration, Institute Of National Syari’ah Arbitration(Basyarnas), Religious Court.
1422011094 ARISTAMA MEGA JAYAaristama75@gmail.com2017-03-16T03:51:17Z2017-03-16T03:51:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/26074This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/260742017-03-16T03:51:17ZPEMIDANAAN TERHADAP AYAH SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PENCABULAN PADA ANAK KANDUNG
(Studi Putusan Nomor: 7/Pid/2016/PT.TJK)ABSTRAK
Seorang ayah seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang terhadap anak
kandungnya, tetapi pada kenyataannya justru menjadi pelaku tindak pidana
pencabulan sebagaimana dalam Putusan Nomor: 7/Pid/2016/PT.TJK. Pemberlakuan
Undang-Undang Perlindungan Anak pada dasarnya merupakan upaya untuk
memberikan perlindungan dan keadilan bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana. Permasalahan penelitian: Bagaimanakah pemidanaan terhadap ayah sebagai
pelaku tindak pidana pencabulan pada anak kandung dan apakah pemidanaan
terhadap ayah sebagai pelaku tindak pidana pencabulan pada anak kandung telah
memenuhi rasa keadilan?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris. Prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Informan
terdiri dari Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan akademisi Fakultas
Hukum Unila. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Pemidanaan terhadap ayah sebagai pelaku tindak
pidana pencabulan pada anak kandung dalam Putusan Nomor: 7/Pid/2016/PT.TJK,
dilaksanakan dengan penjatuhan pidana selama 13 tahun penjara terhadap ayah yang
menjadi pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak kandungnya. Pemidanaan
ini kurang sesuai dengan teori tujuan pidana yaitu pidana yang dijatuhkan bukanlah
sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga
rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, sebagai pembinaan terhadap pelaku agar
tidak melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari dan sebagai pembelajaran bagi
pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak. Pidana
penjara selama 13 tahun yang dijatuhkan hakim terhadap ayah yang melakukan
tindak pidana pencabulan pada anak kandung belum memenuhi rasa keadilan,
karena tidak sesuai dengan ancaman pidana maksimal yaitu 15 tahun. Selain itu
korban dalam perkara ini adalah anak kandung pelaku, yang seharusnya
mendapatkan perlindungan dari ayahnya sebagai orang yang terdekat dengan anak,
tetapi justru dijadikan sebagai objek pencabulan.
Saran dalam penelitian ini adalah: Hakim yang menangani tindak pidana terhadap
anak di masa yang akan datang agar menjatuhkan pidana yang maksimal dan
hendaknya tetap konsisten pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, agar semakin meningkatkan
pengawasan terhadap lingkungan dan tempat bermain anak.
Kata Kunci: Pemidanaan Ayah, Pencabulan, Anak Kandung
ABSTRACT
A father should provide protection and affection towards her own child, but in fact it
becomes criminal sexual abuse, as in Decision No. 7/Pid/2016/PT.TJK. The
enactment of the Child Protection is basically an effort to provide protection and
justice for children who become victims of crime. The research problem: How is the
criminalization of the father as a criminal sexual abuse in child birth and whether
the criminal prosecution against the father as a criminal sexual abuse in biological
children have sense of fairness?
The approach used in this study is normative and empirical. Data collection
procedures performed with the literature study and field study. Informants consists
of High Court Judges and academics Tanjung Karang Unila Faculty of Law. The
data were then analyzed qualitatively.
The results showed: Criminalization of the father as a criminal on the biological
child molestation in Decision No. 7/Pid/2016/PT.TJK, carried out with criminal
punishment for 13 years in prison for father to be the perpetrator of abuse against
her own child. Criminalization is not in accordance with the theory of the purpose of
criminal ie sentence imposed is not just rnelaksanakan recompense of an evil deed,
but also rnernpunyai other purposes beneficial, as guidance to the offender from
committing criminal offenses in the future and as a lesson to others not to committed
the crime of sexual abuse against children. Imprisonment for 13 years imposed a
judge to the father who commit felony obscenity on the biological child has not
fulfilled a sense of justice, because it does not correspond to a penalty of a maximum
of 15 years. Besides the victim in this case is the child of the perpetrator, who should
receive protection from his father as the person closest to the child, but rather serve
as the object of abuse.
Suggestions in this study are: Judges handling the criminal acts against children in
the future in order to convict the maximum and should remain consistent with the
provisions of the Child Protection Act. Parents and the public in general, in order to
increase oversight of the environment and children's playground.
Keywords: Criminalization Againts Father, Molestation, Biological Child1422011006 Aditya Sukimtoaditya.sukimto@gmail.com2017-03-10T03:22:00Z2017-03-10T03:22:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/26061This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/260612017-03-10T03:22:00ZPENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA KORUPSI
MELALUI KEBIJAKAN EKSEKUSI SECARA INTEGRAL
OLEH LEMBAGA KEJAKSAAN
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Metro)ABSTRAK
Kejaksaan RI mempunyai tugas dan wewenang melakukan eksekusi, namun
dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala dan hambatan khususnya dalam
melakukan eksekusi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti
perkara korupsi UUTPK Nomor 3 tahun 1971 yang mengakibatkan banyaknya
tunggakan eksekusi perkara korupsi di Kejaksaan RI. Untuk menyelesaikan
eksekusi perkara korupsi tersebut Kejaksaan melakukan upaya pengembalian
keuangan negara melalui kebijakan secara integral sehingga dapat melakukan
eksekusi pidana uang pengganti tersebut dan permasalahan dalam penelitian ini
adalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh
lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi?
(2) Mengapa terjadi hambatan pada pelaksanaan kebijakan eksekusi secara
integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam
perkara korupsi?
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif yang
selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan : (1)
Pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi khususnya yang telah
melanggar UUTPK 3 Tahun 1971 melalui kebijakan eksekusi secara Integral oleh
lembaga Kejaksaan secara hukum pidana tidak dapat dilaksanakan eksekusinya
dengan menggunakan ketentuan Pasal 18 UUTPK 31 tahun 1999 Jo. UUTPK 20
tahun 2001 karena UUTPK 3 tahun 1971 tidak mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak
pidana korupsi yang tidak dibayarkan oleh terpidana tersebut. Untuk dapat
melaksanakan eksekusinya tersebut seharusnya diatur tersendiri dengan instrumen
Undang-undang. Pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti tindak pidana korupsi khususnya yang melanggar UUTPK 3 tahun
1971 dapat terlaksana dengan baik apabila RUU perampasan aset segera
diundangkan dengan memasukkan aturan mengenai adanya kewenangan Jaksa
selaku eksekutor untuk melakukan perampasan aset terpidana korupsi maupun
ahli warisnya termasuk terpidana korupsi maupun ahli warisnya yang diputus
dengan UUTPK 3 Tahun 1971. (2) Terjadinya hambatan dalam pelaksanaan
pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi melalui kebijakan eksekusi
secara integral oleh lembaga Kejaksaan khususnya yang diputus berdasarkan
UUTPK 3 tahun 1971 dikarenakan tidak adanya pengaturan yang mengatur
mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti didalam UUTPK 3 tahun 1971 tersebut sehingga Jaksa selaku
Eksekutor tidak dapat melaksanakan eksekusi pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti tersebut menggunakan instrumen Pasal 18 UUTPK
saat ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi
Jaksa selaku eksekutor untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana maupun ahli
warisnya yang secara nyata tidak mampu melakukan pembayaran uang pengganti
tindak pidana korupsi tersebut.
Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Dalam upaya pengembalian keuangan
negara melalui eksekusi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang
pengganti UUTPK 3 tahun 1971 disarankan menempuh jalur Perdata baik secara
litigasi maupun dengan cara non litigasi (2) agar Pemerintah RI segera
mengundangkan RUU perampasan aset guna mempermudah Jaksa selaku
Eksekutor untuk melakukan eksekusi pidana uang pengganti dalam perkara
korupsi UUTPK 3 tahun 1971. (3) agar Pemerintah RI membuat kebijakan
dengan menggunakan konsep pengampunan untuk melakukan pemutihan terhadap
perkara pembayaran uang pengganti bagi terpidana yang diputus dengan UUTPK
3 tahun 1971 yang secara nyata tidak mampu untuk membayar uang pengganti
tindak pidana korupsi tersebut.
Kata Kunci : Eksekusi, Keuangan Negara, Korupsi, Kejaksaan.
ABSTRACT
The Prosecutor of the Republic of Indonesia has the duty and authority to execute,
but in practice there are still obstacles and barriers, particularly in the execution of
criminal punishment in the form of additional compensation payments corruption
UUTPK No. 3 of 1971 which resulted in the number of backlog cases of
corruption in the execution of the Prosecutor. To solve the problem of corruption
is execution Attorney efforts financial returns through state policies integrally so
as to execute a criminal compensation and the problems in this study were (1)
How does the implementation of integrally execution policy by the prosecutor’s
agencies for state financial return in corruption case? (2) Why the barriers on the
implementation of integrally execution policy policies for state financial return in
corruption case ?
This research used normative juridical and juridical empirical approach. Then the
data was analyzed qualitatively the conclusion was drawn that is inductive.
Based on the results of research and discussion, we can conclude: (1) Return on
financial corruption in the country that have been particularly violated UUTPK 3
of 1971 through the execution policy for the agency Integral Prosecutor for
criminal law can not be implemented with the execution using the provisions of
Article 18 UUTPK 31, 1999 Jo. UUTPK 20, 2001 because UUTPK 3 1971 does
not regulate the procedure for execution of an additional sentence in the form of
payment of compensation of corruption that are not paid by the convicted person.
To be able to carry out the execution should be governed by a law instrument. The
implementation of additional executions for compensation of corruption,
especially in violation UUTPK 3 1971 can be as good as an asset forfeiture bill
enacted by inserting immediately rule on the authority of the Attorney as
executor, to seize the assets of convicted of corruption and their heirs, including
convicted of corruption and his heirs decided to UUTPK 3 year 1971. (2) the
obstacles in the implementation of financial returns in the country through
corruption policy execution by the integral institutions, especially Attorney
decided by UUTPK 3 1971 due to a legal vacuum in the regulation on the
procedure for execution additional payments in the form of criminal restitution in
UUTPK 3 1971 until prosecutors as executor is unable to perform executions in
the form of an additional payment of compensation using the instrument of Article
18 UUTPK today. Coupled with the lack of technical guidance and
implementation of Attorney as executor to carry out the execution of the
convicted person or his heirs are expressly not be able to do for compensation of
corruption is.
Suggestions in this research are: (1) In an effort to return the country through the
financial execution of criminal punishment in the form of an additional payment
of compensation UUTPK 3 1971 suggested pursue both civil litigation and nonlitigation
by (2) to the Government of Indonesia immediately enact a bill of
foreclosure assets to make it easier for prosecutors as executor to execute criminal
restitution in corruption cases UUTPK 3 1971. (3) to the Government of
Indonesia to make policy by using the concept of forgiveness to the bleaching of
the payment of compensation for prisoners who decided to UUTPK 3 1971 for the
real can not afford to pay cash instead of corruption is.
Keywords: Execution, State Finances, Corruption, Prosecutor.1522011099 LUTFI FRESLY lutfifresly@gmail.com2017-03-06T07:26:14Z2017-03-06T07:26:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25983This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/259832017-03-06T07:26:14ZPENEGAKAN HUKUM OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
(PPNS) KEHUTANAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGERJAAN
KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH di PROVINSI LAMPUNGABSTRAK
Tindak Pidana Pengerjaan Kawasan Hutan secara tidak sah merupakan suatu
kejahatan yang berdampak pada kerusakan pada ekosistem dan sumber daya alam
di kawasan hutan sehingga harus dilaksanakan penegakan hukum secara optimal
dan salah satu penyidik yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum
tersebut adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan. Permasalahan
penelitian ini adalah : Bagaimanakah Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Pengerjaan Kawasan Hutan Secara Tidak Sah oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Kehutanan? Mengapa terjadi hambatan dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Pidana Pengerjaan Kawasan Hutan Secara Tidak Sah?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,
Prosedur Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Data dianalisis secara kualitatif guna memperoleh simpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan Penegekan
hukum pidana terhadap tindak pidana pengerjaan kawasan hutan secara tidak sah
dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) dengan mengajak masyarakat untuk mengikuti program
Hutan Tanaman Rakyat dan Penegakan Hukum Refresif adalah Upaya Terakhir
yang diambil oleh penyidik. Faktor-Faktor yang menghambat proses penegakan
hukum pidana terhadap tindak pidana pengerjaan kawasan hutan secara tidak sah
yaitu penyidik PPNS yang berpotensi menyalahgunakan kewenangan diskresi,
lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum, Aktifitas perambahan yang
dilakukan dalam kawasan hutan saat ini menjadi tidak diatur baik di dalam UU
No 41 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, Budaya
hukum yang ada dimasyarakat masih lemah dan keterbatasan personel, sarana,
prasarana dalam penegakaan hukum yang dilakukan oleh PPNS.
Saran penelitian ini adalah : Sosialisasi tentang Program Hutan Tanaman Rakyat
harus lebih ditingkatkan dan adanya ketegasan dari aparat penegak hukum apabila
ada masyrakat yang tidak mau mengikuti program tersebut.. Lembaga Eksekutif
dalam hal ini Pemerintah dan Lembaga Legislatif dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Kehutanan
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Tindak Pidana Kehutanan, PPNS.
ABSTRACT
Crime Working Forest Zone illegally is a crime that affects the damage to
ecosystems and natural resources in forest areas should be carried out law
enforcement optimally and one of the investigators who have authority in law
enforcement is a civil servant investigators (investigators) Forestry. The research
problem is: How Law Enforcement Against Crime Working Forest Zone
Unlawfully by civil servant investigators (PPNS)? Why the resistance in Criminal
Law Enforcement Crime Working Forest Zone Unlawfully?
This study uses the approach of juridical normative and empirical, procedure data
were collected by library research and field study. Data were analyzed
qualitatively in order to obtain conclusions.
Based on the results of research and wetting can be concluded enforcement of the
criminal law of the offenses workmanship forest areas illegally conducted by
Investigator Indonesian National Police and Civil Servant Investigators
(investigators) to invite the community to join the program Plantation Forest and
Law Enforcement refresif is effort Recently the taken by investigators, Factors
which could hinder the criminal enforcement against criminal acts workmanship
forest areas illegally investigators are investigating potential misuse of
discretionary authority, lack of coordination between enforcement agencies,
Activity encroachment into forest areas now be set either in the Act No. 41 of
1999 and Law No. 18 Year 2013, Existing legal culture in society is still weak
and limited personnel, facilities, infrastructure in penegakaan law made by the
investigators.
Suggestion of this research are: Socialization of the Forest Plantation Programme
should be further improved and the firmness of the law enforcement officers when
there is society that does not want to attend the program .. Executive Institute in
this regard the Government and the Legislature in this case the House of
Representatives to revise the Law Law Number 18 of 2013 on the Prevention and
Eradication of Forest destruction
Keywords: Law Enforcement, Crime Forestry, investigators.1422011023 Dedi Setiadisetiadid1524@gmail.com2017-02-28T06:31:24Z2017-02-28T06:31:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25845This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/258452017-02-28T06:31:24ZANALISIS PRAKTIK PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI PADA TINGKAT BANDING
STUDI DI PENGADILAN TINGGI TANJUNGKARANG)ABSTRAK
Penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding tidak berjalan
dengan maksimal. Kendala tersebut dikarenakan proses penanganan perkara tidak
berjalan sesuai dengan rancang bangunnya, baik dalam proses adminstrasi pengadilan
maupun pada proses pemeriksaan oleh majelis hakim sebagai ujung tombak pemberi
keadilan. Permasalahan, yaitu: bagaimanakah Praktik Penyelenggaraan dan
pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding? apakah putusan
hakim banding yang hanya melalui pemeriksaan berkas perkara, dapat mewujudkan
keadilan subtansial?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari panitera pengadilan tinggi, hakim tindak pidana korupsi, dan
jaksa. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis
data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan, bahwa praktik
penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding melalui beberapa
peroses. Pertama, Proses adminitrasi pengadilan, berjalan atau tidak pemeriksaan
perkara sangat bergantung pada administrasi pengadilan. Apabila administrasi
pengadilan tidak berjalan secara baik, maka akan berdampak pula pada kinerja hakim
dalam menangani perkara. Kedua, pemeriksaan oleh majelis hakim dalam memeriksa
perkara hanya berdasarkan berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri, dan
dilakukan secara bergantian antar majelis hakim sebelum dilakukan musawarah
untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan. Putusan hakim yang hanya melalui
pemeriksaan berkas perkara dapat mengaburkan nilai keadilan yang sesungguhnya,
dikarenakan tidak selalu berkas perkara memaparkan secara jelas fakta-fakta hukum
yang terungkap serta alasan pembanding mengajukan banding.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya pengawasan Mahkamah Agung
terhadap para pejabat di lingkungan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang lebih
ditingkatkan, sehingga para pejabat pengadilan bekerja sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan, karena berjalan atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada
subsistem di dalam pengadilan yakni administrasi pengadilan dan hakim sebagai
pemberi keadilan. Hendaknya keberadaan para Hakim Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) menekankan kinerja sebagai pemberi keadilan, bukan pelaksana undang undang.Sehingga dalam memeriksa perkara
tidak terkungkung pada kebiasaan yang
telah lama berjalan di dalam pengadilan sehingga mengaburkan nilai keadilan dalam putusannya.
Kata kuci: Praktik Penanganan Perkara, Tindak Pidana Korupsi, Banding.
ABSTRACT
Case handling corruption crimes on the level of appeals not walk with a
maximum of .Constraint was because the case handling process does not run
according to the design were square cut , either in the process of adminstrasi
court and on the process of examination by the tribunal judges as spearheads
giver of justice. Problems, namely: how practical implementation and a matter of
corruption in of appeals? if the appeal the ruling that only investigating docket, to
subtansial justice?
This study used normative juridical approach and empirical jurisdiction.
Informants consisted of a bailiff high, judge of corruption, and the prosecutor.
Data were collected by library research and field study. The data were analyzed
qualitatively.
Based on the results of research and discussion it can be concluded , that
practices of case handling of criminal acts of corruption at the rate through
several appeals process . First, the process of adminitrasi court, walking or no
examination case relied heavily on the court administration. If the administration
of the court does not run smoothly , it will be impacted on the performance of the
judge in the cases of handle. Second, examination by the judge in case is in check
only on the basis of the docket received from the district court , and undertaken in
alternately between the judge in prior to musawarah to determine the award that
will be dropped .Judicial decisions that only melaui examination docket may blur
the value of the real justice, because not always docket clearly explained the facts
law being revealed as well as the reason for comparison appeal .
Advice in this research was let supervision the supreme court to the officials in
the high court tanjung coral be improved, so that the court officials working
based on the established rules, for walking or failure law enforcement dependent
on subsystem on the court the administration court and judges to justice .Let the
presence of the judge of corruption ( tipikor ) stressed performance to justice , not
implementing the act .So that is in check matter is unbounded in a custom that is
have long walks on the court so obscure value justice in his ruling.
Keywords : Case management practices, of corruption, appeal. 1422011018 Arief Rachman Hakimariefrachman323@gmail.com2017-02-27T07:09:18Z2017-02-27T07:09:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25796This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/257962017-02-27T07:09:18ZANALISIS HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DALAM KAJIAN HAK ASASI MANUSIA
ABSTRAK
Ancaman hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dinilai masih ringan. Oleh karena ini, pemerintah melalui PerpuNomor 1 Tahun 2016 yang kemudian disahkan menjadi undang-undang, dengan ancaman hukuman menjadi maksimal 20 tahun penjara hingga hukuman kebiri. Permasalahan dalam tesis ini adalah mengapa adanya kebijakan hukumankebiri terhadap pelaku kekerasan seksual di Indonesia dan kebiri dalam kajian hak asasi manusi.
Penelitianinimenggunakanpendekatanyuridirsnormatif,yaitupendekatanyang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukumankebiri di Indonesia lahir dikarenakan terjadinya kekerasan seksual khususnya terhadap anak yang semakin meningkat. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 sebagaimana telah disahkan menjadi undang-undang tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Yang manaHukumankebirihanyaberlakupada orang dewasa, dantidakberlakuuntukanak-anak.Tujuan disahkannya Perppu ini menjadi undang-undang adalah memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Namun apabila dikaitkan dengan teori pemidanaan,hukuman kebiri hanyaberdasarkan pada pembalasanbelakadanmengesampingkanperbaikanpribadipelaku.Hukuman kebiri tidak menyelesaikanakar dari kejahatankekerasanseksualpadaanak.Hukumankebiritidaksesuaidengansistempemidanaandi Indonesiadanhukuman kebiritidaktercantumdalamPasal 10 KUHP.Hukumankebirijugamelanggarhak asasimanusia daripelakukejahatanseksualpadaanak,salahsatunyaadalahhakuntuk meneruskan keturunan.
Pada akhirnya disarankan agar Pemerintah mengkaji ulang mengenai hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual dikarenakan bertentangan dengan HAM dan tidak menyelesaikanakar dari kejahatankekerasanseksual.
Kata Kunci: Hukuman Kebiri, Kekerasan Seksual, Hak Asasi Manusia
ABSTRACT
The threat of punishment of the perpetrators of sexual violence as stated in the number 23 in 2002 as modified by the number 35 in 2014, is still considered mild. Therefore the government through perpu the number 1 in 2016, which was passed into law, with the threat of punishment to a maximum of 20 years in prison until a gelding. the problem in this thesis is why the policy of a gelding of the perpetrators of sexual violence in indonesia and emasculated in a study of human rights.
The study with the legal normative, that is the approach that uses the concept of legis the positivist claimed that the law is synonymous with the normswas created and promulgated by the institutions or the competent authorities.
The results showed that the gelding in indonesia was born because of the occurrence of sexual violence in particular against children are growing. This makes the perpu the number 1 in 2016 as has been passed into law on the second act number 2 of 2002 on child protection. Which is a neutered only applies to adults and does not apply to children. The purpose of the perpu this into law is to provide a deterrent effect for the perpetrators of sexual violence. But if associated with the theory of condemnation, a gelding is based solely on vengeance alone and put aside personal improvement. Send me a gelding didn’t solve the root of the crimes of sexual Violence of children. send me a gelding not in accordance with the penal system in indonesia and the gelding is not listed in article 10 of the criminal code. The penalty a gelding also violted human right of sex offenders in children, one of them is the right to continue the descent.
Eventually recommended that the government to review on the gelding to the perpetrators of sexual violence because contrary to human rights and not finish off the crime of sexual violence.
Keyword : A Gelding, Sexual Violence, Human Rights
1422011106 FITRI YANI fitrimhunila@gmail.com2017-02-27T04:24:02Z2017-02-27T04:24:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/25752This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/257522017-02-27T04:24:02ZDIMENSI KEGENTINGAN YANG MEMAKSA ATAS HAK PRESIDEN
DALAM PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG
(Studi Komparatif Penetapan Perppu
Masa Kemerdekaan - Pasca Reformasi)Tesis ini membahas tentang dimensi kegentingan yang memaksa dalam
penetapan Perppu sejak masa kemerdekaan hingga pasca reformasi pada kurun
waktu 1946 – 2016.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif
dengan pendekatan peraturan perundangan dan historis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menentukan perbandingan
dimensi kegentingan yang memaksa, Perppu dibuat dalam dua kategori. Pertama,
perppu yang ditetapkan sesudah TAP MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 hingga
Perppu sebelum lahirnya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 berjumlah 34
Perppu. Kedua, Perppu yang ditetapkan sesudah lahirnya Putusan MK berjumlah
5 Perppu. Perppu kategori pertama diuji melalui doktrin ahli hukum tentang unsur
kumulatif yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara yang
menimbulkan kegentingan yang memaksa. Perppu kategori kedua diuji melalui
indikator obyektif kegentingan yang memaksa dalam Putusan MK. Hasilnya
ditemukan terdapat 34 Perppu sebelum Putusan MK yang tidak memenuhi unsur
kumulatif kegentingan yang memaksa. Sedangkan 5 Perppu sesudah Putusan
MK, semuanya memenuhi indikator obyektif kegentingan yang memaksa.
Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) terhadap lembagalembaga
negara dan lembaga studi perundang-undangan yang dimiliki oleh
Fakultas Hukum, urgen kiranya untuk mereinventarisir kembali arsip yang
menyangkut peraturan perundang-undangan, khususnya Perppu; (2) wewenang
MK dalam menguji Perppu harus diatur melalui perubahan UUD 1945 oleh MPR,
sehingga memiliki landasan konstitusional yang lebih kuat.
Kata Kunci : Perppu, Kegentingan yang Memaksa.
abstract
The focus of this thesis about pressure criticality dimention in Perppu
decision since liberty period until after reformation 1946 - 2016.
This research is a normative research that use law and historical approach.
The results showed in determination about comparative of pressure
criticality dimention, Perppu is maked in two categories. First, Perppu that
decisioned after TAP MPRS RI Number XIX/MPRS/1966 until Perppu before
decision of MK Number 138/PUU-VII/2009 the totally are 34 Perppu. Second,
Perppu that decisioned after MK is decision that totally 5 Perppu. Perppu of first
category is tested with the doctrine of expert law about cumulative element that to
curve definition of emergency situation for the state that to rise pressure
criticality. Perppu of second category are tested with objective indicator of
pressure criticality in MK is decision. Resultly to find that 34 Perppu before MK
is decision is not to fill cumulative element about pressure criticality. But all of 5
Perppu after MK is decision is to fill objective indicator of pressure criticality.
Suggestions put forward in this research were: (1) for the states institution
and institution of law study in the faculty of law, urgent to collect again about
archives that relevantion with legislation, especially Perppu; (2) the authority of
MK to test Perppu must be regulated with amendment of UUD 1945 by MPR, so
to have constitutional base that more power.
Keywords : Perppu and Pressure Criticality 1322011035 RIFKA YUDHIthinktank8833@gmail.com