Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T02:27:11ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2016-01-26T05:00:15Z2016-01-26T05:00:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/20435This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/204352016-01-26T05:00:15ZHARMONISASI PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
PEREMPUAN DAN ANAK BERDASARKAN PROTOCOL TO PREVENT,
SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY
WOMEN AND CHILDREN SEBAGAI PROTOKOL TAMBAHAN
KONVENSI TOC(TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANGBertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak di berbagai
negara, terutama negara-negara berkembang telah menjadi perhatian masyarakat
internasional terutama perserikatan bangsa-bangsa, Protocol To Prevent, Suppress
And Punish Trafficking in Persons, Especially Women And Children, yang
selanjutnya disebut sebagai Protokol Trafficking adalah salah satu protocol
tambahan dari Konvensi TOC (Transnational Organized Crime) yang dihasilkan
oleh PBB dan merupakan instrument internasional yang sangat membantu dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan perdagangan orang, khususnya
perdagangan perempuan dan anak. Pemerintah Indonesia telah ikut
menandatangani serta meratifikasi Konvensi berserta protocol tambahannya
tersebut dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime, sedangkan Undangundang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO) merupakan undang-undang yang di bentuk beberapa tahun
sebelum Indonesia meratifikasi ketentuan internasional tersebut, dengan demikian
maka perlu adanya harmonisasi antara ketentuan hukum internasional dengan
ketentuan yang ada di hukum nasional Indonesia dengan tetap menyesuaikan dan
memperhatikan isi dari ketentuan hukum nasional Indonesia.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah berusaha untuk menjelaskan mengenai
harmonisasi pengaturan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang khususnya perempuan dan anak berdasarkan protocol Trafficking dan UU
No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, tujuannnya adalah agar mengetahui
keharmonisasian Pengaturan perlindungan terhadap korban tindak pidana
perdagangan orang khususnya perempuan dan anak berdasarkan Protocol
Trafficking dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan tipe penelitian
deskriptif, pendekatan masalah dilakukan secara yuridis, yaitu kajian terhadap
peraturan perundang-undangan, serta sumber dan jenis data yang di pergunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder melalui teknik studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam Undangundang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang seperti pengertian perdagangan orang, tujuan, dan bentuk-bentuk
perlindungan yang diberikan sudah mencakup atau mengadopsi isi dari ketentuan
pengaturan yang terdapat dalam protocol trafficking, hal ini karena meskipun
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO dibentuk sebelum Indonesia
meratifikasi Protokol tersebut dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime,
namun Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang merupakan wujud komitmen Indonesia dalam melaksanakan
Protocol Trafficking yang bertujuan mencegah, memberantas dan menghukum
perdagangan orang khusus perdagangan perempuan dan anak, yang sebelumnya
ditandatangani pada waktu Protocol Trafficking tersebut dibentuk di Palermo
Italia pada tahun 2000, perbedaan kedua sistem hukum tersebut hanya pada
lingkup berlakuny, dimana ketentuan dalam Undang-undang N0. 21 Tahun 2007
tentang PTPPO wilayah cakupannya lebih sempit dibanding dengan Protokol
Trafficking yang merupakan ketentuan Internasional yang mengatur mengenai
perdagangan orang pada umumnya dan perdagangan perempuan dan anak pada
khususnya secara universal.
Kata kunci : Harmonisasi, Perlindungan Hukum, Perdagangan orang khususnya
perdagangan perempuan dan anak.Yeyen Rismiyanti 04120112592016-01-26T04:34:40Z2016-01-26T04:34:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/20320This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/203202016-01-26T04:34:40ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PELANGGARAN HAK ATAS MEREK
(Studi di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)Merek merupakan tanda pembeda dari produk sejenis yang berasal dari produsen lain.
Merek digunakan sebagai tanda pengenal yang membentuk presepsi dan citra bagi
para pemakai atau konsumen. Merek mempunyai arti penting dalam mengantisipasi
perbuatan curang (unfair competition). Hal tersebut penting karena di dalam
masyarakat khususnya produsen terdapat keinginan untuk memperoleh keuntungan
ekonomi dengan cara tidak halal yakni menggunakan dengan cara membonceng
(passing off) yaitu menggunakan merek yang sudah dikenal masyarakat terhadap
barang itu sendiri. Kenyataan yang ada di masyarakat, memang saat ini banyak
dijumpai di pasar berbagai macam produk yang dipalsukan, tindak pidana jenis ini
sudah jelas dan transparan diatur dalam Undang-Undang, baik dalam KUHP maupun
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Adanya peraturan perundang
undangan tersebut dapat dijadikan acuan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana
bagi pelaku pelanggaran merek. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pelanggaran hak atas merek, dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana pelanggaran hak atas merek.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan data
sekunder. Sedangkan responden dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang hakim.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, kemudian diambil kesimpulan
secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut: pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran hak
atas merek yaitu Anas H. Nurdin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan
terdakwa dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat jiwanya, dan selama persidangan
tidak ditemukan alasan pembenar dan pemaaf yang dapat menghapus
pertanggungjawaban pidana pada diri terdakwa. Sehingga terdakwa dapat dijatuhi
Ria Anggraini
dengan pidana penjara maupun membayar denda kepada pihak korban. Pidana penjara
yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku yaitu selama 7 (tujuh) bulan dan
denda sebesar Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana
pelanggaran hak atas merek yaitu adanya keadaan yang meringankan terdakwa yaitu
terdakwa mengakui terus terang dan menyesali atas perbuatanya dan berjanji tidak
akan mengulangi lagi, terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum, terdakwa
sopan dipersidangan dan keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan
terdakwa meresahkan para petani, perbuatan terdakwa sangat merugikan pemegang
hak merek. Adanya harapan pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya, motif
dilakukannya tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan perbuatan,
akibat yang timbul terhadap korban, pengaruh pidana yang dijatuhkan terhadap
pelaku, pandangan masyarakat dan pengaruh penjatuhan pidana terhadap korban dan
keluarganya. Hakim dalam memutus perkara hanya bersifat dogmatis dan hanya
memenuhi kepastian hukum, yaitu hanya menerapkan aturan hukum terhadap suatu
perkara.
Berdasarkan penelitian, disarankan agar : a). Bagi hakim hendaknya dalam
menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus pemalsuan merek selain
mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan
memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut
Umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis, seperti akibat yang
dilakukan oleh pelaku pemalsuan merek terhadap masyarakat sekitar, selain itu juga
dalam membuat pertimbangan hakim seharusnya memperhatikan tuntutan atas
dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. b). Bagi pembuat undang-undang hendaknya
dalam rumusan undang-undang mencantumkan minimum pemberian pidana, serta
memperhatikan perkembangan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat agar
undang-undang yang dibuat dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.Ria Anggraini 05420112442015-04-28T02:44:37Z2015-09-09T07:19:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9281This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/92812015-04-28T02:44:37ZARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPASAbstrak
Sumber daya perikanan, khususnya sumber daya perikanan laut lepas dewasa ini
mengalami penurunan drastis. Berdasarkan kondisi tersebut, negara-negara
mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional sebanyak tiga kali. Konferensi
Hukum Laut Ketiga disebut juga dengan United Nations Convention on the Law
of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS). Konferensi yang merupakan
implementasi dari UNCLOS salah satunya adalah Agreement for the
Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, selanjutnya disebut
UNIA.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana
pengaturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut
lepas menurut UNIA dan bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam
kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut
lepas. Metode pendekatan yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi
ini adalah penelitian normatif.
Dalam upaya konservasi dan pengelolaan perikanan menurut UNIA mutlak
diperlukan pendekatan kehati-hatian untuk menentukan tindakan apa yang tepat
untuk diterapkan. Negara pihak diwajibkan melakukan kerjasama antar negara
maupun membentuk sebuah organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau
regional atau disebut RFMOs. RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup
wilayah Indonesia antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Yopie Septian Riyadi
Arti penting UNIA bagi Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi adalah Indonesia
akan mendapatkan alokasi tangkapan jenis ikan yang beruaya terbatas dan ikan
yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Ratifikasi UNIA
ditinjau dari aspek hukum akan memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia
dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak
yang telah mendapat pengaruh dari UNIA. Dari aspek upaya konservasi dan
pengelolaan sumber daya perikanan, Indonesia akan mendapatkan bantuan berupa
data dan informasi perikanan yang akurat melalui pertukaran data dan informasi.
Kata kunci: UNIA, Konservasi sumber daya perikanan laut lepasYopie Septian Riyadi 04120112602015-04-13T05:00:08Z2015-09-09T07:17:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8152This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/81522015-04-13T05:00:08ZHARMONISASI PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK BERDASARKAN
PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS,
ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN SEBAGAI PROTOKOL TAMBAHAN
KONVENSI TOC(TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANGAbstrak
Bertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak di berbagai negara, terutama
negara-negara berkembang telah menjadi perhatian masyarakat internasional terutama
perserikatan bangsa-bangsa, Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking in Persons,
Especially Women And Children, yang selanjutnya disebut sebagai Protokol Trafficking adalah
salah satu protocol tambahan dari Konvensi TOC (Transnational Organized Crime) yang
dihasilkan oleh PBB dan merupakan instrument internasional yang sangat membantu dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan
dan anak. Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani serta meratifikasi Konvensi berserta
protocol tambahannya tersebut dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, sedangkan
Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) merupakan undang-undang yang di bentuk beberapa tahun sebelum Indonesia
meratifikasi ketentuan internasional tersebut, dengan demikian maka perlu adanya harmonisasi
antara ketentuan hukum internasional dengan ketentuan yang ada di hukum nasional Indonesia
dengan tetap menyesuaikan dan memperhatikan isi dari ketentuan hukum nasional Indonesia.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah berusaha untuk menjelaskan mengenai harmonisasi
pengaturan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang khususnya
perempuan dan anak berdasarkan protocol Trafficking dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang
PTPPO, tujuannnya adalah agar mengetahui keharmonisasian Pengaturan perlindungan terhadap
korban tindak pidana perdagangan orang khususnya perempuan dan anak berdasarkan Protocol
Trafficking dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan tipe penelitian deskriptif,
pendekatan masalah dilakukan secara yuridis, yaitu kajian terhadap peraturan perundangundangan, serta sumber dan jenis data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder melalui teknik studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-undang No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seperti pengertian
perdagangan orang, tujuan, dan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan sudah mencakup
atau mengadopsi isi dari ketentuan pengaturan yang terdapat dalam protocol trafficking, hal ini
karena meskipun Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO dibentuk sebelum
Indonesia meratifikasi Protokol tersebut dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, namun
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
merupakan wujud komitmen Indonesia dalam melaksanakan Protocol Trafficking yang bertujuan
mencegah, memberantas dan menghukum perdagangan orang khusus perdagangan perempuan
dan anak, yang sebelumnya ditandatangani pada waktu Protocol Trafficking tersebut dibentuk di
Palermo Italia pada tahun 2000, perbedaan kedua sistem hukum tersebut hanya pada lingkup
berlakuny, dimana ketentuan dalam Undang-undang N0. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
wilayah cakupannya lebih sempit dibanding dengan Protokol Trafficking yang merupakan
ketentuan Internasional yang mengatur mengenai perdagangan orang pada umumnya dan
perdagangan perempuan dan anak pada khususnya secara universal.
Kata kunci : Harmonisasi, Perlindungan Hukum, Perdagangan orang khususnya perdagangan
perempuan dan anak.Yeyen Rismiyanti 0412011259