Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T00:08:17ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2023-01-31T02:14:19Z2023-01-31T02:14:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68588This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685882023-01-31T02:14:19ZDISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU RETARDASI MENTAL (Studi Putusan Nomor: 256/Pid.B/2019/PN.Idm dan Putusan Nomor 57/Pid.B/2021/PN.Kba)Penderita retardasi mental dapat menerima penghapusan pidana bilamana menurut penilaian hakim tidak mampu melakukan pertanggungjawaban pidana. Kendati demikian pada praktiknya penghapusan pidana bagi pelaku retardasi mental tidak berlaku mutlak. Hal ini terbukti melalui disparitas putusan pidana pelaku retardasi mental. Putusan tersebut memiliki perbedaan dalam menafsirkan ratio pertanggungjawaban pidana pelaku retardasi mental. Penelitian ini akan mengulas secara mendalam mengenai disparitas putusan pengadilan terhadap pelaku retardasi mental yang dikaitkan dengan unsur pertanggungjawaban pidana. Terdapat dua permasalahan pada penelitian ini, yaitu 1) Bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terdakwa Retardasi Mental? 2) Apa sajakah Faktor Penghambat Majelis Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Terdakwa Retardasi Mental?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan metodologi studi kasus dan perundang-undangan. Sumber datanya yaitu data kepustakaan dengan jenis data sekunder. Selanjutnya, data dikumpulkan dan diolah dengan tiga tahapan yakni evaluasi, klasifikasi, dan sistematisasi data. Terakhir, analisis data kualitatif dilakukan.
Hasil penelitian diketahui bahwa disparitas putusan pengadilan bagi terdakwa yang mengalami retardasi mental ditimbulkan oleh perbedaan pertimbangan kemampuan bertanggungjawab masing terdakwa. Disparitas tersebut mempermasalahkan perihal kasus yang sama-sama melibatkan terdakwa retardasi mental ringan namun memiliki hasil putusan yang berbeda. Faktor yang menghambat majelis hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa retardasi mental itu dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni faktor struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum penghambatnya pada validitas dan akuntabilitas pernyataan ahli kejiwaan dan psikiatrik. Substansi hukum pada ambiguitas frasa Pasal 44 Ayat (1) KUHP dan budaya hukum pada peran masyarakat dalam dunia peradilan pidana.
Kata kunci: Retardasi mental, pertanggungjawaban pidana, disparitas
abstract
People with mental retardation can receive a criminal abolition if, according to the judge's assessment, they cannot carry out criminal responsibility. However, abolishing punishment for mentally disabled perpetrators is not absolute in practice. This is proven by the disparity of illegal decisions for mentally disabled perpetrators. The verdict has a difference in interpreting the ratio of criminal liability of mentally disabled perpetrators. This study will review the disparity of court decisions against mentally disabled actors associated with elements of criminal responsibility. The problems in this study are divided into two, namely 1) What are the considerations of the Panel of Judges regarding the Criminal Liability of Defendants of Mental Retardation? 2) What are the inhibiting factors for the panel of judges in imposing a sentence on a mentally disabled defendant?
This research uses the basis of normative research methods with a case study approach and legislation. The data source used is library data with secondary data types. Furthermore, the data is collected and processed in three stages: evaluation, classification, and data systematization. Finally, the data analysis was carried out qualitatively.
The study results found that the disparity in court decisions for defendants who had mental retardation was caused by differences in consideration of the responsibility of each defendant. The discrepancy raises issues regarding cases involving defendants with mild mental retardation but with different verdicts. Factors that hinder the panel of judges in imposing criminal penalties for mentally disabled defendants are influenced by three factors, namely the legal structure, legal substance, and legal culture. The legal system hinders the validity and accountability of the statements of psychiatrists and psychiatrists. Legal meaning in the ambiguity of the phrase Article 44 Paragraph (1) of the Criminal Code and legal culture on the role of society in the world of criminal justice.
Keywords: Mental retardation, criminal liability, the disparity2022011069 AHMAD REZA GUNTOROar.guntoro1982@gmail.com2023-01-31T01:48:44Z2023-01-31T01:48:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68581This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685812023-01-31T01:48:44ZEFEKTIVITAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI TAHAP PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF (Studi di Kejaksaan Negeri Pringsewu)
Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus tetap mengutamakan prinsip-prinsip hak anak oleh karena itu perlu pendekatan keadilan restorative selalu di kedepankan. Keadilan restorative merupakan konsep penyelesaian perkara yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan pembalasan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efektivitas penyelesaian tindak pidana anak di tingkat penuntutan berdasarkan keadilan restorative yang dilaksanakan oleh KejaksaanNegeri Pringsewu, apa saja yang menjadi hambatan dalam penyelesaian tindak pidana anakdengan pendekatan keadilan restorative dalam tingkat penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu serta bagaimanakah model penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative yang efektif.
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif dan yuridis empiris, narasumber dalam penelitian adalah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Jaksa Kejaksaan Negeri Pringsewu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penyelesaian tindak pidana anak di tingkat penuntutan berdasarkan keadilan restorative yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu sudah sesuai dengan peraturan yang ada, tetapi pada pelaksanaannya pendekatan keadilan restorative pada kasus tindak pidana anak masih jauh dari kata efektif. Hambatan dalam penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative dalam tingkat penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu adalah faktor penegak hukum, Faktor Masyarakat, Faktor Kebudayaan serta Faktor sarana atau fasilitas. Rencana penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative yang efektif adalah dengan melakukan upaya dialog Bersama keluarga korban di rumah korban atau lebih dikenal dengan familly group conferencing.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Menjadikan pendekatan keadilan restorative sebagai dasar penerapan hukum atau criminal justice system terutama pada peradilan anak. (2) Perlunya penguatan dalam struktur hukum. (3) Membentuk aturan khusus terkait dengan pengawasan terhadap pelaksanaan d pendekatan keadilan restorative pada peradilan anak
Kata Kunci: Efektivitas, Perkara Pidana, Anak, Restoratif
Ramadhan Aulia 20220110282023-01-30T07:54:16Z2023-01-30T07:54:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68561This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685612023-01-30T07:54:16ZANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 24/Pid.Sus-Anak/2021/PN.TJK)
Setiap anak idealnya tumbuh dan berkembang sesuai usianya, pada kenyataannya anak
menjadi pelaku tindak pidana permufakatan jahat memiliki narkotika, seperti dalam
Putusan Nomor: 24/Pid.Sus-Anak/2021/PN.TJK, sehingga dijatuhi pidana penjara
selama 8 (delapan) bulan di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Permasalahan penelitian: Apakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana
terhadap anak pelaku permufakatan jahat memiliki narkotika pada Putusan Nomor:
24/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Tjk? Mengapa tidak diterapkan asas ultimum remedium
dalam penjatuhan pidana terhadap anak sesuai dengan tujuan pemidanaan?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris. Narasumber
penelitian terdiri dari Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang
dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh lalu dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan di dalam LPKA terhadap anak pelaku
permufakatan jahat memiliki narkotika terdiri atas pertimbangan yuridis yaitu
terpenuhinya unsur-unsur pada Pasal 112 Ayat (2) jo. Pasal 132 UU Narkotika.
Pertimbangan filosofis yaitu pidana penjara berorientasi pada upaya memperbaiki
perilaku anak agar menjadi pribadi yang lebih baik setelah selesai menjalani masa
pidana. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. Putusan
hakim yang tidak menerapkan asas ultimum remedium belum dengan tujuan
pemidanaan terhadap anak ketentuan Pasal 54 UU Narkotika mengatur bahwa pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Selain itu ketentuan Pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur bahwa sanksi pidana penjara seharusnya dijadikan alternatif paling akhir
terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya hakim anak dalam menjatuhkan pidana
penjara di dalam LPKA terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, benar-benar
mengacu kepada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Aparat penegak
hukum sebagai pelaksana Sistem Peradilan Pidana Anak hendaknya meningkatkan
kemampuan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Kata Kunci: Penjatuhan Pidana, Anak, Permufakatan Jahat, Narkotika
Every child ideally grows and develops according to his age, in fact children become
perpetrators of criminal acts of conspiracy to possess narcotics, as in Decision
Number: 24/Pid.Sus-Anak/2021/PN.TJK, so they are sentenced to imprisonment for 8
(eight) months in the Special Child Development Institute (LPKA). The problem in this
research is: What is the basis for the judge's considerations in imposing a sentence on
the child who is involved in the conspiracy to possess narcotics in Decision Number:
24/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Tjk? Why isn't the principle of ultimum remedium applied in
imposing crimes against children according to the purpose of punishment?
The problem approach used is normative and empirical juridical. Research sources
consisted of juvenile judges at the Class IA Tanjung Karang District Court and
criminal law lecturers at Law Faculty of Lampung University. Data collection is done
by literature study and field study. The data obtained was then analyzed qualitatively.
The results of this study indicate that the basis for the judge's considerations in
imposing a prison sentence of 8 (eight) months in the LPKA against the child of the
perpetrator of a conspiracy to possess narcotics consists of juridical considerations,
namely the fulfillment of the elements in Article 112 Paragraph (2) jo. Article 132 of
the Narcotics Law. Philosophical considerations, namely imprisonment, are oriented
towards efforts to improve children's behavior so that they become better individuals
after completing their sentence. Sociological considerations, namely the judge
considers mitigating and aggravating circumstances for a child as a criminal offender.
The judge's decision that does not apply the principle of ultimum remedium not yet with
the aim of punishing children, the provisions of Article 54 of the Narcotics Law
stipulate that narcotics addicts and victims of narcotics abuse must undergo medical
rehabilitation and social rehabilitation. In addition, the provisions of Article 71 of the
Law on the Juvenile Criminal Justice System stipulate that imprisonment should be
used as the last alternative for children who commit crimes.
The suggestion in this research is that juvenile judges in imposing prison sentences in
LPKA on children in conflict with the law, really refer to the Law on the Juvenile
Criminal Justice System. Law enforcement officials as executors of the Juvenile
Criminal Justice System should improve their capabilities in carrying out their
respective duties.
Keywords: Sentence, Children, Evil Conspiracy, Narcotics
DESTIA AMIR DINI 19220110152023-01-19T06:40:44Z2023-01-19T06:40:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68386This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/683862023-01-19T06:40:44ZANALISIS YURIDIS SENGKETA MEREK JASA KULINER TEMPO GELATO (Studi Putusan Nomor 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021)
Penelitian ini membahas tentang sengketa merek yang masih sering terjadi di masyarakat yaitu pada merek jasa kuliner Tempo Gelato. Permasalahan dalam tesis ini adalah Apa pertimbangan hukum hakim pada sengketa Tempo Gelato dalam putusan Nomor 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021, apa pertimbangan hukum hakim telah sesuai dengan prinsip First to File di Indonesia dan apa akibat hukum pada putusan Nomor 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021 terhadap pendaftaran merek tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif. Data sekunder di peroleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan internet. Analisis data dilakukan dalam bentuk kualitatif yang diolah ke dalam bentuk kalimat (deskriptif).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Pertimbangan hukum hakim pada sengketa merek “Tempo Gelato” pada Putusan Nomor: 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021 menggunakan teori keadilan dan teori kebenaran untuk menjadi landasan karena pertimbangan hakim dapat menunjukkan reputasi hakim. Pertimbangan hukum hakim telah sesuai dengan prinsip First to File di Indonesia dengan dasar hukum Pasal 68 Ayat (1-3) UU MIG yang berbunyi, “Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 dengan Permohonan kepada Direktorat Jenderal dan diajukan kepada Pengadilan Niaga. Akibat hukum dalam Putusan Nomor 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021 terhadap pendaftaran merek “Tempo Gelato” adalah bahwa merek dagang Il Tempo De Gelato harus dicabut. Saran, kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk lebih selektif dalam melakukan penerimaan permohonan pendaftaran merek agar tidak terjadi sengketa merek seperti Tempo Gelato dan Il Tempo De Gelato. Agar pelaksanaan dalam perlindungan hukum terhadap merek dagang di Indonesia dapat berjalan maka diperlukan kerjasama dengan memanfaatkan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai merek serta ketentuan-ketentuan internasional yang menyangkut mengenai perlindungan terhadap merek terkenal.
Kata Kunci : Sengketa, Merek, Jasa Kuliner.
The study discusses the dispute that still often occur in society, namely the Tempo Gelato culinary service brand. The problem in this thesis is what are the judges' legal considerations in the Tempo Gelato dispute in the decision Number 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021, what are the judges' legal considerations in accordance with the First to File in Indonesia and what are the legal consequences of the decision Number 473 K/ Pdt.Sus-HKI/2021 on the registration of those mark.
This research uses a normative approach. Secondary data is obtained from library research which includes literature books, laws and regulations, official documents and internet. Data analysis was carried out in qualitative form which was processed into sentences (descriptive).
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded that: The judge's legal considerations in the "Tempo Gelato" brand dispute in Decision Number: 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021 use the theory of justice and the theory of truth to be the basis because the judge's considerations can show the reputation of the judge . The judge's legal considerations are in accordance with the First to File in Indonesia with the legal basis of Article 68 Paragraph (1-3) of the MIG Law which reads, "A lawsuit for cancellation of a Mark registration may be filed by an interested party based on the reasons as referred to in Article 4, Article 5, or Article 6 with an application to the Directorate General and submitted to the Commercial Court. The legal consequence in Decision Number 473 K/Pdt.Sus-HKI/2021 on the registration of the “Tempo Gelato” mark is that the Il Tempo De Gelato trademark must be revoked. Suggestions, it is hoped that the Directorate General of Intellectual Property will be more selective in accepting applications for trademark registration so that there will be no trademark disputes such as Tempo Gelato and Il Tempo de Gelato. In order for the implementation of legal protection for trademarks in Indonesia to run, cooperation is needed by utilizing the laws and regulations concerning trademarks and international provisions concerning the protection of well-known marks.
Keywords: Dispute, Brand, Culinary Services.
1922011024 Kevin Bunjamin2023-01-18T02:23:59Z2023-01-18T02:23:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68354This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/683542023-01-18T02:23:59ZAKIBAT HUKUM PRAKTIK NOMINEE SHAREHOLDERS DALAM PENANDATANGANAN PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM ANTARA DUNESTONE DEVELOPMENTS, S.A. DENGAN PT CAKRA MINERAL TBKGugatan diajukan oleh Rami Sadek selaku nominee yang ditunjuk sebagai pemegang saham tunggal Dunestone Developments, S.A., untuk membatalkan perjanjian jual beli saham dengan PT Cakra Mineral Tbk., akibat penagihan Pajak Penghasilan Pribadi oleh Kantor Pajak atas transaksi jual beli saham tersebut. Gugatan tersebut yang diputus berbeda oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak gugatan tersebut dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengabulkan gugatan tersebut dengan pertimbangan telah terjadi kekhilafan pada diri PT Cakra Mineral Tbk. dalam menilai subyek perjanjian. Berdasarkan perbedaan kedua putusan tersebut, penulis akan mengelaborasi akibat hukum dari praktik nominee shareholders yang dilakukan oleh Rami Sadek dengan Para Pemegang Saham Sebenarnya terhadap perjanjian jual beli saham dengan PT Cakra Mineral Tbk serta proses pembatalannya.
Dalam penulisan ini, Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersumber pada data sekunder berupa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, jurnal hukum serta buku kepustakaan yang berkaitan dengan perjanjian jual beli saham tersebut. Kemudian data tersebut dianalisa secara kualitatif dengan mengelaborasi putusan hakim tersebut dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, teori hukum, konsep hukumdan doktrin hukum.
Dalam hasil penelitian, Penulis berpendapat bahwa Perjanjian Jual Beli Saham antara Dunestone Developments, S.A. dengan PT Cakra Mineral Tbk haruslah dinyatakan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya. Artinya Perjanjian Jual Beli Saham serta semua akibat hukum dari perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi yang dilakukan dengan cara mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan meminta Majelis Hakim menyatakan Perjanjian Jual Beli Saham tersebut batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.
Kata kunci: Nominee, Perjanjian, Batal.Febianti Agnes Ruth20220110632023-01-12T05:00:01Z2023-01-12T05:00:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68252This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/682522023-01-12T05:00:01ZANALISIS KEBIJAKAN PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN
DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandar Lampung 2021-2026 yaitu menjadikan Kota Bandar Lampung sehat. Pernyataan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 H menjelaskan bahwa, ayat (1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji analisis kebijakan pelaksanaan pelayanan kesehatan di Kota Bandar Lampung. Permasalahan penelitian ini menyangkut analisis kebijakan dan regulasi mengenai layanan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan yakni jenis penelitian normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini menggunakan teori kebijakan publik dan teori kemanfaatan. Hasil dari penelitian ini didapat peraturan pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memberikan yang terbaik untuk masyarakat, karena itu ia merupakan proses untuk menuju tujuan tersebut dalam proses pelayanan secara rutin dan berkesinambungan dalam masyarakat. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Di Kota Bandar Lampung dibentuk dua peraturan walikota yaitu, Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 37 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Mayarakat di Kota Bandar Lampung dan Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksana Pelayanan Kesehatan Dasar dan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Kota Bandar Lampung. Peraturan ini dibuat guna meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya masyarakat yang kurang mampu, agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan memuaskan. Dengan adanya penelitian ini, di harapkan pelayanan kesehatan di Kota Bandar Lampung akan semakin baik untuk penyedia jasa kesehatan dan juga untuk penerima jasa pelayanan kesehatan.
Kata Kunci: Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah, Layanan Kesehatan
Health is a very important thing in people's lives. The Medium Term Development Plan for the City of Bandar Lampung 2021-2026 is to make the City of Bandar Lampung healthy. The statement is contained in the Constitution of the Republic of Indonesia Article 28 H explains that, paragraph (1) everyone has the right to live in physical and spiritual prosperity, to live and to have a good and healthy living environment and the right to health services. This study aims to examine the policy analysis of the implementation of health services in the city of Bandar Lampung. The problem of this research concerns the analysis of policies and regulations regarding health services. The research method used is the type of normative research. The data used are primary data and secondary data. This research uses public policy theory and benefit theory. The results of this study obtained that service regulations are essentially a series of activities carried out with the aim of providing the best for the community, therefore it is a process to achieve that goal in the process of routine and continuous service in the community. The purpose of public service is basically to satisfy the community. In Bandar Lampung City, two mayoral regulations were formed, namely, Bandar Lampung Mayor Regulation Number 37 of 2019 concerning Guidelines for the Implementation of Community Health Service Programs in Bandar Lampung City and Bandar Lampung Mayor Regulation Number 96 of 2012 concerning Guidelines for Implementing Basic Health Services and City Health Service Referral Systems. Bandar Lampung. This regulation was made in order to increase the reach of health services to the community, especially the underprivileged, in order to continue to get good and satisfying health services. With this research, it is hoped that health services in Bandar Lampung City will be better for health service providers and also for recipients of health services.
Key Word: Local Government, Regional Regulations, Health Services
Ruliyanti Try 19220110812023-01-02T01:15:58Z2023-01-02T01:15:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68100This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/681002023-01-02T01:15:58ZPROBLEMATIKA PUTUSAN DENGAN SUBSTANSI JUDEX FACTI
DAN JUDEX JURIS DI TINGKAT PENGADILAN TINGGI
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 74/PID/2020/PT.TJK)Problematika yang sering terjadi di lingkungan badan peradilan adalah ketidaksesuaian penerapan kewenangan memeriksa substansi perkara. Kewenangan judex facti dan judex juris seolah berada pada ruang berbeda namun tidak memiliki batasan yang jelas. Akibatnya tidak sedikit putusan yang lahir dengan melampaui batas kewenangan peradilan. Berdasarkan isu hukum tersebut, permasalahan penelitian ini yaitu: bagaimana kewenangan hakim terkait penerapan judex facti dan judex juris? bagaimana pertimbangan hakim tinggi dalam Putusan Nomor: 74/PID/2020/PT.Tjk? dan bagaimana akibat hukum Putusan Nomor: 74/PID/2020/PT.Tjk?
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Selanjutnya untuk mendukung penelitian normatif ini, penulis akan menggunakan pendekatan case approach dan statute approach. Berkaitan dengan permasalahan dan pendekatan masalah yang digunakan maka penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen yang relevan dengan penelitian dan melakukan identifikasi data dan kasus. Analisis data yang dilakukan oleh penulis adalah secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Judex Factie merupakan kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Sedangkan Judex juris adalah putusan tingkat kasasi yang mana Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukumnya. Pertimbangan Hakim Tinggi dalam Putusan Nomor: 74/PID/2020/PT.Tjk antara lain adanya hubungan kekeluargaan antara hakim dengan Panitera Pengganti yang telah memeriksa dan memutus perkara ditingkat pertama. akibat hukum Putusan Nomor: 74/PID/2020/PT.Tjk berupa putusan dianggap batal demi hukum. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan ulang sejak dari semula dengan susunan majelis yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar Hakim dalam menjatuhkan putusan sebaiknya lebih cermat dan seksama dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, serta Judex factie harus lebih teliti dan cermat dalam menafsirkan memori banding, agar para pihak yang berperkara tidak dirugikan.
Kata kunci: Hakim, Judex factie, Judex juris
ABSTRACT
The problem that often occurs within the judiciary is the inappropriate application of the authority to examine the substance of the case. The powers of judex facti and judex juris seem to be in different spaces but do not have clear boundaries. As a result, not a few decisions were born by exceeding the limits of the judicial authority. Based on these legal issues, the problems of this research are, how is the judge's authority related to the application of judex facti and judex juris? how are the high judges considered in Decision Number: 74/PID/2020/PT.Tjk? and what are the legal consequences of Decision Number: 74/PID/2020/PT.Tjk?
The type of research used by the author in this study is normative legal research. Furthermore, to support this normative research, the author will use a case approach and a statute approach. In connection with the problems and approach to the problem used, this study uses library data sources. The collection of legal materials is carried out through the study of documents relevant to the research and identification of data and cases. Data analysis conducted by the author is qualitative.
Based on the results of the study, it is known that Judex Factie is the authority of the District Court and High Court to examine the facts and evidence of a case. Meanwhile, Judex juris is a decision at the cassation level where the Supreme Court only examines the application of the law. The considerations of the High Judge in Decision Number: 74/PID/2020/PT.Tjk include the existence of a familial relationship between the judge and the Substitute Registrar who has examined and decided cases at the first level. the legal consequences of Decision Number: 74/PID/2020/PT.Tjk in the form of a decision are considered null and void. Therefore, a re-examination was carried out from the beginning with another assembly composition.
Based on the results of the study, it is suggested that the Judge in making the decision should be more careful and thorough in considering the facts revealed at the trial, and the Judex factie should be more thorough and careful in interpreting the memorandum of appeal, so that the litigants are not harmed.
Keywords: Judge, Judex factie, Judex juris2022011068 Agung Rahmat Wibowoagungrwibowo121@gmail.com2022-12-29T09:01:05Z2022-12-29T09:01:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68095This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/680952022-12-29T09:01:05ZIMPLIKASI PANDEMI COVID-19 TERHADAP
PELAKSANAAN KONTRAK BISNISPenyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menyebabkan banyak debitur
tidak dapat melaksanakan prestasinya dalam kontrak. Debitur menyatakan tidak
terpenuhinya prestasi dalam kontrak disebabkan oleh pandemi Covid-19 di
Indonesia yang dianggap sebagai bentuk force majeure yang menghalanginya
dalam pemenuhan prestasi pada kontrak. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana karakteristik force majeure menurut hukum perdata di
Indonesia, apakah Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure
berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia serta bagaimana akibat hukum dari
pandemi Covid-19 terhadap pelaksanaan kontrak bisnis. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah statute approach. Data yang
digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang kemudian dianalisis secara
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik force majeure
memang tidak diatur secara jelas dalam KUHPerdata. Namun doktrin berkembang
meliputi adanya peristiwa tidak diduga, tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitur, adanya itikad baik dan beban pembuktian ada pada debitur. Force
majeure bukan hanya terkait mengenai ada atau tidaknya suatu evenement, tetapi
dalam praktiknya force majeure harus didukung dengan itikad baik oleh debitur.
Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa yang bersifat
relatif, artinya pelaksanaan prestasi kontrak tidak bisa dilaksanakan tetapi hanya
sementara waktu dan tidak bersifat permanen melainkan hanya selama terjadinya
pandemi Covid-19. Akibat pandemi Covid-19 terhadap pelaksanaan kontrak,
maka debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan pelaksanaan prestasi dapat ditunda.
Namun jika Debitur tidak dapat membuktikannya, maka debitur wajib
melaksanakan perjanjian secara penuh atau dapat dinyatakan lalai serta
mendapatkan akibat buruk berupa ganti kerugian atas wanprestasi.
Kata Kunci: Keadaan Memaksa, Kontrak, Pandemi Covid-19, Wanprestasi.2022011022 Mutia Kartika Putri2022-12-29T07:22:12Z2022-12-29T07:22:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68093This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/680932022-12-29T07:22:12ZDISPARITAS PIDANA TERHADAP ANAK PENYALAHGUNA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-Anak/2021/PN Tjk)Pada dasarnya penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilaksanakan oleh anak melalui hukum pidana ialah bersifat dilematis. Satu sisi, penerapan hukum pidana berdampak negatif bagi anak, serta sisi lain memperlihatkan penerapan hukum pidana bagi anak justru menjadi pilihan yang rasional serta legal. Peningkatan tindak pidana narkotika berkorelasi erat dengan disparitas putusan hakim. Permasalahan pada riset ini ialah mengapa terjadi disparitas penjatuhan pidana terhadap anak penyalahguna narkotika? serta bagaimanakah upaya menghindari terjadinya disparitas penjatuhan pidana terhadap anak penyalahguna narkotika?
Riset ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data pada riset ini dilaksanakan dengan mengambil sample/data putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang dan pengumpulan data melalui studi pustaka. Selanjutnya guna mendapatkan data primer sebagai penunjang data sekunder, dilaksanakan wawancara kepada beberapa narasumber profesional. Analisis data kualitatif menganalisis seluruh data berlandaskan pada relevansinya dengan rumusan masalah riset.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama terjadinya disparitas penjatuhan pidana terhadap anak penyalahguna narkotika disebabkan oleh perbedaan filosofi pemidanaan para hakim, tidak adanya pedoman pemidanaan, kewenangan yudisial independen dan kewenangan diskresinya masing-masing hakim. Upaya menghindari disparitas penjatuhan pidana terhadap anak penyalahguna narkotika dilakukan melalui sarana penal serta non penal. Kebijakan penal berupa pembuatan regulasi baru mengenai pedoman pemidanaan. Sedangkan sarana non penal berupa reformasi kelembagaan, reformasi perundang-undangan serta reformasi budaya hukum.
Saran dalam penelitian ini, agar para hakim memiliki filosofi pemidanaan serupa pada penjatuhan pidana dalam perkara anak penyalahguna narkotika yakni lebih cenderung pada filosofi pemidanaan utilitarian. Pemerintah serta DPR juga harus menetapkan pedoman pidana di Indonesia tanpa mengabaikan berbagai aspek hukum, keadilan, sosial, serta filosofis.
Kata kunci: Anak, Disparitas Pidana, Narkotika
ABSTRACT
The handling of narcotics abuse by children through criminal law is basically a dilemma. On the one hand, the use of criminal law has a negative impact on children, on the other hand, the use of criminal law against children is actually considered a rational and legal choice. The increase in narcotics crime cannot be separated from the disparity of judges' decisions. The problem in this research is why there is a disparity in the punishment of narcotics abusers? and what are the efforts to avoid the disparity in imposing criminal penalties on children who abuse narcotics?
This research is a type of normative juridical research and empirical juridical research. Data collection in this research was carried out by taking samples/data from the decisions of the Class IA Tanjungkarang District Court and collecting data through library research. Furthermore, to obtain primary data to support secondary data, interviews were conducted with several professional sources. All data will be analyzed based on the level of relevance of the data with the formulation of the problem under study which is called qualitative data analysis.
The results of the study show that, firstly, the disparity in criminal convictions against children who abuse narcotics is caused by differences in the criminal philosophy of the judges, the absence of sentencing guidelines, independent judicial authority and the discretionary authority of each judge. Efforts to avoid disparities in the imposition of criminal penalties against children who abuse narcotics are carried out using penal and non-penal means. The penal policy is in the form of making new regulations regarding sentencing guidelines. Meanwhile, non-penal means are in the form of institutional reform, reform of legislation and reform of legal culture.
It is recommended that the judges have the same philosophy of punishment in imposing criminal penalties in the case of children who abuse narcotics, which is more inclined to the utilitarian philosophy of punishment. The government and the DPR must also establish guidelines for punishment in Indonesia without ignoring all considerations from various aspects such as legal, justice, social and philosophical aspects.
Keywords: Children, Criminal Disparity, Narcotics2022011071 Hendra Dwi Gunandagunandahendradwi736@gmail.com2022-12-20T08:27:01Z2022-12-20T08:27:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67901This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/679012022-12-20T08:27:01ZOPTIMALISASI PERAN PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
(STUDI DI KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG)Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan
dari peran Polri, termasuk pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu bagaimanakah
mengoptimalkan peran penyidik perkara tindak pidana korupsi dalam
pengembalian kerugian negara? dan mengapa terdapat faktor penghambat dalam
mengoptimalkan peran penyidik perkara tindak pidana korupsi dalam
pengembalian kerugian negara?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan normatif
empiris, melalui studi pustaka serta wawancara terpimpin (terstruktur) dan terarah
(directive interview). Analisis dilakukan dengan teknik reduksi data, sajian data,
serta penarikan kesimpulan atau verifikasi menggunakan kombinasi analisis
kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, Penyidik Polda Lampung dan jajarannya telah
berperan dalam pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Guna
mengoptimalkan peran penyidik Polri dalam pengembalian kerugian negara akibat
korupsi, diperlukan pengembangan kapasitas dan penambahan personil serta
pemberian reward untuk kinerja penyidik yang baik. Adapun kendala Polda
Lampung dalam pengembalian kerugian negara diantaranya berasal dari aspek
internal meliputi regulasi yang belum komprehensif mengatur tentang perampasan
aset hasil tindak pidana, jumlah personil belum ideal, serta penyidikan perkara
korupsi belum didukung alat penyadapan. Kemudian kendala eksternal antara lain
lamanya waktu penyidikan yang tergantung pada kecepatan Auditor dalam
menghitung kerugian negara, perbedaan persepsi antara Penyidik Polri dan Jaksa
Penuntut Umum, serta adanya intervensi terhadap penyidik terkait penetapan
tersangka, penangkapan dan penahanan.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar pemerintah perlu menambah jumlah
personil penyidik tipikor Polri, menjamin independensi penyidik, penyidik Polri
dapat melakukan penyadapan, meningkatkan koordinasi dalam penghitungan
kerugian negara, serta menyamakan persepsi antara Penyidik Polri dengan
penuntut umum. Pemerintah dan DPR juga hendaknya segera mengesahkan RUU
perampasan aset yang berbasis cost and benefit.
Kata kunci: optimalisasi, peran, korupsi, polri
abstract
Law enforcement efforts carried out by the government must be kept from the role
of the National Police, including returning state losses due to corruption. The
problem discussed in this thesis is how to optimize the function of investigators in
corruption cases in recovering state losses? and why there are inhibiting factors
in optimizing the role of investigators in corruption cases in returning state
losses.
This research was conducted using an empirical normative approach through
literature studies and guided (structured) and directed interviews (directive
interviews). The analysis was carried out using data reduction techniques, data
presentation, and drawing conclusions or verification using a combination of
qualitative research which resulted in analytical descriptive data.
Based on the research results, Lampung Police Investigators and their staff have
played a role in recovering state losses due to corruption. To optimize the
function of Polri investigators in recovering state losses due to corruption, it is
necessary to develop capacity, increase personnel, and provide rewards for good
investigator performance. The Lampung Regional Police's obstacles in returning
state losses include internal aspects, including regulations that have not
comprehensively regulated the seizure of assets resulting from criminal acts, the
number of personnel is not ideal, and wiretapping tools have not supported the
investigation of corruption cases. The external constraints include the length of
the investigation time, which depends on the speed of the Auditor in calculating
state losses, the difference in perception between the National Police Investigator
and the Public Prosecutor, as well as the intervention of investigators related to
the determination of suspects, arrests and detentions.
Based on the study's results, it is suggested that the government needs to increase
the number of Polri corruption investigators, ensure the independence of
investigators, Polri investigators can conduct wiretapping, improve coordination
in calculating state losses, and equate perceptions between Polri investigators
and public prosecutors. The government and the House of Representatives should
also immediately ratify the bill to seize assets based on cost and benefit.
Keywords: optimization, role, corruption, national police2022011085 TRY MARADONAtrymaradona.klsb2020@gmail.com2022-12-14T00:59:03Z2022-12-14T00:59:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67604This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/676042022-12-14T00:59:03ZEKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 2/PUU-XIX/2021
Jaminan fidusia eksistensinya adalah untuk mempermudah masyarakat dalam
memperoleh bantuan kredit, namun dalam pelaksanaannya masih timbul berbagai
persoalan. Di antaranya adalah dalam hal eksekusi jaminan fidusia, di mana tindakan
sewenang-wenang saat penagihan masih marak terjadi. Terlepas dari hal tersebut,
persoalan eksekusi jaminan fidusia kembali menjadi perhatian publik pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 pada 31 Agustus 2021. Terdapat
anggapan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan kemudahan
kepada perusahaan pembiayaan untuk mengeksekusi jaminan fidusia. Tujuan
penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis bagaimana eksekusi jaminan fidusia pada
perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2/PUU-XIX/2021, dan (2) untuk menganalisis bagaimana penegakan hukum
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penagih utang (debt collector).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan pendekatan
Undang-Undang. Data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-
XIX/2021 tidak memiliki perbedaan yang mendasar dengan putusan Mahkamah
Konstitusi sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-
XVII/2019. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 hanya bersifat
“alternatif” yaitu apabila tidak tercapai suatu kesepakatan wanprestasi antara kreditur
dan debitur serta tidak ada penyerahan secara sukarela objek jaminan fidusia oleh
debitur, maka eksekusi jaminan fidusia bisa diajukan ke Pengadilan Negeri.
Penegakan hukum terhadap penagih utang (debt collector) atas pelanggaran yang
dilakukan, dapat diberikan sanksi administratif, perdata maupun pidana.
Kata Kunci: Eksekusi Jaminan Fidusia, Perjanjian Pembiayaan, Putusan Mahkamah
Konstitusi.
The existence of fiduciary guarantees is to make easier for the community to obtain
credit assistance, but various problems still arise in its implementation. Among them
are in terms of the execution of fiduciary guarantees, where arbitrary actions still
occur when billing. Besides, the issue of the execution of fiduciary guarantees has
become a public concern after the decision of the Constitutional Court Number
2/PUU-XIX/2021 on August 31, 2021. There is an assumption that the Constitutional
Court's decision provides convenience for finance companies to execute fiduciary
guarantees. The purpose of this study is (1) to analyze how the execution of fiduciary
guarantees in motor vehicle financing agreements after the Constitutional Court
Decision Number 2/PUU-XIX/2021, and (2) to analyze how law enforcement against
violations committed by debt collectors.
This study uses a normative legal research method with an approach to the law. The
data used in this study are secondary data consisting of primary, secondary and
tertiary legal materials. This data collection is done by literature study.
The results of the study show that the Constitutional Court Decision Number 2/PUU-
XIX/2021 does not have a fundamental difference with the previous Constitutional
Court decision, namely the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-
XVII/2019. The decision of the Constitutional Court Number 2/PUU-XIX/2021 is
only “alternative”, that is, if a default agreement is not reached between the creditor
and the debtor and there is no voluntary submission of the object of fiduciary security
by the debtor, then the execution of the fiduciary guarantee can be submitted to the
District Court. Law enforcement related to debt collectors for violations committed
can be given administrative, civil and criminal sanctions.
Key words: Execution of Fiduciary Guarantees, Financing Agreements, Decisions of
the Constitutional Court.
2022011067 KIFAH AKIFAH2022-12-05T04:07:15Z2022-12-05T04:07:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67318This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/673182022-12-05T04:07:15ZREFORMULASI PERHITUNGAN PIDANA TAMBAHAN TERHADAP
TERPIDANA YANG TIDAK CUKUP BAYAR PADA PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSISelama ini terpidana korupsi tetap menjalani hukuman penjara secara penuh
meskipun telah membayar sebagian uang pengganti, sedangkan tidak ada formulasi
khusus terkait perhitungan jumlah uang pengganti yang telah dibayar berkaitan dengan
lamanya penjara atas uang pengganti yang tidak cukup bayar. Hal ini menjadi
problematika bagi kejaksaan selaku eksekutor. Sehingga diperlukan formulasi khusus
terkait perhitungan uang pengganti dalam suatu peraturan hukum. Berdasarkan isu
hukum tersebut, tesis ini mengkaji dua permasalahan yaitu pertama, mengapa belum ada
peraturan tentang perhitungan pidana terhadap uang pengganti yang tidak cukup pada
perkara korupsi? Kedua, bagaimana perspektif formulasi perhitungan pidana terhadap
uang pengganti yang tidak cukup pada perkara korupsi?
Penelitian tesis ini menggunakan metodologi penelitian normatif yang
menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber datanya.
Pengolahan data meliputi verifikasi data, penandaan data, rekonstruksi data, dan
sistematisasi data. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif kualitatif terhadap data
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan aturan mengenai perhitungan
hukum pidana terhadap uang pengganti yang tidak cukup bayar dalam tindak pidana
korupsi, disebabkan oleh tidak adanya persoalan yang menjadi masalah hukum, akan
tetapi menjadi masalah bagi jaksa dalam tataran eksekusi. Oleh karenanya diperlukan
formulasi khusus mengenai perhitungan hukum pidana terhadap uang pengganti yang
tidak cukup pada perkara korupsi yang dimuat dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Formulasi perhitungan hukum pidana terhadap uang pengganti
yang tidak cukup pada perkara korupsi didasarkan pada pendekatan proporsionalitas
atau kesebandingan.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada hakim agar mempertimbangkan
aspek keseimbangan/kesebandingan antara pidana uang pengganti yang harus dibayar
dengan pidana subsider yang dijalani. Selain itu, diperlukan formulasi khusus mengenai
perhitungan hukum pidana terhadap uang pengganti yang tidak cukup pada perkara
korupsi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Kata kunci: Reformulasi, Perhitungan Uang Pengganti, Korupsi
So far, corrupt convicts continue to serve complete prison sentences even
though they have paid part of the replacement money. At the same time, there is
no specific formulation regarding the calculation of the amount of compensation
that has been produced for the length of imprisonment for replacement money that
is not paid enough. This becomes problematic for the prosecutor as the executor.
So a particular formulation is needed regarding calculating replacement money
in legal regulation. Based on these legal issues, this thesis examines two
problems: first, Why isn't a criminal calculation regulation for insufficient
replacement money in corruption cases? Second, what is the perspective of
formulating illegal calculations on bad replacement money in corruption cases?
This thesis uses a normative research methodology that uses primary,
secondary, and tertiary legal materials as data sources. Data processing includes
data verification, data marking, data reconstruction, and data systematization.
Furthermore, a qualitative descriptive analysis was carried out on the data.
The results of the study indicate that the absence of rules regarding the
calculation of criminal law for replacement money that is not paid enough in
criminal acts of corruption is caused by the lack of problems that become legal
problems but becomes a problem for prosecutors at the level of execution.
Therefore, a particular formulation is needed regarding calculating criminal law
against insufficient replacement money in corruption cases contained in the law
on eradicating corruption. The formulation of the analysis of criminal law against
bad replacement money in corruption cases is based on a proportionality or
comparability approach.
Based on the study's results, it is suggested that the judge consider the
balance/comparability between the compensation money that must be paid and
the subsidiary sentence that is served. In addition, a unique formulation is needed
regarding calculating criminal law against insufficient replacement money in
corruption cases contained in laws and regulations.
Keywords: Reformulation, Compensation Compensation, Corruption
2022011077 ADE SOFYANSAHadekensofyansah@gmail.com2022-12-01T06:51:46Z2022-12-01T06:51:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67280This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/672802022-12-01T06:51:46ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19Munculnya penyakit Covid-19 di tahun 2019 menyebabkan banyak orang yang meninggal dunia disebabkan oleh Covid-19, sehingga Pemerintah perlu menyelenggarakan Vaksinasi Covid-19 yang wajib diberikan kepada masyarakat agar terlindungi dari penyakit Covid-19 ini. Penerbitan persetujuan vaksinasi Covid-19 dilakukan karena bersifat darurat kesehatan masyarakat atau Emergency Use Authorization (EUA). Masyarakat yang dikategorikan sasaran vaksin wajib untuk melaksanakan vaksin. Masyarakat yang sesuai sasaran tidak mau untuk divaksin, akan dikenakan sanksi sesuai aturan, sanksinya dapat administratif dan dapat juga dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau diberikan denda paling banyak seratus juta rupiah. Namun tentu saja dalam implementasinya tidak selalu sesuai dengan apa yang telah diharapkan karena masih ada masyarakat yang ragu dan menolak untuk dilakukan vaksinasi Covid-
19, oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin melakukan penelitian mengenai Perlindungan Hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Vaksinasi Covid-19 di Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif empiris. Secara umum kegiatan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan sumber yang berasal dari bahan bacaan seperti buku dan peraturan perundang-undangan, serta melakukan beberapa wawancara.
Hasil dari penelitian ini adalah tenaga medis dan tenaga kesehatan telah memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan Vaksinasi Covid-19, baik bersifat preventif maupun represif, namun penerapannya belum optimal. Kemudian faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan sengketa medik adalah kejadian yang tidak diharapkan pasca Vaksinasi Covid-19; informasi tidak lengkap dari petugas; keterangan dan informasi yang tidak lengkap dan benar dari pasien terkait riwayat kesehatan pasien; penilaian kondisi sasaran vaksin yang salah; serta kelalaian petugas.
Saran dalam penelitian ini yaitu pertama Pemerintah melakukan sosialisasi dan koordinasi kepada aparat penegak hukum terkait kejadian sengketa medik akibat pelaksanaan Vaksinasi Covid-19. Kedua, tenaga medis dan tenaga kesehatan sebaiknya dalam melaksanakan vaksinasi terhadap pasien harus memberikan KIE yang lengkap kepada pasien.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Vaksinasi Covid-19, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan.
The emergence of the Covid-19 disease in 2019 caused many people to die due to Covid-19, so the Government needs to organize the Covid-19 Vaccination which must be given to the public to be protected from this Covid-19 disease. The issuance of the approval for the Covid-19 vaccination is carried out because it is a public health emergency or Emergency Use Authorization (EUA). People who are categorized as vaccine targets are obliged to carry out the vaccine. People who do not want to be vaccinated according to the target will be subject to sanctions according to the rules, the sanctions can be administrative and can also be subject to imprisonment for a maximum of one year and/or be fined a maximum of one hundred million rupiah. But of course the implementation is not always in accordance with what was expected because there are still people who are hesitant and refuse to be vaccinated against Covid-19, therefore on this occasion the author wants to conduct research on Legal Protection for Medical Workers and Health Workers in Program Implementation. Covid-19 Vaccination in Bandar Lampung City.
This research uses empirical normative juridical research method. In general, research activities are carried out by collecting sources from reading materials such as books and laws and regulations, as well as conducting several interviews.
The results of this study are medical personnel and health workers have obtained legal protection in the implementation of Covid-19 vaccination, both preventive and repressive, but the implementation is not optimal. Then the factors that have the potential to cause medical disputes are unexpected events after the Covid-19 vaccination; incomplete information from officers; incomplete and correct information and information from the patient regarding the patient's medical history; incorrect assessment of the condition of the vaccine target; and staff negligence.
Suggestions in this study are that the government first conducts socialization and coordination with law enforcement officials regarding the occurrence of medical disputes due to the implementation of the Covid-19 vaccination. Second, medical personnel and health workers should in carrying out vaccinations against patients must provide complete IEC to patients.
Keywords: Legal Protection, Covid-19 Vaccination, Medical Doctor, Health
Workers.
2022011017 Faddly Hendarsyah2022-12-01T01:00:50Z2022-12-01T01:00:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67276This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/672762022-12-01T01:00:50ZOBJEKTIFITAS PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN OLEH PELAKU DISABILITAS
Setiap difabel yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun pelaku
harus mendapatkan pendampingan. Karena keterangan para penyandang disabilitas
harus tetap tersampaikan dengan baik dan jelas kepada para penegak hukum.
Kejahatan yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai pelaku membutuhkan
upaya ekstra baik dalam proses Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan. Aparat
penegak hukum harus mampu menegakan nilai kebenaran walaupun subyeknya
memiliki kekurangan. Fokus utama ketika membicarakan penyandang disabilitas
dalam kaitannya dengan hukum, bukan pada aspek fisik maupun mental mereka.
Terkait dengan lembaga peradilan, baik polisi, jaksa atau hakim, maka penyandang
disabilitas harus diperlakukan sebagai orang yang setara dengan manusia yang lain
dan harus diupayakan sebisa mungkin agar hambatan interaksinya ditiadakan.
Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimana mekanisme objektifitas penyidik
dalam penanganan tindak pidana, dan bagaimana penanganan tindak pidana
pembunuhan oleh pelaku disabilitas oleh penyidik. Penelitian ini menggunakan
pendekatan normatif, yang membahas terkait studi kasus, objektifitas penerapan
peraturan perundangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan
menginventarisir beberapa peraturan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta
Peraturan Kapolri yang berkenaan dengan Manajemen Penyidikan.
Hasil penelitian dan pembahasan yang dapat dikonklusikan memaparkan bahwa:
Pertama, Memastikan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai pribadi yang
utuh dan memiliki hak atas pengakuan di hadapan hukum dan memiliki kapasitas
legal; Melakukan langkah-langkah untuk menyediakan akses yang dibutuhkan oleh
penyandang disabilitas dalam peradilan, Mengambil langkah yang efektif untuk
menjamin kesetaran hak penyandang disabilitas untuk memiliki dan mewarisi harta
kepemilikan, melakukan perbuatan hukum perdata, dan menjamin harta tersebut
tidak dirampas dengan sewenang-wenang. Kedua Penanganan sebagaimana yang
diupayakan selama perkara berlangsung dan diputus dengan Putusan Pengadilan
Nomor Nomor 317/Pid.B/2020/PN.Gns memperhatikan hal mendasar berinteraksi
dengan penyandang disabilitas antara lain cara sapa dan bicara penyidik terhadap
pelaku, fokus terhadap tindakannya bukan berkenaan keterbatasan pelaku,
Menyediakan fasilitas kemudahan pelakus disabilitas selama diselidik hingga
proses peradilan, tidak mengintimidasi.
Saran berdasarkan penelitian ini disampaikan untuk para aparat penegak hukum dan
instrument penyelenggara negara lain Meningkatkan koordinasi/belum adanya
kerjasama antara satuan kerja Polri di daerah dengan Pemda, OPD,
jejaring/organisasi disabilitas guna melakukan pendampingan ataupun kerjasama
terkait pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas pada saat berhadapan dengan
hukum, Mengupayakan/mengalokasikan anggaran yang dialokasikan khusus
terkait pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di Polri,
mendorong pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam
proses penyidikan serta mendorong agar Polri dapat membuat dan mengembangkan
standar pelayanan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Huruf f Undang-Undang 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi
yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
Kata Kunci : Disabilitas, Objektifitas, Tindak Pidana, Pembunuhan
1922011082 Muhammad Barly Ramadhany2022-12-01T00:58:47Z2022-12-01T00:58:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67275This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/672752022-12-01T00:58:47ZKAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP CALL DATA RECORD (CDR)
SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK
KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(STUDI KASUS DI POLRES LAMPUNG SELATAN)Kemajuan teknologi telah menyebabkan perkembangan berbagai warna pengungkapan
kriminal oleh otoritas penegak hukum, termasuk penyadapan, penggunaan catatan data
telepon, mil faks, cetakan komputer, dan ruang CD. Salah satunya dalam penelitian ini
menganalisa penggunaan call data record (CDR) oleh penyidik dalam upaya
mengungkap tindak pidana. Dalam penyidikan peradilan pidana oleh CDR, tenaga ahli
sangat penting dengan memberikan informasi rekaman data/salinan data (data record)
yang merupakan barang bukti elektronik, baik dilakukan menurut prosedur yang berlaku
maupun tidak.
Karena sudah dikalibrasi dan diprogramkan dan bersumber dari sistem jaringan
komputer yang aman dan andal, hasil cetak barang bukti elektronik dijamin dapat
diandalkan dan menjadi hukum untuk membuktikan kasus kejahatan dunia maya,
diterima sebagai alat bukti dan dapat dianggap sebagai alat bukti asli dengan
sendirinya. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana peran CDR
sebagai alat bukti elektronik dalam tindak pidana?
Metode penelitian dalam tulisan ini adalah normatif mengkaji lebih lanjut terkait
pembuktian dalam Hukum Acara pidana dan legalitas CDR sebagai alat bukti yang
mendukung pemeriksaan perkara pidana dalam pengadilan. Temuan yang dibahas oleh
CDR mencatat aktivitas semua ponsel yang digunakan untuk kejahatan melalui jaringan
GSM dan dapat dengan mudah dilacak oleh polisi.
CDR sebagai alat bukti pada perkara tindak pidana, merupakan bagian proses
pembuktian diawali dari penyidikan kepolisian hingga hakim yang memutuskan
perkara. Kesimpulan dari surat ini adalah bahwa CDR adalah bagian dari telepon
rekaman dokumen elektronik dengan mengandalkan hasil sistem komputer dengan
keluaran program komputer, dengan intervensi fisik sebelum hasil, dan bukti Ya,
dibatalkan jika ada adalah bukti lain.
Kata Kunci: CDR, Alat Bukti Elektronik, Tindak Pidana1922011027 Alfiandi Hartono2022-11-16T01:20:19Z2022-11-16T01:20:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66921This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/669212022-11-16T01:20:19ZPERANAN PENYIDIK DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUANGAN BAYI
(Studi Kasus di Polsek Pekalongan Lampung Timur dan
Polsek Natar Lampung Selatan)
ABSTRAK
PERAN PENYIDIK DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUANGAN ANAK
(Studi Kasus di Polsek Pekalongan Lampung Timur dan
Polsek Natar Lampung Selatan)
Oleh
ELGIDHEA ANDRETA
Salah satu kejahatan yang kerap terjadi kepada anak-anak adalah kejahatan pembuangan bayi dimana bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa menjadi korban dari ketidaksiapan orang dewasa bertanggung terhadap apa yang dilakukannya. Tindak Pidana Pembuangan anak semakin banyak terjadi di Provinsi Lampung. Kepolisian sebagai penyidik berperan dalam melakukan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembuangan anak. Permasalahan penelitian: Bagaimana peran penyidik dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembuangan anak. dan Bagaimana faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembuangan anak.
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa peran penyidik dalam melakukan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembuangan anak di Polsek Pekalongan I termasuk dalam peran normatif, Polsek Pekalongan II dan Polsek Natar masih tergolong peran faktual. Sedangkan faktor penghambat yang dialami penyidik dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pembuangan anak ialah faktor sarana dan prasarana yang masih sangat sedikit untuk membantu penyidik dalam melakukan penyidikan. selain itu juga terdapat peran budaya yang juga mempengaruhi penegakan hukum yakni budaya ketimuran yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, sehingga apabila terdapat anak yang lahir di luar pernikahan menjadi hal yang tabu untuk diketahui oleh masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat yang mengetahui fakta mengenai hal itu pun akan ikut menyembunyikan fakta perkara dan enggan memberikan keterangan kepada penyidik kepolisian.
Saran dalam penelitian ini adalah adalah agar dioptimalkan dan direvitalisasi mulai dari sumber daya manusia dukungan teknis serta koordinasi penyidik kepolisian guna meningkatkan kualitas penyidik dalam melakukan penyidikan. Selain itu hendaknya sarana dan prasarana ditingkatkan untuk membantu proses penyidikan menjadi lebih mudah.
Kata Kunci : Penyidik, Penegakan Hukum, Pembuangan Anak
ABSTRAK
THE ROLE OF INVESTIGATORS IN CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST PERPETRATORS OF CHILD DUMPING CRIMES
(Case Study in Polsek Pekalongan Lampung Timur and
Polsek Natar Lampung Selatan)
By
ELGIDHEA ANDRETA
One of the crimes that often occurs to children is the crime of dumping babies where babies who can't do anything are victims of adult unpreparedness for what they do. Child dumping crimes are increasingly occurring in Lampung Province. The police as investigators play a role in enforcing criminal law against perpetrators of child dumping crimes. Research problem: How doinvestigators in criminal law enforcement not be the perpetrators of child dumping crimes. and How to inhibit the enforcement of criminal law against perpetrators of child dumping crimes.
This legal research uses an empirical juridical approach. The data collection procedure is carried out with literature studies and field studies. The data obtained will subsequently be analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion showed that the investigation in enforcing criminal law against perpetrators of child dumping crimes at the Pekalongan I Police Station is included in the normative role, the Pekalongan II Police Station and the Natar Police Station are still classified as factual roles. Meanwhile, the inhibiting factor experienced by investigators in enforcing the law against perpetrators of child dumping crimes is the faktor of facilities and infrastructure that are still very few to assist investigators in conducting investigations. In addition, there is also a cultural role that also influences law enforcement, namely a culture of intimacy that upholds the value of decency, so that if there are children born outside of marriage, it becomes a taboo to be known by the public. Therefore , people who know the facts about it will also hide the facts of the case and are reluctant to give information to police investigators.
The suggestion in this study is to be optimized and revitalized starting from human resources technical support and coordination of police investigators to improve the quality of investigators in conducting investigation. In addition, facilities and infrastructure should be improved to help the investigation process become easier.
Keywords : Investigator, Law Enforcement, Child Dumping
Elgidhea@gmail.com Elgidhea Andreta20220110202022-11-10T02:57:59Z2022-11-10T02:57:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66866This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/668662022-11-10T02:57:59ZPOLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJAPertambangan merupakan kekayaan alam bangsa Indoneisa yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan mineral dan batubara di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Kemudian beberapa ketentuan dirubah di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. terkait dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tidak terlepas dari politik hukum. Politik hukum merupakan pilihan mengenai hukum yang dicabut atau diberlakukan yang muaranya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis politik hukum pengelolaan pertambangan batubara dengan berlakunya undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja, menganalisis implikasi peraturan pertambangan mineral dan batubara dengan berlakunya undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Menganalisis konsep hukum pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang berwawasan lingkungan hidup. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Data berasal dari bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tersier. data dianalisis dengan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan, bahwa politik hukum pengelolaan minerba yang coba dibangun dari UU Cipta adalah politik hukum yang mengedepankan perbaikan iklim ivestasi di Indonesia dengan cara penyederhanaan izin. Sedangkan implikasi terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan adanya aturan terkait royalti 0% justru menjadikan lingkungan sebagai objek ekploitasi semata.Kemudian Konsep hukum pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang berwawasan lingkungan adalah Plan Do Check Act yakni metode dengan siklus yang terus dilakukan secara berulang Serta penekanan terhadap pembangunan berkelanjutan.
Kata Kunci : Cipta Kerja, Lingkungan Hidup, Minerba, Politik Hukum.
Mining is the natural wealth of the Indonesian nation that is used for the prosperity of the people. Mineral and Coal Management in Law No. 4 of 2009 which was later changed to Law No. 3 of 2020. Then some provisions were changed in Law Number 11 of 2020 on job creation. related to the management of mineral and coal mining can not be separated from the politics of law. Political law is a choice regarding repealed or enacted laws whose origin is intended to achieve the objectives of the state.
The purpose of this study is to analyze the legal politics of coal mining management with the enactment of Law No. 11 of 2020 on job creation, analyze the implications of mineral and coal mining regulations with the enactment of Law No. 11 of 2020 on job creation on Environmental Protection and management and analyze the legal concept of mineral and coal mining management that is environmentally sound. The method used in this study is normative juridical method. The Data comes from library materials consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary. data were analyzed by qualitative analysis methods.
The results showed that the political law of mineral and coal management that is trying to be built from the Job Creation is a political law that promotes the improvement of the investment climate in Indonesia by simplifying permits. While the implications for the protection and management of the environment with the rules related to 0% royalties actually make the environment an object of exploitation alone.Then the legal concept of mineral and coal mining management that is environmentally sound is Plan Do Check Act which is a method with a cycle that continues And an emphasis on Sustainable Development.
Keywords: Job Creation, Environment, Mineral And Coal, Political LawDESMAN DIRI SATRIAWAN 20220110132022-10-11T03:09:43Z2022-10-11T03:09:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66763This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/667632022-10-11T03:09:43ZANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENANGANAN
MARINE DEBRIS BERDASARKAN UNCLOS 1982Marine Debris merupakan unsur padat yang secara sengaja ditinggalkan di laut atau
perairan lainnya. Marine Debris merupakan dampak dari antropogenik yaitu kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Hal ini didukung dengan fakta bahwa
80% dari marine debris berupa sampah berasal dari daratan. Penanganan sampah di laut
dan darat berkesinambungan sehingga keduanya harus dilaksanakan secara optimal.
Perlindungan laut diatur oleh UNCLOS 1982 sebagai hukum laut internasional yang
mengatur mengenai rezim laut. Pasal 194 UNCLOS 1982 mengatur mengenai tindakan-
tindakan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.
Namun, UNCLOS 1982 belum secara spesifik mengatur mengenai penanganan marine
debris. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk (1) mengkaji tanggung jawab negara
terhadap marine debris berdasarkan UNCLOS 1982 dan (2) menganalisis regulasi
Indonesia yang mengatur mengenai marine debris dan pemenuhannya dalam hukum
internasional.
Penelitian menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan
konseptual dalam menyelesaikan masalah. Data yang digunakan adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengolahan data penelitian
menggunakan teknik studi kepustakaan dan dokumen. Analisis data penelitian bersifat
kualitatif-deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara memiliki tanggung jawab terhadap marine
debris secara eksternal dan internal. Pertanggungjawaban negara terhadap marine debris
ditentukan oleh yurisdiksi berdasarkan zona maritim UNCLOS 1982. Pertanggungjawaban
pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial didasarkan pada
kedaulatan negara pantai secara absolut. Pertanggungjawaban pada zona tambahan masih
berada pada negara pantai karena adanya yurisdiksi untuk melaksanakan kepentingan
saniter. Di ZEE, negara pantai masih bertanggungjawab apabila ditemukan marine debris
karena dapat memanfaatkan sumber daya laut. Regulasi nasional dalam menangani Marine
Debris di Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan yang fokus terhadap
pengelolaan sampah rumah tangga sampai penanganannya di laut. Oleh karena itu
pemenuhannya dalam hukum internasional cenderung represif dibandingkan preventif.
Regulasi nasional Indonesia terkait marine debris diterapkan oleh pemerintah daerah
provinsi dan kota/kabupaten melalui kebijakan yang dapat dilaksanan secara individu oleh
masyarakat dan perusahaan.
Kata Kunci: Indonesia; Marine Debris; Tanggung Jawab Negara; UNCLOS 1982
Marine debris is a solid element that is intentionally left in the sea or other waters.
Marine debris is the impact of anthropogenic environmental damage caused by human
negligence. This negligence is supported by the fact that 80% of marine debris in the
form of litter that comes from land. Managing waste at sea and land is sustainable;
thus, both are optimally recognized. Protection of the sea is regulated by UNCLOS
1982 as the international law of the sea governing the sea regime. Article 194 of
UNCLOS 1982 regulates measures to prevent, reduce and control marine environment
pollution. However, UNCLOS 1982 has not explicitly regulated the handling of marine
debris. Therefore, this research aims to (1) examine the state's responsibility for marine
debris based on UNCLOS 1982 and (2) analyze Indonesian regulations governing
marine debris and their compliance with international law.
The research applies legal, case, and conceptual approach to solve problems. The data
in this research are secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal
materials. Processing research data in this research uses literature and document
study techniques. Furthermore, research data analysis is qualitative-descriptive.
The research illustrates that the state is internally and externally responsible for
marine debris. State responsibility for marine debris is determined by jurisdiction
under the 1982 UNCLOS maritime zone. Responsibility for inland, archipelagic, and
territorial seas is based on the absolute sovereignty of the coastal state. The
responsibility for the contiguous zone is still with the coastal state because of the
jurisdiction to carry out sanitary purposes. In the EEZ, the coastal state is still
responsible if there is marine debris because the coastal could benefit marine
resources exclusively. The national regulation in dealing with Marine Debris in
Indonesia consist of regulations that focus on events of household waste management
to its handling at sea. Therefore, its fulfillment in international law tends to be
repressive rather than preventive. Provincial and city/regency governments implement
Indonesian national regulations related to marine debris through policies applied
individually by communities and companies.
Keywords: Indonesia; Marine Debris; State Responsibility; UNCLOS 1982
2022011091 Orima Melati Davey2022-08-29T08:22:23Z2022-08-29T08:22:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65850This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658502022-08-29T08:22:23ZANALISIS YURIDIS LEGALISASI PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIAABSTRAK
ANALISIS YURIDIS LEGALISASI PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Oleh
Desimaliati
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) secara normatif tidak mengakui perkawinan beda agama, tetapi memberikan celah hukum dalam melegalisasi perkawinan beda agama. Banyak permohonan izin menikah beda agama yang dikabulkan melalui Penetapan Pengadilan dan berhasil dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dinyatakan sah beserta segala akibat hukumnya secara administrasi negara dan mengikat secara hukum keperdataan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa penerapan teori hukum dan mengidentifikasi peraturan perundang-perundangan yang menjadi dasar hukum pertimbangan Hakim dalam melegalisasi permohonan pencatatan perkawinan beda agama melalui Penetapan Pengadilan. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalisasi perkawinan beda agama melalui Penetapan Pengadilan lahir dari cara lain dalam menginterpretasikan Pasal 66 UU Perkawinan yang ditafsirkan dengan metode penerapan ‘asas konflik norma’ menggunakan prinsip logika hukum (rechtslogische prinzipien) atau presumption of rules (vermutungsregeln), sehingga UU Perkawinan tampak multitafsir. Ada beberapa peraturan perundang-undangan lainnya dan teori-teori hukum yang mendasari legalisasi pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia, dan terdapat dua perspektif pendapat mengenai dasar pertimbangan hukum dari Hakim dalam menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama melalui Penetapan Pengadilan. Untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dan anak-anak yang terlahir dalam suatu perkawinan, maka perkawinan perlu dicatatkan secara administratif negara, sekalipun perkawinan tersebut beda agama. Salah satu cara yang paling memungkinkan untuk diadaptasi dalam memberikan solusi terhadap pencatatan perkawinan beda agama yang belum ada pengaturan hukum normatifnya di Indonesia adalah dengan jalan Penetapan Pengadilan, yang dilegalisasi berdasarkan penerapan teori hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci: Legalisasi, Penetapan Pengadilan, Perkawinan Beda Agama, Pencatatan Perkawinan, Peraturan Perundang-undangan
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSIS OF THE LEGALIZATION OF THE REGISTRATION OF INTERFAITH MARRIAGES BASED ON COURT DECISIONS ACCORDING TO THE LAWS AND REGULATIONS IN INDONESIA
By
Desimaliati
Law Number 1 of 1974 concerning Marriage (Marriage Law) normatively does not recognize interfaith marriages, but the Marriage Law provides a legal loophole in legalizing interfaith marriages. Many requests for permits for interfaith marriages have been granted through Court Decisions and have been successfully registered at the Population and Civil Registry Office, declared valid along with all the legal consequences in state administration and legally binding on civil law. The purpose of this study is to analyze the application of legal theory and identify the laws and regulations that are the legal basis for the judge's consideration in legalizing the application for registration of interfaith marriages through a Court Decision. The writing of this thesis uses normative legal research methods.
The results of the study indicate that the legalization of interfaith marriages through a Court Decision was born from another way of interpreting Article 66 of the Marriage Law which is interpreted by the method of applying the 'norm conflict principle' using the principle of legal logic (rechtslogische prinzipien) or presumption of rules (vermutungsregeln), so that the Marriage Law seems multiple interpretations. There are several other laws and regulations and legal theories that underlie the legalization of the registration of interfaith marriages in Indonesia, and there are two perspectives of opinion regarding the basis of legal considerations from judges in accepting, examining, and deciding cases of applications for registration of interfaith marriages through a Court Determination. To guarantee legal protection and certainty for the parties and children born in a marriage, marriages need to be registered administratively by the state, even if the marriages are of different religions. One of the most possible ways to be adapted in providing a solution to the registration of interfaith marriages for which there is no normative legal regulation in Indonesia is by way of a Court Determination, which has been legalized based on the application of legal theory and several laws and regulations.
Keywords: Legalization, Court Determination, Interfaith Marriage, Marriage Registration, Legislation
2022011011 Desimaliati2022-08-26T02:40:39Z2022-08-26T02:40:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65716This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/657162022-08-26T02:40:39ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN
KREDIT KENDARAAN BERMOTOR
(Studi pada PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk dan
PT Mandala Multi Finance Tbk Cabang Lampung)Perusaah Pembiayaan Konsumen (PPK) bergerak dalam bidang pembiayaan
konsumen, terjadi hubungan hukum antara PPK dengan konsumen yaitu PPK
memberikan pinjaman dana kepada konsumen dengan memberikan jaminan salah
satunya berupa BPKB sepeda motor dan diangsur secara berkala sesuai yang
termuat dalam perjanjian. Faktanya ketika pihak PPK melakukan penagihan kepada
konsumen banyak konsumen yang tidak membayar. Permasalahan yang akan di kaji
dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan hukum para pihak dalam
pembiayaan konsumen kendaraan bermotor di PT WOM Finance dan PT Mandala
Multi Finance Cabang Bandar Lampung? dan bagaimana perlindungan hukum
terhadap perusahaan konsumen dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor?.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui pendekatan bahan-bahan pustaka, undang-undang, dan dokumen lainnya
serta wawancara dengan responden yang terstruktur.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hubungan hukum antara konsumen dengan
PT WOM Finance dan PT Mandala Finance melakukan pembiayaan kepada
konsumen yang membutuhkan kendaraan bermotor baik baru maupun bekas tetapi
tidak mempunyai uang untuk membelinya. PT WOM Finance dan PT Mandala
Finance menyediakan uang atau dana bagi para konsumen untuk membeli
kendaraan bermotor tersebut dengan cara angsuran atau sistem pembayaran berkala
namun uang tersebut tidak diberikan dalam bentuk uang kepada konsumen
melainkan diberikan dalam bentuk pembiayaan atas kendaraan bermotor tersebut.
Perlindungan hukum bagi PT WOM Finance dan PT Mandala Finance di sini hanya
terletak pada syarat dan ketentuan yang ada pada Formulir Aplikasi Pembiayaan
sbagai perjanjian kreditnya yang menyebutkan bahwa konsumen harus bertanggung
jawab atas semua kerugian-kerugian yang timbul dalam praktek pembiayaan
konsumen dan bersedia untuk menanggung semua biaya yang ditimbulkan dalam
praktek pembiayaan konsumen ini dan disamping itu konsumen sendiri di sini juga
berpotensi untuk mengalami kerugian oleh karena jika konsumen tersebut sudah
tidak mampu lagi melanjutkan pembayaran angsuran kendaraan yang dikreditnya
namun konsumen masih memiliki niat baik untuk mengembalikan kendaraan
bermotor tersebut maka uang yang telah dibayarkan oleh konsumen tersebutpun
tidak akan dikembalikan lagi kepada konsumen.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pembiayaan Konsumen, Pembiayaan
Kredit.
Consumer Financing Company (PPK) is engaged in consumer financing, there is a
legal relationship between PPK and consumers, namely PPK provides loan funds
to consumers by providing guarantees, one of which is in the form of motorcycle
BPKB and is paid in regular installments according to the agreement. In fact, when
the PPK billed consumers, many consumers did not pay. The problem that will be
examined in this study is how the legal relationship of the parties in consumer
financing of motor vehicles at PT WOM Finance and PT Mandala Multi Finance
Bandar Lampung Branch? and how is the legal protection for consumer companies
in motor vehicle loan agreements?.
The method used in this research is normative legal research and empirical legal
research. The approach used in this research is through the approach of library
materials, laws, and other documents as well as structured interviews with
respondents.
The results of this study indicate that the legal relationship between consumers and
PT WOM Finance and PT Mandala Finance provides financing to consumers who
need new or used motor vehicles but do not have the money to buy them. PT WOM
Finance and PT Mandala Finance provides money or funds for consumers to buy
the motor vehicle by means of installments or a periodic payment system but the
money is not given in the form of money to consumers but is given in the form of
financing for the motor vehicle. Legal protection for PT WOM Finance and PT
Mandala Finance here only lies in the terms and conditions contained in the
Financing Application Form as a credit agreement which states that consumers
must be responsible for all losses that arise in the practice of consumer financing
and are willing to bear all costs incurred in this consumer financing practice. and
besides that, consumers themselves here also have the potential to suffer losses
because if the consumer is no longer able to continue paying the installments for
the vehicle he is credited with but the consumer still has good intentions to return
the motor vehicle then the money paid by the consumer will not be returned. to
consumers.
Keyword: Legal Protection, Consumer Finance, Credit Financing.2022011089 ROHIMIN2022-08-22T08:41:19Z2022-08-22T08:41:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65389This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653892022-08-22T08:41:19ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR LAUT YANG BERKONFLIK DENGAN MASYARAKAT DI PROVINSI LAMPUNG
Abstrak
Penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung menimbulkan banyak persoalan, kemudian dampak dari penerbitan izin pertambangan pasir laut juga menjadi tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan berpotensi menimbulkan konflik sosial yang tinggi serta kerusakan ekosistem lingkungan hidup sehingga menimbulkan bencana ekologis. Sehingga dengan demikian penulis merumuskan dua isu hukum di antaranya adalah: Bagaimanakah penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung? Mengapa terdapat faktor penghambat penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, Prosedur Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan Komisi 2 DPRD Provinsi Lampung, Penyidik pada Dit Polairud Polda Lampung, NGO WALHI Lampung, dan Akademisi Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk kemudian keseluruhan data tersebut dianalisis secara kualitatif guna memperoleh simpulan.
Hasil dari penelitian ini adalah Pertama, bahwa penegakan hukum penambangan pasir laut di Provinsi Lampung berkaitan erat dengan tahap penegakan hukum formulasi, aplikasi, dan eksekusi serta upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Selain itu Peraturan daerah Provinsi No 1 tahun 2018 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) harus dapat diimplementasikan dengan baik guna penegakan hukum karena sudah cukup mengakomodir kepentingan masyarakat. Kedua, Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum penambangan laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung yang paling dominan yaitu faktor perundang-undangan dan aparat penegak hukumnya itu sendiri yang tidak tegas dalam melakukan penegakan hukum penambangan pasir laut serta implementasi aturan hukum yang sudah ada kurang dijalankan dengan baik sehingga menimbulkan konflik dan tidak berjalannya pengawasan terhadap aktivitas penambangan pasir laut.
Saran dalam penelitian ini adalah mengimplementasikan Perda RZWP3K Provinsi Lampung, memperkuat pengawasan dan pemerintah harus bisa menjamin tidak ada lagi penerbitan izin tambang pasir laut yang tidak sesuai dan tumpang tindih peruntukan sehingga berpotensi menimbulkan konflik-konflik baru serta penguatan kapasitas terhadap aparat penegak hukum.
Kata Kunci: Penegakan, Penambangan Pasir Laut, Konflik, Masyarakat.
Abstract
Law enforcement against sea sand mining activities in conflict with communities in Lampung Province creates problems, then the impact of sea sand mining permits also overlaps the designation of coastal areas and small islands and may cause high social conflicts and damage to environmental ecosystems, causing disasters. ecological. Thus, the author formulates two legal issues including: the application of the law to sea sand mining in conflict with the community in Lampung Province? Why are there legal inhibiting factors for sea sand mining activities that are in conflict with the community in Lampung Province?
This research uses a normative juridical and empirical juridical approach. Data collection procedures are carried out by literature studies and field studies by conducting interviews with Commission 2 of the Lampung Provincial DPRD, Investigators at Dit Polairud Polda Lampung, NGO WALHI Lampung, and Law Academics at the Faculty of Law, Lampung University. Then all of the data were analyzed qualitatively in order to obtain conclusions.
The results of this study are First, that the law enforcement of sea sand mining in Lampung Province is closely related to the law enforcement stages of formulation, application, and prevention efforts in the context of controlling environmental impacts that need to be carried out by making maximum use of supervision and licensing instruments. In addition, Provincial Regulation No. 1 of 2018 Zoning Plan for Coastal Areas and Small Islands (RZWP3K) must be implemented properly for law enforcement because it is sufficient to accommodate the interests of the community. The most dominant inhibiting factors in law enforcement of marine mining in conflict with the community in Lampung Province are the second factor of the law and its own law enforcement officers who are not firm in enforcing the law on sea sand mining and the implementation of existing laws is not carried out properly. resulting in conflicts and the absence of supervision over sea sand mining activities.
Suggestions in this study are to implement Perda RZWP3K Lampung Province, strengthen supervision and the government must ensure that there are no more marine sand mining permits that are inappropriate and overlapping in designations so that it has the potential for new conflicts and increases the capacity of law enforcement officers.
Keywords: Enforcement, Sea Sand Mining, Conflict, Community.
2022011006 Refi Meidiantama2022-08-18T07:36:42Z2022-08-18T07:36:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65113This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/651132022-08-18T07:36:42ZMEKANISME PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN PERKARA NARKOTIKA OLEH PENUNTUT UMUM (Berkas Perkara Polres Lampung Utara BP/48/IV/2020/Resnarkoba)Penyusunan surat dakwaan perkara narkotika, penuntut umum harus terlebih
dahulu meneliti kelengkapan formil dan materil yang ada pada berkas perkara
narkotika yang dikirimkan oeh kepolisian kepada kejaksaan. Karena dalam
melakukan pembuatan surat dakwaan, penuntut umum diharuskan membuat
secara cermat, jelas dan lengkap dalam menguraikan rangkaian peristiwa tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka, serta penuntut umum juga harus memilih
jenis dakwaan apa yang sesuai untuk digunakan. Metode penelitian ini memakai
pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini
dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Lampung Utara. Jenis data yang dipakai
merupakan data primer dan data sekunder. Serta analisis data yang digunakan
adalah yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil atas penelitian dan pembahasan bahwa
prosedur disusunya surat dakwaan perkara narkotika oleh penuntut umum yang
terdapat dalam Pasal 143 Ayat 2 KUHAP adalah harus memenuhi syarat akta,
syarat formil dan syarat materil. Serta terhadap perkara narkotika BP / 48 / IV /
2020 / Resnarkoba An. Tersangka HASSAN SANUSI Alias LATIEF Bin
ABDURAHMAN, tersangka dikenakan dakwaan berupa Dakwaan Kumulasi dan
Primer Subsider yang dimana tersangka didakwa Primer sebagai Penjual, Subsider
sebagai Orang yang Menguasai Barang dan secara sekaligus Orang yang Juga
Menyalahgunakan shabu-shabu bagi diri sendiri. Faktor yang dapat menghambat
Dalam Tersusunya Surat Dakwaan Perkara Narkotika Oleh Penuntut Umum
adalah faktor hukumnya secara tersendiri, faktor dari penegak hukum, faktor
fasilitas dan sarana yang mendukung, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan.
Simpulan dalam penelitian ini adalah bahwa penyusunan surat dakwaan oleh
penuntut umum harus berdasarkan ketentuan Pasal 143 Ayat 2 KUHAP,
mempedomani Surat Edaran dari Jaksa Agung RI No : SE-004/JA/11/1993. Saran
dalam penelitian ini adalah Perlunya hubungan komunikasi dua arah yang baik
dan berkelanjutan antara penyidik, penyidik pembantu dan jaksa dalam koordinasi
terhadap berkas perkara dan Perlu diadakanya diklat terpadu antara kepolisian
dengan kejaksaan yang bukan hanya diselenggarakan pada tingkatan pusat saja,
tetapi pada tingkatan daerah. Agar dalam praktek di daerah, dapat diminimalisir
terhadap kendala yang sering dialami oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam
menangani berkas perkara.
Kata Kunci : Surat Dakwaan, Narkotika, Penuntut Umum
Compiling a narcotics case indictment, the public prosecutor must first examine
the formal and material completeness contained in the narcotics case file sent by
the police to the prosecutor's office. Because in preparing the indictment, the
public prosecutor must be careful, clear and complete in describing the series of
criminal acts committed by the suspect, and the public prosecutor must also
choose what type of indictment is appropriate to use. The research method uses a
normative juridical approach and an empirical juridical approach. The research
was conducted at the North Lampung District Attorney's Office. The types of the
data that used as primary data and secondary data. The data analysis that used as
juridical qualitative. Based on the results of research and discussion that the
procedure for preparing a narcotics case indictment by the public prosecutor
contained in Article 143 Paragraph 2 of the Criminal Procedure Code is to meet
the requirements of the deed, formal requirements and material requirements. As
well as the narcotics case BP / 48 / IV / 2020 / Resnarkoba An. The suspect
HASSAN SANUSI alias LATIEF Bin ABDURAHMAN, the suspect was charged
with Cumulative and Primary Subsidiary Indictments in which the suspect was
charged with Primary as a Seller, Subsidiary as a Person in Control of Goods and
at the same time a Person who also abuses methamphetamine for himself.
Inhibiting factors in the preparation of the indictment of narcotics cases by the
public prosecutor are the legal factors themselves, law enforcement factors,
supporting facilities or facilities, community factors and cultural factors. The
conclusion in this study is that the preparation of the indictment by the public
prosecutor must be based on the provisions of Article 143 Paragraph 2 of the
Criminal Procedure Code, guided by the Circular Letter of the Attorney General
of the Republic of Indonesia No: SE-004/JA/11/1993. Suggestions in this study
are the need for a good and sustainable two-way communication relationship
between investigators, assistant investigators and prosecutors in coordinating the
case files and the need for an integrated training and education between the police
and the prosecutor which is not only held at the central level, but at the regional
level. So that in practice in the region, it can be minimized the obstacles that are
often experienced by the Police and the Prosecutor's Office in handling case files.
Keywords: Indictment, Narcotics, Public Prosecutor192201101 YOCKY AVIANTO PRASETYO PUTRO 2022-08-16T01:51:47Z2022-08-16T01:51:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64976This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/649762022-08-16T01:51:47ZKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TENTANG HUNIAN TETAP DAN
TAHAPAN PENYELESAIAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT KORBAN
TSUNAMI DI LAMPUNG SELATANTsunami di Lampung Selatan membawa dampak multi-aspek. Dalam
menanggulangi bencana tersebut, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan
mengambil beberapa kebijakan salah satunya pembangunan hunian tetap bagi para
korban. Di sisi lain, diundangkannya peraturan daerah Kabupaten Lampung
Selatan tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana berpotensi
menimbulkan sengketa tanah apabila pemerintah daerah menetapkan kawasan
semula korban tsunami menjadi terlarang untuk pemukiman.
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni, pertama, bagaimanakah
kebijakan pembangunan hunian tetap bagi korban tsunami di Lampung Selatan
diselenggarakan. Kedua, bagaimanakah tahapan-tahapan penyelesaian sengketa
hak atas tanah menurut Peraturan Daerah Lampung Selatan tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan bencana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hunian tetap dimulai dengan
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/613.1/VI.02/HK/2019 melalui
Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah sebesar 48,82 miliar yang disalurkan dalam
bentuk block grant. Kebijakan hunian tetap ini diselenggarakan di lokasi baru (ex
situ), di empat kecamatan yakni Kecamatan Rajabasa, Kecamatan Kalianda,
Kecamatan Sidomulyo, dan Kecamatan Katibung secara swakelola dengan jumlah
hunian sebanyak 524 unit yang akan dibangun pada lahan seluas 76.609 meter
persegi. Tahapan-tahapan penyelesaian sengketa tanah menurut Perda Lampung
Selatan tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dilakukan secara
bertahap, pertama dengan cara musyawarah mufakat, apabila sengketa tersebut
tidak dapat diselesaikan maka selanjutnya para pihak dapat melakukan
penyelesaian baik melalui bantuan mediator atau arbiter. Terakhir, jika kedua
belah pihak cukup, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur
pengadilan
Kata Kunci: Bencana, Hunian Tetap, Kebijakan, Sengketa
The tsunami in South Lampung had a multi-faceted impact. In tackling the
disaster, the South Lampung Regency Government took several policies, one of
which was the construction of permanent housing for the victims. On the other
hand, the promulgation of a regional regulation in South Lampung Regency
regarding the implementation of disaster management has the potential to cause
land disputes if the local government stipulates that the original tsunami-affected
area is prohibited for settlement
The problems that will be studied in this research are, first, how is the policy for
the construction of permanent housing for tsunami victims in South Lampung to
be implemented. Second, what are the stages of resolving land rights disputes
according to the South Lampung Regional Regulation on the Implementation of
Disaster Management.
The results showed that the permanent housing policy began with the Decree of
the South Lampung Regent Number: B/613.1/VI.02/HK/2019 through the Social
Assistance Fund with a Grant Pattern of 48.82 billion which was distributed in
the form of a block grant. This permanent housing policy is implemented in new
locations (ex situ), in four sub-districts namely Rajabasa District, Kalianda
District, Sidomulyo District, and Katibung District on a self-managed basis with a
total of 524 residential units to be built on an area of 76,609 square meters. The
stages of land dispute resolution according to the South Lampung Regional
Regulation concerning the Implementation of Disaster Management are carried
out in stages, first by way of deliberation and consensus, if the dispute cannot be
resolved then the parties can then make a settlement either through the help of a
mediator or arbitrator. Finally, if both parties are sufficient, then the dispute
resolution can be done through the courts
Keywords: Disaster, Permanent housing, Policy, Policy, Dispute1922011079 THIO HAIKAL ANUGERAH2022-08-15T07:44:20Z2022-08-15T07:44:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64925This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/649252022-08-15T07:44:20ZAKUNTABILITAS PENGAWASAN INSPEKTORAT TERHADAP PENYELENGGARAAN DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAHMerujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan keuangan Negara, Dana Bantuan Operasional Sekolah merupakan salah satu bentuk dana dekosentrasi pendidikan, sehingga dalam penyelenggaraannya dibutuhkan pengawasan. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Dana BOS dibutuhkan agar dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dapat tepat sasaran dan dialokasikan sesuai dengan peruntukkannya dalam rangka program pemerataan pendidikan di Indonesia, dengan adanya dana BOS diharapkan masyarakat dapat menempuh pendidkan tanpa adanya kendala biaya. Salah satu lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan ialah Inspektorat. Menggunakan pendekatan normatif, penelitian ini mengkaji mekanisme pengawasan yang dilakukan Inspektorat Kabupaten Lampung Tengah terhadap penyelenggaraan dana BOS dan menemukan model pengawasan inspektorat yang akuntabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model pengawasan yang akuntabel untuk mengawasi dana BOS dalam adalah audit yang sesuai dengan standar audit menurut Peraturan Menteri Pemeberdayaan Aparatur Negara Nomor 05 Tahun 2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Internal Pemerintah yang meliputi standar pelaksanaan, standar pelaporan serta standar tindak lanjut hasil pemeriksaan. Ketiga standar tersebut menjadi tolak ukur akuntabilitas pengawasan Inspektorat Kabupaten Lampung Tengah. Dalam membangun akuntabilitas pengawasan dana BOS oleh Inspektorat, di Lampung Tengah dilakukan dengan cara audit regular atau berkala dengan dua bentuk pengawasan, yaitu Penjamin Kualitas (quality assurance) dan jasa konsultasi (Consulting). Bentuk assurance meliputi audit, evaluasi, reviu dan monitoring, sedangkan bentuk consulting meliputi konsultasi, sosialisasi dan asistensi. Pelaksanaan audit yang dilakukan oleh Inspektorat Lampung Tengah telah memenuhi tiga standar dalam mengukur akuntabilitas pengawasan APIP. Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan Inspektorat terhadap penyelenggaraan dana BOS sudah akuntabel.
Kata kunci: Pengawasan, Akuntabilitas, Dana BOS, Inspektorat
2022011042 BIYES NURUL ATIKA 2022-08-12T02:11:38Z2022-08-12T02:11:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64869This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/648692022-08-12T02:11:38ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK
PEMBANGUNAN JALAN TOL RUAS TERBANGGI BESAR-PEMATANG
PANGGANGPelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol telah diatur secara
jelas dan rinci, tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, namun pada kenyataannya masih terdapat beberapa permasalahan
hukum yang sering muncul dalam proses akuisisi Tanah. Permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini yaitu : Pertama, bagaimana dampak yang terjadi di masyarakat. kedua,
apakah hak masyarakat telah terpenuhi. ketiga, kebijakan apa yang dilakukan pemerintah untuk
melindungi masyarakat yang terkena dampak pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol
ruas Terbanggi Besar-Pematang Panggang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis suatu fenomena yang
didukung oleh data yang diperoleh peneliti. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori kebijakan publik, evaluasi kebijakan dan perlindungan hukum.
Dampak yang terjadi karena pembangunan jalan tol Terbanggi Besar – Pematang Panggang
dikalsifikasikan dari dampak tahapan pra kontruksi, kontruksi, dan operasi, yang dampaknya
cukup beragam mulai dari segi fisk maupun segi sosial yang dialami masyarakat. Pemerintah
telah menetapkan kebijakan untuk menaggulangi dampak yang terjadi di masyarakat akibat
pembangunan jalan tol dan telah memenuhi hak-hak masyarakat secara hukum sesuai dengan
peraturan perundang undangan bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Namun hak masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi dengan adanya pembangunan ini
dikrenakan tidak adanya kebijakan yang di keluarkan pemerintah daerah dalam menangani
SDM (Sumber Daya Manusia) agar dapat bersaing dalam peningkatan ekonomi.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pengadaan Tanah, Dampak Pembangunan Jalan Tol
The implementation of land acquisition for the construction of toll road infrastructure has been
regulated in a clear and detailed manner, the stages of land acquisition implementation are in
accordance with applicable laws and regulations, but in reality there are still several legal
problems that often arise in the land acquisition process. These are: First, how the impact that
occurs in society. second, whether the rights of the community have been fulfilled. third, what
policies did the government take to protect the affected communities.
This study uses a qualitative approach to analyze a phenomenon that is supported by the data
obtained by the researcher. The theory used in this research is the theory of public policy,
policy evaluation and legal protection.
The impacts that occur due to the construction of the Terbanggi Besar – Pematang Panggang
toll road are classified from the impacts of the pre-construction, construction, and operation
stages, the impacts of which are quite diverse, starting from the physical and social aspects
experienced by the community. The government has established a policy to overcome the
impacts that occur on the community due to the construction of toll roads and has fulfilled the
legal rights of the community in accordance with the laws and regulations in the field of land
acquisition for development in the public interest. However, the rights of the community have
not been fully fulfilled with this development due to the absence of policies issued by the local
government in dealing with human resources in order to compete in economic development.
Keywords: Legal Protection, Land Acquisition, Impact of Toll Road Development2022011038 M Alfayyad Ryandika 2022-08-11T08:13:05Z2022-08-11T08:13:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64838This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/648382022-08-11T08:13:05Z
PENEGAKKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PRAKTEK PENYELUNDUPAN BENIH BENING LOBSTER DI KABUPATEN PESISIR BARAT (Studi Putusan Perkara Nomor: 1188/Pid.B/LH/2021 PN Tjk)
Meningkatnya kasus penyelundupan benih lobster merupakan konsekuensi lain dari larangan ekspor benih lobster. Namun, dibukanya kembali ekspor benih lobster justru meningkatkan praktik penyelundupan benih lobster yang semakin tinggi, terlepas dari aturan yang ada, karena berorientasi hanya pada keuntungan semata. Oleh karena itu persoalan yang akan dikaji dan dianalisa dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindakan penyelundupan benih bening lobster di Kabupaten Pesisir Barat?, dan mengapa ada faktor penghambat penanganan tindak pidana penyelundupan benih bening lobster di Kabupaten Pesisir Barat?
Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif empiris, yakni penulis meneliti menurut fakta dalam Putusan No: 1188/Pid.B/LH/2021/PN Tjk yang kemudian ditinjau dari berbagai teori dan referensi yang relevan. Riset ini memanfaatkan data sekunder dan primer. Memeriksa dokumen yang berkaitan dengan penyelidikan ini di perpustakaan dan menemukan data atau kasus yang ada digunakan untuk mengumpulkan dan memproses data. Data yang diperoleh dari tulisan tersebut kemudian dipilih, diolah, dan diteliti secara deskriptif.
Menurut temuan penelitian, penegakan hukum pidana terhadap tindakan penyelundupan Benih Bening Lobster di Kabupaten Pesisir Barat lebih cenderung pada sarana penal atau upaya represif, didasarkan pada Undang-Undang Perikanan yang merumuskan pertanggungjawaban pidana secara kumulatif. Aspek substansi hukum merupakan hambatan paling signifikan bagi upaya penegakan hukum di Kabupaten Pesisir Barat terhadap tindak pidana penyelundupan benih Lobster Bening.
Saran dalam penelitian ini yaitu pertama agar pemerintah dan DPR RI merevisi Undang-Undang Perikanan sehingga penegakan hukum lebih menyentuh korporasi dan aktor intelektual penyelundupan Benih Bening Lobster. Kedua, penegak hukum harus mengedepankan upaya non-penal yang menitikberatkan pada pencegahan.
Kata kunci: Lobster, Penegakan hukum, Penyelundupan
The increase in cases of smuggling of lobster seeds is another consequence of the prohibition on the export of lobster seeds. However, the reopening of lobster seed exports has actually increased the practice of lobster seed smuggling which is getting higher, regardless of the existing regulations, because it is oriented only to profit. Therefore, the problem that will be studied and analyzed in this research is how is the enforcement of criminal law against the act of smuggling lobster clear seeds in the Pesisir Barat Regency?
The reserach of this thesis uses an empirical normative juridical approach, namely the author examines based on the facts in Decision No: 1188/Pid.B/LH/2021/PN Tjk which is then reviewed from various relevant theories and references. The data used in this study are secondary data and primary data. Data collection and processing is done by studying documents relevant to this research in the library and identifying existing data or cases. The data that has been obtained from writing then all the data are selected and processed, then analyzed descriptively.
Based on research findings, criminal law enforcement against the smuggling of Bening Lobster Seeds in Pesisir Barat Regency is more likely to be a means of punishment or repressive measures, based on the Fisheries Law which formulates cumulative criminal liability. The legal substance factor is the most dominant factor hindering the law enforcement process against the crime of smuggling Lobster Bening Seeds in the Pesisir Barat Regency.
The suggestions in this study are first that the government and the Indonesian House of Representatives revise the Fisheries Law so that law enforcement is more sensitive to corporations and intellectual actors smuggling Bening Lobster Seeds. Second, law enforcement must prioritize non-penal efforts that focus on prevention.
Keywords: Lobster, Law enforcement, Smuggling
2022011003 TIARA BERLIANtiaraberlian@gmail.com2022-08-09T08:09:03Z2022-08-09T08:09:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64729This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647292022-08-09T08:09:03ZPENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM PADA PEMIDANAAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA)ABSTRAK
Double track system pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya terjadi kecenderungan untuk memutus pidana dibanding tindakan oleh hakim pada berbagai perkara anak. Kenyataan ini juga kerap terjadi di kota Bandar Lampung.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam memutus antara pidana atau tindakan pada pemidanaan anak. Teori yang digunakan adalah dasar pertimbangan hakim, faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya penegakan hukum dan teori tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dari aspek yuridis berdasarkan pada UU-SPPA terutama Pasal 70 dan Pasal 57. Pada aspek filosofis hakim mempertimbangkan masa depan anak setelah menjalani masa pidana dan ada atau tidaknya kesepakatan damai dari kedua pihak. Aspek sosiologis mempertimbangkan latar belakang anak dan manfaat sanksi bagi masyarakat, yang mana terdapat kecenderungan pada pelaku anak di Bandar Lampung untuk melakukan pengulangan tindak pidana sehingga program di LPKA dianggap paling efektif untuk anak.
Faktor dominan yang menghambat penerapan double track system di kota Bandar Lampung adalah faktor sarana atau fasilitas pendukung dan masyarakat yang masih belum memahami manfaat dari double track system. Model ideal dalam menerapkan double track system adalah dengan memaksimalkan sarana atau fasilitas pendukung untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang berporos pada teori tujuan. Pemerintah perlu melakukan rekonstruksi dan relokasi terhadap LPKA Bandar Lampung, juga melakukan optimalisasi terhadap lembaga-lembaga pembinaan anak jalanan di Kota Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pemidanaan anak, Double Track System, Pertimbangan Hakim.
ABSTRACT
The double track system in Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System (UU-SPPA) is the government's effort to realize the values in Pancasila as Indonesian ideology. However, in the reality there is a tendency to decide on a crime compared to treatment by judges in various children's cases. This fact also often occurs in the city of Bandar Lampung.
This study aims to analyze the basis of the judge's considerations in deciding between crime or treatment on the children’ punishment. The theory used is the basis for judges' considerations, the factors that influence the obstruction of law enforcement and the theory punishment’ purpose. This research uses a normative juridical approach and an empirical juridical approach.
The results showed that the judge's basic considerations from the juridical aspect were based on the SPPA Law, especially Article 70 and Article 57. In the philosophical aspect the judge considered the future of the child after serving a criminal period and whether or not there was a peace agreement from both parties. The sociological aspect considered the background of the child and the benefits of sanctions for the community, where there is a tendency for child offenders in Bandar Lampung to repeat criminal acts so that the program at LPKA is considered the most effective for children.
The dominant factor that hinders the implementation of the double track system in the city of Bandar Lampung is the supporting facilities factor and people who still do not understand the benefits of the double track system. The ideal model in implementing the double track system is to maximize the supporting facilities or facilities to realize the goal of punishment which pivots on the relative theory. The government needs to reconstruct and relocate LPKA Bandar Lampung, as well as optimize the institutions for fostering street children in Bandar Lampung City.
Keywords: Juvenile Criminal Justice System, Double Track System, Judge’s Considerations.2022011005 DONNA EXSANTI CHARINDA2022-07-29T00:37:26Z2022-07-29T00:37:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64297This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/642972022-07-29T00:37:26ZPEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MELALUI PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIKABSTRAK
PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MELALUI PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK
Oleh
MUHAMMAD RIDHO WIJAYA
Pembuktian yakni proses mendapatkan kejelasan atas kedudukan hukum para pihak dengan dilandasi dalil hukum. Pemanfaatan teknologi dapat digunakan dengan dilakukannya persidangan secara elektronik. Persidangan secara elektronik telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik. Namun dalam pelaksanaannya, masih ditemukan kendala yang diharapkan untuk segera diatasi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pembuktian perkara pidana melalui persidangan secara elektronik? Lalu, Mengapa terdapat kendala dalam melakukan pembuktian perkara pidana melalui persidangan secara elektronik? Serta, Bagaimanakah sistem atau model yang ideal untuk melakukan pembuktian perkara pidana melalui persidangan secara elektronik?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif. Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan sistematis dan pemaparan deskriptif guna diuraikan sesuai dengan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian perkara pidana melalui persidangan secara elektronik tidak jauh berbeda dengan pembuktian perkara pidana yang mekanismenya telah diatur dalam KUHAP hanya saja dilakukan melalui media elektronik. Kendala yang terjadi meliputi persoalan teknis dan SDM, koordinasi, fasilitas, faktor terdakwa serta akses masyarakat. Kemudian, sistem atau model yang ideal pembuktian secara elektronik yakni mengenai keseragaman aturan, peningkatan dibidang kinerja SDM, pengadaan fasilitas, koordinasi, perlindungan HAM, serta standarisasi persidangan secara elektronik.
Saran dalam penelitian ini yakni diperlukan prioritas pembahasan dalam RUU- KUHAP agar persidangan secara elektronik dapat terstandar dengan baik. Kendala yang dihadapi hendaknya dapat diatasi dengan baik serta hendaknya terdapat penambahan anggaran guna peningkatan fasilitas dan juga koordinasi antar instansi untuk mewujudkan sistem ideal persidangan secara elektronik.
Kata Kunci: Pembuktian, Pidana, Persidangan Elektronik.
ABSTRACT
EVIDENCE OF CRIMINAL CASES THROUGH ELECTRONIC TRIAL
By
Muhammad Ridho Wijaya
The Proof is the process of obtaining clarity on the legal position of the parties based on legal arguments. The utilization of technology can be used by conducting an electronic trial. Electronic hearings have been regulated in Supreme Court Regulation Number 4 of 2020 concerning Administration and Trial of Criminal Cases in Courts Electronically. However in its implementation, there are still obstacles that are expected to be overcome soon. The problems in this research are: How to prove a criminal case through an electronic trial? Then, why are there obstacles in proving criminal cases through electronic trials? Also, what is the ideal system or model for proving criminal cases through electronic trials?
This study uses an empirical juridical approach and a normative juridical approach. The data of this research are sourced from primary data and secondary data. The data obtained were then processed systematically and descriptively in order to be described in accordance with the problems related to the research.
The results of the study show that proving criminal cases through electronic trials is not much different from the provisions of the Criminal Procedure Code, only that it is carried out through electronic media. Constraints that occur such as technical and human resources problems, coordination problems, facility problems, defendant factors and community access. Then, the ideal systematization of electronic evidence is regarding uniformity of rules, improving human resource performance, improving and procuring facilities, improving coordination, increasing human rights protection, and standardizing electronic trials.
The suggestion in this research is that it is necessary to prioritize the discussion in the Draft Criminal Procedure Code so that the electronic trial can be standardized properly. The obstacles faced should be overcome properly and there should be an additional budget to improve facilities and also coordination between agencies to realize the ideal system of electronic court proceedings.
Keyword: Evidence, Criminal, Electronic Trial.
1922011004 Muhammad Ridho Wijayaridhowijayaa@gmail.com