Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T10:25:36ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2024-01-17T07:05:13Z2024-01-17T07:05:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78102This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/781022024-01-17T07:05:13ZPELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
ANTARA PEMILIK LAHAN DENGAN PENGGARAP
DI DESA GIHAM SUKAMAJU KECAMATAN SEKINCAU
KABUPATEN LAMPUNG BARATPerjanjian bagi hasil tanah pertanian merupakan perbuatan hukum yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan hukum adat
di Indonesia. Perjanjian bagi hasil yang dilaksanakan di Desa Giham Sukamaju, Kecamatan
Sekincau Kabupaten Lampung Barat dari dahulu dilakukan secara lisan yang didasarkan
kepercayaan dan kesepakatan. Isi perjanjian yang meliputi hak dan kewajiban antara penggarap
dan pemilik tanah ditentukan oleh mereka sendiri serta hasil dari memanfaatkan tanah tersebut
akan dibagi sesuai kesepakatan yang telah disepakati bersama. Tujuan penelitian pertama,
mengidentifikasi dan menganalisis perjanjian bagi hasil (Maro) tanah pertanian di Desa Giham
Sukamaju Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat. Kedua, mengetahui dan
menganalisis kepastian hukum perjanjian bagi hasil (Maro) tanah pertanian kepada penggarap di
Desa Giham Sukamaju Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat. Metode penelitian
menggunakan hukum normatif-empiris dan pendekatan kasus (case approach). Hasil dari
penelitian ini adalah Perjanjian bagi hasil (Maro) tanah pertanian di Desa Giham Sukamaju,
Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat masih berdasarkan pada kebiasaan secara turun
temurun dan atas dasar saling percaya. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian lebih dikenal dengan
istilah Maro dengan pembagian hasil tanah pertanian sesuai dengan kesepakatan antara pemilik
lahan/menguasai tanah dan penggarap. Pembagian hasil tersebut di potong biaya-biaya garapan
terlebih dahulu kemudian dibagi dua setengah untuk penggarap dan setengah untuk pemilik
lahan/menguasai tanah. Kepastian perjanjian bagi hasil (maro) tanah pertanian di Desa Giham
Sukamaju, Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat yang dibuat para pihak dalam
bentuk lisan tidak menciptakan kepastian hukum bagi penggarap karena perjanjian yang dibuat
oleh pemilik lahan dan penggarap harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada.
Perjanjian bagi yang dibuat dalam bentuk tertulis dihadapan kepala desa dan disertakan saksi
tujuannya untuk menciptakan adanya kepastian hukum sebagaimana yang sudah diatur dalam
ketentuan UU Perjanjian Bagi Hasil Pasal 3 Ayat (1). Pentingnya bentuk perjanjian dibuat dalam
bentuk tertulis, dan disertakan saksi juga dibuat di hadapan kepala desa bertujuan untuk
terciptanya kepastian hukum dari sebuah perjanjian agar pemilik lahan dan penggarap lahan
dalam melakukan perjanjian bagi hasil tanah pertanian menghindarkan keraguan yang mungkin
menimbulkan perselisihan baik itu dalam pembagian imbangan, jangka waktu, pemenuhan hak,
pemenuhan kewajiban, cara penyelesaian sengketa apabila terjadi dan dapat dijadikan sebagai
alat bukti.
Kata Kunci: Perjanjian Lisan, Kepastian Hukum, Pelaksanaan Bagi Hasil, Tanah Pertanian.
Agricultural land production sharing agreements are legal acts regulated in Law Number 2 of
1960 concerning Production Sharing Agreements which were born based on customary law in
Indonesia. The profit sharing agreement implemented in Giham Sukamaju Village, Sekincau
District, West Lampung Regency has always been done verbally based on trust and agreement.
The contents of the agreement which includes the rights and obligations between the cultivator
and the land owner are determined by themselves and the proceeds from using the land will be
shared according to the mutually agreed agreement. The first research objective is to identify and
analyze production sharing agreements (Maro) for agricultural land in Giham Sukamaju Village,
Sekincau District, West Lampung Regency. Second, knowing and analyzing the legal certainty
of production sharing agreements (Maro) for agricultural land to cultivators in Giham Sukamaju
Village, Sekincau District, West Lampung Regency. The research method uses normativeempirical
law and a case approach. The results of this research are that the production sharing
agreement (maro) for agricultural land in Giham Sukamaju Village, Sekincau District, West
Lampung Regency is still based on hereditary customs and on the basis of mutual trust.
Agricultural land production sharing agreements are better known as Maro, with the distribution
of agricultural land results in accordance with the agreement between the land owner/control of
the land and the cultivator. The distribution of the results is deducted from cultivation costs first,
then divided into half for the cultivator and half for the land owner/control of the land. The
certainty of the production sharing agreement (maro) of agricultural land in Giham Sukamaju
Village, Sekincau District, West Lampung Regency which is made by the parties in verbal form
does not create legal certainty for the cultivator because the agreement made by the land owner
and cultivator must follow existing laws and regulations. .Sharing agreements are made in
written form before the village head and include witnesses with the aim of creating legal
certainty as regulated in the provisions of the Production Sharing Agreement Law Article 3
Paragraph (1). It is important that the form of the agreement be made in written form, and
include witnesses and also make it in the presence of the village head with the aim of creating
legal certainty in an agreement so that the land owner and land cultivator in making an
agreement to share agricultural land produce avoids doubts which might give rise to disputes
whether in the distribution of shares, time period, fulfillment of rights, fulfillment of obligations,
method of resolving disputes if they occur and can be used as evidence.
Keywords: Oral Agreement, Legal Certainty, Implementation of Production Sharing,
Agricultural Land.AYUHANDIKA NINIK 22220110862024-01-17T03:25:15Z2024-01-17T03:25:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78093This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780932024-01-17T03:25:15ZREDUKSI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH PASCA
KEBERLAKUAN PASAL 58 UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2022Pembentukan produk hukum daerah merupakan bentuk kewenangan yang
diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi dan
tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan atau penjabaran
lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kehadiran
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
membawa sejumlah pertanyaan bagi Pemerintah dan Masyarakat di daerah
khususnya mengenai Pasal 58 ayat (2) yang mengaharuskan keterlibatan
Kementerian Hukum dan HAM dalam proses pengharmonisasiaan produk hukum
daerah, yang berdampak pada perubahan skema proses pembentukan produk
hukum di daerah.
Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kewenangan otonomi daerah pasca keberlakuan Pasal 58
Undang-Undang 13 Tahun 2022. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
wajibnya keterlibatan Kemenkumham dalam proses pengharmonisasiaan produk
hukum daerah sebagai wujud pelaksanaan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 pada kenyataanya secara implementasi tidak efektif,
dikarenakan hal ini yang mereduksi kewenangan Pemerintah Daerah dalam
pembentukan suatu rancangan produk hukum daerah, khususnya terhadap
pembentukan raperda yang menjadi wujud pelaksanaan otonomi seluas-luasnya
yang telah diberikan Undang-Undang, tanpa melihat secara rinci nilai urgensitas
dan kebutuhan daerah. Lebih lanjut belum adanya payung hukum berbentuk
pengaturan mengenai Tata cara pengharmonisasian yang menjadi standar baku
mengenai tata cara, dan jangka waktu, menjadi indikator adanya reduksi
kewenangan a quo. Sehingga perlu adanya solusi yang tepat atas permasalahan
pembentukan peraturan perundang-undangan dan pelimpahan kewenangan
harmonisasi produk hukum dari pusat hingga daerah melalui pembentukan regulasi
yang jelas.
Kata Kunci : Reduksi, Kewenangan, Otonomi Daerah, Produk Hukum
The formation of regional legal products is a form of authority given to regional
governments in the context of carrying out autonomy and assistance tasks, as well
as accommodating special regional conditions and/or further elaboration according
to higher laws and regulations. The presence of Law Number 13 of 2022 concerning
the Second Amendment to Law 12 of 2011 concerning the Formation of Legislative
Regulations raises a number of questions for the Government and Communities in
the regions, especially regarding Article 58 paragraph (2) which requires the
involvement of the Ministry of Law and Human Rights in the process.
harmonization of regional legal products, which has an impact on changing the
scheme of the legal product formation process in the regions.
This thesis uses empirical juridical research methods, which aim to find out how
regional autonomy authority is after the implementation of Article 58 of Law 13 of
2022. Based on the research results, it is known that the involvement of the Ministry
of Law and Human Rights is mandatory in the process of harmonizing regional
legal products as a form of implementation of Article 58 paragraph (2) Law Number
13 of 2022 is in fact ineffective in its implementation, because this reduces the
authority of the Regional Government in forming a draft regional legal product,
especially regarding the formation of draft regional regulations which are a form of
implementing the widest possible autonomy that has been granted by the Law,
without look in detail at the value of urgency and regional needs. Furthermore, there
is no legal umbrella in the form of regulations regarding harmonizing procedures
which are standard standards regarding procedures, time periods, and are indicators
of a reduction in a quo authority. There needs to be an appropriate solution to the
problem of forming statutory regulations and delegating authority to harmonize
legal products from the center to the regions through the formation of clear
regulations.
Keywords: Reduction, Authority, Regional Autonomy, Legal ProductsFitri Ningsih Aprilia 21220111032024-01-16T06:47:58Z2024-01-16T06:47:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78073This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780732024-01-16T06:47:58ZKAJIAN TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK
KORBAN KEKERASAN SEKSUALKekerasan seksual sering terjadi dimasyarakat,Perempuan menjadi korban terbanyak dalam kasus
kekerasan seksual karena secara kodrati fisik perempuan lebih lemah dibanding laki-laki.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah kondisi saat ini perlindungan hak korban kekersan
seksual serta produk hukum yang berlaku menurut pandangan teori nhukum feminis. Hal ini yang
menjadi dasar kajian terhadap korban kekerasan seksual karena masih banyak masyarakat yang
tidak dapat menananggapi masalah ini secara benar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh lalu dianalisis secara
kualitatif, untuk selanjutnya diambil kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi saat ini dalam perlindungan hak korban kekerasan
seksual yang melibatkan peran pemerintah dan masyarakat yang diwakili Lembaga Swadaya
masyarakat sudah menunjukan kesadaran yang lebih lanjut ini terbukti bahwa adanya program
untuk memulihkan keadaan korban baik secara fisik maupun mental, serta mengedukasi
masyarakat terkait perannya dalam menangani korban kekerasan seksual. Dalam sudut pandang
teori hukum feminis produk hukum Indonesia sudah memiliki kesadaran terhadap gender melihat
adanya peraturan peraturan khusus yang menangani masalah perempuan. Selain itu produk hukum
yang ada di Indonesia sudah memilikinkesadaran terhadap gender dengan terbukti adanya undang
undang khuhus yang menitik beratkan kepada perempuan maupun pasal pasal didalam suatu
undang undang yang kemiliki fokus terhadap perlindungan terhadap perempuan.
Saran dalam penelitian hendaknya adanya peningkatan kinerja pemerintintah terkait perlindungan
hak korban kekerasan seksual ditunjukan dengan adanya program baru yang inovatif sertua
pengawasan mutu dalam melakukan perlindungan terhadap hak korban kekerasan
seksual.Perlunya sosialisai produk hukum yang berkaitan dengan perlindungan hak korban
kekerasan seksul ke masyarakat dalam upaya edukasi. Prima Putra Alfiando 21220110372024-01-16T06:28:35Z2024-01-16T06:28:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78068This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780682024-01-16T06:28:35ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK AKAD GADAI EMAS DALAM HAL TERJADINYA WANPRESTASI
DI PT BANK SYARIAH INDONESIALayanan gadai emas pada Bank Syariah Indonesia (BSI) merupakan salah satu fitur produk yang disediakan kepada nasabah untuk memperoleh dana tunai dengan cara menggadaikan emas. Salah satu aspek dalam praktik gadai emas ini adalah perlindungan konsumen. Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum nasabah terhadap akad gadai emas dalam hal terjadinya wanprestasi pada PT BSI (2) Apakah faktor penghambat perlindungan hukum nasabah dalam hal terjadinya wanprestasi pada PT BSI (3) Bagaimanakah solusi yang ditempuh PT BSI dalam mengatasi penghambat perlindungan hukum nasabah terhadap akad gadai emas dalam hal terjadi wanprestasi.
Jenis penelitian ini adalah normatif-empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pengolahan data dilakukan dengan seleksi data, klasifikasi data dan sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis kualitati.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Perlindungan hukum nasabah terhadap akad gadai emas dalam hal terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah (apabila telah jatuh tempo gadai emas, namun tidak mampu membayar biaya ujrah dan tidak melakukan perpanjangan gadai emas) dilakukan PT BSI dengan mengkonfirmasi dan pemberitahuan kepada nasabah mengenai tanggal jatuh tempo dan besarnya biaya ujrah yang harus dibayar. Perlindungan hukum dalam hal PT BSI melakukan wanprestasi yaitu emas yang menjadi jaminan gadai oleh nasabah mengalami kerusakan atau hilang, maka PT BSI melakukan penggantian atas kerusakan atau hilangnya emas tersebut. (2) Faktor penghambat perlindungan hukum nasabah terhadap akad gadai emas dalam hal terjadinya wanprestasi pada PT BSI yaitu nasabah tidak responsif ketika dihubungi pada saat telah jatuh tempo bagi nasabah untuk memperpanjang masa gadai emas atau tidak, padahal nasabah wajib membayar ujrah dan memutuskan perpanjangan masa gadai atau tidak. (3) Solusi yang ditempuh PT BSI mengatasi penghambat perlindungan hukum nasabah adalah melakukan upaya atau tindakan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam akad Rahn atau Surat Bukti Gadai Emas (SGBE) agar tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku dan tidak dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dianggap tidak memberikan perlindungan pada konsumen.
Saran penelitian ini adalah PT BSI agar: (1) Menyelesaikan perselisihan dalam hal terjadi wanprestasi gadai emas dengan mengedepankan asas kekeluargaan sesuai prinsip syariat Islam. (2) Menyampaikan konfirmasi terkait perpanjangan masa gadai kepada nasabah secara cermat dan baik. (3) Melibatkan nasabah dalam hal dilaksanakan penjualan barang jaminan akibat terjadinya wanprestas.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Gadai Emas, Wanprestasi, BSI.ATIKA RAFIDAH NUR 20220110762024-01-16T01:50:09Z2024-01-16T01:50:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78053This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780532024-01-16T01:50:09ZKEBIJAKAN HUKUM DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI
PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Studi Perbandingan Pemilihan Kepala Daerah
Kota Metro Dan Lampung Tengah 2020)Dikenal dua pemahaman tentang demokrasi, yaitu secara normatif atau yang
dikenal sebagai demokrasi prosedural dan secara empirik atau yang dikenal sebagai
demokrasi substansi Berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Provinsi Lampung, partisipasi masyarakat di Kota Metro pada
Pilkada 2020 tercatat 85,74 persen. Partisipasi itu menjadi yang tertinggi sekaligus
melampaui target nasional, yakni 77,5 persen. Pada tahun tersebut seluruh dunia
tidak terkecuali Indonesia sedang di landa covid 19. Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) Untuk menganalisis bentuk kebijakan Hukum yang dibuat oleh
pemerintah dan penyelenggara pemilu/pilkada dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati
Lampung Tengah tahun 2020. (2) Untuk mendeskripsikan peran KPU, Bawaslu,
Pemerintah Daerah, Partai Politik, Pasangan Calon Pilkada dan masyarakat sipil
dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Metode yang digunakan yaitu
metode penelitian normative dan pendekatan peraturan Perundang-Undangan
(statute approach). Hasil dari penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun2015, pemilihan kepala daerah kembali ditetapkan
dengan berpasangan. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
danWakil Bupati, serta Walikota dan WakilWalikota yang selanjutnya
disebut“Pemilihan” adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan
demokrati KPU Kota Metro insentif melakukan komunikasi dan koordinasi dengan
unsur-unsur pemerintahan di daerah, baik Bawaslu, Pemerintah Daerah, Partai
Politik, DPRD, maupun aparat penegak hukum dalam menjamin kelancaran dan
keamanan pelaksanaan pemilihan. Dalam penyelenggaraan pemilihan komam KPU
Kota Metro tak bisa lepas dari kerjasama dan peran lembaga-lembaga tersebut.
Kata kunci: Penyelenggaraan Pemilu, Partisipasi masyarakat
There are two understandings of democracy, namely normative or what is known
as procedural democracy and empirically or what is known as substantive
democracy. Based on data collected from the General Election Commission (KPU)
of Lampung Province, community participation in Metro City in the 2020 Pilkada
was recorded at 85.74 percent. This participation was the highest and exceeded the
national target, namely 77.5 percent. In that year, the whole world, including
Indonesia, was hit by Covid 19. The aims of this research are: (1) To analyze the
form of legal policy made by the government and election/pilkada organizers in
increasing public participation in the election of Mayor and Deputy Mayor, Regent
and Deputy Regent of Central Lampung in 2020. (2) To describe the role of the
KPU, Bawaslu, Regional Government, Political Parties, Regional Election
Candidate Pairs and civil society in efforts to increase community participation.
The methods used are normative research methods and a statutory approach. The
result of this research is Law Number 8 of 2015 concerning Amendments to Law
Number 1 of 2015 concerning the Election of Governors, Regents and Mayors. In
Law Number 8 of 2015, regional head elections are again determined in pairs.
Election of Governor and Deputy Governor, Regent and Deputy Regent, as well as
Mayor and Deputy Mayor, hereinafter referred to as "Election" is the exercise of
popular sovereignty in provincial and district/city areas to directly elect the
Governor and Deputy Governor, Regent and Deputy Regent, and Mayor and
Deputy Mayor. and democratic Metro City KPU incentives to communicate and
coordinate with regional government elements, including Bawaslu, Regional
Government, Political Parties, DPRD, and law enforcement officials in ensuring
the smooth and safe implementation of elections. In the implementation of the Metro
City KPU election, the cooperation and role of these institutions cannot be
separated.
Key words: Election management, community participation SUWARNO21220111212024-01-15T06:01:20Z2024-01-15T06:01:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78048This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780482024-01-15T06:01:20ZPENGAWASAN PERIZINAN SEKTOR KELAUTAN DAN
PERIKANAN PADA KEGIATAN USAHA PERIKANAN TANGKAP
DI DAERAHKewenangan perizinan usaha perikanan tangkap di daerah serta pengawasannya terus berubah
secara dinamis sesuai dengan kebaharuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bisa menimbulkan persoalan dan polemik hukum terutama di tingkat pemerintah Daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Menganalisa bagaimanakah Kewenangan Perizinan
Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber daya perikanan berbasis
resiko di subsektor penangkapan ikan dan 2). menganalisis bagaimanakah kewenangan
pemerintah daerah dalam kegiatan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan berbasis risiko subsektor penangkapan ikan. Metode yang digunakan yaitu metode
penelitian normatif dengan pendekatan perundang-Undangan (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Hasil dari penelitian ini adalah (1) Kewenangan pemerintah
daerah provinsi dalam perizinan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dari 0 sampai
dengan 12 mil laut sehingga semua perizinan sub sektor penangkapan ikan di laksanakan oleh
Pemerintah Provinsi, adapun Pemerintah Kabupaten/Kota hanya memiliki kewenangan
perizinan hanya untuk perairan umum daratan seperti waduk, sungai, rawa dan genangan air
lainnya, Perubahan kewenangan ini tentu saja berdampak kepada pelayanan perizinan kepada
pelaku usaha yang ada di Kabupaten/Kota yang harus mengurus perizinannya ke Pemerintah
Provinsi dengan berbagai hal misalnya tidak mempertimbangkan aspek kenyamanan dalam
pemberian pelayanan publik. Hal ini terlihat dengan tidak mempertimbangkan aspek geografis,
akses, dan beragamnya pemangku kepentingan yang membutuhkan pelayanan terkait perizinan
kapal penangkap ikan. Pengawasan usaha penangkapan ikan di daerah juga masih belum
optimal karena kelembagaan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang belum ada
dan tidak optimalnya dukungan politik dan hukum untuk memberi payung hukum berkaitan
pengenaan sanksi terhadap pelanggaran di bidang usaha perikanan tangkap di daerah sesuai
kewenangannya serta masih rendahnya kompetensi pengawas perikanan yang ada didaerah
baik dari sisi teknis maupun kemampuan dalam pemahaman terhadap perundang-undangan
bidang perikanan.
Kata kunci: Kewenangan, , Perizinan, Penangkapan Ikan, Pengawasan.
The authority of capture fisheries business licensing in the region as well as its supervision continues
to change dynamically in accordance with the novelty of the applicable laws and regulations that can
cause legal problems and polemics, especially at the local government level. This research aims to:
1). Analyze how the Licensing Authority of the Local Government in the Management and Utilization
of risk-based fisheries resources in the fishing subsector and 2). analyze how the authority of the local
government in supervising the management and utilization of risk-based fisheries resources in the
fishing subsector. The method used is normative research method with statute approach and case
approach. The results of this study are (1) The authority of the provincial government in licensing the
management and utilization of fisheries resources based on Law Number 23 of 2014 concerning
Regional Government from 0 to 12 nautical miles so that all licensing of the fishing sub-sector is
carried out by the Provincial Government, while the Regency / City Government only has licensing
authority only for inland public waters such as reservoirs, rivers, swamps and other puddles, This
change in authority certainly has an impact on licensing services to business actors in the Regency /
City who must take care of licensing to the Provincial Government with various things such as not
considering aspects of convenience in providing public services. This can be seen by not considering
geographical aspects, access, and the variety of stakeholders who need services related to fishing
vessel licensing. The supervision of fishing businesses in the regions is also still not optimal due to the
absence of institutional supervision of marine and fisheries resources and the lack of optimal political
and legal support to provide a legal umbrella related to the imposition of sanctions against violations
in the field of capture fisheries in the regions according to their authority and the low competence of
fisheries supervisors in the regions both in terms of technical and understanding of fisheries
legislation.. Keywords: Authority, Licensing, Fishing, Supervision..
ABDILLAH DANI 21220110782024-01-11T01:34:37Z2024-01-11T01:34:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78030This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780302024-01-11T01:34:37ZKAJIAN HUKUM TERHADAP KUALIFIKASI PERBUATAN PENIPUAN
ATAU PERBUATAN WANPRESTASI TERKAIT DALAM PERJANJIAN
BISNIS (Studi Putusan Nomor : 150/Pid.B/2021/PN.Mgl)Praktik kehidupan sehari-hari menunjukkan adanya ketidakpastian hukum mengenai
parameter untuk menentukan perbuatan wanprestasi dan penipuan terkait perjanjian
bisnis di Indonesia. Tujuan penelitian tesis ini adalah menganalisis kriteria suatu
perbuatan dalam perjanjian bisnis dikualifikasikan menjadi perbuatan penipuan atau
wanprestasi, ratio decidendi pada putusan Nomor: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl, dan
akibat hukum terhadap putusan Nomor: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl pada para pihak.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif-empiris, dengan pendekatan kasus
dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan data sekunder
sebagai data utama yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier serta data primer sebagai pendukung data sekunder berupa
wawancara kepada Hakim dan Jaksa selaku Penegak hukum. Pengumpulan data
dilakukan melalui studi kepustakaan dan ditunjang oleh data empirik berupa dengan
wawancara pada narasumber. Analisis data yang dilakukan oleh penulis secara
kualitatif.
Hasil penelitian bermuara pada beberapa simpulan yaitu pertama, kriteria suatu
perbuatan dalam perjanjian bisnis dikualifikasikan menjadi perbuatan penipuan atau
wanprestasi terletak pada perbedaan niat. Pada wanprestasi perbuatan tersebut terjadi
dilatarbelakangi oleh tidak adanya itikad buruk (bad faith) dari para pihak,
sedangkan pada tindak pidana penipuan, perbuatan tersebut terjadi karena
dilatarbelakangi niat jahat dari pelaku (mens rea). Ratio decidendi hakim dalam
Putusan Nomor: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl yakni terdakwa telah terbukti melakukan
perbuatan sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum akan tetapi perbuatan
tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana dikarenakan berdasarkan pada alat
bukti yang terungkap dalam persidangan, adanya niat jahat (mens rea) sebagaimana
pasal yang didakwakan penuntut umum tidak terbukti melainkan menurut Majelis
Hakim perbuatan terdakwa tidak membayar hutang bukan karena kesengajaan namun
didasarkan ketidakmampuan. Akibat hukum Putusan aquo yaitu untuk terdakwa
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtvervolging), terdakwa sejak
putusan aquo dibacakan dimuka persidangan dapat segera dibebaskan, terdakwa
dipulihkan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, terdakwa
juga diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum. Sedangkan kepada penuntut
umum yaitu segera melaksanakan putusan aquo dengan cara mengeluarkan terdakwa
dari tahanan pada hari yang sama sejak putusan itu dibacakan, dapat mengajukan
upaya hukum kasasi, dan membayar biaya perkara.
Kata kunci: Perjanjian Bisnis, Wanprestasi, Penipuan
The practice of daily life shows that there is legal uncertainty regarding the
parameters for determining acts of breach of contract and fraud related to
business agreements in Indonesia. This thesis research aims to analyze the
criteria for an act in a business agreement to qualify as an act of fraud or breach
of contract, the ratio decidendi in decision Number: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl, and
legal consequences of decision Number: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl to the parties.
This research is a type of normative-empirical research, with a case approach
and a statutory approach. This research uses secondary data as the main data
consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary
legal materials as well as primary data as supporting secondary data in the form
of interviews with Judges and Prosecutors as law enforcers. Data collection was
carried out through a literature study and supported by empirical data in the form
of interviews with resource persons. Data analysis was carried out by the author
qualitatively.
The research results lead to several conclusions, namely, first, the criteria for an
act in a business agreement to qualify as an act of fraud or breach of contract lies
in the difference in intention. In violation of contract, the action occurs because
there is no bad faith on the part of the parties, whereas in the crime of fraud, the
act occurs because it is motivated by the evil intentions of the perpetrator (mens
rea). Ratio decidendi judges in Decision Number: 150/Pid.B/2021/PN. Mgl means
that the defendant has been proven to have committed the act as stated in the
public prosecutor's indictment. However, this act is not a criminal act because,
based on the evidence revealed in the trial, the existence of malicious intent (mens
rea) as in the article charged by the public prosecutor is not proven, but
according to the Panel of Judges, The defendant's act of not paying the debt was
not intentional but was based on inability. The legal consequence of the aquo
decision is that the defendant is free from all legal demands (ontslaag van
rechtvervolging), the defendant, since the aquo decision was read in front of the
court, can be immediately released, the defendant is restored to his abilities,
position and honor and dignity, the defendant is also given the right to submit
legal remedies. Meanwhile, the public prosecutor is to immediately implement the
aqua decision by releasing the defendant from detention on the same day the
decision was read, filing a cassation effort, and paying the court costs.
Keywords: Business Agreement, Default, FraudBudi Satya Bangkit 20220110702023-12-29T04:52:57Z2023-12-29T04:52:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77983This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/779832023-12-29T04:52:57ZPERLINDUNGAN HUKUM WARGA MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA MELALUI UPAYA ADMINISTRATIFDalam konteks kehidupan bernegara, Warga masyarakat harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah, karena dalam berbagai hal warga masyarakat tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah. Berbagai macam perselisihan warga masyarakat dengan pemerintah itu berkaitan dengan keputusan tata usaha negara, sebagai instrumen pemerintah terhadap kehidupan warga negara. Perlindungan hukum terhadap penyelesaian permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sengketa tata usaha negara dapat ditempuh melalui dua kemungkinan, pertama melalui peradilan tata usaha negara (administratief rechtspraak) dan kedua melalui upaya administratif. Namun dalam praktek, upaya administratif kerap diabaikan oleh badan/pejabat pemerintahan. Oleh sebab itu, permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: Mengapa upaya administratif belum efektif dalam memberikan perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara? Bagaimana agar upaya administratif dapat memberikan perlindungan hukum yang efektif dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara?
Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Pendekatan yuridis normatif ini dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan bahan hukum berupa asas-asas hukum, teori/ pendapat sarjana,peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan literatur ilimiah.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa : upaya administratif kerap tidak ditindaklanjuti oleh pejabat pemerintah. Ada sekitar 23% upaya administratif yang direspon oleh badan/pejabat pemerintahan pada perkara yang diajukan ke Pengadilan TUN Bandar Lampung tahun 2022. Sisanya, sebanyak 77% perkara tidak direspon meskipun sudah melewati tenggang waktu selama 10 (sepuluh) hari kerja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan upaya administratif tidak ditangani dengan baik antara lain tidak adanya konsekuensi maupun sanksi bagi pejabat pemerintahan yang tidak menindaklanjuti upaya administratif, Ketiadaan standar prosedur dan norma dalam penanganan upaya administratif, dan problematika kultural dalam birokrasi pemerintahan.
Adapun saran yang dapat dihasilkan dalam penelitian ini sebagai berikut: melakukan revisi UU 30/2014 untuk memperkuat kedudukan lembaga upaya administratif, menerapkan sanksi yang lebih berat pada pejabat yang tidak menindaklanjuti upaya administratif, serta menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait standar layanan upaya administratif.
Martuaraja Andhy20220110252023-12-29T01:10:01Z2023-12-29T01:10:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77956This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/779562023-12-29T01:10:01ZPENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIAWI TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi Dari Aspek Keadilan)
Kekhawatiran negara terhadap kondisi meningkatnya kekerasan seksual pada anak,
membuat negara mengeluarkan kebijakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan
seksual pada anak sebagai pidana tambahan. Permasalahan yang menjadi obyek
kajian tesis ini adalah bagaimanakah penerapan sanksi kebiri kimiawi terhadap
pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Apakah terdapat aspek
keadilan dari penerapan sanksi kebiri terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak.
Penelitian tesis ini dihasilkan dari penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan undang-undang, asas hukum serta doktrin-doktrin hukum. Data dalam
penelitian ini menggunakan data hukum primer, sekunder dan tersier. Cara yang
digunakan untuk mendapatkan bahan hukum dalam tesis ini yaitu dengan
melakukan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data penelitian ini dilakukan
secara kualitatif yang kemudian dituangkan secara dedukatif.
Hasil dari penelitian ini adalah penerapan sanksi kebiri kimiawi di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan tata
cara pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
70 Tahun 2020 dengan cara memasangkan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi
dan pengumuman identitas pelaku. Pemberatan sanksi dengan pemasangan alat
tersebut dinilai paling baik dan memberikan efek jera pada pelaku dengan tujuan
agar pergerakan pelakunya bisa diketahui setelah selesai menjalankan pidananya.
Aspek keadilan dari keadilan korban sebagai bentuk hukuman pembalasan terhadap
pelaku tindakan kekerasaan seksual sedangkan aspek keadilan terhadap pelaku
yaitu dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan adanya hukuman yang
terlalu berat dan tidak rasional bagi pelaku kekerasan seksual pada anak.
Saran dari penulis yaitu dengan pemerintah meninjau kembali pemberian hukuman
tambahan berupa kebiri kimia karena kebijakan tersebut tidaklah sesuai dengan
tujuan pemidanaan dan tidak memenuhinya aspek keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum bagi pelaku.
Kata Kunci : Kebiri Kimiawi, Kekerasan Seksual, Anak
The state's concern about the increasing condition of sexual violence against
children has led the state to issue a policy of chemical castration for perpetrators
of sexual violence against children as an additional crime. The problem that is the
object of this thesis study is how to apply chemical castration sanctions to
perpetrators of criminal acts of sexual violence against children. Is there a justice
aspect in applying castration sanctions to perpetrators of criminal acts of sexual
violence against children.
This thesis research was produced from normative research using a statutory
approach, legal principles and legal doctrines. The data in this research uses
primary, secondary and tertiary legal data. The method used to obtain legal
material in this thesis is by conducting literature studies and field studies. This
research data analysis was carried out qualitatively which was then presented
deductively.
The results of this research are that the implementation of chemical castration
sanctions in Indonesia is regulated in Law Number 17 of 2016 concerning Child
Protection and the procedures for implementation are regulated in Government
Regulation of the Republic of Indonesia Number 70 of 2020 by installing electronic
detection, rehabilitation and announcement of the identity of the perpetrator.
Increasing sanctions by installing this device is considered the best and provides a
deterrent effect on the perpetrator with the aim that the perpetrator's movements
can be known after completing the crime. The justice aspect of justice for victims is
a form of retaliatory punishment against perpetrators of sexual violence, while the
aspect of justice for perpetrators is that it is considered to violate human rights
(HAM) with punishments that are too severe and irrational for perpetrators of
sexual violence against children.
The author's suggestion is that the government review the provision of additional
punishment in the form of chemical castration because this policy is not in
accordance with the objectives of punishment and does not fulfill the aspects of
justice, benefit and legal certainty for the perpetrator.
Keywords: Chemical castration, Sexual Violence, Children Arif Wahyu Saputra Muhammad 2022010352023-12-22T01:31:55Z2023-12-22T01:31:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77865This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/778652023-12-22T01:31:55ZANALISIS PELAKSANAAN PENYITAAN DAN EKSEKUSI ASET TERPIDANA KORUPSI DALAM RANGKA PEMULIHAN KEUANGAN NEGARAPenyitaan dan Eksekusi aset hasil Tipikor telah menempati posisi penting dalam pemberantasan Tipikor, maka keberhasilan pemberantasan Tipikor tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan pemidanaan saja, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Bahwa untuk mengetahui penyitaan dan eksekusi barang sitaan berupa aset tidak bergerak hasil tindak pidana korupsi, maka diperlukan upaya Kejaksaan dalam melakukan penyitaan dan eksekusi barang sitaan berupa aset benda bergerak maupun tidak bergerak hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya dalam pengembalian kerugian negara. Permasalahan yang akan dikaji yaitu terkait dengan pelaksanaan penyitaan dan eksekusi aset dalam pengembalian kerugian keuangan negara dan faktor penghambat untuk melaksanakan penyitaan dan eksekusi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini terdiri dari spesifikasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan empiris, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder yang penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif serta data lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan penyitaan dan eksekusi aset dalam rangka pemulihan keuangan negara dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan Kejaksaan dan peraturan lainnya. Upaya jaksa dalam melaksanakan penyitaan dan eksekusi aset, dalam artian bahwa perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan penyitaan aset para pelaku korupsi merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Kedua hal tersebut dilakukan dengan mekanisme pelaksanaan yang berbeda namun keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kendala dalam upaya melaksanakan penyitaan dan eksekusi aset hasil tindak pidana korupsi oleh jaksa yaitu sulit untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana. Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan, selain itu menjadi sebabnya adalah belum adanya kerja sama internasional yang memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh aparat penegak hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Saran perlu ada pembaharuan di dalam UU PTPK terkait ketentuan hukum mengenai upaya penyitaan dan pengembalian aset saat terkait tata cara dan lembaga konsen melaksanakan perampasan aset, sehingga lebih efektif dalam penanganan kasus pengembalian dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Perlunya perlengkapan sarana dan prasarana yang canggih dalam upaya melakukan penelusuran aset benda tidak bergerak milik para koruptor, dan perlu adanya komitmen dan keseriusan pemerintah menjalin komunikasi dengan negara lain sehubungan apabila ada aset benda tidak bergerak milik koruptor yang berada di luar negeri dapat diakses secara mudah dan sederhana.
Kata Kunci: Pelaksanaan, Penyitaan dan Eksekusi Aset, Tipikor, Keuangan Negara
The confiscation and execution of assets resulting from Corruption has occupied an important position in the eradication of Corruption, so the success of eradicating Corruption is not only measured by the success of sentencing, but also determined by the level of success in returning state assets that have been corrupted. That in order to find out the confiscation and execution of confiscated assets in the form of immovable assets resulting from criminal acts of corruption, it is necessary for the Attorney's Office to confiscate and execute confiscated assets in the form of movable and immovable assets resulting from criminal acts of corruption as an effort to recover state losses. The problems to be studied are related to the implementation of asset confiscation and execution in recovering state financial losses and the inhibiting factors for carrying out confiscation and execution.
The research method used in this thesis research consists of research specifications, data sources, data collection techniques and data analysis. The type of research used is normative legal research, namely legal research that uses secondary data sources with an emphasis on theoretical and qualitative analysis.
The results of this study indicate that the implementation of asset confiscation and execution in the framework of recovering state finances is carried out based on statutory provisions, Attorney General's regulations and other regulations. Prosecutors' efforts to carry out confiscation and execution of assets, in the sense that confiscation is a coercive measure taken by the state to separate rights to assets based on a court decision, while the confiscation of assets of corruptors is an anticipatory measure aimed at saving or preventing the flight of assets. Both of these are carried out with different implementation mechanisms but are related to one another. Obstacles in efforts to carry out confiscation and execution of assets resulting from criminal acts of corruption by prosecutors are that it is difficult to confiscate assets resulting from criminal acts that have been controlled by perpetrators of criminal acts. There are many difficulties encountered in the attempt to confiscate the proceeds of crime, such as the lack of instruments in the attempt to confiscate the proceeds of crime. The existing systems and mechanisms regarding confiscation of criminal assets are currently not able to support law enforcement efforts that are just, besides that the reason is the absence of adequate international cooperation, and a lack of understanding of the mechanism for confiscation of proceeds of criminal acts by law enforcement officials who have permanent legal force.
Suggestions that there needs to be an update in the PTPK Law regarding legal provisions regarding efforts to confiscate and return assets when it comes to procedures and institutions concerned with carrying out asset confiscation, so that it is more effective in handling cases of return and confiscation of assets resulting from corruption. It is necessary to complete sophisticated facilities and infrastructure in an effort to trace immovable assets belonging to corruptors, and there is a need for the government's commitment and seriousness to establish communication with other countries in connection if there are immovable assets belonging to corruptors who are abroad can be accessed easily and simply .
Keywords: Execution, Confiscation and Execution of Assets, Corruption, State Finances
ARJA PRATAMA GITA21220110262023-12-21T06:14:22Z2023-12-21T06:14:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77810This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/778102023-12-21T06:14:22ZKEABSAHAN CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE (BUKTI TIDAK LANGSUNG) DALAM MEMPERKUAT KEYAKINAN HAKIM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Ditinjau dari Viktimologi) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa dalam keadaan tertentu dan sering kali jika pembuktian tersebut sangat minim terkadang hakim dapat menggunakan bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dalam hal tidak ditemukannya saksi mata yang melihat tindakan asusila tersebut. permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: Bagaimana keabsahan circumstantial evidence dalam memperkuat keyakinan hakim memutus perkara tindak pidana kesusilaan di tinjau dari viktimologi? Bagaimana hakim mengkontruksikan atau menarik kesimpulan bahwa bukti tidak langsung tersebut dalam memperkuat keyakinan hakim?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa : Bukti tidak langsung dapat diterima menjadi alat bukti hal ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2011 yang memperluas batasan saksi yaitu saksi tidak hanya saksi yang melihat langsung, akan tetapi saksi yang tidak mendengar, melihat, ia alami sendiri dapat diterima sebagai saksi. Hal ini sangat penting dalam memperluas alat bukti saksi mengingat ada asas hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya dasar hukumnya (ius curia novit). Oleh karena itulah hakim memiliki instrument untuk menerima alat bukti tidak langsung/circumstantial evidence dengan metode yakni melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) dan Hakim dapat mengkonstruksikan atau menarik kesimpulan bahwa bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dapat digunakan untuk mendukung keyakinan hakim dalam memutus perkara tindak pidana kesusilaan. Jenis bukti ini dapat digunakan apabila tidak terdapat bukti-bukti dan saksi mata dalam kasus-kasus tindak pidana kesusilaan, karena seringkali tidak ada saksi atau bukti langsung yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara langsung, oleh karena itu hakim dapat mengkonstruksikan dari alat bukti yang saling berkesesuaian sudah dapat menilai persistiwa pidana yang kongkrit terjadi.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini sebagai berikut: Sebaiknya penegak hukum harus memahami dan mengoptimalkan penggunaan bukti tidak langsung dalam kasus tindak pidana kesusilaan..
Kata Kunci: Keabsahan; Circumstantial Evidence; Keyakinan Hakim.Elisabet Febriyana20220110822023-12-20T06:43:56Z2023-12-20T06:43:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77734This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/777342023-12-20T06:43:56ZFLEKSIBILITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
(STUDI KASUS RSUD HM. RYACUDU KOTABUMI LAMPUNG UTARA)
Ratio logis pengecualian pengaturan pengadaan barang atau jasa pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah ditujukan untuk tercapainya percepatan pelayanan kepada masyarakat yang tidak boleh terhenti. Hal tersebut merupakan akibat dari fleksibilitas pengelolaan keuangan pada BLUD, sehingga berpengaruh pada pengadaan barang atau jasa yang dilakukan oleh BLUD.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang dikaji berdasarkan pada hukum yang tertulis seperti peraturan perundang-undangan, teori-teori dan doktrin ilmu hukum yang relevan dengan tema penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis Pengadaan Barang dan Jasa di RSUD HM. Ryacudu Kotabumi Lampung Utara sebagai BLUD dan untuk menganalisis bentuk fleksibilitas Pengadaan Barang dan Jasa di RSUD HM. Ryacudu Kotabumi Lampung Utara sebagai Badan Layanan Umum Daerah.
Penelitian ini menghasilkan salah satu aspek fleksibilitas yaitu kemampuan BLUD untuk mengelola pendapatannya secara langsung untuk membiayai kebutuhan Badan Layanan Umum. Bentuk fleksibilitas dalam Pengadaan Barang dan Jasa di RSUD HM. Ryacudu Kotabumi Lampung Utara meliputi jenjang nilai, metode pemilihan, pelaku pengadaan dan kedudukan pelaku pengadaan. Fleksibilitas ini diharapkan akan menjadikan pengadaan barang/ jasa di RSUD HM. Ryacudu Kotabumi Lampung Utara yang menjamin ketersediaan barang dan/ atau jasa menjadi lebih bermutu, lebih murah, dengan proses sederhana, cepat dan mudah menyesuaikan kebutuhan. Apabila pengadaan barang/ jasa pada BLUD menggunakan skema pengelolaan keuangan negara pada umumnya yang harus melalui serangkaian tahapan yang panjang, maka bisa jadi pelayanan masyarakat akan terganggu. Selain itu, pengecualian tersebut juga ditujukan untuk menegaskan bahwa pengadaan barang atau jasa pada BLUD tidak tunduk pada ketentuan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Kata Kunci: Badan Layanan Umum Daerah, Fleksibilitas, Pengadaan Barang Dan Jasa
Meghawanda Eurofanya20220110462023-12-19T01:50:26Z2023-12-19T01:50:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77593This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/775932023-12-19T01:50:26ZLELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN TERKAIT NASABAH
WANPRESTASI DI BRI KALIANDA
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Kasasi
Nomor: 310/K/Pdt/2023)Di dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebutkan bahwa segala kebendaan dari si
berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah
ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti bahwa segala harta kekayaan seseorang
menjadi jaminan untuk seluruh utang-utangnya. Bila pada saat utangnya jatuh
tempo dan ia lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap krediturnya, maka
kekayaan orang itu dapat disita dan dilelang, yang hasilnya kemudian digunakan
untuk memenuhi kewajiban atau membayar hutang kepada krediturnya. Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Apakah lelang eksekusi harus
memenuhi Onrechtmatige Daad? (2) Mengapa nasabah keberatan terhadap lelang
ekesekusi? (3) Apakah akibat hukum terhadap lelang eksekusi hak tanggungan
dalam Putusan kasasi Nomor: 310/K/Pdt/2023?. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah normatif empiris, dengan bersumber pada Undang-Undang,
buku, jurnal, artikel terkait. Hasil dari penelitian ini adalah Syarat-syarat suatu
lelang yang dapat memenuhi onrechtmatige daad, jika adanya kesalahan (schuld),
dalam hal ini berarti perbuatan pelaku harus mengandung unsur sengaja atau lalai.
Kerugian (schade) terhadap korban atau penggugat. Terdapat kerugian, baik
materil maupun immateril. Kausalitas, syarat yang keempat adalah adanya
kausalitas atau hubungan sebab dan akibat. Nasabah keberatan dalam pelaksanaan
lelang karena merasa mampu menjalankan kewajibannya. Debitur menganggap
bahwa Bank BRI cabang Kalianda tidak memberikan tenggang waktu untuk
melunasi pinjamannya, debitur juga keberatan karena Bank BRI menjual agunan
nasabah dengan harga yang tidak sesuai dengan harga pasar, sehingga nasabah
merasa dirugikan. Akibat hukum terhadap Lelang Eksekusi ini yaitu BRI sudah
berhasil melakukan penagihan uang yang dipinjamkan dengan melakukan eksekusi
terhadap lelang hak tanggungan atas pinjaman Deni Prayogi yang telah laku lelang.
Pemenang lelang dari tanah tersebut adalah Eva S hak dari tanah lelang tersebut
sudah tidak menjadi tanggung jawab dari Bank BRI akan tetapi sudah perpindah ke
pemenang lelang
Kata kunci: Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, Wanprestasi (cidera janji)
In Article 1131 of the Civil Code, it is stated that all property of the debtor (debtor),
both movable and immovable, whether existing or new in the future, is borne by all
obligations made by him. This means that all of a person's assets become collateral
for all of his debts. If when the debt is due and he fails to fulfill his obligations to
his creditors, that person's assets can be confiscated and auctioned off, the proceeds
of which are then used to fulfill obligations or pay debts to his creditors. The
problem formulation in this research is (1) Does the execution auction have to
comply with Onrechtmatige Daad? (2) Why do customers object to the execution
auction? (3) What are the legal consequences of the auction for the execution of
mortgage rights in the Cassation Decision Number: 310/K/Pdt/2023? The method
used in this research is normative empirical, based on laws, books, journals and
related articles. The results of this research are the requirements for an auction
that can fulfill onrechtmatige daad, if there is an error (schuld), in this case it means
that the perpetrator's actions must contain an element of intention or negligence.
Loss (schade) to the victim or plaintiff. There are losses, both material and
immaterial. Causality, the fourth condition is the existence of causality or a cause
and effect relationship. The customer objected to the auction because he felt he was
able to carry out his obligations. The debtor believes that Bank BRI, Kalianda
branch, does not provide a grace period to repay the loan. The debtor also objects
because Bank BRI sells customer collateral at a price that is not in line with market
prices, so the customer feels disadvantaged. The legal consequence of this
Execution Auction is that BRI has succeeded in collecting the money lent by
executing the auction of mortgage rights on Deni Prayogi's loans which have been
sold at auction. The auction winner for the land is Eva S. The rights to the auction
land are no longer the responsibility of BRI Bank but have been transferred to the
auction winner.
Keywords: Mortgage Execution Auction, Default (default) ELISA21220111102023-12-08T01:11:08Z2023-12-08T01:11:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77171This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/771712023-12-08T01:11:08ZPEMBENTUKAN PENGADILAN LINGKUNGAN HIDUP
DI INDONESIA
Pengadilan menjadi sarana terakhir dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia, akan tetapi pengadilan yang ada saat ini belum mampu menghasilkan putusan yang efektif dan berorientasi pada kepentingan lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan hidup yang tidak berorientasi pada perbaikan atau keberlangsungan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor dibutuhkannya pengadilan khusus lingkungan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi urgensi pembentukan pengadilan lingkungan hidup dan menemukan konsep pengadilan lingkungan hidup di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan konseptual. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urgensi pembentukan pengadilan lingkungan hidup di Indonesia adalah permasalahan penegakan hukum lingkungan saat ini tidak efektif dikarenakan aparat penegak hukum khususnya hakim tidak memiliki kompetensi untuk menangani perkara lingkungan secara spesifik dan setiap putusan pengadilan yang dihasilkan pengadilan saat ini tidak ideal serta tidak berorientasi pada keberlangsungan lingkungan hidup jika dibandingkan dengan berbagai negara yang telah memiliki pengadilan lingkungan. Mengenai konsep hukum pengadilan khusus lingkungan di Indonesia, secara pengaturan perlu mengubah sejumlah perundang-undangan terkait. Secara kelembagaan, menggunakan hakim bersertifikat (certified judges) dan sistem hakim ahli (ad-hoc judges). Secara kompetensi pengadilan, menempatkan pengadilan lingkungan sebagai divisi yang merupakan bagian dari pengadilan umum. Pengadilan lingkungan sebagai pengadilan khusus dibentuk dengan model seperti pengadilan khusus lainnya secara independen. Mengenai upaya hukum, dapat menggunakan skema upaya hukum yang tidak ada. Dengan demikian perlu dibentuknya suatu pengadilan khusus lingkungan di Indonesia dengan memperhatikan konsep pengaturan, kelembagaan, dan kompetensi sehingga dapat mewujudkan penegakan hukum lingkungan yang efektif.
Kata Kunci: Lingkungan Hidup, Penegakan Hukum, Pengadilan Lingkungan.
FAHNI RIO 21220110222023-12-06T07:12:11Z2023-12-06T07:12:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77126This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/771262023-12-06T07:12:11ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM RANGKA MENJAGA KEAMANAN SISTEM M-BANKING TERHADAP ANCAMAN SERANGAN SIBER MELALUI TEKNIK SCAMMINGAktivitas online saat ini telah menjadi bagian besar dari kegiatan masyarakat dunia. Bersamaan dengan meningkatnya penggunaan m-banking, muncul pula berbagai ancaman keamanan siber yang mengintai. Salah satu ancaman tersebut adalah serangan scamming, tujuan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menganalisis dan memahami upaya kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming dan untuk menganalisis dan memahami kendala kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum dan efektifitas hukum.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa dalam rangka menjaga keamanan sistem M-Banking terhadap serangan scamming, upaya kepolisian sangat penting. dalam analisis ini, kita melihat bahwa kepolisian telah menerapkan langkah- langkah preventif dan represif yang efektif, sejalan dengan teori penanggulangan kejahatan. Langkah-langkah preventif, seperti kampanye kesadaran dan edukasi keamanan digital, dan langkah-langkah represif, seperti deteksi dini, investigasi mendalam, penangkapan pelaku, dan penuntutan hukum yang efektif, memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku serangan scamming. Ini memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan keadilan kepada korban. Kendala kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming meliputi: keterbatasan personil seperti tenaga ahli IT dan cyber forensic. Kendala lain yang krusial adalah terbatasnya dana anggaran operasional, masalah yang cukup krusial selain perangkat hukum, yaitu SDM yang belum mencukupi, anggaran serta sarana dan prasarana untuk menunjang pengungkapan kasus-kasus cyber crime dan lemahnya pengawasan penggunaan internet berpotensi besar akan menciptakan peluang terjadinya kejahatan cyber crime (dunia maya).
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini sebagai berikut: Sebaiknya para praktisi juga bisa berperan penting dalam memberikan masukan- masukan kepada pihak pemerintah dalam keamanan jaringan komputer dan internet dan sebaiknya kepolisian perlu mengembangkan kapasitas mereka dalam menghadapi serangan siber. Ini melibatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan dalam bidang keamanan siber
Kata Kunci: Upaya Kepolisian, M-Banking, Cyber Scamming
Online activity recently has become big part of world society events. Along with increasing of m-banking usage, also appears some threats of cyber security attacks which lurks. One of the threat is scamming attack, the purposes of this thesis writing are to analyze and to understand police efforts in order to keep m-banking security system from cyber attack threat through scamming technique and to analyze and to understand police constraints in order to keep m-banking security system from cyber attack threat through scamming technique.
This research is use normative juridical and empirical approach. Normative research is carried out on theoretical matters of legal principles, While the empirical approach is carried out to study the law in reality both in the form of an assessment of legal behavior based on legal identity and legal effectiveness.
The results of the research obtained that in order to maintain the security of the M-Banking system against scamming attacks, police efforts are important. In this analysis, we see that the police force has implemented effective preventive and repressive measures, in line with the theory of legal countermeasures. Preventive measures, such as digital safety awareness and education campaigns, and repressive measures, such as early detection, in-depth investigations, arrests of perpetrators, and effective prosecution, provide strict sanctions to perpetrators of scamming attacks. It provides a deterrent effect to the perpetrator and provides justice to the victim and police constraints in order to maintain the security of the m-banking system against the threat of cyber attacks through scamming techniques include: limitations of personnel such as IT experts and cyber forensics. Another crucial obstacle is the limited operational budget funds, problems that are quite crucial in addition to legal tools, namely insufficient human resources, budget and facilities and infrastructure to support the disclosure of cyber crime cases and weak supervision of internet use has great potential to create opportunities for cyber crime.
The suggestions that can be conveyed in this study are as follows: Practitioners should also act an important role in providing input to the government on computer network and internet security and should police need to develop their capacity to deal with cyber attacks. This involves training and developing the necessary skills in the field of cyber security.
Keywords: Police Efforts, M-Banking, Cyber Scamming
ARUMAWAN DICKY PUTRA20220110812023-12-04T03:07:11Z2023-12-04T03:07:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77056This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/770562023-12-04T03:07:11ZPELAKSANAAN PIDANA DENGAN SYARAT PELAYANAN MASYARAKAT
TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM
(Studi Putusan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Liw)Salah satu jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah pencurian dalam
keadaan memberatkan sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Liwa Nomor
2/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Liw. Anak dijatuhi pidana dengan syarat pelayanan
masyarakat membersihkan masjid/mushola selama 3 (tiga) bulan. Permasalahan:
bagaimanakah pelaksanaan pidana dengan syarat pelayanan masyarakat terhadap anak
berhadapan dengan hukum dan mengapa terjadi hambatan dalam pelaksanaan pidana
dengan syarat pelayanan masyarakat terhadap anak berhadapan dengan hukum.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang
diperoleh lalu dianalisis secara kualitatif, untuk selanjutnya diambil kesimpulan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana dengan syarat pelayanan
masyarakat terhadap anak berhadapan dengan hukum telah berhasil dilaksanakan oleh
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Liwa dengan prosedur yaitu Penitera mengirimkkan
salinan Putusan Pengadilan kepada Jaksa. Selanjutnya Jaksa berkoordinasi dengan
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas dan Pengurus Masjid yang akan dijadikan tempat
bagi anak dalam menjalani pidana dengan syarat pelayanan masyarakat membersihkan
masjid selama 3 (tiga) bulan. Jaksa selanjutnya melaksanakan pengawasan terhadap
anak sampai dengan masa pidananya berakhir. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan
pidana dengan syarat pelayanan masyarakat terhadap anak berhadapan dengan hukum
yaitu faktor penegak hukum masih terbatasnya petugas Pembimbing Kemasyarakatan
pada Balai Pemasyarakatan. Faktor sarana yaitu belum tersedianya perangkat teknologi
yang dapat mendeteksi perkembangan kepribadian anak. Faktor masyarakat, yaitu
masyarakat bersikap menjauhi dan menjaga jarak dengan terpidana anak dan faktor
budaya, yaitu masih adanya pandangan masyarakat yang memberikan stigma buruk
terhadap terpidana anak. Saran penelitian ini adalah penegak hukum hendaknya
meningkatkan pelaksanaan pidana dengan syarat pelayanan masyarakat melalui
optimalisasi pengawasan dan koordinasi antara Pihak Kejaksaan dengan Bapas
sehingga pelaksanaan pidana menjadi lebih maksimal. Hendaknya Pembimbing
Kemasyarakatan ditambah kuantitasnya, sehingga lebih maksimal melaksanakan
pengawasan pidana dengan syarat pelayanan masyarakat terhadap anak.
Kata Kunci: Pidana dengan Syarat, Pelayanan, Anak Berhadapan Hukum
One type of crime committed by children is theft under aggravating circumstances as
stated in the Liwa District Court Decision Number 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Liw. The
child was sentenced to a criminal sentence with the condition of community service in
cleaning the mosque/prayer room for 3 (three) months. Problem: how is the execution
of criminal sentence with the condition of community service toward children in
confident by law and why are there obstacles in implementing criminal penalties with
community service requirements for children in conflict with the law. This research
uses a normative juridical and empirical juridical approach. Data collection was
carried out using literature studies and field studies. The data obtained was then
analyzed qualitatively, and then conclusions were drawn. The results of this research
show that the execution of criminal sentence with the condition of community service
toward children in confident by law carried out by the Prosecutor at the Liwa District
Prosecutor's Office using the procedure, namely the Registrar sending a copy of the
Court Decision to the Prosecutor. Next, the Prosecutor coordinates with the
Community Counselor Bapas and the Management of the Mosque which will be used as
a place for children to undergo punishment with the condition of community service to
clean the mosque for 3 (three) months. The prosecutor then supervises the child until
the criminal term ends. Factors inhibiting the execution of criminal sentence with the
condition of community service toward children in confident by law are the law
enforcement factor which is still limited by Community Guidance officers at
Correctional Centers. The facility factor is the unavailability of technological devices
that can detect a child's personality development. Community factors, namely the
community's attitude of distancing themselves from and keeping their distance from
child convicts and cultural factors, namely the existence of societal views that give a
bad stigma to child convicts. The suggestion of this research is that law enforcers
should improve criminal implementation with community service requirements through
optimizing supervision and coordination between the Prosecutor's Office and the
Fathers so that criminal implementation can be maximized. The number of Community
Counselors should be increased, so that they can more optimally carry out criminal
supervision with community service requirements for children.
Keywords: Criminal With Conditions, Services, Children in Conflict With The LawNARA SENDI FERNANDO 21220110332023-11-09T01:40:40Z2023-11-09T01:40:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76853This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/768532023-11-09T01:40:40Z
PENYELESAIAN KELUHAN PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
( Studi di PT. PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning)
PT. PLN (Persero) wajib memberikan pelayanan publik di bidang ketenagalistrikan secara optimal serta menyelesaikan keluhan pelanggan atau masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pola pelayanan yang demikian itu juga berlaku bagi PT. PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning, Lampung Utara. Meski demikian, didapati dalam pemberitaan pada media cetak maupun elektronik tentang pelanggan yang belum mendapatkan pelayanan publik optimal di PT. PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning. Penelitian ini menganalisis pengaturan pelayanan publik di bidang ketenagalistrikan, upaya hukum yang dapat ditempuh pelanggan atas keluhan terhadap pelayanan publik di bidang ketenagalistrikan, dan menganalisis keterpenuhan standar pelayanan publik yang telah dilakukan PT PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning atas keluhan pelanggannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus yang terjadi di PT.PLN ( Persero ) ULP Bukit Kemuning. Data yang diperoleh dianalisis secara deskritif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak pelanggan di bidang ketenagalistrikan untuk dapat menerima pelayanan publik yang baik secara hukum telah dilindungi undang-undang, diantaranya UU Perlindungan Konsumen, UU Pelayanan Publik, dan UU Ketenagalistrikan. Masyarakat pelanggan bidang ketenagalistrikan berhak mengadukan keluhan penyelenggaraan pelayanan publik selain kepada penyelenggara pelayanan publik bidang ketenagalistrikan, juga kepada ombudsman, DPR, DPRD Provinsi, dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, standar pelayanan publik di bidang ketenagalistrikan terkait pelayanan keluhan pelanggan di PT.PLN ( Persero ) ULP Bukit Kemuning sudah memenuhi standar pelayanan publik, dibuktikan dengan telah terpenuhinya asas-asas berikut: tangible, reliability, responsiveness, assurance, emphaty.
Kata Kunci: Pelayanan Publik, Ketenagalistrikan, Upaya Hukum.
PT. PLN (Persero) is providing publik services in the electricity sector and resolving customer or publik complaints about the services provided by PT. PLN (Persero) to customers or people who use electricity. Such a service pattern also applies to PT. PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning, North Lampung. However, it is found in the news in print and electronic media about customers who have not received optimal publik services at PT. PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning. This study analyzes publik service arrangements in the electricity sector, legal remedies that can be taken by customers for complaints about publik services in the electricity sector; and explaining the fulfillment of publik service standards that have been carried out by PT PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning on customer complaints. This research is a normative legal research with a statutory approach and a case approach that occurred at PT.PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning, the data obtained was analyzed descriptively qualitatively. The results of the research show that the rights of customers in the electricity sector to be able to receive good publik services are legally protected by law, including the Consumer Protection Law, the Publik Service Law, and the Electricity Law. Customers in the electricity sector have the right to complain about publik service delivery complaints not only to electricity publik service providers, but also to the ombudsman, DPR, Provincial DPRD, and/or Regency/City DPRD. Third, publik service standards in the electricity sector related to customer complaint services at PT PLN (Persero) ULP Bukit Kemuning have met publik service standards, as evidenced by the fulfillment of the following principles: tangible, reliability, responsiveness, assurance, empathy.
Keywords: Publik Service, Electricity, Legal Remedies.
Pratama Rifky Imam 20220110262023-11-06T02:28:23Z2023-11-06T02:28:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76796This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767962023-11-06T02:28:23ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI MASA PANDEMI COVID-19Perlindungan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Kekerasan seksual pada anak, baik berupa kekerasan seksual konvensional ataupun kekerasan seksual secara online, mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19. Di sisi lain, pandemi Covid-19 mempengaruhi pola perilaku masyarakat dengan adanya pembatasan interaksi secara langsung yang turut mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia yang salah satunya penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Oleh karena itu, penulis akan membahas dua permasalahan, yaitu bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada masa pandemi Covid-19 dan mengapa terdapat faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak saat ini.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan hasil berupa data primer dan sekunder yang diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan metode analisis kualitatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada masa pandemi Covid-19 pada tingkat penyidikan dan penuntutan berjalan seperti biasa dengan tetap dilakukan secara langsung, namun pada tahap persidangan proses pemeriksaan dilakukan secara online sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Persidangan online dilaksanakan dengan Hakim dan Panitera/Panitera Pengganti bersidang di ruang sidang Pengadilan, Penuntut Umum dan saksi (termasuk korban) mengikuti persidangan di kantor Kejaksaan serta terdakwa mengikuti sidang dari tempat terdakwa ditahan. Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak di masa pandemi Covid-19 didominasi oleh faktor sarana prasarana, sehingga tidak semua instansi siap dengan sarana yang ada misalnya koneksi internet yang tidak stabil, alat kelengkapan seperti laptop, layar LCD dan mikrofon yang tidak memadai.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan agar Pemerintah perlu memperbaiki fasilitas pemeriksaan secara teleconference serta Kejaksaan dan Kepolisian mesti menerbitkan panduan pemeriksaan secara teleconference guna membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Kata kunci: Penegakan hukum pidana, Kekerasan seksual, Anak Korban, Pandemi Covid-19
The protection of children is regulated in Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection as amended by Law Number 35 of 2014 as amended by Law Number 17 of 2016. Sexual violence against children, whether in the form of conventional sexual violence or sexual violence online, experienced an increase during the COVID-19 pandemic. On the other hand, the COVID-19 pandemic has influenced people's behavioral patterns by limiting direct interactions, which has also influenced the law enforcement process in Indonesia, one of which is law enforcement against criminal acts of sexual violence against children. Therefore, the author will discuss two problems, namely how to enforce criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic and why there are inhibiting factors in enforcing criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children at this time.
This research was conducted using a normative juridical approach and an empirical juridical approach. Data collection was carried out using literature study and field study methods, with the results in the form of primary and secondary data, which were processed and analyzed descriptively using qualitative analysis methods.
This research shows that enforcement of criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic at the investigation and prosecution level is proceeding as usual and is still carried out in person; however, at the trial stage, the examination process is carried out online as regulated in the Supreme Court Regulations Number 4 of 2020 concerning Electronic Administration and Trial of Criminal Cases in Court. Online trials are carried out with the Judge and Registrar/Substitute Registrar meeting in the Court's courtroom, the Public Prosecutor and witnesses (including victims) attending the trial at the Prosecutor's office, and the defendant attending the trial from where the defendant is detained. Obstacles in enforcing criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic are dominated by infrastructure factors, so not all agencies are ready with existing facilities, for example, unstable internet connections, equipment such as laptops, LCD screens, and microphones, which is inadequate.
Based on the results of this research, it is recommended that the Government improve teleconference examination facilities and that the Prosecutor's Office and the Police issue guidelines for teleconference examinations to help justice seekers and try to overcome all obstacles to realize simple, fast, and low-cost justice.
Keywords: Criminal law enforcement, sexual violence, child victims, Covid-19 pandemic
NOVIARINI WAHYU 20220110472023-11-06T02:26:51Z2023-11-06T02:26:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76795This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767952023-11-06T02:26:51ZPERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN PINJAMAN ONLINE (PINJOL) SECARA ILEGALPenyidik kepolisian merupakan gerbang pertama sistem peradilan pidana masih sulit untuk mencegah dan menindak tegas secara pidana penipuan pinjaman online ilegal. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian tesis ini meliputi peranan penyidik dalam penanggulangan tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal dan faktor penghambat peranan penyidik dalam menanggulangi tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. sumber datanya adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, sedangkan pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yakni pemeriksaan data, penandaan data dan sistematisasi data. Berikutnya analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, peranan penyidik dalam penanggulangan tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal meliputi upaya preventif, kuratif dan represif. Pinjaman online ilegal dikatakan penipuan manakala terjadi pemanfaatan data pribadi untuk sarana melakukan tindak pidana, nominal peminjaman tidak sesuai atau berbeda dengan yang diterima oleh peminjam serta bunga utang yang tidak wajar dan kesepakatan dengan nasabah ditempuh dengan memperdaya orang tersebut. Pada praktiknya masih terdapat kendala-kendala yang dialami penyidik dalam menanggulangi tindak pidana penipuan pinjaman online ilegal antara lain, UU ITE tidak mengatur secara khusus mengenai tindak pidana penipuan dalam lingkup pinjaman online ilegal, kurang meratanya personil kepolisian, penyidik harus memeriksa ribuan akun yang di blokir sehingga memperlambat pemeriksaan, kurang meratanya fasilitas, serta masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam menghindari pinjaman online ilegal.
Saran kepada masyarakat, diharapkan lebih cermat dan selektif dalam memahami mengenai persoalan pinjaman online agar tidak dengan mudahnya terjebak ke dalam layanan pinjaman online ilegal. Selain itu, pemerintah dan penegak hukum, diharapkan dapat memberikan sosialisasi atau pembekalan kepada masyarakat agar masyarakat lebih cermat dan selektif sehingga tidak mudah memberikan data pribadi kepada pinjaman online ilegal.
Kata kunci: Peran penyidik, Penipuan, Pinjaman online
Police investigators are the first gateway to the criminal justice system, and it is still difficult to prevent and take firm action against illegal online loan fraud. Therefore, the problems in this thesis research include the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud and factors inhibiting the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud.
This research is empirical normative research with a statutory regulation approach, case approach, and conceptual approach. The data source is secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through literature study. Data collection was carried out through a literature study, while data processing was carried out through several stages, namely data checking, data marking, and data systematization. Next, data analysis was carried out qualitatively.
Based on the research results, the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud includes preventive, curative, and repressive efforts. Illegal online loans are said to be fraudulent when there is the use of personal data as a means of committing a criminal act, the loan amount does not match or is different from that received by the borrower, and the interest on the debt is unreasonable, and the agreement with the customer is reached by deceiving the person. In practice, there are still obstacles experienced by investigators in dealing with criminal acts of illegal online loan fraud. Among others, the ITE Law does not explicitly regulate criminal acts of fraud in the scope of illegal online loans, police personnel are not evenly distributed, and investigators must check thousands of blocked accounts. Resulting in slow inspections and unequal distribution of facilities, the public's legal awareness still needs to improve to avoid illegal online loans.
Advice to the public, please be more careful and selective in understanding online loan issues so that you don't easily get trapped in illegal online loan services. Apart from that, it is hoped that the government and law enforcement can provide outreach or training to the public so that people are more careful and selective so that it is not easy to provide personal data to illegal online loans.
Keywords: The role of the investigator, Fraud, Online loans
Jhohannes Simanullang Trisno 20220110502023-10-30T07:16:26Z2023-10-30T07:16:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76781This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767812023-10-30T07:16:26ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA YANG DIDUGA MEMILIKI GANGGUAN KEJIWAAN
(Studi Perkara SP3 Nomor: SP. TAP/03/X/2022/Restro Bks. Kota.)Penanganan perkara narkotika dengan pelaku gangguan kejiwaan dalam tataran praktis, masih menciptakan perbedaan persepsi antar penegak hukum mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku. Perbedaan persepsi tersebut menyebabkan perkara tidak dapat dilanjutkan ke persidangan sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Maka dari itu tesis ini bertujuan mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan; upaya penyelesaian terhadap penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan; dan faktor-faktor penghambat pertanggungjawaban terhadap penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Data dalam penelitian ini bersumber dari studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode penelitian kepustakaan. Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan deskripsi data, preskripsi data, sistematisasi data dan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk menggambarkan penerapan Pasal 44 ayat (2) KUHP terhadap tersangka tindak pidana narkotika yang diduga mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP, pelaku penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi sesuai amanat Pasal 44 ayat (2) KUHP, hakim dapat memutus agar pelaku penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Upaya penyelesaian terhadap penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan idealnya tetap diselesaikan melalui proses pemeriksaan di pengadilan. Sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHP, hakim dapat menempatkan pelaku dengan gangguan jiwa untuk menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Faktor-faktor penghambat pertanggungjawaban terhadap penyalahguna narkotika yang diduga memiliki gangguan kejiwaan yaitu terdapat perbedaan pemahaman antara penyidik dan penuntut umum dalam penerapan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, serta sulitnya mengidentifikasi apakah pelaku mengalami gangguan kejiwaan karena penyakit atau karena ketergantungan pada narkotika.
Berdasarkan simpulan penelitian, disarankan Penuntut Umum sebaiknya tidak serta merta menolak perkara penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pelaku gangguan jiwa. Selain itu juga perlu dibentuk peraturan bersama antara Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung terkait penanganan perkara penyalahgunaan narkotika dengan pelaku gangguan jiwa.
Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, penyalahgunaan narkotika, gangguan jiwaFauziyah Devi Sifah21220110772023-10-18T03:52:50Z2023-10-18T03:52:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76587This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/765872023-10-18T03:52:50ZIMPLEMENTASI KEBIJAKAN NON PENAL TERHADAP INTENSITAS
TINDAK PIDANA DENGAN ADANYA PERKEMBANGAN
EKONOMI KERAKYATAN
(Studi di Wilayah Batanghari, Lampung Timur)Daerah Batanghari merupakan daerah maju di wilayah Kabupaten Lampung
Timur, ditandai dengan keadaan geografis yang strategis dan kondisi alam yang
mendukung menyebabkan perkembangan ekonomi yang pesat dengan banyak
usaha jasa, industri, dan perdagangan. Namun, perkembangan ekonomi juga
memicu kejahatan seperti pemalakan, pencurian, dan perampokan. Pasca covid 19
produk ekonomi kerakyatan menurun sebanyak 80%, pada tahun 2021 naik
mencapai 40% hingga tahun 2022 kenaikan mencapai >96%, seiring dengan
kemajuan ekonomi kerakyatan menjadi pemicu naiknya tindak pidana. Jumlah
kasus untuk Polsek Batanghari sendiri pada tahun 2021 sebanyak 13 kasus, 2022
36 kasus, dari 49 total kasus sepanjang 2021-2022. Rumusan permasalahan
mengenai (1) Implementasi kebijakan non penal terhadap intensitas tindak pidana
dengan adanya perkembangan ekononomi kerakyatan (2) Faktor apa saja yang
menghambat implementasi kebijakan non penal terhadap intensitas tindak pidana
dengan adanya perkembangan ekononomi kerakyatan. Metode yang digunakan
yaitu metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara observasi dan wawancara langsung kepada para narasumber.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Implementasi kebijakan non penal terhadap
intensitas tindak pidana dengan adanya perkembangan ekonomi kerakyatan di
wilayah Batanghari, Lampung Timur sudah dilakukan oleh perangkat kebijakan
desa dibantu aparat penegak hukum. Kebijakan yang dilakukan oleh perangkat
kebijakan desa ataupun pihak kepolisian wilayah Batanghari Lampung Timur
dalam menanggulangi tindak pidana dengan adanya perkembangan ekonomi
kerakyatan yaitu dengan musyawarah, sosialisasi dan penyuluhan. (2) Faktorfaktor penghambat yang ada dalam implementasi kebijakan non penal yaitu faktor
hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan
faktor kebudayaan.
Kata kunci: Kebijakan Non Penal, TindakPidanadenganEkonomiKerakyatan
The Batanghari area is developed in the East Lampung Regency area, marked by
social, economic and cultural progress. Its strategic geographical presence and
favorable natural conditions have led to rapid economic development with many
service, industrial and trading businesses. However, economic development has
also triggered crimes such as bullying, theft, and robbery, post-covid 19 the
people's economic products have decreased and even died, in 2021 they have
started to grow and develop, along with the development of the people's economy
which has triggered an increase in criminal acts..the number of cases for the
Batanghari police station alone in 2021 13 cases, 2022 36 cases, out of 49 total
cases throughout 2021-2022. This study aims (1) to analyze the implementation of
non-penalty policies on the intensity of criminal acts in the presence of populist
economic development (2) to analyze what factors impede the implementation of
non-penalty policies on the intensity of criminal acts in the presence of populist
economic developments. The method used is a qualitative research method. Data
collection methods are carried out by direct observation and interviews with
informants and conclusions are drawn using inductive methods.
The results of this study are (1) The implementation of non-penal policies on the
intensity of criminal acts with the development of the people's economy in the
Batanghari region, East Lampung has been carried out well. Policies carried out
by the village policy apparatus or the Batanghari regional police in East
Lampung in tackling criminal acts with the development of the people's economy,
namely by deliberation, socialization and counseling. (2) The inhibiting factors
that exist in the implementation of non-penal policies on the intensity of criminal
acts with the development of the people's economy in the Batanghari region, East
Lampung, namely that there are still many community members who do not
realize their mistakes so that they repeat the same crime, have difficulty finding a
win-win solution between the victim and the perpetrator, then there is no
deterrent effect for the perpetrators of crime, limited personnel in reaching the
area and a lack of indications of settlement means in this case from the
Batanghari regional police, East Lampung.
Keywords: Non Penal Policy, Criminal Acts with the People's Economy ELVA20220120102023-10-16T07:37:54Z2023-10-16T07:37:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76497This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/764972023-10-16T07:37:54ZPENERAPAN PRINSIP PROFESIONAL DALAM PENANGANAN
PELANGGARAN ADMINISTRASI YANG TERJADI SECARA
TERSTRUKTUR, SISTEMATIS, DAN MASIF
(Studi atas Pemilihan Walikota di Kota Bandar Lampung Tahun 2020)Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi proses penyelenggaraan pemilu
idealnya dapat melaksanakan tugasnya secara professional. Akan tetapi pada
Pemilihan Walikota di Kota Bandar Lampung Tahun 2020 diduga Bawaslu
Provinsi Lampung tidak profesional. Penelitian ini membahas implikasi tindakan
penyelenggara pemilu yang tidak didasarkan pada prinsip profesional dan
penerapan prinsip profesional dalam penanganan pelanggaran administrasi yang
terjadi secara TSM. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisa
data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
implikasi tindakan penyelenggara pemilu yang tidak didasarkan pada prinsip
profesional adalah dapat dikenakan sanksi baik berupa sanksi etis maupun sanksi
pidana sesuai kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Saksi etis
dijatuhkan oleh DKPP melalui sidang etis, sedangkan sanksi pidana dijatuhkan
oleh Hakim Pengadilan melalui peradilan umum sesuai dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Penerapan prinsip profesional
penyelenggara pemilu dalam penanganan pelanggaran secara TSM telah
dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Lampung atas Pemilihan Walikota di Kota
Bandar Lampung Tahun 2020 yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Profesionalisme diterapkan dalam proses persidangan dan
proses pembuktian yang dilaksanakan secara berintegritas, tidak memiliki
kepentingan atau tendensi apapun selain melaksanakan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Saran dalam penelitian ini adalah
Bawaslu Provinsi Lampung hendaknya secara konsisten terus menerapkan prinsip
profesional dalam penyelenggaraan pemilu. Penguatan integritas Bawaslu
hendaknya dioptimalkan secara bertahap dan berkelanjutan melalui pendidikan
dan pelatihan serta bimbingan teknis di bidang penanganan pelanggaran secara
TSM.
Kata Kunci: Prinsip Profesional, Pelanggaran TSM, Bawaslu.
Bawaslu as an institution that oversees the process of holding elections should
ideally be able to carry out their duties professionally, however during The Mayor
Election in Bandar Lampung City Year 2020, it was suspected that the Lampung
Province Bawaslu was not professional. This study discusses the implications of
the actions of election organizers who are not based on professional principles
and professional principles are applied in handling administrative violations that
occur in TSM. This research is a normative research with a statutory approach, a
conceptual approach, and a case approach. Data collection is done by literature
study and field study. Data analysis was carried out qualitatively. The results of
this study indicate that the implication of the actions of election organizers that
are not based on professional principles is that they can be subject to sanctions,
either in the form of ethical sanctions or criminal sanctions according to mistakes
committed by election organizers. Ethical witnesses were imposed by the DKPP
through an ethical trial, while criminal sanctions were imposed by court judges
through general courts in accordance with criminal acts committed by election
organizers. The application of the professional principles of election organizers in
handling violations in the TSM manner has been carried out by the Lampung
Province Bawaslu for the 2020 Mayor Election in Bandar Lampung City which
was carried out in accordance with statutory provisions. Professionalism is
applied in the trial process and the evidentiary process which is carried out with
integrity, does not have any interest or tendency other than exercising authority in
accordance with statutory regulations. The suggestion in this study is that the
Lampung Province Bawaslu should consistently apply professional principles in
the holding of elections. Strengthening the integrity of Bawaslu should be
optimized gradually and continuously through education and training as well as
technical guidance in the field of handling violations in a systematic and massive
structure.
Keywords: Professional Principles, TSM Violations, BawasluPERDANA PUTRA TOMMY 21220110612023-10-06T02:39:02Z2023-10-06T02:39:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76157This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/761572023-10-06T02:39:02ZTANGGUNG JAWAB HUKUM DOKTER TERHADAP PENETAPAN
STATUS ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA DALAM VISUM ET
REPERTUM PSIKIATRIKUM Proses penegakan hukum terkadang menbutuhkan bantuan ahli termasuk dalam penetapan
status Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disebut ODGJ pada pelaku tindak
pidana yang diduga menderita gangguan jiwa. Akan tetapi, indikasi pemeriksaan visum
psikiatri belum jelas. Selain itu tidak semua dokter memiliki kompetensi dalam penetapan
status ODGJ dalam pemeriksaan visum psikiatri. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui indikasi hukum pemeriksaan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) di
Indonesia serta tanggungjawab hukum dokter terhadap penetapan status ODGJ dalam
VeRP.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Data dikumpulkan melalui studi
kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teoriteori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan
dalam penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa indikasi dilakukannya pemeriksaan VeRP pada
seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa hanya berdasarkan penilaian oleh
penegak hukum saja dan tidak ada batasan indikasi yang jelas. Dokter yang diminta untuk
melaksanakan pemeriksaan kesehatan demi kepentingan hukum wajib melaksanakan dan
harus dilaksanakan sesuai dengan kompetensi berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang No.
36 Tahun 2009. Di sisi lain pada undang-undang kesehatan yang baru yakni UndangUndang No. 17 Tahun 2023 ketentuan kewajiban seorang dokter melaksanakan
pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan hukum dihapus. Penghapusan ketentuan
tersebut dapat dipahami sebagai penyederhanaan peraturan, namun lebih dari itu dapat
dipahami salah dan berimplikasi menjadi ketidakpastian hukum karena berpotensi ada
kekeliruan dalam hal penafsiran. Dari hasil penelitian ini disarankan perlu adanya batasan
indikasi yang jelas dalam pemeriksaan VeRP terhadap seseorang yang berperkara yang
diduga mengalami gangguan jiwa. Selain itu, diperlukan instrumen penilaian skrining awal
gangguan kesehatan mental emosional sebelum dilakukan pemeriksaan VeRP. Dalam
melakukan pemeriksaan visum et repertum psikiatrikum,seorang dokter harus memahami
kompetensi dan tanggungjawab serta senantiasa berpedoman pada peraturan perundangundangan, kode etik dan standar kompetensi yang ada.
Kata kunci: Indikasi, Tanggungjawab dokter, Visum et Repertum Psikiatrikum.
The law enforcement process sometimes requires expert assistance, including in
determining the status of Persons with Mental Disorders, hereinafter referred to as ODGJ,
on the perpetrators of criminal acts suspected of suffering from mental disorders. However,
the determination of ODGJ status can only be done by a doctor who has competence, while
not all regions have expert doctors in this field. The purpose of this study is to determine
the legal indication of Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP) examination in Indonesia
as well as the doctor's legal liability for determining the status of ODGJ in VeRP.
This research uses a normative legal research method with a statutory approach and a
conceptual approach. Data were collected using library research by reading, quoting and
analyzing legal theories and laws and regulations related to the problems in the study.
The results of this study indicate that the indication for conducting a VeRP examination
on someone suspected of having a mental disorder is only based on an assessment by law
enforcement and there are no clear indications. Doctors who are asked to carry out
medical examinations for the sake of legal interests are obliged to carry out and must be
carried out in accordance with competence based on Article 28 of Law No. 36 of 2009. On
the other hand, in the new health law, Law No. 17 of 2023, the provision of a doctor's
obligation to carry out a medical examination for the benefit of the law is removed. The
deletion of these provisions can be understood as a simplification of regulations, but more
than that it can be understood wrongly and has implications for legal uncertainty because
there is potential for errors in interpretation. From the results of this study, it is suggested
that there needs to be a clear indication limitation in the VeRP examination of a litigant
who is suspected of having a mental disorder. In addition, an initial screening
assessment instrument for emotional mental health disorders is needed before the
VeRP examination is carried out. In carrying out a visum et repertum psychiatricum
examination, a doctor must understand the competencies and responsibilities and
always be guided by existing laws and regulations, ethics and competency
standards.
Keywords: Doctor's responsibility, Indication, Visum et Repertum Psychiatricum. JARMIATI20220110312023-10-05T08:05:57Z2023-10-05T08:05:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76118This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/761182023-10-05T08:05:57ZANALISIS HUKUM PENGELOLAAN RAHASIA DAGANG SEBAGAI ASET BISNIS DI INDONESIA
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kasus terkait rahasia dagang yaitu Kasus Hi Pin yang membocorkan rahasia dagangnya, Pengungkapan rahasia dagang oleh karyawan perusahaan PT Basuki Pratama Engineering kepada PT Hitachi Construction Machinery Indonesia dan pembocoran rahasia dagang yang dilakukan karyawan PT Bumi Tanggerang Mesindotama (BTM) dengan cara pindah kerja ke PT General Food Industri Bandung (GFIB) dan mengimplementasikan semua metode produksi dan pengolahan ke PT GFIB. Berdasarkan beberapa kasus di atas, maka ini yang membuat pengelolaan rahasia dagang harus dijalankan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek hukum pengelolaan rahasia dagang yang merupakan suatu aset bisnis di Indonesia dan mengetahui kebijakan hukum terkait pengelolaan rahasia dagang sebagai aset bisnis di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek hukum pengelolaan rahasia dagang yaitu aspek hukum pendaftaran, aspek penegakan hukum, aspek hukum penyelesaian sengketa. Dikarenakan ketiga aspek ini merupakan aspek penting dalam pengelolaan rahasia dagang. Rahasia dagang termasuk dalam aset tidak berwujud dalam perusahaan yang mana aset tersebut nilainya bahkan bisa lebih mahal dibandingkan aset benda berwujud yang dimiliki perusahaan. Kebijakan hukum terkait aset bisnis rahasia dagang mulai diratifikasinya perjanjian TRIPs hingga ditetapkannya turunan dari peraturan-peraturan rahasia dagang yang sebelumnya dan pembangunan regulasi dalam rahasia dagang ditujukan agar memberikan perlindungan dan penegakan hukum terhadap pengelolaan hak rahasia dagang yang dimiliki suatu perusahaan di Indonesia.
Kata Kunci : Aset Bisnis, Pengelolaan, Rahasia Dagang.
This research is motivated by the existence of several cases related to trade secrets, namely the Hi Pin case which leaked its trade secrets, Disclosure of trade secrets by employees of PT Basuki Pratama Engineering to PT Hitachi Construction Machinery Indonesia and leaking of trade secrets by employees of PT Bumi Tanggerang Mesindotama (BTM) by moving to work at PT General Food Industri Bandung (GFIB) and implementing all production and processing methods to PT GFIB. Based on the several cases above, this is what makes the management of trade secrets must be carried out properly. This study aims to determine the legal aspects of trade secret management which is a business asset in Indonesia and to find out the legal policies regarding the management of trade secrets as a business asset in Indonesia.
The type of research used in this thesis research is normative legal research with a descriptive research type. The data used is dsecondary data, which consists of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials which are then analyzed qualitatively.
Based on the results of research and discussion concluded thatThe legal aspects of trade secret management are legal aspects of registration, law enforcement aspects, legal aspects of dispute resolution. Because these three aspects are important aspects in the management of trade secrets.Trade secrets are included in intangible assets within the companywhere the value of these assets can even be more expensive than the tangible assets owned by the company. The legal policies related to trade secret business assets starting from the ratification of the TRIPs agreement until the adoption of derivatives of the previous trade secret regulations and the development of regulations on trade secrets are aimed at providing protection and law enforcement for the management of trade secret rights owned by a company in Indonesia.
Keywords: Business Assets, Management, Trade Secrets.
NUR NOVIANTI MOENAQISTIN 21220110732023-08-31T08:24:25Z2023-08-31T08:24:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75413This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754132023-08-31T08:24:25ZIMPLEMENTASI PROGRAM JAMINAN SOSIAL
KETENAGAKERJAAN BAGI PESERTA BUKAN PENERIMA UPAH
DI WILAYAH PROVINSI LAMPUNGSistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), implementasi program
jaminan sosial ketenagakerjaan diharapkan dapat berjalan dengan maksimal.
Kondisinya saat ini cakupan kepesertaan bagi peserta bukan penerima upah di
wilayah Provinsi Lampung masih terkendala oleh beberapa faktor. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi urgensi dari program jaminan sosial
ketenagakerjaan bagi masyarakat yang masuk dalam kategori peserta bukan
penerima upah serta menganalisis strategi optimalisasi kepesertaan program
jaminan sosial ketenagakerjaan bagi peserta bukan penerima upah di wilayah
Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asasasas
hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan secara lapangan
dengan wawancara terpadu kepada narasumber. Adapun hasil penelitian yang
didapat berkaitan dengan urgensi dari program jaminan sosial ketenagakerjaan
bagi peserta bukan penerima upah adalah adanya jaminan kesejahteraan yang
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, jaminan kemudahan akses pelayanan
kesehatan serta jaminan hari tua apabila peserta sudah tidak aktif bekerja. Jaminan
tersebut tentu saja dapat mencegah timbulnya angka kemiskinan baru.. Strategi
optimalisasi kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi peserta
bukan penerima upah di Provinsi Lampung mencakup peningkatan kesadaran,
penyediaan akses yang mudah, pendekatan inklusif, kolaborasi dengan pemerintah
daerah, penguatan pendidikan dan pelatihan, membangun aliansi dengan
organisasi masyarakat, monitoring dan evaluasi. Dalam prosesnya, penting untuk
melakukan pemantauan dan evaluasi berkala guna mengukur efektivitas strategi
yang dijalankan dan melakukan perbaikan jika diperlukan.
Kata Kunci: Implementasi; Program Jaminan Sosial, Bukan Penerima Upah
The government's efforts to protect workers' rights have long been carried out
with the enactment of various regulations in the field of manpower. In subsequent
developments, with the enactment of Law Number 24 of 2011 concerning the
Social Security Administration Agency (BPJS), the implementation of the
employment social security program for non-wages participants in the Lampung
Province area is still constrained by several factors. This research is to analyze
the implementation of the employment social security program for participants
who are not wage earners in the Lampung province. To find out the obstacles to
the implementation of the employment social security program for participants
who are not wage earners in the province of Lampung. This study uses a
normative and empirical juridical approach. Normative research is carried out on
matters that are theoretical in nature on legal principles, while the empirical
approach is carried out in the field with integrated interviews with informants. As
for the research results obtained. The urgency or priority of the employment
social security program for people who fall into the category of non-wages
participants in the employment social security program for non-wages
participants has great urgency and priority. Through economic protection, access
to health services, pension benefits, protection for migrant workers, the strategy
for optimizing the participation of the employment social security program for
participants who are not wage earners in the Lampung Province Region. Broadly
speaking, the strategy for optimizing the participation of the employment social
security program for non-salaried participants in Lampung Province includes
raising awareness, providing easy access, inclusive approaches, collaboration
with local governments, strengthening education and training, building alliances
with community organizations, monitoring and evaluation. In the process, it is
important to carry out periodic monitoring and evaluation to measure the
effectiveness of the implemented strategy and make improvements if necessary.
Keywords: Implementation; Social Security Programs, Not Wage RecipientsSERENA MICHEL21220110162023-08-24T08:04:23Z2023-08-24T08:04:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75302This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753022023-08-24T08:04:23ZPEMBAHARUAN HUKUM SENGKETA PROSES PEMILIHAN
KEPALA DAERAH (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 2020)Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis dan menemukan pembaharuan hukum dalam model penyelesaian sengketa proses pemilihan kepala daerah. Metode penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah terkumpul. Sehingga dengan demikian pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan yang didapatkan adalah pertama, Bawaslu Provinsi Lampung membatalkan pasangan calon nomor urut 3 dan ditindaklanjuti oleh KPU Kota Bandar Lampung dengan Keputusan Nomor 007/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-Kot/1/2021 karena terbukti melakukan pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif, namun Mahkamah Agung membatalkannya melalui putusan nomor: 1 P/PAP/2021. Apabila Mahkamah Agung tidak membatalkan keputusan KPU, akan terjadi kendala untuk menetapkan pemenang atau dilakukan pemungutan suara ulang dalam pilkada Kota Bandar Lampung, karena tidak ada norma dalam Undang-Undang Pilkada yang mengaturnya. Kedua Pembaharuan hukum model penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang substansi atau normanya memuat dua pilihan yaitu pertama dengan mereduksi kewenangan Bawaslu dalam memutus setiap sengketa proses pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sehingga Bawaslu dapat lebih fokus dalam hal pengawasan dalam pemilihan kepala daerah, ketika ada sengketa yang terjadi di dalamnya maka menjadi kewenangan dari PTUN. Kedua, dengan memperkuat struktur kelembagaan Bawaslu yang menjadikannya sebagai lembaga tunggal dalam memutus setiap sengketa proses yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah dengan catatan beberapa aspek harus diperbaiki mulai dari kewenangan secara atributif oleh undang-undang dan rekrutmen anggota memiliki latar belakang kepemiluan serta peningkatan kapasitas keilmuan dibidang peradilan bagi anggota Bawaslu.
Kata Kunci: Sengketa Proses, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pembaharuan Hukum.
The purpose of this study is to analyze and find legal reforms in the regional head election process dispute resolution model. The research method used is descriptive analysis, namely describing or giving an overview of the object under study through the data that has been collected. So that the approach used in this study is a statutory approach, case approach, and conceptual approach. The results of the discussion obtained are First, The Lampung Province Election Supervisory Agency canceled the candidate pair number 3 and was followed up by the Bandar Lampung General Election Commission with Decision Number 007/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-Kot/1/2021 because they were proven to have committed a structured, systematic and massive violation, but the Court Agung canceled it through decision number: 1 P/PAP/2021. If the Supreme Court does not annul the Bandar Lampung General Election Commission decision, there will be problems in determining the winner or a re-voting in the Bandar Lampung regional election, because there is no norm in the Regional Head Elections Law that regulates it. Second The legal renewal of the regional head election dispute resolution model is carried out by changing the Regional Head Election Law whose substance or norms contain two options, namely Firstby reducing the authority of Election Supervisory Agency in deciding any process disputes at the stage of implementing regional head elections, so that Bawaslu can focus more on supervision in regional head elections, when there is a dispute that occurs in it then it becomes the authority of the Administrative Court. Second, by strengthening the Election Supervisory Agency institutional structure which makes it the sole institution in deciding any process disputes that occur in regional head elections with a note that several aspects must be improved starting from attributive authority by law and recruitment of members with electoral backgrounds as well as increased scientific capacity in the field of justice for Election Supervisory Agency Members.
Keywords: Dispute Process, Election of Regional Heads, and Legal Reform.GUSTA RIANDA HENDI 20220110122023-08-23T09:32:42Z2023-08-23T09:32:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75229This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/752292023-08-23T09:32:42ZSTUDI PERBANDINGAN PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF
TERHADAP PERKARA YANG DAPAT DILAKUKAN
PENGHENTIAN PENUNTUTAN
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan Negeri Metro)Lahirnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang memberikan kewenangan
Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi terobosan
dalam penyelesaian tindak pidana. Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan
Negeri Metro telah mengajukan permohonan penghentian penuntutan untuk perkara tindak
pidana yang ada di wilayahnya namun kedua permohonan tersebut memiliki hasil yang
berbeda, permohonan dari Kejaksaan Negeri Tulang Bawang disetujui sedangkan
permohonan dari Kejaksaan Negeri Metro ditolak. Alasan inilah yang membuat peneliti
tertarik untuk menganalisisnya guna mengetahui perbandingan penerapan keadilan
restoratif di Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan Negeri Metro serta untuk
mengetahui kriteria perkara yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah
data primer dan sekunder. Sumber data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan
dokumen serta melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca,
mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menyimpulkan bahwa permohonan Kejaksaan Negeri
Tulang Bawang disetujui karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan juga
alasan tersangka melakukan tindak pidana karena keterpaksaan yang menggugah rasa
kemanusiaan sedangkan permohonan Kejaksaan Negeri Metro ditolak karena ancaman
hukuman tindak pidana adalah 7 (tujuh) tahun dan tersangka masih berusia muda serta bisa
mendapatkan uang dengan cara bekerja bukan dengan mencuri. Selanjutnya kriteria
perkara yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
selain harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif juga tetap melihat dan mempertimbangkan rasa
kemanusiaan serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan baiknya dikemudian hari Jaksa Agung dapat
mendelegasikan kewenangan penentuan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif pada Kejaksaan Tinggi yang ada di Indonesia diikuti dengan
menerbitkan peraturan yang mengatur secara rinci tentang pelaksanaan Restorative Justice
dengan tetap mempertimbangkan rasa kemanusiaan serta norma atau hukum adat pada
masing-masing daerah. Selain itu perlu diadakannya sosialisasi terhadap pelaksanaan
Restorative Justice untuk menghilangkan stigma negatif kepada masyarakat bahwasannya
Jaksa Penuntut Umum tidak berpihak kepada tersangka atau pelaku tindak pidana.
Kata Kunci: Penghentian Penuntutan, Peraturan Kejaksaan, Keadilan RestoratifSAFITRI DINA21220110142023-08-10T08:23:01Z2023-08-10T08:23:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74526This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/745262023-08-10T08:23:01ZANALISIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENTRANSMISIKAN INFORMASI ELEKTRONIK YANG BERMUATAN PENCEMARAN NAMA BAIK
(Studi Putusan Nomor: 1220/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penjatuhan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik dalam Studi Putusan Nomer: 1220/ Pid.Sus/ 2021/ PN.Tjk. Penelitian ini mencari tahu bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pidana bersyarat terhadap terdakwa dan menganalisa hasil putusan hakim apakah telah memenuhi aspek keadialan atau tidak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh melalui studi kepustakaan dan melalui wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap narasumber yang telah ditentukan. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri, Jaksa Penuntut Umum, akademisi dari Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik (Studi Putusan Nomor: 1220/Pid.Sus/2021/PN.Tjk), menimbang bahwa berdasarkan fakta dipersidangan, penafsiran hakim yang mengakibatkan putusan pemidanaan dijatuhkan hukumannya terdakwa pidana penjara selama 4 (Empat) bulan menetapkan pidana yang dijatuhkan tersebut diatas tidak perlu dijalankan oleh Terdakwa, kecuali ada putusan Hakim lain Terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan berakahir, maka pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim telah sesuai dengan Pasal 14a yang mana pidana hukuman dibawah satu tahun atau satu tahun maka dikenakan pidan bersyarat. (2) Putusan pidana yang dijatuhkan bersyarat terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik telah sesuai dengan aspek keadilan, menurut penulis putusan yang diberikan kepada terdakwa telah sesuai dengan perbuatannya sehingga telah memenuhi aspek keadilannya dan hakim menilai bahwa perbuatannya dikategorikan pidan ringan yang dimana penyelesaiannya dapat secara damai.
Kata Kunci: Pidana Bersyarat, Pencemaran Nama Baik, UU ITE
ABSTRACT
This study aims to analyze the imposition of conditional punishment against the perpetrator of the crime of transmitting electronic information containing defamation in Decision Study Number: 1220/ Pid.Sus/ 2021/ PN.Tjk. This research seeks to find out how the judge's consideration in giving a conditional criminal decision to the defendant and analyzing the results of the judge's decision whether it has fulfilled the aspects of justice or not.
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Data was obtained through literature study and through interviews using written guidelines to the sources that have been determined. The resources in this research consisted of District Court Judges, Public Prosecutors, Academics from the University of Lampung.
The results of this study indicate that (1) The judge's consideration in imposing a conditional sentence on the perpetrator of the crime of transmitting electronic information containing defamation (Study of Decision Number: 1220/Pid.Sus/2021/PN. Tjk), considering that based on the facts at trial, the judge's interpretation which resulted in the sentencing of the defendant to imprisonment for 4 (Four) Months Determines that the sentence imposed above does not need to be carried out by the Defendant, unless there is another judge's decision The defendant commits a criminal offense before the probation period of 6 (six) months ends, then the sentence imposed by the judge is in accordance with Article 14a which states that a sentence of less than one year or one year is subject to conditional punishment. (2) The criminal decision imposed conditionally on the perpetrator of the crime of transmitting electronic information containing defamation is in accordance with the aspects of justice, according to the author, the decision given to the defendant is in accordance with his actions so that it has fulfilled the aspects of justice and the judge considers that his actions are categorized as minor crimes which can be resolved amicably.
Keywords: Conditional Punishment, Defamation, ITE Law Rizky Mido Rachman Muhammad 20220110662023-08-10T07:36:10Z2023-08-10T07:36:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74514This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/745142023-08-10T07:36:10ZPEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945Pemilu merupakan instrumen untuk mendapatkan pemimpin dalam mekanisme demokrasi. Melalui Pemilu rakyat dapat memberikan kontribusi terhadap terwujudnya Negara yang dicita-citakan dengan memilih pemimpin yang bisa menjaga amanat konstitusi. Pemimpin yang dipilih dapat mempengaruhi kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa dan negaranya sendiri, untuk di masa sekarang dan menuju pada masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu Bagaimana Ketentuan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945? Apakah Ketentuan Presidensial Threshold Memperkuat Sistem Presidensial di Indonesia? Dan Apakah Ketentuan Presidensial Threshold Tidak Bertentangan dengan UUD 1945? Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis dan Menjelaskan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945 serta Ketentuan Presidential Threshold Dalam Dimensi Konstitusi dan Menganalisis serta Menjelaskan korelasi Ketentuan Presidential Threshold Terhadap Penguatan Sistem Presidensial. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan Pendekatan yang digunakan yakni penelitian kualitatif, yakni penelitian ini diarahkan kepada ekplorasi kajian pustaka yang bersifat statement atau pernyataan, sehingga penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya penelitian dengan menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Dari penelitian ini diperoleh hasil (1) Ketentuan presidential threshold dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden tidak sesuai dengan kehendak dan maksud pembentuk UUD Pasal 6A Ayat (2), Ayat (5) dan Pasal 22E UUD NRI 1945, bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2), Ayat (5) dan Pasal 22E UUD NRI 1945, berpotensi melanggar kedaulatan rakyat dalam pemilu, sehingga ketentuan ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besarannya adalah bertentangan dengan konstitusi. (2) Penerapan presidential threshold tidak memiliki korelasi dengan penguatan sistem presidensial. Selain karena desain konstitusi UUD NRI 1945 tidak mempersyaratkan ambang batas untuk memperkuat sistem presidensial, juga karena UUD NRI 1945 menempatkan relasi presiden dan legislative pada posisi yang sejajar dual legitimasi, sehingga tidak saling inferior dan tumpang tindih kewenangan. Penerapan presidential threshold dalam factual sejarah ketatanegaraan Indonesia tidak memberikan jaminan efektivitas dan stabilitas pemerintahan.
Kata kunci: Konstitusi, Presidential Threshold, Sistem Presidensial
Elections are an instrument to get leaders in a democratic mechanism. Through elections, the people can contribute to the realization of the country they aspire to by electing leaders who can uphold the constitutional mandate. The elected leader can influence the prosperity and welfare of the nation and its own country, for the present and for the future. Based on the background above, the authors formulate the problem in this study, namely what are the provisions for the General Election of the President and Vice President based on the 1945 Constitution? Does the Presidential Threshold Provision Strengthen the Presidential System in Indonesia? And Are the Presidential Threshold Provisions Not Contrary to the 1945 Constitution? This study aims to analyze and explain the presidential and vice-presidential election based on the 1945 Constitution and presidential threshold provisions in the constitutional dimension and analyze and explain the correlation of presidential threshold provisions to strengthening the presidential system. This research uses a normative legal method with the approach used is qualitative research, namely this research is directed at exploring the literature in the form of statements or statements, so this research is descriptive-analytic in nature. Descriptive means research by describing a legal regulation in the context of legal theories and its implementation, as well as carefully analyzing the facts about the presidential and vice-presidential election system in Indonesia. The results of this study were (1) The provisions for the president's threshold in the general election for president and vice president are not in accordance with the wishes and intentions of the constitution's constituents Article 6A Paragraph (2), Paragraph (5) and Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, contrary to Article 6A Paragraph ( 2), Paragraph (5) and Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, have the potential to harm people's sovereignty in elections, so that the presidential threshold for no matter how large is against the constitution. (2) Implementation of the Presidential Threshold has no correlation with strengthening the presidential system. Apart from the fact that the constitutional design of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia does not require a boundary park to strengthen the presidential system, it is also because the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia places the relationship between the president and the legislature in an equal position with dual legitimacy, so that they are not inferior to each other and overlapping authorities. The application of the presidential threshold in the factual history of the Indonesian state administration does not guarantee the effectiveness and stability of the government.
Keywords: Constitution, Presidential Threshold, Presidential SystemEka Putra Renaldy 20220110872023-08-08T02:56:30Z2023-08-08T02:56:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74285This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/742852023-08-08T02:56:30ZIMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PENGANIAYAAN
(Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)
Pemberlakuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif memberikan peluang untuk penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan perdamaian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi restorative justice oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam penyelesaian perkara penganiayaan dan mengapa terdapat faktor penghambat implementasi restorative justice dalam penyelesaian perkara penganiayaan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi restorative justice oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam penyelesaian perkara penganiayaan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung setelah menerima pelimpahan berkas perkara dan tersangka dari Kepolisian, Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Pidana, Penelitian atas berkas perkara dan dituangkan ke dalam Berita Acara Pendapat, Fasilitasi Proses Perdamaian Melalui Keadilan Restoratif, Pemanggilan Tersangka dan Korban, Pemberitahuan Kepada Kepolisian, Penyusunan Nota dan Laporan Perdamaian Berhasil, Penyampaian Surat Permintaan Penghentian Penuntutan Kepada Kejaksaan Tinggi dan Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap tersangka. Faktor sarana yang menghambat implementasi restorative justice oleh Kejaksaan adalah data yang diserahkan oleh para pihak yang terlibat dalam tindak pidana penganiayaan tidak lengkap. Hambatan faktor masyarakat adalah karakter personal para pihak yang cenderung untuk mencari-cari kesalahan dan kelemahan pihak lain sehingga perdamaian tidak menemukan titik terang. Selain itu dalam hal satu atau kedua belah pihak mengundurkan diri dari proses perdamaian yang sedang berlangsung, sehingga menghilangkan semua tahapan dalam proses perdamaian.
Saran dalam penelitian ini adalah Kejaksaaan agar tetap mengimplementasikan penghentian penuntutan terhadap perkara pidana yang memenuhi persyaratan. Pelaku maupun korban dalam perkara penganiayaan hendaknya memilih penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif dalam rangka mencari jalan keluar terbaik dan saling menguntungkan (win win solution) bagi kedua belah pihak.
Kata Kunci: Implementasi, Restorative Justice, Kejaksaan, Penganiayaan
ABSTRACT
IMPLEMENTATION OF RESTORATIVE JUSTICE IN SOLVING CASES OF CRIMINAL ACTS OF PERSECUTION
(Studies at the Bandar Lampung District Attorney)
By
DESMILA SARI
The enactment of the Attorney General's Regulation of the Republic of Indonesia Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice provides an opportunity for settlement of criminal cases based on peace. The problem in this study is how is the implementation of restorative justice by the Bandar Lampung District Attorney in solving cases of criminal acts of persecution and why there is inhibiting factor the implementation of restorative justice in solving cases of criminal acts of persecution?
This study uses a normative and empirical juridical approach. Data collection is done by literature study and field study. The data obtained was then analyzed qualitatively to draw conclusions.
The results of this study indicate that the implementation of restorative justice by the Bandar Lampung District Prosecutor's Office in the settlement of cases of persecution was carried out by the Bandar Lampung District Prosecutor's Office after receiving the delegation of case files and suspects from the Police, Appointment of the Public Prosecutor for Settlement of Criminal Cases, Research on case files and set forth into Minutes of Opinions, Facilitation of the Conciliation Process through Restorative Justice, Summons of Suspects and Victims, Notifications to the Police, Compilation of Memorandums and Successful Conciliation Reports, Submission of Requests for Termination of Prosecution to the High Prosecutor's Office and Issuance of Stipulations for Cessation of Prosecution against suspects. The facility factor that hinders the implementation of restorative justice by the Prosecutor's Office is that the data submitted by the parties involved in the crime of persecution is incomplete. The societal factor obstacle is the personal character of the parties who tend to find faults and weaknesses of other parties so that peace does not find a bright spot. In addition, in the case of one or both parties withdrawing from the ongoing peace process, thus eliminating all stages in the peace process.
Suggestions in this study are the Attorney General's Office to continue to implement the termination of prosecution of criminal cases that meet the requirements. Perpetrators and victims in cases of abuse should choose to settle cases through restorative justice in order to find the best and win-win solution for both parties.
Keywords: Implementation, Restorative Justice, Prosecutor's Office, Persecution
SARI DESMILA 21220111082023-08-07T08:52:07Z2023-08-07T08:52:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74260This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/742602023-08-07T08:52:07ZPERUBAHAN KEBIJAKAN LIMBAH BATUBARA MENJADI LIMBAH NON
B3 DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
(STUDI PADA PLTU BATUBARA UNIT TARAHAN)
PLTU Batubara merupakan sarana yang dibangun untuk menunjang kelangsungan
aktivitas masyarakat. Selain menghasilkan listrik, PLTU Batubara juga menghasilkan
limbah yang dikenal dengan fly ash dan bottom ash (FABA). Sejak disahkannya PP
Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, terjadi perubahan yaitu keluarnya limbah FABA dari kategori B3
menjadi Non B3. Perubahan ini mengakibatkan kekhawatiran masyarakat terutama terkait
lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar PLTU. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis perubahan kebijakan Limbah Batubara dari B3 menjadi Non B3 dan
menemukan kebijakan/ pengaturan limbah batubara agar selaras dengan pembangunan
berkelanjutan. Metode dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif
dan pendekatan sosiologis (field research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perubahan kebijakan Limbah Batubara
dari B3 menjadi Non B3 menimbulkan dampak positif terutama bagi aspek ekonomi.
Longgarnya perizinan dalam memanfaatkan FABA, menjadi peluang bagi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam membuat inovasi baru di bidang konstruksi. Selain
itu, pihak PLTU juga merasakan berkurangnya biaya pengelolaan FABA sebab
pemanfaat tidak lagi terbatasi oleh izin. Akan tetapi, perubahan kebijakan ini
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pemindahan FABA dari silo ke angkutan
terbuka (bak) berpotensi limbah dapat termobilisasi sehingga membahayakan kesehatan
manusia. Selain itu, pelepasan fly ash dapat membuat polutan udara dan emisi rumah
kaca, sedangakn bottom ash dapat mengakibatkan pemanasan global yang memicu
timbulnya sejumlah gejala perubahan iklim. (2) Pembangunan berkelanjutan dengan
memadukan unsur ekologis, ekonomi, dan sosial merupakan suatu strategi pembangunan
guna menjamin keutuhan lingkungan hidup dan mutu hidup generasi masa mendatang.
Berubahnya kebijakan limbah FABA dari B3 menjadi Non B3 hanya menimbulkan
dampak positif bagi pengusaha dan PLTU itu sendiri. Sedangkan bagi masyarakat sekitar
PLTU, abu FABA dapat berpotensi menimbulkan penyakit serta menurunkan kualitas
udara.
Kata Kunci : Kebijakan, PLTU Batubara, Limbah FABA
PLTU Batubara is a facility built to support the continuity of community activities.
In addition to generating electricity, PLTU Batubara also produces waste known as fly
ash and bottom ash (FABA). Since the ratification of PP Number 22 of 2021 concerning
the Implementation of Environmental Protection and Management, there has been a
change, namely the release of FABA waste from the B3 category to Non B3. This change
resulted in public concern, especially related to the environment and health of the
community around the PLTU. This study aims to analyze changes in Coal Waste policy
from B3 to Non B3 and find coal waste policies / arrangements to be in line with
sustainable development. The method in this study is carried out by means of a normative
approach and a sociological approach (field research).
The results showed that (1) Changes in Coal Waste policy from B3 to Non B3 had
a positive impact, especially on economic aspects. The loose licensing in utilizing FABA
is an opportunity for Micro, Small and Medium Enterprises (UMKM) in making new
innovations in the construction sector. In addition, the PLTU also feels the reduced cost
of managing FABA because users are no longer limited by permits. However, this policy
change has a negative impact on the environment. The transfer of FABA from silos to
open transportation (tubs) has the potential for waste to be mobilized, endangering
human health. In addition, the release of fly ash can create air pollutants and greenhouse
emissions, while bottom ash can cause global warming which triggers a number of
symptoms of climate change. (2) Sustainable development by combining ecological,
economic, and social elements is a development strategy to ensure the integrity of the
environment and the quality of life of future generations. The change in FABA waste
policy from B3 to Non B3 only has a positive impact on entrepreneurs and the PLTU
itself. As for the community around the PLTU, FABA ash can potentially cause disease
and reduce air quality.
Keywords
: Policy, Coal-Fired Power Plant, FABA Waste INTAN SARASWATI NI MADE20220120132023-08-04T09:04:11Z2023-08-04T09:04:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74161This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/741612023-08-04T09:04:11ZTANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK
NEGARA PASCA PERUBAHAN STRUKTUR SAHAM
(HOLDING SEKTOR PERKEBUNAN)Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. BUMN merupakan salah satu penopang dari perekonomian Indonesia.
BUMN juga memiliki andil dan turut serta berkontribusi untuk perekonomian nasional beriringan
dengan swasta dan koperasi BUMN sebagai badan usaha untuk memperluas dan untuk menguasai
sektor pasar dibeberapa bidang, baik sejenis maupun tidak sejenis. Kondisi inilah yang kemudian
mendorong dibentuknya sebuah holding company. Sebagai salah contoh di perusahaan
perkebunan, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) menjadi induk dari holding ini, membawahi
13 PTPN lainnya. Pembentukan perusahaan induk menimbulkan akibat hukum antara holding
dengan anak perusahaan.Untuk mengkaji hubungan hukum Holding BUMN dengan anak
usahanya dilakukan penelitian hukum normatif. Menggunakan data berupa bahan hukum primer,
sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan studi pustaka. Selanjutnya dianalisis dengan
metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan hukum Holding Perkebunan
dengan Anak Perusahaan Dalam ketentuan Pasal 3 PP No 72/2014 disebutkan antara lain bahwa
dengan adanya penambahan penyertaan Modal Negara ke dalam PT Perkebunan Nusantara III
(Persero) yang berasal dari pengalihan saham Negara di PT Perkebunan I, II, IV sampai dengan
XIV maka mengakibatkan kedudukan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) menjadi Pemegang
Saham di PT Perkebunan Nusantara I, II, IV sampai dengan XIV. Holding perkebunan menjadi
pengendali anak perusahaan PTPN I, II, IV sampai dengan XIV. Dan Tanggung jawab induk
perusahaan holding terhadap anak usahanya tetap mengenal prinsip limited liability yang dimana
holding yang menjadi induk perusahaan ini tidak bertanggung jawab penuh terhadap anak
perusahaannya hanya berdasarkan saham yang dimiliki yang dasar hukumnya Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu pemegang saham
perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Negara masih
memiliki hubungan dengan anak perusahaan BUMN karena hanya dilakukan pengalihan saham
seri B saja. Hak istimewa negara muncul karena adanya kepemilikan saham seri A dwiwarna
tersebut. Dengan adanya hak istimewa tersebut maka PTPN III (Persero) sebagai pemegang saham
mayoritas pada anak perusahaan BUMN menjadi terbatas.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Induk Perusahaan, BUMN, Perubahan struktur Saham
BUMN are business entities whose capital is wholly or substantially owned by the state through
direct participation originating from separated state assets. BUMN is one of the pillars of the
Indonesian economy. BUMN’s also have a stake in and participate in contributing to the national
economy along with the private sector and BUMN cooperatives as business entities to expand and
to dominate the market sector in several fields, both similar and non-similar. This condition then
prompted the formation of a holding company. As an example in a plantation company, PT
Perkebunan Nusantara III (PTPN III) is the parent of this holding, overseeing 13 other PTPNs.
The establishment of a holding company creates legal consequences between the holding and its
subsidiaries. In order to study the legal relationship between BUMN holdings and their
subsidiaries, normative legal research is carried out. Using data in the form of primary,
secondary and tertiary legal materials collected by library research (library research). Then
analyzed by qualitative methods. The results of the study show that the legal relationship between
Holding Plantations and Subsidiaries in the provisions of Article 3 PP No 72/2014 states, among
other things, that with the addition of State Capital participation into PT Perkebunan Nusantara
III (Persero) originating from the transfer of the share State in PT Perkebunan I, II, IV to XIV,
resulting in the position of PT Perkebunan Nusantara III (Persero) becoming a shareholder in PT
Perkebunan Nusantara I, II, IV to XIV. Plantation holdings become the controllers of PTPN I, II,
IV to XIV subsidiaries. And the responsibility of the holding company holding company towards
its subsidiaries still recognizes the principle of limited liability in which the holding company
which is the parent company is not fully responsible for its subsidiaries only based on the shares
it owns, the legal basis of which is Article 3 paragraph (1) of Law Number 40 of 2007 regarding
Limited Liability Companies, namely the shareholders of the company are not personally
responsible for the engagement made on behalf of the company and are not responsible for the
company's losses exceeding the shares owned. The state still has a relationship with BUMN
subsidiaries because only series B shares have been transferred. State privileges arise because of
the ownership of the bicolor Series A shares. With this privilege, PTPN III (Persero) as the
majority shareholder in BUMN subsidiaries is limited.
Keywords: Responsibility, BUMN, Post Changes In Share StructureGAYATRI SYOFIA 20220110622023-08-04T07:17:52Z2023-08-04T07:17:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74079This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740792023-08-04T07:17:52ZANALISIS PEMBAYARAN RESTITUSI KEPADA ANAK
KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN
(Studi Putusan Nomor: 331/Pid.Sus/2021/PN.Kla)Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual seperti halnya persetubuhan adalah dengan mendapatkan restitusi. Restitusi yang diatur dalam instrumen hukum yang ada saat ini tidak memberikan jaminan yang utuh bahwa anak korban dapat menerima restitusi pasca putusan pengadilan. Oleh karena itu penulis akan melakukan studi analisa kasus terhadap putusan restitusi sebagaimana Putusan Nomor: 331/Pid.Sus/2021/PN.Kla). Permasalahan yang dikaji dalam tesis ini yakni bagaimanakah pembayaran restitusi terhadap anak korban tindak pidana persetubuhan serta bagaimanakah formulasi ideal pembayaran restitusi terhadap anak korban tindak pidana persetubuhan? Guna mencari, menemukan dan menganalisa masalah yang diteliti, digunakan metode pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi pustaka dan studi dokumentasi. Selanjutnya data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan deskripsi, preskripsi, sistematisasi data dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembayaran restitusi terhadap anak korban tindak pidana persetubuhan sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor: 331/Pid.Sus/2021/PN Kla, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017. Pembayaran restitusi tersebut diperuntukkan sebagai ganti kerugian atas biaya yang dikeluarkan anak korban selama menjalani persidangan/biaya transportasi, biaya konsumsi, ganti kerugian kehilangan penghasilan orangtua korban dan jasa kuasa hukum, biaya konseling ke psikolog untuk pemulihan psikologis korban, serta biaya perawatan atau pengeluaran yang berhubungan dengan medis. Di masa depan restitusi diformulasikan sebagai pidana tambahan, restitusi yang tidak dibayar diikuti dengan upaya paksa, diatur tentang kualifikasi ganti kerugian berdasarkan ancaman pidana yang dijatuhkan serta pengajuan restitusi tidak harus melalui LPSK, namun diberikan opsi kepada penyidik dan penuntut umum. Pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 dengan mekanisme pelaksanaan yang jelas dan memperkuat kewenangan Kejaksaan dalam memenuhi hak restitusi bagi anak korban kekerasan seksual. Selain itu Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dengan menjadikan restitusi sebagai pidana tambahan, sekaligus mengatur upaya paksa manakala restitusi tidak dibayar oleh pelaku tindak pidana.
Kata kunci: anak korban, restitusi, tindak pidana persetubuhan
ABSTRACT
One form of legal protection for child victims of sexual violence, such as sexual intercourse, is to obtain restitution. Restitution regulated in existing legal instruments does not provide a complete guarantee that the victim's child can receive restitution after a court decision. Therefore the author will conduct a case analysis study of the restitution decision as in Decision Number: 331/Pid.Sus/2021/PN.Kla). The problems studied in this thesis are how is the payment of restitution for child victims of sexual intercourse as well what is the ideal formulation of restitution payments for child victims of sexual intercourse? A normative juridical approach is used to find, find and analyze the problem under study. The types of data used in this research are primary and secondary. Data collection was carried out through library research and documentation studies. Furthermore, the data that has been obtained is then processed with description, prescription, data systematization, and data analysis carried out qualitatively. The study results show that the payment of restitution to child victims of the crime of sexual intercourse is by the decision of the Kalianda District Court Number: 331/Pid.Sus/2021/PN Kla, based on Law Number 35 of 2014 and Government Regulation Number 43 of 2017. The payment of restitution is intended as compensation for costs incurred by the victim's child while undergoing trial/transportation costs, consumption costs, compensation for loss of income for the victim's parents and attorney services, counseling fees for psychologists for the victim's psychological recovery, as well as treatment costs or medical-related expenses. In the future, restitution is formulated as an additional punishment, forced efforts follow unpaid restitution, it regulates the qualifications for compensation based on the criminal threat imposed, and the request for restitution does not have to go through the LPSK. However, options are given to investigators and public prosecutors. The Government needs to revise Government Regulation Number 43 of 2017 with a clear implementation mechanism and strengthen the Attorney's authority in fulfilling the right of restitution for child victims of sexual violence. In addition, the Government needs to revise Law Number 35 of 2014 by making restitution an additional punishment and regulating coercive measures when the perpetrators of criminal acts do not pay restitution.
Keywords: child victim, restitution, the crime of intercourseAssarofi Muhammad 20220110882023-08-02T08:15:57Z2023-08-02T08:15:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74024This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740242023-08-02T08:15:57ZPEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
SUMPAH PALSU PADA TAHAP PENYIDIKAN
(Studi Putusan Nomor: 18/Pid.B/2022/PN.Gdt. Jo 53/PID/2022/PT.TJK)Pembuktian seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting daam acara pidana. Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang merupakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Tujuan tesis ini adalah mengetahui pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana sumpah palsu dalam penyidikan dan mengetahui pertimbangan majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana sumpah palsu dalam Perkara Putusan Nomor: 18/Pid.B/2022/PN.Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Cara pendekatan metode ini dengan menggunakan landasan yang berupa ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan hukum dalam memilih dan membahas permasalahan yang ada. Dalam tesis ini, penulis menggunakan dua rumusan masalah yaitu Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana sumpah palsu dalam penyidikan dan bagaimanakah pertimbangan majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana sumpah palsu dalam Perkara Putusan Nomor: 18/Pid.B/2022/PN.Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK.
Hasil tesis ini adalah Hakim mempunyai wewenang untuk memerintahkan penahanan terhadap saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dan apabila keterangan saksi tersebut disangka palsu berdasarkan alasan yang kuat, jika keterangan saksi tersebut saat di persidangan berbeda dengan keterangannya yang terdapat di dalam berita acara dan Majelis Hakim dalam Perkara Putusan Nomor: 18/Pid.B/2022/PN Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK sebagaimana yang terungkap dipersidangan, keterangan pada tahap penyidikan bukanlah untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan dan tidak diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan lainnya untuk dilakukan dengan sumpah. Serta tidak memenuhi unsur Pasal 242 KUHP.
Saran penulis dalam tesis ini selain dilakukan pengambilan sumpah, hakim juga dituntut untuk bertindak lebih tegas agar setiap orang yang memberikan keterangan di pengadilan tidak menyampaikan kebohongan dan Pengadilan melalui majelis hakim sebagai lembaga yang berwenang memberikan keadilan bagi masyarakat.
Kata kunci: Pembuktian, Penyidikan, Pemidanaan, Sumpah Palsu.
Proving that a defendant committed the act charged is the most important part of criminal proceedings. Article 184 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code which constitutes valid evidence is witness testimony, expert testimony, letters, instructions, and testimony of the defendant. The purpose of this thesis is to find out the punishment of the perpetrator of the crime of perjury in the investigation and to find out the consideration of the panel of judges against the perpetrator of the crime of perjury in Case No. 18/Pid.B/2022/PN.Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK.
The method used in this research is normative juridical. The way this method is approached is by using a foundation in the form of legal provisions and regulations in selecting and discussing existing problems. In this thesis, the author uses two problem formulations, namely How is the punishment of the perpetrator of the crime of perjury in the investigation and how is the consideration of the panel of judges against the perpetrator of the crime of perjury in Case No. 18/Pid.B/2022/PN.Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK.
The result of this thesis is that the Judge has the authority to order the detention of a witness who is suspected of giving false testimony and if the witness's testimony is suspected of being false based on strong reasons, if the witness's testimony during the trial is different from his testimony contained in the minutes and the Panel of Judges in Case No. 18/Pid.B/2022/PN Gdt Jo. 53/PID/2022/PT.TJK as revealed in court, the testimony at the investigation stage is not for the purpose of examination at trial and is not required by law or other regulations to be carried out under oath. And does not fulfill the elements of Article 242 of the Criminal Code.
The author's suggestion in this thesis is that in addition to taking an oath, judges are also required to act more firmly so that everyone who testifies in court does not convey lies and the Court through the panel of judges as an authorized institution provides justice for the community.
Keywords: Evidence, Investigation, Punishment, Perjury.
NESTHESIA HASIBUAN MITA 21220110492023-08-01T03:03:01Z2023-08-01T03:03:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73949This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/739492023-08-01T03:03:01ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PIDANA BERAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN PEKERJA ANAK
(Studi Putusan Nomor: 953/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)Anak idealnya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan usianya serta
memperoleh perlindungan dari orang dewasa, pada kenyataannya terdapat pekerja anak
menjadi korban persetubuhan, seperti dalam Putusan Nomor: 953/ Pid.Sus/2021/
PN.Tjk. Hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan pidana berat, mengingat
persetubuhan merupakan tindak pidana berat dengan ancaman pidana penjara maksimal
yaitu 15 tahun. Permasalahan: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam
penjatuhan pidana berat bagi pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak
dan mengapa terdapat faktor-faktor penghambat dalam penjatuhan pidana berat bagi
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang
diperoleh lalu dianalisis secara kualitatif, untuk selanjutnya diambil kesimpulan secara
deduktif ke induktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan
pidana berat pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak terdiri dari
pertimbangan yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu perbuatan
terdakwa terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Pertimbangan filosofis yaitu pemidanaan bertujuan sebagai upaya pemidanaan terhadap
terdakwa. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan pidana bagi terdakwa. Faktor-faktor penghambat dalam
penjatuhan pidana berat bagi pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak
adalah hakim dihadapkan pada hambatan pada saat pembuktian tindak pidana
sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum, karena baik terdakwa maupun saksi
mencabut keterangan. Hambatan lainnya adalah adanya penasihat hukum yang
mempengaruhi terdakwa untuk mencabut kembali keterangannya dan adanya saksi
yang juga mencabut kembali keterangannya pada berita acara pemeriksaan.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya majelis hakim yang menangani perkara
tindak pidana persetubuhan terhadap anak di masa yang akan datang, secara konsisten
menjatuhkan pidana berat kepada pelaku tindak pidana. Masyarakat dan orang tua
hendaknya secara meningkatkan pengawasan terhadap lingkungan pergaulan dan
perilaku anak agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif dimanfaatkan oleh pelaku
tindak pidana untuk diekspolitasi secara seksual.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Pidana Berat, Persetubuhan, Anak2122011040 Desi Andriani Putrishinta.rixtha@yahoo.com2023-07-28T02:16:53Z2023-07-28T02:16:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73811This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/738112023-07-28T02:16:53ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
YANG BERBEDA TERHADAP PERKARA YANG SAMA
(Studi Putusan Nomor 164/Pid.Sus/2020/PN Tjk)Hakim harus memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Dalam perkara yang telah terjadi tindak pidana narkotika dilakukan
oleh terdakwa terdapat kasus yang menarik perhatian penulis dengan melihat
penetapan yang di lakukan oleh seorang hakim berbeda antara Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dan Mahkamah Agung. Permasalahan penelitian ini adalah
bagaimana pertimbangan hakim, PN, PT dan MA dalam penjatuhan pidana dalam
perkara Nomor 164/Pid.Sus/2020/PN Tjk dan mengapa terdapat perbedaan
pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan putusan yang berbeda terhadap
kasus yang sama.
Metode penelitian penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
empiris. Prosedur pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan hakim pada putusan nomor:
164/Pid.Sus/PN.Tjk, terdakwa merupakan penyalah guna Narkotika untuk
konsusmsi pribadinya dan tidak untuk di perjual belikan, barang bukti yang akan
dikonsumsi yaitu hanya 1 butir narkotika jenis inex yang kemudian didalam
proses penyidikan dikenakan pasal sebagai pengedar yaitu Pasal 112, Pasal 114
KUHP dengan amar putusan Pidana Penjara 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan, dan
kemudian dalam Putusan kasasi terdakwa tersebut divonis dengan perubahan
putusan menjadi 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, dengan dasar terdakwa terbukti
sebagai Pemakai dan Jumlahnya relativ kecil (SEMA Nomor 4 Tahun 2010),
maka hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat membuat pertimbangan
yang cukup (Vide A. Rumusan Hukum Kamar Pidana Nomor 1 Narkotika SEMA
No.03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan tugas bagi
pengadilan). Faktor yang mempengaruhi putusan hakim terhadap pelaku tindak
pidana narkotika khususnya yang melanggar Pasal 112 ayat 1 UndangUndang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Pengadilan Negeri Tanjung Karang
antara lain karena perangkat peraturan perundang-undangan itu sendiri, keadaankeadaan diri terdakwa dan yang bersumber pada diri hakim. Untuk menghindari
disparitas pidana sebaiknya pembuat undang-undang perlu meninjau kembali
batas maksimum dan batas minimum sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada
terdakwa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika aran dalam penelitian ini adalah, seharusnya dalam penanganan kasus narkotika
semata-mata hanya melihat bahwa setiap penyalahguna yang kedapatan membawa
atau memiliki narkotika tersebut harus dikenakan Pasal 114 atau Pasal 112,
namun sebagai seorang penegak hukum harus bersikap secara jujur dan adil,
menggali fakta yang sebenarnya, apa tujuan seorang penyalahguna yang
kedapatan memiliki, menguasai dan membawa narkotika tersebut, apakah untuk
diperdagangkan ataukah untuk digunakan bagi dirinya sendiri.
Kata Kunci : Kewenangan Hakim, Penetapan Pengadilan, Pertimbangan Hakim.
The judge must give a decision that is in accordance with the law and the sense of
justice in society. In cases where narcotics crimes have been committed by the
defendant, there is a case that has caught the attention of the author by looking at
the determination made by a judge, which is different between the Tanjung
Karang District Court and the Supreme Court. The problem of this research is
how the considerations of judges, PN, PT and MA in imposing a sentence in case
Number 164/Pid.Sus/2020/PN Tjk and why are there differences in the judge's
legal considerations in imposing different decisions on the same case.
This writing research method uses a normative and empirical juridical approach.
The resource persons consisted of Judges at the Tanjung Karang District Court
and Academics at the Faculty of Law, University of Lampung.
The results of the research and discussion show that the judge's considerations in
decision number: 164/Pid.Sus/PN.Tjk, the defendant is a Narcotics abuser for
personal consumption and not for sale and purchase, the evidence to be consumed
is only 1 item of inex narcotics which is then In the investigation process, he was
subject to articles as dealers, namely Article 112, Article 114 of the Criminal
Code with a criminal sentence of 4 (four) years and 6 (six) months imprisonment,
and then in the cassation decision the defendant was sentenced with a change in
decision to 1 (one) year 6 (six) ) months, on the basis that the defendant is proven
to be a user and the amount is relatively small (SEMA Number 4 of 2010), the
judge decides according to the indictment but can make sufficient judgment (Vide
A. Legal Formulation of the Criminal Chamber Number 1 SEMA Narcotics No.03
of 2015 concerning Enforcement of the Formulation of the results of the 2015
Supreme Court Chamber Plenary Meeting as a Guideline for the Implementation
of Tasks for the Court).The factors that influence the judge's decision against the
perpetrators of narcotics crimes, especially those who violate Article 112
paragraph 1 of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics at the Tanjung
Karang District Court, include the set of laws and regulations themselves, the
circumstances of the defendant and sources on the judge. In order to avoid
criminal disparities, legislators should review the maximum and minimum limits
of criminal sanctions that can be imposed on defendants as stipulated in Law
Number 35 of 2009 concerning Narcotics.
The suggestion in this research is, in handling narcotics cases, you should only
see that every abuser who is caught carrying or possessing narcotics must be
subject to Article 114 or Article 112, but as a law enforcement officer, you must act honestly and fairly, dig up the real facts. , what is the purpose of a drug
abuser who is found to possess, control and carry the narcotics, whether to trade
or to use for himself.
Keywords: Authority of Judges, Consideration of Judges, Determination of
Courts, KHOLIYAH ELMI 21220111202023-07-28T02:14:48Z2023-07-28T02:14:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73810This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/738102023-07-28T02:14:48ZIMPLEMENTASI PENJATUHAN PIDANA PENJARA DAN
PELATIHAN KERJA TERHADAP ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK
(Studi Putusan Nomor: 41/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk)Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah perdagangan anak dan
korbannya juga berusia anak, sehingga proses penjatuhan pidananya dilaksanakan
melalui Sistem Peradilan Pidana Anak. Permasalahan: didalam tulisan ini penulis
ingin melihat bagaimanakah implementasi penjatuhan pidana penjara dan pidana
pelatihan kerja terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan anak dan apakah
relevansi pidana penjara dan pelatihan kerja yang dijatuhkan hakim terhadap anak
pelaku tindak pidana perdagangan anak sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Narasumber penelitian ini adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Staf
UPTD Insan Berguna Bandar Lampung dan Kepala Seksi Perawatan pada LPKA
Kelas II Bandar Lampung. Data yang diperoleh lalu dianalisis secara kualitatif,
untuk selanjutnya diambil kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi penjatuhan pidana pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan di LPKA dan pelatihan kerja
selama 2 (dua) bulan terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan anak dalam
Putusan Nomor: 41/Pid.Sus- Anak/2022/PN.Tjk dilaksanakan oleh hakim, karena
perbuatan anak telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 83 jo. Pasal 76 F Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 01 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak. Pidana penjara dan pelatihan
kerja yang dijatuhkan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan
anak sesuai dengan tujuan pemidanaan, karena penjatuhan pidana bukan sematamata membalas kesalahan anak tetapi berorintasi pada pembinaan pada
kepribadian anak menjadi lebih baik setelah menjalani masa pidananya.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya hakim anak dalam menjatuhkan
pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dengan mengacu kepada
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan mempertimbangkan segala
aspek serta rekomendasi. Aparat penegak hukum hendaknya mengoptimalkan
kapasitas dan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing dalam
peradilan pidana anak.
Kata Kunci: Pidana Anak, Penjatuhan Pidana, Pelaku Anak
One of the crimes committed by children is child trafficking, where the victims are
also children. Therefore, the process of imposing punishment is carried out
through the Juvenile Justice System. Problem statement: In this case, the author
aims to investigate the implementation of imprisonment and vocational training
for child perpetrators of child trafficking crimes and the relevance of these
punishments imposed by the judge to the objectives of criminal sanctions.
This research adopts a normative juridical and empirical juridical approach.
Data collection is conducted through literature review and field study. The
research participants consist of Juvenile Judges at the Tanjung Karang District
Court, Public Prosecutors at the Bandar Lampung Prosecutor's Office, staff from
UPTD Insan Berguna Bandar Lampung, and the Head of the Care Section at
Class II LPKA Bandar Lampung. The obtained data are then qualitatively
analyzed, and conclusions are drawn accordingly.
The findings of this research indicate that the implementation of 1 (one) year and
4 (four) months of imprisonment in LPKA and 2 (two) months of vocational
training for child perpetrators of child trafficking crimes, as stated in Verdict
Number: 41/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk, is carried out by the judge because the
child's actions have been proven to commit a crime as stipulated in Article 83 jo.
Article 76 F of Law Number 17 of 2016 concerning the Enactment of Government
Regulation in Lieu of Law Number 01 of 2016 concerning the Second Amendment
to Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection. The imposition of
imprisonment and vocational training by the judge for child perpetrators of child
trafficking crimes is in line with the objectives of criminal sanctions, as the
punishment aims not only to retaliate against the child's wrongdoing but also to
foster the child's character for betterment after completing the sentence.
The suggestions in this research are that juvenile judges, when imposing
punishment on children in conflict with the law, should strictly adhere to the
Juvenile Justice System Law and consider all relevant aspects and
recommendations. Law enforcement agencies should optimize their capacity and
capability in carrying out their respective duties in juvenile criminal justice.
Keywords: Vocational Training, Imprisonment, Child PerpetratorsDESNA ANGGRAINI RIA 21220110042023-07-28T02:12:29Z2023-07-28T02:12:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73809This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/738092023-07-28T02:12:29ZEKSISTENSI PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI ELECTRONIC
TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ETLE) TERHADAP PELANGGARAN
LALU LINTAS DI BANDAR LAMPUNGAdanya perubahan dalam mekanisme penegakan hukum pidana melalui
Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) yang lebih singkat, tanpa mengikuti
sidang di pengadilan, menimbulkan keraguan terhadap konsistensi peraturan dan
prinsip-prinsip hukum yang ada. Berdasarkan hal tersebut yang menjadi pokok
permasalahan yaitu berfokus pada eksistensi penegakan hukum pidana melalui
ETLE terhadap pelanggaran lalu lintas di Bandar Lampung, dan faktor-faktor
yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum pidana melalui Electronic
Traffic Law Enforcement (ETLE) terhadap pelanggaran lalu lintas di Bandar
Lampung. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
didukung dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara
mendalam dengan beberapa narasumber. Data yang digunakan adalah data yang
bersumber dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari lapangan dan
kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa
eksistensi penegakan hukum pidana melalui ETLE terhadap pelanggaran lalu
lintas di Bandar Lampung menghadapi tantangan mengenai pertanggungjawaban
pidana antara pemilik kendaraan dan pengemudi yang tidak sesuai dan kerancuan
dalam pemberian sanksi pelanggaran ETLE yang mengarah ke sanksi
administratif daripada sanksi pidana. Faktor perundang-undangan dan faktor
sarana fasilitas menjadi faktor dominan yang menghambat penegakan hukum
pidana melalui ETLE di Bandar Lampung karena kedua faktor tersebut
keterkaitannya langsung dengan kerangka hukum dan infrastruktur yang
mendukung pelaksanaan ETLE. Saran dalam penelitian ini adalah diperlukan
penyusunan undang-undang yang secara spesifik mengatur penggunaan dan
penegakan hukum ETLE agar terciptanya harmonisasi baik antar peraturan
perundang-undangan maupun dalam penerapan dan penegakan hukumnya serta
perlu dilakukan peningkatan sarana dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan
ETLE.
Kata Kunci: ETLE, Lalu Lintas, Penegakan, Pelanggaran.
The existence of changes in the mechanism of criminal law enforcement through
Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE), which is shorter and does not
involve court hearings, raises doubts about the consistency of existing rules and
legal principles. The main issue focuses on the enforcement of criminal law
through ETLE concerning traffic violations in Bandar Lampung, and the factors
that hinder the enforcement of criminal law through Electronic Traffic Law
Enforcement (ETLE) against traffic violations in Bandar Lampung. This research
uses a normative juridical approach supported by an empirical juridical
approach through in-depth interviews with several sources. The data used are
derived from primary data and secondary data obtained from field research and
literature, which are analyzed qualitatively. The research findings indicate that
the enforcement of criminal law through ETLE against traffic violations in
Bandar Lampung faces challenges regarding the criminal liability of vehicle
owners and drivers that are not aligned and confusion in the imposition of ETLE
violation sanctions, which tend to lead to administrative sanctions rather than
criminal sanctions. Legislative and infrastructure factors are dominant factors
that hinder the enforcement of criminal law through ETLE in Bandar Lampung
because these factors are directly related to the legal framework and
infrastructure supporting the implementation of ETLE. The recommendations
from this research are the necessity for the drafting of specific legislation
governing the use and enforcement of ETLE to achieve harmonization among
regulations and in its implementation and enforcement. Furthermore, there is a
need for the improvement of facilities and infrastructure supporting the
implementation of ETLE.
Keywords: Enforcement, ETLE, Traffic, Violations.Ayu Meilina Sari Ni Putu 21220110442023-07-28T01:20:29Z2023-07-28T01:20:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73806This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/738062023-07-28T01:20:29ZKEBIJAKAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN GENG
MOTOR ANAK DI KOTA BANDAR LAMPUNGFenomena kejahatan Geng Motor anak di Kota Bandar Lampung menjadi sebuah
kejahatan yang sedang marak terjadi saat ini dan banyak dilakukan oleh kaum
remaja yang masih dibawah umur. Perlu adanya upaya dari berbagai pihak untuk
mencegah terjadinya kejahatan Geng Motor. Permasalahan penelitian ini adalah
mengapa terjadi kejahatan yang dilakukan oleh Geng Motor anak di Kota Bandar
Lampung dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh
Geng Motor anak di Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif.
Prosedur pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber
terdiri dari Anggota Satreskrim Polresta Bandar Lampung, Akademisi Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Kriminolog. Data dianalisis
secara kualitatif, kemudian diambil kesimpulan secara deduktif ke induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan Geng Motor anak di Kota Bandar Lampung terdiri dari
mencari kesenangan atau mencari jatidiri yang menyebabkan mereka bertindak
tanpa memikirkan terlebih dahulu akibatnya, kurangnya sarana atau media bagi
mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif dan kejenuhan akibat
pandemi COVID 19, media sosial dan game online yang mengandung unsur
kekerasan serta sekolah online yang mengakibatkan kejenuhan dan tidak bisa
berkumpul dengan teman sekolahnya. Upaya penanggulangan kejahatan Geng
Motor anak di Kota Bandar Lampung secara penal Polresta Bandar Lampung
bertindak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Geng Motor
anak dan dasar hukum yang dipakai adalah mengacu dari KUHP dan UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan dengan proses penyelidikan dan
penyidikan. Upaya non penal melalui controlling atau patroli di titik-titik rawan
yang sering menjadi tempat kerusuhan atau tawuran dan tempat yang sering terjadi
bentrok antar Geng Motor, melakukan penyuluhan di masyarakat dan di sekolahsekolah, melakukan pembubaran jika terdapat rombongan Geng Motor yang sedang
berkumpul dan melaksankan razia rutin.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya kinerja aparat penegak hukum
khususnya Kepolisian lebih ditingkatkan dalam pemberantasan Geng Motor yang
ada di Kota Bandar Lampung dengan mengedepankan dan meningkatkan tindakan
penal maupun non penal serta diharapkan kepada orang tua agar memberikan
pemahaman moral dan sosial yang baik terhadap anak.
Kata Kunci : Geng Motor, Kebijakan, Kejahatan, Penanggulangan
The phenomenon of child motorbike gang crimes in the city of Bandar Lampung is
a crime that is currently happening and is mostly committed by underage teenagers.
There needs to be efforts from various parties to prevent the occurrence of
motorcycle gang crimes. The problem of this research is why there are crimes
committed by children's motorcycle gangs in the city of Bandar Lampung and how
are the efforts to deal with crimes committed by children's motorcycle gangs in the
city of Bandar Lampung.
This research uses empirical and normative juridical approaches. Data collection
procedures with literature studies and field studies. The resource persons consisted
of Members of the Bandar Lampung Police Criminal Investigation Unit, Criminal
Law Academics at the Law Faculty of the University of Lampung and
Criminologists. Data were analyzed qualitatively then conclusions are drawn
deductively to inductively.
The results of the research and discussion show that: The factors that led to the
occurrence of child motorbike gang crimes in Bandar Lampung City consisted of
seeking pleasure or seeking identity which caused them to act without thinking
about the consequences in advance, lack of means or media for them to actualize
themselves positively and boredom as a result the COVID 19 pandemic, social
media and online games that contain elements of violence and online schools which
result in boredom and being unable to gather with their schoolmates. Efforts to deal
with the crime of child motorcycle gangs in the city of Bandar Lampung, penally
the Bandar Lampung Police acted in accordance with the crimes committed by
members of the child motorcycle gang and the legal basis used refers to the
Criminal Code and the Juvenile Criminal Justice System Act.conducted through a
process of inquiry and investigation. Non penal effortthrough controlling or
patrolling vulnerable points which are often places of riots or brawls and places
where there are frequent clashes between Motorcycle Gangs, conducting
counseling in the community and at schools, carrying out disbanding if there are
groups of Motorcycle Gangs gathering and carrying out routine raids .
The suggestion in this study is that the performance of law enforcement officials,
especially the police, should be improved in eradicating motorcycle gangs in the
city of Bandar Lampung by prioritizing and increasing penal and non-penal actions
and it is hoped that parents will provide good moral and social understanding to
children.
Keywords: Motorcycle Gang, Policy, Crime, CountermeasuresJAMALUDDIN ACHMAD 21220110432023-07-26T00:56:52Z2023-07-26T00:56:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73643This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/736432023-07-26T00:56:52ZKESADARAN HUKUM PEMILIK DESAIN PAKAIAN TENTANG
PERLUNYA PERLINDUNGAN TERHADAP KARYA INTELEKTUALAdanya kerancuan tentang desain industri dan terhambatnya pendaftaran merek
serta pendaftaran hak cipta menyebabkan pemilik desain enggan mendaftarkan
hasil karyanya . Lokus yang tidak melakukan pendaftaran desain terjadi di Kota
Bandar Lampung. Sebagai pengusaha industri pakaian yang bergerak di bidang
desain grafis, hal ini kurang disadari akan kebutuhan suatu bentuk perlindungan
hukum. Hal tersebut menarik untuk dikaji, yaitu bagaimana bentuk perlindungan
hukum dan tingkat kesadaran hukum tentang perlunya perlindungan terhadap
karya intelektual; serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran
hukum tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah hukum penelitian
hukum yuridis normatif dan yuridis empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Bentuk perlindungan hukum terhadap
karya intelektual terdiri dari upaya preventif dan upaya represif, 2) Tingkat
kesadaran hukum pemilik merek dan pemilik desain memiliki: a) tahap
pengetahuan perlindungan hukum merek sedang dan tahap pengetahuan
perlindungan hukum hasil desain grafis sangat rendah; b) tahap pemahaman
perlindungan merek yakni tahap sedang atau cukup, dan tahap pemahaman hukum
perlindungan hasil desain grafis yakni di tahap sangat rendah; c) tahap sikap
hukum pemilik merek menyetujui adanya aturan-aturan hukum tentang merek,
dan tahap sikap hukum pemilik desain pakaian adalah kurang setuju; d) pola
perilaku industri pakaian, yaitu merek Oraqle&Co ditolak, merek Toidiholic
sudah terdaftar, merek Flambojan ditolak, dan merek Flamboys masih dalam
tahap persetujuan. 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran hukum
berupa faktor internal dan faktor eksternal.
Disarankan agar 1) Sikap konsultan HKI terhadap pemilik merek dan pemilik
desain seharusnya memberikan edukasi yang jelas sehingga mereka paham apa
yang dibutuhkan, 2) KemenkumHAM sebaiknya mengkaji ulang sistem
pendaftaran yang rumit menjadi lebih mudah dan terjangkau bagi masyarakat.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Kesadaran Hukum, Merek, Desain.Islami Suhendra21220110972023-07-25T06:58:26Z2023-07-25T06:58:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73633This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/736332023-07-25T06:58:26ZANALISIS PEMBUKTIAN PEMBUNUHAN TANPA JASAD KORBAN
(Studi Putusan No. 736/Pid.B/2021/PN Tjk) Pada umumnya kasus pembunuhan dapat dikatakan sebuah pembunuhan apabila
terdapat jasad korban yang telah kehilangan nyawa serta pelaku yang justru tidak
dapat ditemukan atau menjadi buronan. Namun pada kasus di atas hingga
putusnya putusan pengadilan, jasad Caswita tidak pernah ditemukan.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah proses pembuktian perkara
pembunuhan tanpa jasad korban oleh jaksa penuntut umum dan apakah faktor
penghambat penegakan hukum perkara pembunuhan tanpa jasad korban oleh
jaksa penuntut umum.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan,
data dianalisis secara kualitatif guna memperoleh simpulan dan saran.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pembuktian merupakan
poin utama dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Jaksa dalam mengadili
seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana akan memperhitungkan semua
tindak pidana yang dilakukannya sehingga baik yang dirugikan maupun
masyarakat merasa dakwaannya adil karena penuntut umum harus selalu
bertindak berdasarkan hukum. Pembuktian pasal pembunuhan berencana
dilakukan berdasarkan pengakuan terdakwa dan dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta pendapat saksi ahli sehingga dapat
ditetapkan bahwa hal tersebut dapat dikatakan sebagai pembunuhan berencana.
Namun, terdapat hambatan dalam pembuktian perkara ini yaitu jenazah korban
tidak dapat ditemukan sehingga cukup menghambat untuk membuktikan perkara
ini.
Pada penulisan ini di sarankan untuk Jaksa Penuntut Umum dalam menangani
kasus pembunuhan lebih dalam dan mengulik lebih dalam pada saat pembuktian
saat menangani kasus pembunuhan sehingga dapat meyakinkan penerapan pasal
pembunuhan berencana atau pembunuhan biasa dan disarankan untuk terus
mengulik lebih dalam setiap hambatan yang terjadi seperti penunjukan saksi ahli
yang lebih banyak sehingga dapat menyimpulkam tuntutam yang komprehensif
terhadap perkara pembunuhan tanpa jasad korban.
Kata Kunci: Pembuktian, Pembunuhan, Penuntut Umum
In general, a murder case can be said to be a homicide if there are bodies of
victims who have lost their lives and perpetrators who cannot be found or are
fugitives. However, in the case above, until the court's verdict was decided,
Caswita's body was never found. The problem of this research is how is the
process of proving the case of murder without the body of the victim by the public
prosecutor and what are the inhibiting factors for law enforcement of the case of
murder without the body of the victim by the public prosecutor.
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Data
collection procedures were carried out by means of literature and field studies,
the data were analyzed qualitatively in order to obtain conclusions and
suggestions.
The results of the research and discussion show that evidence is the main point in
examining cases in court. The prosecutor in trying someone who is proven to have
committed a crime will take into account all the crimes he has committed so that
both those who are harmed and the community feel that their indictment is fair
because the public prosecutor must always act according to the law. Proof of the
premeditated murder article is carried out based on the defendant's confession
and is linked to the applicable laws and regulations as well as the opinion of
expert witnesses so that it can be determined that this can be said to be
premeditated murder. However, there are obstacles in proving this case, namely
the victim's body cannot be found, which is quite an obstacle to proving this case.
At this writing it is recommended for the Public Prosecutor to handle murder
cases more deeply and dig deeper at the time of proof when handling murder
cases so that they can ensure the application of the article on premeditated
murder or ordinary murder and are advised to continue to dig deeper into any
obstacles that occur such as the appointment of witnesses more experts so as to be
able to conclude a comprehensive lawsuit against the murder case without the
victim's body.
Keywords: Proof, Murder, Public ProsecutorZAHARA RACHIM GHEA 21220110912023-07-25T02:24:09Z2023-07-25T02:24:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73587This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/735872023-07-25T02:24:09ZPENDAFTARAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TERHADAP
BAJA RINGAN SEBAGAI JAMINAN KUALITAS PRODUKStandardisasi pada suatu produk yang beredar di masyarakat merupakan hal yang
sangat penting untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kenyamanan
konsumen dalam menggunakan suatu produk. Baja Ringan merupakan salah satu
produk yang telah diatur dalam daftar SNI yang ditetapkan oleh BSN sebagai
jaminan kualitas produk serta diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2014 tentang Standarisasi dan Penilaian kesesuaian. Akan tetapi masih banyak
peredaran Baja Ringan yang belum memiliki SNI. Penelitian ini bertujuan
menganalisis bagaimana pengaturan pendaftaran SNI produk Baja Ringan sebagai
jaminan kualitas produk dan menganalisis implikasi hukum terhadap baja ringan
yang tidak memiliki SNI. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian
pendekatan peraturan Perundang-Undangan (statue approach) dan pendekatan
analisis (analytical approach). Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwapengaturan pendaftaran SNI yang berpedoman pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian tidak
mewajibkan seluruh produk baja ringan untuk didaftarkan. Dengan demikian,
tidak adanya kepastian hukum bagi para pelaku usaha sehingga pendaftaran SNI
belum berjalan dengan optimal. Implikasi hukum terhadap produk baja ringan
yang tidak memiliki SNI adalah produk tersebut tidak boleh diedarkan atau
diperdagangkan di pasaran. Apabila pelaku usaha masih tetap mengedarkan
maupun memperdagangkan akan diberikan sanksi administratif yaitu pencabutan
izin usaha dan bertanggungjawab secara pidana maupun perdata sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Kata Kunci : Standar Nasional Indonesia, Baja Ringan, Jaminan Kualitas Produk.
ABSTRACT
Standardization of a product circulating in the community is very important to
ensure the security, safety and convenience of consumers in using a product. Mild
Steel is one of the products that has been regulated in the SNI list determined by
BSN as a product quality guarantee and regulated in Law Number 20 of 2014
concerning Standardization and Conformity Assessment. However, there are still
many Mild Steel circulations that do not have SNI. This study aims to analyze how
the SNI registration of Mild Steel products is regulated as a guarantee of product
quality and to analyze the legal implications for mild steel that does not have SNI.
The method used is the statutory approach and the analytical approach. The
results of this study indicate that the SNI registration regulation which is guided
by Law Number 20 of 2014 concerning Standardization and Conformity
Assessment does not require all mild steel products to be registered. Thus, there is
no legal certainty for business actors so that SNI registration has not run
optimally. The legal implication for mild steel products that do not have SNI is
that these products may not be circulated or traded in the market. If the business
actors are still distributing or trading, they will be given administrative sanctions,
namely revocation of business licenses and criminally and civilly responsible as
stipulated in Law Number 20 of 2014 concerning Standardization and Conformity
Assessment.
Keywords: Indonesian National Standard, Mild Steel, Product Quality Assurance.FORTUNA PANGESTU SITOMPUL ST. ADITIA 21220111162023-07-10T03:35:06Z2023-07-10T03:35:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73395This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/733952023-07-10T03:35:06ZPENGATURAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SIBER (KBGS) DAN PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUMNYA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
(Studi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Siber dalam Putusan Nomor: 785/Pid.Sus/2020/PN Tjk, dan Putusan Nomor: 471/Pid.Sus/2022/PN Tjk di Kota Bandar Lampung)Kekerasan berbasis gender siber (KBGS) merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang dilakukan sebagian atau seluruhnya dengan teknologi informasi dan komunikasi. Meskipun banyak kasus yang terjadi, namun belum mendapatkan penanganan dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dan permasalahan penegakan hukum KBGS dalam sistem hukum di Indonesia melalui penanganan kasus yang terjadi di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dan penelitian hukum yuridis empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan KBGS belum mengakomodir secara spesifik dan komperhensif mengenai mekanisme penanganan KBGS yang berprespektif keadilan gender dengan baik. Dalam penanganan kasus-kasus KBGS memperlihatkkan belum ditegakkan dengan aturan yang sesuai dalam melindungi hak-hak korban sehingga cenderung merevictimisasi hingga mengkriminalisasi korban. Terdapat persoalan dalam struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang mengindikasikan belum berjalannya penegakan hukum dengan baik dalam mewujudkan keadilan dalam penanganan KBGS. Dengan demikian diperlukan adanya suatu pengaturan yang komperhensif hingga pembentukan peraturan turunannya.
Kata Kunci: Pengaturan, Penegakan Hukum, Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS), Sistem Hukum.
ABSTRACT
Cyber gender-based violence (KBGS) is a form of gender-based violence that is carried out partially or completely with information and communication technology. Although many cases have occurred, they have not been handled properly. The purpose of this research is to find out the regulation and law enforcement problems of KBGS in the legal system in Indonesia through the handling of cases that occurred in the city of Bandar Lampung. This study uses normative juridical legal research methods and empirical juridical legal research. The results of this study indicate that various laws and regulations related to KBGS have not accommodated specifically and comprehensively the mechanism for handling KBGS with a gender equity perspective properly. In the handling of KBGS cases, it shows that proper rules have not been enforced in protecting the rights of victims so that they tend to revictimize and criminalize victims. There are problems in the legal structure, legal substance and legal culture which indicate that law enforcement has not been properly implemented in realizing justice in the handling of KBGS. Thus it is necessary to have a comprehensive arrangement to the formation of derivative regulations.
Keywords: Regulation, Law Enforcement, Cyber Gender Based Violence, Legal System.Awanisa Agsel 21220110822023-07-06T07:14:27Z2023-07-06T07:14:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71346This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/713462023-07-06T07:14:27ZPENERAPAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PEMBUKTIAN TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) DALAM PENANGANAN PERKARA KARTEL
Kartel pada dasarnya adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Secara klasik kartel dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Dalam hal ini KPPU sulit untuk menemukan adanya perjanjian tertulis maupun dokumen lain yang secara eksplisit berisi kesepakatan mengenai harga, wilayah pemasaran, maupun produksi atas barang dan/atau jasa di antara pelaku usaha. Salah satu perjanjian antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dalam bentuk persengkongkolan kartel secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi mekanisme pasar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan hukum persaingan usaha terhadap pembuktian tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara kartel dan untuk menganalisis faktor penghambat yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam penerapan pembuktian tidak langsung (indirect evidence). Metode yang digunakan yaitu metode penelitian empiris, Pendekatan yuridis empiris dan Pendekatan analisis (analytical approach). Hasil dari penelitian ini adalah Penerapan terhadap pembuktian tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara kartel untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat tetap berpedoman pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di mana dalam penerapan dapat dilakukan dengan dua macam bukti tidak langsung yaitu bukti ekonomi dan bukti komuniksi. Faktor penghambat yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yaitu faktor waktu, faktor kepastian hukum, faktor kerahasiaan, dan faktor sosialisasi serta kelemahan hukum acara terkait mengenai pembuktian kartel dalam persaingan usaha yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kata Kunci : Bukti Tidak Langsung, Kartel, Persaingan Usaha
A cartel is basically an agreement between one business actor and another business actor to eliminate competition between the two. Classically, cartel can be done through three things, namely price, production, and marketing area. In this case, it is difficult for KPPU to find written agreements or other documents that explicitly contain agreements regarding prices, marketing areas, and production of goods and/or services between business actors. An agreement between one company and another in the form of a cartel conspiracy can directly or indirectly influence market mechanisms. This study aims to analyze the application of business competition law to indirect evidence in handling cartel cases and to analyze the inhibiting factors faced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) in applying indirect evidence. The methods used are empirical research methods, empirical juridical approaches and analytical approaches. The results of this study are the application of indirect evidence in handling cartel cases to create fair business competition, guided by Article 5 of Law Number 5 of 1999 where the application can be carried out with two types of indirect evidence, namely evidence economics and proof of communication. The inhibiting factors faced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) are the time factor, the legal certainty factor, the confidentiality factor, and the socialization factor as well as the weaknesses in procedural law related to proving cartel in business competition contained in Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.
Keywords: Indirect Evidence, Cartel, Business Competition
ROHANI21220110982023-06-27T08:00:24Z2023-06-27T08:00:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73234This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/732342023-06-27T08:00:24ZKONSTITUSIONALISME MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM SISTEM PRESIDENSIL
Masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan hal yang sangat krusial dan selalu menjadi topik bahasan hangat dari waktu ke waktu. Pasal 7 UUD 1945 sebelum diamandemen telah mengatur mengenai pembatasan masa jabatan presiden, tetapi tidak dijelaskan secara rinci berapa periode hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda dan menyebabkan kekuasaan yang tidak terbatas. Pasal 7 UUD 1945 sesudah diamandemen kekuasaan presiden dibatasi menjadi 2 periode. Kemudian, muncul isu kembali bahwasanya masa jabatan presiden akan diubah menjadi 3 periode. Padahal pasal ini merupakan “ruh” dari reformasi. Dengan diamandemennya Pasal tersebut dapat menghilangkan arti dari reformasi itu sendiri. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis pandangan konstitusi terhadap masa jabatan presiden dan wakil presiden dan dampak pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (Conseptual Approach), pendekatan perundangan- undangan (Statue Approach) dan pendekatan Historis (Historical Approach). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masa jabatan Presiden dalam UUD 1945 Pasal 7 sudah mengatur mengenai pembatasan masa jabatan presiden menjadi 2 periode dan tidak dapat dipilih kembali. Masa jabatan presiden dan wakil presiden sebanyak 2 periode juga ada di Filipina dan Amerika. Hal ini membuktikan bahwa 2 periode sudah cukup untuk seorang presiden dan wakil presiden menjabat. Jika Pasal 7 UUD 1945 ingin diamandemen kembali dan dirubah menjadi 3 periode maka dalam pandangan konstitusi (kosntitusionalisme) hal tersebut diperbolehkan, tetapi dengan adanya perubahan tersebut justru tidak sesuai dengan prinsip- prinsip negara hukum demokrasi yakni adanya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Perpanjangan presiden dan wakil presiden dapat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan dan keterhambatan regenerasi kepemimpinan. Dengan adanya perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode dapat memunculkan oligarki politik, kekuasaan otoriter, kepemimpinan diktator, dan regenerasi kepemimpinan nasional terhambat.
Kata Kunci : Jabatan Presiden, Konstitusionalisme, Presiden, Sistem Presidensil
The term of the president and vice president office is totally crucial and has always been a hot topic of discussion in every ages. Article 7 of the 1945 Constitution before being amended had regulated the term limits for the president and vice president, however did not explain in detail regarding the period limits. This creates multiple interpretations which then tend towards unlimited power. After the amendment, Article 7 of the 1945 Constitution explains that the powers of the president are only limited to 2 periods. Then, rumors arose again that the presidential term would be changed to be 3 periods. Although basically article 7 of the 1945 Constitution is the "spirit" of reform. So that amending the article has the potential to eliminate the meaning of the reform itself. The purpose of this study is to analyze the constitutional view of the term of office of the president and vice president and to analyze the impact of limiting the term of office of the president and vice president on the administration of government. The research method used is a statutory approach and historical approach. This research uses the conseptual approach, Statue Approach research method (legislative approach) and the Historical Approach which means that this research uses these two things to become the background and is influenced by the values contained in a law. This research shows the results that in the Indonesian constitution article 7 already regulates the limitation of the presidential term of office to only 2 periods and cannot be re-elected. If Article 7 of the 1945 Law is amended again and the presidential term is changed to 3 periods, then in the view of the constitution (constitutionalism) it is prohibited. However, this change shows its incompatibility with the principles of a democratic rule of law.The extension of the term of office of the president and vice president can affect in an unchanging leadership and no regeneration. With the extension of the presidential term into 3 periods, this gave rise to political oligarchy, authoritarian rule, dictatorial leadership, and no national leadership regeneration.
Keywords: President Position, Constitutionalism, Presidential System
ZILDJIANDA RAESITHA 21220110632023-06-27T06:52:35Z2023-06-27T06:52:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73188This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/731882023-06-27T06:52:35ZANALISIS PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN
RESTORATIF DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENADAHAN
(Studi di Kejaksaan Negeri Pringsewu)Melalui Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, penyelesaian perkara pidana
melalui keadilan restoratif. Berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No. 15
Tahun 2020, Kejaksaan Negeri Pringsewu telah melakukan penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap perkara tindak pidana
penadahan. Namun tidak semua perkara pidana dapat dilakukan penghentian
berdasarkan keadilan restoratif.
Penelitian ini membahas permasalahan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penadahan dan faktor penghambat
dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara
tindak pidana penadahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Data yang digunakan bersumber dari data primer yang diperoleh
langsung di masyarakat melalui wawancara, serta data sekunder yang diperoleh
dari hasil penelaahan kepustakaan. Pengolahan data dilakukan melalui seleksi
data, klasifikasi data dan sistematisasi data. Analisis data yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana
penadahan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Pringsewu telah sesuai dengan
mekanisme yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut
mempertimbangkan status tersangka sebagai pelajar, tersangka diberi handphone
dari hasil kejahatan bukan pelaku kejahatan, barang bukti kembali kepada korban
serta adanya perdamaian antara korban dengan tersangka. Hambatan dalam
penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tindak
pidana penadahan didominasi oleh aspek substansi hukum dimana adanya batasan
perbuatan, ancaman sanksi dan jumlah kerugian tertentu yang dapat dilakukan
penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif serta waktu yang
diberikan untuk dilakukannya perdamaian masih terlalu singkat. Selain itu
Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tidak memuat ketentuan terkait apa
parameter yang digunakan Penuntut Umum dalam memutuskan suatu kasus
perkara pidana terdapat kasuistik atau tidak. Saran penulis hendaknya Kejaksaan
Agung Republik Indonesia menambah waktu penyelesaian perkara pidana melalui
keadilan restoratif serta mengkualifikasikan secara lebih rinci terkait parameter
bagi Penuntut Umum dalam memutuskan suatu kasus perkara pidana terdapat
kasuistik atau tidak. Kemudian setiap Kejaksaan Negeri hendaknya melakukan
sosialisasi secara masif mengenai esensi penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif. Selanjutnya diperlukan juga integrasi data kriminal terpadu
antar lembaga kejaksaan maupun dengan institusi penegak hukum lainnya.
Kata kunci: Penghentian penuntutan, Restorative justice, Tindak pidana
pendahanFARIANTI HAVILAH VERA21220110242023-06-27T03:43:50Z2023-06-27T03:43:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73170This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/731702023-06-27T03:43:50ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
DENGAN KORBAN ANAK DISABILITAS
(Studi Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kot)
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
DENGAN KORBAN ANAK DISABILITAS
(Studi Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kot)
Oleh :
Allia Shafira
Kasus Anak menjadi salah satu isu hukum yang tidak pernah lepas dari kacamata
hukum di Indonesia, Dalam kasus tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh
anak, dan hakim menjatuhkan pidana penjara 9 (Sembilan) tahun dan Pelatihan Kerja 6
(enam) bulan. Penulis merasa putusan tersebut terlalu berat bagi pelaku anak yang
dapat mengakibatkan dehumanisasi dan stigmatisasi. Permasalahan yang dikaji dalam
Penelitian ini adalah: Pertimbangan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana
pelecehan seksual; Kedua, apa saja faktor penghambat penegak hukum pidana dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku anak tindak pidana pelecehan seksual. Penelitian
ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer didapat
melalui narasumber yang diwawancarai. Hasil dari penelitian ini ialah Pertimbangan
hakim menjatuhkan pidana selama 9 (Sembilan) bulan dan Pelatihan Kerja selama 6
(enam) bulan, hakim anak mempertimbangkan dari aspek yuridis, dan non yuridis,
penjatuhan pidana terhadap anak dinilai bentuk dari upaya terakhir/ ultimum remedium
dalam proses pemidanaan terhadap anak dan Menurut hakim faktor penghambat
penjatuhan pidana terhadap anak yaitu adanya faktor hukum, faktor penegak hukum,
faktor kebudayaan, faktor masyarakat, faktor sarana atau fasilitas. Faktor penghambat
dari penegakan hukum pidana ialah bisa dari orangtua atau keluarga dalam hal ini
banyak orangtua atau keluarga yang enggan melaporkan anaknya ke pihak berwajib
karena dirasa bahwa peristiwa ini ialah aib, dalam pandangan mereka bahwasanya
dengan melaporkan bisa merugikan dari segi sisi pelakunya lalu kurangnya.
Disarankan hendaknya hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak juga bukan
hanya mempertimbangkan dari kondisi korban, namun bagaimana dampak negatif jika
anak berada terlalu lama di penjara, dan perlu adanya sosialisasi dari aparat penegak
hukum apabila melihat adanya sebuah tindak pidana maka akan ada sanksi hukum yang
akan diberikan
Kata kunci : Pertimbangan Hakim Anak, Pelaku Pelecehan Seksual, Korban
Anak Disabilitas
iii
Abstract
ANALYSIS OF JUDGES CONSIDERATIONS FOR CHILD
PERPETRATORS OF SEXUAL ABUSE CRIMES WITH
VICTIMS OF CHILDREN WITH DISABILITIES
(Study of Decision Number 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN. Kot)
The case of children is one of the legal issues that has never been separated from the
legal perspective in Indonesia, in the case of sexual abuse committed by children, and
the judge sentenced him to 9 (nine) years imprisonment and 6 (six) months job training.
The author feels the verdict is too heavy for child perpetrators which can result in
dehumanization and stigmatization. The problems studied in this study are: The judge's
weighing on children perpetrators of sexual abuse crimes; Second, what are the
inhibiting factors for criminal law enforcement in sentencing child perpetrators of
sexual abuse crimes. Thisresearch uses normative juridical and empirical juridical
methods. Primary data was obtained through interviewees. The results of this study are
the judge's consideration of imposing a sentence for 9 (nine) months and job training for
6 (six) months, the juvenile judge considers from a juridical, and non-juridical aspect,
the imposition of a crime against a child is assessed as a form of last resort / ultimum
remedium in the process of sentencing children and according to Judges inhibiting
factors for criminal convictions of children are legal factors, law enforcement factors,
cultural factors, community factors, facilities or facilities factors. The inhibiting factor
of criminal law enforcement can be from parents or families, in this case many parents or
families are reluctant to report their children to the authorities because they feel that
this incident is a disgrace, in their view that reporting can be detrimental in terms of
the perpetrator and then the lack. It is recommended that judges in imposing crimes
against children should also not only consider the condition of the victim, but what are
the negative impacts if the child is in prison for too long, and there needs to be
socialization from law enforcement officials if they see a criminal act, there will be
legal sanctions that will be given
Keyword :Consideration of Child Judges, Perpetrators of Sexual Abuse,
Victims of Children with Disabilities
2122011046 Allia Shafiraalliashafiraa@gmail.com2023-06-26T07:32:21Z2023-06-26T07:32:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73119This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/731192023-06-26T07:32:21ZKEGAGALAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA KELALAIAN
KECELAKAAN LALU LINTAS SECARA RESTORATIVE JUSTICE
(Studi di Kejaksaan Negeri Metro, Lampung)Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang ada sering kali tidak konsisten
sebagaimana yang terjadi di Kejaksaan Negeri Metro, Lampung, di mana Tersangka H
dan J terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena
kelalaiannya terhadap kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal
dunia. Masing-masing dari perwakilan pihak keluarga kedua tersangka tersebut memohon
untuk dilakukan restorative justice, tetapi permohonan tersebut ditolak. Alasan inilah
yang membuat peneliti tertarik untuk menganalisisnya dari segi restorative justice.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum empiris. Sumber data yang digunakan
adalah data primer dan sekunder. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan
dokumen kemudian diolah melalui pemeriksaan, penandaan, dan sistematisasi data.
Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan secara kualitatif yang menekankan
penyimpulan secara induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menyimpulkan, bahwa pelaksanaan restorative
justice terhadap kelalaian kecelakaan lalu lintas di Kejaksaan Negeri Metro, Lampung
dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan P-21, kemudian dilakukan upaya
perdamaian serta proses perdamaian dengan mempedomani ketentuan pelaksana yang ada
dalam Huruf E poin 2 c Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor:
01/E/EJP/02/2022. Terjadinya kegagalan dalam penyelesaian perkara secara restorative
justice terhadap kelalaian kecelakaan lalu lintas di Kejaksaan Negeri Metro, Lampung
karena faktor perundang-undangan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan
Negeri Metro, Lampung diharapkan dapat meringankan tuntutan pidananya terhadap
tersangka, mengingat sudah tercapainya kesepakatan perdamaian antara pihak yang
bersangkutan. Pemerintah selaku pembentuk undang-undang perlu melakukan kebijakan
formulasi terhadap penyelesaian kasus-kasus kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan
restorative justice, khususnya dalam hal kelalaian yang menyebabkan korban meninggal
dunia.
Kata Kunci: Restorative Justice, Kelalaian, dan Kecelakaan Lalu LintasFITRIA RANI21220110232023-06-23T03:20:42Z2023-06-23T03:20:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73087This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/730872023-06-23T03:20:42ZPERAN PENUNTUT UMUM DALAM MEWUJUDKAN ASAS
PERADILAN CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN
BERDASARKAN RESTORATIVE JUSTICE
( Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung )
Kejaksaan khususnya Jaksa Penuntut Umum memiliki peran yang penting untuk terwujudnya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta dengan adanya terobosan Restorative Justice yang sedang digaungkan oleh Jaksa Agung sebagai alternatif penanganan tindak pidana yang mengedepankan pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban serta mengakomodir nilai-nilai dasar yang terkandung dalam keadilan restorative.
Kenyataan nya tidak semua perkara dapat disetujui untuk dilakukan restorative justice sehingga dibutuhkan peran penuntut umum dalam memaksimalkan penyelesaian perkara berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dengan tetap mengedepankan semangat restorative justice. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana Peran Penuntut Umum dalam mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice dan Mengapa terjadi hambatan dalam memaksimalkan implementasi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, peran yang dilakukan oleh penuntut umum dalam mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice adalah melakukan penyelesaian terhadap perkara yang telah dilaksanakan secara restorative justice namun tidak mendapatkan persetujuan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan mengimplementasikan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dengan mengunakan instrument pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat sebagaimana yang diatur didalam Pasal 203 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Saran yang disampaikan oleh penulis agar sebaiknya penyelesaian perkara berdasarkan restorative justice prosesnya lebih disederhanakan dan terhadap perkara yang tidak disetujui restorative justice agar dilimpahkan kepengadilan dengan acara pemeriksaan singkat guna penyelesaian perkara berjalan dengan cepat demi mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kata kunci: Peran, Penuntut Umum, Restorative Justice, peradilan cepat sederhana biaya ringan.
Mardasari Tri Buana 21220110392023-06-22T07:33:05Z2023-06-22T07:33:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73003This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/730032023-06-22T07:33:05ZKEBIJAKAN PEMBERIAN RESTITUSI TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUALLatar belakang penelitian ini adalah minimnya permohonan restitusi yang diajukan oleh anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala meskipun restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual telah diamanatkan dalam Pasal 71D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 serta adanya perbedaan pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala. Rumusan permasalahan meliputi kebijakan pemberian restitusi dan faktor penghambat kebijakan pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dari data lapangan dan kepustakaan dengan menggunakan data primer melalui wawancara, data sekunder dari 6 (enam) putusan PN Menggala dan peraturan perundang-undangan serta data tersier berupa artikel majalah dan lain-lain.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan pemberian restitusi oleh hakim PN Menggala sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi terkendala pada tidak adanya bukti kerugian formil serta ketidakjelasan komponen ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana yang termasuk dalam pertimbangan yuridis. Selain pertimbangan yuridis, hakim dalam mengabulkan atau tidaknya permohonan restitusi juga mendasarkan pada pertimbangan filosofis yaitu dampak yang dialami anak korban tindak pidana kekerasan seksual serta pertimbangan sosilogis yaitu manfaat restitusi terhadap anak korban, pelaku dan masyarakat. Kebijakan pemberian restitusi oleh hakim PN Menggala telah dilaksanakan namun belum maksimal karena adanya faktor penghambat yang berasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 salah satunya tidak ada ketentuan upaya paksa restitusi, faktor penghambat yang berasal dari aparat penegak hukum, yang berasal dari sarana dan fasilitas hukum dan faktor penghambat yang berasal dari anak korban dan keluarganya.
Perlu adanya pembaruan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan restitusi terhadap anak korban terkait kejelasan komponen ganti kerugian sebagai akibat tindak pidana dan tolak ukur perhitungan restitusi. Selain itu perlu dilakukan pembaruan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan restitusi terhadap anak korban sebagai bagian pemidanaan dan upaya paksa restitusi berupa penitipan uang jaminan restitusi di pengadilan dan sita jaminan restitusi.
KATA KUNCI: pemberian restitusi, anak korban, kekerasan seksual
Siagian Marlina20220110582023-06-22T07:22:53Z2023-06-22T07:22:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72998This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/729982023-06-22T07:22:53ZANALISIS PUTUSAN HAKIM DI LUAR DAKWAAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn)Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dibatasi oleh KUHAP. Pembatasan itu menyakatan hakim memutus berdasarkan dakwaan. Namun di sisi lain jika memutus hanya berdasarkan dakwaan dan jaksa tidak teliti dalam membuat dakwaan ataupun menggunakan pasal keliru meskipun memang kejahatan seksualnya terjadi, maka nilai keadilan bagi korban tidak terbentuk. Sehingga sejauh mana kewenangan hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual terhadap anak, dasar pertimbangan hakim dalam memutus di luar dakwaan tersebut, serta menganalisis suatu putusan.
Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Penggunaan metode ini, penulis menganalisa beberapa putusan di luar dakwaan dalam perkara tersebut dan membandingkan dengan putusan lainnya, sistem hukum, dan aturan-aturan yang berlaku. Kemudian dianalisa dengan metode induktif untuk menjawab masalah yang ada.
Kewenangan hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual dengan korban anak terdapat dua aliran pendapat yaitu menolak dapatnya diputus di luar dakwaan dan memperbolehkan hakim dapat memutus di luar dakwaan. Pada dasarnya Hakim diberikan kewenangan untuk menggali nilai-nilai dan memutus suatu perkara berdasarkan apa yang ditemukan dalam persidangan, mengingat fungsi hakim untuk memberikan keadilan dalam putusannya sebagaimana dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan tersebut dilihat berdasarkan sistem hukum, kode etik hakim, pandangan hakim terhadap asas legalitas dan aturan yang berlaku. Pertimbangan Hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual terhadap anak dengan melihat aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Pertimbangan hakim tersebut lebih condong kepada aspek filosofis yaitu keadilan untuk korban dan sosiologis yaitu maanfaat putusan dengan memperhatikan dampak yang dialami korban dan keadaan Terdakwa.
Banyaknya praktek hakim memutus di luar dakwaan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak ini maka perlu dibuat Surat Edaran Mahkamah Agung seperti pada kasus narkotika. Selain itu juga perlu untuk diatur dan dibahas dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana. Praktek ini pun juga harus didasari dengan sikap professional, tanggung jawab dan keberanian hakim dalam memutus.
Kata Kunci: putusan, luar dakwaan, kekerasan seksual, anak korbanAMRITA LAKSMI20220110302023-06-22T06:43:46Z2023-06-22T06:43:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72987This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/729872023-06-22T06:43:46ZPERTANGGUNGJAWABAN UTANG TAGIHAN LISTRIK PELANGGAN TERHADAP BANGUNAN YANG BERALIH KEPEMILIKANBentuk pengakhiran perjanjian jual-beli tenaga listrik akibat wanprestasi Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik adalah pemutusan sementara dan pembongkaran rampung. Pemutusan sementara atau pembongkaran rampung oleh PT PLN (Persero) terhadap aliran listrik pada bangunan pelanggan terjadi karena pelanggan tidak menyelesaikan kewajibannya yaitu tidak melakukan pembayaran tagihan listrik. Kasus yang menarik adalah apabila terjadi pengalihan kepemilikan rumah dimana penghuni rumah yang baru menolak untuk membayar utang tagihan. Penelitian akan mengkaji (1) pertanggungjawaban utang tagihan listrik pelanggan terhadap bangunan yang beralih kepemilikan dan (2) Penyelesaian Hukum terhadap utang tagihan listrik pelanggan terhadap bangunan yang beralih kepemilikan.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum, dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.
Penelitian menunjukan bahwa pertanggungjawaban utang tagihan listrik pelanggan terhadap bangunan yang beralih kepemilikan tetap dibayar oleh penghuni rumah yang baru berdasarkan Peraturan Direksi PT. PLN (Persero) No.0016.P/DIR/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Usulan Penghapusan dan Penelitian Piutang Ragu-Ragu PT PLN (Persero). Selain itu, pertanggungjawaban didasarkan oleh PLN yang berdasarkan asas persil dimana hak melekat pada barang karena saat proses pengajuan Sertifikat Laik Operasi, lokasi instalasi dan gambar instalasi dikeluarkan oleh badan usaha konsultan perencana tenaga listrik atau direktur jenderal. Berdasarkan asas persil, tagihan listrik tetap dibebankan pada pemilik baru dan yang bertanggungjawab adalah yang membayar. Apabila pemilik baru tetap tidak mau membayar maka akan dilakukan pembongkaran rampung. Penyelesaian Hukum terhadap utang tagihan listrik pelanggan terhadap bangunan yang beralih kepemilikan dapat dilakukan secara non litigasi dan litigasi. Pasal 7 Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mengatur bahwa perbedaan pendapat diselesaikan secara musyawarah mufakat yang terdiri dari negosiasi, mediasi, konsiliasi, penengah, dan surat kesepakatan. Aturan SPJBTL tersebut lebih lanjut menguraikan jika jalur non litigasi tidak berhasil, maka akan diselesaikan pada Pengadilan Negeri (litigasi).
Kata kunci: Konsumen, Pertanggungjawaban, Utang listrik.
Saputra Darma21220110152023-06-22T03:24:29Z2023-06-22T03:24:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72915This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/729152023-06-22T03:24:29ZPEMBAYARAN PAJAK TERHADAP PENGELOLAAN DANA DESA
UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
DI KECAMATAN LABUHAN RATU
LAMPUNG TIMURSalah satu pengeluaran yang wajib dibayar dalam pengelolaan dana desa adalah
pembayaran pajak. Mengingat pembangunan fisik atau konstruksi desa lebih banyak
menggunakan sistem swakelola menyebabkan kesulitan dalam menentukan jenis
pajak, obyek pajak, dan wajib pajak dalam bertransaksi. Kesulitan tersebut
berdampak bahwa terdapat sejumlah desa yang tidak taat memenuhi kewajiban
perpajakan dalam pengelolaan dana desa. Hal itu tidak selaras dengan upaya
mewujudkan prinsip Good Governance. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengenaan dan pembayaran pajak pengelolaan dana desa di Kecamatan Labuhan Ratu
Lampung Timur. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach),
dengan memanfaatkan data primer dan sekunder yang dianalisis dengan interpretasi
hukum. Hasil penelitian ditemukan: pertama pengelolaan dana desa yang
dipergunakan untuk belanja barang dan jasa merupakan objek pajak, baik pajak
pertambahan nilai (PPN) ataupun pajak penghasilan (PPh); kedua pembayaran pajak
dalam pengelolaan dana desa yang terdiri dari mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak,
melakukan pemotongan dan/atau pemungutan atas transaksi yang terjadi,
menyetorkan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut ke kas negara, melaporkan
pemotongan dan/atau pemungutan pajak ke KPP tempat bendahara terdaftar, dan
memberikan bukti potong/pungut kepada pihak yang dipotong atau dipungut di
Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur belum berjalan secara optimal.
Saran dalam penelitian perlu dilaksanakan penguatan pemahaman bendahara desa
tentang pentingnya perpajakan bagi pemerintah Indonesia, dengan cara Pembinaan
secara berkala melalui pelatihan/workshop/seminar serta perlu peningkatan
pengawasan pembayaran pajak pengelolaan dana desa serta monitoring dari atasan,
Inspektorat, dan Kantor Pelayanan Pajak.
Kata Kunci : Pajak, Dana Desa, Good Governance.HOTMARIA PURBA YEMIMA21220110702023-06-22T02:45:49Z2023-06-22T02:45:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72890This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/728902023-06-22T02:45:49ZPERSPEKTIF PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DENGAN MENGGUNAKAN RESTORATIVE JUSTICE
ABSTRAK
PERSPEKTIF PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DENGAN MENGGUNAKAN RESTORATIVE JUSTICE
Keadilan restoratif memberikan dialog yang tepat, langsung maupun tidak
langsung antara korban dan pelaku kejahatan dalam bentuk mediasi antara korban
dan pelaku. Persoalannya adalah dapatkah tindak pidana narkotika, khususnya
bagi pecandu dan penyalahguna narkotika yang merupakan kejahatan tanpa
korban (victimless crime), diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah
praktik penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan
menggunakan pendekatan restorative justice; kedua, bagaimanakah kekuatan
hukum penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan
menggunakan pendekatan restorative justice; ketiga, bagaimana model
penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan menggunakan
pendekatan restorative justice.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau dikenal juga
dengan penelitian hukum doktrinal (Doctrinal Reasearch). Data-data diperoleh
dari data kepustakaan.
Dari penelitian diperoleh informasi bahwa Proses penghentian penuntutan tindak
pidana narkotika dilakukan dengan tahapan yaitu: Kesatu Berdasarkan kronologi
perkara Penuntut umum menilai apakah terdakwa merupakan pengguna terkhir
(end user); Kedua Berdasarkan hasil asesmen terpadu dan barang bukti penuntut
umum menilai apakah terdakwa dikualifikasikan sebagai penyalahguna, korban
penyalahguna atau pecandu narkotika; Ketiga, Penuntut umum melakukan
profiling terhadap terdakwa dengan menggunakan metode know your suspect;
Keempat, Ada kesediaan dari orangtua atau wali terdakwa untuk melakukan
reahabilitasi terhadap terdakwa. Penghentian penuntutan ini mengharuskan
terdakwa menjalani rehabilitasi dengan syarat yang tetap sesuai dengan peraturan
bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan berdasarkan asas oportunitas dan
asas dominus litis jaksa penuntut umum berwenang untuk melimpahkan atau
menghentikan suatu perkara. Pendekatan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif ini mengacu kepada daad dader strafecht atau yang disebut
model keseimbangan kepentingan. Model tersebut ideal untuk sistem peradilan
pidana di Indonesia saat ini.
Disarankan sebaiknya Jaksa dalam menetapkan penghentian penuntutan dapat
transparan sehingga masyarakat dapat mengawasi perkara yang dihentikan
penuntutannya. Sebaiknya model keseimbangan kepentingan yang di terapkan
diimbangi dengan control dan pengawasan.
Kata kunci: Penghentian Penuntutan, Tindak Pidana Narkotika, Keadilan
restoratif.
iii
Abstract
THE PERSPECTIVE OF TERMINATION OF CRIMINAL PROSECUTION
OF NARCOTICS USING RESTORATIVE JUSTICE
By:
Dita F. Karlinda
estorative justice provides appropriate dialogue, directly or indirectly between
victims and perpetrators of crimes in the form of mediation between victims and
perpetrators. The problem is can narcotics crimes, especially for addicts and
narcotics abusers, which are victimless crimes, be resolved with a restorative
justice approach. The problems studied in this study are: first, how is the practice
of stopping the prosecution of narcotics crime cases using a restorative justice
approach; second, what is the legal power of stopping the prosecution of
narcotics crime cases using a restorative justice approach; third, what is the
model for stopping the prosecution of narcotics crime cases using a restorative
justice approach.
This research uses the method of normative legal research or also known as
doctrinal legal research (Doctrinal Research). The data obtained from library
data.
From the research, information was obtained that the process of stopping the
prosecution of narcotics crimes was carried out in stages, namely: First, based on
the chronology of the case, the public prosecutor assessed whether the defendant
was the end user; Second, based on the results of an integrated assessment and
evidence, the public prosecutor assesses whether the accused qualifies as a
abuser, victim of abuse, or a narcotics addict; Third, the public prosecutor
profiled the accused using the know your suspect method; Fourth, there is a
willingness on the part of the defendant's parents or guardians to rehabilitate the
accused. Termination of this prosecution requires the defendant to undergo
rehabilitation with conditions that remain in accordance with the joint regulations
concerning the Handling of Narcotics Addicts and Victims of Narcotics Abuse in
Rehabilitation Institutions and based on the principle of opportunity and the
principle of dominus litis, the public prosecutor has the authority to transfer or
terminate a case. This approach to stopping prosecution based on restorative
justice refers to daad dader strafecht or what is called the balance of interests
model. This model is ideal for Indonesia's current criminal justice system.
It is suggested that the Prosecutor should be transparent in determining the
termination of prosecution so that the public can monitor cases that have been
discontinued. We recommend that the balance of interests model that is applied is
balanced with control and supervision
Keywords: Termination of Prosecution, Narcotics Crime, Restorative Justice.
2122011048 Dita F. Karlindadita211893@gmail.com2023-06-22T01:51:24Z2023-06-22T01:51:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72871This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/728712023-06-22T01:51:24ZPERIZINAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN
KEBEBASAN BERPRAKTEK PROFESI AKUNTAN
PUBLIK DI INDONESIAAkuntan publik memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin akuntanbilitas
Laporan Keuangan baik entitas private maupun publik dan memiliki hak yang sama
dalam kebebasan berpraktek. Dalam hal ini, untuk mendapatkan izin berpraktek
tersebut calon Akuntan publik cenderung dipersulit sehingga menghambat
kebebasan berpraktek. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji terkait perizinan
Akuntan publik di Indonesia dan menganalis apakah Peraturan Perundangundangan yang berlaku sudah mewujudkan kebebasan berpraktek Akuntan Publik.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Normatif yang dilakukan dengan
pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan theoretic
(Theoritical Approach).
Perizinan Akuntan Publik di Indonesia sulit disebabkan pemenuhan syarat
perizinan yang berubah-ubah. Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
tidak memberikan jaminan kebebasan berpraktek. Undang-undang Akuntan Publik
hanya memberikan kewenangan hanya pada satu Asosiasi Profesi Akuntan Publik
dalam memberikan syarat rekomendasi izin Akuntan Publik. Padahal Asosiasi
Akuntan yang di akui oleh pemerintah secara legal formal lebih dari satu.
Kata Kunci: Akuntan Publik, Izin Akuntan Publik, Asosiasi Akuntan Publik
Public accountants have a very important role in ensuring the accountability of
financial reports for both private and public entities and have the same right to
freedom of practice. In this case, obtaining a license to practice is likely to be
difficult for prospective public accountants, thereby hampering freedom of practice.
This study aims to examine the licensing of public accountants in Indonesia and
analyze whether the applicable laws and regulations have realized the freedom to
practice public accountants. This research is a type of normative research carried
out using a statutory approach (Statute Approach) and a theoretical approach
(Theoritical Approach).
Licensing for Public Accountants in Indonesia is difficult due to the fluctuating
licensing requirements. The current laws and regulations do not guarantee freedom
of practice. The Public Accountant Law only authorizes only one Public Accountant
Professional Association to issue recommendations for a Public Accountant
license. Even though there is more than one Association of Accountants recognized
by the government legally and formally.
Keywords: Public Accountant, Public Accountant Permit, Association of Public
Accountants 2122011009 HIDAYATULLAHhidayat.kampai@gmail.com2023-06-21T07:26:02Z2023-06-21T07:26:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72778This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/727782023-06-21T07:26:02ZKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI LAMPUNG
DALAM PERIZINAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
HEWAN/ PRODUK HEWAN DALAM MENJAMIN
KESEHATAN HEWAN
Lampung merupakan salah satu provinsi lumbung ternak nasional. Kepadatan lalu lintas hewan yang tidak dilakukan pemeriksaan yang sesuai dengan peraturan yang ada berakibat masuk dan menyebarnya penyakit hewan di provinsi Lampung. Penelitian ini mengkaji 2 hal yakni bagaimana kebijakan dalam perizinan terhadap pemasukan dan pengeluaran hewan di provinsi Lampung dan apakah pemeriksaan atas pemasukan dan pengeluaran hewan di Provinsi Lampung sudah menjamin kesehatan hewan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang undangan dan hasilnya dianalisis dengan menggunakan metode RIA (Regulatory Impact Assesment). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan perizinan terhadap lalu lintas di provinsi Lampung belum optimal dalam tataran implementasi. Penerapan produk hukum daerah yang mengatur mengenai lalu lintas hewan di Provinsi Lampung tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Pemeriksaan terhadap lalu lintas hewan di Provinsi Lampung belum menjamin kesehatan hewan. Hal ini dikarenakan prosedur pemeriksaan hewan tidak diterapkan dengan baik, terbukti masih banyaknya penyakit hewan yang masuk sejak tahun 2015 hingga 2023.
Kata kunci: Kebijakan, Perizinan, Lalu Lintas Hewan, Kesehatan Hewan,
Lampung
1922011083 TRI GUNTOROguntoros2_2005@yahoo.co.id2023-06-16T02:19:09Z2023-06-16T02:19:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72297This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/722972023-06-16T02:19:09ZPERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KESEHATAN TERAPIS GIGI
DAN MULUT DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN
TINDAKAN KLINIS GIGI DAN MULUT
DI PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT
( PUSKESMAS )
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran, menetapkan syarat-syarat untuk sahnya pelimpahan
kewenangan tindakan kedokteran gigi kepada terapis gigi mulut, yaitu antara lain:
pelimpahan dilakukan secara tertulis. Tujuan adanya penelitian ini adalah untuk
mengetahui kewenangan tenaga kesehatan terapis gigi dan mulut dalam melaksanakan
tindakan klinis gigi dan mulut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum secara preventif dan represif bagi
tenaga terapis gigi dan mulut yang melakukan pelayanan tindakan klinis gigi dan mulut di
puskesmas.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif dengan menggunakan studi
kepustakaan dengan menggunakan metodologi berbasis kasus, undang-undang, dan
konseptual. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat kajian literatur dan
wawancara. Selanjutnya dilakukan analisis data secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah Kewenangan klinis bagi pelimpahan wewenang dari dokter
gigi kepada terapis gigi di Puskesmas Way Halim belum diatur secara jelas dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 20 tahun 2016 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Terapis Gigi
dan Mulut, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/671/2020 Tentang Standar Profesi Terapis Gigi Dan Mulut. Dalam hal
ini, seorang tenaga terapis gigi mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Terapis Gigi dan Mulut, Pelayanan Tindakan
Klinis
Law of the Republic of Indonesia Number 29 of 2004 concerning Practice Permits and
Implementation of Medical Practices, stipulating the conditions for the valid delegation of
authority for dental actions to oral dental therapists, which include: delegation is made in
writing. The purpose of this study is to determine the authority of dental and oral therapist
health workers in carrying out dental and oral clinical actions in accordance with applicable
laws and regulations and to determine the form of preventive and repressive legal
protection for dental and oral therapists who perform dental and oral clinical action services
at puskesmas.
The research method used is the normative method using literature studies using casebased,
statutory, and conceptual methodologies. Data collection was carried out using
literature review tools and interviews. Furthermore, qualitative data analysis was carried
out.
The result of this study is that the clinical authority for delegation of authority from dentists
to dental therapists at the Way Halim Health Center has not been clearly regulated in Law
Number 29 of 2004 concerning Medical Practice and Minister of Health Regulation
Number 20 of 2016 concerning Licensing and Implementation of Dental and Oral Therapist
Practices, as well as Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number
Hk.01.07/Menkes/671/2020 concerning Professional Standards for Dental and Oral
Therapists. In this case, a dental therapist has the right to obtain legal protection as long as
they carry out their duties in accordance with professional standards and standard operating
procedures.
Keywords: Legal Protection, Dental and Oral Therapist, Clinical Action Service AMINUDIN21220110212023-06-15T03:45:02Z2023-06-15T03:45:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72255This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/722552023-06-15T03:45:02ZANALISIS UPAYA PENCEGAHAN TINDAK RADIKALISME YANG
MENJADI PERHATIAN KHUSUS DI PROVINSI LAMPUNG
(Studi pada Direktorat Intelkam Polda Lampung)Radikalisme merupakan suatu upaya untuk menuntut terjadinya perubahan/
pembaharuan keadaan secara drastis (cepat) yang umumnya dilakukan melalui
cara-cara yang keras atau kekerasan. Kemunculan radikalisme ini merupakan respons
terhadap kondisi yang sedang berlangsung dan muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan atau nilai.
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana upaya Direktorat
Intelkam Polda Lampung dalam melakukan pencegahan terhadap tindak radikalisme
yang menjadi perhatian khusus di Provinsi Lampung? b. Mengapa terjadi faktor
penghambat dalam pencegahan tindak radikalisme yang menjadi perhatian khusus di
Provinsi Lampung?.
Metode penelitian menggunakan pendekatan secara yuridis empiris melalui
wawancara (interview) dengan beberapa narasumber. Data yang digunakan adalah
data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang masing-masing
bersumber dari lapangan dan kepustakaan serta analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian yaitu upaya Ditintelkam Polda Lampung dalam melaksanakan
deteksi dini sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikalisme yaitu upaya
preemtif : penguatan wawasan kebangsaan dan moderasi beragama, upaya preventif:
melakukan pengawasan dan pembinaan oleh Polres/Polresta jajaran dengan
melibatkan berbagai pihak serta upaya represif : pengungkapan dan penangkapan
para terduga pelaku tindak radikalisme melalui koordinasi dengan Densus 88 Anti
Teror Polri. Faktor penghambat upaya Ditintelkam Polda Lampung dalam
melaksanakan deteksi dini sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikalisme
yaitu keberadaan undang-undang belum terlalu terlihat secara nyata berpengaruh
dalam pencegahan paham radikalisme, kesulitan deteksi oleh Ditintelkam Polda
Lampung karena aktivitas pelaku yang tersembunyi, kemudian belum maksimalnya
kemampuan Alat Materiil Khusus Teknologi Intelijen serta faktor masyarakat
kurangnya peranserta masyarakat untuk turut mencegah terjadinya penyebaran paham
radikal di wilayahnya.
Saran yang dapat dikemukakan yaitu Ditintelkam Polda Lampung perlu
meningkatkan kemampuan fungsi intelijennya sehingga dapat mencegah sedini
mungkin munculnya paham-paham radikal dan masyarakat hendaknya turut berperan
serta secara aktif dalam upaya pencegahan paham radikalisme maupun terorisme
dengan cara lebih peduli dan awas terhadap setiap aktivitas yang mencurigakan yang
terjadi di lingkungan sekitarnya.
Kata Kunci : Pencegahan, Tindak Radikalisme, Perhatian Khusus
Radicalism is an attempt to demand drastic (rapid) changes in the situation, usually done
through harsh or violent means. The emergence of radicalism is a response to ongoing
conditions and appears in the form of evaluation, rejection, or even resistance to ideas,
assumptions, institutions, or values.
The research problem in this study is: a) How does the Intelligence Directorate of the
Lampung Regional Police (Ditintelkam Polda Lampung) make efforts to prevent radicalism
that are a special concern in Lampung Province? b) Why are there inhibiting factors in
preventing radicalism that are a special concern in Lampung Province?
The research method used a juridical-empirical approach through interviews with several
sources. The data used are primary and secondary data obtained from fieldwork and
literature which will then be processed qualitatively.
The research results showed that the efforts of Ditintelkam Polda Lampung in early detection
as a prevention effort against the spread of radicalism include: preventive efforts such as
strengthening national insight and religious moderation, preventive efforts such as
monitoring and coaching by the local police authorities involving various parties, and
repressive efforts such as the disclosure and arrest of suspected perpetrators of radicalism
through coordination with the Densus 88 Anti-Terrorism Police. Besides that there are also
inhibiting factors in Ditintelkam Polda Lampung's efforts to carry out early detection as a
prevention effort against the spread of radicalism including the lack of a clear impact of
existing laws in preventing radicalism, difficulty in detection due to the hidden activities of
perpetrators, the limited capabilities of Special Intelligence Technology equipment, and the
lack of participation by the community in preventing the spread of radicalism in their area.
Suggestions that can be proposed are that Ditintelkam Polda Lampung needs to improve its
intelligence function's capabilities to prevent radical ideas from emerging as early as
possible. The community should also play an active role in preventing radicalism and
terrorism by being more vigilant and concerned about any suspicious activities that occur in
their surroundings.
Keywords: Prevention, radicalism, special attention.ANGGRAINI CHITRA 21220110022023-05-15T02:18:19Z2023-05-15T02:18:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71278This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712782023-05-15T02:18:19ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT YANG
BEKERJA DI RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT
Hemodialisa (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat
khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi glomerulus yang
rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pemberian pelayanan di ruang hemodialisa, tidak hanya dokter, perawat bahkan
rumah sakit juga harus bersiap untuk bertanggung jawab dengan segala kegiatan yang
berkaitan langsung di dalamnya. Namun seringkali terjadi masalah pada profesi perawat,
seperti yang diketahui saat ini kewenangan perawat secara mandiri adalah memberikan
asuhan keperawatan bukan melakukan tindakan medik yang bersifat invasif. Penelitian
mengkaji mengenai (1) prosedur pelimpahan wewenang dokter kepada perawat dalam
memberikan pelayanan di ruang hemodialisa, (2) tanggung jawab perawat yang bekerja di
ruang hemodialisa rumah sakit, dan (3) kebijakan terkait perlindungan hukum terhadap
profesi perawat yang bekerja di ruang hemodialisa rumah sakit.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan yuridis
normatif. Pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
pendekatan Undang-Undang. Selain itu, penelitian menggunakan data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Berdasarkan hasil penelitian, prosedur pelimpahan wewenang dokter kepada perawat
dalam memberikan pelayanan di ruang hemodialisa ada beberapa tahap. Diawali, dokter
pelaksana harus memastikan kewenangan yang diberikan tertulis, penerima wewenang
memiliki kompetensi yang dibutuhkan, kesediaan dari penerima wewenang, dan
pelaksanaan hemodialisis di bawah pengawasan dokter pelaksana. Jika syarat-syarat telah
dipenuhi, maka pelaksanaan pelimpahan wewenang dapat dilaksanakan. Berdasarkan
keterampilan vokasi dan profesi perawat hemodialisis, pelimpahan wewenang dapat
terjadi secara mandat, dengan pengawasan aktif dari dokter pelaksana. Apabila sudah
sesuai dengan persyaratan pelimpahan kewenangan, maka hemodialisis dilaksanakan oleh
perawat mahir di bawah supervisi dokter pelaksana. Tanggung jawab perawat yang
bekerja di ruang hemodialisa rumah sakit diatur berdasarkan ketentuan profesi dan hukum
di Indonesia yaitu pidana, perdata, dan administrasi. Perlindungan hukum perawat pada
ruang hemodialisa berkaitan dengan kompetensi yang didasarkan oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 812 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Dialisis pada Fasilitas Kesehatan. Namun, Standar Operasi Prosedur ruang hemodialisis
dikembalikan kepada kebijakan masing-masing rumah sakit.
Saran dari penelitian ini adalah adanya panduan terkait standar operasional prosedur yang
terintegrasi, melarang pelimpahan wewenang delegative dan dibuatnya pengaturan yang
spesifik terkait hemodialisis.
Kata kunci: hemodialisis; perawat; perlindungan hukum.
Hemodialysis (HD) is a kidney replacement therapy that uses a special device with the
aim of treating symptoms and signs due to a low glomerular filtration rate, which is
expected to extend life and improve the quality of life of patients. Providing services in
the hemodialysis room, not only doctors, nurses and even hospitals must also be prepared
to be responsible for all activities directly related to it. However, problems often occur in
the nursing profession, as it is known at this time that the authority of nurses
independently is to provide nursing care, not to perform invasive medical procedures.
This study examines (1) the procedure for delegating authority from doctors to nurses in
providing services in the hemodialysis room, (2) the responsibilities of nurses working in
the hemodialysis room at the hospital, and (3) policies related to legal protection for the
nursing profession working in the hemodialysis room at hospital.
The problem approach used in this research is a normative juridical approach. The
normative juridical approach used in this thesis research is the statutory approach. In
addition, the research uses secondary data consisting of primary, secondary and tertiary
legal materials.
Based on the results of the study, the procedure for delegating authority from doctors to
nurses in providing services in the first hemodialysis room began in several stages. First,
the implementing doctor must ensure that the authority given is written, the recipient of
the authority has the required competence, the willingness of the recipient of authority,
and the implementation of hemodialysis under the supervision of the implementing
doctor. If the conditions have been met, then the implementation of the delegation of
authority can be carried out. Based on the vocational skills and profession of the
hemodialysis nurse, delegation of authority can occur on a mandate basis, with active
supervision from the implementing doctor. If it is in accordance with the requirements for
the delegation of authority, then hemodialysis is carried out by skilled nurses under the
supervision of the implementing doctor. The responsibilities of nurses working in the
hemodialysis room of a hospital are regulated based on professional and legal provisions
in Indonesia, namely criminal, civil and administrative. There are several perspectives.
Legal protection for nurses in the hemodialysis room is related to competence based on
the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 812 of 2010
concerning the Implementation of Dialysis Services in Health Facilities. However, the
Standard Operating Procedure for the hemodialysis room is returned to the policy of
each hospital. Suggestions from this study are the existence of guidelines regarding
integrated standard operating procedures, prohibiting the delegation of delegated
authority and making specific arrangements regarding hemodialysis.
Keywords: hemodialysis; nurse; legal protection.
BAIMBANG BILABORA YUS 21220111042023-05-10T03:28:43Z2023-05-10T03:28:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71246This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712462023-05-10T03:28:43ZPERJANJIAN KERJASAMA PENGAMANAN OBJEK VITAL (PAMOBVIT)
VITAL OBJECT SECURITY COOPERATION AGREEMENT (PAMOBVITAbstrak
Objek Vital Nasional (Obvitnas) merupakan kawasan/lokasi, bangunan/instalasi
dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara
dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Selain itu juga
dilakukan pengamanan terhadap Objek vital tertentu (Obviter) yaitu
kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang dikelola oleh negara atau
swasta dan bukan merupakan Obvitnas namun diamankan oleh anggota Polri atau
oleh pengamanan internal. Dibuatnya suatu Perjanjian kerjasama untuk mengikat
rasa tanggung jawab kedua pihak dalam bidang keamanan. Selain itu juga
meningkatkan kerjasama dan sinergi kita dalam menjaga keamanan dan ketertiban
yang kondusif di tengah-tengah masyarakat khususnya di lingkungan kerja pada
objek vital. Dan juga sebagai bentuk transparansi Polri dalam memberikan
pelayanan keamanan kepada masyarakat serta sebagai wujud legalitas suatu
bentuk pelayanan keamanan antara Polri dengan pihak Obvitnas dan atau Obviter.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Perjanjian Kerjasama
merupakan bentuk transparansi dan legalnya pengamanan Polri pada Objek vital?
Metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan empiris, data yang digunakan data sekunder dan data primer dengan
analisis kualitatif guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan
obyektif
Hasil Penelitian yaitu perjanjian kerjasama merupakan bentuk transparansi
pengamanan Polri pada objek vital, dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat
Pengamanan Objek Vital Polda Lampung dengan objek vital tertentu yaitu PT.
BNI Kantor Cabang Tanjung Karang dan PT. Bank Lampung. Perjanjian
kerjasama kedua belah pihak dituangkan dalam Naskah Perjanjian Kerjasama
Pengamanan kemudian dijabarkan dalam Pedoman Kerja Tehnis Pengamanan.
Perjanjian kerjasama yang dilakukan para pihak didasari dengan asas keterbukaan
yaitu keterbukaan dalam akses informasi maupun keterbukaan dalam penyusunan
Perjanjian Kerjasama yang sesuai dengan sistematika penyusunan Kontrak
kerjasama. Kemudian perjanjian kerjasama yang dilakukan para pihak diatur
dalam Peraturan perundang-undangan maupun regulasi lainnya. Sehingga
Perjanjian kerjasama yang dilakukan para pihak dikatakan legal secara hukum.
Maka, sistem pengamanan dan pola pengamanan yang diberikan oleh Polri lebih
terarah dan terjadwal, sehingga pelaksanaan pengamanan dapat
dipertanggungjawabkan. Serta pola pengamanan tertuang dan terikat dalam
perjanjian kerjasama dan pedoman kerja teknis yang disepakati oleh kedua belah
ii
pihak. Selain itu petugas Pengamanan dari Kepolisian lebih konsisten dalam
melaksanakan tugas pengamanan.
Saran penulis yaitu untuk menciptakan keamanan dan ketertiban pada suatu objek
vital maka hendaknya setiap Pengelola Obvitnas maupun Obviter melakukan
suatu kerjasama dalam bidang keamanan yaitu diwujudkan dalam suatu Perjanjian
Kerjasama Pengamanan dengan pihak Kepolisian dimana wilayah objek vital
tersebut melakukan oprasional. Kerjasama yang dilakukan oleh Polri dengan
pihak Obvitnas maupun Obviter, agar selalu berpedoman terhadap peraturan
Perundang-undangan maupun regulasi lain dalam melakukan suatu tindakan atau
perbuatan hukum. Sehingga kerjasama yang dilakukan legal secara hukum dan
terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Kata Kunci : Objek Vital, Perjanjian Kerjasama, Transparansi dan
Legalnya Pengamanan Polri.
Abstract
National Vital Objects (Obvitnas) are areas/locations, buildings/installations
and/or businesses that concern the livelihoods of many people, state interests
and/or sources of state revenue that are strategic in nature. In addition, security
is also carried out for certain vital objects (Obviter), namely areas/locations,
buildings/installations and/or businesses managed by the state or private and are
not Obvitnas but are secured by members of the National Police or by internal
security. A cooperation agreement was made to bind the sense of responsibility of
both parties in the field of security. In addition, it also increases our cooperation
and synergy in maintaining conducive security and order in the midst of society,
especially in the work environment on vital objects. And also as a form of Polri's
transparency in providing security services to the public as well as a form of
legality of a form of security service between Polri and Obvitnas and/or Obviter.
The problem in this research is how is the Cooperation Agreement a form of
transparency and legal security for the National Police on vital objects?
The research method used is a normative juridical approach and an empirical
approach, the data used is secondary data and primary data with qualitative
analysis in order to obtain a correct and objective research result.
The results of the research are that the cooperation agreement is a form of
transparency in the security of the National Police on vital objects, in this case
carried out by the Directorate of Security for Vital Objects of the Lampung Police
with certain vital objects, namely PT. BNI Tanjung Karang Branch Office and PT.
Lampung Bank. The cooperation agreement of the two parties is set forth in the
Security Cooperation Agreement Text and then elaborated in the Security
Technical Work Guidelines. The cooperation agreement entered into by the
parties is based on the principle of openness, namely openness in access to
information and openness in the preparation of Cooperation Agreements in
accordance with the systematic preparation of Cooperation Contracts. Then the
cooperation agreement entered into by the parties is regulated in laws and
regulations and other regulations. So that the cooperation agreement entered into
by the parties is said to be legally legal. Thus, the security system and pattern of
security provided by the National Police are more directed and scheduled, so that
the implementation of security can be accounted for. As well as the security
pattern contained and bound in the cooperation agreement and technical work
guidelines agreed by both parties. In addition, security officers from the Police
are more consistent in carrying out security duties
.
iv
The author's suggestion is to create security and order in a vital object, so that
every Obvitnas and Obviter Manager should carry out a collaboration in the
security sector, which is embodied in a Security Cooperation Agreement with the
Police where the vital object's area operates. Collaboration carried out by the
National Police with Obvitnas and Obviter, so that they are always guided by
statutory regulations and other regulations in carrying out an action or legal
action. So that the cooperation is carried out legally and creates a balance
between the rights and obligations of each party.
Keywords: Cooperation Agreement, Transparency and Legal Security of the
National Police, Vital Objects.BUDI MADE BUDIARIAWAN21220110582023-05-08T06:15:55Z2023-05-08T06:15:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71224This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712242023-05-08T06:15:55ZPERAN SATUAN INTELIJEN KEAMANAN DALAM PENDETEKSIAN
DAN PENCEGAHAN RADIKALISME DAN INTOLERANSI
(Studi Pada Satuan Intelijen Keamanan Polres Tanggamus)
Terorisme lahir dari proses akumulasi radikalisme dan intoleransi.Satuan intelijen keamanan memberikan peringatan dalam menetralisir berakarnya radikalisme dan intoleransi ditengah masyarakat.Tesis ini membahas dua permasalahan yaitu bagaimana peran satuan intelijen keamanan dalam pendeteksian dan pencegahan radikalisme dan intoleransi dan bagaimana upaya pendeteksian dan pencegahan radikalisme dan intoleransi.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Teori yang digunakan adalah teori peran dan teori penanggulangan kejahatan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan peran satuan intelijen keamanan dalam pendeteksian dan pencegahan radikalisme dan intoleransi didasarkan pada norma yang berlaku berpedoman pada Standar Operasional Prosedur (SOP),Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang intelijen negara dan Pasal 31 Ayat (2) Perpol Nomor 2 Tahun 2021 tentang susunan organisasi dan tata kerja pada tingkat kepolisian resor dan kepolisian sektor.Upaya pendeteksian dan pencegahan radikalisme dan intoleransi mengutamakan upaya non penal (preventif) melalui partisipasi publik pelibatan tokoh masyarakat,tokoh agama,tokoh adat dan tokoh organisasi masyarakat, ploting personil intelijen, pengawasan melekat individu dan kelompok dianggap rentan terpengaruh radikalisme dan intoleransi serta pembentukan tim kewaspadaan dini yang mengefektifkan tiga pilar kamtibmas (bhabinkamtibmas, babinsa dan aparatur pekon).
Saran agar satuan intelijen keamanan mengoptimalkan perannya memberikan informasi faktual dasar pengambilan kebijakan guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.Mendorong upaya non penal (preventif) dapat menetralisir radikalisme dan intoleransi melalui aksi nyata intelijen sebagai upaya potensial membendung berakarnya radikalisme dan intoleransi ditengah kehidupan sosial masyarakat.
Kata kunci : Peran Intelijen, Pendeteksian dan Pencegahan, Radikalisme dan Intoleransi
Terrorism was born from the process of accumulation of radicalism and intolerance. The security intelligence unit provides a warning in neutralizing the roots of radicalism and intolerance in society. This thesis discusses two issues, namely the role of the security intelligence unit in detecting and preventing radicalism and intolerance and how efforts are made to detect and prevent radicalism and intolerance.
The research method used is normative juridical and empirical juridical approaches. The theory used is role theory and crime prevention theory.
Based on the results of the research, it was found that the role of the security intelligence unit in detecting and preventing radicalism and intolerance is based on applicable norms guided by Standard Operating Procedures (SOP), Article 4 Paragraph (1) of Law Number 2 of 2022 concerning state intelligence and Article 31 Paragraph (2) Perpol Number 2 of 2021 concerning organizational structure and work procedures at the level of resort police and sector police. Efforts to detect and prevent radicalism and intolerance prioritize non-penal efforts (preventive) through public participation involving community leaders, religious leaders, traditional leaders and community organization leaders, plotting intelligence personnel, close monitoring of individuals and groups considered vulnerable to being affected by radicalism and intolerance and forming an alert team early which makes the three pillars of kamtibmas (bhabinkamtibmas, babinsa and village apparatus) effective.
Suggestions for the security intelligence unit to optimize its role in providing basic factual information for policy making in order to create security and public order. Encouraging non-penal efforts (preventive) can neutralize radicalism and intolerance through real intelligence action as a potential effort to stem the roots of radicalism and intolerance in the midst of social life.
Keywords : The Role of Intelligence, Detection and Prevention, Radicalism and Intolerance
SINUN MUHSINUN21220110562023-05-04T08:29:45Z2023-05-04T08:29:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71212This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712122023-05-04T08:29:45ZKEBIJAKAN HUKUM PIDANA UNTUK MENGURANGI OVERCROWDED
PENGHUNI LEMBAGA PEMASYARAKATANOvercrowded lembaga pemasyarakatan merupakan persoalan yang serius dalam
mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana. Tesis ini mengkaji dua permasalahan
yakni bagaimanakah kebijakan hukum pidana untuk mengurangi overcrowded
penghuni lembaga pemasyarakatan? dan mengapa terdapat faktor penghambat
dalam kebijakan hukum pidana untuk mengurangi overcrowded penghuni
lembaga pemasyarakatan?
Guna menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian yuridis
normatif dan yuridis empiris dengan pendekatan undang-undang, pendekatan
konseptual, pendekatan kasus (fakta empirik) dan pendekatan filosofis. Data yang
digunakan merupakan data primer dan data sekunder yang dianalisis secara
kualitatif untuk memperoleh kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan hukum pidana untuk mengurangi
overcrowded penghuni lembaga pemasyarakatan terdiri dari kebijakan penal dan
non penal. Kebijakan penal melalui individualisasi pidana dan penerapan pidana
denda harian (day fine). Sedangkan kebijakan non penal melalui program
pembinaan good time allowance dan optimalisasi penyelesaian tindak pidana
berdasarkan keadilan restoratif. Dari keempat bentuk kebijakan tersebut, selama
ini hanya penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang telah
dilakukan. Namun, penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif
belum merata karena belum menyentuh semua jenis tindak pidana, sehingga perlu
dioptimalkan. Hambatan mengatasi overcrowded lembaga pemasyarakatan
disebabkan oleh over kriminalisasi dalam hukum pidana materiil, longgarnya
persyaratan penahanan dan masa tahanan yang lama, pembatasan pemberian
remisi, penambahan kapasitas lembaga pemasyarakatan memerlukan penambahan
anggaran, pemahaman negatif masyarakat terhadap mantan narapidana sehingga
mantan narapidana akan kembali melakukan tindak pidana dan masuk lagi ke
lembaga pemasyarakatan.
Guna mengatasi overcrowded penghuni lembaga pemasyarakatan, diperlukan
upaya memperkuat program pembinaan dan mempercepat reintegrasi narapidana
serta reformasi perundang-undangan hukum pidana melalui dekriminalisasi untuk
jenis tindak pidana tertentu yang berkontribusi besar terjadinya overcrowded
lembaga pemasyarakatan.
Kata kunci: Overcrowded Lapas, Kebijakan Hukum Pidana, Penghuni Lapas
ABSTRACT
Correctional overcrowding is a serious problem in realizing the goals of the
criminal justice system. This thesis examines two problems, namely how is the
criminal law policy to reduce overcrowded prison inmates? and why are there
inhibiting factors in criminal law policies to reduce overcrowding of penitentiary
inmates?
To answer these problems, normative juridical and empirical juridical research
methods are used with statutory approaches, conceptual approaches, case
approaches (empirical facts) and philosophical approaches. The data used are
primary and secondary data, which are analyzed qualitatively to conclude.
The results of the study show that criminal law policies to reduce overcrowding of
penal inmates consist of penal and non-penal policies. The penal policy is through
criminal individualization and the application of day fines. While the non-penal
policy is through a good time allowance coaching program and optimizing the
settlement of crimes based on restorative justice. Of the four forms of this policy,
only the settlement of criminal cases through restorative justice has been done so
far. However, the settlement of criminal cases based on restorative justice is not
evenly distributed because it has not touched all types of criminal acts, so it needs
to be optimized. Barriers to overcrowding of penitentiaries are caused by overcriminalization
in material criminal law, lax terms of detention and long prison
terms, restrictions on granting remissions, increasing the capacity of correctional
institutions requiring additional budgets, negative public understanding of exconvicts
so that ex-convicts will commit crimes again and re-enter the
penitentiary.
To overcome the overcrowding of prison inmates, efforts are needed to strengthen
coaching programs and accelerate the reintegration of convicts, as well as reform
criminal law legislation through decriminalization for certain types of crimes that
contribute significantly to the overcrowding of prisons.
Keywords: Prison Over-crowded, Criminal Law Policy, Prison InhabitantsAndika Reza 21220111272023-05-04T04:08:37Z2023-05-04T04:08:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71208This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712082023-05-04T04:08:37ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN TIDAK
MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika membutuhkan
peran serta masyarakat, khususnya dalam melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Pada kenyataanya terdapat masyarakat yang tidak mau melaporkan dalam hal
mengetahui adanya tindak pidana narkotika. Permasalahan penelitian ini adalah apakah
faktor penyebab terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan terhadap kejahatan tidak
melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur
pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber terdiri dari
Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjung Karang, Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila dan
Akademisi Kriminologi FISIP Unila. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika terdiri dari:
masyarakat tidak mau berurusan dengan masalah hukum karena dianggap akan
merepotkan dirinya sendiri, masyarakat takut terhadap pelaku dan sindikatnya yang
berpotensi mengancam keselamatan jiwanya apabila diketahui melaporkan tindak
pidana narkotika dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai perlindungan
hukum apabila melaporkan adanya tindak pidana narkotika kepada penegak hukum.
Upaya penanggulangan kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
secara non penal adalah dengan melakukan penyuluhan mengenai kesadaran hukum
kepada masyarakat agar masyarakat bersedia menjadi pelapor tindak pidana narkotika
dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan pelapor. Upaya penal dilakukan
dengan penyelidikan dan penyidikan. Penyidik melakukan tindakan dalam hal dan
menurut cara yang diatur undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya penegak hukum mengatasi faktor
penyebab terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
dengan meningkatkan penyuluhan mengenai perlindungan hukum terhadap
masyarakat. Selain itu agar menerapkan sistem aplikasi pelaporan tindak pidana demi
menjaga kerahasiaan dan keamanan pelapor. Hendaknya penegak hukum
mengoptimalkan upaya penanggulangan kejahatan tidak melaporkan adanya tindak
pidana narkotika baik melalui sarana non penal maupun penal.
Kata Kunci: Kriminologis, Kejahatan, Melaporkan, Narkotika.
ABSTRACT
Efforts to overcome and eradicate narcotics crimes require community participation,
especially in reporting narcotics crimes. In fact, there are people who do not want to
report knowing that there is a narcotic crime. The problem of this research is whether
the factors that cause crime do not report the existence of narcotics crime and how are
efforts to deal with crime against crime not reporting narcotics crime?
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Data
collection procedures with literature studies and field studies. The resource persons
consisted of investigators from the Bandar Lampung Police Narcotics Research Unit,
Class IA Tanjung Karang District Court Judges, Unila Faculty of Law Criminal Law
Academics and Unila FISIP Criminology Academics. Data were analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that: Factors that lead to crimes not
reporting narcotics crimes consist of: the public does not want to deal with legal issues
because they are considered to be a hassle for themselves, the community is afraid of
the perpetrators and their syndicates which have the potential to threaten their life
safety if they are found to report acts narcotics crime and the lack of public
understanding regarding legal protection when reporting narcotics crimes to law
enforcement. Efforts to deal with crime by not reporting the existence of narcotics
crimes in a non-penalistic way is by conducting outreach regarding legal awareness to
the public so that people are willing to become reporters of narcotics crimes and
provide guarantees for the security and safety of reporters. Penal efforts are carried
out by investigation and investigation. Investigators take action in matters and
according to the manner stipulated by law to seek and collect evidence with that
evidence to shed light on the crime that occurred and to find suspects who have not
reported a narcotics crime.
The suggestion in this study is that law enforcers should overcome the factors that
cause crime by not reporting narcotics crimes by increasing counseling regarding legal
protection for the community. In addition, to implement a criminal action reporting
application system in order to maintain the confidentiality and security of the reporter.
Law enforcers should optimize their crime prevention efforts by not reporting narcotics
crimes either through non-penal or penal means.
Keywords: Criminologist, Crime, Reporting, Narcotics. AGUNG PERKASA MUHAMMAD MERPI 21220110922023-05-04T03:17:48Z2023-05-04T03:18:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71205This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712052023-05-04T03:17:48ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Studi Putusan Nomor: 5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu)
Kejahatan pencabulan merupakan bagian dari kejahatan kesusilaan. Perbuatan cabul
tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak di bawah
umur. Anak-anak yang menjadi korban pencabulan baik langsung maupun tidak langsung
akan mengalami berbagai gangguan baik itu fisik maupun non-fisik yang ditimbulkan dari
peristiwa pencabulan yang dialami. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pemidanaan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan berdasarkan Putusan Nomor:
5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu dan salah satu alasan mengapa hakim menjatuhkan
pemidanaan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif dan
yuridis empiris, narasumber dalam penelitian adalah Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi,
Jaksa Kejaksaan Negeri Lampung Utara, Advokad dan Akademisi Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana pencabulan berdasarkan Putusan Nomor: 5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu tidak tepat
karena putusan hakim dianggap masih belum sesuai dengan isi Pasal 81 Undang - Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan bahwa untuk perkara
pidana pencabulan diancam dengan hukuman penjara minimal selama 5 (lima) tahun dan
jika terpidana adalah anak maka anak dipidana paling lama ½ (satu per dua) dari ancaman
maksimum yang dijatuhkan terhadap orang dewasa, tetapi praktiknya menjatuhkan pidana
hanya perawatan/rehabilitasi selama 6 (enam), selain itu hakim tidak memperhatikan
kondisi korban anak yang mengalami trauma berat. Hakim juga menjatuhkan pemidanaan
lebih rendah dikarenakan hakim mempertimbangkan putusan kesatu dan kedua serta hanya
menggunakan undang-undang yang bersifat khusus selain itu hakim mempertimbangkan
aspek sosiologis serta pertimbangan dampak psikologis terdakwa anak.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Putusan hakim hendaknya
mempertimbangkan aspek kerugian yang dialami oleh korban agar dapat memberikan efek
jera bagi pelaku selain itu hakim tidak mengesampingkan faktor memberatkan sehingga
putusan yang dikeluarkan memenuhi rasa keadilan, oleh karena itu dalam memberikan
putusan seharusnya hakim benar-benar melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan hukum, agar keadilan sebenar-benarnya dapat tercapai serta hak
ganti rugi juga seharusnya dijatuhkan oleh hakim pengadilan kepada pelaku meskipun tidak
dimohonkan dalam dakwaan penuntut umum. (2) Pelaku anak dan korban anak yang samasama
di bawah umur, keduanya harus dilihat sebagai orang yang sakit secara psikis
sehingga keduanya butuh perawatan secara berimbang.
Kata Kunci: Pemidanaan, Anak Pelaku, Tindak Pidana Pencabulan
The crime of obscenity is part of the crime of decency. These obscene acts are not
only committed by adults but also committed by minors. Children who are victims
of sexual abuse either directly or indirectly will experience various disorders, both
physical and non-physical, arising from the abuse event experienced. The problem
in this study is the punishment of children as perpetrators of criminal acts of
obscenity based on Decision Number: 5 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN. Kbu and why
the judge imposed a sentence lower than the Public Prosecutor's charge.
The problem approach that will be used in this study is juridically normative and
empirically juridical, the resource persons in the study are the Kotabumi District
Court Judge, the North Lampung District Attorney's Prosecutor, the Advocate and
Academician of the Faculty of Law, University of Lampung.
The results showed that the conviction of children as perpetrators of sexual abuse
based on Decision Number: 5 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN. Kbu is not appropriate
because the judge's decision is considered still not in accordance with the contents
of Article 81 of Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection, which
explains that for criminal cases of obscenity is threatened with a minimum prison
sentence of 5 (five) years and if the convicted person is a child, the child is
sentenced to a maximum of 1/2 (one half) of the maximum threat imposed on adults,
However, the practice is to impose a crime of only treatment/rehabilitation for 6
(six), besides that the judge does not pay attention to the condition of child victims
who have suffered severe trauma. The judge also imposed a lower sentence because
the judge considered the first and second verdicts and only used specific laws in
addition to the judge considering sociological aspects and considering the
psychological impact of child defendants.
The suggestions in this study are as follows, among others: (1) The judge's decision
should consider aspects of losses suffered by victims in order to provide a deterrent
effect for the perpetrator besides that the judge does not rule out aggravating
factors so that the verdict issued meets the sense of justice, therefore in giving a
decision the judge should really look at all aspects based on legal certainty,
expediency and legal justice, so that true justice can be achieved and the right to
compensation should also be imposed by the judge trial to the perpetrator although
not pleaded in the public prosecutor's indictment. (2) Child perpetrators and child
victims who are both minors, both should be seen as psychologically ill and
therefore both need balanced treatment.
Keywords: Conviction, Child of the Perpetrator, Criminal Acts of ObscenityZULFIANA SITI YUNITA 20220110242023-05-03T07:07:55Z2023-05-03T07:07:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71202This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712022023-05-03T07:07:55ZPERAN PENYIDIK DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEREKRUTAN DAN PENGIRIMAN PEKERJA MIGRAN NON PROSEDURAL DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2022 (Studi Kasus Polda Lampung)
Kejahatan Tindak Pidana perdagangan orang dalam bentuk Perekrutan, dan Pengirimapekerja migran Indonesia secara Non-prosedural di Provinsi Lampung tahun 2022 jumlakasusnya semakin meningkat. Berdasarkan data yang tercatat di Kepolisian Polda Lampung tahun2022, mayoritas masyarakat yang menjadi korban perekrutan PMI secara Non-Prosedural darikalangan perempuan serta anak-anak di bawah umur. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagkorban yang telah di rekrut secara Non-Prosedural di butuhkan peran Penyidik Kepolisian PoldaLampung dalam penegakan hukumnya. Permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu, BagaimanaPeran Penyidik Kepolisian Polda Lampung dalam penegakan hukum tindak pidana perekrutan dapengiriman pekerja migran Non-Prosedural di Provinsi Lampung tahun 2022? Apakah faktorpenghambat Penyidikan tindak Pidana Perekrutan dan pengiriman pekerja migran Non-proseduraasal Lampung tahun 2022?
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pendekatan yuridinormatif dan Empiris, dengan mengkaji dan menganalisis ke-efektifan peraturan Undang-Undanyang berlaku di kaitkan dengan fakta yang di peroleh dari studi lapangan serta pemecahan masaladengan teori peran dan teori penegakan hukum. Hasil penelitian yang di peroleh dari tahun 2021sampai dengan tahun 2022 jumlah kasus perekrutan dan pengiriman PMI Non-Prosedural diProvinsi Lampung semakin meningkat, salah satu penyebabnya adalah faktor minimnya peluangkerja diprovinsi Lampung, mudahnya pembuatan Paspor liburan, serta lemahnya pemeriksaalintas batas oleh pihak Imigrasi sehingga calon pekerja Migran memilih jalan pintas bekerja secarNon-prosedural ke luar negeri untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarganya. Dengan adanypeningkatan jumlah kasus tersebut Penyidik Kepolisian Polda Lampung berperan melakukapenyelidikan dan penyidikan untuk menemukan peristiwa pidananya serta menegakkan hukumterhadap pelaku perekrut Non-Prosedural agar mendapat sangsi berdasarkan ketentuan UU Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan UU Nomor 18 tahu2017 tentang Pelindungan pekerja migran Indonesia.
Kesimpulan Penelitian bahwa Penyidik Kepolisian memiliki peran dalam penegakan hukum TPPO di antaranya Peran Normatif , peran ideal, peran faktual dalam bentuk upaya Preemtif, Upaya Preventif dan Upaya Represif. Faktor penghambat penyidikan berupa faktosubstansi hukum, faktor penegak hukum, faktor terbatasnya sarana dan prasarana, terbatasnyanggaran proses penyidikan, dan faktor masyarakat yang enggan melaporkan adanya kasus TPPOkepada Pihak Kepolisian. Saran atas penelitian ini terkait peran penyidik kepolisian dalammenyidik perkara TPPO kedepan hendaknya jumlah personil yang menangani perkara TPPO diProv Lampung ditambah jumlahnya mengingat selalu terjadi peningkatan kasusnya serta pihaPenyidik Kepolisian harus bekerjasama dengan Imigrasi, BP2MI, Dinas Tenaga ProvinsLampung dalam meningkatkan pengawasan keluar masuknya orang baik kedalam ataupun keluanegeri untuk mencegah terjadinya TPPO.
Kata kunci: Peran, Penyidik, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Non-prosedural.
OKTABER YULIUS2122011093 2023-04-27T06:56:21Z2023-04-27T06:56:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71146This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/711462023-04-27T06:56:21ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK TANAH TERKURUNG
UNTUK MEMPEROLEH AKSES JALAN
(Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)Salah satu kewajiban pemilik tanah adalah memberikan hak akses jalan bagi
bidang tanah tertutup yang berbatasan langsung dengan tanah miliknya.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat, kerap muncul permasalahan hukum terkait
dengan akses jalan bidang tanah tertutup. Tujuan penelitian ini menganalisis
perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang tertutup dalam memperoleh akses
jalan, juga menganalisis penyelesaian sengketa bagi pemilik tanah tertutup dalam
mendapatkan akses jalan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis
empiris yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertama, negara telah mengatur perlindungan hukum bagi pemilik tanah tertutup
dalam memperoleh akses jalan, diantaranya diatur dalam asas fungsi sosial tanah
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dianut oleh sistem
kepemilikan tanah Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Atas Tanah serta Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas
Tanah. Kedua, penyelesaian permasalahan tanah tertutup di Kota Bandar
Lampung mengutamakan prosedur mediasi dengan cara musyawarah mufakat
terkait pelaksanaannya, penyelesaian sengketa melalui Mediasi dapat dikatakan
menyelesaikan masalah secara lebih tuntas dibandingkan dengan penanganan
sengketa melalui lembaga peradilan, terutama terkait dengan antar pihak yang
bermasalah bersama sama menyelesaikan. Penyelesaian dengan prosedur mediasi
ini digunakan dalam kasus tanah tertutup yang terjadi di Kelurahan Durian
Payung, Kelurahan Panjang, Kelurahan Sumur Putri, dan Kelurahan Labuhan
Ratu Raya
Kata Kunci: Akses Jalan, Perlindungan Hukum, Tanah Tertutup.TAMARA RAHMADHANI FEBY20220110342023-04-13T07:35:35Z2023-04-13T07:35:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70760This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/707602023-04-13T07:35:35ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEREDARAN OBAT
TRADISIONAL YANG TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN POM
DI PROPINSI LAMPUNG
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 mengamanahkan bahwa obat tradisional harus aman, berkhasiat/ bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. setiap produk yang akan diedarkan harus memiliki izin edar untuk menjamin keamanan dan khasiat sediaan obat tradisional. Akan tetapi masih banyak ditemukan kasus obat tradisional tanpa izin edar. oleh karena itu perlu dilakukan analisa proses penegakan hukum terhadap pelanggaran obat tradisional tanpa izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil Badan POM di Propinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif empiris dan pendekatan teori Lawren M Friedman yaitu penegakan hukum dipengaruhi faktor struktur, substansi dan budaya hukum. Badan POM yang secara struktur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2017 diberi keweangan melakukan pengawasan peredaran obat tradisional dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan, terus melakukan sinkronisasi secara struktur maupun substansi. Hasil penelitian menunjukan dari proses pengawasan yang dilakukan Badan POM tahun 2019-2022 terdapat 160 sarana distribusi yang tidak memenuhi ketentuan (dari total 396 sarana yang diperiksa) yaitu menjual produk obat tradisional tanpa izin edar. Sanksi administratif diberikan kepada sarana yang melakukan pelanggaran selama proses pengawasan. Sedangkan proses penegakan hukum merupakan ultimum remedium atau pilihan terakhir yang dilakukan setelah pelaku usaha mengulangi kesalahan mengedarkan obat tradisional tanpa izin edar setelah dilakukan pembinaan. Data penindakan pada tahun 2021 menunjukkan 3 kasus dilanjutkan ke proses projustisia (dari 9 kasus obat tradisional tanpa izin edar). Masih beredarnya obat tradisonal tanpa izin edar tentu tidak lepas dari budaya aparat penegak hukum, pelaku usaha maupun masyarakat. Badan POM terus berupaya melakukan advokasi kepada stake holder, bimbingan teknis kepada pelaku usaha dan penyuluhan kepada masyarakat agar peredaran obat tradisional tanpa izin edar bisa diatasi dengan optimal.
Kata kunci: Faktor Penegak Hukum, Badan POM, PPNS, Tindak Pidana Obat Tradisional Tanpa Izin Edar
Health Law No. 36 of 2009 mandates that traditional medicines must be safe, efficacious/beneficial, of high quality, and affordable. every product to be distributed must have a distribution permit to guarantee the safety and efficacy of traditional medicinal preparations. However, there are still many cases of traditional medicines without distribution permits. Therefore it is necessary to analyze the law enforcement process against violations of traditional medicines without distribution permits by investigators from National Agency of Drug and Food Control civil servants in Lampung Province. This research was conducted using empirical normative methods and the theoretical approach of Lawrence M Friedman, namely law enforcement is influenced by structural, substance and legal culture factors. National Agency of Drug and Food Control, which is structurally based on Government Regulation Number 80 of 2017 is given the authority to supervise the circulation of traditional medicines and enforce the law against violations committed, continues to synchronize both structurally and substance. The results showed that from the supervision process carried out by the National Agency of Drug and Food Controlin 2019-2022, there were 160 distribution facilities that did not meet the requirements (out of a total of 396 facilities examined), namely selling traditional medicinal products without distribution permits. Administrative sanctions are given to facilities that commit violations during the supervision process. Meanwhile, the law enforcement process is an ultimum remedium or last resort that is carried out after business actors repeat the mistake of distributing traditional medicines without a distribution permit after coaching. Enforcement data for 2021, 3 cases will proceed to the pro-justisia process (out of 9 cases of traditional medicines without distribution permits). The circulation of traditional medicines without a distribution permit cannot be separated from the culture of law enforcement officials, business people and society. National Agency of Drug and Food Control continues to make efforts to advocate for stake holders, provide technical guidance to business actors and educate the public so that the distribution of traditional medicines without a distribution permit can be handled optimally.
Key Word: Law Enforcement Factors, National Agency of Drug and Food Control, Civil Servant Investigator, Traditional Medicine Crime Without Distribution Permit
RAHAWATI YULIA21220111262023-04-13T07:00:27Z2023-04-13T07:00:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70746This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/707462023-04-13T07:00:27ZImplementasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 742 K/Pdt/2004 tentang Sengketa Lahan antara PT Perkebunan Nusantara VII dengan Sumarno Cs
Penelitian ini meneliti Putusan MA Nomor 742/K/Pdt/2004 tentang sengketa lahan antara PT Perkebunan Nusantara VII dan Sumarno cs dalam konteks implementasi dan faktor-faktor yang menghambat implementasi tersebut. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris, berdesain deskriptif, dan kualitatif dalam jenis data dan analisisnya. Data primer yang digunakan adalah data wawancara, sementara data sekunder yang digunakan adalah dokumen Putusan MA Nomor 742/K/Pdt/2004, Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor 12/Pdt.G/2001/PN.KLD, dan Putusan Banding Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 10/Pdt/2003/PT.TK. Penelitian ini juga menggunakan dokumen-dokumen seperti bentuk buku, jurnal, dan tulisan-tulisan serupa
Permasalahan dalam penelitian ini, bagaimanakah implementasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 742 K/Pdt/2004 di Desa Sidodadi Asri Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan dan faktor apa saja yang mempengaruhi sulitnya implementasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 742 K/Pdt/2004 dapat dilaksanakan.
Hasil kesimpulan penelitian menyatakan bahwasannya implementasi Putusan MA Nomor 742/K/Pdt/2004 yang memutus perkara perdata antara Sumarno, cs dan PTPN VII tidak dilaksanakan dengan semestinya sesuai dengan Hukum Acara Perdata, yakni dengan paksa sebab eksekusi suka rela tidak sepenuhnya dilakukan dengan tanpa syarat. Implementasi yang terjadi di lapangan adalah adanya kesepakatan sewa antara para pihak ketika eksekusi, yang mana hal tersebut menjadi suatu resolusi konflik pasca peradilan. Adanya kesepakatan sewa antara PTPN VII dan Sumarno, cs menandai bahwa tidak sepenuhnya putusan tersebut dilaksanakan, dan juga tidak seluruhnya tidak dilaksanakan. Faktor yang menyebabkan tidak dapat dijalankannya eksekusi tersebut sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata adalah adanya prioritas kemanfaatan hukum yang mempertimbangkan dampak sosial, kemanusiaan, dan politik dari penegak hukum, yang disertai dengan melunaknya sikap PTPN VII yang rela melakukan kesepatan sewa menyewa alih-alih memaksa pihak tergugat untuk mengosongkan tanah yang mereka menangkan sebagaimana tertulis dalam putusan pengadilan.
Pada akhirnya saran yang bisa diberikan kepada penegak hukum seharusnya memiliki peran yang aktif untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam eksekusi, terutama dalam perkara perdata. Sementara saran untuk PTPN VII diharapkan dapat segera membuat aturan atau dasar hukum kebijakan perusahaan tentang mekanisme sewa. Hal itu meliputi bentuk kontrak, lama kontrak, besaran sewa, dan lain sebagainya. Hal ini demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebagai akibat dari ketidak jelasan yang berlarut-larut.
Kata Kunci: Sengketa Lahan, Implemantasi Putusan, 742 K/Pdt/2004, Kepastian Hukum, PTPN VII, Sumarno Cs
This research examines the Supreme Court Decision No. 742/K/Pdt/2004 concerning land disputes between PT Perkebunan Nusantara VII and Sumarno cs in the context of implementation and the factors that hinder this implementation. This research uses empirical normative legal research, descriptive in design, and qualitative in the type of data and analysis. The primary data used is interview data, while the secondary data used is the Supreme Court Decision No. 742/K/Pdt/2004, Kalianda District Court Decision No. 12/Pdt.G/2001/PN.KLD, and the Tanjung Karang High Court Appeal Decision. Number 10/Pdt/2003/PT.TK. This research also uses documents in the form of books, journals, and similar writings
The problem in this research is how is the implementation of Supreme Court Decision No. 742 K/Pdt/2004 in Sidodadi Asri Village, Jati Agung District, South Lampung Regency and what factors affect the difficulty of implementing the Supreme Court Decision.
The results of the research conclusion stated that the implementation of the Supreme Court Decision Number 742/K/Pdt/2004 which decided on a civil case between Sumarno, cs and PTPN VII was not carried out properly in accordance with the Civil Procedure Code, namely by force because voluntary execution was not fully carried out without conditions. . The implementation that occurs in the field is the existence of a lease agreement between the parties at the time of execution, which becomes a post-trial conflict resolution. The existence of a lease agreement between PTPN VII and Sumarno, cs indicates that the decision is not fully implemented, and also not entirely implemented. The factor causing the execution to not be carried out as regulated by the Civil Procedure Code is the priority of legal benefits that take into account the social, humanitarian and political impacts of law enforcement, which is accompanied by the softening of PTPN VII's attitude which is willing to enter into a lease agreement. -instead of forcing the defendants to vacate the land they won as written in the court decision.
In the end, the advice that can be given to law enforcers should have an active role in carrying out humanitarian considerations in execution, especially in civil cases. While suggestions for PTPN VII are expected to immediately make rules or legal basis for company policies regarding the leasing mechanism. This includes the form of the contract, the length of the contract, the amount of rent, and so on. This is to avoid unwanted things as a result of protracted obscurity.
Keywords: Land Dispute, Decision Implementation, 742 K/Pdt/2004, Legal Certainty, PTPN VII, Sumarno Cs
PARULIAN FERDINANDUS MARIDEN21220110752023-04-12T02:04:50Z2023-04-12T02:04:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70552This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705522023-04-12T02:04:50ZIMPLEMENTASI PENGAWASAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISONAL EMPIRIS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) empiris menjadi alternatif pilihan masyarakat Indonesia dalam upaya pengobatan, dikarenakan Yankestrad mudah ditemui dan biayanya murah, juga karena pengobatan medis belum sepenuhnya dapat mengatasi semua masalah kesehatan. Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat dalam memanfaatkan Yankestrad, terjadi fenomena yaitu banyaknya bermunculan Yankestrad tanpa izin, yang juga terjadi di Kota Metro. Hal ini mengharuskan Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap Yankestrad empiris sebagai wujud perlindungan kepada masyarakat. Penyelenggaraan Yankestrad empiris harus memenuhi standar yang telah diatur dalam UU Kesehatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi pengawasan pelayanan kesehatan tradisional empiris berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 di Dinas Kesehatan Kota Metro? dan apakah faktor yang mempengaruhi pengawasan pelayanan kesehatan tradisional empiris berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 di Dinas Kesehatan Kota Metro?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Sumber data dari studi lapangan dengan wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pengawasan Yankestrad empiris yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Metro berpedoman pada PMK Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris namun pelaksanaannya belum optimal. Pelaksanaan yang belum optimal ini secara tidak langsung mengakibatkan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik belum terpenuhi. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi pengawasan pelayanan kesehatan tradisional empiris di Dinas Kesehatan Kota Metro dari faktor yuridis seperti belum ada kebijakan daerah terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional empiris dan dalam PMK Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris belum dijelaskan secara lengkap mengenai pasal terkait penerapan sanksi administrasi terhadap penyehat tradisional yang belum memiliki STPT; faktor sosial seperti pemahaman masyarakat masih belum baik terhadap pentingnya izin dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional empiris; faktor teknis seperti Dinas Kesehatan Kota Metro belum memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) pengawasan terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional empiris, kurangnya sumber daya manusia, minimnya sumber dana, serta sarana prasarana pendukung yang terbatas. Diharapkan dukungan Pemerintah Daerah dan Lintas Sektoral dalam rangka penertiban terhadap Yankestrad empiris yang belum memiliki izin sehingga dapat menjamin keamanan penyelenggaraan Yankestrad. Kata Kunci: Pengawasan, Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, Permenkes No. 61 Tahun 2016.
Empirical traditional health service is an alternative choice for the Indonesian people in their treatment efforts, because this is easy to find and the cost is low and also because medical treatment has not completely overcome all health problems. Along with the increasing public interest in utilizing this traditional health service, a phenomenon has occurred, namely the emergence of many empirical traditional health service without permits, this also happened in Metro City. This requires the Government to supervise empirical traditional health service as a form of protection for the public. The implementation of empirical traditional health service must meet the standards set out in the Law on Health. The problem in this research is how to implement empirical traditional health service supervision based on Law no. 36/2009 at the Metro City Health Office? and what are the factors influencing empirical traditional health service supervision based on Law no. 36/2009 at the Metro City Health Office?. This research use empirical juridical methode. Source of data from field studies with interviews and literature. The results showed that the implementation of empirical traditional health service supervision carried out by the Metro City Health Office was guided by Minister on Health Regulation No. 61/2016 on Empirical Traditional Health Services but has not been implemented optimally. This indirectly causes the public right have not been fulfilled to obtain good health service. The factors that influence the implementation of empirical traditional health service supervision at the Metro City Health Office are from juridical factors such as there is no regional policy regarding the implementation of empirical traditional health services and in the Minister on Health Regulation No. 61/2016 there has not been a complete explanation regarding the articles related to the application of administrative sanctions against health workers traditional who do not have permits; social factors such as the community's poor understanding of the importance of permits of empirical traditional health services; technical factors such as the Metro City Health Office does not yet have an SOP (Standard Operating Procedure) for supervision of empirical traditional health service providers, lack of human resources, lack of financial resources, as well as limited supporting infrastructure. Suggested that the regional government and cross-sectoral to provide support in controlling empirical traditional health service which does not yet have a permit so that it can guarantee the secure of empirical traditional health service. Keywords: Supervision, Empirical Traditional Health Services, Minister on Health Regulation No. 61/2016
- MONALISA2122011005 2023-04-12T01:48:00Z2023-04-12T01:48:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70546This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705462023-04-12T01:48:00ZIMPLIKASI PEMBANGUNAN JALAN TOL TRANS SUMATERA
TERHADAP KEBERLANJUTAN LAHAN PERTANIAN DI PROVINSI LAMPUNG
Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera di Provinsi Lampung merupakan proyek strategis nasional yang bertujuan untuk memeratakan pembangunan. Akan tetapi proyek strategis nasional ini telah mengkonversi lahan pertanian pangan yang juga dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Penelitian ini mengkaji dua permasalahan yaitu (1) Bagaimana implikasi pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera terhadap keberlajutan lahan pertanian di Provinsi Lampung. (2) Bagaimana upaya perlindungan keberlajutan lahan pertanian yang diakibatkan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera di Provinsi Lampung. Metode yang digunakan yaitu metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera berimplikasi pada berkurangnya lahan pertanian seluas 69.71% yang merupakan lahan perkebunan dan 27.77% yang merupakan lahan pertanian dari jumlah keseluruhan lahan yang digunakan yaitu 6.324.671,00 m2. Hal ini mengakibatkan keberlanjutan lahan pertanian pangan terganggu. (2) Upaya perlindungan terhadap keberlanjutan lahan pertanian akibat pembangunan jalan Tol Trans Sumatera yaitu berdasarkan ketentuan yang berlaku pemerintah harus menyediakan lahan pengganti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, meski demikian alih fungsi lahan untuk kepentingan umum tetap diperkenankan dengan melaksanakan beberapa persyaratan, antara lain; dilakukan kajian kelayakan strategis, disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya, akan tetapi pemerintah belum melakukan upaya penyediaan lahan pengganti sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Dengan demikian lahan pertanian di Provinsi Lampung tidak terjamin keberlanjutannya.
Kata kunci: Pembangunan JTTS, Perlindunan, Lahan Pertanian.
The construction of the Trans Sumatra Toll Road in Lampung Province is a national strategic project that aims to equalize development. However, this national strategic project has converted food agriculture land which is also protected by laws and regulations. This study examines two problems, namely (1) What are the implications of the construction of the Trans Sumatra Toll Road for the sustainability of agricultural land in Lampung Province. (2) What are the efforts to protect the sustainability of agricultural land resulting from the construction of the Trans Sumatra Toll Road in Lampung Province. The method used is the method of normative juridical approach and empirical approach. The results of this study are (1) The construction of the Trans Sumatra Toll Road has implications for reducing 69.71% of agricultural land which is plantation land and 27.77% which is agricultural land of the total land used, namely 6,324,671.00 m2. This has resulted in the sustainability of agricultural food land being disrupted. (2) Efforts to protect the sustainability of agricultural land as a result of the construction of the Trans Sumatra Toll road, namely based on applicable provisions the government must provide replacement land in accordance with statutory provisions, however land conversion for public purposes is still permitted by implementing several requirements, among others; a strategic feasibility study was carried out, a land conversion plan was drawn up, the ownership rights were released, but the government has not made efforts to provide replacement land in accordance with applicable legal norms. Thus the sustainability of agricultural land in Lampung Province is not guaranteed.
Keywords: Construction of JTTS, Protection, Agricultural Land.
Nasikhin Rodhatul 2122011080 2023-04-10T03:59:40Z2023-04-10T03:59:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70511This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705112023-04-10T03:59:40ZKEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI LAMPUNG
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI
ERA OTONOMI DAERAHTerjadinya wabah COVID-19 di dunia juga berdampak disektor kelautan dan
perikanan, antara lain: Penurunan permintaan produk ekspor hasil perikanan
Provinsi Lampung, Penurunan permintaan hasil produksi perikanan baik pasar di
pasar lokal maupun luar daerah. Menurunnya permintaan berimbas pada
berkurangnya siklus produksi pembudidaya ikan dan pada akhirnya produksi
perikanan secara umum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
(1)Bagaimanakah Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Di Era Otonomi Daerah? (2) Bagaimanakah
Upaya Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Lampung Dalam Upaya Pencapaian
Produksi Perikanan Pada Era Otonomi Daerah . Metode yang digunakan yaitu
metode penelitian normative dan pendekatan peraturan Perundang-Undangan
(statute approach). Hasil dari penelitian ini adalah (1) Dalam Peraturan Gubernur
tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Lampung adalah sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang
kelautan dan perikanan yang dipimpin oleh seorang kepala dinas, yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur. Yang bertujuan untuk
mewujudkan Janji Kerja Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Periode 2019-2024
yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan yaitu Program Nelayan
Berjaya, mensejahterakan nelayan dan keluarga nelayan . (2) Solusi yang dilakukan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung adalah sebagai berikut :
Bantuan pakan buatan UNILA, Restocking/ Penebaran Ikan yang di lakukan di 4
Kab/ Kota, Pengembangan pakan mandiri yang bekerja sama dengan UNILA, yang
berupa mesin pakan ikan terapung, Revitalisasi pelabuhan perikanan dan
penambahan titik – titik pengisian bahan bakar untuk nelayan, Bantuan prasarana
usaha perikanan tangkap, berupa 1.200 bubu lipat dan 86 cool box, Perlindungan
kepada nelayan dengan bentuk Asuransi Nelayan Berjaya (ANB), Peningkatan
kapasitas nelayan dan fasilitasi perizinan / dokumen kapal, yang dilakukan dengan
bentuk kegiatan berupa sosialisasi pendaftaran dan perizinan pelaku usaha
perikanan tangkap, Mendorong penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan
mengurangi alat tangkap yang dilarang, dengan bentuk kegiatan pemantauan
destructive fishing
Kata Kunci: Kewenangan, Sumber Daya Perikanan, Otonomi Daerah
The occurrence of the COVID-19 outbreak in the world has also had an impact on
the marine and fisheries sector, including: Decreasing demand for export fishery
products from Lampung Province, Declining demand for fishery products both in
local and foreign markets. Declining demand has an impact on reducing the
production cycle of fish cultivators and ultimately fisheries production in general.
The problems in this research are (1) What is the Authority of the Regional
Government of Lampung Province in Managing Fishery Resources in the Regional
Autonomy Era? (2) What are the efforts of the Maritime Affairs and Fisheries
Service of Lampung Province in the Efforts to Achieve Fishery Production in the
Regional Autonomy Era. The method used is the normative research method and
the statutory approach. The results of this study are (1) In the Governor's
Regulation concerning the Elaboration of Main Tasks and Functions, the Maritime
Affairs and Fisheries Service of Lampung Province is an implementing element of
the regional government in the field of marine and fisheries led by a service head,
who is under and responsible to governor. Which aims to realize the Work Promise
of the Governor and Deputy Governor-elect for the 2019-2024 period relating to
the marine and fisheries sector, namely the Victorious Fisherman Program, which
will prosper fishermen and fishermen's families. (2) The solutions carried out by
the Maritime Affairs and Fisheries Service of Lampung Province are as follows:
Assistance with feed made by UNILA, Restocking/Scattering Fish which was
carried out in 4 Regencies/Cities, Development of independent feed in
collaboration with UNILA, in the form of floating fish feed machines , Revitalization
of fishing ports and addition of refueling points for fishermen, Assistance for
capture fisheries business infrastructure, in the form of 1,200 folding containers
and 86 cool boxes, Protection for fishermen in the form of Fishermen's Insurance
Berjaya (ANB), Increasing fishermen's capacity and facilitation of permits /
documents vessels, carried out in the form of activities in the form of socialization
of registration and licensing of capture fisheries business actors, encouraging the
use of environmentally friendly fishing gear and reducing prohibited fishing gear,
in the form of destructive fishing monitoring activities
Keywords: Authority, Fisheries Resources, Regional AutonomyIRAWAN DHENI 192201102023-03-31T06:20:49Z2023-03-31T06:20:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70304This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/703042023-03-31T06:20:49ZANALISIS WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN PERDAMAIAN
(HOMOLOGASI) ANTARA PT LAUTAN WARNA SARI DAN
PT KERTAS LECES (PERSERO)
(Studi Putusan 05/PKPU/2014/PN.Niaga.Sby)
Upaya perdamaian yang diajukan oleh badan usaha PT Kertas Leces (Persero) (selanjutnya
disebut Termohon) dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU) yang
bekerjasama dengan PT Lautan Warna Sari (selanjutnya disebut Pemohon), yang disahkan
menjadi Perjanjian Perdamaian (homologasi) yang diputus oleh Pengadilan Niaga dalam
Putusan No. 05/PKPU/2014/PN.Niaga.Sby. Perjanjian Perdamaian (homologasi) memuat
kesepakatan yang harus dipenuhi oleh termohon pada pemohon. Namun dalam
pelaksanaannya termohon lalai dan tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut sehingga
pemohon mengajukan pembatalan perjanjian perdamaian. Permohonan tersebut
dikabulkan oleh pengadilan melalui Putusan Nomor 1/Pdt.Sus.Pembatalan
Perdamaian/2018/PN Niaga.Sby sehingga menyatakan termohon pailit dengan segala
akibat hukumnya. Kepailitan memiliki dua syarat yaitu (1) ada dua atau lebih kreditur dan (2)
ada satu utang yang telah jatuh waktu atau jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable)
yang tidak dibayar lunas oleh debitur. Penelitian akan membahas 2 (dua) permasalahan yaitu
(1) Akibat hukum wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian (homologasi) antara PT
Lautan Warna Sari dan PT Kertas Leces (Persero) dan (2) Upaya penyelesaian wanprestasi
terhadap perjanjian perdamaian (homologasi) antara PT. Lautan Warna Sari dan PT Kertas
Leces (Persero).
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu studi terhadap hukum yang
mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder yaitu
data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan.
Penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian
(homologasi) antara PT Lautan Warna Sari dan PT Kertas Leces (Persero) adalah adanya
pembatalan perjanjian perdamaian karena PT Kertas Leces sebagai debitor lalai memenuhi
kesepakatan dalam perjanjian sehingga debitor dinyatakan pailit. Debitor juga menanggung
ganti rugi dan peralihan risiko melalui pemberesan harta pailit debitor oleh kurator. Selain
itu, debitor juga membayar biaya perkara. Upaya penyelesaian wanprestasi terhadap
perjanjian perdamaian (homologasi) antara PT. Lautan Warna Sari dan PT Kertas Leces
(Persero) adalah melalui pemberesan harta pailit oleh konkuren dengan tata cara, pertama,
debitor akan membayar kreditor preferen, yaitu hak-hak normatif eks karyawan. Kedua,
debitor akan membayar persentase harta kekayaan debitor kepada kas negara sebagai
pemasukan bukan pajak dari kepailitan. Ketiga, debitor akan membayar para kreditor
lainnya sesuai dengan tagihan piutang. Penelitian menyarankan pemangku kebijakan di
Indonesia untuk mengkaji ulang standar kelayakan debitor atau termohon kepailitan dalam
pengabulan perjanjian perdamaian (homologasi). Selain itu, BUMN juga disarankan
memiliki strategi untuk mencegah kepailitan dan mekanisme yang mempriotaskan hak-hak
kesejahteraan karyawan apabila terjadi pailit.
Kata kunci: Akibat hukum; Pailit ; Perjanjian Perdamaian; Wanprestasi;
The peace agreement (homologation) was decided by the Surabaya District Commercial
Court No. 05/PKPU/2014/PN.Niaga.Sby involving the Directors of Lautan Warna Sari
Ltd. (hereinafter referred to as the applicant) and Kertas Leces (Persero) Ltd. (hereinafter
referred to as the respondent). The agreement is an application for Postponement of Debt
Payment Obligations or Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) submitted by
an applicant as one of the creditors and contains an negotiation that the respondent must
fulfill to the applicant. However, the respondent could not comply with these provisions,
hence the applicant applied to cancel the peace agreement. The court granted the
application through Decision Number 1/Pdt.Sus.Cancellation of Peace/2018/PN
Niaga.Sby, thereby declaring the respondent bankrupt with all the legal consequences.
Bankruptcy has two conditions including, (1) there are two or more creditors and (2) there
is one due and payable debt which is not paid in full by the debtor. The research will discuss
2 (two) problems, namely (1) The default’s legal consequences on the peace agreement
(homologation) between Lautan Warna Sari Ltd. and Kertas Leces (Persero) Ltd. and (2)
Efforts to settle defaults on peace agreements (homologation) between Lautan Warna Sari
Ltd. and Kertas Leces (Persero) Ltd.
The research approach is the study of normative that conceptualizes law as norms, rules,
regulations, and legislation that apply. The research uses a normative juridical approach
and an empirical juridical approach. The data used in this study are sourced from
secondary data obtained from library literature.
Research illustrates the default’s legal consequence on the peace agreement
(homologation) between Lautan Warna Sari Ltd. and Kertas Leces (Persero) Ltd. is the
peace agreement cancellation because Kertas Leces Ltd. as the debtor neglects to fulfill
the agreement in the agreement. Thus, the debtor is declared bankrupt. The debtor also
bears compensation and risk transfer through the curator's settlement of the debtor's
bankruptcy estate. In addition, the debtor also pays court fees. Efforts to settle defaults on
the peace agreement (homologation) between Lautan Warna Sari Ltd. and Kertas Leces
(Persero) Ltd. are through the bankruptcy assets procedure by the currator. First, the
debtor will pay the preferred creditor, namely the normative rights of ex-employees.
Second, the debtor will pay a percentage of the debtor's assets to the state treasury as nontax
income from bankruptcy. Third, the debtor will pay the other creditors according to the
receivables. Research suggests policy makers in Indonesia to review the eligibility
standards of debtors in peace agreements (homologation). In addition, State-Owned
Enterprises are also advised to have a strategy to prevent bankruptcy and a mechanism
that prioritizes employee welfare rights in the event of bankruptcy.
Keywords: Bankruptcy; Default; Legal Consequences; Peace Agreement.
MAHDALENA JUNIARTI MARIA 20220110092023-03-30T07:30:28Z2023-03-30T07:30:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70287This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702872023-03-30T07:30:28ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
DI BAWAH MINIMUM KHUSUS DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2022/PN Kot)Pidana minimal telah ditentukan didalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Namun praktiknya batas limit pidana minimum khusus
tersebut disimpangi oleh hakim, sehingga muncul friksi antara kepastian hukum
dan keadilan hukum. Tesis ini membahas dua permasalahan, pertama,
bagaimanakah dasar pertimbangan hukum Hakim dalam penjatuhan pidana di
bawah minimum khusus dalam perkara narkotika. Kedua, bagaimanakah dasar
pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana di bawah minimum khusus
ditinjau dari asas kepastian hukum.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris dengan mengkaji putusan pengadilan, kemudian peneliti melakukan
observasi untuk melihat penerapan dari undang-undang di dalam masyarakat.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, studi dokumen, studi kasus
dan wawancara pada narasumber.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa
pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika
dengan pidana di bawah minimum khusus adalah terdakwa hanya sebagai
pengguna atau penyalahguna narkotika, terdakwa mengkonsumsi narkotika hanya
untuk dirinya sendiri, hasil tes urine negatif, jumlah narkotika yang digunakan
relatif sedikit, dan tidak terdapat indikasi bahwa terdakwa menjual, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika. Selain itu, dasar
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana di bawah minimum khusus telah
berkepastian hukum. Dalam pertimbangannya Hakim mengakumulasikan ketentuan
peraturan-perundang-undangan dan ketentuan lainnya terkait tindak pidana
narkotika dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
Saran yang perlu disampaikan agar Hakim lebih progresif dalam membuat
pertimbangan hukum guna mengali nilai-nilai yang hidup di masyarakat serta
ketentuan mengenai hakim dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum
khusus dalam perkara narkotika perlu diatur dalam Undang-Undang Narkotika
dan Hakim harus mempertimbangkan dakwaan Penuntut Umum.
Kata kunci: Pertimbangan, Pidana, Minimum, Narkotika
Minimum punishment has been determined in Law Number 35 of 2009 concerning
Narcotics. However, in practice, the special minimum criminal limits are violated
by judges, resulting in friction between legal certainty and legal justice. This
thesis examines two issues. First, what is the basis for the Judge's legal
considerations in imposing a sentence below the special minimum in narcotics
cases? Second, what is the basis for the Judge's reviews in imposing a sentence
below the special minimum in the principle of legal certainty?
The research method used is a normative juridical and empirical juridical
approach by studying court decisions, then researchers make observations to see
the application of laws in society. Data collection was carried out through
literature studies, document studies, case studies, and interviews with source
person.
Based on the results of the research and discussion, it is concluded that the
consideration of judges legal in deciding cases of narcotics crimes with a crime
below a certain minimum is that the defendant is only a narcotics user or abuser,
the defendant consumes narcotics only for himself, the urine test result is
negative, the amount of narcotics used is relatively small, and there is no
indication that the defendant sold, became an intermediary in buying and selling,
exchanging, or handing over narcotics. In his consideration, the Judge
accumulates statutory, and other provisions related to narcotics crimes with the
legal facts revealed in the trial.
Suggestions that need to be conveyed so that judges are more progressive in
making legal considerations to multiply the values that live in society and
provisions regarding judges being able to deviate from the minimum criminal
conditions, specifically in narcotics cases, need to be regulated in the Narcotics
Law and judges must consider the charges of the Public Prosecutor.
Keywords: Consideration, Criminal, Minimum, NarcoticsNOVI LIDARTI ASTRY 21220110252023-03-30T07:16:35Z2023-03-30T07:16:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70222This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702222023-03-30T07:16:35ZANALISIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD
(DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA) TERHADAP
PERKARA TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 376.PID.B/2021/PN KOT)
Adanya persinggungan antara hukum perdata dan hukum pidana dalam perkara
penyerobotan tanah mengakibatkan terjadinya perselisihan pra-yudisial. Hal itu
menimbulkan diskursus keadilan pada masyarakat yang mengharapkan kepastian
terhadap penegakan hukum melalui acara pidana, terlebih lagi KUHAP tidak
mengenal putusan NO. Maka dari itu penelitian akan menjawab dua permasalahan
yaitu (1) bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap putusan Niet Ontvankelijke
Verklaard (N.O) pada putusan akhir tingkat pertama perkara tindak pidana
penyerobotan tanah? (2) apakah putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O) pada
perkara tindak pidana penyerobotan tanah sudah memenuhi nilai keadilan?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual.
Pengumpulan data dalam penelitian tesis ini dilakukan dengan menggunakan
instrumen studi pustaka dan wawancara. Selanjutnya analisis data dilakukan secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, putusan N.O pada putusan akhir tingkat pertama
perkara tindak pidana penyerobotan tanah, bertujuan untuk mencegah timbulnya
kontradiksi antar putusan pidana dan perdata, namun putusan N.O tersebut
bertentangan dengan KUHAP yang tidak mengenal putusan N.O. Maka dari itu
untuk perkara pidana tidak boleh ada putusan N.O. Jika surat dakwaannya tidak
bisa dijadikan dasar untuk mengadili perbuatan terdakwa, maka putusannya bisa
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dilihat dari
perspektif nilai keadilan, putusan N.O pada perkara penyerobotan tanah Nomor:
376.PID.B/2021/PN KOT tidak memenuhi nilai keadilan. Korban belum dapat
memiliki kembali tanah yang diakui miliknya, penuntut umum belum dapat
membuktikan kesalahan bagi pelaku dan pelaku belum mengetahui dengan pasti
terhadap status tanah tersebut. Selain itu, salah satu akibat atas putusan N.O ialah
perkara tersebut tidak bisa diadili kembali (ne bis in idem), sehingga tidak
terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.
Penelitian ini mengajukan saran kepada pemerintah untuk memformulasikan
pedoman perselisihan pra-yudisial ke dalam peraturan perundang-undangan. Selain
itu, Mahkamah Agung perlu melakukan pendidikan/pelatihan, pembinaan teknis
kepada seluruh hakim sehingga dapat mencegah terjadinya disparitas putusan
antara dua peradilan tentang suatu obyek yang sama.
Kata kunci: Penyerobotan Tanah, Putusan N.O, Keadilan
The intersection between civil law and criminal law in cases of land grabbing has
resulted in pre-judicial disputes. This gave rise to a discourse of Justice among the
people who expect certainty of law enforcement through criminal procedures.
Moreover, the Criminal Procedure Code does not recognize decision NO.
Therefore, this research will answer two problems: (1) how is the study of criminal
law against the decision of Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O) in the final decision
at the first instance of the crime of land grabbing? (2) Does Niet Ontvankelijke
Verklaard (N.O)'s decision in the land-grabbing criminal case fulfill the value of
Justice?
This research is normative research using a case, statutory, and conceptual
approach. Data collection in this thesis research was carried out using literature
study instruments and interviews. Furthermore, data analysis was carried out
qualitatively.
Based on the results of the research, the decision of the N.O in the final decision of
the first instance in the criminal case of land grabbing aims to prevent
contradictions between criminal and civil decisions, but the decision of the N.O is
contrary to the Criminal Procedure Code which does not recognize the decision of
N.O. Therefore, for criminal cases, there can be no decision by N.O. If the
indictment cannot be used to try the defendant's actions, then the decision can be
an acquittal or a decision free from all lawsuits. Viewed from the perspective of the
value of justice, the decision of N.O in the land grabbing case Number:
376.PID.B/2021/PN KOT does not fulfill the value of justice. The victim has not
been able to reclaim the land claimed to be hers, the public prosecutor has not been
able to prove the perpetrator's guilt, and the perpetrator does not know for sure the
status of the land. In addition, one of the consequences of N.O's decision was that
the case could not be retried (ne bis in idem) so that justice and legal certainty did
not materialize.
This study proposes suggestions to the government to formulate guidelines for pre-
judicial disputes into laws and regulations. In addition, the Supreme Court needs
to provide education/training and technical assistance to all judges to prevent
disparities in decisions between the two courts regarding the same object.
Keywords: Land grabbing, N.O's decision, Justice
RATRI PUTRISTIRA DHINDA 21220110842023-03-30T06:13:12Z2023-03-30T06:13:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70273This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702732023-03-30T06:13:12ZANALISIS PEMIDANAAN RINGAN TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PENJUALAN BARANG KENA CUKAI
TANPA DIBUBUHI TANDA PELUNASAN CUKAI
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penjualan barang kena cukai tanpa dibubuhi
tanda pelunasan cukai idealnya dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Cukai, tetapi pada kenyataannya hakim menjatuhkan pidana ringan
terhadap pelaku. Permasalahan penelitian ini adalah mengenai pemidanaan ringan
terhadap pelaku tindak pidana penjualan barang kena cukai tanpa dibubuhi tanda
pelunasan cukai dan faktor penghambat pemidanaan ringan terhadap pelaku tindak
pidana penjualan barang kena cukai tanpa dibubuhi tanda pelunasan cukai.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Sukadana dan akademisi Hukum
Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemidanaan ringan terhadap pelaku tindak
pidana penjualan barang kena cukai tanpa dibubuhi tanda pelunasan cukai dalam
Putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor: 234/Pid.Sus/2020/PN.Sdn disebabkan
karena terdakwa bukan sebagai pelaku utama tetapi sebagai pelaku turut serta. Selain
itu penjatuhan pidana disesuaikan dengan tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri
pelaku agar menjadi pribadi yang lebih baik setelah selesai menjalani masa pidana dan
pertimbangan ketidakmampuan terdakwa dalam membayar pidana denda, sehingga
dalam amar putusan tidak diperintahkan adanya eksekusi terhadap harta benda dan/atau
pendapatan terdakwa dalam hal tidak mampu membayar denda. Faktor penghambat
pemidanaan ringan terhadap pelaku tindak pidana penjualan barang kena cukai tanpa
dibubuhi tanda pelunasan cukai terdiri faktor susbtansi hukum yaitu belum tersedianya
peraturan yang memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membayar denda
secara bertahap dalam periode waktu tertentu. Faktor penegak hukum yaitu hakim
dalam menjatuhkan pidana denda pada terdakwa bersifat subsidair, sehingga terdakwa
lebih memilih untuk menjalani pidana kurungan pengganti. Faktor masyarakat yaitu
terpidana lebih memilih menjalani kurungan pengganti dibandingkan membayar denda.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya Majelis hakim yang menangani perkara
tindak pidana penjualan barang kena cukai tanpa dibubuhi tanda pelunasan cukai lebih
menekankan pidana denda terhadap terdakwa dibandingkan dengan pidana penjara.
Pemerintah hendaknya memformulasikan suatu peraturan yang memberikan
kesempatan kepada terpidana untuk membayar denda secara bertahap dalam periode
waktu tertentu.
Kata Kunci: Pemidanaan, Pelaku, Cukai.
Ideally, the punishment for the perpetrators of the criminal act of selling excisable
goods without affixing a sign of payment of excise duty is carried out optimally in
accordance with the provisions of the Excise Law, but in reality the judge imposed a
light sentence on the perpetrator. The problem of this research is regarding the lenient
punishment of the perpetrators of the crime of selling excisable goods without affixing
the excise payment mark and the inhibiting factors of the lenient punishment of the
perpetrators of the crime of selling excisable goods without affixing the excise payment
mark.
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. The
resource persons consisted of judges at the Sukadana District Court and criminal law
academics from the Unila Law Faculty. Data collection was carried out by means of
literature and field studies, then analyzed qualitatively.
The results of this study indicate that the light punishment of the perpetrators of the
crime of selling excisable goods without affixing a sign of payment of excise in the
Decision of the Sukadana District Court Number: 234/Pid.Sus/2020/PN.Sdn is caused
because the defendant is not the main actor but as a participant . In addition, the
sentencing is adjusted to the purpose of sentencing to improve the offender so that he
becomes a better person after completing his criminal term and considering the
defendant's inability to pay a fine, so that in the verdict the verdict does not order
execution of the defendant's property and/or income in the case of unable to pay the
fine. The inhibiting factors for mild punishment against the perpetrators of the crime of
selling excisable goods without affixing a sign of payment of excise consist of factors of
legal substance, namely the absence of regulations that provide an opportunity for
convicts to pay fines in stages over a certain period of time. The law enforcement
factor, namely the judge in imposing fines on the accused, is subsidiary in nature, so
that the defendant prefers to undergo alternative imprisonment. The community factor
is that the convict prefers to undergo replacement confinement rather than pay a fine.
The suggestion in this research is that the panel of judges who handle the criminal case
of the sale of excisable goods without affixing a mark of excise payment should
emphasize fines against the defendant compared to imprisonment. The government
should formulate a regulation that gives convicts the opportunity to pay fines in stages
over a certain period of time
Keywords: Punishment, Perpetrators, Excise.
RIDHO PRATAMA BAMBANG 19220110702023-03-17T01:41:22Z2023-03-17T01:41:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70126This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/701262023-03-17T01:41:22ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG UNTUK TUJUAN EKSPLOITASI
(Studi Putusan Nomor :1126/Pid.sus/2021/PN.TJK)
Eksploitasi sosial adalah segala bentuk penyalahgunaan ketidakmampuan seorang yang dapat
menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional. Eksploitasi seksual adalah melibatkan
seorang dalam kegiatan seksual.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi (Studi Putusan Nomor:
1126/Pid.Sus/ 2021/Pn.Tjk) Apakah putusan pengadilan telah memenuhi keadilan terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi (Studi Putusan
Nomor:1126/Pid.sus/ 2021/PN.TJK)?
Hasil kesimpulan penelitian yaitu Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pelaku
tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan prostitusi, terdakwa sebagai mucikari dan
didakwakan Pasal 296 KUHP, dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang
menjatuhkan putusan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan, yakni lebih ringan dari
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung selama 1 (satu)
tahun.Dalam Putusan Nomor: 1126/Pid.sus/ 2021/PN.TJK, Dasar pertimbangan hakim
menjatuhkan hukuman adalah berdasarkan fakta dipersidangan, barang bukti yang dihadirkan
Jaksa Penuntut Umum dan keterangan saksi-saksi maupun keadaan yang memberatkan dan
meringankan, serta keadaan pelaku. Berpedoman pada teori pertimbangan hakim, terdakwa
terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan.
Pada bagian akhir, saran yang dapat diberikan, Hendaknya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Tanjungkarang memberikan hukuman lebih berat, supaya perkara ini menjadi contoh bahwa
sanksi dalam tindak pidana itu menimbulkan efek jera terhadap para pelakunya, sehingga
dengan hukuman tersebut bisa menekan pelaku tindak pidana perdagangan orang khusunya
diwilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Dalam menjatuhkan vonis hukuman
penjara terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang, hendaknya Majelis Hakim Hakim
juga memberikan pedampingan terhadap pelaku, agar perbuatan pelaku tidak terulang
Kembali dan bisa menggunakan keahlian lain pelaku untuk bisa mendapatkan uang yang
halal.
Kata Kunci : Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Pelaku, Tindak Pidana, Perdagangan
Orang, Eksploitasi
GALIH PUTRA SANDY 21220110202023-02-23T01:46:04Z2023-02-23T01:46:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69895This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/698952023-02-23T01:46:04ZPENEGAKAN HUKUM PEROMPAKAN KAPAL BERBENDERA ASING
(Studi Kasus di Wilayah Kepolisian Daerah Lampung)
Hukum nasional dan internasional telah mengatur segala hubungan antar negara di wilayah laut, namun kejahatan perompakan masih menjadi masalah di semua negara yang masuk dalam wilayah pantai termasuk perompakan kapal asing yang pelakunya tidak hanya berasal dari masyarakat lokal namun juga dari masyarakat internasional. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah penegakan hukum pidana perompakan kapal berbendera asing di wilayah hukum kepolisian daerah Lampung, Mengapa terdapat faktor menghambat dalam penegakan hukum pidana perompakan kapal berbendera asing di Indonesia dan bagaimanakah model penegakan hukum ideal terhadap kasus-kasus perompakan kapal berbendera asing di Indonesia.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif dan pencekatan yuridis empiris, pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan studi kepustakaan serta di analisis menggunakan data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana perompakan kapal berbendera asing di wilayah hukum Kepolisian Daerah Lampung sudah sesuai dengan peraturan mulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi tahap eksekusi semua sudah dilaksanakan dengan baik dan tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Faktor yang cukup dominan menghambat penegakan hukum pidana perompakan kapal berbendera asing di wilayah hukum Indonesia adalah faktor sarana dan fasilitas serta faktor aparat penegak hukum. Model penegakan hukum ideal terhadap kasus-kasus perompakan kapal berbendera asing di Indonesia adalah dengan cara melakukan kerjasama dengan institusi yang ada di negara Indonesia yang diberikan tugas untuk melakukan pengamanan laut Indonesia serta melakukan kerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan negara dari luar ASEAN yang memiliki kepentingan di perairan wilayah Asia Tenggara melalui perjanjian bilateral maupun multilateral serta memperluas yurisdiksi internasional
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan. (2) Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengamanan di sekitar perairan perbatasan di laut Indonesia dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak aparat negara-negara yang ada di perbatasan. (3) Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana perompakan ini lebih di tingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perompakan, Kapal Asing
National and international law has regulated all relations between countries in the sea area, but the welfare of pumping is still a problem in all countries that are included in the coastal area including the pumping of foreign ships whose perpetrators do not only come from local communities but also from the international community. The problem in this study is how to enforce the criminal law of piracy of foreign-flagged vessels in the jurisdiction of the Lampung Regional Police. Why there are factors that hinder the enforcement of criminal law on the pumping of foreign-flagged vessels in the jurisdiction in indonesia and what is the ideal law enforcement model for cases of pumping foreign-flagged vessels in Indonesia.
The problem approach used in this study is juridically normative and empirically juridical, data collection uses literature studies and literature studies and is analyzed using qualitative.
The results showed that the enforcement of the criminal law on the pumping of foreign-flagged vessels in the jurisdiction of the Lampung Regional Police was in accordance with the regulations starting from the formulation stage, the application stage of the excesses stage has all been carried out properly and precisely in accordance with existing laws and regulations. The dominant factor hindering the enforcement of the criminal law on the pumping of foreign-flagged vessels in the jurisdiction in indonesia is the facilities and facilities factor as well as the law enforcement officer. The ideal law enforcement model for cases of pumping foreign-flagged vessels in Indonesia is by cooperating with existing institutions in the Indonesian state that are given the task of securing Indonesia's seas as well as cooperating with countries in the Southeast Asian region and countries from outside ASEAN that have interests in southeast Asian territorial waters through bilateral agreements and expanding international jurisdiction.
The suggestions in this study are as follows: (1) The government may pay extra attention to the existence of criminal acts of piracy. (2) The authorities should further improve security around the waters of the border in the Indonesian seas and continue to maintain joint patrols with the officials of countries on the border. (3) Socialization to the public regarding the criminal act of piracy should be further improved, considering that the community has an important role as an informer.
Keywords: Law Enforcement, Piracy, Foreign Ship
JAFAR MULYADI DICKY 20220110022023-02-22T08:35:15Z2023-02-22T08:35:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69879This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/698792023-02-22T08:35:15ZEKSISTENSI SANKSI KEBIRI KIMIA TERHADAP TUJUAN PEMIDANAAN PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL ANAKTindakan Kebiri Kimia telah dipilih oleh Indonesia untuk menangani pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Adanya sanksi tambahan ini ternyata telah menuai pro dan kontra di masyarakat terutama terkait risiko, manfaat, dan kewajaran dari pengenaan sanksi tersebut. Permasalahan yang menjadi obyek kajian tesis ini adalah bagaimanakah eksistensi sanksi Kebiri Kimia terhadap tujuan pemidanaan pelaku kejahatan seksual anak? Serta mengapa terjadi hambatan dalam pelaksanaan sanksi Kebiri Kimia terhadap pelaku kejahatan seksual anak ditinjau dari aspek kemanfaatan?
Penelitian tesis ini dihasilkan dari penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang, asas hukum dan doktrin-doktrin. Data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Cara yang digunakan untuk mendapatkan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi pustaka. Analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data deskriptif-kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sanksi Kebiri Kimia diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Tujuan pemidanaan dari Kebiri Kimia adalah rehabilitasi, dengan catatan bahwa tindakan Kebiri Kimia tersebut hanya dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menderita gangguan pedofilia. Hambatan dalam pelaksanaan hukuman Kebiri Kimia terhadap pelaku kejahatan seksual anak antara lain adanya keberatan dokter sebagai eksekutor dan penolakan penggiat HAM. Selain itu, keberadaan Kebiri Kimia belum mencerminkan kemanfaatan dan keadilan karena risiko yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaatnya dalam mengurangi kekerasan seksual terhadap anak.
Penulis menyarankan agar pemerintah perlu lebih memfokuskan pada upaya terapi perilaku pada pelaku dan rehabilitasi yang optimal pada anak korban kekerasan seksual. Pemerintah bersama Ikatan Dokter Indonesia juga perlu lebih giat melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait tindakan Kebiri Kimia dan mekanisme pelaksanaannya.
Kata kunci: Anak, Kebiri Kimia, Kekerasan Seksual
Indonesia has chosen chemical castration to deal with perpetrators of sexual violence against children. The existence of this additional sanction turned out to have reaped the pros and cons in the community, especially regarding the risks, benefits, and fairness of the imposition of these sanctions. The problem that becomes the object of this thesis study is the existence of chemical castration sanctions to convict perpetrators of child sex crimes. And why are there obstacles in implementing chemical castration sanctions against perpetrators of child sex crimes in terms of benefits?
This thesis research resulted from normative research using statutory approaches, legal principles and doctrines. The data in this study were obtained from primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The method used to obtain legal materials in this research is by conducting a literature study. Analysis of normative legal research data using descriptive-qualitative data.
The research results show that chemical castration sanctions are regulated in Article 81 of Law Number 17 of 2016. The purpose of punishment for chemical castration is rehabilitation, provided that chemical castration is only imposed on perpetrators of sexual violence against children who suffer from paedophilia. Obstacles to implementing chemical castration sentences for perpetrators of child sex crimes include the objection of doctors as executors and the rejection of human rights activists. In addition, chemical castration does not reflect benefits and justice because the risks posed are more significant than the benefits in reducing sexual violence against children.
The author suggests that the government needs to focus more on behavioral therapy efforts on perpetrators and optimal rehabilitation of child victims of sexual violence. The government and the Indonesian Doctors Association also need to be more active in conducting outreach to the public regarding chemical castration and the mechanism for its implementation.
Keywords: Children, Chemical Castration, Sexual Violence
KHADAFI AZWAR MUHAMMAD 19220110132023-02-15T08:42:04Z2023-02-15T08:42:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69371This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/693712023-02-15T08:42:04ZOPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
MELALUI PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI
Pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan secara berlarut-larut
akibat keharusan menunggu sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap pada
tingkat banding maupun kasasi dapat dinilai tidak efektif, terlebih jika dalam
persidangan tingkat tingkat pertama telah terbukti adanya kerugian keuangan
negara yang timbul akibat perbuatan pelaku. Dalam hal ini, jika pengadilan tingkat
pertama menjatuhkan putusan serta merta maka proses eksekusi atas pengembalian
kerugian keuangan negara dapat dilaksanakan lebih optimal. Penelitian ini
dilakukan dengan mendasar pada 2 (dua) pokok permasalahan, yaitu bagaimakah
praktik pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana
korupsi ? dan bagaimanakah optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara
melalui putusan serta merta dalam perkara tindak pidana korupsi?.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif dan yuridis empiris dengan berpedoman pada data primer dan data
sekunder yang bersumber dari studi pustaka dan studi lapangan yang selanjutnya
dianalisis menggunakan analisis kualitatif sebagai dasar pengambilan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pengembalian kerugian keuangan
negara dalam perkara tindak pidana korupsi dilaksanakan dengan medasar pada 3
(tiga) aspek, yaitu struktur hukum yang dilaksanakan oleh Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim dan Jaksa eksekutor, substansi hukum berupa KUHAP dan UU
PTPK serta budaya hukum berupa tingkat kepatuhan serta kesadaran hukum pelaku
tindak pidana korupsi. Optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara
melalui putusan serta merta dalam perkara tindak pidana korupsi diformulasikan
permintaan Penuntut Umum kepada Hakim dalam surat tuntutanya agar dapat
menjatuhkan putusan serta merta dimana putusan tersebut dapat terapkan oleh
Hakim dengan mendasar pada teori putusan hakim ratio decidendi.
Saran kepada Penyidik agar lebih memaksimal penelusuran dan penyitaan harta
benda milik pelaku guna meminimalisir upaya penyembunyian harta bendanya.
Selanjutnya disarankan kepada Penuntut Umum agar mengajukan permintaan
penjatuhan putusan serta merta dalam surat tuntutannya sehingga putusan serta
merta dapat diterapkan, disamping itu saran kepada lembaga legislatif untuk
melakukan pembaharuan hukum acara pidana yang memuat ketentuan tentang
penjatuhan putusan serta merta dalam perkara tindak pidana korupsi.
Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Kerugian Keuangan Negara, Putusan Serta
Merta
KUSUMO ARINTO 21220110622023-02-13T07:36:27Z2023-02-13T07:36:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69155This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691552023-02-13T07:36:27ZKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI LAMPUNG
TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN MINERBA
BERDASARKAN PRINSIP SUSTAINABLE DEVELOPMENT
Penarikan kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat dalam kegiatan
pertambangan mineral dan batubara menyebabkan terjadinya kekosongan hukum.
Penelitian ini bertujuan (1) untuk menganalisis kewenangan Pemerintah Daerah
dalam kegiatan pertambangan Minerba (2) untuk menganalisis Kebijakan
Pemerintah Daerah Provinsi Lampung terhadap dampak Pertambangan Minerba
berdasarkan prinsip Sustainable Development. Metode yang digunakan yaitu
metode penelitian normative dan pendekatan peraturan Perundang-Undangan
(statute approach). Hasil dari penelitian ini adalah (1) kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota ditarik oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi setelah
diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian
Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pusat mendelegasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan lagi terhadap kegiatan
pertambangan, kewenangan yang dimiliki terbatas karena hanya delegasi dari
pemerintah pusat. Pemerintah Daerah tidak mempunyai kewenangan yang mutlak,
karena sumber kewenangan di dapatkan dari proses delegasi saja, untuk
menjalankan amanah dari Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2022 tentang
Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung menerbitkan Peraturan Gubernur
Lampung Nomor 26 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur
Lampung Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Pendelegasian Kewenangan Perizinan
Dan Non Perizinan Kepada Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu. Akan tetapi di dalam pergub tersebut belum sepenuhnya
memenuhi prinsip Sustainable Development yaitu demokrasi, keadilan dan
keberlanjutan. Peraturan gubernur tersebut hanya menjelaskan proses
pendelegasian yang di berikan oleh pusat kepada daerah, karena kewenangan yang
di peroleh delegatif, maka kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah
provinsi masih terbatas, maka Pemerintah Daerah Provinsi tidak optimal dalam
melakukan penegakan hukum dalam bidang pertambangan Minerba.
Kata kunci: Kewenangan, Kebijakan, Pertambangan Minerba, Sustainable
Development
iii
ABSTRACT
LAMPUNG PROVINCIAL GOVERNMENT POLICIES ON THE IMPACT
OF MINERAL AND COAL MINING BASED ON PRINCIPLES
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
By
Melisa
The withdrawal of authority from the regional government to the central
government in mineral and coal mining activities has created a legal vacuum. This
study aims (1) to analyze the authority of the Regional Government in Minerba
mining activities (2) to analyze the Lampung Provincial Government's Policy on
the impact of Minerba Mining based on the principles of Sustainable Development.
The method used is the normative research method and the statutory approach. The
results of this study are (1) the authority of the Regency/City Regional Government
was withdrawn by the Central Government, but after the issuance of Presidential
Regulation Number 55 of 2022 concerning Delegation of Granting Business
Permits in the Field of Mineral and Coal Mining, the Center delegated it to the
Provincial Governments. Regency/City Regional Governments no longer have
authority over mining activities, their authority is limited because they are only
delegations from the central government. The Regional Government does not have
absolute authority, because the source of authority is obtained from the delegation
process alone, to carry out the mandate of Law Number 55 of 2022 concerning
Delegation of Granting Business Permits in the Mineral and Coal Mining Sector,
the Regional Government of Lampung Province issued Lampung Governor
Regulation Number 26 of 2022 concerning Amendments to the Governor of
Lampung Regulation Number 47 of 2021 concerning Delegation of Licensing and
Non-Licensing Authority to the Head of the Investment Service and One-Stop
Integrated Services. However, the Pergub does not fully comply with the principles
of Sustainable Development, namely democracy, justice and sustainability. The
governor's regulation only explains the delegation process given by the center to
the regions, because the authority obtained by the delegation, the authority
possessed by the provincial regional government is still limited, so the Provincial
Government is not optimal in enforcing the law in the Minerba mining sector.
Keywords: Authority, Policy, Minerba Mining, Sustainable Development
2122011100 MELISA2023-02-13T02:18:49Z2023-02-13T02:18:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69122This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691222023-02-13T02:18:49ZPENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA BERBASIS PRINSIP RESTORATIVE JUSTICEKerugian keuangan negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi haruslah menjadi
fokus utama untuk segera diselesaikan dan dikembalikan, khususnya dalam korupsi yang
dinilai dalam jumlah angka yang ringan, oleh karena jumlah kerugian yang ringan
tersebut dirasa tidak sepadan dengan jumlah anggaran yang harus dikeluarkan berikut
dengan tenaga Aparat Penegak Hukum yang habis untuk menangani pidana korupsi
ringan tersebut, sehingga pada akhirnya menyebabkan Negara menjadi tambah rugi.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah
memberikan pedoman tentang kategori-kategori tindak pidana korupsi itu sendiri, yang
tidak diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat sarat dengan penggunaan
prinsip retributive justice yaitu konsep penyelesaian perkara pidana dengan cara
penghukuman atau penderaan fisik, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 Undang-
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Dalam prakteknya, penerapan
prinsip tersebut sudahlah tidak relevan untuk diterapkan secara strick terhadap seluruh
jenis pidana korupsi, oleh karena tujuan fokus utama pengembalian kerugian asset atau
keuangan Negara menjadi tidak tercapai. Dalam upaya pengembalian kerugian keuangan
Negara akibat perbuatan korupsi dalam jumlah ringan, haruslah pula menggunakan
pendekatan pada prinsip restorative justice sebagai bentuk fokus utama dalam pemulihan
keuangan Negara, dimana prinsip tersebut di beberapa Negara maju seperti Belanda
dalam penyelesaian pengembalian kerugian keuangan Negara akibat perbuatan korupsi
telah diterapkan dan memberikan hasil yang mengembirakan. Keadaan tersebut telah
mendapatkan respon oleh lembaga Kejaksaan RI dalam hal penerapan konsep restorative
justice dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dengan dikelarkannya SE Jampidsus
Nomor: B765/F/Fd.1/04/2018 tertanggal 20 April 2018 perihal Petunjuk Teknis
Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan, yang pada intinya
menyatakan bahwa penyelidikan tidak hanya terbatas pada menemukan peristiwa Tindak
Pidana Korupsi berupa perbuatan melawan hukum, tetapi juga harus mengusahakan
untuk menemukan besaran Kerugian Keuangan Negara, dan juga dalam SE Jampidsus
Nomor: B-113/F/Fd.1/05/2010 tertanggal 18 Mei 2010 yang salah satu poin dalam isinya
menginstruksikan dan menghimbau kepada seluruh Kejaksaan Tinggi agar dalam kasus
dugaan tindak pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan
kerugian keuangan Negara perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atas
berlakunya asas restorative justice. Penyelasaian pengembalian kerugian keuangan
Negara atau Daerah akibat perbuatan korupsi dengan menggunakan prinsip restorative
justice ternyata selama ini juga telah diterapkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara yang menerapkan prinsip restorative justice.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana penerapan konsep restorative
justice dalam hukum pemberantasan korupsi guna menguatkan tujuan pengembalian
kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi yang akhir-akhir ini semakin
meningkat mengetahui apakah konsep restorative justice dalam tindak pidana korupsi
iii
dapat diterapkan dalam hukum Indonesia. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library research), dengan
pendekatan pada peraturan perundang undangan, pendekatan konsep dan pendekatan
analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan konsep restorative justice dalam
tindak pidana korupsi guna menguatkan tujuan pengembalian kerugian negara oleh
pelaku tindak pidana korupsi dapat dilihat dari kaidah-kaidah peraturan tersebut di atas,
sehingga secara teroritis dan secara yuridis tentang penegakkan hukum dan konsep
restorative justice dalam tindak pidana korupsi dapat di terapkan dalam hukum Indonesia.
Kata Kunci: Pengembalian Keuangan Negara, Restorative Justice, Tindak Pidana Korupsi
2022011061 MURDIAN2023-02-10T04:51:59Z2023-02-10T04:51:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69101This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691012023-02-10T04:51:59ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN
PRAKTIK TANPA IZIN TENAGA KESEHATAN DALAM TINDAKAN
MEDIK KECANTIKANPelaku usaha klinik kecantikan masih melakukan tindakan medik secara ilegal.
Oleh karena itu dirumuskan dua permasalahan yaitu bagaimanakah penegakan
hukum pidana terhadap praktik tanpa izin tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medik kecantikan? Apakah kualifikasi tenaga kesehatan dan kualifikasi
perizinan yang diperlukan dalam tindakan medik kecantikan? Penelitian ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan
pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur,
telaah peraturan perundang-undangan dan wawancara. Data yang diperoleh
dianalisis melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Putusan Nomor:
1124/Pid.Sus/2020/PN Tjk, penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran
praktik tanpa izin tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik kecantikan
dilakukan berdasarkan Pasal 73 ayat (2) jo Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjatuhkan pidana penjara terhadap
terdakwa selama 5 (lima) bulan. Hal tersebut menunjukan kualifikasi tenaga
kesehatan dalam tindakan medik kecantikan adalah dokter yang memiliki
sertifikasi dan kompetensi di bidang kecantikan. Perizinan yang diperlukan dalam
tindakan medik kecantikan meliputi izin pendirian dan izin operasional yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setelah memenuhi persyaratan.
Saran atau rekomendasi penelitian ini yaitu penegakan hukum pidana terhadap
pelanggaran praktik tanpa izin tenaga kesehatan dalam tindakan medik kecantikan
perlu memastikan tindakan medik kecantikan sesuai SOP dan dilakukan oleh
tenaga profesional berkompeten sesuai izin serta mengupayakan pemulihan
kerugian korban. Selain itu, pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi tentang
pentingnya perizinan pendirian dan operasional atau komersial klinik kecantikan.
Kata kunci: Penegakan, Tindakan, IzinPurna Mahardika Nurul21220110122023-02-10T04:47:31Z2023-02-10T04:47:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69103This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691032023-02-10T04:47:31ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER DALAM
PEMBERIAN OBAT KEPADA PASIENObat sebagai sarana menyelesaikan permasalahan dalam dunia kesehatan memiliki
aturan-aturan yang baku dan proses yang panjang sebelum diberikan kepada pasien.
Proses pemberian obat itu harus dilakukan dengan baik dan benar agar
mendapatkan hasil yang tepat pada pasien. Standard Operating Procedure (SOP)
dalam pemberian obat memiliki tujuh prinsip yang benar yaitu, benar pasien, benar
obat, benar dosis, benar rute pemberian, benar waktu, benar dokumentasi dan benar
informasi. Pemberian obat yang tidak sesuai SOP tentunya akan membahayakan
bagi pasien dan merupakan tindakan malpaktik. Permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini yaitu : Pertama, apakah Standard Operating Procedure (SOP)
bagi dokter dalam pemberian obat kepada pasien. Kedua, bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana terhadap dokter dalam kesalahan pemberian obat
kepada pasien. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber data pada penelitian ini dengan data primer atau lapangan melalui
wawancara beberapa sumber dan data sekunder dengan cara menelusuri literaturliteratur. Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa SOP dalam pemberian obat
menggunakan prinsip delapan benar pada pemberian obat adalah benar pasien,
benar obat, benar dosis, benar waktu, benar rute, benar informasi, benar respon dan
benar dokumentasi. Dalam pertanggungjawab pidana harus memenuhi syaratsyarat sesuai dengan Teori Sudarto yaitu : Memenuhi rumusan Undang-Undang,
bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar), mampu bertanggungjawab,
dan dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dokter tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya secara
pidana berdasarkan Pasal 359 Jo. Pasal 361 KUHP dengan ancaman hukuman
penjara serta pencabutan surat izin praktik.
Kata Kunci: Dokter, Obat, Pertanggungjawaban Pidana.MERONICA ARINI21220110872023-02-09T08:49:50Z2023-02-09T08:49:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69051This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690512023-02-09T08:49:50ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN PENETAPAN HAKIM DALAM PENENTUAN TIDAK BERWENANGNYA MENGADILI PERKARA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK (Studi Penetapan Nomor: 498/Pid.Sus/2020/Pn Kot) Hakim harus memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam perkara Pencabulan atau persetubuhan anak yang dilakukan oleh beberapa terdakwa terdapat kasus yang menarik perhatian penulis dengan melihat penetapan yang di lakukan oleh seorang Hakim. Hakim menyebutkan dan menyatakan Pengadilan Negeri Kota Agung tidak berwenang mengadili perkara, mengenai penetapan hakim tersebut sesungguhnya tidak sesuai dengan hukum acara pidana yang ada pada KUHAP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis dasar Pertimbangan Hakim dalam menetapkan bahwa pengadilan tidak berwenang sesuai surat penetapan pidana nomor: 498/Pid.Sus/2020/PN Kot pada saat ini dan menganalisis Penerapan Hukum dalam KUHAP untuk menentukan bahwa Pengadilan tidak berwenang dalam mengadili. Metode penelitian penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pendekatan normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam pelaksaannya pada wilayah hukum Kejaksaan Negeri Pringsewu. Bahwa Keputusan Majelis hakim yang telah menjatuhkan Putusan sela Nomor 498/Pid.Sus/2020/PN sesungguhnya telah sesuai dan tidak diperlukan lagi dikeluarkanya Penetapan Hakim Ketua Sidang Nomor 498/Pid.Sus/2020/PN Kot tanggal 19 Januari 2021, dikarenakan Keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh para Terdakwa atau penasehat hukumnya telah diputus dalam Putusan Sela, sidang lanjutan setelah dibacakanya Putusan Sela seharusnya adalah pemeriksaan perkara. Penetapan tersebut jelas tidak memiliki kekuatan dan tidak sesuai dengan Tertib Acara Persidangan dimana setelah putusan sela tidak ada lagi penetapan karena telah dipandang masuk dalam kewenangan mengadili. Meninjau sesuai pendapat Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, terhadap perkara pidana yang disidangkan dengan Majelis Hakim bukan ditetapkan dengan hakim tunggal melainkan harus diputus bersama oleh seluruh Majelis hakim lainnya sampai putusan akhir Sesuai Pasal 156 ayat 2 KUHAP. Pentingnya revisi KUHAP yang memberikan kepastian terhadap kelalaian penasehat hukum dalam memasukan alat bukti dan yang paling penting adalah menempatkan kejaksaan dapat berperan sejak tahap pertama proses penegakan hukum, terlebih lagi meski tak tercantum di dalam KUHAP perlunya sanksi tegas bagi Hakim yang tidak dapat menafsirkan hukum dan menggali kebenaran material dengan cermat tidak hanya sekedar hukum formil.. Kata kunci : Pertimbangan Hakim, Penetapan Pengadilan, Kewenangan Hakim. 1922011035 Triyadi Andani andanitriyadi@gmail.com2023-02-09T08:33:36Z2023-02-09T08:33:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69044This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690442023-02-09T08:33:36ZOPTIMALISASI PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENYIDIKAN PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Penyelesaian perkarapidana anak pelaku kekerasan seksual tidak boleh dimonopoli oleh aparat penegak hukum,masyarakat perlu dilibatkansebagai kontrol terhadap pelaksanaan penyelesaian perkara anak sekaligus sebagai penyeimbang. Oleh karenanya, permasalahan yang dikaji tesis ini ialah bagaimanakah peran serta masyarakat saat ini dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual? Serta mengapa peran serta masyarakat dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual perlu dioptimalkan? Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis sosiologis, dengan pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sebagai penunjang data sekunder, penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan para narasumber dari akademisi dan praktisi hukum. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Selanjutnya dilakukan analisis data melalui statutary approach, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis yang kemudian dianalisis dengan pendekatan norma hukum dalam menelaah setiap data yang diperoleh. Dari hasil penelitian diketahui bahwa peran serta masyarakat saat ini dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual bukan suatu kewajiban dan terkesan sebagai formalitas belaka, sehingga masih dijumpai perkara anak pelaku kekerasan seksual diselesaikan tanpa keterlibatan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam penyidikan perkara anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual sejauh ini hanya sebatas menyampaikan laporan kepada pihak yang berwenang. Peran masyarakat tersebut dapat dioptimalkan melalui berbagai upaya, antara lain mewajibkan peran serta masyarakat dalam penyidikan perkara anak, serta memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyidikan perkara anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Berdasarkan hasil penelitian, saran penulis adalah merevisi ketentuan Pasal 93 UU SPPA, sehingga peran masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana anak menjadi kewajiban. Selain itu perlu diterbitkan pedoman peran serta masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana anak di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan. Kata kunci: Anak, Kekerasan Seksual, Peran Masyarakat
The settlement of criminal cases of children who are perpetrators of sexual violence should not be monopolized by law enforcement officers, the community needs to be involved as a control over the implementation of the settlement of child cases as well as a counterbalance. Therefore, the problem studied in this thesis is how is the current role of the community in resolving cases of children who are perpetrators of sexual violence? And why does community participation in solving cases of child perpetrators of sexual violence need to be optimized? This research is a type of sociological juridical legal research with a statutory and case approach. Sources of data used in this research are primary data and secondary data. Secondary data consists of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. To support secondary data, this study used interviews with sources from academics and legal practitioners. Data collection through literature study and discussions. Furthermore, data analysis was carried out through a statutory approach. Namely, the data obtained was then arranged systematically, which was then analyzed using a legal norm approach in examining each data obtained. From the results of the research it is known that the current role of the community in resolving cases of child perpetrators of sexual violence is not an obligation and seems to be a mere formality, so that cases of child perpetrators of sexual violence are still found to be resolved without the involvement of the community. So far, community participation in investigating cases of child perpetrators of sexual violence has only been limited to submitting reports to the authorities. The community's role can be optimized through various efforts, including requiring community participation in the investigation of child cases, as well as providing the widest possible access for the community to play an active role in investigating cases of children who commit acts of sexual violence. Based on the results of the study, the author's suggestion is to revise the provisions of Article 93 of the SPPA Law, so that the role of the community in resolving child criminal cases becomes an obligation. In addition, it is necessary to issue guidelines for community participation in the settlement of juvenile criminal cases at the level of investigation, prosecution and trial. Keywords: Children, Sexual Violence, Community Role
2022011049 Rizky Muhammad Arsadmuhammadarsadrizky@gmail.com2023-02-09T08:21:57Z2023-02-09T08:21:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69038This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690382023-02-09T08:21:57ZKEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN KERJA PEGAWAI PEMERINTAH
NON PEGAWAI NEGERI PADA PENGADILAN NEGERI MENGGALA TERKAIT PRINSIP KEBEBASAN BERKONTRAK DAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Hukum perjanjian menganut prinsip kebebasan berkontrak, yang memberikan
kebebasan kepada para pihak salah satunya kebebasan untuk menentukan isi dan
bentuk perjanjian. Terdapat pula asas pacta sunt servanda, dimana perjanjian yang sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kedua asas tersebut
saling berkaitan dan menjadi salah satu indikator kekuatan mengikat suatu perjanjian.
Adapun perjanjian atau kontrak kerja PPNPN pada Mahkamah Agung dan seluruh
Badan Peradilan dibawahnya, termasuk Pengadilan Negeri Menggala, diatur secara
khusus dan telah dibuat format baku melalui Keputusan Sekrertaris Mahkamah Agung
Nomor 811/ SEK/SK/VIII/ 2021, sehingga Sekretaris maupun PPNPN tidak terlibat
dalam hal penentuan isi dan bentuk perjanjian kerja tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis penerapan prinsip kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja
PPNPN di Pengadilan Negeri Menggala dan kekuatan hukum perjanjian kerja PPNPN
di Pengadilan Negeri Menggala ditinjau berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda.
Penelitian ini menggunakan metode atau jenis penelitian normatif dengan pendekatan
undang-undang dan menggunakan data sekunder yang kemudian data tersebut diolah
dan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, untuk selanjutnya ditarik
kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Hasil dari penelitian ini
disimpulkan bahwa: pertama, asas kebebasan berkontrak diterapkan dalam perjanjian
kerja PPNPN Pengadilan Negeri Menggala, dibuktikan dengan terpenuhinya semua
syarat sah perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Format perjanjian kerja
PPNPN dibuat secara baku oleh Mahkamah Agung melalui Keputusan Sekrertaris
Mahkamah Agung Nomor 811/ SEK/SK/VIII/ 2021 hanya untuk mempermudah dan
menyeragamkan perjanjian kerja diseluruh satuan kerja yang ada pada Mahakamah
Agung dan Badan Peradilan dibawahnya. Kedua, dengan diterapkannya asas atau
prinsip kebebasan berkontrak serta terpenuhinya syarat sah perjanjian pada perjanjian
kerja PPNPN pada Pengadilan Negeri Menggala, maka perjanjian tersebut memiliki
kekuatan hukum karena sesuai dengan asas pacta sunt servanda, perjanjian yang sah
mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Kata Kunci: Kebebasan Berkontrak, Pacta Sunt Servanda, Perjanjian Kerja.
VAVAYA MANURUNG CHARICA 20220110722023-02-08T07:43:31Z2023-02-08T07:43:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68966This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689662023-02-08T07:43:31ZTANGGUNG JAWAB TENAGA MEDIS DAN TENAGA KEPERAWATAN DALAM SIRKUMSISI PADA LAYANAN HOME CAREABSTRAK
TANGGUNG JAWAB TENAGA MEDIS DAN TENAGA KEPERAWATAN DALAM SIRKUMSISI PADA LAYANAN HOME CARE
Oleh
EDY RAMDHANI
Praktik sirkumsisi dilakukan di ruang operasi atau klinik atau praktik pribadi bahkan home care. Seorang dokter dapat melakukan praktik pribadi apabila memiliki keterampilan klinis. Keterampilan klinis harus terus dikembangkan dari awal hingga akhir sekolah kedokteran. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, kompetensi dan kewenangan untuk melakukan tindakan sirkumsisi adalah dokter umum. Namun dalam praktik di masyarakat, sirkumsisi dilakukan tidak hanya oleh dokter tetapi juga oleh perawat terutama pada layanan home care. Perawat harus memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat (STRP) dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) untuk melaksanakan praktik keperawatan yang disertai adanya pelimpahan wewenang dari tenaga medis kepada perawat untuk melakukan praktik kesehatan. Pelimpahan wewenang dari dokter terjadi karena adanya keterbatasan sumber daya manusia. Pelimpahan wewenang tersebut yang sering menyebabkan adanya kelalaian medis, karena dokter melimpahkan kepada seseorang yang diluar kompetensinya. Kelalaian medis yang terjadi pada praktik sirkumsisi dapat berupa terpotongnya gland penis pada saat tindakan atau setelah penyembuhan hasil sirkumsisi tidak maksimal yang menyebabkan kulup tertutup kembali. Untuk kelalaian di atas, pasien memerlukan tindakan medis lebih lanjut. Oleh karena itu, penelitian akan mengkaji mengenai (1) tanggungjawab hukum tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam sirkumsisi pada layanan home care dan (2) penegakan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam sirkumsisi yang terjadi kelalaian tindakan pada layanan home care.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam thesis ini adalah penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian, tanggung jawab tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam sirkumsisi pada layanan home care yaitu terdiri dari tanggung jawab menurut ketentuan profesi, yaitu sanksi administratif seperti teguran tertulis dan pencabutan izin praktik oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Selain itu tenaga medis dan tenaga keperawatan menanggung pertanggungjawaban menurut hukum di Indonesia yaitu pidana, perdata, dan administrasi. Kewenangan perawat yang didapat secara delegatif menyebabkan perawat menanggung pertanggungjawaban atas tindakan yang sesuai dengan kompetensi perawat. Jika kewenangan adalah mandat, maka dokter yang memberikan kewenangan akan menanggung pertanggungjawaban. Kemudian, penegakan hukum dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu formulasi (peraturan), penerapan (profesi dan aparatur negara), dan tahapan eksekusi (pemenuhan putusan).
Kata kunci: home care; sirkumsisi; tenaga keperawatan; tenaga medis.
Circumcision practices are executed in operating rooms, clinics, private practices, and home care. A doctor can perform a private practice if they have clinical skills. Clinical skills are continuously developed from the beginning to the end medical school. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, the competence and authority to perform circumcision are general practitioners. However, in the community, circumcision is performed not only by doctors but also by nurses, especially in-home care services. Nurses must have a Nurse Registration Certificate and Nurse Practice Permit to perform nursing practice through authority delegation from medical personnel to nurses in health practices. Delegation of authority from doctors occurs due to limited human resources. This delegation of authority often causes medical negligence because doctors delegate it to someone incompetent. Medical negligence in circumcision is cutting the glands penis during the procedure. Negligence also illustrates when circumcision results are not optimal after healing, which causes the foreskin to close again. Of this negligence, the patient requires further medical action. Therefore, this research will examine (1) the liabilities of medical personnel and health workers in circumcision at home care services and (2) law enforcement against medical personnel and health workers in circumcision where negligence occurs in-home care services.
The type of legal research used in this research is normative legal which includes research on legal principles, legal systematics, level of legal synchronization, legal history, and comparative law. The data used in this research is secondary data.
Based on the research discussions’, medical personnel and health workers’ responsibilities in circumcision at home care services consist of liabilities according to professional provisions, namely administrative sanctions such as written warnings and revocation of licenses to practice by the Honorary Council of Medical Ethics and the Honorary Council of Indonesian Medical Disciplines. In addition, medical and health personnel is also liable according to Indonesian law. This liability includes criminal, civil, and administrative perspectives. The nurse’s delegated authority causes the nurse to bear complete responsibility. If authority is a mandate, the doctor who gives the authority will bear responsibility. Law enforcement is carried out through three stages, namely formulation (regulations), application (profession and state apparatus), and stages of execution (fulfillment of decisions).
Keywords: circumcision; nurse; home care; medical personnel2122011071 Edy Ramdhanidredy79@gmail.com2023-02-08T07:15:55Z2023-02-08T07:15:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68962This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689622023-02-08T07:15:55ZSENGKETA LAHAN HGU ANTARA MASYARAKAT DAN PT. BSMI
DI MESUJI DALAM PEMENUHAN HAK PLASMA
PT BSMI memiliki tanggungjawab sebagaimana diatur dalam UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Berdasarkan pada semangat dan arah untuk menguatkan investasi serta perekonomian nasional UU Perkebunan telah diubah berdasarkan pada UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah terakhir diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal 27 PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah setidaknya dalam huruf i dan j menegaskan kembali terkait dengan fasilitasi lahan perkebunan rakyat. Dalam huruf i ditegaskan bahwa 20% itu merupakan luas tanah yang diberikan Hak Guna Usaha (HGU) yang dipegang oleh Perseroan Terbatas. Fokus pada penelitian ini untuk menjawab kedudukan PT BSMI sebagai pemegang tanggungjawab dan penyelesaian dalam pemenuhan hak masyarakat dalam plasma. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan normatif dan yuridis. Hasil penelitian Perusahaan adalah penentu dari usulan dan terbentuknya plasma. Kondisi ini juga sangat mungkin terjadi dalam rezim UU Cipta Kerja dengan PP 26 Tahun 2021 yang masih menggunakan frasa fasilitasi. Lebih lanjut, kendala dari bentuk hubungan hukum antara masyarakat dan perusahaan sangat kabur dan penuh polemik. Masyarakat seringkali tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan perwakilan maupun jenis kerjasama. Dalam PP penyelenggaraan pertanian juga kemungkinan untuk mengadakan kerjasama hingga adanya bantuan keuangan dalam skema investasi hanya dimungkinkan untuk badan hukum koperasi. Kedua, bagi masyarakat yang tuntutannya adalah ganti rugi (tanah, uang, dan pengelolaan) sangat sulit dipenuhi oleh PT BSMI. Kika masyarakat bertahan pada 35% lahan HGU kelapa sawit mungkin mereka dapat mengakses lahan. Namun belum tentu lahan tersebut dapat menghasilkan ataupun dapat dikelola dengan optimal. Kemampuan keuangan dan investasi sangat penting untuk keberlangsungan pengelolaan sawit masyarakat.
Kata Kunci: HGU, Plasma, PT BSMI, Masyarakat
PT BSMI has responsibilities as regulated in Law No. 39 of 2014 concerning Plantations. Based on the spirit and direction to strengthen investment and the national economy, the Plantation Law has been amended based on Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation, as last amended by Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 concerning Job Creation. Article 27 PP No. 18 of 2021 concerning Management Rights, Land Rights, Flats Units, and Land Registration at least in letters i and j reaffirms related to the facilitation of smallholder plantation land. In letter i it is emphasized that 20% is the area of land granted with Cultivation Rights (HGU) held by a Limited Liability Company. The focus on this research is to answer PT BSMI's position as the holder of responsibility and settlement in fulfilling community rights in plasma. The research method used is a normative and juridical approach. The results of the Company's research are the determinants of the proposal and the formation of plasma. This condition is also very likely to occur in the regime of the Job Creation Law with PP 26 of 2021 which still uses the phrase facilitation. Furthermore, the constraints on the form of legal relations between communities and companies are very vague and full of polemics. Communities often do not have the opportunity to determine representatives or types of cooperation. In the PP on the implementation of agriculture it is also possible to enter into cooperation so that financial assistance in investment schemes is only possible for cooperative legal entities. Second, for people whose demands are compensation (land, money and management) it is very difficult for PT BSMI to fulfill. If the community stays on 35% of the oil palm HGU land, maybe they can access the land. But not necessarily the land can produce or can be managed optimally. Financial capacity and investment are very important for the sustainability of community oil palm management.
Keywords: HGU, Plasma, PT BSMI, Community
MARDENITAMI A NEGRA19220110782023-02-08T02:27:27Z2023-02-08T02:27:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68917This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689172023-02-08T02:27:27ZANALISIS HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH ANTARA NASABAH DAN PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH LAMPUNG
Aktivitas usaha yang diberikan PT Bank Pembangunan Daerah Lampung (Bank
Lampung) kepada nasabah salah satunya adalah penyaluran kredit. Bank sebelum
pemberian kredit telah menerapkan prinsip kehati-hatian, tetapi pada kenyatannya
masih terjadi kredit bermasalah pada Bank Lampung. Permasalahan penelitian ini
adalah faktor penyebab nasabah mengalami kredit bermasalah pada Bank
Lampung dan penyelesaian kredit bermasalah antara nasabah dan Bank Lampung.
Jenis penelitian ini penelitian normatif empiris dan tipe penelitian deskriptif. Data
terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa faktor penyebab nasabah
mengalami kredit bermasalah pada Bank Lampung adalah nasabah dihadapkan
pada kondisi keuangan yang tidak mendukung, sehingga nasabah yang pada mula
memiliki kemampuan untuk membayar kembali kredit yang telah diterimanya
pada akhirnya mengalami kredit bermasalah. Selain itu penyalahgunaan fasilitas
kredit oleh nasabah berdampak pada tidak stabilnya kondisi keuangan nasabah
sehingga pada akhirnya nasabah tidak mampu membayar kembali kredit kepada
Bank. Faktor penyebab dari sisi Bank adalah petugas Account Officer kurang
optimal dalam melakukan pengawasan setelah kredit diberikan kepada nasabah.
Penyelesaian kredit bermasalah antara nasabah dan Bank Lampung ditempuh
dengan pendekatan persuasif/kooperatif dan pendekatan agresif. Pendekatan
persuasif/ kooperatif ditempuh melalui hasil usaha aktivitas bisnis yang dibiayai
bank, baik hasil usaha lainnya, penjualan asset (baik aset yang diagunkan kepada
bank dengan persetujuan bank maupun aset pribadi) maupun sumber dana lain
yang dapat diperoleh debitur untuk menyelesaikan kredit/kewajiban kepada bank.
Pendekatan agresif dilaksanakan dengan pemberian tekanan/pressure (melalui
surat peringatan dan somasi) dan melakukan eksekusi terhadap agunan yang
dijadikan sebagai jaminan kredit oleh nasabah.
Saran kepada Bank Lampung agar meningkatkan kehati-hatian dalam
memberikan kredit kepada debitur, baik dari aspek kepribadian dan kemampuan
secara finansial. Nasabah yang mengajukan kredit disarankan untuk mematuhi
segala ketentuan sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian kredit
Kata Kunci: Bank Lampung, Kredit Bermasalah, Nasabah, Penyelesaian.
AULIA YULISTAMA ERYSHA21220110812023-02-08T02:16:06Z2023-02-08T02:16:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68926This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689262023-02-08T02:16:06ZPERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SAHAM YANG
TIDAK TERLAKSANANYA AKTA JUAL BELI, SERTA
PERLINDUNGANNYA TERHADAP PEMBELI
(Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1359/K/Pdt/2013)Sering ditemui bahwa perjanjian pengikatan ini tidak ditingkatan menjadi Akta Pengalihan Saham kepada pembeli, meskipun secara nyata pembeli telah membayar ataupun menyetorkan dananya, sehingga memberikan kerugian kepada pihak pembeli. Lantas dimanakah letak perlindungan hukum bagi pembeli, dan sejauh mana kekuatan hukum dari Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Saham tersebut. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Saham yang didalamnya menyertakan kuasa jual tersebut memiliki kekuatan hukum dan sah untuk mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Perjanjian Pengikatan Jual Beli Saham yang tidak ditingkatkan menjadi Akta Jual Beli Saham atau Akta Penyerahan Saham kepada Pembeli. Untuk menganalisis bentuk perlindungan Hukum bagi pembeli saham agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun metode yang di gunakan adalah normative empiris data yang di peroleh berasal dari putusan hakim, artikel yang terkait. Buku dan juga berita yang berhubungan dengan penelitian yang di lakukan. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Perjanjian Pengikatan Jual Beli Saham yang dilakukan oleh PT. Kolingkas sebagai tergugat dengan Toni Indrakusuma sebagai penggugat kekuatan hukumnya tidak begitu mengikat mengikat (2) Hakim hendaknya memutus perbuatan melawan hukum berupa tergugat tidak memenuhi isi perjanjian awal sudah cukup di pandang jika tergugat wanprestasi dari yang di perjanjikan, Hakim memutus untuk mengadili atau menghukum tergugat tidak mematuhi isi perjanjian awal yang di perjanjikan (3) Perjanjian yang mengikat adalah Perjanjian yang memenuhi syarat 1320 KUHPerdata dan berkaitan dengan perlindungan para pihak yang melakukan kontrak agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat substansi perjanjian haruslah di daftarkan oleh Notariat dengan bentuk akta otentik, yang tujuannya dengan adanya pengikatan melalui notariat hal itu memberikan perlindungan kepentingan para pihak sengketa atau perselisihan (wanprestasi). Kata Kunci: perjanjian, Jual beli saham, Keadilan It is often found that this binding agreement is not escalated into a Deed of Transfer of Shares to the buyer, even though the buyer has actually paid or deposited the funds, thus causing a loss to the buyer. Then where is the legal protection for the buyer, and to what extent is the legal force of the Deed of the Sale and Purchase of Shares Binding Agreement. The purpose of this article is to analyze the Deed of Binding Agreement for the Sale and Purchase of Shares which includes the power of attorney to sell, which has legal and legal force to describe the judge's considerations in deciding the case of the Binding Agreement for the Sale and Purchase of Shares which is not upgraded to the Deed of Sale and Purchase of Shares or the Deed of Delivery of Shares to the Buyer. . To analyze the form of legal protection for share buyers so that they have binding legal force. The method used is normative empirical data obtained from judge's decisions, related articles. Books and also news related to the research being carried out. The results of this study are (1) Binding Agreement for Sale and Purchase of Shares made by PT. Kolingkas as the defendant and Toni Indrakusuma as the plaintiff, the legal force is not very binding (2) The judge should decide on an unlawful act in the form of the defendant not fulfilling the contents of the initial agreement. comply with the contents of the initial agreement that was promised (3) a binding agreement is an agreement that meets the requirements of 1320 of the Civil Code and relates to the protection of the parties to the contract so that it has binding legal force, the substance of the agreement must be registered by a notary in the form of an authentic deed, the purpose of which is the existence of a binding through a notary will provide protection for the interests of the parties to the dispute or dispute (default). Keywords: agreement, buying and selling of shares, justice Hardi Sofyan Jevi 20220110152023-02-08T02:07:56Z2023-02-08T02:07:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68920This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689202023-02-08T02:07:56ZBRANCHLESS BANKING SEBAGAI BENTUK LAYANAN KEUANGAN DIGITAL DI INDONESIA
ABSTRAK
BRANCHLESS BANKING SEBAGAI BENTUK LAYANAN KEUANGAN DIGITAL DI INDONESIA
Oleh
ALKAUTSAR TEGUH
Penelitian ini membahas tentang pada prosedur pendirian Branchless banking, hubungan hukum para pihak dalam mekanisme laku pandai, kendala Branchless banking dan perlindungan konsumen dalam layanan Branchless banking sebagai layanan keuangan digital di Indonesia. Laku pandai merupakan Program Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana prosedur pendirian Branchless banking sebagai layanan keuangan digital di Indonesia, bagaimana hubungan hukum para pihak dalam mekanisme laku pandai, apa saja kendala Branchless banking bagi dunia perbankan di Indonesia dan bagaimana perlindungan konsumen dalam layanan Branchless banking sebagai layanan keuangan digital di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan empiris. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan penelitian. Analisis data dilakukan dalam bentuk kualitatif yang diolah ke dalam bentuk kalimat (deskriptif).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Prosedur pendirian Laku pandai sebagai layanan keuangan digital di Indonesia dengan menyetor KTP pemilik/ pengurus dan NPWP pemilik, menyerahkan Fotocopy Dokumen Legalitas Usaha, menyediakan Perangkat Operasional Mobile Web yaitu Smartphone/PC/Laptop, Printer, Modem Internet, menyediakan fotocopy bukti kepemilikan rekening yaitu buku tabungan/rekening koran dan terdaftar menjadi user Internet Banking (finansial) dan menyerahkan formulir pengajuan agen. Hubungan hukum para pihak dalam mekanisme Laku pandai berbeda dengan bentuk hubungan hukum yang terjadi antara agen dengan prinsipal berdasarkan perjanjian keagenan. Kendala Branchless banking bagi dunia perbankan di Indonesia adalah Kepercayaan masyarakat, masalah keamanan, belum banyaknya masyarakat yang mengerti mengenai terobosan ini. Perlindungan konsumen dalam layanan Branchless banking sebagai layanan keuangan digital di Indonesia dalam pengaturan peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat undang-undang sampai dengan peraturan teknis seperti POJK dan PBI.
Kata Kunci : Branchless Banking, Layanan Keuangan, Digital.
ABSTRACT
BRANCHLESS BANKING AS A FORM OF DIGITAL FINANCIAL SERVICES IN INDONESIA
By
ALKAUTSAR TEGUH
This study discusses the establishment procedure Branchless banking, the legal relationship of the parties in the mechanism of good behavior, constraints Branchless banking and consumer protection in services Branchless banking as a digital financial service in Indonesia. Laku Pandai is a program of the Financial Services Authority (OJK) to provide banking services or other financial services through cooperation with other parties (bank agents), and is supported by the use of information technology facilities. The problem in this thesis is how the establishment procedure Branchless banking as a digital financial service in Indonesia, how is the legal relationship of the parties in the behavior mechanism, what are the obstacles Branchless banking for the world of banking in Indonesia and how to protect consumers in services Branchless banking as a digital financial service in Indonesia.
This study uses an empirical approach. Primary data obtained from interviews with research informants. Data analysis was carried out in a qualitative form which was processed into sentences (descriptive).
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded that: The procedure for establishing Laku pandai as a digital financial service in Indonesia is by depositing the KTP of the owner/administrator and the owner's NPWP, submitting Photocopy Business Legality Documents, providing Operational Tools Mobile/Web that is Smartphone/PC/ Laptop, Printer, Modem Internet, provide photocopy proof of account ownership, i.e. savings book/account and registered user Internet Banking (financial) and submit the agent application form. The legal relationship of the parties in the Laku pandai mechanism is different from the form of legal relationship that occurs between an agent and a principal based on an agency agreement. Obstacles Branchless banking for the banking world in Indonesia are: Public trust, security issues, not many people understand about this breakthrough. Consumer protection in service Branchless banking as a digital financial service in Indonesia in the regulation of laws and regulations starting from the law level to technical regulations such as POJK and PBI.
Keywords : Branchless Banking, Financial Services, Digital.
2022011032 ALKAUTSAR TEGUHalkautsarteguh@gmail.com2023-02-07T06:53:54Z2023-02-07T06:53:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68820This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688202023-02-07T06:53:54ZPERAN JAKSA SELAKU PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMPERCEPAT PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus pada Kejaksaan Negeri Lampung Tengah)
Kejaksaan menurut Pasal 30 Ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Kejaksaan dapat
melaksanakan peran penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, salah satunya adalah
tindak pidana korupsi. Permasalahan: Bagaimanakah peran jaksa selaku Penyidik dan
Penuntut Umum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana korupsi?
Mengapa terdapat faktor penghambat peran jaksa selaku Penyidik dan Penuntut
Umum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana korupsi?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan, Narasumber terdiri dari
Jaksa pada Kejati Lampung dan Kejari Lampung Tengah serta Akademisi Fakultas
Hukum Unila. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh simpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peran jaksa selaku penyidik dan
penuntut umum di Kejaksaan Negeri Lampung Tengah dalam mempercepat
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi termasuk ke dalam peran faktual yang
dilaksanakan dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana
korupsi penerimaan pembayaran pajak air bawah tanah PT. Great Giant Pineaple
(GGP) Triwulan III dan IV Tahun 2017 dan Triwulan I, II dan III Tahun 2018 untuk
menemukan tersangkanya. Selanjutnya melimpahkan perkara pada Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, menyusun surat
dakwaan dan surat tuntutan serta melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Setelah
perkara diputus Majelis Hakim, peran jaksa adalah melaksanakan putusan pengadilan,
sehingga menunjukkan adanya percepaan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.
(2) Faktor penghambat peran jaksa selaku penyidik dan penuntut umum dalam
mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dari faktor perundang-
undangan adalah adanya perubahan substansi hukum melalui Putusan MK yang
memperluas objek pra peradilan sehingga dapat menghambat proses penyelesaian
perkara korupsi sejak tingkat penyidikan. Hambatan faktor penegak hukum adalah
tindakan Jaksa selaku penyidik dalam menyikapi perkara tindak pidana korupsi yang
nilai kerugian keuangan negaranya kecil. Hambatan faktor sarana dan prasarana
adalah belum optimalnya instrumen penegak hukum sehingga masih terdapat
tersangka, terdakwa atau terpidana yang melarikan diri. Hambatan faktor masyarakat
adalah permintaan keterangan ahli yang menghabiskan waktu relatif lama.
Saran: (1) Jaksa selaku penyidik dan penuntut umum pada masa yang akan datang
hendaknya terus mengoptimalkan upaya percepatan penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi.(2) Kejaksaan Negeri Lampung Tengah pada masa yang akan datang
hendaknya meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait
dalam upaya percepatan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Peran Jaksa, Penyidik dan Penuntut Umum, Korupsi
public prosecutors in accelerating the settlement of corruption cases?
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Data
collection through literature and field studies, resource persons consisted of
Prosecutors at the Lampung Attorney General's Office and Central Lampung
Prosecutor's Office as well as Unila Law Faculty Academics. Data were analyzed
qualitatively to obtain conclusions.
The results of the research and discussion show: (1) The role of the prosecutor as an
investigator and public prosecutor at the Central Lampung District Attorney's Office
in accelerating the settlement of corruption cases is included in the factual role
carried out by investigating and investigating allegations of corruption in receiving
bottom water tax payments land PT. Great Giant Pineapple (GGP) Quarter III and
IV of 2017 and Quarter I, II and III of 2018 to find the suspect. Next, handing over
the case to the Corruption Court at the Tanjung Karang Class IA District Court,
compiling indictments and charges and prosecuting the defendant. After the case is
decided by the Panel of Judges, the role of the prosecutor is to carry out the court's
decision, thus indicating the acceleration of the settlement of cases of corruption. (2)
The inhibiting factor for the role of the prosecutor as investigator and public
prosecutor in accelerating the settlement of corruption cases from the statutory factor
is the change in legal substance through the Constitutional Court Decision which
expands the pre-trial object so that it can hamper the process of resolving corruption
cases from the investigation level. Obstacles to law enforcement factors are the
actions of the prosecutor as an investigator in addressing corruption cases where the
state's financial losses are small. The obstacle to the facilities and infrastructure
factor is that law enforcement instruments are not yet optimal so that there are still
suspects, defendants or convicts who have fled. The obstacle to community factors is
the request for expert information which takes a relatively long time.
The suggestions in this research are: (1) Prosecutors as investigators and public
prosecutors in the future should continue to optimize efforts to accelerate the
completion of corruption cases. (2) The Central Lampung District Attorney in the
future should improve cooperation and coordination with various related parties in
efforts to accelerate and eradicate corruption.
Keywords: The Role of Prosecutors, Investigators and Public Prosecutors,
Corruption
(Case Study at the Central Lampung District Attorney)
By
YOGI APRIANTO
The Attorney General's Office according to Article 30 Paragraph (1) letter (d) of the
Attorney General's Law can carry out the role of investigating certain criminal acts,
one of which is corruption. Problem: What is the role of the prosecutor as
investigator and public prosecutor in accelerating the settlement of corruption cases?
Why are there inhibiting factors for the role of prosecutors as investigators and
APRIANTO YOGI 2122011032023-02-07T03:22:17Z2023-02-07T03:22:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68856This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688562023-02-07T03:22:17ZKEBIJAKAN NATURALISASI DALAM SISTEM HUKUM
POSITIF INDONESIA TERHADAP PESEPAKBOLA
Kebijakan pemerintah dalam memberikan naturalisasi kepada pemain sepak bola di Indonesia menimbulkan konflik serta pro & kontra mengingat kebijakan tersebut tidak tepat sasaran dan justru sebaliknya tidak menunjukan kontribusi dan kemajuan apapun bagi perkembangan sepak bola di tanah air. Adapun fokus dalam penulisan tesis ini adalah: Bagaimana prosedur/tata cara pemberian & pertimbangan hukum pemberian naturalisasi terhadap pesepakbola oleh pemerintah Indonesia? Bagaimana arah kebijakan hukum pemberian pewarganegaraan atau naturalisasi dalam sistem hukum positif Indonesia?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum dan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dilapangan
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa Prosedur/tata cara pemberian & pertimbangan hukum pemberian naturalisasi terhadap pesepakbola oleh pemerintah Indonesia lebih kepada prosedur/jalur khusus yang mana pesepakbola tersebut mendapatkan jalur khusus dikarenakan mempertimbangkan aspek kemanfaatan bagi kemajuan sepak bola Indonesia dimana jalur khusus tersebut persyaratannya lebih longgar dikarenakan warga negara asing tersebut tanpa harus aktif mengajukan apabila dipandang berjasa luar biasa dari sisi prestasi keolahragaan kepada Indonesia sehingga memberikan kemajuan dan keharuman nama bangsa. Pemerintah akan secara aktif memberikan naturalisasi tersebut kepada warga negara asing tersebut. Kebijakan hukum pemberian naturalisasi dalam sistem hukum positif Indonesia justru kebijakan tersebut tidak menyasar kepentingan Indonesia justru regulasi kewarganegaraan ditambah pasca keluarnya uu ciptakerja turut mendukung untuk tercapainya kemudahan bagi warga negara asing yang hendak melakukan naturalisasi. Sehingga regulasi tersebut jangan sampai di salah tafsirkan dan disalahgunakan oleh para pejabat kita dalam memberikan kebijakan naturalisasi yang tidak mendatangkan maanfaat dan kontribusi bagi negara. Adapun kita tentu patut mempertanyakan, sejauh mana kontribusi pemain Naturalisasi secara luar biasa membawa kemajuan dan keharuman prestasi tim nasional Indonesia. Prestasi timnas di Piala AFF 2010 tidak cemerlang, di Piala AFF 2012, di Piala AFF 2022 kali ini juga masih jauh dari harapan.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini Diharapkan kepada pemerintah juga agar lebih selektif dalam menerima warganegara asing yang melakukan naturalisasi, pelatih dan juga ketua Persatuan SepakBola Seluruh Indonesia tidak melakukan naturalisasi kepada pemain asing demi melakukan pencitraan dan keuntungan klub.
Kata Kunci: Kebijakan; Naturalisasi; Pemain Sepak Bola
The government's policy of granting naturalization to soccer players in Indonesia raises conflicts as well as pros and cons considering that this policy is not right on target and on the contrary does not show any contribution and progress to the development of football in the country. The focus in writing this thesis is: What are the procedures/procedures for awarding & legal considerations for granting naturalization to soccer players by the Indonesian government? What is the legal policy direction for granting citizenship or naturalization in the Indonesian positive law system?
This research uses a normative juridical approach to matters that are theoretical in nature and empirical principles of law, namely to study law in reality on the ground.
The results of the research found that the procedure/procedure for granting & legal considerations for granting naturalization to football players by the Indonesian government is more about special procedures/paths in which the ball player gets a special path due to considering aspects of benefit for the progress of Indonesian football where the special path is the requirement looser because the foreigner does not have to actively submit if it is seen that the foreigner has rendered extraordinary services in terms of sporting achievements to Indonesia so as to give progress and make the nation proud. The government will actively provide citizenship/naturalization to these foreign nationals. and The legal policy for granting citizenship or naturalization in the Indonesian positive law system, in fact, this policy does not target Indonesia's interests, in fact, the citizenship regulation, coupled with the issuance of the Job Creation Law, also supports the achievement of convenience for foreigners wishing to naturalize. So that these regulations should not be misinterpreted and misused by our officials in providing naturalization policies for foreigners which do not bring benefits and contributions to the state. As for us, of course we should question, to what extent the contribution of these foreign nationals has brought progress and the splendor of the achievements of the Indonesian national team. The national team's achievements in the 2010 AFF Cup were not brilliant, in the 2012 AFF Cup, in the 2022 Cup this time it was still far from expectations.
As for suggestions that can be conveyed in this study, it is hoped that the government will also be more selective in accepting foreign nationals who do naturalization and it is better if the coaches and also the Indonesia Football Association chairperson do not naturalize foreign players for the sake of image and club benefits.
Keywords: Policy; Naturalization; Footballers
HANANTO DWI 21220110742023-02-07T03:08:09Z2023-02-07T03:08:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68849This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688492023-02-07T03:08:09ZKEBIJAKAN KEJAKSAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA YANG BERORIENTASI UNTUK MENGURANGI OVER CAPACITY LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Maraknya tindak pidana yang dilakukan di Indonesia sejalan dengan peningkatan jumlah narapidana yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan sehingga berdampak pada over capacity. Oleh karena itu, peran Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan dampak yang baik terhadap hukum pidana yang berlaku khususnya dalam mengurangi over capacity Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kebijakan Kejaksaan dalam penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika yang berorientasi untuk mengurangi over capacity Lembaga Pemasyarakatan dan hambatan apa yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika yang berorientasi untuk mengurangi over capacity Lembaga Pemasyarakatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat deskriptif dengan sumber data terdiri dari data primer yakni wawancara dan data sekunder yaitu sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data dengan wawancara dan studi pustaka, kemudian data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Jaksa Agung telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Regulasi tersebut dimaksudkan sebagai acuan bagi Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika, optimalisasi penanganan perkara tindak pidana narkotika dan merupakan suatu instrumen atau alat untuk mengurangi over kapasitas Lapas yang selama ini di dominasi oleh narapidana narkotika. Hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika pada dasarnya terletak pada faktor hukum/subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mana hambatan ini timbul dikarenakan adanya peristiwa atau kasuistis di lapangan yang terjadi berbeda-beda sehingga hal tersebut berpengaruh pada penegakan hukum yang akan diterapkan oleh Jaksa. Saran dalam penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika seharusnya menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika dengan sanksi berupa rehabilitasi sosial dan rehabiltasi medis. Selanjutnya ketentuan yang terdapat dalam UU Narkotika yang dinilai dapat memberikan celah hukum bagi penyalahguna untuk dikenakan sanksi penjara sebaiknya dilakukan perubahan dengan penerapan rehabilitasi.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penyalahguna Narkotika, Over Capacity, Kejaksaan.
The rise of criminal acts committed in Indonesia is in line with the increase in the number of convicts in Correctional Institutions, which has an impact on over capacity. Therefore, the role of the Prosecutor's Office as a law enforcement agency is urgently needed to have a good impact on the applicable criminal law, especially in reducing the over capacity of Correctional Institutions. The problem that will be examined in this research is how the Attorney's policy in law enforcement against narcotics abusers is oriented towards reducing the over capacity of Correctional Institutions and what obstacles are faced by the Prosecutor's Office in law enforcement efforts against narcotics abusers which are oriented towards reducing the over capacity of Correctional Institutions. The method used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach which is descriptive in nature with the data source consisting of primary data, namely interviews and secondary data, namely primary, secondary and tertiary legal sources. Methods of data collection by interviews and literature study, then the data were analyzed qualitatively.
The results of this study indicate that the Attorney General has issued Attorney General Regulation Number 18 of 2021 concerning Guidelines for Settlement of Cases Handling of Narcotics Abuse through Rehabilitation with a Restorative Justice Approach as the Implementation of the Prosecutor's Dominus Litis Principle. The regulation is intended as a reference for the Public Prosecutor in handling narcotics criminal cases, optimizing the handling of narcotics criminal cases and is an instrument or tool to reduce over-capacity of prisons which have so far been dominated by narcotics convicts. Obstacles faced by the Prosecutor's Office in enforcing law against narcotics abusers basically lie in legal factors/legal substance, legal structure and legal culture where these obstacles arise due to incidents or incidents in the field that occur differently so that this affects law enforcement to be applied by the Prosecutor. Suggestions in law enforcement against narcotics abusers should apply the provisions contained in Article 127 paragraph (3) of the Narcotics Law with sanctions in the form of social rehabilitation and medical rehabilitation. Furthermore, the provisions contained in the Narcotics Law which are considered to provide a legal loophole for abusers to be subject to prison sanctions should be amended by implementing rehabilitation.
Keywords: Law Enforcement, Narcotics Abuse, Over Capacity, Attorney.
1922011061 Nadia Safira Rinaldi2023-02-06T02:37:10Z2023-02-06T02:37:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68743This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687432023-02-06T02:37:10ZSTUDI KOMPARASI ANTARA GUGATAN SEDERHANA/
SMALL CLAIM COURT DAN GUGATAN BIASA
ABSTRAK
STUDI KOMPARASI ANTARA GUGATAN SEDERHANA/
SMALL CLAIM COURT DAN GUGATAN BIASA
Oleh
RIDWAN PRATAMA
Penyelesaian sengketa melalui peradilan bukan pilihan tepat jika kerugian bernilai kecil, karena yang dituntut tidak sebanding dengan yang dikeluarkan. Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2015 yang diubah Perma 4 tahun 2019 tentang gugatan sederhana. Lahirnya perma tersebut membawa kosekuensi terdapat penyelesaian melalui gugatan perdata biasa dan melalui gugatan sederhana. Berdasarkan hal tersebut penulis mengkaji mengenai perbedaan dan persamaan penyelesaian gugatan perdata biasa dengan gugatan sederhana serta kendala dari keduanya.
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan perbandingan hukum. Data yang digunakan ialah data primer dan sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif dan komparasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pertama, persamaan gugatan sederhana dan gugatan biasa yaitu mengakomodir klasifikasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, menerapkan asas actor sequitur forum rei, terdapat upaya hukum verzet, dan lain-lain. Sedangkan perbedaan gugatan sederhana dan gugatan biasa yaitu pada gugatan sederhana terdapat berbagai pembatasan seperti nilai gugatan materil paling banyak Rp500.000.000,00 dan bukan diselesaiakan melalui pengadilan khusus atau sengketa hak atas tanah, pihak masing-masing hanya satu, prinsipal harus hadir secara langsung di setiap persidangan, pada gugatan perdata biasa tidak terdapat pembatasan demikian, dan lain-lain. Kedua, terdapat kendala penyelesaian gugatan perdata biasa seperti waktu yang lama, tidak terdapat pembatasan perkara yang dapat di kasasi, dan pelaksanaan putusan terhalang berbagai hambatan. Sedangkan kendala penyelesaian gugatan sederhana ialah prinsipal wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan, pengajuan keberatan oleh pengugat menggugurkan hak tergugat mengajukan verzet, pelaksanaan putusan yang belum diatur secara khusus.
Kata kunci: Gugatan Perdata Biasa, Gugatan Sederhana, Studi Komparasi.
ABSTRACT
COMPARISON STUDY BETWEEN SIMPLE LAWSUIT/
SMALL CLAIM COURT AND USUAL CLAIMS
By
RIDWAN PRATAMA
Settlement of disputes through the courts is not the right choice if the loss is small, because what is demanded is not worth what is incurred. Then the Supreme Court issued Perma Number 2 of 2015, which was amended by Perma 4 of 2019 concerning simple lawsuits. The birth of the Perma has resulted in a settlement through an ordinary civil lawsuit and a simple lawsuit. Based on this, the authors examine the differences and similarities in the settlement of ordinary civil lawsuits with simple lawsuits and the constraints of both.
This study uses a normative-empirical legal method with a descriptive research type and a comparative legal approach. The data used are primary and secondary data, consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials, and then data analysis is carried out qualitatively and comparatively.
The study's findings show that: first, the equation of a simple lawsuit and an ordinary lawsuit is to accommodate the classification of lawsuits against the law and default, using the actor sequitur forum rei principle; there are verzet legal remedies; and there are others. While the difference between a simple lawsuit and an ordinary lawsuit is that in a simple lawsuit there are various restrictions, such as that the value of a material claim is a maximum of IDR 500,000,000.00 and is not resolved through a special court or dispute over land rights, only one party is involved, the principal must be present in person at every trial, and so on, in ordinary civil lawsuits there are no such restrictions. Second, there are obstacles to resolving ordinary civil lawsuits, such as the long waiting period, the fact that there are no restrictions on cases that can be appealed, and the fact that the implementation of decisions is hampered by various obstacles. Meanwhile, the obstacles to settling a simple lawsuit are that the principal is required to attend in person at every trial, and filing an objection by the plaintiff aborts the defendant's right to submit a verzet, the implementation of a decision that has not been specifically regulated.
Keywords: Ordinary Civil Lawsuit, Simple Lawsuit, Comparative Study
2022011019 RIDWAN PRATAMAPratama.ridwan44@gmail.co2023-02-03T08:18:40Z2023-02-03T08:18:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68720This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687202023-02-03T08:18:40ZKEBIJAKAN PENYETARAAN JABATAN DALAM MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS SISTEM KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN PESAWARANKebijakan penyetaraan jabatan yang dituangkan dalam Permepan RB No.17
Tahun 2021 Tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Jabatan Fungsional menimbulkan pro dan kontra. Sebagian PNS di Kabupaten Pesawaran responsif dan sebagian lagi tidak mengehendaki dan tidak siap dengan perubahan, belum lagi jika dihubungkan dengan Permenpan RB Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Sistem Kerja Pada Instansi Pemerintah Untuk Penyederhanaan Birokrasi yang mengharuskan PNS mentransformasi sistem kerja. Merujuk pada dua aturan tersebut, secara peraturan untuk fungsional sudah diatur, namun pelaksanaanya masih tumpang tindih. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturannya dan apa implikasi kebijakan penyetaraan jabatan dalam mewujudkan efektivitas sistem kerja OPD Kabupaten Pesawaran. Dalam menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan metode normatif empiris melalui desain penelitan studi kasus dengan studi literatur dan teknik wawancara terhadap 6 informan. Penelitian ini menemukan bahwa pengaturan Permenpan RB tentang penyetaraan jabatan yang ditransfer secara seragam (one-size-fits-all) dan wajib tanpa kontekstualisasi dan adaptasi menyebabkan problem kebijakan ditingkat daerah, sehingga berpotensi menimbulkan implikasi terhadap sistem kerja yang tidak efektif. Fakta di lapangan menggambarkan ketidaksiapan PNS dan Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam implementasi kebijakan penyetaraan jabatan, sehingga menyebabkan kesenjangan pelaksanaan dan hasil yang diharapkan. Kebijakan penyetaraan jabatan telah menimbulkan pergeseran paradigma birokrasi ASN dari instruksional menjadi kolaboratif yang agile sesuai keahlian dan keterampilan. Dengan demikian, penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah Kabupaten Pesawaran menerapkan kebijakan yang afirmatif terkait kebijakan sistem kerja pasca penyetaraan jabatan sebagai solusi terhadap patologi birokrasi yang terjadi selama ini. Kebijakan tersebut dirasa belum berdampak, karena tidak menghadirkan perubahan yang signifikan, justru menjadi permasalahan baru dalam sistem kerja pada OPD. Kemudian dalam masa peralihan, agar pejabat fungsional bersikap adaptif melakukan perubahan budaya kerja, kolaboratif dalam tim dan pengembangan kompetensi melalui diklat dan bimbingan teknis.
Kata kunci : Efektivitas, Kebijakan, OPD, Penyetaraan Jabatan, Sistem Kerja.
The equalization policy of positions as stated in Permepan RB No.17 of 2021 concerning equalization of Administrative Positions to Functional Positions raises pros and cons. Some civil servants in Pesawaran Regency are responsive and some do not want and are not ready for change, not to mention if it is connected with the Minister of RB Regulation Number 7 of 2022 concerning the Work System in Government Agencies for Bureaucratic Simplification which requires civil servants to transform the work system. Referring to these two rules, the regulations for functional have been regulated, but the implementation still overlaps. The main problem in this study is how it is regulated and what are the implications of the equalization policy on the effectiveness of the work system of the Pesawaran Regency Regional Apparatus Organization. In answering the problem, this study uses empirical normative methods through the design of case study research with literature studies and interview techniques for 6 informants. This research found that the regulation of the Permenpan RB on equalization of positions that are transferred uniformly (one-size-fits-all) and mandatory without contextualization and adaptation causes policy problems at the regional level, thus potentially causing implications for an ineffective work system. The facts in the field illustrate the unpreparedness of civil servants and the Pesawaran Regency Government in the implementation of the equalization policy, thus causing gaps in implementation and expected results. The equalization policy has led to a paradigm shift of the ASN bureaucracy from instructional to collaborative agile according to expertise and skills. Thus, this study recommends that the Pesawaran Regency government implement turanan regulations related to the post- equalization work system policy as a solution to the bureaucratic pathology that has occurred so far. The policy is considered to have no impact, because it does not present significant changes, instead it becomes a new problem in the work system of government agencies. Then in the transition period, for functional officials to be adaptive to change work culture, collaborative in teams and competency development through training and technical guidance.
Keywords: Effectiveness, Policy, OPD, Equalization of Positions, Work
System.
HANDAYANI YENNI 21220110992023-02-03T02:48:03Z2023-02-03T02:48:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68706This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687062023-02-03T02:48:03ZLEGALITAS PENYELENGGARAAN RUPS-LB OLEH PEMEGANG SAHAM
(PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1847K/PDT/2013 Jo. PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 122/PDT.G/2011/PN.TJK)ABSTRAK
LEGALITAS PENYELENGGARAAN RUPS-LB OLEH PEMEGANG SAHAM
(Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1847k/Pdt/2013 Dan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 122/Pdt.G/2011/Pn.Tjk)
Oleh
Andhes Tan Satrisna
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam perseroan, dan segala keputusan terkait perseroan ditentukan melalui RUPS setelah terpenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. RUPS adalah wadah bagi para pemegang saham untuk berkumpul dan membahas berbagai hal demi kepentingan perseroan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) dan akibat hukum terselenggaranya RUPS-LB yang dilaksanakan oleh PT. KOLINGKAS ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengolahan data dan penelitian kepustakaan menggunakan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier dari buku, jurnal, peraturan perundang-undangan terkait Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas penyelenggaraan RUPS-LB oleh pemegang saham PT.KOLINGKAS yang dilaksanakan tidak memenui penyelenggaraan yang sebagaimana tertuang dalam undang-undang dan dapat menimbulkan permasalahan bagi pihak yang merasa dirugikan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri setempat. Kemudian Penggugat selaku anggota dewan direksi yang merasa dirugikan haknya, ingin mengajukan pembelaan terhadap keputusan rapat akan tetapi tidak diberikan oleh Tergugat PT.KOLINGKAS dan juga pemberhentian Penggugat sebagai dewan direksi tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada penggugat karena pelaksanaannya dilakukan secara sepihak dan tidak diketahui oleh direksi lain oleh sebab itu pemberhentian terhadap penggugat melalui mekanisme RUPS-LB sebagaimana Akta Nomor 06 tentang Risalah RUPS-LB PT.KOLINGKAS adalah tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum.
Akan tetapi hal tersebut justru diamini oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi nya yang mana, hal tersebut memiliki dampak luas terhadap penegakan hukum di Indonesia dan menciderai rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa karena telah mengenyapingkan fakta hukum terkait penyelenggaraan RUPS-LB PT KOLINGKAS yang nyatanya telah melanggar hukum dan undang-undang sehingga selayaknya dianggap keputusan RUPS-LB tersebut cacat hukum.
Kata Kunci: Legalitas, Penyelenggaraan RUPSLB, Pemegang Saham.
ABSTRACT
LEGALITY OF EGMS COMPANY BY SHAREHOLDERS
(Analysis of the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1847k/Pdt/2013 and the Decision of the Tanjung Karang District Court Number 122/Pdt.G/2011/Pn.Tjk)
By
Andhes Tan Satrisna
The General Meeting of Shareholders (GMS) is the organ of the company that has the highest power in the company, and all decisions related to the company are determined through the GMS after certain conditions are met as stipulated in the laws and regulations. GMS is a forum for shareholders to gather and discuss various matters for the benefit of the company. The purpose of this study is to determine the implementation of the Extraordinary General Meeting of Shareholders (EGMS) and the legal consequences of the EGMS held by PT. KOLINGKAS in terms of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. The writing of this thesis uses normative legal research methods. Data processing and library research using primary, secondary and tertiary legal sources; from books, journals, laws and regulations related to the Extraordinary General Meeting of Shareholders.
The results of the study show that the legality of the holding of the EGMS by the shareholders of PT. KOLINGKAS which is carried out does not fulfill the implementation as stated in the law and can cause problems for parties who feel aggrieved by filing a civil lawsuit to the local district court. Then the Plaintiff as a member of the board of directors who felt his rights had been aggrieved, wanted to defend against the decision of the meeting but was not granted by the Defendant PT. KOLINGKAS and also the dismissal of the Plaintiff as a board of directors was not notified in advance to the plaintiff because the implementation was carried out unilaterally and was not known by other directors therefore the dismissal of the plaintiff through the EGMS mechanism as stated in Deed Number 06 concerning the Minutes of the PT. KOLINGKAS EGMS is invalid and constitutes an illegal act.
However, this was actually agreed upon by the Supreme Court through its cassation decision which had a broad impact on law enforcement in Indonesia and hurt the sense of justice for the parties to the dispute because they had ruled out juridical facts related to the holding of the EGMS and because they had violated laws and regulations should be considered as the decision of the Extraordinary General Meeting of Shareholders is legally flawed.
Keywords: Legality, EGMS, Shareholders.
Satrisna Andhes Tan20220110752023-02-02T06:47:59Z2023-02-02T06:47:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68656This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686562023-02-02T06:47:59ZANALISIS REKOMENDASI TIM ASESMEN TERPADU SEBAGAI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PENYALAH GUNA NARKOTIKA
Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari tim hukum dam tim medis diposisikan sebagai asesor yang bertugas memberikan rekomendasi kepada hakim mengenai tingkat ketergantungan narkotika dan keterlibatan tersangka dalam tindak pidana narkotika. Jadi, melalui rekomendasi Tim Asesmen Terpadu, penyalahgunaan narkotika dapat diklasifikasikan apakah merupakan korban, pencandu atau masuk dalam peredaran gelap narkotika sehingga penjatuhan pidana terhadapnya dapat disesuaikan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menetukan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi social. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah rekomendasi Tim Asesmen Terpadu sebagai pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika? Dan apakah rekomendasi Tim Asesemen Terpadu sebagai pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahguna narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan?. Metode penelitian melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat deskriptif dengan sumber data terdiri dari data primer yakni wawancara dan data sekunder yaitu sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data dengan wawancara dan studi pustaka, kemudian data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perkara yang ada di pengadilan Negeri Gedong Tataan hanya ada satu perkara narkotika yang mendapatkan putusan rehabilitasi pada tahun 2021. Pada perkara pidana dengan Nomor Perkara
86/Pid.Sus/2022/PN Gdt, rekomendasi TAT dijadikan dasar penuntut umum dalam menuntut terdakwa berupa rehabilitasi, akan tetapi dalam putusan Hakim di Pengadilan Gedong Tataan tetap menjatuhkan hukuman penjara pada terdakwa. Berdasarkan hasil penelitian, Rekomendasi TAT yang merupakan alat bukti surat tidak mengikat putusan hakim, namun dijadikan pertimbangan terhadap jenis atau berat ringannya pidana, selama rekomendasi yang diberikan sesuai dengan fakta hukum serta sesuai dengan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Saran Penerapan pidana terhadap penyalah guna yang mengkonsumsi narkotika seharusnya dibedakan antara pengguna pemula, pecandu, korban penyalahgunaan dan penyalah guna yang terlibat dalam jaringan, melalui proses asesmen Terapadu. Pengaturan tentang asesmen terpadu harus diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang, termasuk syarat dan prosedur pengajuan asesmen dan sistem kerja tim asesmen terpadu.
Kata Kunci: TAT, Narkotika, Pertimbangan Hakim, Rehabilitasi.
The Integrated Assessment Team, which consists of a legal team and a medical team, is positioned as an assessor whose job is to provide recommendations to judges regarding the level of narcotics dependence and the suspect's involvement in narcotics crimes. So, through the recommendations of the Integrated Assessment Team, narcotics abusers can be classified whether they are victims, addicts or enter the illicit circulation of narcotics so that the sentence imposed on them can be adjusted. Article 54 of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics determines medical rehabilitation and social rehabilitation. The problem in this study is how is the recommendation of the Integrated Assessment Team as a judge's consideration in imposing a rehabilitation sentence on narcotics abusers? And what is the recommendation of the Integrated Assessment Team as a judge's consideration in imposing a sentence on a narcotics abuser in accordance with the purpose of sentencing? The research method uses normative juridical and empirical juridical approaches that are descriptive in nature with data sources consisting of primary data, namely interviews and secondary data, namely primary, secondary and tertiary legal sources. Methods of data collection by interviews and literature study, then the data were analyzed qualitatively.
The results of this study indicate that there is only one narcotics case at the Gedong Tataan District Court that will receive a rehabilitation decision in 2021. In the criminal case with Case Number 86/Pid.Sus/2022/PN Gdt, the TAT recommendation is used as the basis for the public prosecutor in demanded the defendant in the form of rehabilitation, but in the verdict the Judge at the Gedong Tataan Court still sentenced the defendant to prison. Based on the results of the research, the TAT recommendation which is a letter of evidence does not bind the judge's decision, but is used as a consideration for the type or severity of the crime, as long as the recommendations given are in accordance with legal facts and in accordance with legal objectives, namely legal certainty, expediency and justice. Suggestions The application of punishment to abusers who consume narcotics should be differentiated between novice users, addicts, victims of abuse and abusers who are involved in the network, through an integrated assessment process. Arrangements regarding integrated assessment must be regulated clearly and explicitly in the law, including the requirements and procedures for submitting assessments and the integrated assessment team work system.
Keywords: TAT, Narcotics, Judge's Consideration, Rehabilitation.
HASAN MEILITA 21220110322023-02-01T08:13:44Z2023-02-01T08:13:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68637This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686372023-02-01T08:13:44ZANALISIS FASILITAS KREDIT PEMBIAYAAN PADA BANK DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL BERUPA KARYA CIPTA LAGU
Hak kekayaan intelektual pada perkembangan masyarakat skala global kini dapat dijadikan akses untuk mendapatkan fasilitas kredit perbankan. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku usaha yang memiliki produk yang dilindungi oleh hukum HKI untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank guna mengembangkan usaha mereka. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana fasilitas kredit pembiayaan pada bank dengan jaminan sertifikat hak atas kekayaan intelektual berupa karya cipta lagu. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat HKI berupa karya cipta lagu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dan Empiris. Penelitian Normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada di dalam masyarakat seperti wawancara dengan narasumber yang terpadu.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa fasilitas pemberian kredit yang menggunakan jaminan HKI tersebut telah diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, akan tetapi Pihak bank belum pernah menerima hak cipta sebagai jaminan kredit karena ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaannya. Serta, Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian fasilitas kredit pembiayaan dengan jaminan sertifikat HKI berupa karya cipta lagu yaitu Pertama, harus memiliki nilai ekonomis. Kedua, terdaftar di dirjen HKI. Ketiga, masih dalam masa perlindungan hak cipta lagu. Keempat, merupakan milik pribadi, dan Kelima dapat beralih atau dialihkan. baik secara keseluruhan maupun sebagian. Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini seharusnya Bank Indonesia perlu memformulasikan peraturan perbankan serta mekanisme valuasi yang jelas dan menjamin kepastian hukum terhadap HKI berupa karya cipta lagu agar bisa diterima, yakni berkepastian hukum dan perlindungan hukum, serta bank harus membentuk kerangka pikir untuk menilai keuntungan yang di dapat pemilik HKI untuk menentukan layak atau tidak sebuah hak cipta nya dijadikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
Kata Kunci: Hak Cipta, Kekayaan Intelektual, Pembiayaan.
Intellectual property rights in the development of a global scale society can now be used as access to international scale bank credit facilities. This phenomenon is exploited by business actors who have products protected by IPR law to obtain credit facilities from banks to develop their businesses. The problem in writing this thesis is how to finance credit facilities at banks with guaranteed certificates of intellectual property rights in the form of song copyrights. What are the factors that influence the granting of financing financing credit facilities guaranteed by IPR certificates in the form of copyrighted songs.
This study uses a normative and empirical juridical approach. Normative research is carried out on matters that are theoretical in nature on legal principles, while the empirical approach is carried out to study law in reality in society such as interviews with integrated sources.
The results of the research found that the credit facility that uses IPR guarantees has been regulated based on Government Regulation (PP) Number 24 of 2022 concerning Regulations for Implementing Law Number 24 of 2019 concerning the Creative Economy, however the bank has never received copyright as a credit guarantees because there are several factors that hinder its implementation. Also, the factors that influence the provision of financing credit facilities guaranteed by IPR certificates in the form of copyrighted songs, namely First, they must have economic value. Second, it is registered with the Director General of Intellectual Property Rights. Third, it is still under song copyright protection. Fourth, is private property, and Fifth can be transferred or transferred. either in whole or in part. As for suggestions that can be conveyed in this study, Bank Indonesia should formulate banking regulations and a clear valuation mechanism and guarantee legal certainty for IPR in the form of copyrighted songs so that they can be accepted, namely legal certainty and legal protection, and banks must form a framework for assessing profits. that can be obtained by the owner of IPR to determine whether or not a copyright is appropriate to be used as collateral to get credit facilities.
Keywords: Copy Right, Financing, Intellectual Property.
ROSA NABILA 20220110182023-02-01T08:04:12Z2023-02-01T08:04:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68635This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686352023-02-01T08:04:12ZAKIBAT HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN TANDATANGAN DALAM AKTA JUAL BELI ATAS TANAH YANG DILAKUKAN DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
(STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA PIDANA NOMOR 1027 K/PID/2021
DAN PUTUSAN PERKARA PERDATA NOMOR 369 K/PDT/2021)Pendaftaran Tanah sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka (1) PP No.24 Tahun
1997 adalah runtutan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah secara berkelanjutan, berkesinambungan dan sistematis, yang diantaranya, kolektif data, pengolahan, pembukuan dan pencitraan dan pengawasan data baik yang berbentuk fisik maupun yuridis dengan bentuk peta dan daftar dari masing-masing bidang baik itu tanah, rumah, satuan rumah susun yang dengannya termasuk pada bukti kepemilikan hak-hak tersebut. Kata pemalsuan memiliki arti kegiatan yang dilakukan dengan tidak otentik baik dari cara, proses, maupun pembuatannya. Sehingga unsur dari pemalsuan adalah adanya pelaku, dan adanya barang yang dipalsukan dengan tujuan untuk pemalsuan. Tindak pidana pada kasus pemalsuan tanda tangan dalam putusan pidana nomor 1027 K/PID/2021 dan putusan perkara perdata nomor 369 K/PDT/2021 dimana Terdakwa atas nama Purwanto Bin Bajuri telah terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan tanda tangan dari Rahmad Yuli Basuki yang dibubuhkan pada akta jual beli PPAT. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder. Seorang yang tidak wenang dalam melakukan tindakan hukum adalah seseorang yang memang dilarang oleh undang-undang untuk tidak melakukan tindakan hukum tertentu. Perjanjian yang dilakukan oleh handelingsonbevoegdheid atau orang yang ditentukan oleh undang- undang tidak memiliki kewenangan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Berdasarkan putusan inkrah dari pengadilan pidana yang telah menetapkan secara sah dan meyakinkan bahwa Purwanto Bin Bajuri melakukan tindakan pemalsuan tanda tangan, maka upaya yang kemudian akan dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan yang bersifat kondemnatior yang memiliki arti bahwa putusan tersebut adalah berisi hukuman atau penghukuman dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.
Kata Kunci : Pemalsuan, Pendaftaran Tanah, Upaya Hukum
Land registration as described in Article 1 number (1) PP No. 24 of 1997 is a series of activities carried out by the government in a sustainable, continuous and systematic manner, which include, among other things, data collection, processing, bookkeeping and imaging and monitoring of data both in the form of physical and juridical in the form of maps and lists of each plot, be it land, houses, flats, which are included in the proof of ownership of the rights. The word forgery has the meaning of activities carried out inauthentic both in terms of the method, process, and manufacture. So that the element of counterfeiting is the presence of the perpetrator, and the existence of counterfeit goods with the aim of counterfeiting. The crime in the case of forgery of signatures in the criminal decision number 1027
K/PID/2021 and the decision of the civil case number 369 K/PDT/2021 where the Defendant on behalf of Purwanto Bin Bajuri has been proven to have committed the crime of forging the signature of Rahmad Yuli Basuki which was affixed on PPAT sale and purchase deed. A person who is not authorized to take legal action is someone who is indeed prohibited by law from taking certain legal actions. Agreements made by handelingsonbevoegdheid or persons determined by law do not have the authority to result in the agreement being null and void. Based on the inkrah decision from the criminal court that has legally and convincingly determined that Purwanto Bin Bajuri committed an act of forging signatures, the next effort to be made is to file a civil lawsuit to the Court to obtain a condemnatior decision which means that the decision contains punishment or punishment in which the losing party is punished for doing something.
Keywords: Forgery, Land Registration, Legal Effort
AZMILHUDA WIM FADEL 21220110552023-01-30T04:17:10Z2023-01-30T04:17:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68516This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685162023-01-30T04:17:10ZKONSTRUKSI RISALAH LELANG E-AUCTION SEBAGAI AKTA AUTENTIK DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERDATA Risalah Lelang menurut PMK 213/2020 ialah suatu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Lelang menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Akta tersebut dibuat atas dasar permintaan pihak atau penghadap, yakni Pihak Penjual. Adanya pelaksanaan lelang secara elektronik (E-Auction) maka terjadi pembuatan akta Risalah Lelang tanpa sepengetahuan para pihak secara utuh atau lengkap, di mana pada saat pelaksanaan E-Auction tidak dihadiri peserta lelang secara langsung (kehadiran fisik). Hal tersebut tentunya telah menghilangkan esensi dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai akta autentik tentang “penghadapan”. Ketidakhadiran peserta lelang ini dimaknai sebagai ketidakhadiran secara fisik, namun dapat dihadiri melalui media elektronik. Penelitian ini akan mengkaji apakah Konstruksi Risalah Lelang dengan pelaksanaan E-Auction masih memenuhi unsur-unsur esensial dari Akta Autentik berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bagaimanakah status pembuktian atas akta Risalah Lelang E-Auction tersebut bagi para pihak? Atas pemikiran tersebut, penulis akan meneliti dengan menggunakan metode pendekatan undang-undang, selain itu penulis juga meneliti pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin berkenaan dengan akta autentik sebagai produk pejabat umum, khususnya dengan pejabat umum Notaris yang lebih matang konsepsinya dibandingkan dengan materi bidang lelang sebagai suatu kajian. Hasil penelitian menyatakan bahwa Risalah Lelang E-Auction dapat diakui sebagai akta autentik berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna secara lahiriah, formil dan materiil. Namun jika dikaitkan dengan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terdapat keraguan di dalam keautentikan Risalah Lelang yang tidak dibacakan bagian Kepala Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang.
Kata Kunci: Akta Autentik, Pembuktian Sempurna, Risalah Lelang E-Auction.
Minutes of Auction according to PMK 213/2020 is an authentic deed made by or before the Auction Officer according to the form and procedure stipulated in the law. The deed is made at the request of the party or confronter, namely the Selling Party. The implementation of an electronic auction (E-Auction), there is a deed of Minutes of Auction without the knowledge of the parties as a whole or complete, where at the time of the E-Auction implementation the auction participants were not attended directly (physical presence). This certainly has eliminated the essence of Article 1868 of the Civil Code regarding authentic deeds regarding "face to face". The absence of bidders is interpreted as physical absence, but can be attended through electronic media. This research will examine whether the Construction of Minutes of Auction with the implementation of E-Auction still fulfills the essential elements of an authentic deed based on Article 1868 of the Civil Code and what is the evidentiary status of the E-Auction Minutes deed for the parties? For this reason, the author will be doing a research using the statutory approach method, besides that the author also examines the views and doctrines regarding authentic deeds as a product of public officials, especially with Notary public officials who are more mature in conception compared to the material of the auction field as a study. The results of the study state that the Minutes of E-Auction can be recognized as an authentic deed based on Article 1868 of the Civil Code which has perfect evidentiary power outwardly, formally and materially. However, if it is associated with the provisions in the Undang-Undang Jabatan Notaris, there are doubts in the authenticity of the Minutes of Auction that the Head of the Minutes of Auction is not read by the Auction Officer.
Keywords: Authentic Deed, Perfect Proof, E-Auction Minutes.
EZZAH NARISWARI LUPIANTO2122011252023-01-27T04:38:20Z2023-01-27T04:38:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68535This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685352023-01-27T04:38:20Z
PERAN PENYIDIK DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN ANAK.
( Studi Kasus di Polda Lampung )
Tindak Pidana Persetubuhan anak saat sekarang ini semakin meningkat khususnya
terjadi dikalangan keluarga yang dilakukan oleh anggota keluarga itu sendiri atau
temen dekat korban. Untuk menangani tindak pidana persetubuhan anak
kepolisian Republik Indonesia memiliki peran melalui penyidik untuk bertugas
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta melakukan penegakan
hukum demi terciptanya ketertiban, mengingat hukum sebagai pedoman bagi
manusia untuk membatasi tingkah laku dan perbuatan yang dapat merugikan serta
sebagai pemberi efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual. Permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah bagaimana peran penyidik dalam menangani tindak
pidana persetubuhan anak dan mengapa terjadi faktor-faktor yang menghambat
peran kepolisian dalam upaya menangani tindak pidana persetubuhan anak?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu dilakukan
wawancara dengan nara sumber atau aparat penegak hukum, kemudian penelitian
ini mendeskripsikan dan menganalisa peran penyidik kepolisian, prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dan data
yang diperoleh selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif agar mudah dipahami.
Hasil penelitian yang diperoleh terhadap tindak pidana persetubuhan anak di
Polda Lampung adalah bahwa peran penyidik dalam menangani persetubuhan
anak terdiri dari tiga peran yaitu peran normatif, peran ideal dan peran faktual.
Peran yang dilaksanakan oleh penyidik kepolisian adalah peran normatif yaitu
peran dilakukan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. dan Peran faktual yaitu peran
yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang didasarkan pada kenyataan secara
kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata berdasarkan
tugas dan wewenangnya. Sedangkan peran ideal yang dijalankan oleh penyidik
kepolisian yang berdasarkan nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan kedudukan di dalam suatu sistem belum dapat dijalankan
mengingat adanya beberapa hambatan dan kekurangan. Faktor-faktor penghambat
yang dihadapi oleh penyidik adalah faktor substansi hukum, fakor penegak
hukum, faktor sarana prasarana, dan faktor masyarakat serta faktor budaya.
Saran yang disampaikan oleh penulis agar sebaiknya jumlah penyidik yang
mempunyai kompetensi di bidang penanganan anak ditambah, dan perlu
dilengkapi sarana prasarana berupa ruang khusus pemeriksaan anak, kendaraan
dinas dan ahli psikiater untuk mendampingi korban agar proses penyidikan
berjalan dengan cepat.
Kata kunci: Peran Penyidik, Tindak Pidana Persetubuhan, Anak
The crime of child sexual intercourse is currently increasing, especially among
families and carried out by the victim's family or close friends of the victim. The
police have a role through investigators to protect, protect and serve the
community and carry out law enforcement for the sake of creating order. The
problem in writing this thesis is what is the role of investigators in dealing with
criminal acts of child sexual intercourse and what are the factors that hinder the
role of the police in dealing with criminal acts of child sexual intercourse?
This study uses a normative juridical and empirical juridical approach.
Normative research is carried out on theoretical matters of legal principles, while
the empirical approach is carried out to study the law in reality in the form of
legal opinions, attitudes and behavior.
The results of the research obtained on the crime of child sexual intercourse at the
Lampung Regional Police are that in 2019 it reached 95 cases, in 2020 it reached
100 cases, and in 2021 it reached 125 cases. This case occurs because children
are very weak people so that the perpetrators are free to have intercourse,
especially when accompanied by threats and persuasion, so that the perpetrators
feel safe in having intercourse with children. The role of the investigator is to
maintain public security and order, enforce the law, and provide protection,
protection and service to the community. carry out functions such as providing
police services to the public in the form of receiving and handling reports or
complaints, requests for assistance or assistance, making arrests, detentions,
searches, investigations and investigations of suspects.
The suggestion submitted by the author should be that the number of investigators
and investigators who have competence is increased and needs to be equipped
with equipment in the form of forensic laboratories in each regional police, so
that the investigation process runs quickly.
Keywords: The Role of Investigators, Handling Sexual Intercourse, Children
E.J Situmorang Jhon21220111022023-01-27T04:33:12Z2023-01-27T04:33:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68534This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685342023-01-27T04:33:12ZPELAKSANAAN KETENTUAN PADA PASAL 29 HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT BAGI PASIEN TIDAK MAMPU
(Studi Kasus RSU Muhammadiyah Metro) Oleh
Pemerintah Indonesia menyediakan pelayanan kesehatan bagi pasien tidak mampu/miskin dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan terhadap pasien tidak mampu/miskin, namun dalam pelaksanaannya masih terjadi misinformasi terkait fasilitas pelayanan kesehatan terhadap kartu Jaminan Kesehatan Nasional. RSU Muhammadiyah Metro mempunyai terobosan program dalam pelayanan kesehatan yaitu Program Al-Ma’un Peduli RSU Muhammadiyah Metro, seperti pada kasus pasien di RSU Muhammadiyah Metro yang awalnya mempunyai kartu Jaminan Kesehatan BPJS PBI Kelas III yang Aktif menjadi Non-Aktif, sehingga pasien diikut sertakan dalam Program Al-Ma’un Peduli RSU Muhammadiyah Metro dengan mendapatkan keringanan biaya dari RSU Muhammadiyah Metro serta mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan di Rumah Sakit oleh para pihak Tenaga Kesehatan dan Dokter. Penelitian ini menganalisa mengenai Pelaksanaan Ketentuan Pasal 29 huruf F Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi pasien tidak mampu dan sistem perlindungan hukum terhadap Pasien tidak mampu terkait hak dan kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien tidak mampu apabila tidak dilayani Rumah Sakit dan menggunakan metode Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Yuridis Normatif Empiris. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu RSU Muhammadiyah Metro telah melaksanakan Ketentuan Pasal 29 Huruf F Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 dengan melakukan Fungsi Sosial berdasarkan Ketentuan Pasal 29 Huruf F Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang disesuaikan pada pelayanan kesehatan yang ada di RSU Muhammadiyah Metro salah satu diantaranya yaitu memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dengan mengikut sertakan dalam Program Al-Ma’un Peduli RSU Muhammadiyah Metro. Saran bagi fasilitas pelayanan kesehatan di Indoneisa diharapkan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien dengan memberikan pertolongan demi perikemanusiaan serta menjalankan fungsi sosial yang dimaksud dalam Ketentuan Pada Pasal 29 Huruf F Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.
Kata kunci: Pelayanan Kesehatan, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), Program Peduli Al-Ma’un RSU Muhammadiyah Metro.
Indonesian government provides health services for poor/poor patients by providing health service facilities to poor/poor patients, but in practice there is still misinformation regarding health facilities regarding the National Health Insurance card. RSU Muhammadiyah Metro has a breakthrough in health services that is Al- Ma’un Caring Program Muhammadiyah Metro Public Hospital, as in the case of patients at the Muhammadiyah Metro Public Hospital who initially had BPJS PBI Class III Health Insurance card that is Active becomes Inactive, so that patients are included in the Al-Ma’un Care Program Muhammadiyah Metro Public Hospital by getting fee relief from Muhammadiyah Metro Public Hospital and getting services according to service standards at the Hospital by the Staff Health and Doctor. This study analyzes the implementation of the provisions of Article 29 letter F of Law Number 44 of 2009 concerning health services in hospitals for underprivileged patients and the system of legal protection for incapacitated patients regarding the rights and obligations of Patiens, Doctors and Hospitals as well as possible legal remedies, carried out by incapacitated patients if they are not served by the hospital and use qualitative research methods with an empiric-normative juridical approach. The research results obtained are that Muhammadiyah Metro Public Hospital has carried out the provisions of Article 29 Letter F of Law Number 44 of 2009 by carrying out social functions bassed on the provisions of Article 29 Letter F of law Number 44 of 2009 which are adjusted to the existing health services at Muhammadiyah Metro Hospital one of them is providing service facilities for poor/poor patients by participating in the Al-Ma’un Cares Program at Muhammadiyah Metro Public Hospital. Suggestions for health service facilities in Indonesia are expected to be able to provide health service to patients by providing assistance for the sake of humanity and carrying out the social functions referred to in the provisions of Article 29 Letter F of law Number 44 of 2009.
Keywords: Health Services, JKN (National Health Insurance), Al-Ma’un Caring
Program Muhammadiyah Metro Public Hospital.
SYINTA AMELIA 21220110172023-01-26T07:41:59Z2023-01-26T07:41:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68508This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685082023-01-26T07:41:59ZBATASAN KEWENANGAN KLINIS DAN PRAKTIK KEDOKTERAN
MELALUI TELEMEDICINE BERBASIS APLIKASI
Telemedicine merupakan pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional
kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi
pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera,
penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan
untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat. Namun,
keberadaan telemedicine tidak didukung kesiapan regulasi yang mengatur dan
menjadi payung hukumnya sehingga terjadi sebuah kekosongan hukum dalam
pengaturan perlindungan bagi dokter dan juga pengawasan terhadap dokter yang
berpraktek telemedicine yang berpotensi menimbulkan permasalahan tuntutan
sengketa medik hingga dugaan malpraktik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
kedudukan aplikasi penyedia layanan telemedicine di dalam transaksi terapeutik
praktik kedokteran, kedudukan Surat Izin Praktik (SIP) dokter dalam praktik
telemedicine dan batasan kewenangan klinis yang dapat dilakukan seorang dokter
dalam memberikan pelayanan jasa medis berupa telemedicine. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisa bahan pustaka, bahan
hukum sekunder dan hasil wawancara narasumber. Hasil penelitian menemukan
aplikasi penyedia layanan telemedicine bukan merupakan Fasyankes resmi, SIP
yang digunakan sebagai persyaratan dalam telemedicine berbasis aplikasi tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan batasan kewenangan klinis praktek
secara telemedicine ialah pertukaran informasi diagnosis (konsultasi) serta
pengobatan, dan pencegahan penyakit dengan tatalaksana awal di rumah dan
pemberian obat-obatan diluar golongan narkotika, psikotropika dan obat keras.
Kata Kunci: Kewenangan Klinis, Praktik Kedokteran, Telemedicine.
Telemedicine is remote health services by health professionals using information
and communication technology, including the exchange of information on
diagnosis, treatment, prevention of disease and injury, research and evaluation,
and continuing education of health service providers for the benefit of improving
individual and community health. However, the existence of telemedicine is not
supported by the regulations that regulate and become the legal protection.
According to that condition, so that there is a legal gap in the regulation of
protection for doctors and also supervision of doctors who practice telemedicine
which has the potential to cause problems with claims for medical disputes and
allegations of malpractice. The research aims to determine the position of
telemedicine service provider applications in medical practice therapeutic
transactions, the position of a doctor's Practice License in telemedicine practice
and the limits of clinical authority that a doctor can exercise in providing medical
services in the form of telemedicine. This study uses a normative juridical method
by analyzing library materials, secondary legal materials and the results of
interviews with informants. The results of the study found that the telemedicine
service provider application was not an official health facility, the Practice License
used as a requirement in application-based telemedicine was not in accordance
with applicable regulations, and the limitations of clinical authority for
telemedicine practice were consultation and initial therapy.
Keywords: Clinical Authority, Medical Practice, Telemedicine Karisa Adhalia Chandrika21220110652023-01-24T01:19:04Z2023-01-24T01:19:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68413This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/684132023-01-24T01:19:04ZANALISIS PENERAPAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI
ALTERNATIVE PENYELESAIAN PERKARA AKSI EKSIBIONISME
Kasus baru yang sering terjadi yaitu kasus eksibionisme. Eksibisionisme, yaitu kondisi
yang ditandai oleh dorongan, fantasi, dan tindakan untuk memperlihatkan alat kelamin
kepada orang asing tanpa persetujuan orang tersebut. Contoh kasus yaitu siskae yang terjadi
di Bandara Internasional Yogyakarta dan kasus WYS di stasiun Sudirman. penulis akan
menganalisa terkait penerapan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi Jo Pasal 281 KUHP tentang Tindak Pidana Asusila terhadap aksi
eksibionisme yang dilakukan oleh pelaku dan restorative justice sudah memenuhi rasa
keadilan dari korban aksi eksibionisme. Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu
metode pendekatan secara yuridis normatif dan metode pendekatan secara yuridis empiris.
Tipe penelitian yang digunakan ini adalah tipe deskriptif analis. Hasil penelitian yang
didapatkan oleh penulis yaitu, Aksi eksibionisme termasuk dalam ketegori delik aduan
yang dimana korban secara langsung mengadu ke aparat penegekan hukum dikarenakan ia
melihat suatu tindakan yang dilarang didalam perundang-undangan. Jika diteliti dalam
suatu perundang-undangan yaitu aksi eksibionisme terkait dengan Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dan Pasal 281 KUHP, dalam suatu
peraturan itu sendiri belum adanya ketegasan terkait aksi eksibionisme namun jika dilihat
dari beberapa unsur yang dilakukan oleh pelaku maka dapat ditarik dengan ancaman
hukuman sesuai dengan ketiga undang-undang yang diterapkan tersebut. Menurut
perbandingan hakim yaitu hakim dapat menjatuhkan suatu putusan bagi pelaku aksi
eksibionisme apabila ia telah terbukti tidak memiliki penyakit seksual seperti contoh kasus
di Kebumen dan Bali sesuai dengan hasil Visum et Repertum No. 441.6//36/V/2012, yaitu
pelaku memang benar mengidap penyakit eksibionisme sejak remaja. Kedua pelaku
mendapatkan putusan bebas dari ancaman hukuman maka pelaku harus menebus
kesalahannya dengan cara mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan punishment
social, pelaku harus memiliki perjanjian dengan aparat penegakan hukum terkait kerja
sosial, dimana ia berkerja namun tidak diberi upah dikarenakan harus menebus
kesalahannya jika diterapkan Restorative Justice. Terkait kerugian yang korban ialah
kerugian secara moril yang dimana korban memiliki rasa trauma dan suatu keadilan yang
dapat diterapkan yaitu permohonan maaf dari pelaku atas aksi eksibionisme yang
diperbuatnya juga keadilan yang di dapatkan oleh korban yaitu dengan cara pihak
keluarga harus ikut serta bertanggungjawab dalam aksi eksibionisme yang dilakukan
pelaku dimana dalam hal ini harus ada surat perjanjian apabila pelaku mengulangi
kembali maka pihak keluarga yang harus bertanggung jawab, korban juga harus
mendapatkan keadilan dari aparat penegak hukum dengan cara dilindungi dari ancaman
pihak keluarga maupun pelaku. Dikarenakan keadilan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah keadilan yang bersifat subjektif dan relatif maka dari itu semua orang memiliki hak
untuk berpendapat dikarenakan semua memiliki cara pandang dan cara berfikir masingmasing.
Kata Kunci: Eksibionisme, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Dan
Pasal 281 KUHP, Restorative Justice
Exhibitionism is a recent case that has been occurring. Exhibitionism is a condition
characterized by urges, fantasies, and acts of exposing genitals to strangers without that
person’s consent. Examples of cases are the siskae that occurred at Yogyakarta
International Airport and the WYS case at Sudirman Station. This research will analyze
the Implementation of Article 36 of Law Number 44 of 2008 concerning Pornography Jo.
with Article 281 of the Criminal Code on Immoral Crimes Against Exhibitionism Actions
by Perpetrators. The research also further identifies if Restorative Justice has fulfilled the
sense of justice of exhibitionism’s victims. The research method used in this research is a
normative and empirical juridical approach. The type of research used is descriptive
analysis. The research found that exhibitionism is included in the category of offense. This
category means that the victims directly complain to law enforcement officials because they
experience an action prohibited in the legislation. If examined from the legislation
perspective, exhibitionism is correlated to Article 36 of Law Number 44 of 2008 on
Pornography, Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, and Article
281 of the Criminal Code. In these regulations, there is no explicit mention of
exhibitionism. However, if viewed from the elements applied by the perpetrator, they will
be charged with punishment under the three laws mentioned prior. According to the judge’s
comparison, the judge can pass a decision on exhibitionism if they are proven not to have
a sexual disease. One of the exhibitionism cases is in Kebumen and Bali. Based on Visum
et Repertum result No. 441.6//36/V/2012, the perpetrators suffered from exhibitionism
since they were teenagers. The two perpetrators received acquittals as punishment.
Therefore, the perpetrators must make amends through accountability for their actions
with social punishment. The perpetrators must have an agreement with law enforcement
officials regarding social work. In this social work, they are not paid wages because the
social work is a form of Restorative Justice execution. Justice for the victim is the
responsibility of the perpetrators’ families. There must be a written agreement between the
perpetrators, their families, and the victims. The agreement states that if the perpetrator
repeats exhibitionism, the family must also be responsible. Enforcement law must protect
the victim from the perpetrators and their families’ threats. The justice referred to in this
research is subjective and relative justice. Thus, everyone has the right to have an opinion
because everyone has their perspective and way of thinking.
Keywords: Exhibitionism, Article 36 of Law Number 44 of 2008 and Article 281 of the
Criminal Code, Restorative Justice.WAHYUNI BETI EKA 21220110882023-01-18T08:59:28Z2023-01-18T08:59:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68375This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/683752023-01-18T08:59:28ZPERSPEKTIF KEBIJAKAN PERAMPASAN ASET
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI TANPA MELALUI
PEMIDANAAN DI INDONESIA
Tindak pidana korupsi saat ini terus berkembang hingga membuat kerugian besar
bagi negara, terlebih hal tersebut disertai dengan adanya tindakan
menyembunyikan aset bahkan pencucian uang. Berdasarkan hal tersebut yang
menjadi pokok permasalahan yaitu berfokus pada perspektif kebijakan
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi tanpa melalui pemidanaan, dan
kebijakan dalam RUU Perampasan Aset. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
dan menganalisis kebijakan yang mengatur mengenai perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi tanpa melalui pemidanaan di Indonesia.
Metode penelitian menggunakan pendekatan secara yuridis normatif didukung
dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara mendalam (in-depth
interview) dengan beberapa narasumber. Data yang digunakan adalah data yang
bersumber dari data primer dan data sekunder yang masing-masing bersumber
atau diperoleh dari lapangan dan kepustakaan, serta analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif kebijakan perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi tanpa melalui pemidanaan di Indonesia dapat dilakukan
dengan beberapa ketentuan yang diatur Pasal 32, 33, 34, dan 38C Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, serta dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC. Selain ketentuan yang
belum memadai, pentingnya undang-undang tentang perampasan aset juga dapat
dilihat dari posisi Indonesia sebagai negara peratifikasi UNCAC. Perspektif
kebijakan dalam RUU Perampasan Aset pada dasarnya dapat menopang agenda
pemulihan kerugian keuangan negara sekaligus merampasan aset secara maksimal
dari para pelaku korupsi. Dengan menggunakan konsep NCB Asset Forfeiture,
orientasi penegakan hukum tidak lagi menggunakan pendekatan in personam,
melainkan berpindah pada in rem.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya DPR bersama dengan pemerintah
segera melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU Perampasan Aset
sehingga kebutuhan Indonesia dapat dihadirkan dan digunakan dalam upaya
pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia, sehingga
terdapat kebijakan yang lebih jelas dan efektif dalam pelaksanaannya.
Kata Kunci: Kebijakan, Perampasan, Korupsi, Pemidanaan.
The criminal act of corruption is growing to the point of causing significant losses
to the state, especially when this is accompanied by acts of hiding assets and
money laundering. Based on this, the main problem is focusing on the policy of
corruption asset forfeitures without waiting on a conviction. This research aims to
examine and analyze the policies governing the corruption asset forfeitures
without going through punishment.
The research method uses a normative juridical approach supported by an
empirical juridical approach through in-depth interviews with several informants.
Where the data used are data sourced from primary data and secondary data,
each sourced or obtained from the field and literature, as well as qualitative data
analysis.
The research results show that the policy of forfeiting corruption assets before
convictions in Indonesia is implemented with several provisions stipulated in
Articles 32, 33, 34, and 38C of the Law of the Republic of Indonesia Number. 20
of 2001 concerning Eradication of Corruption Crimes, as well as in Article 54
paragraph (1) letter c UNCAC. The policies in the Asset Forfeiture Bill can
support the agenda of recovering state financial losses while also forfeiting the
corruptors' assets to the maximum. Using the NCB Asset Forfeiture concept, the
law enforcement orientation is no longer using an in personam approach but
shifting to in rem.
The research suggests that the House of Representatives and the government
should immediately discuss and pass the Asset Forfeiture Bill, hence presenting
Indonesia's requirements to eradicate and prevent corruption in Indonesia.
Furthermore, passing the bill will establish clearer and more effective policies in
its implementation.
Keywords: conviction; corruption; forfeiture; policy.Linda Rosa 2122011008