Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T13:10:54ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2022-03-31T18:54:33Z2022-03-31T18:54:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57177This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571772022-03-31T18:54:33ZIMPLEMENTASI HAK TERSANGKA DALAM
PENYIDIKAN KEPOLISIAN BERDASARKAN
ASAS AKUSATOR
Pelanggaran-pelanggaran tehadap formalitas-formalitas hukum acara harus
dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dengan akibat batalnya suatu
tindakan pejabat yang bersangkutan demi hukum. Pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukum acara bersifat materiel dan fundamental. Dalam hal ini mengenai
dasar penangkapan dan penahanan, mengenai hak-hak asasi tersangka, hak-hak
untuk kepentingan pembelaan, larangan melakukan tekanan terhadap tersangka
dan terdakwa untuk menjawab pertanyaan, serta larangan bagi perbuatan melawan
hukum lainnya harus lebih tegas. Berdasarkan uraian tersebut yang menjadi pokok
permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah implementasi hak tersangka
dalam penyidikan kepolisian ? Mengapa terdapat faktor pemhambat dalam
implementasi hak tersangka dalam penyidikan kepolisian ?
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mana pendekatan masalah
yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan pustaka yang erat hubungannya
dengan Permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Data yang digunakan dalam
penelitian ini bersumber pada data primer dan data sekunder. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Para penegak Hukum seharusnya lebih
mengerti tentang asas akusator dan hak-hak tersangka sehingga hak-hak tersangka
dan asas akusatoe dapat diterapkan dengan semaksimal mungkin agar tidak ada
lagi perbedaan pendapat dalam proses penerapan asas akusator. Harus adanya
pelatihan tentang asas akusator untuk penyidik agar penerapan asas akusator
berjalan dengan sebagaimana mestinya dan konsep akusator tersebut dapat
melindungi hak-hak tersangka juga dapat terwujudnya rasa keadilan terhadap
setiap tersangka. Dalam tahap penyidikan harus adanya lembaga netral yang
berfungsi untuk mengawasi kinerja penyidik dalam menerapkan asas akusator dan
dalam penerapan pemenuhan hak-hak tersangka, sehingga tidak ada laginya
kasus-kasus yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya hak-hak tersangka ataupun
asas akusator yang tak di terapkan.
Kata Kunci: Hak Tersangka, Kepolisian, Asas Akusator.
Violations of procedural law formalities must be declared as unlawful as a result of the
cancellation of an official's action for the sake of law. Violations of procedural law are
material and fundamental. In this case regarding the basis of arrest and detention,
regarding the rights of suspects, rights for the sake of defense, the prohibition of putting
pressure on suspects and defendants to answer questions, and prohibiting other acts of
law must be more assertive. Based on the description which is the main problem in this
thesis are What is the implementation of the suspect's rights in the police investigation?
Why are there obstacles in the implementation of the rights of suspects in police
investigations?
This study is a normative juridical study that discusses the problem carried out by
comparing library materials related to the discussion that will be discussed by the
author. The data used in this study comes from primary data and secondary data. The
collected data is then analyzed qualitatively.
The results of the study show that: Law enforcers should understand more about the
principle of accusator and the rights of suspects so that the rights of suspects and
akusatoe principles can be applied to the maximum extent possible so that there are no
more disagreements in the process of applying the accusator principle. There must be
training on the principle of accusator for investigators so that the application of the
accusator principle goes accordingly and the accusator concept can protect the rights of
suspects as well as the realization of a sense of justice for each suspect. In the
investigation phase there must be a neutral institution that functions to oversee the
performance of investigators in applying the accusator principle and in the
implementation of the fulfillment of the rights of suspects, so that there are no cases
relating to the fulfillment of the rights of suspects or accusator principles that are not
applied.
Keywords: Suspect Rights, Accusatoir Principle, Police Investigation. 1622011061 MUFTY ARDIAN-2022-03-31T18:54:28Z2022-03-31T18:54:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57165This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571652022-03-31T18:54:28Z
LEGALITAS PEROLEHAN DAN UPAYA HUKUM
PENGUASAAN TANAH EKS. PT ARYA DWIPANTARA
OLEH PT PERKEBUNAN NUSANTARA VII
Legalitas perolehan tanah sengketa eks. PT Arya Dwipantara oleh PT Perkebunan
Nusantara VII telah sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Alas hak
kepemilikan tanah PT Perkebunan Nusantara VII di areal eks. PT Arya
Dwipantara seharusnya dapat dijadikan sebagai dasar penegakan hukum atas
permasalahan-permasalahan tanah yang terjadi di lahan tersebut sekaligus upaya
penguasaan keseluruhan tanah yang telah dibeli atas dasar lelang, namun masih
banyak masyarakat mengklaim tanah tersebut yang mengakibatkan konflik antara
masyarakat dan pihak perkebunan terus berlangsung. Permasalahan penelitian ini
adalah: (1) Bagaimana Legalitas Perolehan dan Upaya Hukum Penguasaan Tanah
eks.PT Arya Dwipantara? (2) Bagaimana model perolehan tanah milik
PT Perkebunan Nusantara VII yang ideal dan berasas pada kepastian hukum
(legal guarantee) serta perlindungan hak kepemilikannya (property right)?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan melakukan studi
kepustakaan (Library Research) serta mewawancarai narasumber. Selanjutnya
data yang diperoleh dilakukan analisis kualitatif, yaitu hanya diambil data yang
bersifat khusus dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Adapun
landasan teori dari penelitian ini diantaranya adalah Teori Konflik dan
Penyelesaian Sengketa, Teori Kepastian Hukum dan Teori Sebab-Sebab Lahirnya
Hak.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:
(1) PT Perkebunan Nusantara VII telah mengikuti lelang yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jendral Kekayaan Negara dimana Berdasarkan Risalah Lelang
tanggal 4 Desember 2009 Nomor: 264/2009 tanah tersebut dinyatakan sah
menjadi milik PT Perkebunan Nusantara VII. Legalitas kepemilikan tanah
tersebut pula menjadi dasar putusan majelis hakim menolak gugatan masyarakat
terhadap sebagian HGU PT Perkebunan Nusantara VII, dan menyatakan seluruh
okupan yang melakukan pengelolaan lahan milik PT Perkebunan Nusantara VII
dimaksud adalah suatu perbuatan yang melawan hukum (2) Merujuk pada pola
penyelesaian permasalahan tanah lainnya di PT Perkebunan Nusantara VII
penyelesaian dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan DPRD secara aktif
dinilai cukup efektif yaitu terlebih dahulu mengedepankan penyelesaian diluar
pengadilan atau mediasi, yang selanjutnya dapat dijadikan landasan untuk
mempertahankan penguasaan tanahnya, dan terhadap masyarakat yang menolak
hasil mediasi diarahkan untuk menempuh jalur hukum.
Kata kunci : Legalitas, Perolehan, Upaya Hukum, Tanah Sengketa
Jhon Iwan Kurniawan
Legality of land acquisition disputes ex. PT Arya Dwipantara by PT Perkebunan
Nusantara VII is in accordance with applicable regulations in Indonesia. The basis
of land ownership of PT Perkebunan Nusantara VII in the ex area PT Arya
Dwipantara should be able to serve as the basis for law enforcement on land
issues that occur on the land as well as efforts to control the entire land that has
been purchased on an auction basis, but many people still claim that land has
resulted in conflicts between communities and plantations. The problems of this
study are: (1) What is the Legality of Acquisition and Ex.PT Arya Dwipantara's
Land Tenure Efforts? (2) How is the ideal land acquisition model owned by
PT Perkebunan Nusantara VII and based on legal guarantees and protection of
property rights?
This study uses a normative juridical approach by conducting library studies
(Library Research) and interviewing speakers. Furthermore, the data obtained is
carried out qualitative analysis, which is only taken data that is of a specific nature
and has to do with the problems discussed. The theoretical basis of this research
include Conflict Theory and Dispute Resolution, Legal Certainty Theory and
Theory of the Causes of Rights.
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded that:
(1) PT Perkebunan Nusantara VII has participated in an auction held by the
Directorate General of State Wealth where Based on Minutes of Auction dated
December 4, 2009 Number: 264/2009 the land was declared to be the property of
PT Perkebunan Nusantara VII . The legality of land ownership is also the basis of
the judges' decision to reject the community's claim against a portion of
PT Perkebunan Nusantara VII's HGU, and stated that all occupants managing land
owned by PT Perkebunan Nusantara VII were illegal (2) Referring to land
settlement problems others at PT Perkebunan Nusantara VII settlement by
involving the Regional Government and DPRD actively are considered to be quite
effective, namely prioritizing solutions outside the court or mediation, which can
then be used as a basis for maintaining control of their land, and for the people
who reject the results of mediation directed towards taking legal action.
Keywords: Legality, Acquisition, Legal Effort, Land of Disputes1422011052 JHON IWAN KURNIAWAN-2022-03-31T18:54:24Z2022-03-31T18:54:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57156This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571562022-03-31T18:54:24ZPENERAPAN PRIMUM REMEDIUM TERHADAP
ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)
Saat ini banyak kejahatan yang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi
juga oleh Anak dan rentang usianya 6 sampai 17 tahun, Kasus Anak yang
berhadapan dengan hukum sebagian besar berakhir pada pemidanaan, mayoritas
pelakunya adalah Anak Laki-laki . Permasalahan dalam Tesis ini adalah :
Bagaimanakah Penerapan Primum Remedium terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana, dan Mengapa Hakim menjatuhkan pidana terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan empiris. Jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh
dianalisis secara yuridis kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Penerapan primum remedium dalam
mekanisme prosesnya dilakukan melaui tahap penyidikan yang dilakukan melalui
pendekatan secara efektif dan simpatik, kemudian pada proses penuntutan dimana
dalam penuntutan dilakukan berdasarkan fakta persidangan dari keterangan saksisaksi dan keterangan terdakwa dan disesuaikan dengan tindak pidana yang
didakwakan. Selanjutnya pada tahap persidangan hakim sebelum menjatuhkan
putusan memberikan kesempatan kepada orang tua/wali/pendamping untuk
mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak. Namun terdapat hambatan yang
dihadapi aparat penegak hukum diantaranya adalah kurangnya kerjasama antar
pihak yang terlibat. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
berdasarkan Pertimbangan yuridis dan non yuridis, serta hal yang meringankan
dan memberatkan terdakwa, namun dalam pertimbangan non yuridis tidak selalu
digunakan oleh hakim, karena dilihat dari tingkat keseriusan tindak pidana yang
dilakukan oleh Anak.
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka penulis menyarankan agar Perlu bagi
penegak hukum yang meyelesaikan perkara anak untuk benar-benar memahami
asas-asas hukum, hak-hak anak serta peraturan dalam Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang adil tetapi dapat
memberikan efek jera sehingga kejahatan yang dilakukan oleh anak dapat
berkurang.
Kata Kunci : Primum Remedium, Anak, Tindak Pidana
At present there are many crimes that are not only committed by adults but also
by children and range from 6 to 17 years, the case of children dealing with most
of the law ends in punishment, most of the perpetrators of crime are boys. The
problems in this Thesis are: How is the Application of Primum Remedium to
Child as an Offender, and Why do Judge's impose criminal sanction to Child as an
Offender.
This study uses a normative and empirical juridical approach. The types of data
used are primary data and secondary data. The data obtained were analyzed
qualitatively juridically and deductively drawn conclusions.
The results of the study show that in the primum remedium application in the
mechanism of the process was carried out through the stages of investigation
carried out through an effective and sympathetic approach, then in the prosecution
process where the prosecution was carried out based on the facts of the witness
testimony and the defendant's testimony and was adjusted to the accused crime .
Furthermore, at the trial stage the judge before making a decision provides an
opportunity for parents / guardians / assistants to present things that are beneficial
to the child. However, there are obstacles faced by law enforcement officials
including the lack of cooperation between the parties involved. The basic
consideration of the judge in imposing criminal sanctions based on juridical and
non-juridical considerations, as well as things that alleviate and burden the
defendant, but in non-juridical considerations are not always used by the judge,
because it is seen from the seriousness of the crime committed by the child.
Based on the results of the Research study the authors suggest that it is necessary
for law enforcers to resolve child cases to truly understand the principles of law
and legislation relating to the settlement of child cases so as to produce judicial
decisions that are wise but can provide deterrent effects so that crimes done by
children can be reduced.
Keywords: Primum Remedium, Child, Crime 1722011017 INTAN SYAPRIYANI-2022-03-31T18:53:19Z2022-03-31T18:53:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57123This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571232022-03-31T18:53:19ZPERLINDUNGAN TENAGA KERJA TERHADAP KECELAKAAN
KERJA DI BIDANG JASA KONSTRUKSI MELALUI BPJS
KETENAGAKERJAAN DI KOTA PALEMBANG
Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap hakhak pekerja dari berbagai macam risiko yang dihadapinya dalam melakukan
pekerjaan. Pemberian perlindungan tenaga kerja juga merupakan suatu kewajban
bagi perusahaan sebagaimana amanat dari peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia. Salah satu perusahaan yang mempekerjakan pekerja dalam jumlah
yang banyak dan dengan risiko kecelakaan kerja yang cukup besar, sehingga
wajib menjadi peserta jaminan sosial adalah perusahaan yang bergerak di bidang
jasa kontruksi. PT. Hutama Karya Infrastruktur sebagai perusahaan jasa
konstruksi yang saat ini sedang membangun proyek jalan tol Palembang-Indralaya
dan melibatkan ribuan pekerja, tentunya sangat membutuhkan perlindungan dari
salah satu penyelenggara jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu BPJS
Ketenagakerjaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah Kontrak
Kerja Konstruksi yang dilakukan antara PT Hutama Karya (Pesero) dengan PT
Hutama Karya Infrastuktur telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jasa
Konstruksi?Bagaimana pemberian perlindungan pekerja PT. Hutama Karya
Infrastruktur terhadap kecelakaan kerja melalui program BPJS Ketenagakerjaan?
Bagaimana penegakan hukum bagi perusahaan jasa konstruksi yang melakukan
pelanggaran terkait kepesertaan dan ketentuan dari BPJS Ketengakerjaan?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: kontrak kerja yang dilakukan antara PT.
Hutama Karya (Persero) dan PT. Hutama Karya Infrasruktur telah sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi. Pemberian perlindungan pekerja PT. Hutama Karya Infastruktur
telah dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 di Kantor BPJS Ketenagakerjaan
Cabang Kota Palembang sebanyak 20.421 pekerja. Penegakan hukum bagi
perusahaan yang melanggar dilakukan dengan cara pembentukan petugas Wasrik
(Pengawas dan Pemeriksa) dan melakukan kerjasama dengan Kejaksaaan untuk
menindaklanjuti perusahaan yang bermasalah tersebut.
Saran penelitian, diharapkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang saat ini
dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaa diharapkan mampu mengusahakan
pemberian jaminan dengan kualitas yang lebih baik demi menanamkan kesadaran
akan pentingnya jaminan sosial bagi tenaga kerja. Serta memberlakukan segala
kebijakan dengan tegas sebagai suatu perwujudan proses kedisiplinan menuju
penyelenggaraan layanan yang bersih dan teratur sehingga tujuan Indonesia untuk
mensejahterakan rakyatnya dapat tercapai.
Kata Kunci: Perlindungan, Kecelakaan Kerja, Jasa Konstruksi, BPJS
Ketenagakerjaan
Labor Social Security is a form of protection of workers' rights from various risks
they face in their work. The provision of labor protection is also an obligation for
the employer company as mandated by legislation in Indonesia. One type of
company that employs a large number of workers and has a high risk of
workplace accidents, mandatorily forcing it to become a social security participant
is a company engaged in construction services. PT. Hutama Karya Infrastruktur as
a construction service that is currently building the Palembang-Indralaya toll road
project and involving thousands of workers, of course, is in dire need of
protection from one of the social security providers in Indonesia, Employment
BPJS. The problems in this research are Whether the construction contract that is
carried out between PT Hutama Karya and PT Hutama Karya Infrastuktur is in
accordance with the provisions of the Law on Construction Services, How to
provide protection for workers of PT. Hutama Karya Infrastruktur against
workplace accidents through the Employment BPJS program, and How law
enforcement for construction service companies that commit violations related to
participation and provisions of Employment BPJS is. The approach used in this
study is empirical normative.
The results of the study indicate that the employment contract between PT.
Hutama Karya and PT. Hutama Karya Infrasruktur is in accordance with Article
47 Paragraph (1) of Law No. 2 of 2017 concerning Construction Services. The
protection providement for workers at PT. Hutama Karya Infastruktur was
conducted on January 12, 2016 at the Office of the Employment BPJS Branch in
Palembang for as many as 20.421 workers. Law enforcement for violating
companies is done by establishing a group of Supervisor and Examiner
cooperating with the General Attorney to take actions following up the violating
companies.
It is expected that the Labor Social Security currently implemented by
Employment BPJS will be able to provide better quality of guarantees to instill
awareness of the importance of social security for workers, and enforce all
policies firmly as an embodiment of disciplinary processes towards clean and
regularly system, so that Indonesia's goals for the welfare of its people can be
achieved.
Keywords: Protection, Workplace Accidents, Construction Services,
Employment BPJS1622011051 DEWI YULIANDARI AS-2022-03-31T18:53:17Z2022-03-31T18:53:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57117This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571172022-03-31T18:53:17ZPEMENUHAN HAK KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kewajiban negara yang sudah
dilakukan dalam Pemenuhan Hak Kebebasan Berekspresi di Indonesia, yang sesungguhnya
telah di jamin dan di lindungi oleh Konstitusi sebagai Hak Asasi Manusia, di sisi lain coba
untuk di batasi bahkan di kurangi dengan berbagai cara, mulai dari pembentukan norma
hukum dalam undang–undang serta kebijakan-kebijakan politis pemerintah yang lebih
mengedepankan pendekatan kekuasaan dalam praktiknya.
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan SosioLegal yaitu penelitian hukum yang
dilakukan tidak sebatas teks, melainkan pula pendalaman terhadap konteks, yang mencakup
segala proses, misal sedari ‘law making’ (pembentukan hukum) hingga ‘implementation of la
w’ (bekerjanya hukum) pendekatan sosio-legal digunakan untuk lebih memahami masalah
yang lebih komprehensif hukum dan penerapannya
Hasil Penelitian menunjukan bahwa di Indonesia belum menjamin Kebebasan berekspresi
sepenuhnya, hal ini berdasarkan tindakan negara berperan secara aktif atau terlalu ikut
campur dalam pemenuhan hak sipol kebebasan berpendapat di muka Umum, yang
seharusnya bahwa peran negara dalam pemenuhan hak sipol termasuk didalamnya kebebasan
mengemukakan pendapat di muka umum haruslah bersifat pasif (negative righs). serta
memiliki standart ganda di dalam penegakan hukumnya, hal tersebut terlihat dari banyaknya
kasus-kasus yang di proses adalah mereka-mereka yang berada dalam barisan Oposisi.
Kata Kunci: Pemenuhan, Kebebasan, Berekspresi
This study aims to determine the extent of the obligation of the state that has been done in
fulfillment of the right to freedom of expression in Indonesia, which actually has been
guaranteed and protected by the Constitution as Human Rights, on the other hand try to in the
limit even reduced in various ways, ranging from the establishment of legal norms into laws
and political policies of government that emphasizes the power approach in practice.
This research uses SosioLegal approach is conducted legal research is not limited to text, but
also the deepening of the context, which includes all the processes, ie since 'law making'
(law-making) to 'implementation of la w' (working of the law) approach to socio- legally used
to better understand the problem more comprehensively the law and its application
Research shows that in Indonesia can not guarantee freedom of expression at all, it is based
on the actions countries take part actively or overly interfere in the fulfillment of the right
sipol freedom of expression on the face of the General, who is supposed that the state's role in
the fulfillment of the right sipol including the freedom of expression in the face general
should be passive (negative righs). as well as having double standards in law enforcement, it
is evident from the number of cases in process are those who are in the opposition ranks.
Keywords: Compliance, Freedom of Expression,1722011049 SUHENDRI-2022-03-31T18:53:15Z2022-03-31T18:53:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57112This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571122022-03-31T18:53:15ZANALISIS PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN DAN TINDAK PIDANA PERCABULAN
TERHADAP ANAK
Tindak pidana persetubuhan adalah salah satu bagian dari kejahatan kesusilaan
yang dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita itu sendiri dengan memasukan
alat kelaminnya ke dalam vagina (alat kelamin wanita). Tindak pidana pencabulan
adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan seseorang
mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya
yang dapat merangsang nafsu seksual. Dalam hal ini terdapat perbandingan antara
putusan tindak pidana persetubuhan dan tindak pidana percabulan, dimana
putusan tindak pidana persetubuhan tersebut lebih rendah dibandingkan putusan
tindak pidana percabulan.putusan tersebut diantaranya putusan nomor : 72 /
Pid.Sus / 2018 / PN.Kng, putusan nomor : 170 / Pid.sus / 2016 / PN.Kng, putusan
nomor : 313 / Pid.sus / 2018 / PN.Trg, dan putusan nomor : 163 / Pid.Sus / 2015 /
PN.Kng. Permasalahan yang di teliti penulis adalah Bagaimana Perbandingan
Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana
Percabulan Terhadap Anak dengan alat Bukti Visum Et Repertum? Dan Apakah
putusan hakim terhadap tindak pidana percabulan lebih besar dibandingkan
dengan tindak pidana persetubuhan terhadap anak sudah memenuhi rasa keadilan?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan berupa data primer
dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah
kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data yang digunakan analisis data
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Perbandingan
putusan hakim terhadap tindak pidana persetubuhan dan tindak pidana percabulan
terhadap anak dengan alat bukti visum et repertum hakim dalam memeriksa suatu
perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana seperti
yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku. Dalam Visum Et
Reperetum Berdasarkan simpulan, penulis menyarankan hakim dalam memeriksa
suatu perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana
seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku, serta perlunya
kebijakan pemerintah dalam mengubah pasal persetubuhan dan pencabulan di
dalam undang-undang perlindungan anak. Agar kedua pasal tersebut tidak
disamakan penjatuhan hukumannya.
Kata kunci : Perbandingan Putusan Hakim, Pencabulan, Persetubuhan.
The crime of intercourse is one part of the crime of decency committed by a man
against the woman herself by inserting her genitals into the vagina (female
genitalia). The crime of sexual abuse is a crime that contradicts and violates a
person's modesty regarding and relating to the genitals or other body parts that can
stimulate sexual desire. In this case there is a comparison between the conviction
of sexual acts of sexual intercourse and the act of sexual immorality, where the
decision of the criminal act of sexual intercourse is lower than the decision of
sexual acts of sexual immorality. These decisions include decision number: 72 /
Pid.Sus / 2018 / PN.Kng, decision number: 170 / Pid.sus / 2016 / PN.Kng, verdict
number: 313 / Pid.sus / 2018 / PN.Trg, and decision number: 163 / Pid.Sus / 2015
/ PN.Kng. The problems examined by the author are How is the Comparison of
Judges' Decisions Against Child Cutody and Criminal Offenses with Visum Et
Repertum evidence?. And Is the Judges' decision to commit sexual abuse more
than the criminal aet of sexual intercourse with a child has fulfilled a sense of
justice?.
The problem approach in this study uses a normative juridical approach and an
empirical juridical approach, the data used are primary data and secondary data.
Data collection methods in this research are literature and field research. Analysis
of the data used qualitative data analysis.
Based on the results of research and discussion shows that the Comparison of
judges' decisions on sexual offenses and sexual offenses against children with
evidence visum et repertum judges in examining a case at trial must be more
selective, proportionate and prudent as mandated by applicable law . In Visum Et
Reperetum Based on the conclusions, the authors suggest the judge in examining
a case in a trial must be more selective, proportionate and prudent as mandated by
applicable law, as well as the need for government policy in changing the articles
of promiscuity and obscenity in the protection law. child. So that the two articles
are not equated with the sentence imposed.
Keywords: Comparison of Judge's Decisions, Sexual Abuses, Sex.1722011048 MAROJAHAN HUTABARAT-2022-03-31T08:46:29Z2022-03-31T08:46:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57107This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571072022-03-31T08:46:29ZANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TINDAKAN TANGKAP TANGAN
(Studi Menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan tindakan tangkap
tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi publik bahwa
kewenangan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan
melanggar HAM yakni melakukan tindakan yang sewenang-wenang
(unproccedur). Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana
kekuatan hukum tindakan tindakan tangkap tangan KPK jika ditinjau dari aspek
KUHAP dan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan tindak pidana Korupsi? Bagaimana kriteria suatu dugaan tindak
pidana menggunakan tindakan tangkap tangan? Bagaimanakah idealnya KPK
dalam melakukan tindakan tangkap tangan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas
hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum
di lapangan
Adapun hasil penelitian yang didapatkan kekuatan hukum tindakan tangkap
tangan KPK jika di tinjau dari aspek KUHAP dan UU KPK sebenarnya tindakan
tindakan tangkap tangan KPK tidak memiliki dasar hukum kuat dengan adanya
perubahan undang-undang KPK yang baru ini dinyatakan dalam Pasal 12 B UU
KPK bahwa penyadapan sudah dibatasi dalam hal ini penyadapan dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas, Kriteria suatu dugaan
tindak pidana menggunakan tindakan tangkap tangan disebabkan tipe atau kualitas
sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana oleh sebab itu
perlunya dilakukan tindakan tangkap tangan, dan Ideal nya KPK dalam
melakukan tindakan tangkap tangan dibutuhkan sistem administrasi perkara yang
baik mulai dari tahap pengumpulan data dan informasi yang berpijak pada sumber
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, harus sesuai di dalam peraturan
perundang-undangan.
Adapun saran yang dapat dilakukan adalah sebaiknya dasar hukum tindakan
tangkap tangan harus segera dimasukkan di dalam instrument pasal dalam
undang-undang KPK agar kewenangannya pun tidak dipermasalahkan
Kata Kunci: Kewenangan, KPK, Tindakan Tangkap Tangan
The ambiguity regarding the mechanism and limits of the authority of the
arresting operations carried out by the corruption eradication commission raises
public assumption that the authority exercised by the corruption eradication
commission has violated the law and even violated human rights, namely taking
arbitrary actions (unprocedure). The problem in writing this thesis is How can the
legal force of actions be caught red-handed by the Corruption Eradication
Commission if viewed from the aspect of the Criminal Procedure Code and Law
Number 19 Year 2019 Concerning the Corruption Eradication Commission?
What are the criteria for an alleged crime using the act of being caught redhanded? What is the ideal way for the Corruption Eradication Commission to
carry out acts of arrest?
This study uses a Normative and Empirical Juridical approach. Normative
research is conducted on things that are theoretical principles of law, while the
empirical approach is carried out to study the law in the field.
The research results obtained by the legal force of the act of being caught in the
Corruption Eradication Commission if viewed from the aspect of the Criminal
Procedure Code and Law Number 19 Year 2019 Regarding the Corruption
Eradication Commission actually the act of being caught red handed by the
Corruption Eradication Commission does not have a strong legal basis with
changes in the law The new Corruption Eradication Commission stated in Article
12 B of Law Number 19 year 2019 concerning Corruption Eradication
Commission that wiretapping has been limited in this case wiretapping is carried
out after obtaining written permission from the Supervisory Board. Criteria for a
suspected criminal act using an act of being caught red handed due to type or the
quality of the target of corruption is not a simple crime and therefore the need for
an act of being caught red-handed, and Ideally the Corruption Eradication
Commission in Conducting an act of being caught red-handed, it needs a system
of administrative administration. A good team starting from the stage of data and
information collection which is based on an accurate and reliable source of
information, must comply with the laws and regulations.
The suggestion that can be done is that the legal basis for Operation of Catching
Hands must be immediately included in the article instrument in the corruption
eradication commission law so that its authority is not at issue
Keywords: The authority, corruption eradication commission, hand catch action1622011005 FRISCA TYARA M FANHAR-2022-03-31T08:46:28Z2022-03-31T08:46:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57105This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571052022-03-31T08:46:28ZANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TINDAKAN TANGKAP TANGAN
(Studi Menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan tindakan tangkap
tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi publik bahwa
kewenangan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan
melanggar HAM yakni melakukan tindakan yang sewenang-wenang
(unproccedur). Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana
kekuatan hukum tindakan tindakan tangkap tangan KPK jika ditinjau dari aspek
KUHAP dan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan tindak pidana Korupsi? Bagaimana kriteria suatu dugaan tindak
pidana menggunakan tindakan tangkap tangan? Bagaimanakah idealnya KPK
dalam melakukan tindakan tangkap tangan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas
hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum
di lapangan
Adapun hasil penelitian yang didapatkan kekuatan hukum tindakan tangkap
tangan KPK jika di tinjau dari aspek KUHAP dan UU KPK sebenarnya tindakan
tindakan tangkap tangan KPK tidak memiliki dasar hukum kuat dengan adanya
perubahan undang-undang KPK yang baru ini dinyatakan dalam Pasal 12 B UU
KPK bahwa penyadapan sudah dibatasi dalam hal ini penyadapan dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas, Kriteria suatu dugaan
tindak pidana menggunakan tindakan tangkap tangan disebabkan tipe atau kualitas
sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana oleh sebab itu
perlunya dilakukan tindakan tangkap tangan, dan Ideal nya KPK dalam
melakukan tindakan tangkap tangan dibutuhkan sistem administrasi perkara yang
baik mulai dari tahap pengumpulan data dan informasi yang berpijak pada sumber
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, harus sesuai di dalam peraturan
perundang-undangan.
Adapun saran yang dapat dilakukan adalah sebaiknya dasar hukum tindakan
tangkap tangan harus segera dimasukkan di dalam instrument pasal dalam
undang-undang KPK agar kewenangannya pun tidak dipermasalahkan
Kata Kunci: Kewenangan, KPK, Tindakan Tangkap Tangan
The ambiguity regarding the mechanism and limits of the authority of the
arresting operations carried out by the corruption eradication commission raises
public assumption that the authority exercised by the corruption eradication
commission has violated the law and even violated human rights, namely taking
arbitrary actions (unprocedure). The problem in writing this thesis is How can the
legal force of actions be caught red-handed by the Corruption Eradication
Commission if viewed from the aspect of the Criminal Procedure Code and Law
Number 19 Year 2019 Concerning the Corruption Eradication Commission?
What are the criteria for an alleged crime using the act of being caught redhanded? What is the ideal way for the Corruption Eradication Commission to
carry out acts of arrest?
This study uses a Normative and Empirical Juridical approach. Normative
research is conducted on things that are theoretical principles of law, while the
empirical approach is carried out to study the law in the field.
The research results obtained by the legal force of the act of being caught in the
Corruption Eradication Commission if viewed from the aspect of the Criminal
Procedure Code and Law Number 19 Year 2019 Regarding the Corruption
Eradication Commission actually the act of being caught red handed by the
Corruption Eradication Commission does not have a strong legal basis with
changes in the law The new Corruption Eradication Commission stated in Article
12 B of Law Number 19 year 2019 concerning Corruption Eradication
Commission that wiretapping has been limited in this case wiretapping is carried
out after obtaining written permission from the Supervisory Board. Criteria for a
suspected criminal act using an act of being caught red handed due to type or the
quality of the target of corruption is not a simple crime and therefore the need for
an act of being caught red-handed, and Ideally the Corruption Eradication
Commission in Conducting an act of being caught red-handed, it needs a system
of administrative administration. A good team starting from the stage of data and
information collection which is based on an accurate and reliable source of
information, must comply with the laws and regulations.
The suggestion that can be done is that the legal basis for Operation of Catching
Hands must be immediately included in the article instrument in the corruption
eradication commission law so that its authority is not at issue
Keywords: The authority, corruption eradication commission, hand catch action1622011005 FRISCA TYARA M FANHAR-2022-03-29T10:35:52Z2022-03-29T10:35:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57193This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571932022-03-29T10:35:52ZMALADMINISTRASI PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA
TANAH DI BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PROVINSI LAMPUNG
Sengketa tanah merupakan salah satu masalah krusial yang dihadapi pemerintah.
Untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat akan hak atas
tanahnya, pemerintah telah menyediakan lembaga-lembaga untuk menangani
sengketa pertanahan. Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 11 Tahun 2011 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan, kewenangan penyelesaian sengketa tanah
diserahkan pada Kementerian ATR/BPN. Berdasarkan hasil kajian sistemik oleh
Tim Ombudsman Provinsi Lampung terhadap alur terindikasi maladministrasi
dalam pelayanan penyelesaian sengketa tanah di 7 (tujuh) Kantor Pertanahan di
Provinsi Lampung pada tahun 2018, ditemukan indikasi maladministrasi dalam
alur penyelesaian sengketa tanah. Indikasi maladministrasi dalam pelayanan
penyelesaian sengketa tanah dibagi dalam 2 (dua) periodisasi, yaitu periode
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan periode penyelesaian sengketa tanah di
BPN. Terdapat ketidaksesuaian antara alur penyelesaian sengketa tanah di Kantor
Pertanahan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian guna mengetahui penyebab maladministrasi, akibat
hukumnya, dan menyajikan konsep penyelesaian sengketa yang efektif dan
efisien. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Sumber data
yang digunakan adalah data sekunder. Teori hukum yang digunakan antara lain
teori sistem hukum, teori hukum responsif, dan teori fungsi hukum. Hasil
penelitian menunjukkan maladministrasi pada pendaftaran tanah untuk pertama
kali disebabkan oleh kelalaian atau ketidakkompetenan petugas yang
bertanggungjawab mengumpulkan data fisik dan data yuridis sehingga sertipikat
tanah yang diterbitkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan maupun pihakpihak
yang terlibat. Sedangkan maladministrasi pada pelayanan penyelesaian
sengketa tanah di BPN disebabkan oleh pengabaian hukum, penyelewengan
prosedur, dan penafsiran hukum untuk kepentingan sekelompok orang. Hal
tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap tindakan dan produk hukum yang
dikeluarkan oleh BPN. Maka BPN perlu merestrukturisasi sistem hukum,
optimalisasi perkembangan birokrasi, dan memelihara fungsi hukumnya.
Masyarakat disarankan untuk mematuhi peraturan hukum dan tidak melakukan
tindakan yang menyebabkan sengketa tanah, sehingga mengurangi permasalahan
sengketa tanah di Indonesia.
Kata Kunci: Maladministrasi, Sengketa Tanah, BPN.
Land disputes are one of the crucial problems facing the government. To provide
protection and justice for the people regarding their land rights, the government
has provided institutions to deal with land disputes. Since the issuance of the
Minister of Agrarian and Spatial Planning/Head of the National Land Agency No.
11 of 2011 concerning Settlement of Land Cases, the authority to settle land
disputes is submitted to the Ministry of ATR/BPN. Based on the results of a
systemic study by the Lampung Province Ombudsman Team on the indications of
maladministration in the service of land dispute resolution in 7 (seven) Land
Offices in Lampung Province in 2018, there were indications of maladministration
in the flow of land dispute resolution. Indications of maladministration in land
dispute resolution services are divided into 2 (two) periods, those are the period of
land registration for the first time and period of land dispute resolution at the
BPN. There is a mismatch between the flow of land dispute resolution at the Land
Office and the laws and regulations that govern it. For this reason, research is
needed to determine the causes of maladministration, its legal consequences, and
present an effective and efficient dispute resolution concept. The type of research
used is normative juridical approach to legislation, cases, and conceptual. The
data source used is secondary data. Legal theories used include legal system
theory, responsive legal theory, and legal function theory. The results of the study
showed that the administration of land registration for the first time was caused by
negligence or incompetence of officers responsible for collecting physical data
and juridical data so that the land certificate issued was not in accordance with the
conditions in the field and the parties involved. Whereas maladministration in
land dispute resolution services at BPN is caused by legal ignore, misuse of
procedures, and legal interpretation for the benefit of a group of people. This
results in legal consequences for legal actions and products issued by the BPN. So
the BPN needs to restructure the legal system, optimize the development of the
bureaucracy, and maintain its legal functions. The community is advised to
comply with legal regulations and not take actions that cause land disputes,
thereby reducing the problem of land disputes in Indonesia.
Keywords: Maladministration, Land Dispute, BPN.
1722011020 SHANDI PATRIA AIRLANGGA-