Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T05:11:02ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2014-01-08T05:21:19Z2014-01-08T05:21:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/106This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1062014-01-08T05:21:19ZPENCEGAHAN PENCEMARAN MINYAK OLEH KAPAL LAUT
DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA
DI INDONESIA
Efek tumpahan minyak di laut membawa kerugian yang sangat besar bagi negara yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Kerusakan ekosistem di laut membuat produktivitas laut menjadi tidak seimbang sehingga banyak biota laut yang rusak dan/atau mati, ini juga berdampak buruk terhadap kesejahteraan nelayan.Banyaknya pencemaran laut yang terjadi membuat negara-negara berupaya untuk mengatasi pencemaran minyak di laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur pencegahan pencemaran minyak yang dilakukan oleh kapal laut dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dengan cara mengidentifikasi, mengklasifikasikan dan menyusun secara sistematis untuk menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan tentang pencegahan pencemaran laut yang disebabkan oleh kapal dalam Convention for the Safety Life At the Sea (SOLAS) 1974 dan United Nations Convention on the law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah memuat secara rinci dan jelas upaya pencegahan pencemaran bisa dilakukan dengan baik oleh setiap negara, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan di Laut Indonesia juga memuat beberapa ketentuan yang sama. Berdasarkan peraturan internasional dan peraturan hukum nasional Indonesia sudah sesuai namun dalam pelaksanaannya di lapangan setiap perusahaan kapal belum dengan teliti memeriksa setiap kelengkapan dan kondisi kapal sehingga terjadi beberapa kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian, yang pada gilirannya akan menimbulkan pencemaran.
Kata kunci : pencegahan pencemaran minyak, kapal, laut, Implementasi.
YUNI RAMASITA .2014-01-08T05:21:14Z2014-01-08T05:21:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/105This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1052014-01-08T05:21:14ZPENYERBUAN KAPAL MAVI MARMARA OLEH TENTARA ISRAEL DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONALIsrael telah melakukan blokade jalur perbatasan Gaza sejak Juni 2007. Blokade ini menyebabkan penduduk Gaza kelaparan karena Israel menghentikan pengiriman barang ke Jalur Gaza, termasuk bahan makanan dan bahan bakar. Blokade juga menyebabkan pembangkit listrik dimatikan. Israel memberikan BBM dalam jumlah terbatas melewati perbatasan Gaza, tetapi Israel menghadang pengiriman makanan. Pada tanggal 31 Mei 2010 Senin dini hari, pasukan komando Israel menyerang armada kapal kemanusiaan Mavi Marmara. Kapal Mavi Marmara merupakan salah satu dari 6 kapal yang tergabung dalam armada The Freedom Flotilla dan membawa 563 relawan dari 31 negara.. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Gaza.dan meringankan penderitaan warga Gaza dari blokade yang telah dilakukan oleh Israel. Pada saat penyerbuan, Kapal Mavi Marmara berada di 65 km (104mil) yang merupakan ZEE dan telah masuk ke dalam yurisdiksi blokade Gaza. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana pengaturan misi kemanusiaan menurut Hukum Internasional dan apakah tindakan tentara Israel menyerbu kapal Mavi Marmara merupakan pelanggaran terhadap Hukum Internasional.
Penelitian merupakan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan. Pendekatan masalah pada penelitian ini dilakukan secara yuridis yaitu kajian terhadap konvensi beserta peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dalam penyerbuan Kapal Mavi Marmara yaitu pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa karena Israel menyerbu kapal kemanusiaan yang membawa relawan kemanusiaan, penduduk sipil dan jurnalis yang mendapat perlindungan dalam Konvensi Jenewa dan pelanggaran terhadap Statuta Roma karena penyerbuan yang dilakukan oleh Israel ke Kapal Mavi Marmara merupakan kejahatan perang yang diatur dalam pasal 8 ayat2(b) bagian(iii) yaitu secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan.
Kata Kunci: Penyerbuan, Kapal Mavi Marmara, Hukum Internasional, Hukum Humaniter Internasional, Hukum Laut Internasional
VISDARINA ALISRA .2014-01-08T05:21:09Z2014-01-08T05:21:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/104This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1042014-01-08T05:21:09ZTINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN AUSTRALIA
(Studi Kasus Adrian Kiki Ariawan)
Ekstradisi secara umum diartikan sebagai proses penyerahan penjahat yang dilakukan secara formal dari satu negara (Negara Diminta) ke negara lain (Negara Peminta). Ekstradisi merupakan masalah antar negara yang diatur khusus dalam hukum internasional melalui perjanjian bilateral, yaitu perjanjian ekstradisi. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan mempermudah dan memperlancar proses ekstradisi dan peradilan yang baik. Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian ekstradisi dengan negara lain, salah satunya adalah Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia, 22 April 1992 (Extradition Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia Relating to Extradition). Perjanjian ekstradisi tersebut sudah diratifikasi oleh kedua negara dan Indonesia telah memberlakukannya ke dalam hukum nasional dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia pada tanggal 2 November 1994.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses penyelesaian ekstradisi berdasarkan ketentuan dan asas-asas ekstradisi dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia terkait kasus Adrian Kiki Ariawan. Adrian Kiki Ariawan merupakan terpidana kasus korupsi dana Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kabur ke Australia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menjelaskan proses penyelesaian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia terkait kasus Adrian Kiki Ariawan berdasarkan ketentuan dan asas-asas ekstradisi dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal reaserch), dengan pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian ekstradisi Adrian Kiki Ariawan yang didasarkan pada perjanjian ekstradisi antara kedua negara tersebut ternyata sampai saat ini belum dapat dilaksanakan. Hubungan baik antara Indonesia dengan Australia ternyata belum cukup untuk memperlancar proses ekstradisi Adrian Kiki Ariawan yang diajukan pemerintah Indonesia. Ekstradisi tersebut sulit terlaksana karena tidak mendapat dukungan secara politis dari pemerintah Australia meski kepentingan hukum dari ekstradisi tersebut sudah terpenuhi melalui putusan dari Pengadilan Federal Australia (Magistrate of the State of Western Australia). Dengan demikian hakikat atau tujuan dari adanya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia ini belum dapat tercapai.
Kata kunci: Perjanjian ekstradisi.
RHAMA BAYU PRAKOSO .2014-01-08T05:21:02Z2014-01-08T05:21:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/103This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1032014-01-08T05:21:02ZPERLINDUNGAN TERHADAP ANGGOTA DINAS KESEHATAN MENURUT KONVENSI JENEWA 1949 DAN PENGATURANNYA DI INDONESIAHukum Humaniter Internasional, dahulu disebut hukum perang atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Perang semakin berkembang ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan tenaga medis di medan tempur. Tenaga medis memiliki peranan yang sangat penting pada saat terjadinya konflik bersenjata antar para pihak yang berperang. Kehadiran tenaga medis dalam peperangan sering kali luput dari perhatian, sehingga perlindungan terhadap keselamatan mereka sering kali terabaikan. Kecenderungan umum ini memberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional sebagai tempat bernaungnya tenaga medis dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi sumber bagi tenaga medis ataupun tenaga kesehatan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik itu didaerah konflik bersenjata ataupun daerah non konflik bersenjata.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah perlindungan terhadap tenaga medis menurut Konvensi Jenewa 1949 dan pengaturannya di Indonesia. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal reaserch) dan metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis.
Hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan PP No.32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Menurut Konvensi Jenewa 1949 tenaga medis merupakan salah satu pihak yang dilindungi atau bisa disebut juga sebagai protected persons. Seorang atau satuan tenaga medis tidak dapat dengan sengaja dibunuh, dilukai, atau digunakan untuk percobaan medis, karena mereka seharusnya dilindungi dan dihormati karena pekerjaan mereka yang hanya dapat dilakukan dengan baik apabila mereka tidak diserang. Begitu pula dengan pengaturan tenaga kesehatan di Indonesia, berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Republik Indonesia menjadi peserta dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang ini dengan jalan pernyataan turut serta tertanggal 10 September 1958, berdasarkan UU No.59 Tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa 1949 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 109 tahun 1958 Memori Penyelesaian dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644. Untuk itulah tenaga medis sebagai subjek hukum internasional yang keberadaannya dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949 berada dibawah naungan Palang Merah Internasional. Di Indonesia sendiri keberadaan tenaga kesehatan berada di bawah naungan Palang Merah Indonesia, yang merupakan perpanjangan tangan dari Palang Merah Internasional yang mempunyai misi menangani masalah-masalah kemanusiaan dan hak asasi manusia, terutama dalam upaya pemberian bantuan bagi korban perang, bencana alam, dan keadaan darurat lainnya.
Kata Kunci : Perlindungan, Tenaga Medis, Konvensi Jenewa 1949
RENATA IDAMA SIAHAAN T.M. Siahaan2014-01-08T05:20:52Z2014-01-08T05:20:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/101This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1012014-01-08T05:20:52ZKEWENANGAN DINAS PERHUBUNGAN KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENATAAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNGKemacetan lalu lintas merupakan masalah yang dihadapi daerah perkotaan, tidak terkecuali Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung. Terkonsentrasinya aktivitas di pusat kota, hampir bersamanya waktu masyarakat kota dalam memulai dan mengakhiri berbagai aktivitas, tidak sebandingnya kapasitas jalan dan jumlah kendaraan yang melintas di kawasan pusat kota, tingkat hambatan samping yang tinggi seperti pejalan kaki, aktivitas keluar masuk parkir kendaraan, pedagang kaki lima (PKL), gerobak, becak. Kemacetan lalu lintas merupakan permasalahan yang kompleks oleh karena itu perlu dilakukan perencanaan yang matang dalam hal menciptakan lalu lintas yang lancar bebas dari hambatan dan kemacetan di jalan, maka dalam hal ini diperlukan peran pemerintah daerah untuk membuat perencanaan yang matang melalui manajemen dan rekayasa lalu lintas dan meningkatkan infrastruktur yang ada. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam penataan lalu lintas di Kota Bandar Lampung dan apa sajakah faktor yang menghambat pelaksanaan kewenangan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam penataan lalu lintas di Kota Bandar Lampung.
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris yaitu dengan melakukan penelitian langsung di lokasi penelitian dengan melihat, bertanya dan mendengar dari pihak-pihak yang terkait. Sumber data yang di dapat dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Dan prosedur pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, mengklasifikasikan data, dan menempatkan secara sistematis. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat berdasarkan keterangan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam penataan lalu lintas di kota Bandar Lampung tercantum dalam Pasal 12 Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, yaitu Merencanakan pengaturan lalu lintas di jalan kota termasuk jalan propinsi dan jalan nasional di wilayah Kota Bandar Lampung dan merencanakan kebutuhan, pengadaan, penempatan dan pemeliharaan rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL).
Faktor penghambat pelaksanaan kewenangan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam penataan lalu lintas di Kota Bandar Lampung adalah terbatasnya dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah khususnya Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, masih kurangnya sumber daya manusia yang kompeten di Dinas Perhubungan yang memiliki kualifikasi dibidang transportasi, kurangnya koordinasi yang baik antar instansi yang mengelola masalah transportasi, ditambah tingkat kesadaran masyarakat pengguna jalan dalam menaati rambu-rambu lalu lintas yang telah di pasang masih kurang, dan juga hambatan samping yang tinggi yang menggunakan badan jalan ikut menjadi penghambat dalam penataan lalu lintas.
SAVITRY AYU ASTARY Sjamsu Shiddiq Djauhari2014-01-08T05:20:39Z2014-01-08T05:20:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/100This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/1002014-01-08T05:20:39ZPERANAN LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN (LHP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN PEKON DI PEKON PARDSUKA KECAMATAN BENGKUNAT KABUPATEN LAMPUNG BARATRural Association Organization (LHP) is an organization that was founded in accordance to the district law of West Lampung regency number 03, 2000 over the establishment of rural association organization. The members of this organization are religions’ leaders, custom’s leaders, public figures and leaders of youth from each village which administer the customs, set village regulations, accept and direct public’s aspiration and monitor the implementation of village administration.
The problem in this research was how rural association organization’s role as to the implementation of village administration and what barriers faced by LHP in this implementation. The methods used in this research were empirical approach and normative -jurisdictional approach. While the data collecting techniques used were literary and field research with quantitative analysis.
Based on the research finding, it was indicated that LHP, even though had played its role in the implementation of village administration, in some cases still worked out of the procedure made by the government of West Lampung. The barrier faced by LHP in the implementation was the lack of the recognition of district law no 03, 2000 over the establishment of LHP to the public, particularly to the members of LHP it self. The lack of communication between LHP members with the public members and inadequate facility for LHP were the most cause which slow the LHP down, more over there was no particular office for LHP in Pardasuka Village.
It was recommended that West Lampung government hold the training for leaders and members of LHP, in order that the objectives on autonomy district could be reached. Also for the people in charge in Pardasuka Village, it was imperative that the increase the relationship between leaders and LHP so that they could cover their weakness until the implementation of village administration became useful. If it was so, the administration of a village for its development would not burden the civilization.
SAHIDI Addim2014-01-08T05:20:14Z2014-01-08T05:20:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/98This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/982014-01-08T05:20:14Z
PENDAFTARAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH
MELALUI LELANG DI KOTA METRO
Peralihan hak milik atas tanah baik yang diperoleh melalui proses jual beli maupun lelang harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pendaftaran tanah yang diperoleh melalui lelang termasuk dalam pendaftaran pemeliharaan data, sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 41 Ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lamanya waktu permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah 11-20 hari, namun menurut pengamatan peneliti masih ada pendaftaran tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan waktu tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap pemohon yang mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah pada Kantor Pertanahan harus membayar biaya untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:”Bagaimanakah pendaftaran peralihan hak milik atas tanah melalui lelang dan faktor-faktor apakah yang menghambat pendaftaran peralihan hak milik atas tanah melalui lelang di Kota Metro?” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peralihan hak milik atas tanah melalui lelang dan faktor-faktor yang menghambat pendaftaran peralihan hak milik atas tanah melalui lelang di Kota Metro.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yurdis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Informan penelitian terdiri dari Kepala Subseksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT pada Kantor Pertanahan Kota Metro, Kepala Subbagian Umum pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Metro dan masyarakat yang melakukan pendaftaran peralihan hak milik melalui lelang. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi Lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Nizar Yadasyofa
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Lelang di Kota Metro dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pendaftaran hak milik atas tanah yang diperoleh melalui lelang dilakukan pada Kantor Pertanahan Kota Metro dengan mengikuti syarat dan prosedur pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. (2) Faktor-faktor penghambat pendaftaran peralihan hak milik atas tanah
melalui lelang terdiri dari: a) Faktor masyarakat, yaitu adanya kecenderungan pemenang lelang tidak segera mendaftarkan tanah yang dimenangkannya melalui proses lelang. b) Faktor sarana dan prasarana, yaitu masih terbatasnya jumlah unit komputer pada Kantor Pertanahan Kota Metro, sehingga beberapa proses pendaftaran dilakukan secara manual. c) Faktor Petugas, yaitu masih kurangnya petugas Kantor Pertanahan yang memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pendaftaran peralihan hak milik tanah.
NIZAR YADASYOFA .2014-01-08T05:19:30Z2014-01-08T05:19:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/942014-01-08T05:19:30ZPELAKSANAAN PENGANGKATAN PEGAWAI HONORER MENJADI CPNS DI UNIVERSITAS LAMPUNG
(Studi di Universitas Lampung)
Dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan pendidikkan di Universitas Lampung ini maka dilaksanakannya pengangkatan Pegawai Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil di Universitas Lampung. Pegawai Negeri yang diangkat tersebut harus perlu adanya kesetiaan, ketaatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.Untuk mewujudkan Pegawai Negeri sebagai yang dimaksud diatas maka Pegawai Negeri perlu dibina dengan sebaik-baiknya atas dasar sistem karier dan sistem prestasi kerja khususnya di Universitas Lampung.
Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apakah dasar Hukum Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri sipil di Universitas Lampung
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan secara Normatif Empiris, dengan ruang lingkup lokasi penelitian yaitu di Universitas Lampung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi Kepustakaan dan lapangan data. Data yang diperoleh adalah Primer dan data Sekunder. Analisisi data di lakukan secara Deskripsi Kualitatif yaitu memberikan interprestasi dan penjelasan yang diterangkan dalam bentuk uraian kalimat .
Berdasarkan hasil penelitian dapat Disimpulkan bahwa pada dasarnya Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil merupakan Kebijakan Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005. Kebijakkan Operasional Peraturan Pemerintah tersebut diunila diwujudkan dengan berdasarkan peraturan keputusan BKN No 30 Tahun 2007 tentang pedoman pelaksanaan Calon Pegawai Negeri Sipil dari Tahun 2006.
Saran kepada Universitas Lampung agar segera mengangkat seluruh Pegawai Honorer di lingkungan Instansi Universitas Lampung dan juga diharapkan tidak terlalu lama dalam proses pengangkatan Pegawai Negeri Sipil karena dengan adanya Pengangkatan tersebut menjadikan semangat kinerja bagi pegawai yang ada dilingkungan Universitas Lampung.
Berikut Proses Pengangkatan Tahun Calon Pegawai Negeri Sipil Di Universitas Lampung dilakukan melalui Tahap-Tahap sebagai berikut :
1) Perencanaan Pegawai dan Persiapan
2) Seleksi Administrasi
3) Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS
4) Pengawasan dan pengendalian
5) Evaluasi
6) Telah termasuk dalam Data Base
7) Pengisian Formulir
Berikut ini adalah jumlah tenaga honorer yang diangkat menjadi CPNS di tiga Fakultas yang berada di Universitas Lampung pengangkatan tersebut dimulai dari Tahun 2006 sampai Tahun 2010 :
1) Jumlah PNS yang diangkat di Fakultas Hukum adalah :
DiFakultas Hukum jumlah Tenaga Honorer terdapat 27 orang, dan 3 tiga diantaranya belum diangkat sebagai pegawai hukum
2) Jumlah PNS yang diangkat di Fakultas Fisip adalah : Tenaga Honorer di Fakultas ISIP terdapat 12 orang yang telah di data dan diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil
3) Jumlah PNS yang diangkat di Fakultas Ekonomi adalah : Tenaga Honorer di Fakultas Ekonomi terdapat 30 orang dan 4 diantaranya belum diangkat sebagai pegawai tetap di Fakultas Ekonomi
Hermansyah Lutfi .2014-01-08T05:19:23Z2014-01-08T05:19:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/932014-01-08T05:19:23ZTHE RECRUITMENT OFGENERAL ELECTION SUPERVISING ON-LEGISLATIVE AT EAST LAMPUNGThe emergence of the supervision of general election was based on a consideration that the execution of general election needs to be monitoring to make it can be done based on the general election’s principle. In doing the fungtion of monitoring the commission of general election together whit others general elections supervisions have a certain duty n’ authority such as monitoring the coordinatoion and general election’s coordinator, form monitoring the stop the coordination, receving the coordination report, deliving the finding and the report and then forwording to the instantion who have the authority to monitor the coordinasion of the senction recommendation to the members of KPU,province, regency KPU to secretary general and the staff, the secretary of regency KPU and the staff of its secretariat who have prove in doing something wich disturb the steps of gen-elec coordination.
The discussion result of this research showed that formating of the legislative committee supervisior duty to the general election dept was not carried out based on characteristic principle of independente and did not appliyd fair n’honesty principle after the verdict of constitution court No II/PUU-VIII?2010 which decide the change of pasal 93,94, and 95 of the law No 22 Tahun 2007 which gave full authority to the Bawaslu in the case organizing Panwaslu .
After that verdict of constitution court, Bawaslu issued the regulation no 01 year 2010 about the rule of appointment the member of province general election supervisiory committee, regenercy committee, subdistrict general election supervisisory, subdistrict general election supervisory committee n’field general election supervisiory committee according to the regulation of Bawaslu No 01 year 2010 the recruitment process of Panwaslu region will be done by selection team. Therefor at the end of april 2010, Bawaslu had started the process of formatting the selection team
DYAH AYU VIJAYA LAKSMI Sudarsono2014-01-08T05:19:10Z2014-01-08T05:19:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/91This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/912014-01-08T05:19:10ZPERANAN PDAM WAY RILAU DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA
BANDAR LAMPUNG PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung merupakan perusahaan daerah yang bergerak dalam penyediaan air minum bagi masyarakat yang dalam operasionalnya melekat dua fungsi, yaitu sebagai unsur pelayanan masyarakat dan sebagai salah satu sumber PAD. Sebagai unsur pelayanan masyarakat dituntut berorientasi sosial, sedangkan sebagai sumber PAD tidak terlepas dari aspek ekonomi, yaitu mencari keuntungan. Hal ini berarti bahwa keberadaan PDAM dihadapkan pada dua tuntutan, yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berorientasi sosial dan memberi kontribusi terhadap pembiayaan pembangunan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung? (2) Faktor-faktor apakah yang menghambat peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung? Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung. Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis empiris. Informan penelitian terdiri dari pihak PDAM Way Rilau Bandar Lampung dan konsumen. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Peranan Perusahaan Daerah Air Minum Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah dilakukan dengan: a) Pelaksanaan program kerja internal yaitu memaksimalkan potensi SDM dengan analisa jabatan terhadap kemampuan karyawan untuk ditetapkan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan, pengembangan kompetensi karyawan melalui pelatihan internal maupun eksternal dan meningkatkan motivasi dan disiplin kerja karyawan
dalam melaksanakan tugas-tugasnya melalui penerapan sistem penggajian yang baik, sistem penghargaan dan sanksi yang adil. b) Pelaksanaan Program Kerja Eksternal, yaitu meningkatkan cakupan pelayanan sebagai ukuran keberhasilan perusahaan dalam mengembangkan usaha, meningkatkan kontinuitas dan produktivitas air agar tidak terjadi kemacetan aliran air kepada pelanggan dan distribusi air dapat berjalan secara normal; meminimalisasi tingkat kehilangan air dengan melakukan metode kontrol tekanan, pengendalian kebocoran secara pasif, sounding secara teratur, pengukuran wilayah dan pengukuran waste; peneraan meter air yaitu upaya perbaikan atau penggantian meteran air (water meter); mempercepat proses penyambungan pelanggan baru; meningkatkan perolehan laba dan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Kota Bandar Lampung. (2) Faktor-faktor yang menghambat peranan Perusahaan Daerah Air Minum Way Rilau dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: a) Faktor peralatan atau sarana dan prasarana, yaitu rata-rata peralatan yang sudah lama (di atas 10) tahun, sehingga dapat menghambat kinerja perusahaan dalam meningkatkan PAD b) Faktor masyarakat, yaitu adanya masyarakat yang melakukan pengerusakan pada alat peneraan air (water meter) dan melakukan pencurian air sehingga merugikan PDAM Way Rilau dan c) Perhatian Pemerintah Kota Bandar Lampung, yaitu kurangnya program pendidikan dan pelatihan dan kurangnya priorita pengangkatan tenaga honorer atau tenaga kontrak PDAM menjadi pegawai tetap DARMA AGUSTIAWAN KUNDO .2014-01-08T05:19:05Z2014-01-08T05:19:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/902014-01-08T05:19:05ZTINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23-26/PUU-VIII/2010 TENTANG PELAKSANAAN HAK MENYATAKAN PENDAPATMasa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar 1945). Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari perubahan pertama pada tahun 1999 sampai ke perubahan ke-empat pada tahun 2002.
Setelah terjadinya empat kali perubahan UUD 1945 mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 184 ayat 4 tidak memiliki kekuatan hukum dan menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 menimbulkan ketentuan baru dalam hukum administrasi Negara dalam pelaksanaan penyampain hak menyatakan pendapat oleh DPR. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah : Bagaimana pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat sebelum dan sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Menyatakan Pendapat. Apa dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari lapangan dan kepustakaan dengan jenis data yaitu : data primer dan data sekunder. Populasi yang diambil penulis dari para legislatif di DPR RI. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Untuk menganalisis data menggunakan analisis kulaitatif.
Berdasarkan Penelitian dan Pembahasan, dapat disimpulkan Pengaturan hak menyatakan pendapat sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat adalah sebanyak ¾ dari 560 anggota = 420 anggota. Pengaturan hak menyatakan pendapat sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat adalah sebanyak 2/3 dari 560 anggota = 373 anggota.Dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat berdampak terhadap kinerja antara Presiden sebagai lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif.
Saran yang disampaikan sebaiknya perlu mengadakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Sebaiknya DPR dalam melaksanakan hak dan kewajibannya selalu representatif rakyat dan tidak berorientasi pada partai politik.
Kata kunci : DPR, hak interpelasi.
DANDHY ADIGUNA .2014-01-08T05:18:40Z2014-01-08T05:18:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/882014-01-08T05:18:40ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAANPersoalan yang menyangkut tanah di Indonesia sepertinya tidak ada habis-habisnya. Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah semakin meningkat misalnya untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri, maupun pariwisata atau keperluan lainnya, sedangkan tanah yang tersedia untuk itu tidak bertambah atau bersifat tetap. Pada penelitian ini jangka waktu Hak Guna bangunan telah berakhir pada tahun 2001, seharusnya masyarakat memperpanjnag Hak Guna Bangunannya atau meningkatkan status Hak Guna Bangunan menjadi Hak milik ketika 2 (dua) tahun sebelum masa Hak Guna Bangunan berakhir. Pemerintah daerah sebagai pemilik Hak Pengelolaan dapat begitu saja mengusir (menggusur) pemilik Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan, namun pemerintah juga harus mengedepankan hak-hak warga negara khususnya mengenai hak untuk mendapatkan perumahan yang sehat. Perlindungan hukum terhadap masyarakat penting direalisasikan guna menjaga keharmonisan dan keutuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya peraturan perundang-undangan yang jelas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas adalah salah satu dasar pelindung bagi masyarakat terhadap tanah, baik yang ada maupun yang akan ada.
Untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dan penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan atau badan hukum atas tanah negara atau di atas tanah Hak Milik.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari lapangan dan kepustakaan dengan jenis data yaitu : data primer dan data sekunder. Populasi yang diambil penulis dari wawancara dengan masyarakat dan staff Badan Pertanahan Nasional dan staff Pemda Bandar Lampung secara langsung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Untuk menganalisis data menggunakan analisis kulaitatif.
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian, dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan sebagai bentuk perlindungan hukum sehubungan dengan berakhirnya Hak Guna Bangunan masyarakat yang berakhir tahun 2001 secara yuridis otomatis tanah kembali menjadi Hak Pengelolaan pemerintah daerah. Pemerintah daerah sebagai pemilik Hak Pengelolaan dapat begitu saja mengusir (menggusur) pemilik Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan, namun pemerintah juga harus mengedepankan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) dimana pemerintah harus mengedepankan hak-hak warga negara khususnya mengenai hak untuk mendapatkan perumahan yang sehat. Halmana tertuang dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Masyarakat pemegang Hak Guna Bangunan dapat melakukan perubahan hak dengan cara peningkatan status Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa masyarakat di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1998 Tanggal 22 Januari 1998 jo. KMNA/KBPN No. 15 Tahun 1997 Tanggal 22 Oktober 1997 jo. KMNA/KBPN No. 9 Tahun 1997 Tanggal 2 Juli 1997, apabila pemerintah daerah tidak meningkatkan status Hak Guna Bangunan menjadi hak milik, pemerintah dalam merelokasi (menggusur) masyarakat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas kepatutan serta memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang layak dan patut. Bahwa faktor-faktor penghambat peningkatan status menjadi hak milik yaitu kurangnya pelayanan teknis dalam pelaksanaannya misalnya pengukuran yang memakan waktu lama, birokrasi yang lambat baik pada kantor Badan Pertanahanan Nasional maupun pada birokrasi Pemerintah Daerah Bandar Lampung sebagai pemilik Hak Pengelolaan Lahan. Peningkatan status dari HGB menjadi hak milik juga sangat dipengaruhi oleh political will dari pemerintah hal ini sangat berkaitan dengan persetujuan dari peerintah untuk melepaskan aset daerah kepada masayarakat luas.
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah Seharusnya birokrasi dalam peningkatan status pemegang HGB menjadi hak milik tidak lama dan birokrasinya tidak sulit serta berbelit-belit. Pemerintah dan Badan Pertanahan nasional seharus nya bisa memfasilitasi masyarakat yang ingin meningkatkan status sertifikat HGB menjadi hak milik dengan baik dan cepat. Sehingga kepastian hukum bagi pemilik HGB jelas dan membuat masyarakat menjadi nyaman.
AYANG WIDI PRATIWI .2014-01-08T05:18:18Z2014-01-08T05:18:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/86This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/862014-01-08T05:18:18ZPelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel Terhadap Rumah Kos
Di Kota Jakarta Pusat
Salah satu potensi pajak daerah yang ada di Kota Jakarta Pusat adalah Pajak Hotel terhadap rumah kos, pajak ini dipungut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 7 tahun 2003, namun hingga tahun 2010 setidaknya masih sekitar 12.000 rumah kos yang tersebar di Kota Jakarta yang belum memiliki izin dan belum mendaftarkan usaha rumah kos nya ke Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta sehingga masih banyak para pemilik rumah kos yang belum menjadi wajib pajak dan membayar pajak atas usaha rumah kosnya.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel terhadap rumah kos di Kota Jakarta Pusat dan kendala apa yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel terhadap rumah kos. Sedangkan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel terhadap rumah kos di Kota Jakarta pusat serta mengetahui apa saja yang menjadi kendala dalam pemungutannya.
Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris. Data yang diperoleh adalah data primer dan sekunder. Dalam rangka pengumpulan data, penulis menggunakan dua cara pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel terhadap rumah kos di Kota Jakarta telah berjalan sejak tahun 2007. Dalam pelaksanaannya pajak terhadap rumah kos ini walaupun tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan Pajak Hotel hanya sekitar 1%, tapi terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam pemungutannya adalah lokasi tempat usaha rumah kos yang terletak di daerah pemukiman padat, keterbatasan sumber daya manusia di Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, menajemen pembukuan yang sederhana dan pengelakkan pajak yang dilakukan wajib pajak.
Sebagai saran Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta hendaknya lebih memperhatikan upaya untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, kepada para wajib pajak dan masyarakat serta pihak-pihak terkait lainnya seperti Dinas Perumahan, Kecamatan dan Kelurahan untuk bekerjasama dan membantu pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak terhadap rumah kos tersebut.
english
One of the potential of existing local taxes in Jakarta City Center Hotel Tax to the boarding house, the tax imposed under the Jakarta Provincial Regulation No. 7 of 2003, but until 2010 at least still around 12,000 boarding houses scattered in the city that have not yet registered license and boarding business to the local government of Jakarta, so there are many boarding house owners who have not become tax payers and pay taxes on the business of his rented house.
The problem in this thesis is how the implementation of tax collection for the hotel boarding house in Central Jakarta City and what the constraints faced by local governments in carrying out tax collection to a boarding house hotel. While the purpose of writing this essay is to investigate the implementation of tax collection for the hotel boarding house in Central Jakarta City and find out what the obstacles in the collection.
In the discussion of this paper the authors use a normative and empirical approaches. The data obtained are the primary and secondary data. In order to collect data, the authors used two methods of data collection bibliography study and field study conducted by interview.
Based on research results indicate that the implementation of tax collection for the hotel boarding house in the city has been running since 2007. In practice the tax on boarding houses, although not too Hotel Tax revenues contributed only about 1%, but continues to increase every year. Constraints faced by local governments in the collection is the location of boarding house business located in dense residential areas, limited human resources in the DKI Jakarta Provincial Tax Office, the management of simple bookkeeping and tax evasion conducted taxpayer.
As a suggestion Jakarta Provincial Tax Office should pay more attention to efforts to encourage taxpayers to pay taxes, the taxpayers and society as well as other relevant parties such as the Ministry of Housing, District and Sub-District to cooperate and assist local governments in the implementation of tax collection for boarding houses.
Aris Dewanto Harmono2014-01-08T05:18:12Z2014-01-08T05:18:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/85This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/852014-01-08T05:18:12ZPERAN DINAS PERHUBUNGAN KOTA BANDAR LAMPUNG
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI PERKOTAAN
Perkembangan yang begitu pesat terkait jumlah penduduk di Kota Bandar Lampung tentunya akan berdampak dengan meningkatnya kebutuhan akan sarana transportasi, peran Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung sangat strategis sebagai salah satu instansi dalam mengurai permasalahan kemacetan yang terjadi, dan merupakan badan atau organisasi yang melaksanakan tugas pokok membantu walikota dalam menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan.
Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana peran Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam perencanaan pembangunan transportasi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas dan untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang dapat menjadi penghambat dalam perencanaan pembangunan transportasi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Bandar Lampung.
Tipe penelitian yang digunakan adalah Pendekatan yuridis Empiris, yaitu pendekatan dengan cara melihat dan mempelajari literatur-literatur yang berlaku dan berhubungan dengan judul dan pokok bahasan yang akan diteliti, yaitu Peran Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung Dalam Perencanaan Pembangunan Transportasi Perkotaan dan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung dari wawancara guna mengetahui kenyataan yang terjadi dalam praktek.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung secara normatif memiliki desain yang cukup komprehensif. Berkaitan dengan perencanaan pembangunan transportasi perkotaan yaitu pembangunan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. sehingga pemecahan permasalahan kemacetan yang ada di Kota Bandar Lampung tidak hanya dilakukan secara temporal parsial (kasuistik, tergantung dengan persoalan yang terjadi dilapangan).
Adapun faktor-faktor penghambat pada Dinas Perhubungan Kota Bandar lampung dalam pembangunan transportasi perkotaan adalah : 1). Keterbatasan SDM terutama yang memiliki latar belakang pendidikan tenaga teknis perhubungan dan teknis sipil; 2). Prasarana dan fasilitas perhubungan masih sangat minim dan banyak terdapat fasilitas perhubungan yang mengalami kerusakan; 3). Masih rendahnya tingkat kedisiplinan aparatur perhubungan dalam mentataati peraturan yang telah ditetapkan oleh pimpinan; 4). Masih rendahnya pengetahuan dan prilaku masyarakat dalam mentaati peraturan lalu lintas; 5). Masih rendahnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga prasarana dan fasilitas perhubungan; 6). Masih tingginya tingkat pencurian dan pengrusakan terhadap fasilitas lalu lintas; 7). Perbandingan antara kemampuan penambahan ruas jalan dengan laju pertambahan kendaraan bermotor di Kota Bandar lampung terlihat tidak seimbang.
Dengan adanya faktor-faktor penghambat tersebut maka Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung memiliki upaya untuk mengatasi faktor-faktor penghambat transportasi sebagai berikut : 1). Meningkatkan kualitas dan keprofesionalan aparatur Dinas Perhubungan melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dan pelatihan Sub Sektor Perhubungan maupun pendidikan dan pelatihan lainnya; 2). Memfasilitasi kelancaran angkutan penumpang dan barang melalui penyediaan prasarana transportasi yang aman, lancar, tertib, teratur, nyaman dan efesien dan terjangkau; 3). Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Pemerintah Pusat (Kementrian Perhubungan), maupun daerah guna menciptakan sinergitas cara kelancaran dalam pelaksanaan tugas; 4). Meningkatkan produktifitas ekonomi melalui penyediaan dan transportasi yang menunjang dan dapat menggerakan interaksi ekonomi mayarakat secara terpadu, tertib, lancar dan efesien; 5). Menunjang mobilitas masyarakat melalui peningkatan dan pemerataan penyediaan sarana perhubungan untuk segenap lapisan masyarakat; 6). Memelihara dan mempertahankan kualitas lingkungan melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi; 7). Memantapkan ketersediaan dan sumber pembiayaan kebutuhan penyediaan jasa dan pembangunan prasarana transportasi; 8). Menggali potensi sumber Pendapatan asli Daerah sektor transportasi.
ARIE OKTARA Said Fahrizal 2014-01-08T05:17:12Z2014-01-08T05:17:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/83This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/832014-01-08T05:17:12ZPERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
FASILITAS SOSIAL DAN FASILITAS UMUM PERUMAHAN
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang – Undang dasar 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia, merupakan modal utama dalam pembangunan yang menyeluruh dan merata harus dilengkapi dengan pembangunan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum. Sementara dalam Undang – Undang No 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dalam konsideran Undang – Undang tersebut menyebutkan bahwa pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, mutu kehidupan serta kesejahteraan Rakyat dalam masyarakat adil dan makmur. Kemudian dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, sarana dan Utilitas Perumahan Menyebutkan bahwa dibentuk tim verifikasi oleh Pemerintah daerah Untuk Menerima penyerahan Fasilitas sosial dan Fasilitas Umum Perumahan. Dengan adanya Undang – Undang yang diatas Pemerintah memiliki peranan yang penting untuk penyelesaian sengketa perumahan.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah 1) peran pemerintah daerah dalam penyelesaian sengketa Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum perumahan, 2) apa upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam menyelesaikan sengketa Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum Perumahan, 3) faktor penghambat dari penyelesaian sengketa Fasilitas sosial dan Fasilitas Umum Perumahan.
Penelitian ini dilakukan secara Normatif empiris yang mengunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka. Analisis data digunakan dengan cara analisis deskriptif kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peran yang dapat dilakukan Pemerintah daerah adalah bertindak sebagai mediator dan memfasilitasi keluhan masyarakat terhadap ketidakadaan Fasilitas social dan fasilitas Umum Perumahan. Kemudian melakukan pemanggilan pada pihak – pihak terkait untuk dilakukan hearing, yang kemudian mencapai sebuah kesimpulan yanag seterusnya direkomendasikan kepada walikota setempat untuk dilakukan penyelesaian masalah seterusnya. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerahalah menginventarisasi lahan dan menjadi mediasi terhadap snegketa yang terjadi. Faktor penghambat dari penyelesaian sengketa Perumahan adalah, tidak adanya peraturan Hukum yang mengatur secara tegas tentang sanksi pelanggaran pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas Umum perumahan, dan belum ada standar baku penyelesaian sengketa.
Disarankan kepada Pemerintah daerah agar dapat menciptakan suatu produk hukum yang mengatur secara tegas sangsi apabila melanggar standarisasi pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum perumahan, dianjurkan kepada masyarakat untuk mengajukan kepada lembaga yang lebih berwenang dalam penyelesaian sengketa, dalam hal ini lembaga perlindungan konsumen lebih berperan apabila tertera dalam perjanjian jual beli Perumahan.
Andri Wibowo Tanirun2014-01-08T05:15:36Z2014-01-08T05:15:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/752014-01-08T05:15:36ZPERAN DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM MENANGANI KEGIATAN PERTAMBANGAN TANPA IZIN ( PETI )Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) yang tidak terlepas dari pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan dibidang-bidang lain sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan lebih baik untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional.Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Pertambangan setiap Usaha Pertambangan haurs memiliki Izin dari Kepala Daerah setemapat melalui Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lampung Selatan yang berguna untuk menambah Pendapatan Asli Daerah ( PAD ).
Pertambangan merupakan industri tertua kedua setelah pertanian. Proyek-proyek industri pertambangan diharapkan dapat menjadi kutub pertumbuhan atau growth pole bagi daerah sekitarnya. Dampak positif dari bertambahnya jumlah perusahaan yang bergerak dan menanamkan investasinya di bidang pertambangan dapat meningkatkan devisa negara dan pendapatan asli daerah, menampung tenaga kerja, dan lain-lain. Dari aspek devisa negara dan pendapatan asli daerah keberadaan perusahaan tambang sangat membantu dalam pembangunan nasional dan daerah. Begitu juga dalam menyerap tenaga kerja baik tenaga kerja lokal, regional, nasional maupun internasional.
Pertambangan Tanpa Izin adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan ber¬badan hukum yang dalam operasinya tidak memilki izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, izin, rekomendasi , atau bentuk apapun yang diberikan kepada perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan oleh instansi pemerintah di luar ketentuan peraturan perundang¬-undangan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai PETI.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana Peran Dinas Petambangan dan Energi Kabupaten Lampung Selatan Dalam Menangani Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin ( PETI ) . (2) Faktor apa saja kah yang menghambat Dinas Petambangan dan Energi Kabupaten Lampung Selatan. (3) Sanksi Hukum bagi para pengusaha Tambang di Kabupaten Lampung Selatan yang tidak memiliki Izin Tambang.
Peran Dinas Pertambangan dan Energi dalam menangani kegiatan Pertambangan Tanpa izin adalah Dinas Petambangan dan Energi melakukan Sosialisasi, Pendataan, Penertiban dan Pengawasan terhadap semua perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan setelah mendapatkan data maka akan dilihat mana yang memiliki izin usaha petambangan dan mana yang tidak memiliki izin . setiap usaha pertambangan harus memiliki izin maka setiap usaha pertambangan yang tidak memiliki izin ( PETI ) akan dibina untuk segera melakukan perizinan kepada Dinas Pertambangan dan Energi.
faktor penghambat Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lampung Selatan Dalam menangani Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin adalah Tim Teknis dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lampung Selatan tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya,mungkin ada petugas yang memberikan kemudahan ,menutupi atau melindungi Perusahaan yang bergerak dibidang Pertambangan yang belum Memiliki Surat Izin Usaha Tambang ( SIUP ), sehingga masih banyak Pertambangan Tanpa Izin Yang Terdapat di Kabupaten Lampung Selatan.
Sosialisasi akan pentingnya Perizinan yang berguna untuk mengetahui layak atau tidaknya alat-alat yang digunakan untuk melakukan Tambang.dan juga Penertiban para penambang tanpa izin harus dilakukan sehingga Tambang Liar atau PETI dapat berkurang .
ADRIAN NUGRAHA .