Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T07:51:27ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2015-05-07T01:50:19Z2015-05-07T01:50:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9778This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97782015-05-07T01:50:19ZPERAN PEGAWAI PENGAWAS KETENAGAKERJAAN DALAM MELAKSANAKAN
PENGAWASAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI PROVINSI
LAMPUNGAbstrak
Dalam rangka mengawasi keselamatan dan kesehatan kerja yang ada, maka
pemerintah mengupayakan adanya suatu peran khusus yang diberikan kepada
pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi keselamatan dan kesehatan
kerja. Tertera dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dalam Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
Ayat (1) setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang
sesuai dengan harkat martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Ayat (2) untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselengarakan upayah keselamataan dan
kesehatan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja penting untuk diperhatikan
maka pemerintah mengupayakan adanya peran serta efektif dalam rangka
pengawasan dalam pengawasan, penerapan serta menindak perusahaan swasta
maupun pemerintah dalam pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran serta faktor
penghambat pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan
pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja di Provinsi Lampung.
Pendekatan dalam penelitian yaitu pendekatan normatif empiris. Sumber data
yang digunakan adalah data primer dan skunder yang dilakukan dengan studi
pustaka dan lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui peran pegawai pengawas ketenagakerjaan
yaitu melaksanakan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta yang menjadi
faktor-faktor penghambatnya yaitu : belum semua perusahaan memiliki panitia
pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3), ada perusahaan yang belum
melaksanakan atau menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja,
ada perusahaan belum mengerti arti penting keselamatan dan kesehatan kerja, ada
perusahaan yang belum memiliki ahli keselamatan dan kesehatan kerja, tidak
sesuainya jumlah pegawai pengawas dengan perusahaan di provinsi Lampung, kurang tegasnya
sanksi terhadap pelangaran keselamatan dan kesehatan kerja dalam Undang – Undang Nomor 1
Tahun 1970.
Dari fakta yang ada disarankan sebaiknya Pemerintah Provinsi Lampung memberi kebijakan
untuk menambah jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan agar pengawasan keselamatan dan
kesehatan kerja menjadi optimal, perlu ditinjau kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970
Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja dimana sanksi atas pelanggaran keselamatan dan
kesehatan kerja sudah tidak sesuai di masa kini, hendaknya Undang-Undang Nomor 1 Tahunn
1970 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja direvisi lagi agar isi undang-undang tersebut
lebih tegas dan sanksi hukum lebih disesuaikan dengan keadaan sekarang
Abstract
Caring for the safety and health, the government tried to create the great role that
was given to the supervisory of employee cared for. Thelawin number 13, 2003,
about the employee on Paragraphs86 ayat (1) and (2), there are:
Ayat (1) the employee have the right to get the protection for the safety, health,
morality, and decency and also treatment that appropriated with dignity as human
being and religion aspects.
Ayat (2) protecting the safety the employee to create the optimality works
productivity was did effort the safety and health. The safety and health is
important to get attention, so the government tried create the effective role of
monitoring, implementation and taking action against either the private enterprise
or state owned by government in monitoring the safety and health in Lampung.
The problems of the research was how to the cumberer of roles and factors of
supervisory of employee monitoring the workers safety and health in Lampung
The close of the research was nearing in empiric normative aspect. The source of
the data was primary and secondary data that was done with the studying of the
book and practice.
Based on the research, implementation the norm of safety and health, showing the
problems, there were: the enterprises have not the committee of the workers safety
and health (P2K3), implemented the safety and health in workers area, has the
experts of the workers safety and health yet, there was no appropriate between the
number of employees and the enterprise in Lampung, also infirming the
punishment in law number 1, 1970.
Based on this discussion, the researcher give the suggestion, there are : the local
government should give the policy to add the fund that is allocated to The
Employees Department of Bandar Lampung, especially to add the number of
supervisory of employee in order to they works optimally, more investigating the
law number 1, 1970 about the workers safety and health containing the
punishment is not appropriate anymore. The law should be explicit and appropriate.MithaFebrianti S 09120113432015-05-07T01:48:03Z2015-09-09T07:15:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9829This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/98292015-05-07T01:48:03ZANALISIS YURIDIS TERHADAP PENENTUAN KUALIFIKASI
PEMAKAI ATAU PENGEDAR PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
BERDASARKAN UNDAN-UNDANG NARKOTIKA NOMOR
35 TAHUN 2009Abstrak
Grafik penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang
(Narkoba) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat,
bahkan sudah sampai ke tingkat yang sangat memprihatinkan dan membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Indonesia bukan saja hanya sebagai
tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap saja, tetapi telah menjadi
tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat untuk produksi gelap narkoba
hal ini dapat dilihat dari penindakan terhadap kasus penyalahgunaan Narkoba
(Narkotika, Psikotropika dan Obat berbahaya) pada tahun 2008 sebanyak 29.364
kasus dengan 44.711 tersangka (44.613 WNI dan 98 WNA), tahun 2009 sebanyak
30.878 kasus dengan 38.403 tersangka (38.205 WNA dan 108 WNA) dan tahun
2010 s/d Agustus sebanyak 17.773 kasus dengan 22.268 tersangka (22.181 WNI
dan 87 WNA). Tindak pidana narkotika saat ini tidak lagi dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan dilakukan oleh para pemakai
dan pengedar dalam menjalankan operasinya. Hal ini menimbulkan masalah
dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah menentukan atau mengkualifikasikan
pemakai atau pengedar dalam tindak pidana Narkotika menutut Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimanakah dasar pertimbagngan
hakim dalam menentukan Pemakai atau Pengedar Narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang
menggunkan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari studi lapangan,
yaitu dengan mewawancarai responden dan melakukan penelitian, sedamgkan
data sekunder diperolah ,melalui studi pustaka yaitu dengan cara mencari dan
membaca bahan hukum primer seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No.
35 tahun 2009 tentang Narkotika. Selain bahan hukum primer terdapat juga bahan
hukum sekunder dan tersier yang dapat memberikan pertunjuk dan penjelasan
seperti literatur, buku-buku, Koran dan situs internet.
Ricky Alexander
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan : Penentuan atau
kualifikasi Pemakai dan Pengedar Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat dari rumusan norma hukum atau
unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan) adalah:
(a) Pemakai Narkotika : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, dan menggunakan
Narkotika. (b) Pengedar Narkotika yaitu : setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menajadi perantara dalam jual beli dan menyerahkan Narkotika atau
menggunakan Narkotika pada orang lain / memberikan Narkotika untuk
digunakan orang lain. Berdasar pada unsur-unsur perbuatan tersebut maka dapat
ditentukan atau dikualifikasikan tindak pidana Pemakai Narkotika dan tindak
pidana Pengedar Narkotika. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa dasar
pertimbangan hakim didapat dari proses pemeriksaaan alat bukti yang sah yang
dapat membuktikan kebenaran fakta pristiwa dan fakta yuridis yang terungkap di
persidangan. Dimana dalam pembuktian fakta peristiwa terbukti secara sah dan
meyakinkan terdakwa melakukan tindak pidana sesuai apa yang didakwakan
kepadanya, begitu pula dengan pembuktian fakta yuridis, terdakwa juga terbukti
secara sah dan meyakinan unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan kesimpulan di atas diajukan beberapa saran sebagai berikut : 1)
dalam penjatuhan pidana terhadap Pengedar Narkotika diharapkan para penegak
hukum tegas dalam memberikan sanksi pidana sesuai dengan bobot kesalahan
pelaku sehingga memberikan efek jera bagi tindak pidana tersebut. 2) dalam
penjatuhan pidana terhadap pemakai narkotika diharapkan hakim memperhatikan
unsur-unsur yang ada pada pemakai tersebut sesuai dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung No 4 tahun 2010 Tentang penyalahguna, Korban
penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial.Ricky Alexander 04120112202015-05-07T01:47:56Z2015-09-09T07:04:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9827This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/98272015-05-07T01:47:56ZPERAN SEKRETARIAT DPRD DALAM MEMBANTU
PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG DPRD KABUPATEN
LAMPUNG TENGAHAbstrak
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan salah satu unsur Pemerintah Daerah
yang bergerak di bidang legislative, sangatlah penting dalam penyelenggaraan
Pemerintah Daerah disamping Kepala Daerah yang berwenang dan bertanggung
jawab memimpin penyelenggaraan pemerintah dibidang eksekutif. Mengingat
luas dan banyaknya segi tugas dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
maka dalam penyelenggaraan tugas dan kewajiban itu Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dibantu oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang diangkat Kepala Daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
syarat atas persetujuan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Untuk itu yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah
bagaimanakah peran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka
membantu penyelenggaraan perannya sebagai unsur pelayanan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Tengah dan untuk mengetahui
faktor-faktor apasajakah yang penghambat dan upaya apakah untuk mengatasi
hambatan serta apasajakah yang di tempuh dalam rangka pelaksanaan peran
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur pelayanan terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten mempunyai tujuan meningkatkan
pelayanan administrasi umum dan keuangan serta peningkatan SDM (Sumber
Daya Manusia) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan system perencanaan,
pengendalian dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Guna mencapai maksud
tersebut Sekretariat Dewan maka Sekretariat Dewan mempunyai strategi dengan
mengirim staf untuk mengikuti diklat struktural maupun teknis oprasional,
mensosialisasikan Undang-Undang otonomi daerah dan melaksanakan pelayanan
administratif dengan lembaga exsekutif yang terpadu dalam pembuatan kebijakan
termasuk pembuatan APBD. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten. Dalam setiap pelaksanaan
tugasnya menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi
baik dilingkungan masing-masing maupun di instansi lain di luar Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.
Metode yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah menggunakan pendekatan
secara normative dan pendekatan secara empiris dengan data yang bersumber dari
data primer dan sekunder, peraturan-peraturan dan wawancara setelah data
dikumpulkan maka dilakukan pengolahan data yang kemudian di analisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa peran Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam struktur organisasi memimpin
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan fungsinya tersebut telah
mengalami banyak perubahan setelah di tambah sub-sub bagian dalam Sekretariat
Dewan. Namun dalam praktek administrasinya Sekretariat Dewan harus dapat
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dikarenakan latar pendidikan yang
masih belum memenuhi standart agar dapat tercipta profesionalisme dan tanggung
jawab kerja pada bidang tugas masing-masing.
Kesimpulan dan saran dalam penelitian ini adalah bahwa penyelenggaraan tugas
dan wewenang Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Lampung Tengah harus sesuai dengan tugas-tugas pokok Sekretariat sebagai
pembantu penyelenggara tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Lampung Tengah dan mengirim staf untuk mengikuti diklat dan
kursus-kursus keahlian bidang masing-masing.
Abstract
Regional House of Representative is one element of local government that
engages in legislative, are essential in the implementation of the Regional Head of
Local Government in addition to the authorized and responsible for leading the
field of executive government organization. Given the large and the number in
terms of duties and obligations of the Regional Representatives Council in the
administration of the duties and obligations of the Head of the Regional
Representatives Council is assisted by the Secretariat of the Regional
Representatives Council appointed Regional Head of the civil servants are eligible
with the approval of the Regional Representatives Council Chairman. Secretariat
of the Regional Representatives Council in carrying out their duties under and
responsible to the Head of the Regional Representatives Council. For it is a
problem in the writing of this thesis is how the role of the Secretariat of the
Regional Representatives Council in order to assist the implementation of its role
as an element of service to the House of Representatives and the Regional District
of Central Lampung to determine the factors that inhibiting and whether efforts to
overcome obstacles and who traveled in the context of the role of the Secretariat
of the Regional Representatives Council.
Regional Legislative Council Secretariat as an element of service to the House of
Representatives District has the goal of improving public administration and
financial services as well as an increase in SDM (Human Resources) and the
Regional Representatives Council system planning, control and evaluation of
development. To this end the Secretariat of the Council of the Secretariat of the
Council have a strategy by sending staff to follow the structural and technical
training oprasional, socialize Act and implementing regional autonomy with the
administrative service agency exsekutif integrated in policy making, including
budget creation. Decision of the Regional Representatives Council in the
administration of local government districts. In each execution of his duty to
apply the principle of coordination, integration, simplification and
synchronization of each environment as well as in other agencies outside the
Secretariat of the House of Representatives District.
The method used in this thesis research is to use a normative approach and the
approach empirically with data derived from primary and secondary data, rules
and interview data collected after the data processing is carried out later in the
qualitative analysis.
Based on the results of research conducted in mind that the role of the Secretariat
of the Regional Representatives Council, in the organizational structure to lead the
Secretariat of the Regional Representatives Council of its functions has undergone
many changes after the added sub-sub sections within the Council Secretariat. But
in practice the administration should be able to improve the Council Secretariat of
Human Resources (HR) due to the educational background that is still not meet
the standards of professionalism in order to create and work responsibilities in
their respective areas of assignment.
Conclusions and suggestions in this study is that the implementation of the duties and
authority of the Secretariat of the Regional Representatives Council of Central Lampung
regency should be in accordance with the tasks of the Secretariat as an assistant principal
organizer of the duties and authority of the House of Representatives and the Regional
District of Central Lampung send staff to attend training and course-course of their
respective fields of expertise.Rahmat Agus Suparlan 03420113392015-05-07T01:45:28Z2015-05-07T01:45:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9793This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97932015-05-07T01:45:28ZKEDUDUKAN ISTERI DALAM BENTUK PERKAWINAN JUJUR PADA
MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN KEBUWAYAN SUBINGAbstrak
Masyarakat Indonesia mengenal beberapa bentuk perkawinan yaitu 1).Perkawinan
jujur, 2). Perkawinan semanda 3). Perkawinan mentas. Bentuk–bentuk perkawinan ini
dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh tiap daerah, kekerabatan inilah
yang mempengaruhi kedudukan seorang isteri saat terjadinya perkawinan maupun
setelah terjadinya perkawinan. Masyarakat dengan sistim kekerabatan patrilinial yang
biasanya dengan menggunakan bentuk perkawinan jujur, masyarakat dengan sistem
kekerabatan matrilinial biasanya dengan menggunakan bentuk perkawinan semanda
sedangkan untuk sistim kekerabatan parental biasanya dengan menggunakan bentuk
perkawinan mentas. Sedangkan untuk di daerah Lampung yang menganut sistem
kekerabatan patrilinial altenerend menggunakan bentuk perkawinan jujur namun
adakalanya menggunakan bentuk perkawinan semanda disesuaikan dengan situasi
dan kondisi.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan
jujur? dan bagaimana kedudukan istri dalam bentuk perkawinan Jujur?. Yang mejadi
objek dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Pepadun Kebuwayan
Subing yang telah melangsungkan perkawinan jujur yang berada di kampung
Terbanggi Besar.
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah normatif empiris dengan tipe penelitian
bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan secara yuridis. Adapun metode
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi
lapangan dengan menyebarkan kuisioner dan wawancara terhadap masyarakat adat
dan Tokoh Adat Lampung Kebuwayan Subing di kampung Terbanggi Besar. Data
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh merupakan data
tataran kemudian dianalisis secara diskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu
kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung kebuwayan
Subing ialah Dalam pelaksananaan perkawinan jujur terdapat beberapa tahapan yaitu
tahap perkenalan (Nindai/Nyubuk) Jika dirasakan sudah cocok maka dilanjutkan
dengan (Bekado) yaitu pihak keluarga pria mendatangi pihak keluarga untuk
mengutarakan isi hati, setelah mencapai kesepakatan, maka keluarga pihak pria
datang ke rumah kediaman wanita untuk melamar (Nunang) sekaligus merundingkan
berapa biaya, mas kawin, uang jujur, adat perkawinan dan lain-lain, setelah itu
dilakukan acara akad nikah dan selanjutnya dilakukan upacara perkawinan adat
sampai pada acara pelepasan mempelai wanita kepada mempelai pria. Dan
kedudukan isteri dalam perkawinan jujur di kampung Terbanggi Besar ialah dalam
keluarga suami dan isteri seimbang dan suami sebagai kepala rumah tangga, dalam
kekerabatan isteri masuk kedalam kekerabatan suami dan isteri berkewajiban
meneruskan keturunan dari kekerabatan suami, dalam harta kekayaan kedudukan
suami dan isteri seimbang dan ketika terjadi perceraian maka harta bawaan dan
pemberian akan dibawa oleh masing-masing pihak sedangkan harta bersama akan
dibagi kedua belah pihak. Dari pergeseran kedudukan isteri di kampung Terbanggi
Besar tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pendidikan,
budaya dan lingkungan.
Kata Kunci : Kedudukan Isteri, Lampung Pepadun, Kebuwayan SubingM. Angga Winanto 09520111332015-05-07T01:45:23Z2015-05-07T01:45:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9792This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97922015-05-07T01:45:23ZPENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA
(STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)Abstrak
Pemerintah Indonesia menyadari semakin banyaknya penyalahgunaan narkotika
dikalangan masyarakat Indonesia, menyadari penyalahgunaan Narkotika ini
dirasakan sangatlah merugikan Indonesia karena dampak yang timbul bagi bangsa
ini adalah suatu pembodohan rakyat secara masal. Negara Indonesia adalah negara
yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa dan bernegara
membawa keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara, khususnya dalam bidang hukum acara pidana terkait dengan proses
peradilan dalam hal penjatuhan sanksi pidana. Banyak upaya yang telah ditempuh
pemeritah dalam pemberantasan narkotika ini diantaranya dengan membentuk
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang narkotika, memberikan sanksi
yang tegas terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, dan membentuk badanbadan khusus yang menangani tindak pidana narkotika seperti Badan Narkotika
Nasional (BNN), pemerintah juga menekankan kepada para penegak hukum untuk
tidak pandang bulu dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pada
skripsi ini mengangkat permasalahan tentang, putusan rehabilitasi terhadap pelaku
tindak pidana pengguna narkotika ini masuk kedalam putusan pidana pokok,
putusan pidana tambahan, atau masuk putusan pidana diluar ketentuan pidana
tersebut, dan Mengungkap faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan
putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan di pengadilan negeri liwa terhadap 2 (dua) orang hakim
sebagai responden, 1 (satu) orang Kepala seksi Pidana Umum pada kejaksaan
negeri liwa, serta ditambah salah satu dosen hukum pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Dalam proses penulisan penelitian ini penulis
menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis
empiris, dengan memiliki dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan
sumber data skunder.
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai berikut, yaitu tentang
penyalahgunaan pemakaian narkotika tentunya kita memiliki pemikiran mengenai
pemposisian terdakwa apakah si terdakwa tersebut dapat diakatakan sebagai
pelaku ataukah sebagai korban dari pelaksanaan proses penegakan hukum
terhadap pelanggaran penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi
Zepy Tantalo
rehabilitasi terhadap pelanggarnya, dan pemberian tindakan pemidana berupa
tindakan perawatan dan perbaikan terhadap pelaku tindak pindana pengguna
narkotika sebagai pengganti dari hukuman didasarkan pada korban adalah orang
sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan rehabilitasi. Penerapan
putusan rehabilitasi ini adalah salah satu bentuk dari penggabungan antara adanya
suatu tindakan (treatment) perbaikan diri tehadap seseorang dengan adanya
perampasan hak kemerdekaan terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika
serta dalam proses pelaksanaan putusan rehabilitasi ini bagi pelaku yang telah
dijatuhkan putusan rehabilitasi diharuskan wajib lapor kepada jaksa sebagai
pelaksana dari penjatuhan putusan terhadap terdakwa. Faktor yang menjadi
penghambat dalam proses penerapan putusan rehabilitasi ini adalah faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, dan faktor
masyarakatnya.
Saran dalam penulisan skripsi ini adalah Penerapan putusan rehabilitasi ini
seharusnya ditetapkan sebagai suatu tindakan pemidanan bukan termasuk dalam
pidana pokok ataupun pidana tambahan terhadap semua pelaku tindak pidana
pengguna narkotika. Karena pengguna narkotika bukan merupakan pelaku
kejahatan melainkan seorang korban yang dianggap tidak jahat, penetapan ini
dialakukan agar pelaku pengguna tidak mendapat tekanan batin (mental) karena
dianggap sebagai pelaku kejahatan. Serta faktor yang menjadi penghambat dalam
penerapan putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang
berasal dari faktor penegak hukum serta faktor sarana dan prasarana dapat diatasi
dengan baik, baik oleh pemerintah ataupun aparaturnya sendiri agar dalam proses
pelaksananaan putusan rehabilitasi ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan semula
yang diharapkan.
Kata Kunci : Pidana, Rehabilitasi, Tindakan PemidanaanZepy Tantalo 09120113932015-05-07T01:45:11Z2015-05-07T01:45:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9789This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97892015-05-07T01:45:11ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU ATAU
KESAKSIAN PALSU DI BAWAH SUMPAH DI DEPAN
PERSIDANGAN PERKARA PIDANAAbstrak
Saat ini banyak ditemukan saksi yang memberikan keterangan palsu di depan
persidangan dan merugikan pihak-pihak tertentu. Sedangkan keterangan saksi
sebagai alat bukti dalam proses peradilan dan peranan saksi di depan persidangan
dapat menimbulkan akibat hukum pada putusan pengadilan. Keterangan palsu
atau kesaksian palsu dibawah sumpah di depan persidangan merupakan tindak
pidana apalagi sampai menimbulkan akibat hukum yang dapat merugikan pihak
tertentu. Terhadap seseorang yang memberikan keterangan/sumpah p alsu, ia dapat
dituntut berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah dan mengikat. Dalam
pendalaman Pasal 242 KUHP perihal kaitannya dengan Pasal 174 KUHAP,
bahwa kejahatan keterangan palsu dibawah sumpah harus dilakukan dalam
persidangan. Maka dalam penulisan ini saya mendapat pokok permasalahan
tentang bagaimanakah penegakan hukum atas tindak pidana pada Pasal 242
KUHP oleh hakim yang mengadili ? dan faktor-faktor apakah yang menjadi
penghambat terhadap penerapan Pasal 242 KUHP ?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari
anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung bagian Pidana. Prosedur
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research) dan studi
lapangan (field research). Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah analisis kualitatfif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini adalah (1) Penegakan hukum
terhadap Pasal 242 KUHP tidak mutlak harus melalui prosedur sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 174 KUHAP dan bukanlah jalan satu-satunya untuk
menuntut seorang saksi yang disangka telah memberikan keterangan palsu atas
dasar sumpah di depan persidangan, berdasarkan atas kekuatan hukum yang sah
dan mengikat. Mengadukan tindak pidana kesaksian palsu atau keterangan palsu
dibawah sumpah di depan persidangan tidak harus melalui penetapan pengadilan
terlebih dahulu. (2) Faktor-faktor yang menghambat penerapan Pasal 242 KUHP
ini adalah (a) Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini undang-undang. (b)
Faktor penegak hukum itu sendiri, salah satu kunci dari keberhasilan dalam
penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya
sendiri yang dalam hal ini Hakim itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mencoba memberikan
saran kepada penegak hukum khususnya Hakim sebaiknya memiliki tolak ukur
dalam penilaian saksi, karena dalam pengambilan keputusan kuncinya ada di
tangan hakim. Selain itu, aparatur penegak hukum hendaknya memberikan
hukuman secara maksimal kepada para pelaku tindak pidana pemberi keterangan
palsu atau kesaksian palsu, agar efek jera benar-benar dapat diwujudkan kepada
para pelaku. Upaya penegakan hukum secara sistemik harus memperhatikan
ketiga aspek secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata, terutama dalam
mengungkapkan dan memproses tindak pidana kesaksian palsu atau keterangan
palsu dibawah sumpah di depan persidangan.
Kata kunci : Penegakan Hukum, Saksi, Keterangan Palsu atau Kesaksian
Palsu.
Abstract
Today many are found false witnesses who testified before the court and hurt
certain parties. Meanwhile, witness statements as evidence in court proceedings
and the role of the witness before the trial could lead to legal consequences in
court. False information or false testimony under oath in front of a criminal court
let alone the legal consequences that can be detrimental to certain parties. Against
a person who provides information/perjury, he could be prosecuted based on any
legal force and binding. In Article 242 of KUHP regarding deepening relation to
Article 174 of KUHAP, the crime of false information under oath must be made
during the trial. So in writing this I got the point about how the enforcement of
any offense in Article 242 of KUHP by the judge who judges? and factors that are
a barrier to the implementation of the article?
The approach used in the writing of the problem this paper uses juridical
normative and empirical jurisdiction. Respondents consisted of members of
Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Public Prosecutor at Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung, Judge of Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang and
Academics Law Faculty , at University of Lampung. Procedures Data collection
was conducted by literature study (library research) and field (field research).
Analysis of the data used in this research is the analysis of qualitative.
Based on these results and discussion are (1) Law enforcement against Article 242
of KUHP do not absolutely have to go through the procedures as specified in
Section 174 of KUHAP and not the only way to prosecute a witness who had been
suspected of giving false information upon oath in front of the court, based on
legally valid and binding. Not denounce criminal perjury or false statement under
oath in front of the court must follow through court order first. (2) Factors that
hinder the application of Article 242 of KUHP are: (a) Factors its own law, which
in this case law. (b) Factors that law enforcement alone, one of the keys to success
in law enforcement is a mentality or personality of its own law enforcement, in
this case Judge itself.
Based on the research conducted, the writer tries to give advice to law
enforcement in particular Judges should have a benchmark in assessing the
witness, because the key decisions in the hands of judges. In addition, law
enforcement officials should give maximum punishment to the perpetrators of
criminal acts giving false testimony or perjury, that the deterrent effect can
actually be realized to the perpetrators. Systemically law enforcement must
consider three aspects simultaneously, so that the process of law enforcement and
justice itself internally can be manifested, especially in expressing and processing
the crime of perjury or false statement under oath in front of the court.
Keywords: Law Enforcement, Witness, False Information or PerjuryWELIN TRI MAYASARI 09120113852015-05-07T01:45:07Z2015-05-07T01:45:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9788This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97882015-05-07T01:45:07ZANALISIS PENERAPAN MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR
CUSTOMER) SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM BIDANG
ASURANSIAbstrak
Kegiatan pencucian uang sering melibatkan lembaga keuangan non bank yang
bersifat kontraktual (contractual institutions) seperti di bidang asuransi. Kegiatan
pencucian uang dalam bidang asuransi dapat di tanggulangi dengan adanya
prinsip Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your Customer) yang kini diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/Pmk.010/2010
Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non
Bank. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penerapan
kebijakan untuk mengenal nasabah dalam bidang asuransi; (2) Bagaimanakah
hubungan penerapan kebijakan mengenal nasabah (know your customer) dalam
bidang asuransi terhadap upaya penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan lapangan. Responden
penelitian terdiri dari Business Director PT. Asuransi Allianz Life Indonesia
Bandar Lampung dan Agency Director PT. Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Bandar
Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1)
Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dalam asuransi telah
dilakukan sesuai prosedur. Masih ada beberapa prosedur dari prinsip ini yang
sering tidak diterapkan, sehingga bisa menciptakan semakin luasnya ruang gerak
para pelaku kejahatan untuk menjadikan penyedia jasa keuangan sebagai tempat
melakukan pencucian uang dengan tidak terdeteksi; (2) Penerapan Mengenal
Nasabah (Know Your Customer) merupakan sarana paling efektif untuk
menanggulangi pencucian uang pada bidang Asuransi yang merupakan lembaga
keuangan non bank yang belakangan ini terkenal dimanfaatkan sebagai tempat
pencucian uang
Kata-kata kunci: penerapan, penanggulangan, asuransi, nasabah, dan tindak
pidana pencucian uang VANNY CIENDY OCTAVIANY 09120113832015-05-07T01:44:59Z2015-05-07T01:44:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9786This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97862015-05-07T01:44:59ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
PELAKU TAWURAN PELAJAR SMA
(Studi Kasus Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan)Abstrak
Tewasnya Alawy Yusianto Putra, siswa kelas 10 SMAN 6, akibat diserang oleh
sekelompok siswa yang berasal dari SMAN 70 menjadi alasan utama mengapa
kasus tawuran yang terjadi tidak dapat dipandang sebagai kenakalan remaja, tetapi
sudah termasuk tindakan kriminal. Adanya tindak pidana yang terjadi di dalam
tawuran tentunya memerlukan penegakan hukum dari berbagai pihak yang terkait,
terutama kepolisian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
penegakan hukum pidana terhadap para pelaku tawuran pelajar Sekolah
Menengah Atas (studi kasus di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Selatan) (2)
Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap para pelaku
tawuran pelajar Sekolah Menengah Atas (studi kasus di wilayah hukum Polres
Metro Jakarta Selatan).
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri
dari, anggota Polres Metro Jakarta Selatan Unit Pembinaan Masyarakat (Binmas),
guru pada SMAN 1 Natar, dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Data penelitian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini adalah (1) Penegakan hukum
pidana terhadap pelaku tawuran pelajar SMA yang dilakukan oleh kepolisian
terdiri dari beberapa tahapan yaitu (total enforcement), (full enforcement), dan
(actual enforcement). Penegakan hukum yang dominan dan sudah di
terapkan/ditegakkan diantara ketiga penegakan hukum tersebut adalah penegakan
hukum yang sebenarnya dilakukan (actual enforcement), yaitu penegakan hukum
yang tersisa dan belum dilakukan pada total enforcement dan full enforcement,
dengan pendekatan persuasif terhadap pelaku tawuran pelajar berupa tindakan
pencegahan. Tindakan tersebut berupa: mengadakan penyuluhan ke sekolahsekolah yang rawan melakukan tawuran, mendirikan Pos Keamanan Terpadu
menjadikan anggota kepolisian sebagai pemimpin upacara setiap hari Senin,
mengadakan kegiatan positif antar sekolah yang berseteru membentuk polisipolisi siswa, dan mengadakan patroli saat jam rawan tawuran, menjalin kerjasama
dengan sekolah dan komite. Kepolisian juga melakukan tindakan represif terhadap
pelaku tawuran berupa penangkapan terhadap pemicu tawuran, penahanan
terhadap pelaku yang sudah melakukan tawuran lebih dari sekali, karena sudah
menjadikan tawuran sebagai kebiasaan, untuk itu perlu dilakukan pemberian
sanksi agar pelaku jera, penahanan terhadap pelaku yang membawa senjata tajam,
dan penjatuhan pidana terhadap pelaku tawuran sesuai kaidah hukum positif di
Indonesia. (2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana
terhadap pelaku tawuran pelajar SMA yang dilakukan oleh kepolisian terdiri dari
4 (empat) faktor yaitu faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor
masyarakat, faktor kebudayaan, namun yang dominan adalah faktor penegak
hukum. Ketidaktegasan dan ketidaktepatan pasal dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tawuran mengakibatkan tidak jelasnya sanksi yang akan
dikenakan terhadap pelaku tawuran. Ketidaktegasan ini karena dibatasi usia
pelaku yang mayoritas masih dibawah umur sehingga pidana dijadikan sebagai
upaya terakhir sehingga pelajar menjadi tidak jera dan terus-menerus melakukan
tawuran karena pelaku tidak lagi memandang hukuman sebagai sesuatu yang
ditakuti karena mereka merasa dilindungi
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan untuk selanjutnya kepolisian
dalam menjalankan actual enforcement diharuskan lebih tegas lagi dan tidak
tebang pilih agar apa yang dicita-citakan oleh tujuan penegakan hukum terhadap
pelaku tawuran pelajar SMA dapat tercapai dan memberikan efek jera terhadap
pelajar pelaku tawuran tanpa mengganggu perkembangan jiwanya. Formulasi
peraturan yang tepat sasaran akan sangat membantu agar tidak terjadi lagi
ketidakjelasan sanksi sehingga pelajar mengetahui dengan jelas sanksi apa yang
akan mereka dapatkan jika melakukan tawuran (2) Dibutuhkan kerjasama bukan
hanya bagi instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum pidana
terhadap pelaku tawuran saja namun juga bagi sekolah dan semua elemen
masyarakat demi tegaknya hukum dan menimimalisir tawuran. Sekolah sebaiknya
melakukan ‘Deteksi Dini’ yaitu memeriksa benda-benda berbahaya yang
kemungkinan dibawa pelajar dan digunakan untuk tawuran. Jika sekolah
mendeteksi lebih cepat maka tawuran dapat dihindari sehingga tidak terdapat
tindak pidana di dalamnya.
Kata kunci : Penegakan Hukum Pidana, Tawuran, Pelajar, KepolisianUTARI DWI PRATIWI 09120113822015-05-07T01:44:47Z2015-05-07T01:44:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9783This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97832015-05-07T01:44:47ZPERAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PROVINSI
LAMPUNG DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATAAbstrak
Usaha pengembangan industri pariwisata dilakukan dengan cara pembangunan
obyek wisata, baik dalam bentuk mengembangkan industri pariwisata maupun
membuat obyek-obyek wisata baru. Penyelenggaraan kepariwisataan tersebut
dilaksanakan dengan tetap memelihara kelestarian dan mendorong upaya
peningkatan mutu lingkungan hidup serta obyek wisata itu sendiri sesuai dengan
Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, akan tetapi
masih banyaknya permasalahan yang cukup serius dalam kepariwisataan Provinsi
Lampung diantaranya pengadaan sarana dan prasarana dalam pengembangan
industri pariwisata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dalam pengembangan industri
pariwisata dan faktor-faktor penghambat peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Lampung dalam pengembangan industri pariwisata.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis empiris, dengan mengambil informan dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Lampung sebanyak tiga orang, pengelola obyek wisata di
Provinsi Lampung sebanyak dua orang dan masyarakat yang berkunjung pada
obyek wisata (wisatawan) sebanyak dua orang. Prosedur pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Lampung dalam pengembangan industri pariwisata dilakukan dengan
meningkatkan usaha jasa kepariwisataan yaitu meliputi usaha jasa pariwisata,
pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha sarana wisata; meningkatkan
sumber daya manusia profesional, yaitu memberikan kesempatan pendidikan
formal dan berbagai pendidikan non formal kepada para pegawai; meningkatkan
intensitas promosi pariwisata antara lain dengan pemilihan muli-mekhanai
Provinsi Lampung, apresiasi pesona budaya Lampung dan Lampung Expo;
TRI KARTIKA SARI
meningkatkan kerjasama dengan LSM dan komunitas kesenian sebagai mitra
kerja dalam melestarikan, memelihara, dan mengembangkan kesenian di daerah
Lampung; meningkatkan kerjasama dengan media massa baik media cetak
maupun media elektronik untuk mempromosikan Kebudayaan dan Pariwisata.
Selain itu, faktor-faktor penghambat peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Lampung dalam penyelengaraan pengembangan industri pariwisata
adalah kurangnya sumber daya manusia profesional dalam bidang pengembangan
industri pariwisata dan keterbatasan sarana dalam bidang pengembangan industri
pariwisata.
Abstrack
Tourism industry development efforts carried out by the construction of a tourist
attraction, either in the form of developing the tourism industry and create new
tourism objects. Tourism operations are carried out while maintaining the
sustainability and encourage efforts to improve the quality of the environment as
well as the attractions themselves in accordance with Law Number 10 Year 2009
on Tourism. The purpose of this study was to determine the role of the
Department of Culture and Tourism of Lampung Province in the development of
the tourism industry and the factors inhibiting the role of Culture and Tourism of
Lampung Province in the development of the tourism industry.
The approach used in this study is empirical juridical approach, by taking
informants from the Department of Culture and Tourism of the province of
Lampung three people, tourism managers in Lampung province by two people
and the people who visit the sights (tourists) by two people. The data collection
procedures with literature studies and field studies. The data were then analyzed
qualitatively.
The results showed that the role of the Department of Culture and Tourism of
Lampung Province in the development of the tourism industry do to increase
business tourism services which include tourism businesses, enterprise objects and
attractions as well as business tourism facilities, improving human resources
professionals, providing educational opportunities and formal a variety of nonformal education to employees; increase the intensity of tourism promotion
among others muli-election mekhanai Lampung Province, appreciation and
cultural charm Lampung Lampung Expo; enhance cooperation with LSM and the
arts community as partners in preserving, maintaining, and developing the arts in
the region Lampung; enhance cooperation with Newspaper media both print and
electronic media to promote Culture and Tourism. In addition, the factors
inhibiting the role of Culture and Tourism of Lampung Province in holding the
development of the tourism industry is the lack of human resources professionals
TRI KARTIKA SARI
in the development of the tourism industry and the limited facilities in the
development of the tourism industryTRI KARTIKA SARI 09120113812015-05-07T01:44:43Z2015-05-07T01:54:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9782This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97822015-05-07T01:44:43ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENCURIAN DENGAN
KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH REMAJA Abstrak
Tindak pidana yang dilakukan oleh remaja saat ini semakin meningkat termasuk
pencurian dengan kekerasan. Pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh
remaja ini perlu penanganan khusus dan serius terutama dalam hal mencari sebabmusababnya agar dapat dicari jalan keluar pencegahannya. Remaja yang melakukan
tindak pidana lalu diberikan sanksi pidana penjara dapat merusak masa depan remaja
tersebut karena pendidikan sekolah terhenti dan perkembangan sosial terganggu.
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu: apakah yang menjadi faktor
penyebab remaja melakukan pencurian dengan kekerasan, bagaimana upaya
penanggulangan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh
remaja, dan apakah faktor penghambat penanggulangan terhadap tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh remaja.
Penelitian digunakan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini
adalah data primer yang deperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara
terhadap pihak Kepolisian di Polresta Bandar Lampung. Sekunder diperoleh dari
studi kepustakaan. Data yang deperleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan
mengoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis deskriptif kualitatif
agar mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang
diperleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan, maka dapat disimpulkan bahwa: faktor
penebab remaja melakukan pencurian dengan kekerasan yaitu: Teori Psikogenis
(faktor ekonomi dan faktor pendidikan), Teori Subkultur (faktor lingkungan dan
pengaruh media komunikasi). Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh remaja yaitu: (1) Prefentif: upaya
pencegahan dengan mengadakan penyuluhan ke desa, sekolah, dan universitas.
Penyuluhan yang diberikan berupa pengetahuan umum soal hukum termasuk
pencurian berupa: bagaimana pencegahannya, apabila terjadi harus cepat melaporkan,
dan akibat apabila melakukan hal tersebut. (2) Refresif: menangkap pelaku dan
membawa ke persidangan. Faktor penghambat terhadap tindak pidana pencurian
Tian Terina
dengan kekerasan yang dilakukan oleh remaja yaitu: faktor penegak hukum dan
kesadaran masyarakat.
Saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut: diharapkan
kepada remaja sebaiknya berhati hati dalam bergaul jangan sampai terjerumus ke
tindak kriminal dan memahami agama, karena dengan agama hidup kita bisa terarah
dengan baik. kepada para penegak hukum dan pihak terkait lebih bijak dalam
menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh remaja
karena pada dasarnya remaja yang melakukan kejahatan karena belum matangnya
mental sehingga tidak berfikir panjang. Tian Terina 09120113792015-05-07T01:44:39Z2015-05-07T01:44:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9781This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97812015-05-07T01:44:39ZUPAYA UNIT PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (PPA)
POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM RANGKA
PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGAAbstrak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga muncul sebagai akibat dari adanya dominasi satu
kelompok terhadap kelompok lainnya. Jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat terlihat
dari data statistik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung
dari tahun 2010 tercatat terdapat 41, di tahun 2011 tercatat 39 kasus dan pada tahun
2013 tercatat sebanyak 69 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Upaya Unit
perlindungan perempuan dan anak (PPA) dengan didukung Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang
didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap
korban dan penindakan terhadap pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan
tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi penulis adalah apakah upaya unit perlindungan perempuan dan
anak (PPA) Polresta Bandar Lampung dalam rangka penanggulangan kekerasan
dalam rumah tangga?. Dan apakah yang menjadi faktor penghambat unit
perlindungan perempuan dan anak (PPA) Polresta Bandar Lampung dalam rangka
penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga?.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan
yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Sumber dan jenis data primer diperoleh dari studi lapangan
Nanda Febrini Sholehati
dengan melakukan wawancara terhadap pihak Unit Perindungan perempuan dan anak
(PPA) di Polresta Bandar Lampung. Sedangkan sumber dan jenis data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara
memeriksa dan mengoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara
deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan
kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa upaya
unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) Polresta Bandar Lampung dalam
rangka penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa cara pendekatan atau upaya yaitu upaya represif,
preventif dan pre-emtif. Upaya pre-emtif seperti pihak kepolisian membuat
penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat guna memberi informasi terkait
dengan kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya upaya preventif yaitu dengan
cara menegedepankan fungsi teknis unit PPA dengan melaksanakan kegiatan
pengaturan serta kegiatan pembinaan masyarakat. Sedangkan upaya represif seperti
upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sanksi
yang tegas untuk membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga. Dalam proses upaya unit perlindungan perempuan dan anak (PPA)
Polresta Bandar Lampung dalam rangka penanggulangan kekerasan dalam rumah
tangga terdapat beberapa hambatan, antara lain: faktor dari penegak hukumnya
sendiri yaitu sumber daya yang dimiliki oleh unit perlindungna perempuan dan anak
yang masih terbilang minim; faktor sarana dan fasilitas yang kurang memadai seperti
halnya dalam melaksanakan penyuluhan-penyuluhan terkait tindak kekerasan dalam
rumah tanggga; faktor kesadaran hukum dan faktor kebudayaan masyarakat yang
dimana masyarakat masih menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu
sebagai hal yang tabu untuk dikonsumsi secara eksternal keluarga dan masyarakat
masih menganggap tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan internal
dan pribadi dalam rumah tangga.
Adapun saran yang diberikan penulis adalah untuk memaksimalkan upaya yang
dilakukan pihak unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) Polresta Bandar
Lampung dalam hal penegakan hukum maka perlu meningkatkan sumber daya
manusia guna dapat memaksimalkan kinerjanya terkait upaya penanggulangan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dan bagi masyarakat Kota Bandar Lampung
diharapkan agar dapat berhati-hati dalam bertindak dan apabila mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga baik itu kekerasan fisik maupun psikis diharapkan
jangan hanya menyimpannya sendiri dan cobalah untuk bersikap terbuka kepada
aparat penegak hukum. Sehingga tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat
diminimalisir.
Kata Kunci : Upaya Unit Perempuan dan Anak (PPA), Penanggulangan Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Nanda Febrini Sholehati 09120113502015-05-07T01:44:30Z2015-05-07T01:44:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9779This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97792015-05-07T01:44:30ZANANLISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DALAM
PERKARA TINDAK DIPADANA LALU LINTAS
(STUDI PUTUSAN PN NOMOR 278/PID/B/2012/PNTK)Abstrak
Pada kehidupan masyarakat saat ini, transportasi merupakan salah satu hal yang
sangat penting. Bagi individu dan masyarakat zaman sekarang, transportasi seakan
sebagai bagian dari kehidupan karena manusia yang juga mempunyai sifat
bergerak atau mobilitas sebagai mahkluk sosial. Dengan adanya transportasi dan
sarana transportasi kita dapat menuju ke berbagai tempat yang akan dituju dengan
mudah, itu akan terjadi jika masyarakat dapat menggunakan serta
mengembangkan transportasi dan sarana transportasi. Adapun permasalahan yang
akan penulis angkat dalam skripsi ini yaitu Bagaimanakah dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kelalaian
kecelakaan lalu lintas perkara (putusan pengadilan negeri Tanjung Karang
No.278/Pid/B/2012/Pntk) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian kecelakan lalu lintasperkara
(putusan pengadilan negeri Tanjung Karang No. 278/Pid/B/2012/Pntk)?
Metode penelitian dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris, pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan studi lapangan
wawancara kemudian data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif.
Pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Adapun sumber data
adalah data sekunder diperoleh dari studi perpustakan dan dokumentasi, serta data
primer diperoleh dari peneelitian lapangan melelui metode wawancara terhadap
responden hakim Pengadilan Negeri Tajung Karang Dan Kejaksa Bandar
lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hukum pidana terhadap delik
kelalaian yang menyebabkan kematian pada perkara ini dengan Pasal 310 ayat (4)
UU RI No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu lintas dan angkutan jalan telah sesuai
dengan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, keterangan ahli, dan
Muhamad Soleh
keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak
terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya, pertimbangan hakim dalam memutus perkara putusan Nomor
:278/pid/B/2012 PNTK telah sesuai karena berdasarkan penjabaran keterangan
para saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti serta adanya pertimbanganpertimbangan yuridis, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, serta
memperhatikan Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang diperkuat dengan keyakinan haki
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulisan mencoba
memberikan suatu saran kepada pihak Penegakan hukum dalam perkara kecelakan
lalu lintas karena kealapaan yang menyebabkan kematian dengan putusan
No:278/pid/B/2012/PNTK, menurut penulis perlu adanya kerja sama baik dari
para penegakan hukum dan dalam hal penulisan juga menyerahkaan hendaknya
selain dikenakan sanksi hukum pidana 310 ayat (4) UU NO 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan, seharunnya dalam penegaka hukum
pidana perkara kecelakan lalu lintas diperlukan juga undang-undang KUHP
khususnya dipasal 63 yang mana hakim dalam memutus perkara kecelakan lalu
lintas benar dan adil. Muhamad Soleh 09120113462015-05-07T01:44:18Z2015-05-07T01:44:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9765This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97652015-05-07T01:44:18ZASURANSI KECELAKAAN KERJA BAGI KARYAWAN PT SUGAR
GROUP COMPANIESAbstrak
Dalam suatu hubungan kerja antara perusahaan dan tenaga kerja, pihak tenaga
kerja di dalam melaksanakan tugasnya akan selalu dihadapkan pada berbagai
persoalan yang menyangkut tantangan dan risiko. Oleh karena itu, pengusaha
sebagai pemilik perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan
perlindungan dan pemeliharaan baik terhadap tenaga kerja maupun keluarganya.
Pemerintah secara khusus telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek. Menurut Pasal 4 UU Jamsostek, perusahaan dan tenaga
kerja wajib untuk ikut serta dalam program Jamsostek, seperti yang terjadi pada
Asuransi Kecelakaan Kerja bagi Karyawan di PT. Sugar Group Companies.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah hubungan hukum dalam perikatan
asuransi Jamsostek, mekanisme kepesertaan program Jamsostek dan mekanisme
pengajuan klaim asuransi kecelakaan kerja oleh PT. Jamsostek (Persero) bagi
karyawan PT. Sugar Group Companies.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris dengan
menggunakan tipe penelitian deskriptif. Adapun pendekatan masalah yang
dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah studi terhadap peristiwa hukum
dengan pendekatan tinjauan yuridis (legal review). Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan hubungan hukum yang terjadi
antara penanggung dan tertanggung adalah keterkaitan (legally bound) yang
timbul karna perikatan berdasarkan Pasal 4 UU Jamsostek. Keterkaitan tersebut
berupa kesediaan secara wajib dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi
kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal balik).
Mekanisme dalam kepesertaan Program Jamsostek dan mekanisme pengajuan
klaim telah sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan
Ardian Jufar Agung
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun
1993.
Kata kunci: Asuransi, Kecelakaan kerja, Syarat dan Prosedur Ardian Jufar Agung 09120112992015-05-07T01:42:40Z2015-05-07T01:42:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9777This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97772015-05-07T01:42:40ZPELAKSANAAN PEMBERIAN UANG PENGHARGAAN MASA KERJA
TERHADAP PEKERJA YANG DI PHK DI PT. GOLDEN SARI
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Pemberian Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam suatu perusahaan
terkadang tidak berjalan secara optimal, kenyataan tersebut dialami oleh para
pekerja yang di-PHK pada PT. Golden Sari, dimana pelaksanaan pemberian
Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) terhadap pekerja yang di-PHK tidak
berjalan dengan baik. Ketentuan mengenai Uang Penghargaan Masa Kerja
(UPMK) diatur dalam Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah pelaksanaan pemberian uang penghargaan masa kerja terhadap
pekerja yang di-PHK di PT. Golden Sari Bandar Lampung dan (2) Faktor-faktor
apakah yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian uang
penghargaan masa kerja terhadap pekerja yang di-PHK di PT. Golden Sari
Bandar Lampung.
Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dan empiris. Dari
keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dan telah dilakukan pemeriksaan,
kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu dengan memberikan arti terhadap data dan disajikan dalam bentuk kalimat
untuk selanjutnya ditarik kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan pertama,
pelaksanaan pemberian Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) terhadap pekerja
yang di-PHK di PT. Golden Sari masih kurang optimal. Pekerja yang di-PHK
tidak langsung diberikan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) melainkan
adanya penundaan yang terkadang pekerja tersebut harus menunggu terlalu lama
atau bahkan pekerja hanya menerima upah terakhir sebagai upah hasil kerja tanpa
diberikan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK). Kedua, faktor-faktor yang
menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian Uang Penghargaan Masa
Kerja (UPMK) terhadap pekerja yang di-PHK di PT. Golden Sari Bandar
Lampung adalah pekerja belum dianggap sebagai partner oleh pengusaha, PT.
Golden Sari belum mempunyai manajemen atau program khusus mengenai
pemberian Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), sehingga untuk mengetahui
apakah memang betul tenaga kerja yang bersangkutan berhak mendapatkan Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK) atau tidak sangat sulit. Saran yang penulis
kemukakan dalam penelitian ini antara lain: pertama, hendaknya pihak PT.
Golden Sari memberikan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) kepada
pekerja yang di-PHK karena hal ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
tenaga kerja. Kedua, PT. Golden Sari harus mempunyai manajemen atau program
khusus mengenai pemberian Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), sehingga
dapat di data secara akurat pekerja yang bersangkutan berhak mendapatkan Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK).
Abstract: Provision of gratuity (UPMK) in a company sometimes does not work
optimally, the reality is experienced by workers who had been fired at PT. Golden
Sari, where the implementation of the provision of gratuity (UPMK) of workers
who were laid off are not going well. Provisions regarding gratuity (UPMK)
provided for in Article 156 Paragraph (3) of Law No. 13 of 2003 on Manpower.
The problem in this study were: (1) How is the implementation of the provision of
gratuity to workers laid-off in the PT. Golden Sari Bandar Lampung, and (2) What
factors are a barrier to the implementation of the provision of gratuity to workers
laid-off in the PT. Golden Sari Bandar Lampung.
The study of law is the kind of normative and empirical legal research. From all
the data that has been collected and has been examined, and then analyzed using
qualitative descriptive methods, by giving meaning to the data and are presented
in the next sentence to be concluded.
Based on the research and discussion conclude the first, the implementation of the
provision of gratuity (UPMK) of workers who had been fired at the PT. Golden
Sari is still less than optimal. Laid-off workers who are not directly given gratuity
(UPMK) but the delays that sometimes workers have to wait too long or even
wage workers received only last as wage work without given gratuity (UPMK).
Second, factors that become an obstacle in the implementation of the provision of
gratuity (UPMK) of workers who had been fired at PT. Golden Sari Bandar
Lampung is not considered a partner of workers by employers, PT. Golden Sari
not have any management or special program on the provision of gratuity
(UPMK), so as to know whether it was true labor is entitled to get gratuity
(UPMK) or not is very difficult. The suggestion that the writer suggested in this
study include: First, should the PT. Golden Sari give gratuity (UPMK) to workers
who had been fired because it is intended to guarantee the basic rights of workers.
Second, PT. Golden Sari must have management or special program on the
provision of gratuity (UPMK), so that the data can be accurately workers
concerned are entitled to a gratuity (UPMK).
Keywords: implementation, giving gratuity, regulationMelisa Fitriani 09120113422015-05-07T01:42:36Z2015-05-07T01:42:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9776This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97762015-05-07T01:42:36ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS
TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN
NASIONAL TULANG BAWANG
(Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)Abstrak
Perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan
karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, kasus gratifikasi dengan terdakwa Sukri Hidayat Kepala BPN Tulang
Bawang dengan dakwaan pasal 11 dan 12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu, dalam program nasional
sertifikasi tanah senilai Rp1,2 miliar. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana
gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang?, Apakah yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap kasus tindak pidana
gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi
kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses
editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan
adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis terhadap analisis
pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan
pertanahan nasional tulang bawang maka dapat ditarik kesimpulan, (1)
Pertanggungjawaban pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan
Pertanahan Nasional Tulang Bawang dengan terdakwa Sukri Hidayat sudah sesuai
dan tepat dengan terpenuhinya unsur sifat melawan hukum oleh terdakwa sesuai
dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, adanya unsur kesalahan dari sipelaku dengan meminta serta
menerima sejumlah pembayaran yang patut diketahui dan diduga merupakan
tindak pidana Gratifikasi, selain itu juga tidak adanya alasan pemaaf. (2) Dasar
Karolina Pangestu
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana
Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yaitu dalam memutus
perkara Hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang ditemukan dari keterangan
saksi baik saksi ahli dan alat bukti berupa dokumen serta kuitansi, unsur-unsur
dari pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, serta keyakinan
Hakim. Selain dari itu tidak adanya unsur paksaan dalam kasus tersebut sehingga
tidak terbukti dan sah hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan primair Jaksa
Penuntut Umum.
Saran yang dapat disampaikan setelah melakukan pembahasan dan memperoleh
kesimpulan adalah (1) Pertanggungjawaban pidana pidana terhadap kasus Tindak
Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang telah sesuai
menurut dakwaan subsidair tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan
denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan
rasa keadilan dibandingkan jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak
sedikit jumlahnya, (2) Hakim hendaknya agar selalu cermat dalam melihat suatu
kasus korupsi yang dikategorikan kasus besar dan menjadi musuh utama Negara
Republik Indonesia, sehingga perlu adanya kecermatan mengingat Pasal 11 dan
12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memiliki banyak unsur yang berkaitan sehingga diharapkan putusan
Hakim dapat memenuhi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Dasar Pertimbangan Hakim Karolina Pangestu 09120113332015-05-07T01:42:31Z2015-05-07T01:42:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9775This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97752015-05-07T01:42:31ZPELAYANAN HUKUM TERHADAP PEDAGANG PASAR DAN
PEDAGANG KAKI LIMA DI LINGKUNGAN PASAR
BAMBU KUNING DAN PASAR BAWAH RAMAYANA
KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Kontra prestasi imbal balik sebagai bentuk pelayanan hukum yang diberikan
Pemerintah Kota Bandar Lampung kepada pedagang pasar dan pedagang kaki
lima adalah penyediaan fasilitas lingkungan pasar sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Akan tetapi dalam
pelaksanaan di lapangan pemerintah belum optimal dikarenakan berbagai
hambatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
pelayanan hukum terhadap pedagang pasar dan pedagang kaki lima di pasar
bambu kuning dan pasar bawah Ramayana Kota Bandar Lampung dan (2) Faktorfaktor apakah yang menjadi penghambat dalam melaksanakan pelayanan hukum
Pemerintah Kota terhadap pedagang pasar dan pedagang kaki lima di lingkungan
pasar pasar bambu kuning dan pasar bawah Ramayana Kota Bandar Lampung.
Penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif dan empiris. Sumber
data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder
yang dilakukan dengan studi pustaka dan lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan bahwa
pelayanan hukum terhadap pedagang pasar dan pedagang kaki lima di pasar
bambu kuning dan pasar bawah Ramayana Kota Bandar Lampung yakni
Pemerintah belum optimal dan belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab
publik dalam hal pelayanan hukum khususnya mengenai penyediaan fasilitas
umum di lingkungan pasar. Faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan
pelayanan hukum Pemerintah Kota terhadap pedagang pasar dan pedagang kaki
lima di pasar bambu kuning dan pasar bawah Ramayana Kota Bandar Lampung
meliputi Faktor internal, yakni berasal dari institusi Pemerintah Kota Bandar
Lampung sendiri baik dari Cabang Dinas Pasar atau Dinas Pasar maupun dari
Pemerintah Kota Bandar Lampung. Faktor eksternal, yakni berasal dari pedagang
pasar dan pedagang kaki lima, antara lain disiplin diri yang kurang dari pedagang
pasar dan pedagang kaki lima ada beberapa pedagang yang tidak membayar
retribusi, banyaknya pedagang yang tidak tercatat dalam daftar di Cabang Dinas
Pasar. Saran yang peneliti kemukakan dalam penelitian ini antara lain: pertama,
Pemerintah harus lebih optimal dalam memberikan pelayanan hukum kepada
pedagang pasar dan pedagang kaki lima khususnya mengenai pelayanan hukum
terhadap penyediaan fasilitas umum di lingkungan pasar. Kedua, Pemerintah
harus menambah anggaran operasional, jumlah personil dalam kantor cabang
dinas, menambah sarana dan prasarana administrasi kantor, dan sebagainya agar
pelaksanaan tugas yang diemban oleh Cabang Dinas Pasar Kota Bandar Lampung
dapat berjalan secara optimal.
Cons achievements reciprocity as a form of legal services provided by the
Government of Bandar Lampung to market traders and street vendors are
providing facilities market environment in accordance with Law No. 28 of 2009
on Taxes and Levies. However, in the implementation of the government in the
field is not optimal due to various constraints. The problem in this study were: (1)
How legal services to market traders and street vendors in the market and the
market of yellow bamboo under Bandar Lampung Ramayana and (2) What factors
are a barrier to implementing the legal services of the Government of the market
traders and street vendors in the market environment yellow bamboo markets and
down markets Ramayana Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pelayanan hukum, retribusi, peraturan.
Abstract: Legal research is a type of normative and empirical legal research.
Sources of data used in this study in the form of primary data and secondary data
were conducted with the study of literature and field.
Based on the research and discussion concluded that the legal services market
traders and street vendors in the market and the market under the yellow bamboo
Ramayana Bandar Lampung that the Government has not yet fully implement
optimal and public responsibility in the legal services particularly regarding
provision of public facilities in the market. Limiting factors in performing legal
services for the City of market traders and street vendors in the market and the
market under the yellow bamboo Ramayana Bandar Lampung include internal
factors, ie coming from government institutions Bandar Lampung itself well from
the Branch Office or the Office of Markets and Markets of the City of Bandar
Lampung. External factors, ie, derived from market traders and street vendors,
among others, self-discipline that is less than the market traders and street vendors
there are some traders who do not pay fees, many merchants that are not listed in
the list at the Branch Office Markets. The suggestion that the researchers pointed
out in this study include: First, the Government should be more optimal in
providing legal services to market traders and street vendors in particular
regarding the provision of legal services to the public facilities in the market
environment. Second, the government should increase the operating budget, the
number of personnel in the branch office, add administrative office facilities and
infrastructure, and so that execution of the duties by the Branch Office Markets
Bandar Lampung may be optimized.
Keywords: legal services, fees, regulationIntan Mayank Sari 09120113312015-05-07T01:42:16Z2015-05-07T01:42:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9772This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97722015-05-07T01:42:16ZPENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIF TERHADAP PERKARA
PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP OLEH PERUSAHAAN
DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Tindakan perusakan lingkungan hidup membawa dampak kerugian yang sangat
besar, oleh sebab itu pemerintah dan aparat penegak hukum harus dapat
mengambil tindakan yang tegas terhadap perkara perusakan lingkungan.
Pencemaran akibat industri pernah dilakukan oleh beberapa perusahaan seperti
PT. Platinum Keramik Industri, PT. Indocement, PT. Kertas Basuki Rahman, dan
PT. Caroon Pochen yang beroperasi di Kota Bandar Lampung. Penegakan hukum
administratif perkara lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini masih banyak
mengalami hambatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah penegakan hukum administratif terhadap perkara perusakan
lingkungan hidup oleh perusahaan di Kota Bandar Lampung dan (2) Faktor-faktor
apakah yang menjadi penghambat penegakan hukum administratif terhadap
perkara perusakan lingkungan hidup oleh perusahaan di Kota Bandar Lampung.
Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dan empiris. Dari
keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dan telah dilakukan pemeriksaan,
kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu dengan memberikan arti terhadap data dan disajikan dalam bentuk kalimat
untuk selanjutnya ditarik kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis menyimpulkan bahwa
penegakan hukum administratif terhadap perkara perusakan lingkungan hidup
oleh perusahaan di Kota Bandar Lampung dilakukan melalui serangkaian tahapantahapan dimulai dari penanganan laporan dari masyarakat oleh petugas BPLHD,
koordinasi tim gabungan BPLHD dengan Instansi lain, penyelidikan indikasi
perusakan lingkungan, penyidikan oleh PPNS BPLHD, pemberian sanksi
administratif, sanksi pidana dan/atau denda dalam rangka penegakan hukum.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum administratif
terhadap perkara perusakan lingkungan hidup oleh perusahaan di Kota Bandar
Lampung yaitu: kurang baiknya sistematisasi dan sinkronisasi perangkat hukum
lingkungan, kurangnya pengetahuan penegak hukum tentang hukum
lingkungun, kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kurangnya sarana dan
fasilitas yang mendukung daya berlakunya hukum lingkungan , proses
penyidikan dan pencarian barang bukti lama, sanksi yang diberikan kurang tegas.
Saran yang penulis kemukakan dalam penelitian ini antara lain: pertama,
Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu meningkatan pengetahuan dan
profesional aparat penegak hukum bidang lingkungan hidup serta melengkapi
sarana dan fasilitas. Kedua, pemerintah Kota Bandar Lampung dan aparat
penegak hukum terkait harus melakukan penyuluhan lingkungan kepada
masyarakat dan juga perusahaan sektor industri guna meminimalisir terjadinya
perusakan lingkungan hidup.
Kata Kunci: penegakan hukum, lingkungan, peraturan.
Abstract: Measures of environmental impact very large losses, and therefore the
government and law enforcement officials should be able to take firm action
against cases of environmental destruction. Pollution caused by the industry ever
undertaken by several companies such as PT. Platinum Ceramics Industry, PT.
Indocement, PT. Paper Basuki Rahman, and PT. Caroon Pochen operating in the
city of Bandar Lampung. Administrative enforcement of environmental matters at
this day there are still many obstacles. The problem in this study were: (1) How to
administrative enforcement of environmental matters by the company in Bandar
Lampung, and (2) What factors are a barrier to administrative enforcement cases
against environmental destruction by the company in the city of Bandar Lampung.
The study of law is the kind of normative and empirical legal research and then
analyzed using qualitative descriptive methods, by giving meaning to the data and
are presented in the next sentence to be concluded.
Based on the research and discussion the authors conclude that the administrative
enforcement of environmental matters by the company in the city of Bandar
Lampung done through a series of stages of handling reports from the public by
officers BPLHD, BPLHD joint team coordination with other agencies, an
indication of environmental investigations , an investigation by investigators
BPLHD, administrative sanctions, criminal sanctions and / or penalties in the
enforcement of law. Factors that become obstacles in administrative enforcement
cases against environmental destruction by the company in Bandar Lampung,
namely: lack of good systematize and synchronize the environmental laws, lack of
knowledge about the law lingkungun law enforcement, lack of legal awareness,
lack of equipment and facilities supporting the enactment of environmental laws,
the investigation and the search for evidence of the old, less stringent sanction.
The suggestion that the writer suggested in this study are: first, the City of Bandar
Lampung should improve their knowledge and professional law enforcement
officers the environment as well as complement of facilities. Secondly, Bandar
Lampung government and law enforcement officials concerned shall conduct
environmental education to the public and also the industrial sector in order to
minimize environmental degradation.
Keywords: law enforcement, environmental, regulation.Fina Sakinatul Aisi 09120113252015-05-07T01:42:07Z2015-05-07T01:42:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9770This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97702015-05-07T01:42:07ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG
(Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)Abstrak
Aborsi dalam tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk ke dalam
kejahatan atau tindak pidana terhadap nyawa janin yang dikandung oleh seorang
perempuan. Pelaku tindak pidana aborsi yang dengan sengaja melakukan
penguguran kandungan karena tak menginginkan janin yang dikandung itu harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum yang berlaku, dalam
konteks pertanggungjawaban pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana aborsi dalam
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK (2)
Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana aborsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 169/PID/B/ 2009/PNTK.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Responden
penelitian terdiri dari Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa
pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, hakim pada Pengadilan Negeri Kelas
IA Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Data
penelitian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan:
(1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi di Bandar
Lampung dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 169/PID/B/
2009/PNTK, dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa pelaku sebagai subjek
hukum telah cakap atau mampu dalam melakukan perbuatan hukum. Pelaku harus
mempertanggung jawabkan tindak pidana aborsi karena unsur kesengajaan (dolus)
yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya menggugurkan kandungan bersifat
melanggar hukum dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut sehingga
mengakibatkan janinnya meninggal dunia maka ia harus mempertanggung
jawabkan perbuatan tersebut di depan hukum yang berlaku, yaitu melanggar Pasal
Pasal 346 KUHP dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya adalah terdakwa
Fitriana Bin Asmui dipidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Bagus Saddamyekti
(2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana aborsi terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa
mengakibatkan meninggalnya janin. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa
mengakui dan menyesali atas perbuatannya dan sopan dalam persidangan
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan pada masa mendatang
hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi
berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada
bagaimanamengembalikan pelaku menjadi warga yang baik, tidak melakukan
pergaulan dan seks bebas serta tidak mengulangi tindak pidana aborsi. (2)
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana aborsi hendaknya lebih
mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar mereka menyadari kesalahan yang
dilakukannya dan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.Bagus Saddamyekti 09120113032015-05-07T01:41:55Z2015-05-07T01:41:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9763This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97632015-05-07T01:41:55ZKEWENANGAN BADAN PENANAMAN MODAL
DAN PERIZINAN DALAM PELAKSANAAN
PEMBERIAN IZIN PENANAMAN MODAL
DAERAH DI PROVINSI LAMPUNGAbstrak
Dalam upaya pelayanan yang transparan, mudah, efisien, berkeadilan, akuntabilitas, dan
berkepastian hukum, diperlukan pengaturan pelayanan perizinan penanaman modal secara
terpadu satu pintu. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kewenangan BPMPPT
dalam pemberian izin penanaman modal di Provinsi Lampung dan apakah faktor-faktor
penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan penanaman modal di Provinsi Lampung?
Pendekatan masalah menggunakan normatif empiris. Sumber data menggunakan data primer dan
data sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Metode pengolahan data menggunakan seleksi data, klasifikasi data dan sistematika data.
Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Pengaturan PTSP
disahkan melalui Pergub Lampung No. 15 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan di
Bidang Perizinan dan Nonperizinan kepada BPMPPT Provinsi Lampung. Dalam upaya
meningkatkan investasi, BPMPPT meningkatkan fasilitas, sumber daya manusia dan sarana
prasarana. Faktor penghambat dalam pelayanan pemberian izin penanaman modal di Provinsi
Lampung adalah masih kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam PTSP, persepsi
masih belum utuh dan terkotak-kotak, serta ketidaksiapan BPMPPT dalam hal pelayanan
perizinan penanaman modal sehingga masih memerlukan kerjasama satuan kerja lainnya. Oleh
sebab itu disarankan BPMPPT meningkatkan sumber daya manusia yang benar-benar
berkompeten dalam hal pelayanan pemberian izin, serta tugas pokok dan fungsi yang diperjelas
sehingga tidak terjadi persepsi yang berbeda dan masing-masing satuan kerja yang memberikan
rekomendasi dapat menempatkan sumber daya manusia nya berada di satu tempat sesuai dengan
masing-masing satuan kerja sehingga tidak memakan waktu yang lebih lama
Abstract
In efforts of giving transparent, easy, efficient, fair, accountable service with legal security, a
regulation on integrated capital investment permit service is required. The problem statement in
this research is how does the authority of Permit and Investment Agency (or BPMPPT) in
granting permit of capital investment in Lampung province and what are inhibiting factors in
conducting giving permit of capital investment in Lampung province?
This research used normative empirical approach. It used primary and secondary data. Data were
collected with literary study and field study. Data were processed with data selection, data
classification, and data systematization. Data were analyzed quantitatively.
The results showed conclusion that the regulation of Integrated Service was legalized with
Lampung Governor Decree Number 15 in 2011 about Endorsement of Authority in Permit and
Non Permit Affairs to the Permit and Investment Agency (BPMPPT) of Lampung province. In
improving investment, Permit and Investment Agency (BPMPPT) improved facilities, human
resources and structures and infrastructures. Inhibiting factors in giving service of investment
permit in Lampung province were less competence human resources in Integrated Service
(PTSP), incomplete and fragmented perceptions, unpreparedness of Permit and Investment
Agency (BPMPPT) in capital investment permit so that it required coordination with other
working units. The researcher suggests Permit and Investment Agency (BPMPPT) to improve
human resources to be fully competent in investment capital permit, to make clearer job
descriptions to prevent misperceptions and to make working units to recommend the right human
resource based on their competences to prevent longer time of service.Oktavianti Puspitasari 09120112812015-05-07T01:41:46Z2015-05-07T01:41:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9761This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97612015-05-07T01:41:46ZUPAYA POLISI LALU LINTAS DALAM RANGKA PENERTIBAN DAN
PENINDAKAN TERHADAP PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR
YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM)Abstrak
Pertambahan jumlah kendaraan bermotor pada saat ini menjadikan hal ini sangat
rentan terhadap problema dalam masyarakat. Pertambahan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia kini mencapai 24-30% dalam satu tahun dan tidak
dibarengi dengan pembangunan insfrastruktur yang memadai menjadikan
Indonesia menduduki peringkat pertama negara ASEAN dengan jumlah
kecelakaan lalu lintas tertinggi. Diwilayah Bandar Lampung jumlah pertambahan
kendaraan bermotor mencapai 40% tiap tahunnya. Akibatnya potensi untuk
terjadinya kecelakaan semakin besar. Belum lagi dengan resiko terjadinya
kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat mendorong kepolisian untuk lebih
tanggap dan memberi perhatian yang cukup tinggi terhadap pelanggaran lalu
lintas salah satunya adalah mengenai kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah upaya polisi lalu lintas
dalam rangka penertiban dan penindakan pengendara kendaraan bermotor yang
tidak memiliki surat izin mengemudi dan apakah faktor penghambat upaya
kepolisian dalam rangka penertiban dan penindakan pengendara kendaraan
bermotor yang tidak memiliki surat izin mengemudi.
Metode pendekatan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris, sedangkan sumber data dan jenis data diambil dari data primer, data
sekunder, dan juga dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier, adapun yang dijadikan populasi disini adalah Aparat Kepolisian
Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung. Pengumpulan data berdasarkan
studi kepustakaan dan studi pengamatan atau observasi, sedangkan pengolahan
data dilakukan dengan metode editting, sistematisasi, klasifikasi dan interpretasi.
Noverdi Puja Saputra
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, terdapat
tiga cara yang dapat dilakukan yaitu tindakan preventif, represif, dan kuratif.
Tindakan preventif, yaitu usaha mencegah kejahatan/pelanggaran yang
merupakan bagian dari politik kriminil. Upaya yang telah dilakukan kepolisian
berupa sosialisasi – sosialisasi secara langsung (kegiatan Police Goes To
Campus/Police Go To School) ataupun tidak langsung (sosialisasi menggunakan
media elektronik dan cetak maupun media internet). Lalu kepolisian juga
mengadakan SIM keliling, SIM corner, dan SIM Kolektif. Tindakan represif yaitu
segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya
tindak pidana atau pelanggaran. Upaya yang telah dilakukan kepolisian berupa
razia/gabungan dan patroli lalu lintas. Upaya kuratif yaitu pada hakikatnya
merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya yaitu usaha
penanggulangan kejahatan. Tindakan kuratif dalam arti nyata hanya dilakukan
oleh aparatur eksekusi pidana. Dalam hal ini berupa kurungan, denda, maupun
pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Agar membantu upaya polisi lalu lintas dalam penertiban dan penindakan
pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM hendaknya kepolisian
harus meningkatkan kesadaran hukum dari masyarakat melalui cara – cara yang
lebih variatif dan tepat sasaran. Namun sebelumnya harus meningkatkan
profesionalisme bagi anggotanya terlebih dahulu. Para pengguna kendaraan
bermotorpun diharapkan untuk lebih sadar akan hukum dan harus lebih kooperatif
dan terbuka untuk saling bekerjasama dengan pihak kepolisian.
KATA KUNCI : Surat Izin Mengemudi (SIM), Polisi Lalu Lintas
NOVERDI PUJA SAPUTRA 09120112712015-05-05T03:17:07Z2015-05-05T03:17:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9706This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97062015-05-05T03:17:07ZKEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PELAKSANAAN
PASAL 107 DAN PASAL 293 TENTANG LALU LINTAS DAN
ANGKUTAN JALAN
DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
merupakan dasar hukum terbentuknya Pasal 107 dan 293 yang mengatur tentang
pemberlakuan light on. Salah satu aturan hukum yang dapat mendukung
ketertiban dan kenyamanan berlalulintas serta menanggulangi banyaknya
kecelakaan lalulintas jalan. Aturan undang-undang yang menjadi pedoman dalam
mengantisipasi terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat mengakibatkan
kerugian dan korban jiwa maka diharapkan agar pengendara sepeda motor dapat
mengindahkan dan mematuhi aturan tersebut. Permasalahan dalam skripsi ini
adalah Bagaimanakah kebijakan kriminal terhadap pelaksanaan Pasal 107 dan 293
di Kota Bandar Lampung dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Pasal
107 dan Pasal 293 di wilayah Kota Bandar Lampung.
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive
Sampling, sampelnya 2 (dua) orang anggota Polresta Bandar Lampung, 1 (satu)
orang Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan 2 (dua) orang
masyarakat sebagai pengguna jalan. Sumber data yang digunakan adalah data
primer, data sekunder dan data tersier. Data yang diperoleh diolah dengan
melakukan editing, sistematisasi data dan kemudian dianalisa.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebijakan kriminal terhadap pelaksanaan Pasal 107 dan 293 tentang light
on di kota Bandar Lampung, dalam pelaksanaan penegakan hukumnya sudah
berjalan dengan efektif dapat dilihat dari tabel tingkat kecelakaan pengendara
sepeda motor di jalan raya dan jumlah pelanggaran terhadap light on secara global
yang semakin menurun dari perbandingan tahun 2011-2012. Faktor-faktor
penghambat dalam pelaksanaan Pasal 107 dan 293 tentang pemberlakuan light on
yaitu terdapat pada: Faktor Adanya upaya penegakkan hukum yang belum
maksimal yang dilakukan oleh anggota satuan lalu lintas Polresta Bandar
Lampung terhadap masyarakat pengguna jalan atau pengemudi kenderaan
bermotor yang tidak menyalakan lampu utama kenderaan bermotornya pada saat
berjalan, Faktor sarana yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat
Faktor masyarakat yang didalamnya terkait permasalahan ketidakpedulian dan
kelalaian masyarakat terhadap suatu permasalahan hukum.hal ini menjadikan
penegakan hukum menjadi terhambat, karena kesadaran masyarakat terhadap
hukum masih kurang, dan faktor kebudayaan mempengaruhi dampak sosialisasi
antar sesama manusia, dapat dikatakan bahwa terlihat jelas perilaku masyarakat
yang tidak peduli dan tidak mengindahkan peraturan yang sudah diciptakan,
karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa suatu aturan hanya akan
membebankan sehingga mereka beranggapan bahwa peraturan tidak diperlukan.
Adapun saran-saran dari penulis yaitu hendaknya aparat penegak hukum untuk
lebih mempertegas dalam melakukan penindakan terhadap pelanggaran light on
dan memberikan pengayoman serta contoh yang layak kepada masyarakat agar
citra kepolisian lebih baik Dan bagi masyarakat sebagai pengguna jalan untuk
meningkatkan kesadaran hukum serta lebih mentaati peraturan light on agar
membantu terciptanya tertib berlalu lintas serta membatu berfungsinya aturan dan
membantu sistem penegakan hukum yang efektif.
Kata Kunci : Pelaksanaan, Pasal, Light OnYeni Kustanti 09120112682015-05-05T03:17:01Z2015-05-05T03:17:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9705This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97052015-05-05T03:17:01ZPERAN POLRI DALAM MENGATASI PENINGKATAN JUMLAH
KECELAKAAN DI JALAN RAYA BERDASARKAN
PP NOMOR 80 TAHUN 2012
(Studi Di Polresta Bandar Lampung)Abstrak
Lalu lintas adalah salah satu permasalahan yang dihadapi kota-kota di Indonesia.
Ini telah terbukti dengan indikasi-indikasi meningkatnya jumlah kecelakaan lalu
lintas. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah kendaraan yang beredar di kota dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Ini berpengaruh terhadap keamanan berlalu
lintas, yang dapat menimbulkan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang dapat
menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Salah satu yang menjadi kendala polisi lalu
lintas sebagai penegak hukum yang terlibat langsung di lapangan adalah sering
terjadinya pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pengendara
kendaraan bermotor yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas
di jalan raya. Permasalahan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, dengan
mengajukan dua permasalahan yaitu: (1) Bagaimanakah pelaksanaan penegakan
hukum oleh Satlantas Polresta Bandar Lampung sebagai salah satu upaya
mengatasi peningkatan jumlah kecelakaan di jalan raya berdasarkan PP Nomor 80
Tahun 2012? (2) Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat Satlantas
Polresta Bandar Lampung dalam pelaksanaan penegakan hukum sebagai upaya
mengatasi peningkatan kecelakaan di jalan raya?
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data
primer yaitu data yang diperoleh langsung diperoleh dari penelitian di Kepolisian
Resor Kota Bandar Lampung, data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan data tersier yaitu
bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
sekunder yang berkaitan dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum.
Waldi
Indrawan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yakni peranan Satlantas
Polresta Bandar Lampung dalam pelaksanaan penegakan hukum meliputi
penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu
upaya mengatasi peningkatan jumlah kecelakaan di jalan raya dapat dilakukan
dengan cara yang bersifat represif (penal). Dimana sarana penal tersebut
mencakup tindakan represif (setelah pelanggaran terjadi) yaitu berdasarkan PP
Nomor 80 Tahun 2012 yakni dengan cara menilang, penyitaan barang bukti, dan
memusnahkan barang bukti yang didapat dalam penyitaan. Peran Satlantas
Polresta Bandar Lampung dalam mengatasi kecelakaan lalu lintas di jalan raya
berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2012 ini dalam pelaksanaanya cukup baik, ideal
dan efektif dengan menerapkan sanksi atau memberikan efek jera kepada para
pelaku pelanggaran lalu lintas dalam kenyataan di lapangan atau secara faktual.
Hal tersebut telah terbukti dengan menurunnya angka kecelakaan lalu lintas di
jalan raya Kota Bandar Lampung dari tahun 2009-2012. Faktor-faktor
penghambat antara lain: faktor masyarakat, faktor kurangnya personil, sarana dan
prasarana dan faktor penegak hukum.
Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar: (1) Aparat Satuan Lalu Lintas
Polresta Bandar Lampung agar terus melaksanakan tilang atau operasi kepolisian
(razia) kendaraan bermotor secara berkala atau sesuai dengan prosedur atau aturan
yang berlaku agar tingkat angka kecelakaan lalu lintas di Kota Bandar Lampung
terus berkurang setiap tahunnya. Karena hal ini telah terbukti cukup berpengaruh
terhadap berkurangnya angka kecelakaan lalu lintas di tahun-tahun sebelumnya.
Serta menambah personil unit Satlantas agar dalam melaksanakan tugasnya dapat
berjalan lebih optimal. (2) Kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung atupun
pihak yang terkait agar sarana dan prasarana lalu lintas dapat diperbaiki demi
kenyamanan dan keselamatan berkendara masyarakat. (3) Perlu adanya kesadaran
dari setiap masyarakat untuk taat pada hukum dan aturan yang berlaku agar
tingkat pelanggaran lalu lintas yang dapat mengakibatkan kecelakaan dapat
berkurang serta kesadaran masyarakat untuk menghormati aparat yang sedang
bertugas karena dengan adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan
aparat kepolisian dapat lebih efektif dan efisien. WALDI INDRAWAN 09120112652015-05-05T03:16:53Z2015-05-05T03:16:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9704This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97042015-05-05T03:16:53ZKEBIJAKAN PENAL DALAM
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012Abstrak
Tindak pidana ringan (tipiring) memang sangat berbeda dengan tindak pidana lain
apalagi ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan oleh pelakunya. Seringkali
tipiring dilakukan oleh pelaku dikarenakan suatu kondisi yang terpaksa misalnya
karena lapar dan dalam keadaan miskin. Penyelesaian perkara tipiring akhir-akhir
ini juga menyita perhatian publik. Fenomena kasus nenek Minah yang mencuri
biji kakao menarik perhatian masyarakat, karena menyentuh inti kemanusiaan dan
melukai keadilan rakyat. Munculnya berbagai opini di masyarakat mengenai nilai
keadilan dalam kasus tersebut, serta munculnya reaksi-reaksi masyarakat tentang
perbandingan penegakan hukum kasus tindak pidana ringan dengan kejahatan lain
membuat Ketua Mahkamah Agung yang saat itu diketuai oleh Haripin Tumpa,
mengambil suatu kebijakan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi
ini adalah Bagaimanakah kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP. Serta Apakah latar belakang adanya kebijakan penal
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode yuridis normatif. Penelitian ini
didukung oleh data sekunder diantaranya bahan hukum primer yaitu KUHP dan
KUHAP, bahan hukum sekunder diantaranya buku-buku pendukung tentang teoriteori hukum dan bahan hukum tersier yaitu pendapat-pendapat dari para ahli.
Selain itu penelitian ini di dukung dengan pendapat dari narasumber (informan)
yang merupakan praktisi serta aparat penegak hukum yang langsung berkaitan
dengan pelaksanaan Perma ini. Informasi yang didapatkan dari narasumber
dilakukan dengan teknik wawancara langsung di lapangan.
Kebijakan Penal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP menjaga ketertiban masyarakat lewat teori gabungan.
Kebijakan penal dalam Perma tersebut juga menyinggung hukum materiil dan
Wahyu Indri Yanti
hukum formil dalam hukum pidana. Perma juga memunculkan restorative justice
sebagai salah satu usaha untuk mencari penyelesaian perkara secara damai.
Adanya asas persamaan di mata hukum yang dalam penyelesaian perkara tindak
pidana ringan maka, Perma ini menggunakan kebijakan bahwa: (a) terhadap
tersangka atau terdakwa perkara tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan
penahanan; (b)acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan
Cepat; (c)penggunaan alternatif hukuman sesuai dengan KUHP; (d)Perkaraperkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi. Perma ini memiliki
latar belakang bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang
yang kecil kini yang diadili di pengadilan telah membebani pengadilan baik dari
segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Banyaknya
perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat di dakwa dengan
menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima)
tahun. Perkara-perkara pencurian ringan ringan seharusnya masuk dalam kategori
tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat
didakwa dengan Pasal 364 KUHP. Pelaksanaan Perma ini juga untuk
mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban Lembaga
Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui kapasitasnya yang
telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim
mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan
dijatuhkan, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa
keadilan masyarakat.
Penulis memberi saran bahwa Kebijakan penal dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP merupakan suatu terobosan baru dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia. Namun karena kebijakan penal ini di dalam
Peraturan Mahkamah Agung maka kekuatannya hanya berlaku di dalam instansi
peradilan saja. Sehingga sebaiknya substansi dalam Perma ini dinaikkan menjadi
peraturan perundang-undangan lain yang lebih mencakup lembaga peradilan yang
lebih luas dan lebih menyeluruh misalnya sebagai Perpu. Adanya Perma ini
membuktikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sudah
waktunya untuk dapat diperbaharui baik seluruh maupun sebagian dan
substansinya disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di masyarakat, sehingga
substansi KUHP baru dapat menyelesaikan perkara-perkara pidana yang muncul
di masyarakat Indonesia sesuai kondisi yang terjadi sekarang.
Kata Kunci : Kebijakan Penal, Tindak Pidana Ringan, Pidana DendaWahyu Indri Yanti 09120112632015-05-05T03:16:46Z2015-05-05T03:16:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9703This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97032015-05-05T03:16:46ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG
MELAKUKAN PENYERTAAN DAN PEMBARENGAN TINDAK PIDANA
MENGGUNAKAN SURAT PALSU
(Studi Putusan Pengadilan Nomor Register Perkara: 47/Pid./2012/PT.TK)Abstrak
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang telah dilakukan. Satu contoh suatu modus operandi yang perlu
dipertanggungjawabkan mengenai tindak pidana penyertaan dan pembarengan
menggunakan surat palsu yang dilakukan oleh seorang bendahara koperasi di
Bandar Lampung yang bernama Duly Fitriana, S.H. M.H binti A.Abd. Roni.
Sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi Nomor Register Perkara
47/Pid./2012/PT.TK, Duly Fitriana, S.H. M.H binti A.Abd. Roni divonis dengan
mengingat Pasal 263 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana penyertaan dan pembarengan menggunakan surat palsu dengan
pidana penjara selama satu tahun oleh hakim Pengadilan Tinggi, yang menjadi
permasalahannya, bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang
yang melakukan penyertaan dan pembarengan tindak pidana menggunakan surat
palsu dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan vonis bagi seseorang yang melakukan penyertaan dan pembarengan
tindak pidana menggunakan surat palsu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Dalam penelitian ini narasumber yang diambil yaitu Hakim Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Lampung, Dosen bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dengan cara
menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimatkalimat yang disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas
tentang jawaban dari permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada terdakwa telah sesuai karena terbukti bersalah secara sah dan
meyakinkan melawan hukum. Perbuatan terdakwa yang merugikan orang lain
dalam hal ini Bank CIMB Niaga Cabang Bandar Lampung, sehingga sifat dari
perbuatan itu sendiri yang secara sah dan meyakinkan melawan hukum dan
bertentangan dengan peraturan yang ada. Selain itu juga terdakwa sebagai
Pegawai Negari Sipil (PNS) seharusnya memberi contoh yang baik. Dasar
pertimbangan Hakim, menerangkan bahwa Hakim dalam memutuskan perkara
Nomor: 47/Pid./2012/PT.TK telah memperhatikan dakwaan jaksa dalam hal ini
lamanya pidana yang diancamkan memang lebih rendah dari dakwaan Jaksa
karena dalam perkara ini kedudukan Hakim berada di tengah-tengah yakni
melihat kepentingan dari terdakwa yang merupakan seorang tulang punggung dari
keluarganya dan terdakwa melakukan perbuatan pidana tersebut dikarenakan
masalah ekonomi. Hakim dalam putusannya harus mengandung 2 (dua) unsur
yaitu legal justice yang artinya setiap putusan Hakim harus sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan dan juga moral justice yang artinya setiap putusan
Hakim harus sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat dikemukakan penulis bahwa
Pertanggungjawaban pidana tidak selalu mengenai lamanya pidana yang diberikan
tetapi juga merupakan suatu tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
terdakwa. Pada akhirnya hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya
semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran, dan keadilan serta yang tidak
membeda-bedakan individu. Melihat dari dasar pertimbangan Hakim Pengadilan
Tinggi Tanjung Karang seharusnya Hakim tidak hanya berpedoman pada memori
banding dari Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa serta kontra memori banding
dari Jaksa Penuntut Umum sekedar mengenai lamanya pidana, tetapi juga
menganalisis putusan Pengadilan Negeri sehingga dari baik putusan, memori dan
kontra memori banding dapat menjadi satu kesatuan dalam pertimbangan Hakim.Ridho Utama Putra 09120112382015-05-05T03:16:37Z2015-05-05T03:16:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9700This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/97002015-05-05T03:16:37ZPERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM MENJAGA
KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT KOTA
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban merupakan urusan wajib yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam
melaksanakan urusan wajib tersebut maka setiap daerah otonom memerlukan unsur
pelaksana pemerintah daerah, salah satunya adalah Satuan Polisi Pamong Praja yang
merupakan lembaga teknis daerah dan pembentukannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.Permasalahan
dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan peran Satuan Polisi Pamong
Praja dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat Kota Bandar
Lampung? Apakah faktor penghambat pelaksanaan peran tersebut? Penelitian
dilakukan dengan cara normatif dan empiris..
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan peran Satpol PP adalah
sebagai koordinator operasional lapangan dengan bekerja sama bersama
dinas/instansi terkait lainnya, dan berpedoman pada SOP yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 54 Tahun 2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam melaksanakan
perannya Satpol PP menggunakan tiga langkah operasi yaitu persuasif, preventif dan
represif. Faktor penghambat yang dihadapi Satpol PP dalam melaksanakan perannya
terbagi menjadi dua (1) faktor internal yang terdiri dari sumber daya manusia, sarana
prasarana dan anggaran dana (2) faktor eksternal yaitu sikap masyarakat yang tidak
kooperatif.
Dari hasil penelitian disarankan Pemerintah Kota Bandar Lampung hendaknya
meningkatkan lagi sarana prasarana, anggaran dana kegiatan serta peningkatan
sumber daya manusia sebagai anggota SatPol PP baik dari segi kualitas maupun
kuantitas sehingga dapat meningkatkan pendekatan kepada masyarakat agar bersifat
kooperatif dan mendukung setiap langkah kegiatan yang dilakukan SatPol PP dalam
rangka menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Kata kunci : Satuan Polisi Pamong Praja, Ketertiban Umum, dan Ketentraman.
Abstract
The implementation of peace and order is a compulsory affair that should be held by
local governments. To assist the head of the region in carrying out the affairs of the
compulsory then each autonomous region requires implementing elements of local
governments, one of them is Satuan Polisi Pamong Praja who is the technical
institutions of the area and its formation based on Government Regulation No. 6 in
2010 about Satuan Polisi Pamong Praja. The problem in these research are how the
role implementation of Satuan Polisi Pamong Praja in maintaining public order and
harmony society city of Bandar Lampung? And is there inhibiting factor the role
implementation of that? The research was conducted with normative-empirical.
Based on the research known that the role implementation of SatPol PP acts as
coordinator field operational by cooperate with department or other relevant agencies
and based on the SOP specified in the Ministerial Regulation of Republic Indonesia
No. 54 in 2011 about the Operational Standards Procedure of Satuan Polisi Pamong
Praja. In carrying out its role SatPol PP using three steps operation there are
persuasive, preventive and repressive. The inhibitory of the role divided into two (1)
internal factors which are consist of human resources, infrastructure and budget
funds (2) external factor is the attitude of society who are not cooperative.
From the research Bandar Lampung Government should be improve again the
infrastructure, budget funding activities, improvement of human resources as a
member of the SatPol PP both in terms of quality and quantity so can increase
approach to public can be cooperative and support every step of the SatPol PP
activities performed in order to maintain public order and harmony society.
Keywords : Satuan Polisi Pamong Praja, Public Order, and Harmony.RESTY PRATISKA 09120112352015-05-05T03:16:30Z2015-05-05T03:16:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9698This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96982015-05-05T03:16:30ZREKONSTRUKSI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
(Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan dan
Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi)Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dan pemetaan
materi muatan PMK yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan
merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk membantu dalam proses penelitian, maka peneliti menggunakan
prosedur pengumpulan data, yaitu menggunakan Studi Kepustakaan. Berdasarkan
hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa kedudukan PMK dalam hierarki
peraturan perundang-undangan dapat dianalisis berdasarkan hierarki kelembagaan
negara. PMK, sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara,
yaitu Mahkamah Konstitusi, memiliki kedudukan yang berada di bawah
Peraturan Pemerintah dan sejajar dengan peraturan lembaga tinggi negara lain,
khususnya Peraturan Presiden. Apabila ditinjau dari materi muatannya, terdapat
ketidakharmonisan antara materi muatan dengan jenis peraturan perundangundangannya. Sehingga berdasarkan pemetaan materi muatan yang terkandung di
dalam PMK, PMK dapat dipetakan ke dalam 2 jenis peraturan perundangundangan, yaitu PMK dengan jenis materi muatan Peraturan Lembaga Tinggi
Negara, dan PMK dengan jenis materi muatan undang-undang.REISA MALIDA 09120112312015-05-05T03:16:04Z2015-05-05T03:16:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9694This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96942015-05-05T03:16:04ZPENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI BADAN
ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)Abstrak
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan salah satu lembaga
arbitrase yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelesaian sengketa
di bidang perdagangan. Keberadaan BANI sebagai lembaga arbitrase diatur
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. BANI dapat dijadikan sebagai pilihan forum
penyelesaian sengketa perdagangan dengan perjanjian tertulis yang disepakati
oleh para pihak yang bersengketa. BANI memiliki hukum acara arbitrase sendiri
yang dapat dijadikan sebagai pilihan hukum bagi para pihak yang diatur dalam
Peraturan Prosedur Arbitrase BANI. Penelitian ini mengkaji dan membahas
mengenai penyelesaian sengketa perdagangan melalui Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara lengkap,
rinci, jelas dan sistematis mengenai penyelesaian sengketa perdagangan yang
dilakukan melalui BANI.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan
normatif terapan dengan tipe non judicial case study. Data yang digunakan
adalah data primer yang diperoleh dari sekretariat BANI pusat melalui
wawancara tertulis kepada pihak BANI dan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengolahan
dilakukan melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data dan sistematisasi data.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan analisis data secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa penyelesaian sengketa
perdagangan melalui BANI dilakukan berdasarkan Peraturan Prosedur Arbitrase
BANI, yang dimulai dengan syarat pendaftaran yaitu adanya klausula arbitrase
dalam suatu perjanjian tertulis yang menunjuk BANI sebagai forum penyelesaian
sengketa dan sengketa yang terjadi termasuk ke dalam ruang lingkup bidang
perdagangan. Prosedur penyelesaian sengketa perdagangan oleh BANI dilakukan
Novia Octavia
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI dan UU No.
30 Tahun 1999, yang terdiri atas beberapa tahapan yaitu tahap pendaftaran, tahap
pemeriksaan dan persidangan serta tahap pengambilan dan pembacaan putusan
oleh majelis arbitrase. Putusan arbitrase BANI bersifat final, binding dan
berkekuatan hukum tetap sehingga putusan tersebut harus dilaksanakan oleh
kedua belah pihak setelah didaftarkannya putusan ke Pengadilan Negeri, baik
secara sukarela maupun secara paksa. Pelaksanaan putusan arbitrase BANI
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak berupa pembebanan biaya arbitrase
dan ganti kerugian sesuai dengan putusan arbitrase yang ditetapkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase.
Kata kunci : Peraturan Prosedur Arbitrase, Sengketa Perdagangan,
Arbitrase, BANI
Abstract
Indonesia National Board of Arbitration (BANI) is one of institutional arbitration
which is having an authority to commit dispute settlement in trading area. As
arbitration institutional, BANI existence is regulated by Law Number 30 of 1999
regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution. BANI can be worked
as a forum of choice in trading dispute settlement with written contract that
already agreed by the parties. BANI has own arbitration procedural that can be
used as a choice of law for the parties which is regulated within BANI rules and
procedures. This research inspected and discussed about trade dispute settlement
by Indonesian National Board of Arbitration (BANI) with purposed to get
completely, specifically, clearly and systematically description of settlement
procedure by BANI.
The kind of research used applied normative law research with descriptive type.
Problem approach that used is applied law approach with non judicial case study
type. The data as used in this research were primary data which was obtained
from written interview in BANI’s secretariat center and secondary data consist of
primary law material, secondary law material and tertiary law material. The data
were processed by editing, coding and systematizing data. Then, entire data were
analyzed by using qualitative analysis.
The result of research show that trade dispute settlement by BANI can be done
according to BANI’s arbitration rules and procedures, which is started by
registration requirement such as the parties point to BANI as a settlement dispute
forum by arbitration clause in written agreement and the settlement include in
trading area scope. Settlement procedures of trade dispute by BANI is committed
according to provision within BANI’s arbitration rules and procedures and Law
Number 30 of 1999, which consist of some phase, such as registration phase,
investigation and assembly phase, and decision taking and perusal phase by
arbitration committee. BANI’s arbitration decision is final, binding and vonnis by
judgement. Therefore, the decision is enforceable by the parties after the decision
Novia Octavia
is registered in the district court, either voluntarily or forcible. Decision execution
is bringing upon legal consequences to the parties such as arbitration costs and
compensation loading accord with decision earning which is set by arbiter or
arbitration committee.
Key words: Arbitration Rules and Procedures, Trade Dispute, Arbitration,
BANINovia Octavia 09120112192015-05-05T03:15:46Z2015-05-05T03:15:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9690This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96902015-05-05T03:15:46ZPRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEGAWAI
DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Pada PT Bank Lampung Kantor Cabang Utama)Abstrak
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan menyatakan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian. Kredit merupakan salah satu kegiatan usaha perbankan, di dalam
perjanjian kredit bank tersebut harus memuat klausula-klausula yang penting bagi
pelaksanaan perjanjian. Klausula merupakan suatu persetujuan atau janji, yang
terdiri dari hak dan kewajiban untuk dilaksanakan oleh kreditur dan debitur dalam
perjanjian kredit. Pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu
bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit pegawai
dengan jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil pada PT.
Bank Lampung Kantor Cabang Utama dan bagaimana penyelesaian hukum
terhadap permasalahan pada pinjaman kredit pegawai dengan jaminan Surat
Keputusan Pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil pada PT. Bank Lampung
Kantor Cabang Utama.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan normatif-empiris
adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan
hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Analisis dilakukan
secara kualitatif, yaitu hasil penelitian ini di deskripsikan dalam bentuk penjelasan
dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini mengenai prinsip kehati-hatian dalam perjanjian
kredit pegawai dengan jaminan surat keputusan pengangkatan pegawai negeri
sipil.
Mohammad Rezwandha Mesya
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pelaksanaan prinsip kehatihatian dalam perjanjian kredit pegawai dengan jaminan Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil pada PT. Bank Lampung Kantor Cabang
Utama terlebih dahulu harus dipastikan kerjasama Bank dengan Dinas/Instansi
sudah dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama. Perjanjian kerjasama
tersebut minimal sesuai dengan standar perjanian kerjasama yang ditetapkan
Bank, dengan mencantumkan pasal yang mengatur tanggung jawab pimpinan
Dinas/Instansi untuk tidak memindahkan pembayaran gaji tanpa izin bank dan
menjamin tertibnya pemotongan dan penyetoran angsuran sampai dengan
pinjaman dinyatakan lunas oleh bank, selanjutnya dilakukan upaya-upaya guna
memastikan bahwa debitur tidak memiliki pinjaman pada bank lain, dan
bendahara konsisten mengangsur pinjaman tersebut dengan memotong gaji dari
masing-masing debitur. Ketentuan-ketentuan dalam penyaluran kredit PNS harus
tercantum dalam perjanjian kredit antara lain plafond, jangka waktu, tingkat suku
bunga, jadwal pembayaran angsuran dan besar angsuran, pelunasan dini dan
denda bunga atas pelunasan dini. 2) Penyelesaian hukum terhadap permasalahan
pada pinjaman kredit pegawai dengan jaminan Surat Keputusan Pengangkatan
sebagai Pegawai Negeri Sipil, PT. Bank Lampung Kantor Cabang Utama telah
menyiapkan upaya-upaya sebagai berikut, yaitu musyawarah dengan pihak
debitor, memberikan kesempatan kepada debitor untuk membayar secara
angsuran, memberi kelonggaran waktu untuk membayar hutang, menagih dengan
memberi pernyataan (pernyataan dengan sangat), agar debitor segera memenuhi
kewajibannya, pernyataan dengan pembenahan bunga kredit yang disetor.
Kata Kunci : Hukum Perbankan, Hukum Perjanjian Kredit, Hukum
Jaminan, Prinsip Kehati-hatian, Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil
MOHAMMAD REZWANDHA MESYA 09120111982015-05-04T05:41:39Z2015-05-04T05:41:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9629This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96292015-05-04T05:41:39ZIMPLEMENTASI BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE)
SEBAGAI ALAT BUKTI KPPU TERHADAP PEMBUKTIAN
TERJADINYA KARTELAbstrak
Kartel adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pelaku usaha
dengan tujuan mengendalikan harga barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan
yang dapat menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel
sebagai pelanggaran hukum persaingan usaha yang sulit dibuktikan karena
kerjasama antar pelaku usaha tidak didukung perjanjian tertulis (hard evidence)
sehingga perlu didukung dengan bukti tidak langsung (indirect evidence). KPPU
telah memutus beberapa perkara kartel dengan menggunakan indirect evidence
antara lain Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 berkaitan dengan dugaan kartel
Industri Minyak Goreng Sawit dan Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 berkaitan
dengan dugaan penetapan harga dan kartel Industri Semen. Penelitian ini akan
mengkaji dan membahas bagaimana implementasi indirect evidence sebagai alat
bukti oleh KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel. Pokok bahasan dalam
penelitian ini membahas mengenai kedudukan indirect evidence dalam
pembuktian kartel, proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence, dan
akibat hukum dari penggunaan indirect evidence atas terjadinya kartel.
Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah adalah pendekatan normatif terapan (applied law
research) yang bersumber dari data primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka, studi lapangan dengan cara wawancara.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa kedudukan indirect evidence
dalam pembuktian kartel pada Hukum Persaingan Usaha adalah bukti pendukung
untuk memperkuat alat bukti lainnya dan dikategorikan sebagai alat bukti
Citra Ratu Kusuma Hakim
petunjuk. Indirect evidence ini dapat dijadikan alat bukti dalam kartel sebagai
pelanggaran Hukum Persaingan Usaha yang harus dilengkapi dengan alat bukti
lain, untuk dapat dikategorikan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Pembuktian dengan alat bukti indirect
evidence atas terjadinya kartel menggunakan dua macam tipe pembuktian, yaitu
bukti komunikasi dan bukti ekonomi (analisis ekonomi). Akibat hukum dari
penggunaan indirect evidence atas terjadinya kartel dapat dilihat berdasarkan
Putusan KPPU tentang kartel yang bersifat kasuistik, yaitu tidak semua kasus
kartel yang dapat dibuktikan oleh KPPU menggunakan tipe pembuktian indirect
evidence sama dalam hal kualitas dan kuantitas dalam penerapan indirect evidence
sebagai alat bukti.
Kata Kunci: KPPU, Kartel, dan Indirect EvidenceCitra Ratu Kusuma Hakim 09120111212015-05-04T05:41:27Z2015-05-04T05:41:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9674This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96742015-05-04T05:41:27ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENYEBAB ANAK YANG MELAKUKAN
KEJAHATAN PERKOSAAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYAAbstrak
Sesuai dengan perkembangan zaman kerap sekali terjadi kejahatan perkosaan yang dilakukan
anak, itu terjadi karena ada faktor penyebabnya antara lain karena tidak adanya pengawasan yang
dilakukan oleh orang tua, terpengaruh oleh pergaulan lingkungan sekitar, perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup serta adanya kesempatan yang
diperoleh anak tersebut. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah apa saja faktor-faktor
penyebab anak melakukan kejahatan perkosaan dan bagaimanakah upaya penanggulangan
terhadap anak yang melakukan kejahatan perkosaan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data
sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh
dengan cara identifikasi, editing, klasifikasi dan penyusunan data, serta penarikan kesimpulan.
Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data
secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada.
Setelah melakukan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut, faktor penyebab anak dibawah
umur melakukan kejahatan perkosaan yaitu karena faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan
serta faktor perkembangan zaman (kemajuan teknologi). Upaya penanggulangan kejahatan
perkosaan yang dilakukan anak adalah tindakan preventif dengan cara non penal artinya
mengupayakan mengenal diri dan menanamkan kepercayaan pada diri dengan cara
mengidentifikasi minat, bakat, potensi, dan menyalurkan pada aktifitas positif dalam mengisi
waktu luang dan tindakan refresif dengan cara penal artinya tindakan yang dilakukan oleh
aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana antara lain dengan cara
penyuluhan ke sekolah-sekolah atau kemasyarakat agar menjaga dan memperhatikan pergaulan
anak-anak supaya prilaku anak-anak tidak menyimpang, karena anak adalah generasi penerus
bangsa.
Ita Mayasari
Adapun saran yang diberikan penulis demi kelancaran penegakan hukum: Untuk mengurangi
kejahatan perkosaan yang dilakukan anak upaya dari pihak keluarga, upaya pemerintah dan juga
upaya lingkungan masyarakat memang harus lebih diefektifkan lagi, setidaknya untuk
meminimalisir kejahatan anak; Peningkatan keefektifan kerja para aparat penegak hukum perlu
ditingkatkan kembali; Dalam menangani perkara anak perlu ada hal-hal yang diperhatikan,
seperti pemberian sanksi yang ada batasan. Hakim yang berperan dalam menyelesaikan perkara
anakpun dalam memvonis dan memberikan hukuman harus memberikan hukuman yang porsinya
pun berbeda dengan porsi hukuman orang dewasa. Karena seorang anak melakukan kesalahan
tidak lepas dari lingkungan sekitar yang mempengaruhi untuk melakukan perbuatan salah
tersebut.
Kata Kunci : Faktor penyebab kejahatan perkosaan, upaya penanggulanganITA MAYASARI 09120111722015-05-04T05:41:22Z2015-05-04T05:41:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9671This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96712015-05-04T05:41:22ZPERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG
MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN DALAM
PEMBUBARAN DEMONSTRANAbstrak
Anggota Polri dalam melaksanakan tugas harus menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
termasuk dalam hal menangani demonstrasi. Demonstrasi dijamin oleh Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu dalam Undangundang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum ditekankan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan
perwujudan hak atas kebebasan berpendapat dan melakukan penyampaian
pendapat di muka umum. Tugas institusi kepolisian adalah memberikan
perlindungan dan jaminan kebebasan atas kebebasan berekspresi atas pendapat
yang dilakukan dengan tidak melakukan kekerasan di luar prosedur dan peraturan
yang berlaku. Rumusan masalah yaitu bagaimana identifikasi tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap demonstran dan bagaimana
pertanggungjawaban terhadap anggota Polri yang melakukan tindak kekerasan
dalam pembubaran demonstran.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan secara empiris yakni melakukan suatu pengumpulan dan penyajian
data dengan menelaah teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan
yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dan melakukan penelitian di lapangan
yakni di Polresta Bandar Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan yakni Pasal-pasal kejahatan dalam KUHP yang
dapat dikenakan kepada anggota Polri yang melakukan tindak kekerasan dalam
pembubaran demonstran seperti Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang (Pasal
334 KUHP), Kejahatan terhadap Nyawa (Pasal 338, 339, dan 340 KUHP),
Penganiayaan (Pasal 351 dan 354 KUHP), Menyebabkan Mati atau Luka-luka
karena Kealpaan (Pasal 359, 360, dan 361 KUHP). Tindakan anggota Polri yang
Handy Sihotang
terbukti melakukan tindakan kekerasan terhadap demonstran dapat dikenakan
pertanggungjawaban dari segi profesi dan jabatan dan pertanggungjawaban dari
segi pidana. Pertanggungjawaban terhadap anggota Polri yang melakukan
tindakan kekerasan terhadap demonstran ini berpatokan dengan Pasal 12 ayat (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 yang menerangkan penjatuhan hukuman
disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam melakukan pembubaran
demonstrasi oleh anggota Polri harus dilakukan secara selektif dan terkendali.
Selain itu harus berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku antara lain dengan
menghormati HAM. Pada demonstran yang bertindak brutal dan anarkis harus
diperlakukan dan diperiksa sesuai hukum yang berlaku. Memang diperlukan
adanya upaya paksa namun tetap berlandasan pada Pasal 24 Perkapolri Nomor 9
Tahun 2008.Handy Sihotang 09120111522015-05-04T05:41:17Z2015-05-04T05:41:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9672This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96722015-05-04T05:41:17ZPERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN PERBUATAN AMUK
MASSA DI KEPOLISIAN SEKTOR (POLSEK) PADANG CERMIN
( Studi Kasus di Polres Lampung Selatan )Abstrak
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. MPR RI pada tahun 2000
mengeluarkan ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
POLRI, MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI dan
Undang - undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah pertama bagaimanakah
peran Polri dalam penanggulangan perbuatan amuk massa di Polsek Padang
Cermin; kedua apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam penanggulangan
perbuatan amuk massa di Polsek Padang Cermin;
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan
wawancara terhadap penyidik anggota Polres Lampung Selatan, Tokoh Adat
Masyarakat Padang Cermin, Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Data sekunder diperoleh dari stud i kepustakaan. Data yang diperoleh
kemudian diolah, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis
kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
peran Polri dalam penanggulangan perbuatan amuk massa di Polsek Padang
Cermin adalah pihak Kepolisian telah melakukan upaya - upaya yang berupa
secara Preventif yaitu pihak Kepolisian Padang Cermin melakukan pencegahan
dengan cara sosialisasi kepada warga masyarakat. Represif yaitu anggota
Kepolisian Polda Lampung dan Polres Lampung Selatan telah mengamankan
lokasi kejadian, kemudian Polisi memasang garis Polisi untuk keperluan
identifikasi dan penyelidikan, penyidikan. Pre-emtif yaitu pihak Kepolisian selalu
melakukan pembinaan dan penggalangan kepada warga masyarakat, tokoh adat,
tokoh agama, tokoh pemuda sesuai dengan ketentuan dan kinerja
Hernadi Susanto
Babinkamtibmas. faktor-faktor penghambat Polri dalam penanggulangan
perbuatan amuk massa di Polsek Padang Cermin adalah faktor penegak hukum
yaitu terbatasnya jumlah personil Polri diwilayah Polsek Padang Cermin, faktor
masyarakat yaitu kesadaran hukum warga masyarakat Padang Cermin yang relatif
masih rendah kemudian ditambah kurangnya ketidakpercayaan warga masyarakat
atas kinerja Polri. faktor kebudayaan yaitu karna perbedaan suku dan agama
warga masyarakat Padang Cermin lebih cenderung hidup saling berkelompok atau
individu.
Adapun saran penulis yaitu sebaiknya pihak Kepolisian Polsek Padang Cermin
lebih mengoptimalkan kinerja Polmas dan Babinkamtibmas, kemudian lebih
berperan aktif dan bersikap responsif, bersikap bijak dan arif kepada masyarakat
serta memberikan pelayanan yang adil, tanpa membedakan ras, suku,
agama/kepercayan, golongan, status sosial, ekonomi dan jenis kelamin.
Kata Kunci : Peran Polri, Amuk Massa.
HERNADI SUSANTO 09120111602015-05-04T05:40:55Z2015-05-04T05:40:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9677This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96772015-05-04T05:40:55ZANALISIS PERAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
(KPPU) SEBAGAI POLICY ADVISORY DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999Abstrak
Pemerintah sebagai lembaga yang berwenang membuat kebijakan seringkali tidak
menyadari bahwa terdapat beberapa kebijakan yang dibuat berpotensi
menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU sebagai
lembaga pengawas dalam bidang persaingan perlu melaksanakan kewenangannya
untuk memberikan saran dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 35
huruf e UU No. 5 Tahun 1999. Penelitian ini membahas mengenai peran KPPU
sebagai policy advisory dalam UU No. 5 Tahun 1999. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah lingkup subtansi yang menjadi objek kajian KPPU,
apa saja jenis kegiatan yang telah dikaji oleh KPPU sebagai policy advisory dalam
UU No. 5 Tahun 1999, dan bagaimana konsekuensi dari peran KPPU sebagai
policy advisory terhadap pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menggambarkan dan menganalisis secara jelas tentang subtansi yang dijadikan
objek oleh KPPU dalam menjalankan perannya sebagai policy advisory, jenis
kegiatan yang telah dikaji oleh KPPU sebagai policy advisory dan konsekuensi
dari peran KPPU sebagai policy advisory terhadap pemerintah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan pendekatan
masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi lapangan dengan
pengolahan data dilakukan melalui editing, klasifikasi dan sistematisasi data. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa subtansi yang dijadikan objek oleh KPPU
sebagai policy advisory dalam melakukan penilaian kebijakan yang dibentuk oleh
pemerintah adalah Pertama hal-hal yang menciptakan hambatan masuk, kedua
fasilitas yang mendukung pelaku usaha untuk menciptakan persaingan usaha tidak
sehat. ketiga intervensi pada mekanisme pasar yang mengakibatkan persaingan
usaha tidak sehat dan keempat multiimplementasi terhadap kebijakan yang
ii
Muhammad Noor Yustisiananda
dibentuk oleh pemerintah. Jenis kegiatan yang diberi saran dan pertimbangan oleh
KPPU adalah jenis kegiatan dalam bidang ekonomi yaitu kegiatan yang terkait
pada bidang perdagangan, perindustrian, perjasaan dan keuangan. Kegiatan
industri merupakan sektor utama yang menjadi perhatian KPPU. Peran KPPU
sebagai policy advisory tidak memiliki konsekuensi yang mengikat bagi
pemerintah karena tidak ada dasar yuridis yang mewajibkan pemerintah harus
mengikuti setiap saran yang diberikan oleh KPPU dengan demikian saran tersebut
bersifat fakultatif bukan imperatif, sehingga pemerintah dapat mengambil
langkah-langkah sendiri dalam menanggapi saran dan pertimbangan KPPU, yaitu
menerima saran dan pertimbangan KPPU dan melakukan perbaikan pada
kebijakan yang terkait atau tidak menanggapi saran dan pertimbangan KPPU.
Kata Kunci: Persaingan Usaha, KPPU, Policy Advisory dan KebijakanMuhammad Noor Yustisiananda 09120111882015-05-04T05:40:33Z2015-05-04T05:40:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9683This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96832015-05-04T05:40:33ZIMPLIKASI HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP SISTEM
KEDAULATAN RAKYATAbstrak
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengaturan hak recall
partai politik sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Jenis penelitian ini adalah
normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan historis (historical approach).
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaturan hak recall partai politik sebagaimana diatur
dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat,
bahkan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Dengan berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut, memberikan kewenangan yang besar
kepada partai politik untuk mengingkari atau menegasikan hasil pilihan rakyat
selaku pemegang kedaulatan demi kepentingan partai politik. Adanya hak recall
partai politik akan menjadikan anggota dewan lebih loyal kepada partai politik
dibandingkan dengan rakyat.
Kata Kunci : Recall, Kedaulatan Rakyat, dan Partai Politik.
Abstract
This research aims to find out if the recall rights arrangements of political parties
in line with the principle of popular sovereignty. This type of research is
normative, using statute approach, case approach and historical approach. The
data was collected by means of literature study. The results showed that setting
recall right political parties as provided for in Article 213 paragraph (2) letter e
Law Number 27 Year 2009 about the MPR, DPR, DPD and DPRD, and Article 16
paragraph (1) of Law Number 2 year 2008 about Political Parties, as changed
with Act number 2 year 2011 about the Amendment Act Number 2 year 2008
about Political Parties, the arrangements of the recall right a political party in
legislation, not in line with the principle of popular sovereignty, even shift the
sovereignty of the people become sovereign party. With a variety of laws and
regulations, gives great authority to a political party for deny or negate the
results of the people’s choice as the holder of sovereignty in the interests of
political parties. The presence of rights recall potical parties will make a council
member more loyal to political party compared with the people.
Key word : Recall, Sovereignty of the People, and Political Party.MALICIA EVENDIA 09120111902015-05-04T05:40:22Z2015-05-04T05:40:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9686This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96862015-05-04T05:40:22ZUPAYA PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI TERHADAP
PELAKU PEMBUAT DAN PENGEDAR
SENJATA API RAKITAN
(Studi Kasus Di Polsek Tanjung Raya Mesuji)Abstrak
Terdapatnya berbagai jenis pidana penggunaan senjata api menimbulkan rasa
tidak nyaman bagi masyarakat sehingga setiap individu berusaha untuk
menciptakan rasa aman dan perlindungan pada dirinya masing-masing. Alasan
utama penggunaan senjata api adalah karena benda tersebut mudah dibawa dan
digunakan, serta mempunyai kemampuan melukai lawan secara cepat. Terlebih
lagi sekarang ini senjata api dapat dibeli secara bebas, legal, dan terbuka bahkan
masyarakat pun dapat merakitnya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah mengenai: (1)
Bagaimanakah upaya penegakan hukum oleh Polri terhadap pelaku pembuat dan
pengedar senjata api rakitan, (2) Apakah hambatan dalam penegakan hukum oleh
Polri terhadap pelaku pembuat dan pengedar senjata api rakitan.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan secara yuridis normatif
dan empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami
persoalan dengan tetap berada atau berdasarkan pada lapangan atau kajian ilmu
hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh
kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian. Penelitian ini
menggunakan sumber data primer yang didapatkan langsung oleh lapangan hasil
dari wawancara yaitu di Polsek Tanjung Raya Mesuji dan wawancara kepada
salah satu dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan
data sekunder yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UndangUndang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta literatur-literatur yang
mendukung penulisan skripsi ini.
Meria Yulita Sapitri
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, penulis memperoleh jawaban dari
permasalahan yang ada yaitu pembuatan dan pengedaran senjata api rakitan di
masyarakat diawasi cukup ketat oleh pihak Kepolisian Sektor Tanjung Raya
Mesuji dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang berupa tindakan
secara pre-emtif yaitu tindakan yang dilakukan sebelum tindakan preventif atau
dengan kata lain sebagai tindakan semi preventif, tindakan preventif yaitu
tindakan yang diarahkan kepada usaha pencegahan terhadap tindak pidana, serta
tindakan secara represif yaitu tindakan penanggulangan yang dilakukan setelah
tindak pidana tersebut dilakukan. Kendala yang dihadapi oleh Kepolisian yaitu
dilihat pada lima faktor penghambat penegakan hukum yaitu faktor hukumnya
sendiri, faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat
serta faktor kebudayaan. Walaupun demikian, Kepolisian tetap melakukan
tindakan dengan menyertakan intelejen untuk mengawasi peredaran senjata api.
Sejauh ini, telah dikeluarkan himbauan Kapolri untuk menggudangkan senjata api
non organik yang ada di masyarakat agar peredaran senjata api dapat dibatasi
untuk sementara waktu.
Pada akhirnya yang menjadi saran dalam penulisan ini adalah pihak kepolisian
sebaiknya sesering mungkin melakukan patroli-patroli, melakukan pendekatan
dan bekerjasama dengan masyarakat, membentuk tim khusus yang memiliki
kemampuan, keterampilan dan profesional yang bisa diandalkan yang bertugas
khusus untuk memberantas peredaran dan kepemilikan senjata api rakitan,
memberikan perlindungan yang efektif bagi masyarakat yang memberikan laporan
mengenai peredaran dan kepemilikan senjata api rakitan, serta tidak segan-segan
menjerat pelaku pengedar dan pemilik senjata api rakitan dengan ancaman yang
paling tinggi sebagaimana terdapat pada Undang-undang Darurat Nomor 12
Tahun 1951 tentang senjata apiMeria Yulita Sapitri 09120111962015-05-04T05:40:13Z2015-05-04T05:40:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9666This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/96662015-05-04T05:40:13ZPENGAWASAN DINAS KESEHATAN TERHADAP PRAKTIK
AHLI GIGI DI KOTA BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar hukum praktik
ahli gigi di Kota Bandar Lampung dan bagaimana pengawasan Dinas Kesehatan
terhadap Praktik Ahli Gigi. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini
yaitu pendekatan Normatif-Empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data dari penelitian ini berasal dari
dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisissis data dilakukan dengan
menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-X/2012 menyatakan bahwa
praktik ahli gigi adalah legal apabila mendapatkan izin dari pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian, setiap ahli gigi yang membuka praktik di Kota
Bandar Lampung tidak ada yang mengajukan perizinan terhadap pekerjaannya
kepada Dinas Kesehatan. Praktik ahli gigi dalam pelaksanaannya hanya
didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/ MENKES/ PER/ V/
1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Sehingga secara yuridis dasar hukum
praktik ahli gigi dalam melakukan pekerjaannya di Kota Bandar Lampung adalah
tidak ada. Pengawasan terhadap praktik ahli gigi di Kota Bandar Lampung oleh
Dinas Kesehatan tidak pernah dilakukan. Pada Kota Bandar Lampung tidak ada
Peraturan Daerah yang mengatur tentang perizinan praktik ahli gigi dan tidak ada
ahli gigi yang melakukan perizinan kepada Dinas Kesehatan. Sehingga Dinas
Kesehatan tidak dapat melakukan pengawasan terhadap praktik ahli gigi.
Saran yang dapat diberikan peneliti yaitu Pemerintah Daerah sebaiknya
membentuk suatu Peraturan Daerah yang mengatur tentang izin sarana kesehatan
yang didalamnya terdapat suatu perizinan mengenai praktik ahli gigi dan
Pemerintah Daerah seharusnya melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
praktik ahli gigi agar setiap ahli gigi menjalankan pekerjaannya sesuai dengan
kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya sehingga dapat memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan gigi.
Kata kunci: Pengawasan, Dinas Kesehatan, Ahli Gigi
Abstract
This research is aimed to find out the fundamental law of dental practices in
Bandar Lampung and how health department supervises them. The method in this
research applied normative-empiric approach. The data sources came from
primary and secondary data. The data collecting technique used literary analysis
and observation. The data was then analyzed through descriptive-qualitative
approach.
The decision of Constitutional Court No. 40/PUU-X/2012 stated that the dental
practice is permitted under the government’s consent. Based on the research
conducted in Bandar Lampung, none of those clinical practices of dental expertise
proposed a legal license to the health department. So far the practice is leaned on
the ruling of health minister No. 339/ MENKES/ PER/ V/ 1989 upon the
occupation of dental practitioners. Thus, by juridical law, those dental practices
have no legal bound. There has never been supervision toward the practice of
dental practitioners. In fact, Bandar Lampung has no local ordinance/law which
regulates the practice; thus, no dental practitioners stand under local government’s
consent.
The researcher suggests that local government establish an ordinance/law about
health public service where dental practitioners can run their duty as what is
standardized. Most importantly, there should be supervision toward dental
practices so that the society feel secured to benefit those practices.
Key words: Supervision, Health Department, Dental Practitioners. FITRI AFRILIA 09120111452015-04-30T07:40:56Z2015-04-30T07:40:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9560This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95602015-04-30T07:40:56ZPERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KEBERSIHAN DAN
PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Permasalahan dalam pengelolaan sampah yang dialami oleh Kota Bandar Lampung
pada saat ini, antara lain, penanganan sampah yang dilakukan di Kota Bandar
Lampung belum sampai pada tahap memikirkan proses daur ulang atau menggunakan
ulang sampah tersebut menjadi bahan yang bermanfaat (produktif). sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2000 tentang Sampah. Penanganan sampah yang
dilakukan hanya mengangkutnya dari tempat sampah di permukiman penduduk,
pasar, terminal dan tempat penimbunan sementara dan membuangnya ke tempat
pembuangan akhir. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang peran Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebersihan dan
Pertamanan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung sesuai dengan
Peraturan Walikota No. 67 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Kebersihan Pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: (1)
Bagaimanakah Peran Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Bandar Lampung? (2) Apa Saja Yang menjadi
Faktor Penghambat Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Dalam
Pengelolaan Sampah Di Kota Bandar Lampung?.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan secara
normatif, yaitu pendekatan dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan
dokumen-dokumen serta peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dan berhubungan
dengan judul dan pokok bahasan yang akan diteliti, Selain itu, digunakan pula
pendekatan secara empiris yaitu, pendekatan yang dilakukan dengan meneliti data
primer yang diperoleh secara langsung dari wawancara guna mengetahui kenyataan
yang terjadi dalam praktek khusunya mengenai pengelolaan sampah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa peran Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam pengelolaan sampah di
Kota Bandar Lampung belum pada tahap mendaur ulang sampah menjadi bahan yang
bermanfaat seperti kota-kota besar lainnya, Peran Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kebersihan dan Pertamanan hanya dalam hal Pewadaan Sampah, Pengumpulan
Sampah, Pengangkutan Sampah dan Pengelolaan Sampah serta melakukan
pemungutan retribusi layanan sampah. Dalam hal ini Pewadaan sampah yang
dimaksud adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan,
dipindahkan, diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan akhir, Sedangkan dalam
hal Pengangkutan sampah adalah, dimaksudkan sebagai kegiatan operasi yang
dimulai dari titik pengumpulan terakhir dari suatu siklus pengumpulan sampai ke
Tempat Pembuangan Akhir.
Adapun saran yang diajukan penulis berkaitan dengan peran Unit Pelaksana Teknis
Dinas Kebersihan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung adalah
Seharusnya Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dalam hal ini Dinas
Kebersihan dan Pertamanan, Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Kebersihan dan
Pertamanan serta yang terkait lebih mensosialisasikan peraturan perundang–
undangan yang berkaitan dengan pengelolaaan sampah, agar masyarakat lebih
mengetahui dan memahami substansi dari peraturan yang berlaku dan pada akhirnya
masyarakat dapat melakukan pengelolaan sampah sesuai dengan prosedur hukum
yang berlaku.
Abstract
Problems in waste management experienced by the city of Bandar Lampung at this point, among
other things, the handling of waste is carried out in the city of Bandar Lampung has yet come to
the stage of thinking of the process of recycling or reuse the waste into useful materials
(productive). in accordance with the provisions of Act No. 18 of 2008 about waste management
and local regulations No. 5 of 2000 about garbage. Handling of waste is done just moved it from
the trash in the settlements, the market, the terminal and place a temporary hoarding and throw it
to the landfill. Based on this, the author is interested in doing research on the role of Executing
Agency of Technical Unit of cleanliness and Landscaping in waste management in the city of
Bandar Lampung in accordance with Regulation No. 67 Mayor in 2011 about the formation of
the Organization and The work of Implementing Hygiene Technical Unit On The cleanliness and
Landscaping.
The authors formulate as follows: (1) what is the role of Executing Agency of Technical Unit of
cleanliness and Landscaping In waste management in the city of Bandar Lampung? (2) anything
that becomes a factor Restricting the Unit Executing Agency of Technical cleanliness and
Landscaping In waste management in the city of Bandar Lampung?.
Approach to the problems in this research was conducted with the normative approach, that
approach with a way to see and study the books and documents as well as other regulations in
force and is associated with the title and subject matter that will be examined, in addition, also
used empirically approach-that is, an approach that is carried out by examining the primary data
obtained directly from the interview to find out the reality that happens in practice especially
regarding waste management.
Based on the results of research that has been done can be noted that the role of the
implementing Unit Technical cleanliness and Landscaping Services in waste management in the
city of Bandar Lampung have not at this stage of recycling waste into useful materials like other
big cities, the role of Executing Agency of Technical Unit of cleanliness and Gardening only in
terms of receptacle rubbish, garbage collection, Garbage Hauling and waste management and
garbage collection services do retribution. In this case the Pewadaan rubbish that is is a way the
shelter before the garbage is collected, transferred, transported and dumped into landfills,
whereas in the case of the transport of waste is, intended as an operating activity that starts from
the point of collection, the last of a collection cycle to the Landfill.
As for the suggestion that the author filed with regard to the role of Executing Agency of
Technical Unit of cleanliness in waste management in the city of Bandar Lampung is supposed
to be local government city of Bandar Lampung in the it Department of Hygiene and Technical
Implementation Units, Landscaping Office cleanliness and Landscaping as well as related more
to socialize the regulation militate in invitations related to pengelolaaan garbage, so that more
people know and understand the substance of the regulations and in the end the public can
conduct waste management in accordance with the legal procedures in force.ADE HARIS AGTIO 09120110882015-04-30T07:40:52Z2015-04-30T07:40:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9558This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95582015-04-30T07:40:52ZANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP TINDAK PIDANA PERZINAHAN
DI BANDAR LAMPUNGAbstrak
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan
antara pengertian dan paham tentang zina dalam Pasal 284 KUHP dengan
kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di
masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan,
penganiayaan, atau main hakim sendiri. Perzinahan dipandang sebagai perbuatan
dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai suatu
penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan. Hal ini diperparah dengan
lemahnya praktik penegakan hukum. Pelaku biasanya merupakan pelaku yang
lebih kuat dibandingkan dengan korban, baik dari segi fisik maupun dari segi
lainnya. Dari latar belakang di atas maka yang menjadi permasalah dalam
penelitian ini bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
perzinahan di Bandar Lampung dan apakah yang menjadi faktor penghambat
dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perzinahan di Bandar
Lampung.
Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder, dimana data sekunder terbagi atas
beberapa bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Serta satu orang Anggota Polsek Tanjung Karang Timur dan
satu orang dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sebagai
Narasumber.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka didapatkan hasil bahwa
penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perzinahan di Bandar
Lampung ini dilaksanakan secara preventif yaitu pencegahan sebelum terjadinya
kejahatan. Penegakan hukum secara preventif dengan cara mengadakan sosialisasi
terhadap masyarakat karena penegakan hukum pidana secara preventif bukan
Vika Trisanti
hanya dilakukan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum saja tetapi
masyarakat harus berperan aktif membantu dan mendukung upaya penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana perzinahan. Selain itu juga dengan cara
represif yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yaitu dengan
menyelidik dan memproses laporan yang masuk. Pelaku tindak pidana perzinahan
dapat dikenakan sanksi Pasal 284 KUHP dan tindak pidana perzinahan juga diatur
dalam Konsep KUHP 2012 terdapat dalam Pasal 483. Dalam tindak pidana
perzinahan dapat diproses apabila adanya delik aduan dari suami atau isteri yang
menjadi korban dan dirugikan apabila tidak adanya delik aduan maka kasus
perzinahan tersebut tidak dapat diproses oleh penegak hukum. Hal ini belum
maksimal karena adanya keterbatasan yang dialami oleh penegak hukum itu
sendiri. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kasus perzinahan tidak dapat
dibuktikan, dikarenakan tidak adanya aduan dari pihak yang dirugikan.
Penulis menyarankan agar aparat pemerintah perlu bersosialisasi dengan
masyarakat untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar korban
perzinahan memberanikan diri untuk melapor ke aparat penegak hukum agar
kasus-kasus perzinahan dapat diproses. Untuk mengurangi tindak pidana
perzinahan, sebaiknya hotel-hotel di Bandar Lampung lebih memberikan
peraturan yang lebih ketat kepada konsumen khususnya kepada pria dan wanita
yang ingin menginap seperti memberikan identitas yang lengkap atau menunjukan
buku nikah yang sah menurut negara.VIKA TRISANTI 09120110812015-04-30T07:40:48Z2015-04-30T07:40:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9557This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95572015-04-30T07:40:48ZUPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCULIKAN
MELALUI JEJARING SOSIAL (FACEBOOK)
(Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)Abstrak
Tindak pidana penculikan di wilayah Bandar Lampung memang jarang terjadi namun pihak
aparat penegak hukum tidak dapat menganggap hal yang tidak berbahaya karena dapat terjadi
sewaktu-waktu. oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang peraturan yang mengaturnya.
Tindakan yang harus diambil oleh pihak kepolisian adalah secara represif dan preventif guna
mencegah terjadinya tindak pidana penculikan. Upaya polisi dalam penanggulangan tindak
pidana penculikan di wilayah Bandar Lampung dalam penanganannya hendaknya tidak
mengedepankan tindak kekerasan melainkan melalui suatu tindakan preventif dengan
memberikan penyuluhan dan pengarahan kepada masyarakat untuk menjaga keamanan serta
bersama-sama menjaga kamtimbas keamanan dilingkungannya. Permasalahan yang akan dibahas
dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimanakah upaya polisi dalam menanggulangi tindak
pidana penculikan di wilayah Polresta Bandar Lampung dan apakah yang menjadi faktor
penghambat polisi dalam menanggulangi tindak pidana penculikan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap pihak Kepolisian di Polresta Bandar
Lampung. Sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah
dengan cara memeriksa dan mengoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis
secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataankenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa upaya Polri dalam
menggulangi tindak pidana penculikan di wilayah Polresta Bandar Lampung dapat dilakukan
dengan berbagai upaya. Upaya pre-emtif seperti pihak kepolisian membuat penyuluhan agar
memberi informasi efek positif dan efek negatif penggunaan internet. Upaya preventif yaitu
upaya pencegahan terhadap kejahatan yang dilaksanakan sebelum terjadinya kejahatan seperti
pengawasan yang ketat terhadap anak-anak yang dapat menjadi korban penculikan. Sedangkan
upaya represif seperti upaya penindakan dan penegakkan hukum terhadap ancaman faktual
dengan sanksi yang tegas untuk membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana penculikan.
Faktor penghambat Polisi dalam penanggulangan pencurian kendaraan bermotor (Studi di
wilayah Bandar Lampung) adalah faktor kepribadian atau mentalitas penegak hukum yaitu
sumber daya yang dimiliki kepolisian terkait penanganan penculikan terbilang masih sangat
minim, faktor sarana dan fasilitas yaitu peralatan yang dimiliki tidak bisa dibilang memadai dan
lengkap, minimnya anggaran untuk biaya operasional, faktor kesadaran hukum dan kepatuhan
hukum masyarakat yaitu keterlibatan masyarakat yang didorong persoalan ekonomi dan
rendahnya rasa kepedulian masyarakat dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah
diharapkan kepada Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penculikan sesuai dengan
hukum yang berlaku agar tidak ada lagi korban-korban lain dari tindak pidana penculikan yang
sangat meresahkan dan merugikan bagi masyarakat dan diharapkan bagi masyarakat dapat
bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam penanggulangan atau pencegahan tindak pidana
penculikan, agar tindak pidana penculikan tidak terjadi lagi di wilayah hukum Polresta Bandar
Lampung.Trie Zaskia Cholita Putri 09120110792015-04-30T07:40:43Z2015-04-30T07:40:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9556This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95562015-04-30T07:40:43ZTINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN
JAKSA PENUNTUT UMUM
PADA SAAT PERSIDANGANAbstrak
Keberadaan saksi mahkota tidak pernah disebutkan secara tegas dalam KUHAP namun
Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang besifat
penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukannya pemisahan (splitsing).
Berdasarkan uraian tersebut penulis mengangkat permasalahan bagaimanakah kedudukan saksi
mahkota dihadapan jaksa penuntut umum dan mengapa saksi mahkota digunakan dalam
peradilan pidana.
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis data sekunder, dimana data sekunder terbagi atas beberapa bahan
hukum yaitu Bahan Hukum Primer terdiri dari Undang-undang. Bahan hukum sekunder yaitu
meliputi buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan
sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. Bahan huk um tersier
meliputu kamus hukum, ensiklopedia dan bahan internet. Serta 1 orang Jaksa dari Kejaksaan
Tinggi Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
sebagai Narasumber.
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa
penuntut umum sering digunakan dalam tindak pidana penyertaan namun hal tersebut bertujuan
untuk melihat beban pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, oleh sebab itu
berkas perkara dilakukan dengan cara pemisahan (splitsing). Dalam hal pembuktian bagi saksi
mahkota tidak diwajibkan untuk memeberikan sumpah agar terdakwa yang dijadikan saksi
mahkota tidak memiliki tekanan psikis pada saat ia memberikan kesaksiannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis menyarankan agar Penuntut umum
sebaiknya tidak menggunakan saksi mahkota dalam tindak pidana penyertaan mengingat tindak
pidana tersebut bentuk penyertaan maka sebaiknya penuntut umum lebih teliti lagi dalam
membagi kedudukan antara terdakwa satu dan yang lainnya agar tidak terjadi kerancuan dalam
pembuktian. Dan mengingat saksi mahkota adalah terdakwa yang dijadikan saksi maka dalam
hal ini terdakwa mengalami tekanan psikis yaitu antara ia harus mengakui atau mengingkari
pembuktian yang ia berikan, oleh sebab itu penggunaan saksi mahkota harus dihentikan karena
tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia.
Keyword : Saksi Mahkota, Penyertaan, persidanganMaria Hadivta 09120110462015-04-30T07:20:45Z2015-04-30T07:20:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9519This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95192015-04-30T07:20:45ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN WAKIL BUPATI
MESUJI TERPILIH
(Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)Abstrak
Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif,
salah satu yang menonjol adalah munculnya kejahatan institusional. Baik
eksekutif maupun legislatif sering kali membuat peraturan yang tidak sesuai
dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikan secara
kolektif antara eksekutif dan legislative. Legislatif yang mestinya mengawasi
kinerja eksekutif justru ikut dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dengan cara yang “legal” karena dilegitimasi dengan keputusan. Korupsi
pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan, uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi. Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam skripsi ini yaitu
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi
pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati
Mesuji Terpilih?. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim serta dasar
hukum hakim dalam menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti
Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun
kurungan pada Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
Metode penelitian dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Adapun
sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan
dokumentasi, serta data primer yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan
melalui metode wawancara terhadap seluruh responden, yaitu Hakim Pengadilan
Negeri Menggala, Jaksa Kejaksaan Negeri Menggala, Pengacara serta dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, 1). Pertanggungjawaban Pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi penyertaan modal BUMD yang dilakukan
Wakil Bupati Mesuji Terpilih menetapkan bahwa pidana 1 tahun penjara dan
Helda Novriliana
pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan
kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh
enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan. 2). Dasar Pertimbangan hakim
dalam. Penjatuhan hukuman yang ditetapka Majelis Hakim berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yaitu berdasarkan pertimbangan yuridis,sosioligis,dan
filosofis serta menimbang berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan
yang menyangkut diri terdakwa selaku Anggota DPRD Kabupaten Tulang
Bawang periode 2004-2009 yang telah mengabdikan diri pada bangsa dan negara,
bahwa andai kata para terdakwa dimasukkan ke dalam penjara maka akan
memperburuk perilakunya di kemudian hari dan memperhatikan pula hukuman
yang akan dijatuhkan pada para terdakwa menurut pandangan Majelis Hakim
akan memberikan efek jera baginya.Dasar Hukum Hukum Hakim menetapkan
vonis 1 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus Sembilan puluh enam ribu juta rupiah ) perkara korupsi
penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji yaitu pasal
11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mencoba memberikan
suatu saran kepada Pihak Pengadilan khususnya Pengadilan Negeri Menggala
diharapkan menjatuhkan putusan terdakwa Korupsi dengan hukuman maksimal
sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku serta orang-orang yang akan
melakukan korupsi agar kemudian hari tidak lagi melakukan perbuatan pidana
khususnya tindak pidana korupsi. Aparat penegak Hukum terutama aparat
kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman hendaknya lebih meningkatkan kualitas dan
profesionalisme dalam menegakkan hukum, tidak tebang pilih dalam mengungkap
dan memproses tindak pidana korupsiHelda Novriliana 09120110322015-04-30T07:20:39Z2015-04-30T07:20:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9518This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95182015-04-30T07:20:39ZANALISIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSIAbstrak
Korupsi adalah suatu problematika yang besar dalam merusak pembangunan.
Oleh sebab itu maka keberadaan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi ini
sangat penting. Persoalan utama banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi
saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya
disebabkan tidak ada jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan
tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor
bahkan sering mengalami gugatan balik atau tuntutan hukum atas kesaksian atau
laporan yang diberikannya. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah bentuk pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam
perkara korupsi di Indonesia dan apakah faktor penghambat dalam pemberian
perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yurudis normatif dan
yurudis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder,
pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen.
Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data,
rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian
disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk
dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di Negara Indonesia adalah
disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses
peradilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Bentuk perlindungan hukum terhadap
saksi tersebut terdapat dua model, Procedural rights model yaitu model yang
memungkinkan saksi berperan aktif dalam proses peradilan tindak pidana dan The
service model yaitu model yang menentukan standar baku tentang pelayanan
terhadap saksi yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Pemberian
perlindungan hukum terhadap saksi termasuk saksi dalam tindak pidana korupsi
adalah dalam bentuk perlindungan yang ditujukan bagi keamanan pribadi saksi itu
sendiri, keluarga dan juga harta bendanya. Faktor penghambat pelaksanaan
perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia adalah faktor
peraturan perundang-undangan yang biasa diterjemahkan terlalu luas yang akan
mempengaruhi upaya pemberian perlindungan sepenuhnya terhadap saksi pelapor,
faktor aparatur penegak hukum dalam mekanisme perlindungan saksi dalam
upaya penegakan hukum masih kurang, faktor kurangnya perhatian dari
masyarakat, serta sikap danmental saksi pelapor yang diliputi oleh perasaan takut
bila menjadi saksi dikarenakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang
pasti.
Disarankan bagi tim perumus rancangan peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai pemberian bantuan perlindungan hukum harus berani melakukan
terobosan-terobosan dalam rangka memperluas peran Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) dalam pemberian bantuan. Hendaknya pemberian
perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dapat diberikan secara maksimal
termasuk perlindungan terhadap keluarga saksi pelapor, harta bendanya dan lainlainnya.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Saksi Pelapor, Perkara KorupsiDea Puspa Mandiri 09120110182015-04-30T07:20:35Z2015-04-30T07:20:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9516This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95162015-04-30T07:20:35ZANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
ASAS NON SELF INCRIMINATIONABSTRAK
Korupsi merupakan bentuk tindak pidana yang sulit untuk diberantas. Pelaksanaan
pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah
pekerjaan yang mudah dan ringan. Dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau
terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang
disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Salah satu indikator fair trial adalah asas
Non Self Incrimination (hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh
hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan
dirinya di muka persidangan). Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan
padanya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang
memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam
perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah sistem pembuktian terbalik dalam
proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self
incrimination.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang
digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi
dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap identifikasi data klasifikasi data,
dan penyusunan data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk
uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa pengaturan sistem
pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem
pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (Pasal 37 dan 37A) tindak pidana
Danar Oktaria Prasetiyawati
umum dan pembuktian terbalik penuh/murni (Pasal 12B ayat (1) a) tindak pidana
suap/gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00. Indonesia sampai saat
ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam
Undang-Undang tersebut, Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus
korupsi adalah bersifat negatif yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan
dengan asas non self incrimination dalam pelaksanaannya akan dikesampingkan,
karena dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self
incrimination, maka terhadap kesalahan pelaku tetap mempergunakan sistem
pembuktian negatif, agar tidak terjadi benturan dengan HAM ataupun dengan asas
hak untuk diam.
Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia
karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini,
kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian
terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini
masih terbatas.DANAR OKTARIA PRASETIYAWATI 09120110172015-04-30T07:20:30Z2015-04-30T07:20:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9513This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95132015-04-30T07:20:30ZIMPLEMENTASI PERATURAN PERBANKAN SYARIAH PADA
PRODUK PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
(Studi Pada Bank Muamalat Indonesia KCP Pringsewu)
OlehAbstrak
Perbankan syariah tidak membebankan bunga (riba) kepada para nasabahnya,
melainkan dengan mengajak berpartisipasi dalam bidang usaha yang didanai
sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara Bank Syariah dan Pihak lain untuk menyimpan
dana dan/atau pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, salah satu produknya adalah pembiayaan musyarakah yang menggunakan
sistem bagi hasil. Pembiayaan musyarakah ini lebih menguntungkan pihak
Nasabah karena bagi hasil yang digunakan didasarkan pada tingkat keuntungan
usaha dari kesepakatan awal. Berkaitan dengan hal ini, yang menjadi pokok
bahasan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana pelaksanaan peraturan
perbankan syariah pada BMI KCP Pringsewu. Kedua, syarat dan prosedur
pembiayaan musyarakah. Ketiga, kesesuaian pelaksanaan peraturan perbankan
syariah pada produk pembiayaan musyarakah pada BMI KCP Pringsewu dengan
prinsip syariah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe
penelitian adalah penelitian hukum deskriptif. Pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan normatif-terapan. Data yang digunakan adalah data
primer yang diperoleh melalui wawancara kepada pimpinan serta karyawan Bank
Muamalat Indonesia KCP Pringsewu dan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, kemudian
analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pelaksanaan peraturan perbankan syariah
pada BMI KCP Pringsewu adalah dengan terus memperhatikan norma-norma
Islami yang telah ditetapkan, keadilan dan persaudaraan menyeluruh tanpa
membedakan, keadilan distribusi pendapatan antara pihak bank dan mitra kerja,
kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial tanpa membandingkan
antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Syarat dan prosedur
Cicha Deswari
pembiayaan musyarakah pada Bank Muamalat Indonesia KCP Pringsewu adalah
adanya ketentuan umum, ketentuan khusus dan syarat legalitas. Sedangkan
prosedur dari Pembiayaaan Musyarakah adalah pemeriksaan syarat-syarat
pembiayaan yang diajukan oleh Calon Mudharib, Inisiasi. Solisitasi, proses
analisa proposal pembiayaan, analisa dan support pembiayaan, standar
dokumen pengikatan pembiayaan, proses persetujuan setelah proses analisa,
proses realisasi pembiayaan, dan terakhir pembinaan pembiayaan. Kesesuaian
peraturan perbankan syariah pada produk pembiayaan musyarakah pada Bank
Muamalat Indonesia KCP Pringsewu dengan prinsip syariah telah cukup sesuai
dengan melihat tolak ukur dari pelaksanaan peraturan perbankan syariah pada
BMI KCP Pringsewu dan prosedur pelaksanaan pembiayaan musyarakah serta
berdasarkan bagi hasil pada pembiayaan musyarakah yang dalam pelaksanaannya
berlandaskan kejujuran dan tidak melakukan penipuan proses negosiasi tanpa
mengesampingkan asas persaudaraan serta memperhatikan keadilan bagi nasabah,
semuanya sesuai dengan kesepakatan awal yang dibuat antara Pihak Bank dan
Nasabah.
Kata Kunci : Perbankan syariah, Pembiayaan Musyarakah, Prinsip SyariahCicha Deswari 09120110162015-04-30T07:20:24Z2015-04-30T07:20:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9510This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/95102015-04-30T07:20:24ZPERSPEKTIF PENJATUHAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA
TERHADAP HARTA BENDA MENURUT RANCANGAN UNDANGUNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012Abstrak
Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan
diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia nilai pidana
denda sudah tidak sesuai dengan nilai mata uang saat ini. KUHP sudah dianggap
ketinggalan zaman dan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi bangsa
Indonesia karena merupakan warisan kolonial. Permasalahan yang akan dibahas
dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak
pidana terhadap harta benda menurut KUHP, dan bagaimanakah perspektif
penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut
Rancangan Undang-undang Kitab Undang Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, prosedur pengumpulan data adalah data sekunder melalui penelusuran studi
kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan analisis data yang
dilakukan secara deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa sistem
penjatuhan pidana denda terhadap harta benda menurut KUHP adalah pidana denda
dijatuhkan secara alternatif bersama dengan pidana lainnya. Dalam tindak pidana
pencurian ringan, pada KUHP dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima
tahun dan pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah. Apabila terpidana tidak
dapat membayar pidana denda maka dapat dibayarkan oleh pihak ketiga atau dengan
pidana penjara pengganti denda. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak
Ayu Hervi Maharani
pidana terhadap harta benda menurut RUU-KUHP pidana denda masih merupakan
pidana pokok. Akan tetapi dalam pengaturannya pidana denda menggunakan sistem
pengkategorian mulai dari Kategori I sampai dengan kategori VI. Selain itu pada
RUU-KUHP ini dikenal sistem minimum khusus. Sistem minimum khusus
dikonsepkan dalam RUU-KUHP guna menghindari disparitas pidana. Pada Pasal 594
yang mengatur mengenai pencurian Pidana denda yang diancamkan adalah pidana
denda Kategori IV. Apabila terpidana tidak dapat membayarkan pidana denda yang
dijatuhkan maka pidana denda dapat digantikan dengan pidana kerja sosial, pidana
pengawasan, pidana penjara, atau dengan mengambil dari penghasilan terpidana.
Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu pada sistem penjatuhan denda dalam
tindak pidana terhadap harta benda menurut KUHP hendaknya memperhatikan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2002 dalam hal penjatuhan sanksi.
Sedangkan Perspektif Penjatuhan Pidana Denda dalam Tindak Pidana Terhadap Harta
Kekayaan Menurut RUU-KUHP Tahun 2012 penjatuhan pidana denda juga perlu
melihat kepada kemampuan terpidana dalam membayarkan denda dan juga kerugian
yang ditanggung oleh korbanAyu Hervi Maharani 09120110112015-04-29T09:02:58Z2015-04-29T09:02:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9497This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94972015-04-29T09:02:58ZANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO
DALAM RUU KUHP TAHUN 2012Abstrak
Kehidupan masyarakat mulai terganggu dengan adanya penyimpangan kehidupan
di bidang kejahatan seksual. Penyimpangan kesusilaan itu adalah perbuatan hidup
bersama tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang terjadi antara seorang pria
dan seorang wanita yang dikenal dengan istilah kumpul kebo karena itu maka
dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun
2012 telah diatur tentang tindak pidana kumpul kebo. Permasalahan yang dibahas
dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kebijakan kriminal tentang tindak pidana
kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 serta apakah kebijakan kriminal
tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012
mencerminkan rasa kesusilaan bangsa Indonesia menurut norma agama yang
berlaku di Indonesia.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
bersifat yuridis normatif, prosedur pengumpulan data adalah data sekunder
melalui penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur dan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan
analisis data yang dilakukan secara deduktif yaitu cara berpikir dari hal-hal yang
bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut
dapat diajukan saran.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa
ditentukannya kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP
tahun 2012 melalui sarana penal tentang perbuatan apa yang dilarang yaitu tindak
pidana kumpul kebo seperti yang diatur dalam Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2012
dengan sanksi pidananya yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 30.000.000,00) dirasa belum
menunjukkan bahwa perbuatan kumpul kebo termasuk dalam tindak pidana berat,
hal ini dapat dilihat dari sanksinya masih masuk dalam tindak pidana ringan.
Walaupun dengan sanksi yang masih ringan kebijakan kriminal kumpul kebo
sudah sepatutnya dilakukan karena perbuatan kumpul kebo tidak sesuai dengan
Amelia Enggarsasi
nilai-nilai luhur bangsa indonesia, selain itu kumpul kebo juga dianggap sebagai
penyakit sosial yang cukup mengganggu masyarakat Indonesia yang membawa
dampak negatif lainnya. Hubungan hukum dengan norma kesusilaan dan norma
agama berdasarkan tujuan norma kesusilaan yaitu mewujudkan keharmonisan
hubungan antarmanusia maka kebijakan kriminal tindak kumpul kebo dalam RUU
KUHP tahun 2012 merupakan suatu perwujudan dan pencerminan dari tujuan
norma kesusilaan serta norma agama agar dapat terlaksananya keserasian antara
hukum dengan adanya norma kesusilaan dan norma agama sebagai pertimbangan
yang ada dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu para pembuat kebijakan formulasi
hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana kumpul kebo
hendaknya memperhatikan karakteristik kumpul kebo sebagai kejahatan yang
berhubungan dengan perzinahan serta berorientasi pada Konsep KUHP Tahun
2012 karena merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana nasional. Upaya
penanggulangan kumpul kebo ini dapat berjalan secara efektif melibatkan
berbagai pihak yang berkompeten, seperti pemerintah, parlemen, akademisi,
aparat penegak hukum, dan masyarakat.AMELIA ENGGARSASI 09120110042015-04-29T09:02:48Z2015-04-29T09:02:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9495This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94952015-04-29T09:02:48ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBUNUHAN YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR
(Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)Abstrak
Anak nakal yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana
atau tindakan. Anak yang belum cukup umur enam belas tahun, apabila melakukan
tindak pidana dapat dijatuhi hukuman yaitu dikembalikan kepada orang tua atau
walinya, diserahkan kepada pemerintah atau dijatuhi pidana dengan dikurangi
sepertiga dari maksimum pidana pokok. Salah satunya adalah tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo, kepada
korban yaitu tidak lain teman baiknya sendiri Dwi Komalasari bin Rasimun.
Perbuatan ini dilakukan dengan cara tipu muslihat bujuk rayu dan secara paksa serta
menggunakan minuman sprite yang di campur obat tetes mata insto yang diduga oleh
terdakwa ampuh untuk membuat korban menjadi lemas atau kehilangan kesadaran.
Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan
oleh anak, dan apakah yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak
pada Putusan Nomor Perkara 791/Pid.A/2012/PN.TK.
Penulisan skripsi ini mengunakan metode pendekatan normatif dan pendekatan
empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Populasi dalam penelitian ini adalah hakim pada Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Peneliti mengunakan metode purposive sampling dalam
menentukan sampel. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan
studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan
langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang
diolah dianalisis secara kualitatif.
Mohammad Yusfaneri
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa bentuk
pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat
perbuatan atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang
yang dapat dikatakan bersalah jika seseorang tersebut memenuhi unsur-unsur
kesalahan, yaitu melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, dengan
sengaja atau alpa dan tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan,
pertanggungjawaban pidana seseorang ditentukan oleh kemampuan terdakwa untuk
bertanggung jawab. Terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo dalam perkara ini dapat
disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat melakukan perbuatan maupun
memberikan keterangan di persidangan berada dalam kondisi sehat jasmani dan
rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan atau alasan pemaaf,
sehingga terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas seluruh perbuatan yang
telah dilakukan. Dan bentuk Hakim dalam memberikan atau menjatuhkan pidana
kurungan penjara terhadap terdakwa dalam kasus pembunuhan yang dilakukannya,
yaitu diancam dengan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan hukuman pidana penjara
paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa yaitu paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara, didasarkan oleh ketentuan Pasal
183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis.
Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana adalah didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhinya segala
unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan
yang terungkap.
Adapun Saran yang diberikan penulis yaitu Hakim harus mempertimbangkan kembali
dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa karena dalam memberi
hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan turunnya mental terdakwa
dikarenakan terdakwa masih tergolong anak dibawah umur. Hakim harus melihat
kembali dampak yang kan terjadi pada terdakwa karena hukuman 10 (sepuluh) tahun
penjara bukanlah waktu yang singkat, dikarenakan terdawka masih tergolong anak
dibawah umur hukuman penjara yang diberikan kepada terdakwa bisa saja
berdampak negatif, hukuman yang diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat
perbuatannya atau benar-benar menyadari kesalahannya, namun sebaliknya
dikarenakan ruang lingkup didalam penjara, terdakwa mendapatkan wawasan yang
luas dalam melakukan perbuatan kriminal.
Kata Kunci : anak, anak nakal, anak dibawah umur, pembunuhan.Mohammad Yusfaneri 08520111482015-04-29T09:02:32Z2015-04-29T09:02:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9477This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94772015-04-29T09:02:32ZPENYELENGGARAAN IZIN PEMBANGUNAN MENARA
TELEKOMUNIKASI DI KABUPATEN LAMPUNG TIMURAbstrak
Bisnis menara makin berkembang sejak keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi, dan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman Pembangunan dan
Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Sesuai ketentuan Peraturan
Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Menara Telekomunikasi menyatakan bahwa menara telekomunikasi dapat
beroperasi setelah memiliki izin operasional dari Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu (KPPT) Kabupaten Lampung Timur berdasarkan rekomendasi dari Dinas
Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lampung Timur. Pada
kenyataannya, masih ada menara telekomunikasi yang belum memiliki izin. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi
dengan permasalahan: 1) Bagaimanakah penyelenggaraan izin pembangunan
menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur? 2) Bagaimanakah
pengawasan terhadap penyelenggaraan izin pembangunan menara telekomunikasi
di Kabupaten Lampung Timur?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan
dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah
dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi data, editing, dan sistematisasi. Data
yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan
menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: 1) Penyelenggaraan izin
pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur dilakukan
oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu bersama dengan Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lampung Timur. Perizinan pembangunan
menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur dilakukan secara terpadu.
Fery Purnomo
Ketentuan pembangunan menara telekomunikasi berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 23 Tahun 2011 menentukan
bahwa pembangunan dan pengoperasian menara telekomunikasi di seluruh
wilayah wajib mengacu pada Rencana Induk Menara Telekomunikasi Terpadu di
daerah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Izin yang berkaitan dengan
menara telekomunikasi adalah IMB Menara dan Izin Operasional Menara
Telekomunikasi Terpadu. 2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan izin
pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lampung Timur dimulai sejak pengajuan
izin, pelaksanaan izin hingga izin tersebut itu habis masa berlakunya. Pengawasan
sebelum izin tersebut diterbitkan sangat berkaitan dengan kelengkapan
persyaratan permohonan izin. Pengawasan yang dilakukan setelah izin diberikan
bertujuan untuk mengevaluasi apakah izin yang telah diberikan oleh pemerintah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan izin yang diberikan. Segala bentuk
pelanggaran terhadap izin ini akan dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi.
Sanksi administrasi ini juga diperuntukkan bagi menara telekomunikasi yang
tidak memiliki izin. Sanksi administrasi bagi yang memiliki izin terdiri peringatan
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali, pembekuan izin dan pencabutan izin. Sedangkan
sanksi administrasi bagi yang tidak berizin atau tidak memiliki IMB Menara dan
izin operasional menara telekomunikasi terpadu adalah pembongkaran menara
telekomunikasi. Pembongkaran tersebut dilakukan setelah diberikan peringatan
tertulis sebanyak sebanyak 3 (tiga) kali.
Dalam Penelitian ini disarankan: 1) Sebaiknya pemerintah dalam melakukan
pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian menara telekomunikasi
dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan membuat kotak pengaduan
yang ditempatkan di lokasi tertentu, misalnya kantor desa dan kantor kecamatan.
2) Sebaiknya bagi pemilik menara telekomunikasi yang tidak berizin tidak hanya
diberikan sanksi administrasi berupa pembongkaran menara, namun diwajibkan
pula untuk membayar denda.
Kata kunci: Izin, Menara dan TelekomunikasiFery Purnomo 08520110932015-04-29T09:02:21Z2015-04-29T09:02:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9475This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94752015-04-29T09:02:21ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA
BURUNG YANG DILINDUNGI
(STUDI BKSDA LAMPUNG)Abstrak
Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis
burung, mamalia dan lainnya, namun di balik keragaman satwa yang dimiliki
Indonesia banyak satwa yang terancam punah bahkan untuk jenis-jenis burung
yang dikarenakan maraknya perdagangan ilegal hewan hewan yang dilindungi,
sedangkan keberadaannya memiliki peran yang cukup strategis sebagai penjaga
keseimbangan lingkungan ataupun sebagai obyek penelitian. Sehingga perlu
mendapatkan perlindungan dalam rangka menjamin kelangsungan kelestariannya
dari ancaman kepunahan. Balai konservasi sumberdaya alam Lampung mencatat
lebih dari 100.000 (seratus ribu) ekor burung paruh bengkok (kakaktua dan nuri)
ditangkap dari alam Papua dan Maluku setiap tahunnya. Untuk memahami
pentingnya penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana perdagangan
satwa yang dilindungi seperti yang telah dipaparkan berdasarkan latar belakang
tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk
skripsi yang berjudul Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Perdagangan Satwa Burung yang Dilindungi.
Pendekatan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan dua
cara, yakni pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan
secara yuridis normatif( liberary research ) adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama, menelaah beberapa hal yang bersifat teoritis
yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrindoktrin hukum, peraturan dan sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi yang
sedang dibahas atau menggunakan data sekunder diantaranya ialah asas, kaidah,
norma, dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
peraturan lainnya.
Akmad Sofyan Kamal
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa
burung oleh BKSDA merupakan sebagai perwujudan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan RI No. 104 Tahun 2003 yang dilakukan dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut: tahap jalur penal yaitu menerapkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 5
Tahun 1990, dan tahap non penal yaitu berupa penyelesaian secara administratif.
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan ilegal satwa
burung dirasa belum berjalan secara maksimal. BKSDA sendiri dalam melakukan
penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung lebih
mengutamakan kebijakan non penal, yaitu penyelesaiannya dilakukan dengan cara
administratif dengan memberikan sanksi berupa peringatan baik secara lisan
maupun secara tertulis, penyitaan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup
maupun penutupan atau penghentian kegiatan penangkaran satwa burung dari
jenis yang dilindungi untuk sementara waktu.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Satwa Burung yang dilindungiAKHMAD SOFYAN KAMAL 08520110182015-04-29T09:02:15Z2015-04-29T09:02:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9474This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94742015-04-29T09:02:15ZPELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK SEBAGAI
KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)Abstrak
Pemidanaan berupa pidana penjara kepada anak sebagai pecandu narkotika ini
dipandang sudah tidak relevan lagi dengan konteks tujuan pemidanaan, karena
pecandu narkotika pada dasarnya adalah korban kejahatan atau tindak pidana
narkotika. Formulasi pemidanaan yang dinilai tepat untuk para pecandu ini adalah
rehabilitasi. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah pelaksanaan
rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung? Apakah faktor penghambat pelaksanaan
rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan
yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Dokter RSJ Provinsi Lampung dan Akademisi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan
penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Pelaksanaan rehabilitasi terhadap
anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Lampung sudah dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan
yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mengacu
pada Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, yaitu dengan tindakan terapi secara komprehensi, detoksifikasi/rawat
inap untuk menghilangkan ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga
pencandu dapat hidup secara normal kembali dan menyembuhkan tubuh para
pecandu dari keterikatan narkotika. Faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi
terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Lampung adalah: a) Faktor substansi hukum, yaitu adanya
multitafsir dan potensi salah pemahaman terhadap Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial
Fega Sury Malinda Bujung
b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya
personil penyidik, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami
peningkatan. Sumberdaya manusia pada RSJ Bandar Lampung belum memahami
tentang tugas pokok dan fungsinya, keterbatasan ketrampilan, komitmen, dan
reward atau honor yang kurang memadai c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu
tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti
yang perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke
BNN Jakarta. Selain itu sarana dan prasarana yang kurang memadai yaitu belum
adanya pusat rehabilitasi khusus pecandu narkotika di Provinsi Lampung.
d) Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat
untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika. e) Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme
dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak
acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
Saran penelitian ini adalah: Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Lampung dapat meningkatkan mutu layanan rehabilitasi terhadap anak
sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung. Hendaknya manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung
dapat mengatasi penghambat atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.
Kata Kunci: Rehabilitasi, Penyalahgunaan Narkotika, AnakFEGA SURY MALINDA BUJUNG 08420110452015-04-29T09:02:06Z2015-04-29T09:02:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9473This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94732015-04-29T09:02:06ZANALISIS PELAKSANAAN UJI NARKOBA MELALUI RAMBUT DALAM
RANGKA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi pada badan narkotika nasional)Abstrak
Menghadapi persoalan narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, aparat
penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasai masalah penyalahgunaan
narkoba ini. Disisi lain masalah peredaran dan penyalahgunaan ini merupakan
perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya.
Kebijakan perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 menjadi UU Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika adalah untuk meningkatkan kegiatan guna mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan
dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Undang-Undang
yang baru ini bertujuan untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak
pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana : pidana penjara, pidana seumur
hidup, dan pidana mati. BNN sebagai lembaga pemerintah diharapkan dapat
membantu pemerintah untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dikalangan
masyarakat melalui kegiatan Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), melalui program-program kegiatan berupa uji
narkoba melalui rambut sebagai upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Permasalahan penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah prosedur pelaksanaan dalam
uji narkoba melalui rambut dalam rangka pembuktian tindak pidana Narkotika, (2)
Apakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan uji Narkoba melalui rambut
dalam pembuktian tindak pidana Narkotika.
Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris, adapun jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer yang
bersumber dari lapangan, berupa hasil wawancara dengan responden penelitian
sebanyak lima orang yaitu 1 orang dari PLT Deputi Bid. Pemberdayaan Masyarakat
BNN, 1 orang Kasubdit Lingkungan Pendidikan Deputi Dayamas BNN, 1 orang
Kasubag TU Dayamas BNN, 2 orang Staff Pemeriksa UPT Laboratorium BNN,
Sri Riski
dan 1 orang Kasubdit Bidang Hukum BNN. Analisis yang digunakan adalah analisis
deskriftif kemudian diambil kesimpulan secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
pembuktian tindak pidana narkotika dalam tahap pemeriksaan uji narkoba melalui
rambut yaitu dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan barang bukti yang
ditemukan pada tersangka atau tempat kejadian perkara (TKP) dan berdasarkan
pembuktian laboratorium forensik. Di dalam labaratorium pengujian dilakukan dua
jenis metode pendeteksian. Pertama dikenal sebagai Tes Skrining, dan ini diterapkan
untuk semua sampel yang masuk melalui laboratorium. Kedua, yang dikenal
sebagai Tes Konfimasi, hanya diterapkan pada sampel yang menguji positif selama
uji skrining. Periode deteksi tergantung dari beberapa faktor yaitu jenis narkoba,
jumlah dan frekuensi penggunaan, laju metabolisme tubuh, berat badan, usia,
kondisi kesehatan secara umum.
Saran dalam penelitian ini adalah (1) pemerintah khususnya BNN. BNN Pusat
sebaiknya lebih memperhatikan sarana prasarana yang ada di provinsi, dan
kabupaten/kota. Seperti menyediakan laboratorium khusus uji narkoba melalui
rambut, sehingga program BNN Pusat yaitu uji narkoba melalui rambut di provinsi
dan kabupaten/kota dapat dijalankan tanpa harus menguji di BNN Pusat saja dan
menambah jumlah tenaga ahli dibidang porensik. (2) Pemerintah juga harus
memberi bantuan untuk membangun sarana dan prasarana yang mendukung,
termasuk laboratorium forensik untuk tiap daerah perkotaan di Indonesia dan panti
rehabilitasi khusus bagi pecandu yang mampu agar mereka bisa sembuh dan lepas
dari pengaruh obat-obatan tersebut.Sri Riski 08420110392015-04-29T09:02:02Z2015-04-29T09:02:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9472This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94722015-04-29T09:02:02ZREFORMASI ADMINISTRASI PENGAIDILAN DALAM MEWUJUDKAN
PERADILAN YANG BERSIH DAN BEBAS KKNAbstrak
Administrasi pengadilan pidana di Indonesia masih belum optimal mulai dari
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, sampai kepada tahap
pelaksanaan putusan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah reformasi administrasi pengadilan dalam mewujudkan peradilan
yang bersih dan bebas KKN (2) Apakah faktor-fatok penghambat reformasi
administrasi pengadilan dalam Mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas
KKN.
Tujuan penelitian adalah: (1) Untuk mengetahui reformasi administrasi
pengadilan dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas KKN (2) Untuk
mengetahui factor-faktor penghambat reformasi administrasi pengadilan dalam
mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas KKN.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative dan
pendekatan empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan. Data yang selanjutnya dianalisis dan dibahas secara kualitatif.
Hasil penelitian ini mewujudkan: (1) Reformasi administrasi administrasi
pengadilan pidana dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas KKN
dilaksanakan oleh: a) Kepolisian , diwujudkan dengan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. b) Kejaksaan RI, dilaksanakan dengan
keputusan jaksa agung Republik Indonesia Nomor :KEP-518/A/J.A/11/2001
Tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/JA/11/1994 Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam
KUHP. (2) Faktor-faktor penghambat reformasi administrasi pengadilan dalam
mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas KKN adalah :a) Faktor sumber daya
hakim dan aparat penegak hukum, yaitu hakim yang kurang berkualitas dan
mampu menjalankan tugasnya dengan berprinsip pada pengadilan yang baik.
b) Faktor sistem manajemen pengadilan dan kepanitraan yaitu sistem manajemen
yang kurang baik dan belum mencakup sistem kegiatan rekrutmen pegawai,
pelatihan bagi calon-calon hakim, administrasi dan pengelolaan keuangan. c)
Faktor Sarana dan Prasarana yaitu kurang baiknya gedung-gedung dan ruangan
siding beserta alat kelengkapan persidangan, kurang optimalnya sistem informasi
dan manajemen teknologi, serta alat/infrastruktur lainnya.
Kata kunci : Reformasi, Administrasi, PengadilanLIRA FETRICIA FARRYAL 08420110282015-04-29T08:59:35Z2015-04-29T08:59:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9393This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93932015-04-29T08:59:35ZPERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PENYALAHGUNAAN DANA BANTUAN OPERASIONAL
SEKOLAH(BOS) DI LAMPUNG UTARA
(Studi kasus:No.71/Pid.B/Krp/2011/PN.Ktb)Abstrak
Dengan adanya bantuan operasional sekolah(BOS) maka akses masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas dapat tercapai. Praktek penggunaan dana bos ini
tidak selalu seperti apa yang diharapkan oleh pemerintah. Selalu ada saja oknum yang tidak
bertanggungjawab menggunakan dana BOS ini untuk keperluan yang tidak sesuai dengan
pedoman penggunaan dana BOS. Adapun Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah
apa sajakah perbuatan yang merupakan penyalahgunaan dana BOS yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana serta bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku
penyalahgunaan dana BOS tersebut dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan hukuman pidana tersebut.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan
masalah secara yuridis normatif ditunjang dengan pendekatan yurudis empiris dengan cara
membaca dan mempelajari teori-teori serta konsep-konsep yang ada hubungan nya dengan
masalah yang akan dibahas dan mengumpulkan data dengan cara wawancara. Populasi dalam
penulisan skripsi ini adalah Dinas Pendidikan Kab.Lampung Utara, dan Pengadilan Negeri
Kotabumi, Kejaksaan Negeri Kotabumi.
Berdasarkan penelitian di Lapangan dapat diketahui bahwa perbuatan yang merupakan
penyalahgunaan dana BOS yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah menggunakan
dana BOS tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan juklak dan
juknisnya adalah dana yang seharusnya digunakan untuk kegiata operasional sekolah
melainkan digunakan untuk kepentingan lain seperti digunakan untuk kepentingan pribadi.
Kepala sekolah tidak membiayai kegiatan sekolah sebagai mana mestinya Sekolah Standart
Nasional (SSN) melainkan menggunakan nya dana BOS untuk kepentingan pribadi.
Pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan dana BOS yaitu dengan penerapan
Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Undang-undang No.20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang benar dan sesuai dengan
ketentuan yang ada di dalamnya serta penjatuhan sanksi yang tegas terhadap setiap orang
yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tersebut dan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana diatur dalam Undang - Undang Dasar 1945
BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang No. 40 Tahun 2009. UndangUndang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas.
Adapun saran dari penulis kepada pemerintah selaku penanggungjawab, Tim pengawasan
dan Tim monitoring mulai dari tingkat pusat hingga Kabupaten/Kota diharapkan untuk lebih
meningkatkan peran dan fungsinya dan tanggungjawabnya dalam pengawasan dana evaluasi
penggunaan dana BOS. Kepada pengelola dana BOS dalam hal ini Kepala Sekolah dan
bendahara sekolah untuk lebih meningkatkan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan
dalam mengelola dana BOS, harus kuat iman dalam dalam hal ini amanah, fatonah, dan
istiqomah semoga ALLAH SWT. Tuhan yang Maha Esa senantiasa mengingatkan kita untuk
berperilaku jujur dan adil. Lebih ditingkatkan kerjasama dan selalu kompak antara komite
sekolah dan wali murid sehingga pengelolaan dana BOS sesuai dengan juklak dan juknis nya.
Kata Kunci : pertanggungjawaban. Penyalahgunaan dana Bantuan Operasional SekolahANDHES TAN SATRISNA 07420110362015-04-29T08:56:39Z2015-04-29T08:56:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9391This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93912015-04-29T08:56:39ZPELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DI
TINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing
Lampung Barat)Abstrak
Perkawinan merupakan jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah
tangga yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Pada
umumnya dilakukan oleh orang dewasa, batas usia yang paling ideal melangsungkan
perkawinan menurut Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional “ 25 (dua puluh
lima) tahun bagi pria dan 20 (dua puluh) tahun bagi wanita karena dianggap sudah
dewasa secara fisik juga mental” Berdasarkan tinjauan penulis pada tempat penelitian
(Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat)
mayoritas penduduk pada wilayah ini 94% merupakan penganut Agama Islam hanya 6%
merupakan penganut non Islam yang merupakan penduduk pendatang. Sehingga
perkawinan usia muda yang di laksanakan secara adat jika di tinjau dari hukum Islam
sangat menarik untuk dikaji. Penelitian ini membahas tentang pokok permasalahan
yaitu: “Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan usia muda secara adat ditinjau dari
hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing
Lampung Barat?”,dan “Bagaimanakah akibat hukum perkawinan usia muda
secara adat ditinjau dari hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan
Bengkunat Belimbing Lampung Barat?”. Tujuan penelitian ini adalah Untuk
memahami pelaksaana pekawinan di usia muda secara adat di jika di lihat dari
hukum Islam di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bangkunat Belimbing
Kabupaten Lampung Barat, dan Untuk memahami akibat hukum dari perkawinan
usia muda berdasarkan ketentuan hukum Islam (sah atau tidak sah).
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif terapan
dengan pendekatan yang digunakan yaitu normatif terapan dengan pengumpulan
data melalui studi pustaka, studi dokumen, studi lapangan melalui teknik
wawancara dan data yang di gunakan yaitu data primer dan data-data sekunder.
Data yang terkumpul kemudian diolah melalui tahapan seleksi data, klasifikasi
Zainal Abidin
data, dan sistematika data. Setelah diolah, data tersebut kemudian dianalisis secara
kualitatif, yaitu data di uraikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang jelas agar
dapat di ambil suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pelaksanaan perkawinan yang di
lakukan secara adat saibatin di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat
Belimbing Kabupaten Lampung Barat, jika dilihat dari hukum Islam adalah sah
karena telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, meskipun dalam
pelaksanaannya secara adat terkesaan rumit. Akibat hukum dari adanya
perkawinan secara adat dalam hukum adat perkawinan yang mengenal sistem
pembayaran jujur, maka yang di pertahankan yaitu garis keturunan kebapakaan
(laki-laki) dimana istri setelah perkawinan masuk dalam kerabat suami, maka hak
dan kewajiban suami dan istri berbeda, hak dan kedudukan istri lebih rendah
daripada hak dan kedudukan suami. Istri harus tunduk dan patuh terhadap suami
dan kerabatnya, segala sesuatunya di selesaikan dengan cara musyawarah
keluarga/kerabatnya. Namun seiring perkembangan zaman hukum adat yang
berlaku lebih konsekuen mengikuti hukum nasional yaitu hukum Islam sehingga
hak dan kewajiban suami istri menjadi seimbang dan diatur dalam prundangundangan..
Kata Kunci: Perkawinan, Adat dan Akibat HukumZainal Abidin 07120113682015-04-29T08:56:30Z2015-04-29T08:56:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9380This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93802015-04-29T08:56:30ZANALISIS PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP
ANGGOTA POLISI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANAAbstrak
Tindak pidana yang dilakukan oleh setiap anggota Polri akan diproses sesuai dengan
ketentuan hukum pidana yang berlaku, yaitu diproses dan diajukan di peradilan
umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (4) TAP
MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: "Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum". Proses dan
pelaksanaan penyidikan terhadap anggota Polisi yang melakukan tindak pidana selain
diatur dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang lebih menegaskan lagi tentang semua anggota
Kepolisian yang tunduk pada ketentuan perundan-undangan yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Berdasarkan hal tersebut penulis mengajukan
permasalahan sebagai berikut: (a) Bagaimanakah pelaksanaan penyidikan terhadap
anggota polisi yang melakukan tindak pidana, dan (b) Apakah faktor yang
menghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anaggota polisi yang melakukan
tindak pidana.
Pendekatan masalah dalam melakukan penelitian menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data-data dalam pembahasan skripsi ini
diperoleh melalui dua sumber data, yaitu pertama data primer yang diperoleh
langsung dari hasil penelitian lapangan. Kedua data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari studi kepustakaan dengan menelaah, mengutip, mencatat serta
menganalisis buku-buku, literatur dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan
Indra Rachmatullah
metode purposive sampling, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas
pertimbangan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan serta sesuai ciri-ciri tertentu
pada masing-masing responden yang dipandang mempunyai hubungan yang erat
dengan ciri-ciri populasi
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan mengenai pelaksanaan
penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana, didapat
kesimpulan sebagai berikut: 1) Penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan
tindak pidana, dilakukan oleh penyidik yang diberi tugas dan wewenang khusus,
dalam hal ini penyidik Reserse. Selain itu anggota polisi tersebut juga diperiksa oleh
Penyidik Provost dibawah perintah Kepala Unit Pelayanan Pengaduan dan Penegakan
Disiplin ( P3D ) sebagai pejabat penyidik yang diberi wewenang khusus untuk
menjatuhkan tindakan disiplin atau hukuman disiplin, dan 2) Faktor penghambat
penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana terdiri dari: (a)
faktor hukum atau undang-undangnya, yaitu tidak ada ketentuan yang jelas yang
mengatur mengenai penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan tindak
pidana, b) faktor penegak hukumnya, yaitu kurang berkoordinasi dalam pelaksanaan
penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana dan (c) Faktor
yang bersifat administratif penyidikan, berupa pemanggilan tersangka yang
memerlukan waktu, karena masih aktif berdinas, prosedur-prosedur yang harus
diikuti di lingkungan dinas kepolisian, dan tersangka menderita sakit ketika akan
diperiksa.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai penutup diajukan saran, bahwa perlu
ditingkatkan koordinasi antara Penyidik Reserse Kriminal dan Penyidik Provost
dalam menyidik anggota polisi yang melakukan tindak pidana.Indra Rachmatullah 06420112212015-04-29T08:56:23Z2015-04-29T08:56:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9390This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93902015-04-29T08:56:23ZDESKRIPSI PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI INTERNET
MENGGUNAKAN PIHAK KETIGA (REKENING BERSAMA)
STUDI PADA LAMAN JUAL BELI ONLINE WWW.KASKUS.CO.IDAbstrak
Perjanjian jual beli melalui internet menggunakan pihak ketiga merupakan
perjanjian tidak bernama yang diatur di luar KUHPerdata, tetapi dibuat karena
kebutuhan masyarakat berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Pihak penjual
sebagai penyedia barang,pihak pembeli sebagai pihak yang membutuhkan barang
sedangkan pihak. Rekening Bersama sebagai pihak perantara antara pihak
pembeli dan penjual untuk membantu keamanan dalam jual beli melalui internet.
Di dalam pelaksanaan perjanjian jual beli melalui internet sering kali terjadi
penipuan sehingga dibutuhkan pihak untuk membantu keamanan dan kelancaran
dalam jual beli melalui internet. Di dalam pelaksanaan perjanjian terkadang terjadi
kendala dan masalah dalam pemenuhan hak dan kewajiban pihak-pihak seperti
barang rusak atau keterlambatan pengiriman barang yang dilakukan pihak penjual
kepada pihak pembeli. Peristiwa ini menimbulkan kerugian sehingga adanya
pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kerusakan barang dan
keterlambatan pengiriman barang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pelaksanaan perjanjian jual beli melalui internet menggunakan
pihak ketiga (Rekening bersama) studi pada laman jual beli online
www.kaskus.co.id ? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan
prosedur perjanjian, pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak, serta cara
penyelesaian masalah bila terjadi wanprestasi.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, dengan
tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif
terapan. Data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi pustaka, dokumen, dan wawancara. Pengolahan data
dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, rekronstruksi data, dan
sistematisasi data.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa ketika pihak penjual dan
pembeli ingin mengadakan perjanjian jual beli melalui internet menggunakan
Sinatrio Adhi Prabowo
pihak ketiga, maka pihak pembeli dan penjual harus memenuhi syarat dan
prosedur yang ditentukan oleh pihak Rekening Bersama. Sebelum memenuhi
syarat khusus tersebut, pihak penjual dan pihak pembeli harus memenuhi syarat
yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Karena jual beli secara online tersebut
menggunakan saranan media elektronik, maka UU ITE No.11 th.2008 berlaku,
sehingga pengaturan dalam transaksi jual beli tersebut menjadi lebih kompleks.
Prosedur dilakukan dengan tahapan yaitu tahap perjanjian antara pihak penjual
dan pembeli, tahap pengajuan menggunakan pihak ketiga, tahap konfirmasi dari
pihak Rekening Bersama. Hak dan kewajiban pihak-pihak dilakukan dengan
seimbang dan sesuai isi perjanjian kerjasama. Pihak pembeli mengirimkan
sejumlah dana kepada pihak ketiga, pihak ketiga mengkonfirmasi kepada pihak
penjual, pihak penjual mengrimkan barang kepada pembeli , pembeli
mengkonfirmasi kepada pihak ketiga kemudian pihak ketiga mengirimkan dana
kepada pihak pembeli. Dalam pasal 17 UU ITE menerangkan bahwa para pihak
memiliki kewenangan untuk menentukan hukum yang berlaku, dan bilamana para
pihak tidak melakukan pilihan hukum maka hukum yang berlaku kembali kepada
hukum perdata. Tanggung jawab terhadap kerusakan dan keterlambatan
pengiriman barang akibat kelalaian atau kesalahan ditanggung oleh pihak penjual
selaku penyedia barang, sedangkan tanggung jawab jika terjadi keadaan memaksa
(force majeur) hal itu akan ditanggung setelah diadakan perundingan oleh semua
pihak.
Kata Kunci: Perjanjian , Pihak Ketiga, Tanggung Jawab, Wanprestasi,Sinatrio Adhi Prabowo 07120113322015-04-29T08:56:10Z2015-04-29T08:56:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9388This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93882015-04-29T08:56:10ZDESKRIPSI PERJANJIAN PENGADAAN OBAT-OBATAN ANTARA
APOTIK PRAMITHA DENGAN PT ENSEVAL PUTERA
MEGATRADING CABANG LAMPUNGAbstrak
Perjanjian kerjasama antara PT Enseval Putera Megatrading dan Apotik Pramita
dalam pengadaan barang merupakan perjanjian tidak bernama yang diatur diluar
KUHPerdata, tetapi dibuat karena kebutuhan masyarakat berdasarkan Pasal 1338
KUHPerdata. PT Enseval Putera Megatrading sebagai perusahaan distributor
obat-obatan sedangkan Apotik Pramita sebagai supplier yang bergerak dalam
usaha farmasi dengan bidang berbasis obat-obatan, dalam pelaksanaannya
perjanjian kerjasama terkadang terjadi kendala dan masalah dalam pemenuhan
hak dan kewajiban pihak-pihak seperti barang rusak atau keterlambatan
pengiriman barang yang dilakukan pemasok kepada konsumen. Peristiwa ini
menimbulkan kerugian sehingga adanya pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap kerusakan barang dan keterlambatan pengiriman barang. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kerjasama
antara PT Enseval Putera Megatrading dengan Apotik Pramita? Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui syarat dan prosedur perjanjian kerjasama,
pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak, serta tanggung jawab PT Enseval
Putera Megatrading dalam kerusakan dan keterlambatan pengiriman barang
kepada Apotik Pramita
Jenis penelitian adalah jenis penelitian normatif terapan, dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah adalah normatif terapan. Data yang digunakan
adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
pustaka, dokumen, dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara
pemeriksaan data, penandaan data, rekronstruksi data, dan sistematisasi data.
Rozi Zulkifli
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa ketika Apotik Pramita ingin
mengadakan perjanjian kerjasama dengan PT Enseval Putera Megatrading, maka
Apotik Pramita harus memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan oleh PT
Enseval Putera Megatrading. Sebelum memenuhi syarat khusus tersebut, Apotik
Pramita harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Prosedur dilakukan dengan tahapan yaitu tahap pengajuan
permohonan penawaran, tahap evaluasi harga penawaran obat-obatan, tahap
Pengiriman obat. Hak dan kewajiban pihak-pihak dilakukan dengan seimbang dan
sesuai isi perjanjian kerjasama.Tanggung jawab terhadap konsumen dalam
kerusakan dan keterlambatan pengiriman barang akibat kelalaian/kesalahan
ditanggung oleh PT Enseval Putera Megatrading, sedangkan tanggung jawab jika
terjadi keadaan memaksa (force majeur) hal itu akan ditanggung setelah diadakan
perundingan oleh kedua belah pihak.
Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama, Tanggung Jawab, Keadaan MemaksaROZI ZULKIFLI 07120113212015-04-29T08:56:04Z2015-04-29T08:56:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9386This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93862015-04-29T08:56:04ZPELAKSANAAN PENGANGKATANPENYIDIK PEGAWAI
NEGERI SIPIL PEMERINTAH KOTA
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Keberadaan aparat penegak hukum selaku penyidik di luar penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia (POLRI) antara lain diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang menyatakan: "Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara
Republik Indonesia; b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang. Permasalahan Penelitian adalah
Bagaimana pelaksanaan pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
pada Pemerintah Kota Bandar Lampung? dan apa saja faktor-faktor yang menjadi
penghambat pelaksanaan pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
pada Pemerintah Kota Bandar Lampung?.
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian yang bersifat sosial adalah
analisis secara deskriptif kualitatif. Pengertian deskriptif kualitatif adalah tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian pada penyidik pegawai negeri sipil
(PPNS) di lingkungan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dapat
disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) pada Pemerintah Kota Bandar Lampung dilakukan sebagai berikut,
yaitu pengusulan pengangkatan dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil
dilakukan oleh Menteri yang membawahi Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan, dalam hal ini Menteri dapat menunjuk dan memberi kuasa kepada
Sekretaris Jenderal untuk pelaksanaanya. Faktor-faktor yang Menjadi Penghambat
Pelaksanaan Pengangkatan PPNS pada Pemerintah Kota Bandar Lampung adalah
terbatasnya jumlah personil PPNS di lingkungan Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Bandar Lampung yang mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan syarat-syarat
untuk dijadikan seorang PPNS, terbatasnya kualitas PPNS dari sisi sumber daya
manusia, karena tidak adanya dukungan secara institusional struktural.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran antara lain:
Sebaiknya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Bandar Lampung perlu ada peningkatan komitmen dari
petugas PPNS terkait dengan upaya peningkatan kualitas tidak hanya dalam
profesionalitas tetapi juga pelayanan kepada masyarakat.
ABSTRACT
Abstract
The presence of law enforcement officers as investigators outside investigator
Indonesian National Police (INP), among others set forth in Article 6 Paragraph
(1) of Law No. 8 of 1981 on the Code of Criminal Procedure Code (Criminal
Code) which states: "Investigators are: a. officials of the Republic of Indonesia
Police, b. official civil servant who was given special authority by the Act. Issues
Research is How the implementation appointment Civil Servant (investigators) in
the City of Bandar Lampung?, and what factors which is the bottleneck of the
implementation of the removal of the Civil Servant (investigators) in the City of
Bandar Lampung?.
Analysis of the data used in the study of a social nature is qualitative descriptive
analysis. Definition of descriptive qualitative research procedures which produce
descriptive data that is what is stated by the respondent in writing or orally and
real behavior.
Based on the discussion of the results of research on civil investigators
(investigators) in the Civil Service Police Unit of Bandar Lampung can be
concluded that the implementation of the removal of the Civil Servant
(investigators) in the City of Bandar Lampung is done as follows, which is
proposing the appointment and dismissal of employees Investigators conducted by
the Ministry of Civil Affairs in charge of the Civil Service is concerned, in this
case the Minister may appoint and authorize the Secretary-General for the
implementation. Factors that hampered implementation of investigators at the
Government Appointment of Bandar Lampung is the limited number of personnel
investigators in the Civil Service Police Unit of Bandar Lampung qualified in
accordance with the terms to be used as an investigators, investigators from the
lack of quality human resources , in the absence of institutional support structure.
Based on the above conclusion, it can be given some suggestions include: Should
Civil Servant (investigators) in the Civil Service Police Unit of Bandar Lampung
there needs to be an increase in the commitment of the staff investigators
associated with efforts to improve not only the quality but also professional
service to society
Adhi Sofian 07120110022015-04-29T08:55:48Z2015-04-29T08:55:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9381This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93812015-04-29T08:55:48ZKAJIAN TEORITIK ARGUMENTASI HUKUM PEMBATASAN
PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PROSES
PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA TERKAIT
PERLINDUNGAN HAK TERDAKWAAbstrak
Setiap usaha untuk memperbaharui hukum termasuk pembaharuan hukum acara
pidana di dalam KUHAP, bukanlah semata-mata kegiatan untuk memperbaiki
hukum yang ada, tetapi justru mengganti hukum tersebut dengan yang lebih baik.
Diantara hal ini harus perlu dilakukan perubahan, misalnya tentang alat bukti
petunjuk sebagaimana diketahui bahwa KUHAP tidak memberikan batasan yang
jelas mengenai pengertian alat bukti petunjuk. Di dalam penjelasan KUHAP
dikatakan alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan
terdakwa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah argumentasi
hukum pembatasan penggunaan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan perkara
pidana di persidangan terkait perlindungan Hak terdakwa? Dan Apakah urgensi
pembaharuan konsep pengaturan alat bukti petunjuk dalam KUHAP?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, data
yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka,
dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data,
penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah
kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan
untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh hasil bahwa alat bukti petunjuk
mempunyai hubungan argumentatif dengan hak asasi manusia terdakwa dan
bersifat berbanding terbalik, ketika alat bukti petunjuk dilebarkan akan
menyebabkan hak terdakwa dilanggar dan apabila alat bukti petunjuk dipersempit
akan menimbulkan perluasan hak asasi terdakwa dan mengakibatkan putusan
majelis hakim yang mengguntungkan terdakwa dan suatu keadilan tidak tercapai.
Namun ketika alat bukti petunjuk diperluas akan mengakibatkan dipersempitnya
hak asasi terdakwa. Sehingga adanya keseimbangan dalam penggunaan alat bukti
petunjuk dengan pelaksaan hak terdakwa. Serta Alat bukti pengamatan hakim
Naradea Pranusa
dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum
melalui penafsiran dan penemuan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum
lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang konkrit. Hakim tidak dipandang lagi sebagai corong undang -undang,
hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya
hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undang-undang.
Sebaiknya penggunaan alat bukti petunjuk dibatasi penggunaannya apabila dalam
persidangan hakim sudah mempunyai cukup alat bukti. Hal ini disebabkan karena
akan membuat pelebaran–pelebaran hak asasi manusia terdakwa, namuan apabila
hakim kekurangan dan hanya mendapat satu alat buktiNaradea Pranusa 06420112832015-04-29T08:55:17Z2015-04-29T08:55:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9464This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94642015-04-29T08:55:17ZPELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN SEMESTA DI
PROVINSI LAMPUNGAbstrak
Jaminan Kesehatan Semesta Provinsi Lampung adalah jaminan kesehatan yang
diberikan kepada seluruh masyarakat lampung yang belum memiliki jaminan
kesehatan seperti asuransi pribadi (mandiri), Askes, Jamsostek, Asabri,
Askeskin/Jamkesmas,atau jaminan kesehatan lainnya. Jamkesta dilaksanakan
berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Kesehatan Provinsi Lampung
dengan PT.AKSES (persero) Divisi Regional III Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan Semesta (JAMKESTA) Provinsi Lampung Tahun
2012 No.90/0842/III.03.2/PKS/II/2012; No.21/KTR/Reg.III/2012. Sedangkan
tentang pedoman pelaksanaan diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung
No.1.a Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan Jaminan Kesehatan Semesta
(JAMKESTA)Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Semesta di Provinsi Lampung. faktor apa sajakah
dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan di Provinsi Lampung.
Untuk membahas permasalahan penelitian ini, maka digunakan pendekatan
yuridis empiris. yang berhubungan dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Semesta di kantor Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan RSUD H.Abdoel
Moeloek.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Program Jamkesta ini bertujuan
mewujudkan portabilitas pelayanan sehingga pelayanan rujukan tertinggi yang
disediakan Jamkesta dapat diakses oleh seluruh peserta dari berbagai wilayah.
Selain itu, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin dan seluruh masyarakat
Lampung. Iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu masyarakat Lampung yang
belum mempunyai jaminan kesehatan dalam Program Jaminan Kesehatan Semesta
bersumber dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD). Pada hakikatnya
pelayanan kesehatan terhadap peserta menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama
oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga
menghasilkan pelayanan yang optimal. Faktor penghambat dalam program Pelaksanaan
Jamkesta yakni masih kurangnya koordinasi antara tim Jamkesta dari Tingkat
Kabupaten/Kota sampai Tingkat Provinsi. Dan pelaksanaan dari program Jamkesta baru
INDRA ZULFIKAR
tahap sosialisasi ke masyarakat di Provinsi Lampung. Dan baru bebarapa kabupaten saja
yang sudah bisa menikmati program Jamkesta itu. Selain itu, dari segi pelayanan masih
perlu dibenahi dalam persediaan obat-obatan yang dibutuhkan serta perawatan yang
semaksimal mungkin.
Saran, diharapkan dari program Pelaksanaan Jamkesta kedepannya mengenai segala
kekurangan dapat segera dibenahi serta tepat sasaran dengan mengacu pada prosedural
yang telah ditetapkan sehingga masyarakat pengguna Jamkesta dapat mendapatkan
pelayanan yang optimal.
kata kunci : Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Semesta
Abstract
Guarantee Health of Semesta Provinsi Lampung is health guarantee which is
passed to by entire/all society Lampung which not yet owned the health guarantee
of like personal insurance ( self-supporting), Askes, Jamsostek, Asabri, Askeskin /
other jamkesmas,or health guarantee. Is but urged by for society capable to to can
to guarantee its health with the self-supporting health insurance. Jamkesta by self
pursuant to Cooperation agreement of between Public Health Service of Provinsi
Lampung by PT.ASKES (persero) of Division of Regional III of About
Management Program The Guarantee of Health Semesta (JAMKESTA) Provinsi
Lampung the Year 2012 No.90/0482/III.03.2/Pks/II2012;No21/Ktr/Reg.III/0212.
While about execution guidance arranged by pursuant to Governor Regulation
Lampung the No.1.A Year 2012 about guidance of execution of Guarantee of
Health Semesta ( JAMKESTA).
Problem of this research is What Will Be Execution of Guarantee of Health
Semesta in Provinsi Lampung. And what factor in execution of Health Guarantee
in Provinsi Lampung.
To study the this research problems, is hence used by empirical approach yuridis.
which deal with execution of Guarantee of Health Semesta In office of Public
Health Service of Provinsi Lampung and RSUD H.Abdoel Moeloek.
Pursuant to its execution research result is Jamkesta which have been run by
commencing from 1 januari 2012 in Provinsi Lampung carried out by pursuant to
social insurance concept. Program this Jamkesta aim to realize the service
portability so that highest reference service provided by Jamkesta can be accessed
by entire/all competitor from various region. Others, so that happened by the
crossed subsidy in order to realizing health service which totally for impecunious
society and entire/all society Float the. Fee for impecunious society and society
unable to Float which not yet had the health guarantee in Program of Guarantee of
Health Semesta stem from Budget of Expenditure and Area Expense (APBD),
intrinsically health service to competitor become the responsibility and executed
with by Government Provinsi, Regency / town is obliged to give the contribution
so that yield the optimal service. Resistor factor in program of its Execution
Jamkesta minim still coordinate between team Jamkesta from Regency
Storey;Level / town Mount the Provinsi.and told also execution from newINDRA ZULFIKAR 08420110232015-04-29T08:52:45Z2015-04-29T08:52:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9406This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94062015-04-29T08:52:45ZANALISIS PEMBUKTIAN UNSUR DENGAN KEKERASAN ATAU
ANCAMAN KEKERASAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Menggala
Nomor 92/Pid.B/2008/PN.Mgl)Abstrak
Di Indonesia tindak pidana perkosaan kerap terjadi pada kaum wanita, tindak pidana
perkosaan dapat menimpa semua wanita tanpa terkecuali, perkosaan dapat terjadi
pada anak di bawah umur sampai wanita yang berusia lanjut. Tindak pidana
perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya tetapi juga sulit dalam hal
pembuktiannya. Sulitnya pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menyertai persetubuhan terjadi karena kurangnya atau lemahnya alat
bukti. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pembuktian unsur
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan sesuai
putusan Pengadilan Negeri Menggala No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl, dan apakah yang
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana perkosaan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis
empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer yang diperoleh dari studi
lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis secara kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 2 (dua)
orang hakim pada Pengadlian Negeri Menggala, 2 (dua) orang jaksa pada Kejaksaan
Negeri Menggala dan 1 (satu) orang dosen pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Hasil penelitian menyatakan bahwa pembuktian unsur dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan terhadap terdakwa Joni Putra bin
Mat Sayuti dalam putusan Pengadilan Negeri Mengala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl
Nori Dewangga
berdasarkan unsur-unsur Pasal 285 KUHP (dakwaan primair) yaitu dengan adanya
keterangan saksi dalam hal ini saksi korban bahwa dalam melakukan perkosaan
terdakwa sempat mengancam dengan mengatakan “awas kamu jangan melawan” dan
menggunakan kekerasan yaitu dengan menampar pipi sebelah kiri saksi korban
sebanyak 2 (dua) kali dan terdakwa membenarkannya, sulitnya pembuktian unsur
tersebut karena di dalam hasil visum tidak ditemukan adanya bekas kekerasan di
tubuh saksi korban, hal ini terjadi karena korban baru melakukan visum setelah 8
(delapan) hari setelah kejadian perkosaan. Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan pada surat putusan
hakim pada Pegadilan Menggala No .92/Pid.B/2008/PN.Mgl yaitu adanya tuntutan
dan dakwaan jaksa, keterangan saksi, dan alat bukti yang telah dihadirkan dalam
persidangan, selain itu juga karena adanya keadaan yang meringankan dan
memberatkan terdakwa, motif dilakukanya tindak pidana, sikap dan tindakan
terdakwa setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan terhadap korban,
dan pengaruh pidana yang dijatuhkan kepada pelaku.
Setelah mempelajari surat putusan hakim pada Pengadilan Negeri Menggala
no.92/Pid.B/2008/PN.Mgl, penulis menyarankan agar pihak penyidik dalam
menangani kasus pidana perkosaan hendaknya lebih cermat dalam mencari buktibukti atas peristiwa tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga pelaku tindak pidana perkosaaan dapat
dipidana sesuai dengan 285 KUHP tentang Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap
Kesusilaan, dan hakim tidak boleh mengesampingkan hal-hal yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa pelaku tindak
pidana perkosaan, agar terdakwa dapat dijatuhi sanksi pidana yang lebih maksimal
dari pidana yang dikenakan kepadanya. Hal ini dilakukan untuk menjamin keadilan
dan kepastian hukum bagi masyarakat yang bertujuan agar memberikan kepercayaan
kepada masyarakat bahwa semua orang dimata hukum itu sama, sehingga keadilan
dalam penerapan hukum di Indonesia dapat pulih kembaliNori Dewangga 07420112492015-04-29T08:52:15Z2015-04-29T08:52:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9423This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94232015-04-29T08:52:15ZANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan No. 1741/PID/B/2009/PN. TK Joncto Putusan No.
60/PID/2010/PT. TK)Abstrak
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia adalah
tindak pidana korupsi. Korupsi terjadi baik di tingkat pemerintah pusat, maupun
di tingkat pemerintah daerah. Korupsi di tingkat pemerintahan daerah, salah satu
di pemerintahan Kabupaten Lampung Tengah, yaitu dengan terdakwa Herman
Hasboellah bin Hasboellah dalam perkara tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Berdasarkan Putusan No.
60/PID/2010/PT. TK, terdakwa dijatuhkan pidana selama 2 (dua) tahun penjara
dan denda Rp 300.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Berdasarkan hal ini,
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai
berikut: a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana
korupsi dalam Putusan No. 1741/PID/B/2009/PN. TK Joncto Putusan No.
60/PID/2010/PT. TK? b) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 1741/PID/B/2009/PN.
TK Joncto Putusan No. 60/PID/2010/PT. TK?
Penulisan skripsi ini mengunakan metode pendekatan normatif. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan.
Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkahlangkah, yaitu editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis
secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: a) Pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 1741/PID/B/2009/PN.
TK Joncto Putusan No. 60/PID/2010/PT. TK. didasari oleh kesalahan yang
diperbuat oleh terdakwa. Terdakwa Herman Hasboellah telah terbukti bersalah,
Immanuel C. M. L. Tobing
oleh sebab itu terdakwa harus bertanggung jawab sesuai dengan
pertanggungjawaban dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b) Dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 60/PID/2010/PT. TK.
adalah semua unsur Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 yang dituduhkan kepada
terdakwa telah terpenuhi. Terdakwa pada tingkat banding berdasarkan Putusan
No. 60/PID/2010/PT. TK, terdakwa dijatuhkan pidana lebih ringan yaitu selama 2
(dua) tahun penjara dan denda Rp 300.000.000,00. Pertimbangan hakim pada
tingkat banding menjatuhkan pidana lebih ringan didasarkan beberapa hal, yaitu
terdakwa dalam perkara korupsi ini hanyalah pihak yang mengikuti perintah
atasan, hasil pencarian dana deposito di PT Bank Tripanca Setiadana sebagian
besar digunakan oleh bupati dan keluarganya dan dikaji dari aspek kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah selaku kepala pemerintahan adalah
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, meskipun kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelolaan
keuangan daerah tanggung jawab utama tetap berada pada bupati sebagai kepala
daerah.
Adapun saran yang diajukan peneliti, yaitu sebaiknya hakim dalam memeriksa
kasus tindak pidana korupsi lebih cermat lagi dalam membagi pelaku tindak
pidana korupsi sesuai dengan peran masing-masing pelaku dan hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi tetap memperhatikan
peran, bobot tanggung jawab dan tingkat kesalahan pelaku maupun asas
persamaan di depan hukum.
Kata kunci: korupsi, tindak pidana dan terdakwaImmanuel C. M. L. Tobing 08120111872015-04-29T08:51:50Z2015-04-29T08:51:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9415This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94152015-04-29T08:51:50ZPERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN DAN
PENCABUTAN SURAT WASIAT ( TESTAMENT )Abstrak
Surat wasiat adalah akta yang berisi permintaan terakhir dari si pembuat wasiat
agar kehendaknya dilaksanakan setelah ia meninggal dunia. Pada dasarnya surat
wasiat dibuat karena si pembuat wasiat mempunyai maksud terhadap harta
kekayaannya, disebabkan pembagian warisan menurut undang-undang
bertentangan dengan kehendak dari si pembuat wasiat, namun kadang kala ketika
wasiat telah dibuat dan menjadi otentik, ada sesuatu hal yang menyebabkan si
pembuat wasiat bisa saja berpikir ulang sehingga mencabut wasiat tersebut.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat suatu akta
otentik, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris, dengan
demikian maka kewenangan untuk membuat dan mencabut suatu wasiat yang
otentik berada di tangan notaris. Berkaitan dengan hal ini, yang menjadi pokok
bahasan dalam penelitian ini adalah pertama, Syarat dan prosedur pembuatan dan
pencabutan surat wasiat, kedua, Peranan notaris dalam pembuatan dan
pencabutan surat wasiat, ketiga, Akibat hukum dari pembuatan dan pencabutan
surat wasiat.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian normatif terapan, dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah adalah normatif. Data yang digunakan adalah data
primer melalui wawancara kepada notaris dan data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Pengolahan data
dilakukan dengan cara inventaris data, seleksi data, klarifikasi data, serta
penyusunan data.
Vicky Tamara
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa ketika seseorang ingin
membuat suatu surat wasiat yang otentik maka diperlukan seorang notaris yang
berperan untuk memberikan kepastian hukum terhadap suatu perbuatan yang
diinginkan, dan dalam memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam
akta otentik sesuai dengan tugasnya, maka seorang notaris harus memperhatikan
syarat dan aturan hukum yang berlaku. Dimana pembuat wasiat tersebut harus
cakap menurut hukum, dan dalam proses pembuatan surat wasiat tersebut harus
dihadiri oleh saksi saksi yang dikenal oleh notaris dan pembuat wasiat
menyatakan kehendaknya tersebut secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, dalam proses pencabutan wasiat prosedur yang harus dilaksanakan
adalah pengiriman surat ke DPW (Daftar Pusat Wasiat), pembuatan akta notaris
khusus dan pendaftaran kembali ke DPW. Peran notaris dalam pembuatan serta
pencabutan adalah mengotentikkan akta wasiat tersebut sehingga menguatkan
keinginan para pihak, selain itu seorang notaris juga berperan untuk memberikan
nasihat kepada pembuat wasiat tersebut. Akibat hukum dari pembuatan wasiat
adalah beralihnya harta kekayaan kepada ahli waris ketika si pembuat wasiat
meninggal dunia, dan akibat hukum pencabutan wasiat adalah surat wasiat
tersebut batal demi hukum.
Kata Kunci: Surat wasiat (testament), Notaris, PeranVICKY TAMARA 08120110812015-04-29T08:51:34Z2015-04-29T08:51:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9411This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94112015-04-29T08:51:34ZANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG
TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH
ANAK
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.)Abstrak
Indonesia Sebagai suatu Negara Merdeka yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sangat Menentang adanya Tindak Pidana Khususnya
Tindak Pidana Pencurian, Siapapun Pelakunya harus ditindak sesuai dengan
hukum yang berlaku sekalipun tindak Pidana Pencurian itu dilakukan oleh anak.
Kejahatan anak semakin dirasakan sebagai masalah yang cukup serius ditengahtengah masyarakat. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya kuantitas dan
kualitas kejahatan yang dilakukan oleh anak, misalnya pencurian, pembunuhan,
perkosaan, penganiyayaan dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak dan Apakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang
dalam menjatuhkan pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dalam perkara
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan
yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan
mempelajari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penelitian ini. Pendekatan seperti ini digunakan untuk menemukan sumber
data yang bersifat teori yang digunakan untuk memecahkan masalah di dalam
penelitian melalui studi kepustakaan yang meliputi berbagai macam literatur,
peraturan perundang-undangan, serta dokumen resmi yang berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/ PN.T.K. Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris
dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dengan mengadakan
penelitian lapangan berupa wawancara dengan para responden. Pendekatan ini
bertujuan memperoleh data konkrit mengenai masalah yang akan diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak Pidana pencurian yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K. dikenakan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 7 (tujuh) bulan, hakim menyatakan
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
ANDRIE SAPUTRA
pidana pencurian. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan
Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak
Pidana pencurian yang dilakukan oleh anak sebagaimana yang dimaksud dalam
putusan hakim dalam perkara nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K. yaitu hakim
mempertimbangkan unsur delik pada Pasal 363, karena pelakunya adalah anak
dibawah umur maka anak tetap harus dipidana, akan tetapi hukuman yang harus
diberikan kepada anak ½ dari masa tahanan orang dewasa, dan selama anak
menjalani masa tahanannya anak dibimbing dan dibina sesuai aturan yang
berlaku, dan apabila dalam kasus anak ini anak tidak dikenakan sangsi berupa
pidana penjara maka masyarakat akan geram dengan kasus-kasus lainnya yang
pelakunya anak, Hakim mempertimbangkan hal yang tidak akan memicu
perbuatan main hakim sendiri dengan cara anak dipidana dengan Hukum yang
berlaku akan tetapi hukumannya diringankan.
Saran dalam penelitian ini adalah mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana pencurian yang pelakunya anak, hakim sebaiknya lebih
mengarahkan kepada program diversi atau restorative justice terhadap kasus
serupa. Pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku
harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa
yang akan datang. Penanganan yang salah dapat menyebabkan rusak bahkan
musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa.ANDRIE SAPUTRA 08120110072015-04-29T08:50:43Z2015-04-29T08:50:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9409This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94092015-04-29T08:50:43ZANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAN PENAHANAN OLEH
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM
TINDAK PIDANA PENGANIAYAANAbstrak
Penahanan pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi
Manusia karena ditahannya seseorang sudah tentu mengurangi kemerdekaan atau
kebebasan diri seorang tersebut. Namun perlu disadari bahwa penahanan terhadap
seseorang perlu dilakukan karena orang tesebut telah merusak keseimbangan,
ketertiban dalam masyarakat. Penahanan yang dilakukan terhadap seseorang yang
diduga telah melakukan suatu tindak pidana dengan disengaja maupun tidak
sengaja, maka orang tersebut layak untuk ditahan oleh pihak yang berwenang dan
penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk melakukan penahanan
terhadap seorang tersangka harus berdasarkan pada bukti yang cukup. Hal ini
tercantum dalam Pasal 20 KUHAP. Adapun yang menjadi permasalahan dalam
skripsi ini adalah (a) Bagaimanakah pelaksanaan penahanan dan syarat sahnya
suatu penahanan yang dilakukan oleh POLRI terhadap pelaku tindak pidana
penganiayaan dan (b) Apakah yang menjadi faktor penghambat penyidik POLRI
dalam melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan
pendekatan secara empiris, jenis dan sumber datanya menggunakan data primer
dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan
lapangan, data diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan berbagai
responden seperti anggota POLRI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Setelah data terkumpul diolah dengan cara editing, coding, dan
sistematis setelah data terkumpul valid kemudian dianalisis dengan cara
menyusun kalimat secara sistematis dan menurut klasifikasinya dan akan
diuraikan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Penyidik POLRI dalam
melakukan pelaksanaan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan
harus berdasarkan (a) Adanya laporan korban (b) Adanya keterangan saksi (c)
Adanya barang bukti (d) Adanya petunjuk,
Rizky Septian Saputra
Selain itu dalam melakukan penahanan penyidik POLRI menemukan beberapa
faktor penghambat antara lain (a) Faktor Undang-Undang (b) Faktor Masyarakat
(c) Faktor Penegak Hukum (d) Faktor Kebudayaan.
Penulis memberikan saran agar pihak Kepolisian dapat meningkatkan kinerjanya
terkait masalah penahanan terhadap tersangka pelaku penganiayaan, agar dapat
ditegakannya hukum bagi para tersangka pelaku penganiayaan. Dan masyarakat
dapat mentaati peraturan hukum, sehingga tidak ada lagi masalah penganiayaan.
Karena inti dari adanya penganiayaan adalah niat dan perbuatan dari masyarakat
sehingga dapat terjadinya suatu tindak penganiayaan dari tersangka terhadap
korban yang merupakan anggota dari masyarakat.Rizky Septian Saputra 07420112962015-04-29T08:49:48Z2015-04-29T08:49:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9396This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93962015-04-29T08:49:48ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN IZIN
KEIMIGRASIAN TENTANG IZIN TINGGAL KUNJUNGAN DI
KABUPATEN LAMPUNG SELATANAbstrak
Keimigrasian merupakan salah satu bagian terpenting bagi suatu negara,
mengingat tugas dan tanggung jawab yang dimilikinya sangat menentukan keluar
dan masuknya warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Seluruh
warga negara Indonesia maupun warga negara asing setiap kali keluar dan masuk
wilayah Indonesia pasti berurusan terlebih dahulu dengan bagian Keimigrasian
untuk mendapatkan paspor, izin tinggal kunjungan, visa, izin tinggal terbatas, izin
tinggal dinas, izin tinggal diplomatik dan izin tinggal tetap.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang timbul dalam skripsi ini adalah
bagaimanakah penegakan hukum terhadap penyalahgunaan izin keimigrasian
tentang izin tinggal kunjungan di Kabupaten Lampung Selatan dan apa saja yang
menjadi faktor-faktor terjadinya penyalahgunaan izin keimigrasian tentang izin
tinggal kunjungan di Kabupaten Lampung Selatan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini ialah pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data sekunder ialah data yang
didapat dari studi kepustakaan, yang didukung oleh 3 (tiga) bahan hukum yaitu
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data primer ialah data yang didapat
dari lapangan yang menggunakan teknik wawancara dengan pertanyaan yang
bersifat terbuka dan langsung kepada objek penelitian dalam penulisan skripsi ini.
Abstract
immigration is one of the most important parts thing for a country, given the
dutties and responsibilities which owned immigration was very determine “in and
out” indonesian people or foreign people. Everytime, indonesian people and
foreign people able to “in and out” from indonesia territory must be dealing with
the immigration first to get pasport, stay and visited licence, visa, deadline stay
licence, department stay licence, diplomatic licence, and stay licence. Immigration
law is the part of law system which valid in indonesia, eventhough it is subsystem
from administration country law. As a subsystem law. It’s important as
immigration aspect in regulation life political will get to look at “in and out”
setting “from and to” in indonesia’s territory generally and in particular at south
lampung regency.
This scription research used juridical normative approach which it do with
examine carefully method in secondary list like material law primary and
secondary. Analysis the list and information, it was do by way of qualitative
juridical.
Based on result of research and discussion, in law towards stay and visited
licence abuse able to do with some method like criminalitation, eviction,
prevention, and preventive.
Kind of factors the cause of unauthorized happen immigration licence are the own
law factor, lawyer factor, factor means and facilities to support law enforcement,
community and cultural factors.
In this thing, judge which seldom to valid is deportasion or eviction, because
politician and economi told way that made immigration consider more practice
and eficiently. Except the problem of abuse licence about the spread of drug,
terrorism, and trafickking, therefore by way of general court that should run, so
that arouses scared to foreign people which doing the criminal action in
immigration.
Keywords : Immigration, abuse clearance.MUHAMMAD. IYUL MUTAQIN 07420112392015-04-29T08:49:30Z2015-04-29T08:49:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9395This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93952015-04-29T08:49:30ZANALISIS PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PENGGELAPAN DALAM JABATAN PADA LEMBAGA
PEMBIAYAAN KONSUMEN
(Studi Pada Wilayah Hukum Kota Metro)Abstrak
Realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penegakan hukum tidak efektif
sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam
perspektif efektifitas dalam penegakan hukum. Artinya benarkah hukum yang
tidak efektif atau pelaksana hukumkah sesungguhnya yang tidak menerapkan
hukum dalam arti yang sesungguhnya, Penegakan hukum pidana adalah untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan, kedamaian pergaulan hidup.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah penanggulangan
terhadap tindak pidana penggelapan pada lembaga pembiayaan konsumen. Dan
faktor penghambat dalam penanggulangan tindak pidana penggelapan dalam
jabatan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan
pendekatan masalah secara yuridis normatif serta ditunjang dengan pendekatan
yurudis empiris dengan cara membaca dan mempelajari teori-teori serta konsepkonsep yang ada hubungan nya dengan masalah yang akan dibahas dan
mengumpulkan data dengan cara wawancara. Populasi dalam penulisan skripsi ini
adalah 1 orang Karyawan Lembaga Pembiayaan Konsumen, 2 orang Polisi pada
Polsek Metro Timur, 2 orang Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kota Metro.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penanggulangan terhadap
tindak pidana penggelapan dalam jabatan pada lembaga pembiayaan konsumen
adalah upaya yang bersifat preventif yaitu, upaya yang sifatnya mencegah
sebelum perbuatan atau tindak pidana itu terjadi yang dilakukan secara,
melakukan internal audit and fraud detection, meningkatkan iman karyawan,
penyelesaian secara kekeluargaan, meningkatkan pengawasan terhadap karyawan
sedangkan upaya lain adalah upaya yang bersifat represif yaitu upaya yang sifat
nya menekankan pada proses pidana terhadap karyawan yang melakukan tindak
pidana penggelapan setelah tindak pidana terjadi, sehingga menimbulkan akibat
jera kepada pelaku supaya tidak melakukannya lagi. Faktor-faktor penghambat
dalam penanggulangan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yaitu faktor
peraturan perundang-undangan; KUHP yang berlaku masih merupakan warisan
kolonial Belanda, faktor penegak hukum; kualitas SDM penegak hukum yang
tidak memenuhi mutu standar dalam mengemban tugas sebagai penegak hukum,
faktor sarana dan prasarana; kurangnya sarana dan prasarana mempunyai peran
penting dalam penanggulangan tindak pidana pengggelapan dalam jabatan, dan
faktor kebudayaan; masih adanya budaya pemberian amplop untuk menyelesaikan
suatu perkara pidana.
Adapun saran dari penulis kepada lembaga pembiayaan konsumen yaitu apabila
terjadi suatu tindak pidana penggelapan dalam jabatan diselesaikan secara
kekeluargaan, namun jika tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan perlu
ditindak lanjuti pada proses pidana hal ini untuk menimbulkan efek jera bagi
pelaku. Untuk karyawan lembaga pembiayaan konsumen jika melanggar isi
perjanjian kontrak kerja, mempunyai itikad baik untuk menyelesaikannya.Indra Putra Bangsawan 07420111872015-04-29T08:49:23Z2015-04-29T08:49:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9394This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/93942015-04-29T08:49:23ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK DALAM PERKARA
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN
MENINGGAL
(Studi Perkara Nomor 830/Pid.B(A)/2010/PN.TK)Abstrak
Putusan perkara kecelakaan lalu lintas Nomor 830/Pid.B(A)/2010/PN.TK adalah salah satu dari
sekian banyaknya perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak, khususnya di
wilayah hukum Bandar Lampung. Sehingga perlu ada tindakan tegas baik dari aparat penegak
hukum maupun masyarakat serta pengawasan orang tua. Adapun permasalahan yang dibahas
dalam hal ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam perkara
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas
yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Penentuan
populasi dan sampel adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandarlampung, Hakim Pengadilan
Negeri Tanjungkarang dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil dari wawancara
responden kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan data yang diolah
secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskritif) yang bertitik tolak dari analisis normatif
yang dilengkapi dengan analisis empiris dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer.
Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir yang
berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
umum. Berdasarkan kesimpulan maka disusun saran.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa (1)
Pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan korban meninggal dunia dalam putusan Pengadilan Negeri Klas IA Tanjung
Karang dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia
sehingga perbuatan terdakwa dapat dipidana sesuai hukum yang berlaku, yaitu Pasal 310 (4)
Indra Fachrozi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jo.UndangUndang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana; (2) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
korban meninggal dunia studi perkara nomor 830/Pid.B(A)/2010/PN.TK harus memuat hal-hal
yuridis yuridis dan non yuridis Pertimbangan hakim bersifat yuridis adalah alat bukti yang
berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa, dan
fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis
adalah hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam
perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal meninggal dunia yang
diatur dalam Pasal 310 (4) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 yang memutuskan pidana
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan terhadap terdakwa Yogie Septian Bin Gunawan dinilai
terlalu ringan karena perbuatan terdakwa sudah mengakibatkan korban meninggal dunia dan
telah meresahkan masyarakat. Seharusnya dalam pertanggungjawaban pidana dalam perkara ini
hakim memberikan sanksi yang tegas untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku dalam
perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Setiap perkara
dimana anak sebagai pelaku tindak pidana, agar hakim senantiasa mempertimbangkan putusan
dengan tetap mengacu pada Pasal 27 undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, menimbang pelaku dalam perkara ini masih di kategorikan sebagai anakINDRA FACHROZI 07420111862015-04-29T08:48:51Z2015-04-29T08:48:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9430This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94302015-04-29T08:48:51ZPERAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LAMPUNG
DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN
OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDARAbstrak
Pengobatan tradisional biasanya menggunakan obat tradisional atau yang biasa
dikenal di Indonesia dengan istilah jamu sebagai sarana penyembuhan. Obat
tradisional sendiri mempunyai bemacam-macam jenis, manfaat maupun fungsi
untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Obat tradisional yang tidak terdaftar
dianggap sebagai obat yang berbahaya, terdapat jenis obat tradisional yang
mengandung bahan kimia obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia (BPOM-RI) merupakan lembaga resmi yang mendapat wewenang
untuk melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di
masyarakat ,termasuk peredaran obat tradisional yang tidak terdaftar maupun obat
tradisional yang di curigai mengandung bahan kimia obat. Permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran penyidik pegawai negeri
sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan-Bandar Lampung sebagai unit
pelaksanaan tugas Badan POM-RI di daerah ( Propinsi ) dalam penegakan hukum
terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar dan apakah faktor-faktor
penghambat penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar
oleh penyidik pegawai negeri sipil BBPOM-Bandar Lampung.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan
studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data,
penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah
kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan
untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa peran penyidik
pegawai negeri sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung
dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar
secara garis besar sudah sesuai dengan Pasal 7 & 8 KUHAP dan Pasal 79 ayat (2)
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun dalam proses
penyidikan kasus ini tidak dilakukan tindakan penangkapan dan penahanan karena
PPNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung tidak
Elfina Roza
mempunyai wewenang atas tindakan tersebut. Wewenang PPNS Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam pelaksanaan proses
penyidikan tindak pidana peredaran obat tradisional tanpa izin edar juga sudah
sesuai dengan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yaitu melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang kesehatan; meminta keterangan dan barang bukti,
melakukan pemeriksaan atau penyitaan barang bukti; dan meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat
tradisional tanpa izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan antara lain karena faktor aparatur penegak hukum
yang terbatas, jumlah PPNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar
Lampung yang tidak seimbang dengan luasnya wilayah kerja. Dengan wilayah
kerja Lampung yang luas, sumber daya manusia yang ada di Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung tergolong sangat kurang
mengingat luasnya wilayah yang harus diawasi dan dipantau. Banyaknya tindak
pidana yang tidak seimbang dengan jumlah penyidik maka pelaksanaan
penyidikan oleh PPNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan juga sering
terhambat. Selain itu faktor sarana dan prasarana dalam hal anggaran dana Jumlah
PPNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung yang tidak
seimbang dengan luasnya wilayah kerja. Faktor lain adalah faktor masyaraka
sendiri yang tidak peka terhadap perkembangan-perkembangan permasalahan
hukum di Indonesia membuat hasil tugas aparat penegak hukum tidak maksimal
Perlu ditingkatkan koordinasi dan kerjasama antar penegak hukum yang ada di
instansi lain seperti Polri, Kejaksaan, Departemen maupun Lembaga Non
Departemen lainnya.Elfina Roza 08420110092015-04-29T08:48:40Z2015-04-29T08:48:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9427This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/94272015-04-29T08:48:40ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )Abstrak
Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara
atau perekonomian negara. penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
korupsi harus dilaksanakan secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai
keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan kepada suatu kepentingan. Hal ini
sangat berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan
kedamaian dalam masyarakat.Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi
permasalahan dalam penelititn ini adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana korupsi dan Apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak
pidana korupsi dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
: 06/PID.TPK/2011/PN.TK.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis
normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan
dengan mempelajari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris
dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dengan mengadakan
penelitian lapangan berupa wawancara dengan para responden. Pendekatan ini
bertujuan memperoleh data konkrit mengenai masalah yang akan diteliti. Data
yang diperoleh kemudian akan diseleksi, diklarifikasikan dan disistematiskan
yang kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini menunjukan bahwa
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Nomor :
Ricky Adiguna
06/PID.TPK/2011/PN.TK. yaitu pelaku terbukti telah melanggar Pasal 3 Jo Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan disaat pelaku melakukan
perbuatannya pelaku dalam keadaan sehat dan sadar serta tidak terganggu jiwanya
oleh karena itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 8 (delapan) bulan serta pidana denda sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh
lima juta rupiah) terhadap terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa yaitu melalui
pertimbangan berdasarkan ; keterangan saksi-saksi, keterangan saksi ahli, surat
dakwaan, petunjuk-petunjuk dan alat-alat bukti serta keterangan dari terdakwa.
Disamping hal itu, dalam memutuskan perkara di persidangan hakim juga harus
mempertimbangkan keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang
meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan untuk mencapai suatu kepastian
hukum dan keadilan sejati guna hakim melaksanakan putusan pegadilan dalam
perkara tindak pidana korupsi.
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam
penegakan hukum khususnya penanganan kasus Tindak Pidana Korupsi, agar
Majelis Hakim sebagai pemberi putusan harus mampu adil dan benar dalam
memberikan hukuman pidana kepada terdakwa. Karena tujuan pidana bukanlah
untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak
mempunyai nilai tetapi hanya saran untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang lebih bermanfaat dari sekedar pembalasan yaitu
bertujuan untuk membina dan membimbing seorang terdakwa untuk menjadi
manusia yang lebih baik dimasa yang akan datang.Ricky Adiguna 08120113212015-04-28T02:44:44Z2015-09-11T07:17:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9283This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/92832015-04-28T02:44:44ZUPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL
(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)Abstrak
Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan target berupa
bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya seperti pencurian peralatan di dalam
mobil dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi sejak awal tahun 2009 sampai tahun
2011 berjumlah 85 kasus. Adapun permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah upaya
penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota
Bandar dan apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak
pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung (Studi
Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang
berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris adalah dengan
mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan
mengenai pelaksanaannya.
Hasil penelitian dan pembahasan, maka upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan
modus memecahkan kaca mobil (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) adalah
dengan cara upaya pr-emtif, preventif dan represif. Upaya Pre-emtif : membuat spanduk/banner
tentang himbauan terhadap masyarakat untuk selalu ingat akan keamanan diri, harta benda yang
dimiliki yang dipasang di sudut-sudut jalan, mall-mall/pusat perbelanjaan dan tempat-tempat
parkir serta melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Upaya preventif : Melakukan razia yang
termasuk dalam operasi kepolisian, mengedepankan fungsi
Ahmad Denni Iffandi
Intelijen sebagai deteksi dini untuk memperoleh informasi dan melakukan pendataan terhadap
residivis yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan, dari segi masyarakat untuk lebih
berhati-hati dan tidak meninggalkan barang-barang berharganya di dalam kendaraan dan dari
segi kepolisian dapat lebih ditekankan dengan kehadiran polisi di tempat-tempat rawan
terjadinya tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil seperti kegiatan
penjagaan dan kegiatan patroli. Upaya represif : tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan.
Tahap penyidikan, dimulai dari penyelidikan yaitu olah TKP, mencari dan mengumpulkan
keterangan, petunjuk yang dapat dijadikan sebagai barang bukti, identitas tersangka, dan
memperoleh keterangan ataupun informasi dari korban maupun saksi yang berada di TKP yang
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dilakukan penangkapan dan penyidikan
lebih lanjut. Tahap penuntutan, jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan nya
terhadap terdakwa. Tahap persidangan, hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara
dengan mempertimbangkan aspek yuridis atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus
memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung, seperti tidak sesuai dengan ancaman
hukuman yang tertera di dalam undang-undang, aparat penegak hukum dinilai masih sangat
kurang dalam hal pendidikan yang dimiliki oleh kepolisian dan tidak seimbang dengan jumlah
penduduk yang ada di kota Bandar Lampung, masih kurangnya sarana mobilitas, transportasi,
telekomunikasi dan dana anggaran BBM dalam pelaksanaan kegiatan patroli , masyarakat merasa
enggan dan kurang aktif/keterlambatan dalam memberikan informasi dan melaporkan setiap
terjadinya tindak pidana pencurian, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu hendaknya bagi pihak kepolisian agar meningkatkan
program sosialisasi kepada masyarakat, kegiatan patroli terpusat dan penambahan personil
maupun pos polisi, melakukan tindakan yang tegas terhadap pelaku dan bagi masyarakat agar
masyarakat turut membantu dan bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menangani kasus
yang ditangani pihak Kepolisian dan diharapkan kesadaran dan kerjasama yang baik pada waktu
terjadi tindak pidana agar segera melapor.Ahmad Denni Iffandi 05420110172015-04-28T02:44:40Z2015-09-09T08:04:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9282This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/92822015-04-28T02:44:40ZKEBIJAKAN HUKUM KEPALA KANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN PESAWARAN DALAM PENDAFTARAN TANAH UNTUK
PERTAMA KALI KARENA PEMINDAHAN HAKAbstrak
Pendaftaran tanah untuk pertamakali merupakan serangkaian kegiatan pendaftaran
tanah untuk mendapatkan pengakuan hukum secara kuat melalui sertipikat dengan
alat bukti atau pembuktian yang menggunakan dokumen asli yang dimiliki oleh
pemohon, berbagai macam dokumen yang diakui tercantum dalam Pasal 23 dan
24 PP 24/1997 dan peraturan pelaksananya PMNA KaBPN No. 3 tahun 1997.
Namun dalam kenyataannya dokumen asli yang digunakan sebagai dasar
pembuatan sertipikat itu banyak yang sudah tidak dimiliki oleh masyarakat lagi.
Hanya surat perjanjian jual beli tanah dibawah tangan yang sering dilampirkan
masyarakat dalam pengajuan permohonan pembuatan sertipikat yang
pembuatannya setelah tahun 1997. Walaupun berdasarkan peraturan Permen
Agraria No. 3 tahun 1997 Pasal 76 ayat (1) huruf g, hal ini tidak dibenarkan.
Perumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana kebijakan hukum Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Pesawaran dalam pendaftaran tanah pertama kali
karena Pemindahan Hak dengan pembuktian Hak. Bagaimana Dampak kebijakan
hukum Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pesawaran dalam pendaftaran tanah
pertama kali karena Pemindahan Hak.
Pendekatan masalah dilakukan dengan metode pendekatan normatif-empiris yaitu
dengan mengidentifikasi implementasi ketentuan hukum positif pada suatu
peristiwa hukum tertentu. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh
dari wawancara dengan narasumber, dan data sekunder terdiri dari bahan hukum
primer dan sekunder. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara memeriksa
data, klasifikasi data, dan sistematika data, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Pesawaran yang tertuang secara lisan dengan dasar Pasal
37 ayat (2) PP 24 tahun 1997, permohonan pendaftaran tanah pertamakali yang
menggunakan alat pembuktian hak berupa surat perjanjian jual beli tanah dibawah
tangan yang dibuat setelah tahun 1997 dapat didaftarkan untuk diterbitkan
sertipikatnya. Kebijakan ini di terapkan pada tanah yang belum memiliki
sertipikat, jika tanah yang telah memiliki sertipikat, kebijakan ini tidak berlaku
dan harus dibuatkan akta PPAT nya sesuai bunyi Pasal 37 ayat (1) PP 24 tahun
1997. Dampak kebijakan ini adalah terpenuhinya asas pendaftaran tanah yaitu
sederhana, dapat mempermudah permohonan masyarakat dalam pembuatan
sertipikat, bertambahnya jumlah tanah yang telah memiliki sertipikat, secara tidak
langsung dapat meningkatkan PAD.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan agar meneliti kebenaran kepastian
surat perjanjian jual beli tanah dibawah tangan tersebut, dan membatasi tahun
pembuatan surat jual beli tanah dibawah tangan tersebut. Perlu dilakukan
penyuluhan atau sosialisasi hukum ke masyarakat tentang peraturan pendaftaran
tanah.
Kata kunci : pendaftran tanah untuk pertama kali, jual beli tanah dibawah tangan
Abstract
Registration of land for the first time a series of land registration activities for
stronger legal recognition through certificates with evidence or proof that uses
original documents held by the applicant, a wide range of recognized documents
listed in Articles 23 and 24 of Regulation 24/1997 and its implementing
regulations PMNA No. KaBPN. 3 1997. But in reality the original document used
as the basis for the manufacture of certificates, many that are not owned by the
public again. Just a note purchase agreement under the ground that is often
attached to the hands of the public in filing a certificate of manufacture
manufacture after 1997. Although based regulation No. Chewing Agrarian. 3 of
1997 Article 76 paragraph (1) letter g, it is not justified.
The formulation of the problem in this paper is how the head of legal policy
Pesawaran the District Land Office land registration for the first time by proving
Rights Assignment. How legal policy impact the District Land Office Chief
Pesawaran the first time because the land registry Assignment.
Approach to the problem is done by normative-empirical approach is to identify
the implementation of positive law on a particular legal events. The data used are
primary data obtained from interviews with sources, and secondary data consists
of primary and secondary legal materials. The data collected is processed by
examining the data, classification data, and systematic data, then analyzed
descriptively.
The results clarify that the policy Head of the Regency Pesawaran contained
verbal basis of Article 37 paragraph (2) Regulation 24 of 1997, the first
application for the registration of land use rights in the form of a letter of proof
equipment sale and purchase agreement under hand made after year 1997 can be
registered for publication sertipikatnya. This policy is enforced on the ground that
do not have a certificate, if the land has a certificate, this policy does not apply
and it must be made in accordance PPAT deed the content of Article 37 paragraph
(1) PP 24 1997. The impact of this policy is the fulfillment of the principle of land
registration is simple, can facilitate in making the application for the certificate,
increasing the amount of land that already has a certificate, may indirectly
increase revenue.
Based on these conclusions, it is suggested that examining the truth of certainty
note purchase agreement under the hands of the land, and the year of manufacture
restrict the sale and purchase of land under the letter of the hand. There needs to
be education or socialization of law to the public of land registration.
Keywords: pendaftran soil for the first time, the sale and purchase of land under
the handSUHANI WULANDARI 04420112902015-04-28T02:44:33Z2015-04-28T02:44:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9280This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/92802015-04-28T02:44:33ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL
(Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
Abstrak
Negara Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, oleh
karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur
dalam suatu sistem perundang-undangan. Secara normatif, Indonesia termasuk
negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk
kalangan sipil. Kepemilikan senjata api saat ini sudah bergeser menjadi sebuah
gaya hidup. Disisi lain, maraknya kepemilikan senjata api juga harus dilihat dari
aspek keamanan masyarakat. Peningkatan kepemilikan senjata api dipicu oleh
rasa aman yang kini sangat sulit diperoleh masyarakat. Motif warga sipil
menguasai senjata api secara ilegal memang bermacam-macam. Alasannya
sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat
keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal, karena
tidak ada kepastian keamanan. Mereka tidak ingin menjadi korban kekerasan
bersenjata. Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat
jahatnya. Adapun yang menjadi masalah dalam permasalahan ini adalah: a)
Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan
penggunaan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil b) Apakah dasar
pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara
pertanggungjawaban kepemilikan dan pengunaan senjata api serta amunisi ilegal
oleh masyarakat sipil dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor
1072/Pid.B/2011/Pn.Tk.
Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun
jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan,
berupa hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari dua orang hakim dan
satu orang dosen fakultas hukum unila, dan data sekunder bersumber dari
kepustakaan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, kemudian diambil
kesimpulan secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata
api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil pada Putusan Pengadilan Negeri
VENNY YULIA PUTRI
Nomor 1072/Pid.B/2011/PN.TK atas nama terdakwa Richard Maulana Putra Bin
Abdurrahman Sarbini dapat dipertanggungjawabkan, karena terdakwa mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatannya tersebut dilakukan
dengan sengaja, dan tidak ada alasan pemaaf. Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan hukuman tujuh bulan pidana penjara telah tepat, berdasarkan asas
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Saran penulis dalam skripsi ini adalah: a) Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran
dan pemahaman masyakarat yang baik tentang hukum dengan mengadakan
sosialisasi dari aparat kepolisian agar tidak terjadi lagi tindak pidana kepemilikan
dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil. b)
Hendaknya dalam memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
kepemilikan dan senjata api ilegal, seorang hakim harus dengan adil dan tegas
memutus perkara yang diyakinkan bahwa terdakwa jera dan sadar akan
kelakuannyaVenny Yulia Putri 0912011262015-04-28T02:32:11Z2015-04-28T02:32:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8838This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88382015-04-28T02:32:11ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH
(Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)Abstrak
Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat peningkatan permintaan perjalanan
umrah yang cukup besar, sehingga banyak Biro Perjalanan Tour & Travel yang
menawarkan perjalanan umrah. Namun, kondisi ini pun akhirnya dimanfaatkan
oleh oknum Biro Perjalanan Tour & Travel nakal yang mengaku sebagai biro
perjalanan umrah yang menawarkan biaya yang murah. Hal ini membuat banyak
korban tergiur untuk mendaftarkan diri sebagai peserta calon jemaah umrah.
Untuk itu, penulis ingin membahas permasalahan tentang bagaimana
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan terhadap Calon
Jemaah Umrah pada Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK serta
apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada perkara Nomor:
758/Pid.B/2011/PN.TK.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan melalui studi lapangan dan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan pengumpulan sampel
secara purposive sampling yaitu dengan cara wawancara dengan menggunakan
pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Studi Kasus Perkara Nomor:
758/Pid.B/2011/PN.TK, maka dapat diketahui bahwa telah terpenuhi unsur-unsur
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, berupa perbuatan yang
melawan hukum (unsur melawan hukum), seorang pembuat atau pelaku yang
dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dengan sengaja tanpa hak
bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah, serta tidak adanya
alasan pemaaf (unsur kesalahan). Sedangkan dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada studi kasus
Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK dilihat dari hal-hal yang bersifat yuridis maupun
non yuridis, hal-hal yang bersifat yuridis yaitu dakwaan, keterangan terdakwa dan
saksi, barang bukti yang ditunjukan dalam persidangan, pasal-pasal yang terdapat
Ranti Setya Cipta Pratama
di dalam hukum pidana. Hal-hal yang bersifat non yuridis yaitu latar belakang
perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan
sosial ekonomi terdakwa dan faktor agama dari terdakwa, hal-hal yang
memberatkan dan meringankan pidana, dan terdapat lebih dari satu alat bukti
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 183 dan 184 KUHP.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan adanya peningkatan kinerja aparat
penegak hukum khususnya hakim, agar dalam menjatuhkan suatu putusan
mempertimbangkan aspek yuridis dan non yuridis, hal yang memberatkan dan
meringankan, serta pasal 183 dan 184 KUHP, sehingga dapat memberikan efek
jera kepada pelaku tindak pidana. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk
dapat memahami akan hukum, sehingga pelaku tindak pidana dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan serta agar lebih
berhati-hati dengan penipuan bermodus pemberangkatan umrah dengan biaya
murah, kecuali ada bantuan dari Pemerintah.RANTI SETYA CIPTA PRATAMA 08120112522015-04-28T02:19:10Z2015-04-28T02:19:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8873This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88732015-04-28T02:19:10ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG
MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA SEBAGAI PENGGUNA
(Studi Putusan No.313/PID/B(A)/2012/PN.TK)Abstrak
Penyalahgunaan narkotika oleh anak saat ini menjadi perhatian banyak orang dan
terus menerus dibicarakan dan dipublikasikan. Bahkan, masalah penyalahgunaan
narkotika menjadi perhatian berbagai kalangan. Hampir semuanya mengingatkan
sekaligus menginginkan agar masyarakat Indonesia, terutama anak-anak untuk
tidak sekali-kali mencoba dan mengkonsumsi narkotika. Selain itu dapat
menerapkan sanksi pidana tehadap anak digunakan beberapa pertimbangan,
seperti kemampuan anak mempertanggungjawabkan perbuatannya, juga dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa batas umur anak yang diajukan ke
sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum menikah. Adapun permasalahan
yang akan dibahas adalah : (a)Bagaimanakah pertanggungjawaban Pidana Anak
yang menyalahgunakan narkotika sebagai pengguna (Studi Putusan Nomor
313/pid/b(a)/2012/PN.TK)? (b)Apakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana anak yang menyalahgunakan narkotika sebagai pengguna
(Studi Putusan Nomor 313/pid/b(a)/2012/PN.TK)?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan meliputi data primer dan data
sekunder. Penentuan sampel menggunakan metode purposive sampling, setelah
data terkumpul, maka diolah dengan cara editing dan sistematisasi. Selanjutnya
dilakukan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Artinya menguraikan
data yang telah diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
Pertanggungjawaban pidana anak yang menyalahgunakana narkotika sebagai
pengguna didasarkan pada perbuatan tersebut dengan sengaja untuk mencapai
suatu kesengajaan (dolus) yang dimaksud dan memenuhi unsur-unsur dari
kesalahan, yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat, adanya
Riri Prima Bestari Sinaga
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan
(dolus) dan memenuhi unsur-unsur dari Pasal 127 ayat (1) huruf a UndangUndang RI 35 Tahun 2009 tentang narkotika, hakim dalam memberikan putusan
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak khususnya kepada terdakwa
Andri Agustiawan Als Cuplis Bin Ngadimin Bin Kadini adalah terbuktinya semua
unsur-unsur delik yang didakwakan berdasarkan pembuktian fakta-fakta yang
terungkap di persidangan yang didapat dari alat bukti, sehingga terdakwa telah
memiliki, menyimpan, dan mengkonsumsi Narkotika jenis Sabu-sabu Golongan I
terhadap diri sendiri dan menjatuhkan penahanan kota pengurungan hukumannya
seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan selama 7 (tujuh) bulan dan
subsidair 4 (bulan) 20 (dua puluh) hari penjara, Menurut Pasal 183 KUHAP
adalah hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Hakim Pengadilan Negeri
Tanjung Karang lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis
dan menurut Pasal 184 Hakim meminta alat bukti yang sah, yaitu dari keterangan
sanksi-sanksi, dan barang bukti berupa Sabu-sabu seberat 0,2329 gram dan 1 unit
hanphone merk nokia tipe 1208 warna hitam.
Adapun saran dari penulis berkaitan dengan menyalahgunakan narkotika yang
dilakukan oleh anak adalah Pertanggungjawaban pidana anak yang
menyalahgunakan narkotika sebagai pengguna hendaknya mempertimbangkan
semua aspek yang terbaik bagi anak, dijatuhi hukuman berupa sanksi atau pidana
penjara, karena untuk menentukan kelanjutan masa depan anak kelak dan pidana
penjara bukan jalan untuk membuat anak menjadi lebih baik, psikologis anak akan
rusak. Akan lebih baik anak diberi pembinaan untuk mengubah sifat buruknya.
Pertimbangan hakim memutus terdakwa adalah anak dibawah umur (belum
mencapai umur 18 tahun) diberikan hukuman tindakan (pembinaan atau
rehabilitasi) bukan dengan menjatuhkan sanksi pidana sebagaimana diatur di
dalam pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak.RIRI PRIMA BESTARI SINAGA 08520111912015-04-28T02:19:00Z2015-04-28T02:19:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8871This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88712015-04-28T02:19:00ZTINJAUAN YURIDIS SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
(Studi pada PT. Bank Lampung di Kota Bandar Lampung)Abstrak
Fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana kepada
masyarakat. Sesuai dengan bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan PT Bank Lampung memberikan dana kredit konsumtif kepada
Pegawai Negeri Sipil khususnya di lingkungan kota bandar Lampung dengan
jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil. Permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar hukum Surat Keputusan
Pegawai Negeri Sipil dapat dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit dan
bagaimana syarat dan prosedur pengikatan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil
sebagai jaminan kredit.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah penelitian hukum normatif terapan,
dengan tipe penelitian hukum deskriptif, data yang digunakan adalah data primer
dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi
dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan
data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian
disajikan dalam bentuk uraian, lalu dilakukan pembahasan dan dianalisis secara
kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa dasar hukum
jaminan pada perjanjian kredit ini terdapat tiga peraturan yaitu 1) Pasal 1131
KUHPerdata tentang jaminan umum, yakni tentang benda bergerak maupun tidak
bergerak 2) SK Direksi BI No 23/69/KEP/DIR/1991 yang mengatur tentang
jaminan pemberian kredit, keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
adalah faktor penting yang harus di perhatikan oleh Bank dan 3) Surat Perjanjian
antara Bank dan nasabah merupakan perjanjian kredit yang menentukan ketentuanketentuan kesepakatan antara kedua belah pihak yakni debitur dan kreditur selama
masa pelunasan kredit.
Syarat dan Prosedur Perjanjian Kredit dengan jaminan Surat Keputusan
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil pada PT Bank Lampung dimulai dari
pengisian blangko/formulir permohonan kredit oleh calon debitur yang
dilanjutkan dengan pihak bank melakukan penelitian di lapangan apakah debitur
Muhammad Fajrie
benar-benar sebagai pegawai negeri sipil sesuai data yang ditulis oleh debitur dan
menilai kemampuan calon debitur untuk melunasi utangnya. Diakhiri dengan
pencairan dana kredit oleh bank kepada debitur dari gaji bersih pegawai menurut
golongan/pangkat yang dimiliki nasabah/debitur. Perjanjian kredit antara PT Bank
Lampung dengan calon debitur dilakukan dengan akta dibawah tangan dengan
memenuhi biaya materai, di mana akan dimintakan legalisasi kepada Notaris. SK
bukan sebagai benda melainkan hanya sebagai tekanan pelunasan kredit dengan
cara memotong gaji pegawai melalui bendaharawan gaji tempat instansi debitur
bekerja. Perjanjian kredit pada PT Bank Lampung berbentuk perjanjian standar.
Kata Kunci: Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil, Jaminan, Kredit. Muhammad Fajri 08520111352015-04-28T02:18:39Z2015-04-28T02:18:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8859This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88592015-04-28T02:18:39ZANALISIS PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
PADA PT PUPUK SRIWIJAYA SEBAGAI BADAN USAHA MILIK NEGARA
(BUMN) Abstrak
CSR merupakan program yang bersifat mutualis (saling menguntungkan) antara
korporat dan stakeholders. PT Pusri sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem
perekonomian nasional, tidak hanya dituntut kemampuannya dalam mencari
keuntungan saja, tetapi memiliki tanggung jawab memberikan bimbingan bantuan
secara aktif.. Dasar pelaksanaan CSR pada PT Pusri dijelaskan pada Peraturan
Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan. PT Pusri memiliki kewajiban dalam melaksanakan program CSR ini
sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, sehingga terdapat beberapa bentuk
program Kemitraan dan Bina lingkungan yang dilaksanakan oleh PT Pusri.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana pelaksanaan CSR
pada PT Pusri dan apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
CSR pada PT Pusri.
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-terapan. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer, dengan prosedur pengumpulan data melalui
studi pustaka dan data pendukung dari hasil wawancara narasumber. Setelah data
terkumpul, kemudian diolah dengan cara seleksi data, pengkajian, serta kualifikasi
data, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, PT Pusri melaksanakan CSR
berbentuk community development yang diterapkan dalam kegiatan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dengan acuan Peraturan Menteri BUMN
No Per-05/MBU/2007. Program kemitraan pada PT Pusri dilakukan dengan 2 bentuk
yaitu Program Kemitraan Reguler bagi pelaku usaha non pertanian dan Program
Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) bagi pelaku usaha
pada bidang Pertanian khususnya bagi para supplier pupuk. Sedangkan Program Bina
Lingkungan PT Pusri memiliki 6 (enam) fokus kegiatan meliputi pendidikan,
kesehatan, pengembangan sarana umum, keagamaan, bantuan bencana dan
pelestarian alam. Manfaat pelaksanaan PKBL sebagai bentuk dari CSR berimplikasi
terhadap peningkatan citra baik dan kepercayaan masyarakat pada PT Pusri sehingga
dapat menjalankan usaha ekonomi dengan bertanggung jawab dan berkelanjutan
walaupun ditemukan beberapa hambatan dalam pelaksanaannya.
Kata kunci : CSR, BUMN, PKBL. BILLY SANDRO PRIMADITA 08520110462015-04-28T02:17:55Z2015-04-28T02:17:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8846This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88462015-04-28T02:17:55ZPENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG
PASAR MODAL
(Studi pada PT Indoexchange Tbk)Abstrak
Pasar modal merupakan sumber pendanaan jangka panjang bagi perusahaan
terbuka untuk mengembangkan kegiatan bisnis. Untuk mendapatkan pendanaan
dari pasar modal, perusahaan dituntut untuk lebih strategis karena persaingan di
antara pelaku usaha semakin ketat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh
perusahaan untuk dapat tetap mengembangkan kegiatan bisnis mereka adalah
dengan melakukan pengambilalihan (acquisition). Penelitian ini akan mengkaji
salah satu praktik pengambilalihan pada perusahaan terbuka yaitu PT
Indoexchange Tbk yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan. Adapun yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah
syarat yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan PT Indoexchange Tbk,
prosedur dalam pengambilalihan PT Indoexchange Tbk, dan akibat hukum bagi
pihak pengambilalih dan pihak yang diambilalih dalam pengambilalihan PT
Indoexchange Tbk.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, studi dokumen,
dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data,
penandaan data, rekonstruksi data dan sistematisasi data. Data yang terkumpul
kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi
dalam pengambilalihan PT Indoexchange Tbk terdiri dari syarat umum dan syarat
khusus. Syarat umum mengacu pada UU No. 40 Tahun 2007 dan PP No. 27
Tahun 1998. Sedangkan, syarat khusus mengacu pada Peraturan Bapepam
No.IX.H.1. Prosedur yang harus ditempuh dalam pengambilalihan PT
Adenty Novalia
Indoexchange Tbk adalah sama dengan prosedur dalam transaksi jual beli saham
di bursa efek. Akibat hukum yang terjadi dengan adanya pengambilalihan
perusahaan terbuka tersebut bagi pihak pengambilalih adalah melakukan
penawaran tender. Sedangkan, bagi pihak yang diambilalih adalah beralihnya
pengendalian perusahaan.
Kata Kunci: Pengambilalihan, Perusahaan Terbuka, Pasar modal.ADENTY NOVALIA 08120113222015-04-28T02:17:47Z2015-04-28T02:17:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8843This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88432015-04-28T02:17:47ZIMPLIKASI HUKUM PENCABUTAN IZIN
USAHA BANKAbstrak
Pencabutan izin usaha bank membawa konsekuensi yang cukup besar. Banyak hal
yang harus diselesaikan berkaitan dengan akibat pencabutan izin usaha tersebut.
Diantaranya terhadap nasabah penyimpan dana dan pemegang saham minoritas,
keduanya akan menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Kemungkinan nasabah
penyimpan dana akan kehilangan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena
itu apabila seseorang mempunyai simpanan di sebuah bank maka hukum akan
memberikan hak kepada orang yang menyimpan dana, dalam arti bahwa
kepentingan nasabah penyimpan dana mendapatkan perlindungan hukum. Selain
itu pemegang saham minoritas pun, kemungkinan menanggung akibat yang
berupa kerugian dana yang diinvestasikan dari pencabutan izin tersebut.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perlindungan hukum
yang diberikan terhadap nasabah penyimpan dana dan pemegang saham
minoritas.
Penelitian ini merupakan penilitian normatif dengan tipe penelitian bersifat
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui studi
kepustakaan dan studi dokumen. Teknik analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan
dana di bank dapat dilakukan dengan dua cara, perlindungan secara implisit, yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan, pembinaan bank yang efektif oleh
Bank Indonesia serta perlindungan secara eksplisit, yaitu dengan melalui
Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2004.
Pengembalian dana nasabah melalui LPS, bank berhak mengajukan klaim kepada
LPS dan LPS wajib membayar kepada nasabah penyimpan dana apabila telah ada
verifikasi berdasarkan Pasal 16 UULPS. Perlindungan hukum pemegang saham
minoritas dapat dilakukan dengan meminta pertanggungjawaban pemegang saham
mayoritas, direksi dan komisaris, berdasarkan Undang-Undang No 40 Tahun 2007
Riyan Prayoga
tentang Perseroan Terbatas. Pemegang saham minoritas akan mendapatkan
pengembalian dana investasi yaitu melalui dana sisa setelah proses likuidasi. Jika
tidak terpenuhi, maka pemegang saham minoritas dapat mengajukan gugatan
langsung (Direct Suit) berdasarkan Pasal 61 UUPT. Pemegang saham minoritas pun
secara pidana dapat melaporkan kepada pihak berwajib berdasarkan ketentuan Pasal 50
Undang-Undang Perbankan.
Kata kunci : Implikasi, Pencabutan Izin, BankRIYAN PRAYOGA 08120112722015-04-28T02:17:19Z2015-04-28T02:17:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8836This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88362015-04-28T02:17:19ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SERTIFIKAT
JUAL BELI TANAH
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No 659/PIDB/2011)Abstrak
Tindak pidana penggelapan adalah suatu tindak pidana yang sangat berkaitan
dengan harta kekayaan atau harta benda, yang sering terjadi didalam kehidupan
masyarakat, disamping tindak pidana lainnya seperti pencurian dalam Pasal 362
KUHP, pemerasan dalam Pasal 268 KUHP, dan juga perbuatan curang dalam
Pasal 378 KUHP. Pelaku tindak pidana penggelapan dapat diancam dengan sanksi
pidana berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 372, 372, 384, 375, dan
376 KUHP. Adanya ketentuan tersebut dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penggelapan. Agar
penjatuhan sanksi pidana tersebut tepat dan proporsional dalam rangka upaya
penanggulangan kejahatan, maka hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap pelaku harus mempertimbangkan berbagai aspek substansi sanksi pidana
dari peraturan tersebut. Disini dapat dilihat adanya suatu kebebasan seorang
hakim untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana yang terdapat dalam setiap
keputusannya.Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
(1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggelapkan
sertifikat jual beli tanah,(2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan perkara
nomor 659/pidb/2011.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan normatif dan pendekatan
empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara
penelitian normatif dengan empiris.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwaunsur
pertanggungjawaban pidana antara lain: (a) melakukan perbuatan melawan hukum
terdakwa melakukan penggelapan dengan sengaja.(b) Untuk adanya pidana harus
mampu bertanggungjawab terdakwa dalam keadaan sehat.(c) Mempunyai suatu
bentuk kesalahan.(d)Tidak adanya alasan pemaaf. Untuk mengambil suatu
keputusan dalam sidang pengadilan, hakim melihat dari berbagai aspek, yaitu : (a)
Kesalahan si pembuat, hal tersebut merupakan syarat utama dapat dipidananya
Rangga Canvarianda
seseorang. (b)Unsur yang kedua yaitu unsur motif terdakwa untuk menguasai
harta warisan dan tujuan untuk memperkaya diri terdakwa.(c)Cara melakukan
tindak pidana, pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan cara memalsukan
akta-akta autentik yang dipalsukan dan akta tersebut digunakan untuk menjual
tanah-tanah tersebut tanpa seizin ahli waris dari almarhum Ahmad Husin. (d)
Kemudian riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana
mencukupi dan berpengaruh dalam hakim menjatuhkan putusan.(e) Sikap dari
tindakan terdakwa sesudah melakukan tindak pidana tidak menyesal.(f) Pengaruh
pidana terhadap masa depan terdakwa. (g) Pengaruh perbuatan terhadap korban
atau keluarga korban.
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah : Dalam menjatuhkan pidana
hendaknya harus dapat dirasakan keadilannya bagi keluarga pelaku juga
lingkungan masyarakat ; Hendaknya hakim dalam memberikan sanksi pidana
kepada tedakwa selain mempertimbangkan faktor-faktor yuridis, sebagaimana
yang ditetapkan dalam undang-undang, hakim juga harus dapat
mempertimbangkan faktor-faktor non yuridis seperti dampak penjatuhan sanksi
pidana terhdap terdakwa, psikologis terdakwa, sosial ekonomi dan faktor religius.
Kata kunci:Penggelapan,pasal,dan pidanaRANGGA CANVARIANDA 08120112502015-04-28T02:17:05Z2015-04-28T02:17:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8832This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88322015-04-28T02:17:05ZPERJANJIAN PENYIARAN IKLAN ANTARA PT RADIO PRATAMA
MAHARDIKA DENGAN PT INDOSAT TBKAbstrak
PT Indosat Tbk melakukan kegiatan periklanan dengan mengadakan perjanjian
penyiaran iklan dengan PT Radio Pratama Mahardika untuk mengembangkan
promosinya. Setelah menyepakati syarat dan prosedur yang menimbulkan hak dan
kewajiban, terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh PT Radio Pratama Mahardika
dengan tidak menyiarkan iklan selama 2 hari yang harus dipertanggungjawabkan
hingga akhirnya perjanjian tersebut berakhir sesuai dengan perjanjian yang berlaku.
Penelitian ini akan membahas syarat dan prosedur perjanjian penyiaran iklan antara
PT Radio Pratama Mahardika dengan PT Indosat Tbk, lalu hak dan kewajiban
perjanjian penyiaran iklan, serta penyelesaian wanprestasi yang terjadi hingga
berakhirnya perjanjian kedua belah pihak.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tipe penelitian deskriptif dan
pendekatan masalah normatif terapan (applied law approach). Data yang digunakan
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan
studi dokumen. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara seleksi data,
klasifikasi data, dan sistemasi data serta analisis data secara kualitatif.
Hasil dari penelitian dan pembahasan menunjukkan, bahwa syarat dan prosedur
perjanjian penyiaran iklan sesungguhnya telah disepakati oleh kedua belah pihak,
namun pada hak dan kewajiban pihak radio siaran melakukan wanprestasi dan pihak
pemasang iklan meminta pemenuhan perjanjian dan ganti rugi. Pada akhirnya
penyelesaian wanprestasi yang terjadi dilakukan dengan jalan musyawarah lalu
Hendri Ferdian
disepakati untuk diselesaikan dengan cara pemenuhan perjanjian disertai dengan
ganti rugi seperti yang diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata, dan tetap berpedoman
pada perjanjian atau kontrak yang telah dibuat yaitu Surat Pesanan Iklan (Purchase
Order) hingga perjanjian berakhir setelah kedua belah pihak memenuhi
kewajibannya.
Kata kunci : Perjanjian, Penyiaran Iklan, dan Penyelesaian Wanprestasi HENDRI FERDIAN 08120111782015-04-28T02:17:00Z2015-04-28T02:17:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8831This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88312015-04-28T02:17:00ZKOMPARASI PRESIDENSIALISME INDONESIA DAN
AMERIKA SERIKATANGGRAINI 08120111162015-04-28T02:16:47Z2015-04-28T02:16:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8828This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88282015-04-28T02:16:47ZFAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP
PENGGUNA IJAZAH PALSU DALAM PENGANGKATAN
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BANDAR LAMPUNGAbstrak
Tindak pidana pemalsuan ijazah juga terjadi di Bandar Lampung,yaitu mengemuk
anya kasus pemalsuan ijazah strata 1 Sarjana Teknik atas nama Sally Budi Astuti
menggemparkan jajaran Universitas Lampung (Unila).Kasus ijazah ini heboh kare
n Sally merupakan putri mantan pejabat bupati yang diterima menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil Bandar Lampung.Adapun permasalahan yang diangkat
adalah Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab penggunaan ijazah palsu
dalam pengangkatan calon pegawai negeri sipil di Bandar Lampung?,
Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon
Pegawai Negari Sipil di Bandar Lampung ( CPNS ) ?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah
data primer yang diperoleh dari studi lapangan yang dilakukan pada Kepolisian
resor kota Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung sedangkan data sekunder diperoleh dari
hasil studi pustaka.Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa
dan mengoreksi data,setelah itu data diolah dan dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah:
Faktor internal berupa prilaku sosial (social behavior), dengan tujuan untuk
meningkatkan kedudukan seseorang (status symbol) atau meningkatkan
popularitas dimata masyarakat sebagai prestice symbol^ serta adanya keinginan
untuk memenuhi kebutuhan. Faktor eksternal berupa perkembangan teknologi,
rekruitmen instansi tertentu, bahkan dunia usaha serta adanya peluang atau
kesempatan. Upaya penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan
ijazah dapat ditempuh melaui : Sarana Penal atau upaya represif (penumpasan
setelah terjadinya kejahatan) dengan cara: adanya laporan dari masyarakat,
penunjukan, penyelidikan, penyidikan, melakukan kerjasama dengan berbagai
pihak, penangkapan, penyitaan dilanjutkan dengan persidangan hingga pada
Mad Rizwan
putusan hakim.; Sarana Non Penals
yakni upaya penecegahan (preventif) dengan
cara menanggulangi sebelum terjadi suatu kejahatan yang biasanya melibatkan
para pihak. Terdiri dari dua langkah pendekatan, yakni: (1) aspek kebijakan
pemerintah seperti adanya reformasi birokrasi, pendidikan kepada masyarakat
serta adanya kerjasama aparat penegak hukum dengan masyarakat; (2) aspek
mempengaruhi pikiran masyarakat melalui media massa guna mengubah
pemikiran masyarakat tentang cara atau jalan yang baik dan benar untuk
mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan yang sesuai dengan prosedur dan
undang-undang yang berlaku. Pada dasarnya penanggulangan terhadap pelaku
tindak pidana pemalsuan ijazah sudah ada sejak dulu, baik dalam rumusan PasalPasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun Undang-Undang lain diluar KUHP. Sarana "penal" merupakan "penal
policy" atau "penal law enforcement policy"sangat vital perannya dalam proses pe
negakan untuk menanggulangi kejahatan.
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah aparat penegak hukum hendaknya
selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa memalsukan ijazah
adalah suatu perbuatan melawan hukum dan setiap pelakunya dapat dikenakan
hukuman baik pidana penjara maupun pidana denda, menerapkan rnekanisme
pengecekan ulang untuk setiap lembaga yang melakukan perekrutan harus
diterapkan, dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap sumber ijazah
yang diajukan oleh para calon. Membangun kemitraan antara masyarakat dengan
para aparat penegak hukum dalam mewujudkan kesadaran untuk patuh dan taat
pada hukum serta senantiasa berusaha menghindarkan diri untuk tidak berbuat
kejahatan. Membentuk wadah bersama, antara aparat penegak hukum dengan
masyarakat, untuk menciptakan rasa kebersamaan dan kesetaraan, sehingga dapat
melakukan langkah-langkah pro-aktif dalam menanggulangi tindak pidana
pemalsuan ijazah.MAD RIZWAN 07420112242015-04-28T02:16:32Z2015-04-28T02:16:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8823This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88232015-04-28T02:16:32ZPEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Lembaga Pemasyarakatan adalah ujung tombak pelaksanaan azas pengayoman.
Terdakwa (pelanggar hukum) yang mendapat putusan hakim yang berupa
hukuman dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka terdakwa tersebut
disebut terpidana dan apabila putusan hakim dijalankan oleh jaksa penuntut
umum, terpidana disebut narapidana. Pada saat narapidana itu ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan sebagai seorang yang baru masuk dalam Lembaga
Pemasyarakatan tentunya masih awam menghadapi lingkungan baru. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan
bahwa, pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan
yang merupakan bagian akhir dari sistem penindakan dalam tata peradilan
pidana. Oleh karena itu, pembinaan narapidana memiliki komponen yang saling
berkaitan dan bekerja sama satu sama lain.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
klas IIA Bandar Lampung. Dan Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi
penghambat dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita klas IIA Bandar Lampung.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris untuk
memperoleh data primer. Adapun sumber penelitian yaitu data sekunder yang
berasal dari Peraturan Perundang-undangan tentang Pemasyarakatan, serta
literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Sedangkan data
primer diperoleh dari studi lapangan, yaitu wawancara dengan responden.
Deni Kurniawan
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa jenis pembinaan, yaitu
pembinaan kepribadian (kegiatan rohani) dan pembinaan kemandirian (kegiatan
kerja. Pemberian kegiatan kerja tersebut sudah cukup beragam dan variatif,
sehingga nantinya setelah kembali ke masyarakat bisa dikembangkan sesuai
dengan apa yang telah mereka kerjakan selama berada dalam proses pembinaan.
Kegiatan kerja dan kegiatan rohani belum berjalan dengan maksimal hal ini
disebabkan karena masih terlihat adanya peralatan kegiatan kerja yang belum
dioperasikan secara optimal dan kurangnya kesadaran dari dalam diri masingmasing narapidana untuk beribadah
Kata Kunci : Pemasyarakatan, Pembinaan
Abstract
Correctional facilities/penal institution is the main force implementation by an
Aegis Principle. The Accused ( law breaker ) which adjudge by the law court and
carte blanche, they called imprison. Whereupon the judgement pronoun executed
by the prosecuting attorney, they’d become a Prisioner. In time the prisoner send
to correctional facilities as a new comer, they have to accommodate themselves to
their new environment. In according with Article 1 paragraph (1) number 12 of
1995 about an Aegis, acknowledge that an Aegis is a place to carry on and
guidance the prisoner, according to the take some act system on the codify
constitutional laws. That’s why the prisoners guidance had a connecting
component and it’s working one to each other.
The research problem is to know how the guidance implementation against the
prisoner at the woman correctional facilities class IIA Bandar lampung. And also
the challenged factors to implements the prisoner guidance at the woman
correctional facilities class IIA Bandar lampung.
It is using an Empiric Juridicial approach to get the prime data. And the secondary
data as the research source which came from the constitutional amandment about
aegis principles, also the literatures which in connecting with main problems. The
prime data get from te job training, by making an interview with the respondents.
The research result shows that there are many guidance types. The self guidance
(religion liveliness) and self sufficient guidance (working liveliness). There are
quit enough various of liveliness implements, so the acquired works can be
developed and actualized the capability to their community after they’re get free.
The working and religion liveliness not yet work maximalize, because of there are
still unoptimal working tools operating and a minimum prisoner’s self
consciousness to worshiping.
Keywords : Aegis, Guidance DENI KURNIAWAN 07420111012015-04-28T02:16:27Z2015-04-28T02:16:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8822This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88222015-04-28T02:16:27ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI
PRAKTIK PROSTITUSI
(Studi Kepolisian Sektor Panjang)Abstrak
Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus
dihentikan penyebarannya, kaitannya dengan perdagangan perempuan menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 lebih kearah praktek-praktek prostitusi
dan tunasusila yang dilakukan oleh mucikari (Pasal 296 dan Pasal 506
KUHP).Eksistensi Kepolisian merupakan petugas utama yang harus dijalankan
sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam
hal ini diberikan oleh Polri didasarkan atas asas legalitas Undang-Undang yang
karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Permasalahan
dalam penelitian ini yaitu. Bagaimanakah upaya Kepolisian dalam menanggulangi
praktik prostitusi, Apakah faktor-faktor penghambat upaya Kepolisian dalam
dalam menanggulangi praktik prostitusi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui
studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui
proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang
dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara
deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis terhadap upaya Kepolisian
dalam menanggulangi praktik prostitusi, maka dapat dinyatakan bahwa Upaya
Kepolisian dalam menanggulangi praktik prostitusi dengan langkah preventif dan
represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di
wilayah Panjang, yaitu dengan yaitu berupa razia operasi Penyakit Masyarakat
(Pekat) sebagai penanggulangan pelacuran yang ada di Panjang tidak dengan
hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa
tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan pelacuran. Faktor-faktor
penghambat upaya Kepolisian dalam dalam menanggulangi praktik prostitusi
adalh faktor jukum itu sendiri, bila kita lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP ) tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus, selain itu
faktor-faktor lain sangat berpengaruh seperti adanya oknum aparat yang ikut
Kukuh Bagus Gunawan
terlibat dalam pelacuran tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan
diadakan suatu razia, kurangnya kesadaran masyarakat yang mencari keuntungan
dari pelacuran tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap
pelacur dengan melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada
pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun
tanahnya sebagai tempat pelacuran.
Saran dalam penelitian ini Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh
kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan dalam upaya
kepolisian untuk menanggulangi praktik prostitusi di masa yang akan datang yang
paling utama adalah dengan menyempurnakan atau memperbaiki peraturan
perundang-undangan hukum pidana atau KUHP yang baru karena tidak sesuai
lagi dengan perubahan jaman, sehingga masalah pelacuran yang kita hadapi
sekarang ini tidak menentu, sehingga dalam penerapannya hukum pidana dapat
menjadi senjata dalam memberantas atau setidaknya dalam penanggulangannya
membuahkan hasil yang maksimal dengan memberikan efek jera kepada para
pelaku kegiatan prostitusi di wilayah Panjang dan Indonesia pada umumnya.Kukuh Bagus Gunawan 07120112362015-04-28T02:16:10Z2015-04-28T02:16:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8899This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88992015-04-28T02:16:10ZKEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA
MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuasaan kehakiman yang merdeka
menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945
Pendekatan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
sumber data penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang di dapa
dari studi kepustakaan, analisis data yang digunakan adalah analisis preskriptif. Hasi
pembahasan menunjukan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka/independen
menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah pertama Independensi Kekuasaan
kehakiman sebelum amandemen belum tercapai karena secara struktural dan fungsiona
kekuasaan kehakiman masih dipengaruhi oleh eksekutif. Kedua Independens
Kekuasaan kehakiman sesudah amandemen adalah independensi hakim secar
personal/individual hakim yang bebas dari semua pengaruh yang dapat mempengaruh
putusanya, serta independensi secara struktural/lembaga yang terpisah dari kekuasaan
lainya.
Kata kunci : UUD 1945, Kekuasaan Kehakiman, Merdeka
Abstract
This study aims to determine independent judicial in the Constitution of 1945. before
and after the amendment of the 1945 Constitution, the approach used is a problem
normative approach This study uses data sources primary data and secondary data
were obtained from the literature study analysis of the data used is descriptive analysis.
The results show that the discussion of an independent judicial power according to the
Constitution in 1945 was the first independent before amandement can’t sucsses
because abaout institutionaly and function judicial power in suggest of executive,
second independent after amandement of the 1945 constitustion is independent judge as
personality and free from suggest to make dicision and independent as institutional not
be suggest executif and legislative.
Key Word : 1945 Constitution, Judicial Power, independentSOFYAN JAILANI 09120112512015-04-28T02:16:05Z2015-04-28T02:16:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8895This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88952015-04-28T02:16:05ZPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA
KLINIK KECANTIKAN ESTETIKA
(Studi Pada Klinik Kecantikan Estetika Kusuma Cabang Bandar Lampung)Abstrak
Maraknya klinik kecantikan estetika disebabkan besarnya minat konsumen untuk
mengkonsumsi produk perawatan wajah dan tubuh. Ketika mengkonsumsi suatu
produk, konsumen membutuhkan perlindungan hukum untuk memberikan rasa
aman dan jaminan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam
penggunaan produk tersebut. Konsumen dilindungi hukum jika klinik kecantikan
estetika merupakan pelaku usaha yang terdaftar yang memiliki legalitas bentuk
dan kegiatan usaha. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah pertama, legalitas
bentuk hukum dan kegiatan usaha klinik kecantikan estetika. Kedua, hubungan
hukum antara klinik kecantikan estetika dengan konsumen. Ketiga, tanggung
jawab klinik kecantikan estetika kepada konsumen apabila terjadi kerugian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif terapan
dengan tipe non judicial case study. Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dari wawancara dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, kemudian analisis data
dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas bentuk hukum perusahaan Klinik
Kecantikan Estetika Kusuma Cabang Bandar Lampung adalah berbentuk
perusahaan perseorangan yang dimiliki oleh dr. Indriati Kusuma, MHA, CID,
memiliki kegiatan usaha perdagangan dan perjasaan dibidang kecantikan dan
memiliki bukti legalitas berupa SIUP, TDP, dan izin dari Dinas Kesehatan Kota
Bandar Lampung dari bukti legalitas tersebut dapat diketahui identitas klinik
kecantikan estetika. Hubungan hukum terjadi karena adanya undang-undang dan
perjanjian terapeutik. Undang-undang yang mengatur hubungan hukum tersebut
adalah Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan,
Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Meneteri Kesehatan tentang
Klinik. Perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis dan terjadi apabila
JASMINE HANAFI
terdapat informed consent. Hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak. Tanggung jawab hukum terjadi apabila klinik
kecantikan estetika melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum
terhadap konsumen, sehingga meyebabkan kerugian. Konsumen dapat menuntut
ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan, dan Undang-Undang
Praktik Kedokteran. Namun, selama berdirinya klinik kecantikan estetika tersebut,
belum pernah ada kerugian yang diderita konsumen dan menuntut
pertanggungjawaban.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Klinik Kecantikan EstetikaJasmine Hanafi 09120111732015-04-28T02:16:01Z2015-04-28T02:16:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8887This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88872015-04-28T02:16:01ZPERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG MOBIL
PRIBADI SEBAGAI ANGKUTAN UMUMAbstrak
Transportasi sangat diperlukan oleh setiap manusia baik secara pribadi maupun
berkelompok untuk membantu aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Transportasi darat dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan roda
empat milik pribadi ataupun angkutan umum. Kendaraan roda empat yang
digunakan sebagai angkutan umum harus memiliki izin usaha, izin operasional,
izin trayek dan izin uji kelayakan dari kendaraan, hal tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 UULLAJ dan juga diatur dalam buku I
Bab V bagian 2 dan 3 Pasal 90 sampai dengan 98 KUHD. Ketentuan yang
terdapat dalam KUHD bersifat Lex Generalis. Selain itu, adanya perbedaan yang
signifikan dalam hal tanggungjawab oleh pengusaha mobil pribadi sebagai
angkutan umum dan resmi jika mengalami kecelakaan lalu lintas ataupun
wanprestasi. Oleh karena itu akan diteliti terkait proses melegalitaskan usaha,
penyelenggaraan, serta tanggungjawab para pengusaha mobil pribadi sebagai
angkutan umum dalam melakukan kegiatan usaha pengangkutan
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif
dengan tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Pendekatan masalah dilakukan
melalui pendekatan normatif terapan dengan tipe live-case study. Data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka, studi dokumen serta wawancara. Pengolahan data dilakukan
melalui identifikasi data dan sistematika data. Data yang telah diperoleh dan
diolah kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa (1) proses untuk
melegalitaskan usaha pengangkutan wajib mengikuti berbagai urusan administrasi
beserta uji kelayakan kendaraan baru untuk melakukan kegiatan usaha dalam
pengangkutan. Selain itu, para pengusaha diwajibkan mendaftarkan usaha mereka
dalam perusahaan keasuransian. (2) Penyelenggaraan angkutan ilegal yang
dilakukan oleh pengusaha sangatlah mengabaikan keselamatan penumpang
pengguna jasa angkutan. Hal tersebut, disebabkan para pengusaha mobil pribadi
sebagai angkutan umum tidak melegalkan usahanya sehingga tidak adanya
kekuatan hukum dalam mengatur tanggungjawab para pengusaha mobil pribadi
yang digunakan sebagai angkutan umum jika terjadi kecelakaan lalu lintas
maupun wanprestasi. Dalam hal ini mereka juga melanggar Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 48 Ayat 1 sampai 3 Tentang Kelayakan Kendaraan
Untuk Beroperasi dan Pasal 237 UULLAJ Tentang Keasuransian Penumpang. (3)
Namun, secara umum sesuai dengan Pasal 1365 KUHPdt perjanjian yang
diadakan oleh pengusaha dengan penumpang dapat mengikat walaupun dilakukan
secara lisan. Sehingga walaupun penumpang tidak dapat mengklaim asuransi
kepada Jasa Raharja, penumpang tetap dapat mengklaim tanggungjawab kepada
pengusaha kendaraan mobil pribadi sebagai angkutan umum.
Kata Kunci : Pengangkutan, Perizinan, Perlindungan Konsumen.ADAM TIANSYAH 09120110012015-04-28T02:11:29Z2015-04-28T02:11:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9086This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90862015-04-28T02:11:29ZPEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI PARKIR SERTA
KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI
DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Sumber-sumber pendapatan pemerintah daerah berasal dari sektor pajak dan
retribusi daerah. Oleh karena itu, optimalisasi pengelolahan pajak harus
ditingkatkan. Pajak dan Retribusi Parkir diharapkan dapat memiliki peranan yang
berarti dalam pembiayaan pembangunan daerah. Ketentuan tentang Pajak dan
Retribusi Parkir di Kota Bandar Lampung di atur dalam Peraturan Daerah Kota
Bandar Lampung Nomor 5 Tahun 2011. Saat target parkir ditetapkan, Dinas
perhubungan Kota Bandar lampung menyepakatinya. Namun seiring
perkembangan, Dinas perhubungan mengaku tidak sanggup karena tak dapat
mengatasi kebocoran yang cukup parah.
Hal inilah yang membuat Pemerintah daerah Kota Bandar Lampung membuat
suatu kebijakan yaitu dengan melakukan kerjasama kepada pihak swasta, yaitu
dengan diserahkannya wewenang oleh pemerintah daerah untuk melakukan
pengelolaan retribusi parkir di kota bandar lampung.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimanakah
pemungutan pajak dan retribusi parkir yang diterapkan di Kota Bandar Lampung
serta kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mengetahui
apakah hambatan yang mungkin timbul dalam menjalankan proses pemungutan
pajak dan retribusi parkir serta kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah
Kota Bandar lampung.
Pendekatan masalah dilakukan secara normatif dan empiris dengan menggunakan
jenis data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan jalan
studi kepustakaan dan studi lapangan yang kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dalam hal proses pemungutan Pajak dan
Retribusi Parkir di Kota Bandar lampung, pemungutan dilakukan dengan cara
yang berbeda, pemungutan retribusi dilakukan oleh petugas yang telah ditetapkan
oleh Dinas Perhubungan disetiap tempat parkir di tepian jalan umum, dalam hal
ini pengguna jasa parkir harus membayar retribusi parkir yang telah ditetapkan
kepada petugas juru parkir, sedangkan untuk pemungutan Pajak Parkir Pemerintah
Kota Bandar Lampung menetapkan besaran Pajak Parkir tersebut adalah 30% dari
hasil yang didapat oleh penyelenggara atau pengelola parkir itu sendiri. Untuk
tahun 2012, Pemerintah Kota menargetkan pencapaian pemungutan Pajak Parkir
sebesar Rp. 4,4 Milyar, namun pada kenyataan nya target tersebut tidak terpenuhi
terhitung sejak awal tahun 2012 sampai dengan bulan Oktober 2012.
Sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung mengalihkan kewenangan
pemungutan Retribusi Parkir kepada pihak swasta.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan, Sebaiknya Dinas Perhubungan Kota
Bandar Lampung membuat suatu perjanjian kerjasama dengan Samsat Provinsi
Lampung yang ketentuan di dalam nya mengatur tentang koordinasi antara Dinas
perhubungan dengan Samsat Provinsi Lampung untuk secara rutin melakukan
pendataan jumlah kendaraan di Kota Bandar Lampung tiap tahun nya agar dalam
penentuan target perolehan Pajak dan Retribusi Parkir tepat sasaran dan target
tersebut dapat terpenuhi.
Perlu diperhatikan tentang karcis/alat bukti Parkir, karena hanya dengan
karcis/alat bukti Parkir maka hal tersebut akan menjadi peluang kebocoran hasil
pemungutan Retribusi Parkir. Pemerintah Kota Bandar Lampung dapat membuat
suatu Peraturan Daerah yang mengatur tentang perubahan Sistem pemungutan
retribusi Parkir dengan menerapkan sistem pemungutan Retribusi Parkir berbasis
Elektronik.
Meskipun pelaksanaan pemungutan Retribusi Parkir di Kota Bandar Lampung
oleh pihak Swasta, hendaknya Walikota dapat memberikan kebijakan kepada
Dinas Perhubungan agar tetap dapat memantau jalan nya proses pemungutan
Retribusi Parkir oleh pihak swasta agar kinerja pihak Swasta dapat terpantau dan
dapat di pertanggung jawabkan.ZEMY HERDA HISVANDA 09120113922015-04-28T02:11:25Z2015-04-28T02:11:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9085This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90852015-04-28T02:11:25ZPERANAN DINAS TENAGA KERJA DALAM MENENTUKAN
KEBIJAKAN KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU
DALAM HUBUNGAN KERJA DI PT. INDOMARCO
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa dalam suatu
kesepakatan hubungan kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu. Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 4 ayat (4) Permenaker Nomor
02/MEN/1993 yang menyatakan bahwa terjadinya hubungan kerja dalam waktu
tertentu adalah karena adanya pekerjaan yang sifatnya sekali selesai atau
sementara sifatnya. Dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja waktu
tertentu yang dilaksanakan di perusahaan-perusahaan di Kota Bandar Lampung
seperti pada PT. Indomarco tidak terlepas dari peranan Dinas Tenaga Kerja Kota
Bandar Lampung sebagai instansi pemerintah yang berperan penting dalam hal
ketenagakerjaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
peranan dinas tenaga kerja dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja waktu
tertentu dalam hubungan kerja di PT. Indomarco Bandar Lampung dan (2) Faktorfaktor apakah yang menjadi penghambat dalam menentukan kebijakan
kesepakatan kerja waktu tertentu dalam hubungan kerja di PT. Indomarco Bandar
Lampung.
Penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif dan empiris. Sumber
data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder
yang dilakukan dengan studi pustaka dan lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan bahwa
Peranan Dinas Tenaga Kerja dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja
waktu tertentu dalam hubungan kerja di PT. Indomarco Bandar Lampung yakni
menentukan bentuk kesepakatan kerja waktu tertentu yang akan didaftarkan antara
pengusaha dengan pekerja, menentukan syarat dan isi kesepakatan berdasarkan
ketentuan dari antara pengusaha dengan pekerja sesuai dengan Permenaker
Nomor 02/MEN/1993, melakukan evaluasi kesepakatan kerja yang akan
didaftarkan pada dinas tenaga kerja, meminta laporan dari perusahaan yang akan
menerapkan kesepakatan kerja waktu ke kantor Dinas Tenaga Kerja dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari sejak penandatangan perjanjian kontrak kerja,
mengcross-check Daftar Isian Kesepakatan Kerja (DIKK). Faktor-faktor
penghambat dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja waktu tertentu dalam
hubungan kerja di PT. Indomarco Bandar Lampung antara lain: Dinas tenaga
kerja mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja waktu
tertentu karena PT. Indomarco Bandar Lampung menerapkan otorisasi
perusahaan, Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung kurang berperan aktif
dalam melakukan pengawasan, pembinaan dan menentukan kebijakan kerja
waktu tertentu. Saran yang peneliti kemukakan dalam penelitian ini antara lain:
pertama, Dinas tenaga kerja hendaknya perlu melakukan koordinasi dan
manajemen lebih baik lagi dengan PT. Indomarco Bandar Lampung agar tidak
mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan kesepakatan kerja waktu
tertentu sehingga kebijakan dari dinas tenaga kerja sesuai dengan Permenaker No
02/MEN/1993 dapat berjalan optimal. Kedua, Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar
Lampung hendaknya lebih aktif dalam pelaksanaan kesepakatan kerja waktu
tertentu, apabila terdapat permasalahan atau perselisihan hubungan kerja dapat
diselesaikan secara musyawarah mufakat
Abstract
The provisions of Article 56 paragraph (1) of the Law of the Republic
of Indonesia Number 13 Year 2003 concerning Manpower explained that in an
employment agreement for a specified period or for an unspecified time. This is
affirmed in Article 4 paragraph (4) Permenaker 02/MEN/1993 number stating that
the employment relationship within a certain time is because of the work that is
completely finished or temporary. In determining the policy of the time working
arrangements implemented in companies in Bandar Lampung as the PT.
Indomarco not be separated from the role of the Department of Labor Bandar
Lampung as government agencies play an important role in terms of employment.
The problem in this study were: (1) How is the role of employment agencies in
determining deal of time working in labor relations at PT. Indomarco Bandar
Lampung, and (2) What factors are the bottleneck in determining policy deal of
time working in labor relations at PT. Indomarco Bandar Lampung.
Legal research is a type of normative and empirical legal research. Sources of data
used in this study in the form of primary data and secondary data were conducted
with the study of literature and field.
Based on the research and discussion the researchers concluded that the role of the
Department of Labor in determining deal of time working in labor relations at PT.
Indomarco Bandar Lampung which determine the shape of time working
arrangements will be registered between employers and workers, to determine the
terms and content of the agreement under the provisions of the employers and
employees in accordance with the Minister of Manpower No. 02/MEN/1993,
evaluation agreements to be registered at labor offices work, asking for a report
from the company that will implement the working time agreement to the
Department of Labor not later than 14 days from the signing of contract
agreement, cross-check Work Agreement Form (DIKK). Limiting factors in
determining a specific time agreements in employment in PT. Indomarco Bandar
Siti Mahrifah
Lampung include: Department of labor difficulties in determining policy
agreements over time for PT. Indomarco Bandar Lampung implement corporate
authorization, the Department of Labor Bandar Lampung less active role in
supervising, training and employment policies specify certain time. The
suggestion that the researchers pointed out in this study are: first, the Department
of labor should need to do coordination and better management of the PT.
Indomarco Bandar Lampung to be no difficulty in determining employment
agreement specified time so that the policy of the department of labor according to
the Minister of Manpower No. 02/MEN/1993 can run optimally. Second, the
Department of Labor should Bandar Lampung an active role in the
implementation of the agreement so that when the time working there are
problems or disputes that could be resolved amicably settlement agreement.
Keywords: policies, employment agreements, given time, role.Siti Mahrifah 09120113722015-04-28T02:11:20Z2015-04-28T02:11:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9084This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90842015-04-28T02:11:20ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ANARKIS MASSA
BERDASARKAN PROSEDUR TETAP KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010
(Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)Abstrak
Demonstrasi atau aksi massa pada dasarnya merupakan sarana untuk
menyampaikan pendapat secara lisan yang dilindungi oleh Undang-Undang, namun
demikian pelaksanaan harus dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggung jawab.
Pada kenyataannya di lapangan sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku
yang mengarah pada tindak kekerasan dan anarkhis massa. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan
anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis? (2) Apakah faktor-faktor
yang menghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa
berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Responden
penelitian ini terdiri dari Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data dianalisis secara
kualitatif dan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Upaya
Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis massa
sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis terdiri dari: a) Upaya penal
dilakukan dengan menggunakan kekuatan secara bertanggung jawab, dilakukan
dengan mengacu pada prinsip-prinsip penggunaan kekuatan Kepolisian yang
bertanggungjawab. Selain itu dilakukan dengan pengamanan sesuai prosedur dan
dalam batas-batas wajar, seperti tidak memukul atau menganiaya demonstran yang
mengganggu ketertiban umum, melakukan pelanggaran atau tindak pidana.
b)Upaya non penal dilakukan dengan negosiasi terhadap para demonstran, tugas
pengamanan demonstrasi tidak hanya mengawal dan mengamankan para
demonstran agar tidak bertindak melanggar hukum, tetapi polisi dituntut untuk
memiliki kemampuan negosiasi terhadap aksi massa yang anarkhis sehingga situasi
menjadi kembali kondusif dan aman. 2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat
upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan anarkis
Ridza Ananda Lubis
massa sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2010, terdiri dari: a) Faktor penegak hukum, secara kualitas yaitu masih
kurang profesionalnya anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya yaitu
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. b) Faktor Sarana dan
Parasarana, secara kuantitas yaitu kurangnya idealnya jumlah anggota polisi
dibandingkan dengan para demonstran, kurangnya sarana dan prasarana untuk
mengantisipasi jumlah demonstran yang sangat besar sehingga pengamanan tidak
berjalan secara maksimal. c) Faktor masyarakat, yaitu adanya para massa bayaran
dalam demonstrasi. Para demonstran bayaran ini seringkali melanggar aturan dan
menjadi pemicu bentok dengan anggota polisi.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada Pihak Kepolisian Resor
Kota Bandar Lampung hendaknya meningkatkan profesionalisme dalam
pengamanan demonstrasi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas
kewajaran kepada demonstran. (2) Disarankan kepada para demonstran hendaknya
memahami hak dan kewajiban dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka
umum serta melaksanakan hak dan kewajiban tersebut secara seimbang. Hal ini
penting dilakukan untuk menghindari potensi pelanggaran, tindak pidana dan
anarkis massa.
Kata Kunci: Upaya Kepolisian, Penanggulangan, AnarkisRIDZA ANANDA LUBIS 09120113672015-04-28T02:11:15Z2015-04-28T02:11:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9083This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90832015-04-28T02:11:15ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN TIDAK
MENYENANGKAN (Studi Putusan Pengadilan Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK)Abstrak
Ungkapan perbuatan tidak menyenangkan pada dasarnya sudah tidak asing terdengar
dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi banyak diantara masyarakat menganggap
remeh ungkapan tersebut dan dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal
sesungguhnya perbuatan tidak menyenangkan khususnya dalam perampasan
kemerdekaan seseorang sangatlah penting menurut pandangan hukum, karena hal itu
dapat membahayakan orang bahkan dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Dibalik setiap perbuatan sekecil apapun itu, apabila telah dibuktikan dalam
persidangan maka pelaku wajib untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Dari
hal ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
pertanggungjawaban pidana perbuatan tidak menyenangkan dengan permasalahan
sebagai berikut; bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
perbuatan tidak menyenangkan dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana perbuatan tidak menyenangkan kepada pelaku
tindak pidana.
Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris
dalam penelitian, sedangkan yang dijadikan responden adalah hakim, pengacara dan
akademisi. Penentuan sampel dilakukan dengan penunjukkan yang disesuaikan
dengan wewenang dan kedudukan sampel dihubungkan dengan permasalahan dari
pertanggungjawaban pidana perbuatan tidak menyenangkan dengan studi putusan
pengadilan nomor : 155/Pid/B/2012/PNTK.
Ratna Pertiwi
Berdasarkan pembahasan atas penelitian yang telah dilakukan, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut; yang menjadi dasar pertanggungjawaban
pidana adalah apabila pelaku tindak pidana terbukti memenuhi unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu adanya perbuatan, adanya peraturan perundangundangan yang dilanggar, dan adanya kesalahan yang dilakukan pelaku, dan juga
berdasarkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada persidangan yang menunjukkan
bahwa pelaku adalah orang yang mampu bertanggungjawab atas kesalahannya dan
hakim juga tidak menemukan sesuatu alasan penghapusan pidana bagi pelaku maka
sudah selayaknya pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perbuatan
pidananya. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK, yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan
putusan pidana adalah dilihat dari empat unsur yaitu fakta hukum dalam
persidangan, hal-hal yang memberatkan dan meringankan, rasa keadilan, serta
kayakinan dari hakim sendiri dalam memutuskan pidana bagi terdakwa dengan
sepantasnya. Hakim dengan seadil-adilnya memutuskan terhadap terdakwa dalam
putusan tersebut di atas dengan masing-masing 8 (delapan) bulan pidana perjara
dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan. Hakim dalam menjatuhkan
pidana tersebut menggunakan teori gabungan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu
selain sebagai sarana pembalasan terhadap terdakwa agar menimbulkan efek jera
juga sebagai pencegahan agar tidak terjadi hal serupa di masyarakat.
Adapun saran yang diajukan adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang haruslah
didasari dengan rasa tanggung jawab si pembuatnya. Apabila seseorang telah
terbukti melakukan tindak pidana dan terbukti dapat mempertanggungjawabkannya
maka penyesalanlah yang akan muncul dikemudian. Karena itu dalam melakukan
perbuatan dalam hal ini perbuatan pidana baiklah dipikirkan terlebih dahulu apakah
diri sendri dapat mempertanggungjawabkannya atau tidak. Sekecil apapun perbuatan
yang terjadi di masyarakat ada peraturannya. Maka sebagai bagian dari masyarakat,
haruslah berhati-hati dalam berbuat sesuatu terutama yang merugikan orang lain.
Karena pada dasarnya tidak semua orang dapat menyelesaikan perbuatan yang
merugikannya dengan cara kekeluargaan. Masyarakat yang mengerti hukum akan
menyelesaikan segala perbuatan yang merugikannya ke jalur hukum. Untuk itu
setiap masyarakat hendaknya dapat mengerti hukum agar suatu saat tidak terjerat
oleh hukum karena ketidakhati-hatian ataupun ketidaktahuan akan hukum.
�Ratna Pertiwi 09120113632015-04-28T02:11:11Z2015-04-28T02:11:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9082This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90822015-04-28T02:11:11ZUPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA
PENADAHAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA
(Studi Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang melakukan
pembangunan di segala bidang, banyaknya kepemilikan kendaraan bermotor roda
dua dan kurangnya kewaspadaan masyarakat dalam menjaga kepemilikan
kendaraan bermotor mangakibatkan tingginya tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor yang berdampak pada timbulnya tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor roda dua tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
bagaimanakah upaya Polri dalam menanggulangi tindak pidana penadahan
kendaraaan bermotor roda dua di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung (2)
apakah yang menjadi faktor penghambat upaya polri dalam menanggulangi tindak
pidana penadahan kendaraan bermotor roda dua di wilayah hukum Polresta
Bandar Lampung.
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan yuridis
normatif untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada, dengan
mengadakan pendekatan masalah secara normatif dan empiris, dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang jelas dan cermat tentang segala sesuatu gejala
atau keadaan objek yang akan diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan studi lapangan. Responden dalam penelitian ini terdiri dari Petugas
Reskrim (Unit Curanmor) Polresta Bandar Lampung dan Petugas Polantas
Polresta Bandar Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan
yang ada yaitu (1) Dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor roda dua ini, pihak Polresta Bandar Lampung melakukan
penanggulangan dengan sarana non penal yaitu preventif (pencegahan) seperti
memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya menumbuhkan
kesadaran hukum, meningkatkan kewaspadaan dan memberikan penerangan serta
sosialisasi kepada masyarakat, dan melakukan razia surat kelengkapan kendaraan
bermotor. Sedangkan sarana penal dengan penanggulangan yang bersifat represif
Nirmala Asri Prayogi
(penindakan) seperti menerima laporan, melakukan penyidikan, melakukan
penyitaan terhadap barang-barang yang diduga hasil kejahatan dan melakukan
penangkapan. (2) Faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh Polresta Bandar
Lampung dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor
hasil pencurian ini adalah dari faktor barang bukti itu sendiri yaitu sepeda motor
yang sudah ditadah tersebut tidak dalam keadaan sama saat kendaraan tersebut
dicuri sehingga menyulitkan polisi dalam mengusut keberadaaan barang bukti.
Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kejadian tindak
pidana pencurian itu sendiri sangat lamban sehingga polisi mengalami kesulitan
dalam mengusut dan menyelesaikan kasus tersebut.
Menyikapi permasalahan tersebut diatas, maka (1) Agar pihak kepolisian cepat
dan tanggap dalam menanggulangi masalah tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor roda dua ini seperti rangkaian kegiatan penindakan yang ditujukan
kearah pengungkapan terhadap semua kasus tindak pidana yang telah terjadi yang
disebut sebagai macam faktual. Bentuk kegiatannya antara lain penyelidikan,
penyidikan dan upaya lainnya yang disahkan menurut Undang-Undang, selain itu
pihak kepolisian harus menambah intensitas razia terhadap kendaraan bermotor
roda dua, memberikan pengarahan dan pemahaman hukum serta peningkatan
kewaspadaan masyarakat guna meminimalisir terjadinya tindak pidana penadahan
kendaraan bermotor roda dua tersebut. (2) Masyarakat harus lebih waspada
terhadap terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang berakibat
timbulnya tindak pidana penadahan, selain itu harus lebih memperhatikan
kelengkapan dari surat-surat kelengkapan kendaraan bermotor apabila membeli
sepeda motor bekasNIRMALA ASRI PRAYOGI 09120113522015-04-28T02:11:06Z2015-04-28T02:11:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9081This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90812015-04-28T02:11:06ZPERTANGGUNG JAWABAN BAGIAN KEUANGAN BADAN LAYANAN
UMUM DAERAH DALAM PEMBERIAN MODAL USAHA BAGI
KOPERASI DI PROVINSI LAMPUNGAbstrak
Pada perkembangan ekonomi, permasalahan industri atau perdagangan yang
sering dibicarakan adalah persoalan pemberian modal. Sebab pemberian modal
merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukannya salah satunya
(koperasi). Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008,
pemberian modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanaman modal dalam negeri maupun modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah Negara Republik Indonesia. Pemberian modal baik secara perseorangan
atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Kegiatan
penanaman modal telah menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian
nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian nasional dan perekonomian daerah. Dalam pemberian modal
dengan koperasi sangat terkait menimbang bagaimana koperasi itu dapat
terlaksana dengan adanya pemberian modal bagi koperasi.
Masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana bentuk pertanggung jawaban
bagian keuangan Badan Layanan Umum Daerah dalam pemberian modal usaha
bagi koperasi di Provinsi Lampung (2) Apa sajakah faktor penghambat dalam
pertanggung jawaban bagian keuangan Badan Layanan Umum Daerah dalam
pemberian modal usaha bagi koperasi di Provinsi Lampung
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif
dan pendekatan empiris. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer
dan sumber data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari informan
yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum. Dalam penelitian ini
dipergunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara
menggambarkan kenyataan atau keadaan terhadap objek.
Hasil penelitian yang didapat bentuk pertanggung jawaban bagian keuangan
Badan Layanan Umum Daerah dalam pemberian modal usaha bagi koperasi di
Provinsi Lampung adalah : (1) menyerahkan laporan akhir tahun kepada kepala
dinas koperasi, UMKM, perindustrian dan perdagangan. (2) bentuk pertanggung
jawaban dari UMKM kepada Badan Layanan Umum Daerah adalah dengan
mengajukan proposal bersyarat dan pengangsuran pengembalian pinjaman modal
tepat waktu.
Faktor penghambat yang dihadapi bagian keuangan Badan Layanan Umum
Daerah dalam pemberian modal usaha bagi koperasi di Provinsi Lampung adalah:
(1) faktor musibah bencana alam, broken home, perceraian atau nasabah
meninggal dunia. (2) tidak terealisasi nya pinjaman modal di karenakan pengajuan
modal yang tidak sesuai dengan jumlah yang ditentukan atau meminta lebih dari
yang di tetapkan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas bahwa pertanggung
jawaban bagian keuangan BLUD dalam pemberian modal usaha bagi koperasi di
Provinsi Lampung yaitu pertanggung jawaban kepada Gubernur melalui Kepala
Dinas Koperindag dengan memberikan laporan akhir tahun.
Saran yang dapat diberikan yaitu dengan mengajukan laporan pertanggung
jawaban peminjaman modal per triwulan sehingga bisa lebih terinci lagi dan
dengan melakukan pendekatan kepada peminjam agar tidak terjadi nya faktor
penghambat seperti perceraian/broken home
Abstract
In the economic development, industrial or trading problems that often spoken is
the problem of giving the business capital because it is an important issue in
establishing which is economic enterprise as one of them. In the article 1 number
7 of Government rules No. 44 in 2008, giving a capital is all activities to invest a
capital either by local investment in local country or foreign capital to have
business in Indonesia. Giving the capital personally or corporation which invests
local capital investment or international capital investment. The investment has
been part of national economy and it is has been placed as an effort to increase
national economy development and local economy. There is a close relation
between giving the capital business and economic enterprise. The economic
enterprise can run well if there is a support from giving the business capital.
The problems in this research are : (1) What is the format of justification from
Financial Departement of the Local General Service Board in giving the business
capital to economic enterprise in Lampung Province (2) What are the inhibiting
factors of the justification Financial Departement of the Local General Service
Board in giving the business capital to economic enterprise in Lampung Province.
The problems’ approach of the research was done by the normatif and empiric
approach. The primary and secondary data were used as data sources. Primary
data are the data from an informant that have connected with the research objects.
Secondary data are the data from the bibliography toward the legal materials. In
this research, the writer used qualitatif analysis method. It has been done by
describing the fact or the situation of an object.
The research’s results format of justification from financial departement of the
local general service board in giving the business capital to economic enterprise in
Lampung Province are : (1) Submitting the annual final reports to the economic
enterprise department, UMKM, trading and industry. (2) The justification format
from UMKM to The Local General Service Board is by proposing conditional
proposals and returning the capital loan on time.
The inhibiting factors faced by the justification financial department of the Local
General Service Board in giving the business capital to economic enterprise in
Lampung Province are : (1) natural disaster factors, broken home, divorced or
passed away clients. (2) the unreleased capital loan because the number of loan
does not fit with the standard number decided or asks for more than it.
The conclusion can be summarized from the explanations above that the
justification from Financial Departement of the Local General Service Board in
giving the business capital to economic enterprise in Lampung Province is the
justification to the Governor through the head of Economy Enterprise, Trading
and Industry by submitting the annual final report.
The writer suggests that there should be a justification of capital loan per three
months so it can be more detailed and do the approachment to the borrowers or
creditors in order to avoid the appearance of inhibiting factors like divorced or
broken homeMEGA PUTERI 09120113412015-04-28T02:11:02Z2015-04-28T02:11:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9080This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90802015-04-28T02:11:02ZANALISIS YURIDIS PENERAPAN PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP
TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA
MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG
(Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Tanjung Karang)Abstrak
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun seorang
diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan
masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang
terdapat dalam Pasal 153-181. Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana
implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga
bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan apa yang menjadi dasar pertimbangan
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang
yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1
KUHP.
Untuk menjawab permasalahan, pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris.
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan
wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data
melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan
sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk
uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Implementasi
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama
melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Dalam kasus yang diteliti oleh penulis telah sesuai dengan
unsur-unsur dalam pasal tersebut. Unsur-unsur dalam pasal tersebut adalah barang
siapa, secara terang-terangan dengan tenaga bersama, Melakukan kekerasan
M. Fadilah
terhadap orang atau barang, dan menyebabkan orang lain luka telah terpenuhi
semua setelah diperiksa hakim di persidangan. Pidana yang dijatuhkan oleh
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap Terdakwa Nur Cahyono bin
Paino yang melakukan tindak pidana pengeroyokan sesuai dalam Pasal 170 ayat
(2) ke-1 KUHP relative lebih ringan dari tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum
yaitu 2 (dua) bulan lebih 15 (lima belas) hari dikurangi masa tahanan sebelumnya.
Dasar pertimbangan hakim pada kasus tindak pidana pengeroyokan dalam Pasal
170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dilakukan oleh Terdakwa Nur Cahyono
berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana,
yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis, dan berpedoman Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, dengan adanya
alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, serta pertimbangan atas dasar
keyakinan atau hati nurani dari diri hakim. Unsur-unsur pasal 170 ayat (2) ke-1
KUHP telah terpenuhi, hal yang memberatkan dan hal yang meringankan
terdakwa, tidak terdapatnya alasan-alasan yang dapat menghapus pidana terdakwa
baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf di dalam diri terdakwa sangat
dipertimbangkan oleh hakim dalam memberikan pidana.
Disarankan dalam prakteknya prinsip-prinsip dalam masyarakat ini benar-benar
dilaksanakan terutama terhadap perkara tindak pidana kekerasan dimana keadilan
dari pihak terdakwa dan pihak korban sama-sama diperhatikan berdasarkan
peraturan yang berlaku. M. Fadilah 09120113402015-04-28T02:10:55Z2015-04-28T02:10:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9079This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90792015-04-28T02:10:55ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA LINGKUNGAN HIDUPAbstrak
Tindak pidana di bidang lingkungan hidup merupakan kejahatan yang cukup
meresahkan masyarakat serta membawa dampak yang berbahaya bagi kesehatan
dan kenyamanan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengkaji dalam bentuk skripsi berjudul: “Analisis Penegakan Hukum terhadap
Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup”. Permasalahan yang diajukan adalah:
1) Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup, dan 2) Apakah faktor penghambat upaya penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Oleh karena itu data yang digunakan berupa
data primer yang didapat dari penelitian lapangan dan data sekunder yang berasal
dari penelitian kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut: (1) Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung dilaksanakan dengan
menggunakan 2 (dua) cara, yaitu Upaya penal yang salah satu upaya penegakan
hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang
lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang
dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman
bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan, dan seterusnya
merupakan bagian-bagian dari politik kriminal, Upaya non penal yang lebih
menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak
langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana,
selanjutnya juga dilaksanakan dengan menggunakan 3 (tiga) tahap, yaitu Tahap
formulasi berupa perumusan tindak pidana dan sanksi pidana terhadap
pencemaran lingkungan hidup; Tahap aplikasi, berupa tahap pemberian pidana
atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif), dan
Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang
LIBERTI MARANATA SITEPU
(sebagai kebijakan eksekutif). serta (2) Faktor penghambat upaya penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dipaparkan sebagai
berikut: a) kurang baiknya sistematisasi dan sinkronisasi perangkat hukum
lingkungan, b) kurangnya pengetahuan penegak hukum tentang hukum
lingkungan, c) kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kelestarian
lingkungan hidup dan d) kurangnya sarana.dan fasilitas yang mendukung daya
berlakunya hukum lingkungan.
Berdasarkan kesimpulan diatas, diajukan saran sebagai masukan bagi penegak
hukum sebagai berikut: a) Perlunya pakar ahli di instansi yang menangani kasuskasus tindak pidana lingkungan hidup, b) Perlu adanya laboratorium di setiap
instansi, c) Perlu adanya Penyuluhan Hukum pada masyarakat, dan d) Perlu
adanya pemberitahuan kepada masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar.
Kata kunci: Penegakan Hukum, Pelaku Tindak Pidana Lingkungan HidupLIBERTI MARANATA SITEPU 09120113352015-04-28T02:10:50Z2015-04-28T02:10:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9078This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90782015-04-28T02:10:50ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN JARINGAN SISTEM
ELEKTRONIKA TERHADAP
PERBANKANAbstrak
Penyalahgunaan jaringan sistem elektronika adalah suatu perbuatan yang tidak
benar atau berlebihan dalam menerapkan hubungan dua sistem elektronik atau
lebih, atas serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Sehingga
penyalahgunaan jaringan sistem elektronika yang memiliki potensi kerugian yang
sangat besar, apalagi dengan mulai berlakunya layanan perbankan secara
elektronik dalam bentuk e-banking dan Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Oleh
karena itu, sangat diperlukan adanya sebuah peran dan upaya serta tindakan dari
aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah kepolisian agar masyarakat
merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tentang : Bagaimanakah peran Kepolisian dalam penanggulangan
penyalahgunaan jaringan sistem elektronika terhadap perbankan dan Apakah
faktor-faktor penghambat Kepolisian dalam pencegahan penyalahgunaan jaringan
sistem elektronika terhadap perbankan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris sebagai penunjang penelitian. Sedangkan yang dijadikan narasumber
dalam skripsi ini adalah anggota Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung.
Kasus penyalahgunaan jaringan sistem elektronika terhadap perbankan itu sendiri
belum pernah terjadi di Kota Bandar Lampung. Sehingga upaya penal terkait
peran Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung belum dapat diterapkan. Oleh
karena itu, dalam pembahasan terkait peran kepolisian dalam penanggulangan
penyalahgunaan jaringan sistem elektronika terhadap perbankan lebih terfokus
pada upaya non penal atau yang sering disebut Preventif yaitu bersifat mencegah
sebelum terjadinya kejahatan. Beberapa upaya non penal yang dilakukan oleh
Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung antara lain adalah : (1) Patroli
BENNY KURNIAWAN
Keamanan; (2) Mendatangi pos-pos keamanan bank untuk koordinasi dan saling
tukar menukar informasi; (3) Kring serse dan unit pelayanan 24 jam; (4)
Mendatangi sentra-sentra kegiatan masyarakat; (5) Himbauan kepada masyarakat;
(6) Himbauan kepada pihak bank; (7) Melaporkan perkembangan situasi daerah
patroli. Peran kepolisian dalam penanggulangan penyalahgunaan jaringan sistem
elektronika terhadap perbankan ini menemukan hambatan-hambatan yang
menyulitkan kepolisian dalam mencegah tindak pidana ini. Hambatan-hambatan
tersebut muncul karena beberapa faktor yaitu : (1) faktor penegakan hukum; (2)
faktor sarana dan fasilitas; (3) faktor masyarakat yang mengakibatkan kepolisian
kesulitan dalam menerapkan perannya untuk pencegahan penyalahgunaan
jaringan sistem elektronika terhadap perbankan.
Berdasarkan penelitian dari penulis, maka penulis memiliki saran agar aparat
Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dapat lebih memaksimalkan kinerjanya
terkait peran dan upaya pencegahan penyalahgunaan jaringan sistem elektronika
terhadap perbankan dengan cara memberikan pelatihan kepada personilnya terkait
penyalahgunaan jaringan sistem jaringan seperti : mengirimkan personil
Kepolisian ke Universitas yang Berkompetensi dibidang Teknologi Informasi
atau dengan cara mendatangkan seseorang yang ahli dibidang Teknologi dan
Informasi.BENNY KURNIAWAN 09120113072015-04-28T02:10:46Z2015-04-28T02:10:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9077This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90772015-04-28T02:10:46ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN
PEMBUNUHAN DENGAN MUTILASIAbstrak
Kehidupan masyarakat saat ini semakin membuat kita menjadi sesosok orang
yang harus penuh dengan kewaspadaan, karena maraknya kejahatan saat ini
semakin merajalela. Sering kali yang menjadi momok dikehidupan kita ialah
kejahatan pembunuhan. Banyak berbagai metode yang dilakukan oleh pelaku
untuk membunuh sang korban nya, seperti memotong-motong tubuh korban
menjadi beberapa bagian atau biasa disebut dengan mutilasi. Hal ini menimbulkan
permasalahan dalam skripsi ini bagaimana analisis kriminologis terhadap
kejahatan pembunuhan dengan mutilasi, yang berkaitan dengan bagaimana faktorfaktor terjadinya pembunuhan mutilasi, upaya penanggulangan kejahatan
pembunuhan mutilasi serta upaya penghambat penanggulangan kejahatan
pembunuhan mutilasi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan
wawancara terhadap pihak Kepolisian di Polres Lampung Tengah. Sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan
cara memeriksa dan mengoreksi data, setelah data diolah yang kemudian
dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang
memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Bedasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor-faktor penyebab pelaku
melakukan pembunuhan mutilasi adalah berkaitan dengan tiga teori pendekatan
yaitu teori pendekatan biologi kriminal, teori pendekatan psikoloogi kriminal, dan
teori pendekatan sosiologi kriminal. Namun faktor utama penyebab pelaku
melakukan pembunuhan mutilasi adalah faktor psikologi kriminal dan faktor
sosiologi kriminal, sedangkan faktor biologi kriminal hanya sebatas faktor
pendukung dari kedua faktor lainnya. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi kejahatan pembunuhan mutilasi antara lain meliputi bidang
hukum, aparat penegak hukum dan masyarakat itu sendiri dimana upaya tersebut
Anderia Sakti
dapat digolongkan menjadi upaya preventif dengan menggunakan sarana nonpenal yaitu berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatn dan upaya represif
dengan menggunakan sarana penal yaitu berupa pemberantasan dan penumpasan
sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan faktor pengahambat upaya penanggulangan
pembunuhan mutilasi yaitu faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri,
faktor aparat penegak hukum,yakni sebagai pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum, dan faktor kebudayaan yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Bedasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka saran-saran penulis kepada
aparat penegak hukum agar segera dirumuskan aturan perundang-undangan yang
mengatur pembunuhan mutilasi, dan kepada aparat kepolisian agar lebih
meningkatkan kualitas dan tingkat profesionalisme anggotanya dalam
mengungkap dan memproses kasus pembunuhan mutilasi yang terjadi karena
semakin banyak modus-modus operasi yang dilakukan pelaku yang sangat
beraneka ragam sehingga mengalami perkembangan dan memproses secara cepat
kasus pembunuhan mutilasi guna kepentingan semua pihakAnderia Sakti 09120112932015-04-28T02:10:41Z2015-04-28T02:10:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9076This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90762015-04-28T02:10:41ZPELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG
PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
(Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung)Abstrak
Pengguna narkotika dan psikotropika merupakan salah satu korban dari tindak
pidana narkotika yang seharusnya mendapatkan perlindungan hak-hak sebagai
korban. Penahanan dan pemenjaraan pengguna narkotika berdampak sosial,
ekonomi, kesehatan, dan pendidikan untuk masa depan pengguna narkotika. Pasal
55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mewajibkan
kepada pencandu narkotika yang sudah cukup umur atau orang tua/wali dari
pencandu narkotika yang belum cukup umur untuk melapor kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah
prosedur dan tahapan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Propinsi Lampung, dan apa saja yang menjadi faktor penghambat
dalam pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan
wawancara terhadap pihak direktorat reserse Narkotika Kepolisian Daerah
Propinsi Lampung dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Lampung. Data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah, setelah
data diolah yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna
mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang
diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
prosedur dan tahapan wajib lapor pecandu narkotika adalah Wajib lapor pecandu
narkotika bisa siapa saja. Pencandu narkotika yang telah datang ke RSJD
Lampung selanjutnya akan melakukan asesmen sebagai awal pemeriksaan.
Penyelenggara Program Rehabilitasi wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
pelaksanaan rehabilitasi. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Wajib Lapor,
Yuni Rahayu
dilaksanakan oleh Menteri, yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial dan Badan Nasional Narkotika. Pecandu Narkotika yang telah
selesai menjalani rehabilitasi dilakukan pembinaan dan pengawasan dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Pecandu Narkotika yang telah
melaporkan diri atau dilaporkan, diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen.
Kartu lapor diri berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Kartu lapor diri
diberikan oleh Pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor. Faktor Penghambat
Dalam Pelaksanaan Wajib Lapor Dan Perawatan / Rehabilitasi Pecandu Narkotika
adalah : faktor penegak hukum yang masih mengenyampingan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika. Faktor sarana dan prasana yang masih belum memadai dalam
pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika. Faktor masyarakat yang belum
memahami program wajib lapor pecandu narkotika dan pemahaman bahaya dari
narkotika itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka saran yang dapat
disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut : Diharapkan kepada Pemerintah,
Penegak Hukum, dan Masyarakat untuk lebih mendukung terlaksananya program
wajib lapor pecandu narkotika, RSJD Lampung agar dapat melaksanakan
tugasnya dalam rehabilitasi Pecandu Narkotika dengan maksimal walaupun sarana
dan prasarananya belum seperti yang diinginkan. Pemerintah Derah Lampung
untuk menanggapi secara serius terkait dengan pembangunan pusat rehabilitasi
narkotika di Propinsi Lampung. Diharapkan Kepada DPRD Propinsi Lampung
untuk membahasnya secara serius permasalahan fasilitas dan pendanaan yang
sampai saat ini masih tersendat.
Kata kunci : wajib lapor, pecandu narkotika, peraturan pemerintahYuni Rahayu 09120112742015-04-28T02:10:37Z2015-04-28T02:10:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9075This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90752015-04-28T02:10:37ZAnalisis Kriminologis Terhadap Perempuan
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan
(Studi Wilayah Polresta Bandar Lampung)Abstrak
Tindak pidana pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, perempuan juga
dapat melakukan tindak pidana pembunuhan.Sifat dasar perempuan yang lemah
lembut dapat berubah dan melakukan tindak pidana pembunuhan memiliki alasan
yang logis dan rasional. Adanya faktor-faktor penyebab seorang perempuan
melakukan tindak pidana pembunuhan , seperti faktor kejiwaan, faktor ekonomi, dan
overmachtmerupakan contoh penyebab perempuan dapat melakukan tindak pidana
pembunuhan.Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah faktor-faktor
yang menyebabkan perempuan melakukan tindak pidana pembunuhan? (2)
Bagaimanakah upaya Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pembunuhan
yang dilakukan oleh perempuan? (3) Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat
Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh
perempuan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris.Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Responden penelitian terdiri dari Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung,
Pegawai Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bandar Lampung, dan Narapidana
perempuan Lembaga pemasyarakatan kelas IIA Bandar Lampung. Data penelitian
dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Faktorfaktor yang menjadi penyebab perempuan melakukan tindak pidana pembunuhan
terdiri dari faktor intern yang berasal dari dalam individu dan faktor ekstern yang
berasal dari luar individu. (2) Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Kepolisian
YOGA NUGRAHA LIAWAN
Resor Kota Bandar Lampung dilakukan secara preventif dan represif, dengan sarana
penal dan non penal. Lembaga Pemasyarakatan juga melakukan pembinaan terhadap
narapidana perempuan yang melakukan tindak pidana pembunuhan yang bertujuan
untuk mengembalikan narapidana tersebut ke masyarakat agar dapat diterima. (3)
Faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian
terdapat dalam proses penyidikan dan kurangnya antusiasme mas yarakat terhadap
penyuluhan atau konseling yang dilakukan oleh unit PPA Polresta Bandar Lampung.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1)Faktor intern merupakan faktor yang paling kuat
mempengaruhi perempuan. Perempuan harus lebih rasional dalam bersikap, jangan
menggunakan hati dan perasaan dalam menghadapi sebuah permasalahan.Melalui
pengetahuan agama dan pendekatan spiritual kepada Tuhan YME, dapat melatih diri
untuk lebih tenang dan mengenyampingkan emosional.Keluarga dan lingkungan
merupakan faktor ekstern yang harus di disikapi secara baik.Keluarga harus
mendukung dan memberikan perhatian. Media massa dan pemerintah juga harus
berperan aktif dalam memberikan informasi dan pelayanan guna melindungi
masyarakat. (2) Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung harus lebih intens dalam
penanggulangan secara non penal, dengan penyuluhan atau konseling. Upaya
penanggulangan penal harus lebih tegas dan tertata baik. Serta pembinaan di Lapas
harus dilaksanakan secara baik dengan harapan agar perempuan pelaku tindak pidana
pembunuhan menyadari kesalahan-nya dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
(3) Masyarakat khususnya perempuan, harus mendukung upaya penyuluhan yang
dilakukan kepolisian Resor Kota Bandar Lampung agar masyarakat mengerti tentang
sanksi dan hukuman yang akan di jatuhi apabila melakukan tindak pidana
pembunuhan. Penyidik harus lebih aktif dalam menyidik kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh perempuan. Pemerrintah harus memberikan sarana dan fasilitas yang
mendukung guna penyidikan sampai pembinaan yang dilakukan sebagai upaya penal
agar tidak menghambat proses hukum yang berlaku. YOGA NUGRAHA LIAWAN 09120112702015-04-28T02:09:37Z2015-04-28T02:09:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8905This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89052015-04-28T02:09:37ZUPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH GENG MOTOR
(Studi di Wilayah Hukum Polres Metropolitan Jakarta Utara)
Abstrak
Publik Jakarta tersentak tatkala geng motor mengamuk. Mereka menebar teror pada dini hari tanpa ada satu pun aparat keamanan muncul untuk mengatasinya. Selama ini publik Jakarta memang abai terhadap keberadaan geng motor.Mereka juga lupa bahwa teror yang ditebar geng motor sudah begitu mengkhawatirkan. Bayangkan saja, pada 2009 ada 68 orang tewas di arena balapan liar, tempat geng motor berkumpul. Pada 2010 ada 62 orang tewas dan 2011 ada 65 tewas.Dari hal ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh geng motor (Studi di Wilayah Hukum Polres Metro Jakarta Utara) dengan permasalahan sebagai berikut:(1) Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh geng motor dan (2) Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan geng motor.(3) Faktor penghambat penanggulangan kejahatan geng motor.
Pendekatan masalah yang dilakukan secara yuridis empirisdan yuridis normatif, sedangkan yang dijadikan responden polisi dan anggota geng motor. Penentuan sampel dilakukan dengan penunjukkan yang disesuaikan dengan wewenang dan kedudukan sampel dihubungkan dengan permasalahan yang diajukan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh geng motor ialah faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal antara lain: cacat yang bersifat biologis dan psikis berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gengnya yang criminal, perkembangan kepribadian. Faktor situasional yaitu: pengaruh negatif dari orang tua, pengaruh negatif dari lingkungan sekolah, pengaruh negatif dari lingkungan masyarakat, tidak ada/ kurangnya pengawasan orang tua, tidak ada/ kurangnya pengawasan pemerintah, tidak ada/ kurangnya pengawasan masyarakat, tidak ada pengisian waktu yang sehat, lingkungan fisik kota besar, dan anonimitas karena banyaknya penduduk kota-kota besar.
Yohanes Aritonang
Upaya polri dalam penanggulangan kejahatan geng motor, pihak Polres Metro Jakarta Utara melakukan cara penal dan non penal. Non penal disebut juga preventif (pencegahan) yaitu dengan razia, berpatroli dan memberikan penyuluhan terhadap anak-anak SMA dengan mengirimkan perwakilan dari pihak kepolisian tentang bahayanya geng motor. Upaya Penal atau Penanggulangan Secara Represif tindakan represif antara lain mencakup tindakan menyelidiki, pemeriksaan tersangka, penahanan, penyitaan benda (barang bukti), pemeriksaan saksi, pemeriksaan di tempat kejadian dan dengan berpedoman pada KUHAP, KUHP, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Faktor penghambat penanggulangan geng motor antaralain: faktor penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan faktor kebudayaan.
Adapun saran yang diajukan adalah : (1) Hendaknya dalam menangani masalah geng motor melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat yaitu aparat penegak hukum, instansi-instansi yang terkait dan masyarakat luas. Adanya aparat penegak hukum yang professional mutlak diberlakukan dalam upaya penegakan hukum (2) Untuk remaja atau geng motor sendiri diperlukan mawas diri dalam melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri dan melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekeliruan yang telah dilakukan. Sebaliknya orang tua dan para Pembina remaja harus memperbanyak kearifan, kebaikan, dan keadilan, agar orang dewasa dapat dijadikan panutan bagi anak-anak muda demi perkembangan dan proses jangka panjang bagi generasi muda penerus bangsa.
KATA KUNCI: Penanggulangan, Kejahatan, Geng Motor
Yohanes Aritonang 09120112722015-04-28T02:09:32Z2015-04-28T02:09:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8904This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89042015-04-28T02:09:32ZPELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI KOMISI INFORMASI PROVINSI
LAMPUNGAbstrak
Dasar hukum yang menyatakan bahwa hak memperoleh informasi merupakan suatu
Hak Asasi Manusia yaitu dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih
dan Bebas dari KKN menuntut adanya keterbukaan informasi publik guna
tercapainya tujuan pemerintahan yang bebas dari KKN.Amanat konstitusi tersebut
yang melatar belakangi dibuatnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi. Untuk menjalankan Undang-undang tersebut maka di
bentuklah PP No. 61 tahun 2010 tentang pelaksanaan Undang-undang 14 tahun
2008.pembentukan Komisi Informasi baik dipusat maupun daerah juga di atur dalam
undang-undang No.14 tahun 2008, Komisi Informasi Provinsi Lampung sudah
terbentuk sejak tahun 2010 dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa informasi
publik di tingkat Provinsi.
Permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan
tugas dan fungsi Komisi Informasi Provinsi Lampung dan bagaimana faktor
penghambat pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi Provinsi Lampung.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi
Informasi Provinsi Lampung serta faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi Komisi Informasi Provinsi Lampung tersebut. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-empiris berdasarkan sumber data
primer dari hasil wawancara dengan Anggota Komisi Informasi Provinsi Lampung,
data sekunder yang berasal dari buku-buku, serta data tersier yang berasal dari artikel
terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi. Metode pengumpulan
data dengan menggunakan studi pustaka.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Komisi Informasi telah berusaha
memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat dengan cara Pertama,
penyelesaian sengketa informasi publik dengan menggunakan mediasi dan ajudikasi
nonlitigasi dalam penyelesaian sengketa dan Komisi Informasi Provinsi Lampung
bertindak sebagai mediator.Kedua, menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi
publik. Penetapan kebijakan umum ini dibuat dengan program-program kerja Komisi
Informasi yang berdasarkan tugas dari Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Advokasi..
Ketiga, penetapan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Dalam hal pelaksanaannya Komisi Informasi Provinsi mengalami hambatan yaitu
sekretariat Komisi Informasi yang kurang memadai, anggaran yang proses
pencairannya lambat, serta sumber daya manusia (stake holder) kurang memadai dan
Kurangnya sosialisasi.
Kata kunci: Komisi Informasi, Informasi Publik.
Abstract
Basic law which states that the right to information is a human rights under Article
28F of the Constitution of 1945. Law Number 28 of 1999 on the Governing That is
Free of Corruption requires public disclosure in order to achieve goals KKN.Amanat
free reign of the constitution of the background made the Law No. 14 Year 2008 on
Disclosure of Information. To run these laws then in the form a PP. 61 of 2010 on the
implementation of Act 14 of 2008 concerning public disclosure and the establishment
of the Commission both the center and local information, Lampung Provincial
Information Commission has been established since 2010 and are authorized to
resolve disputes of public information at the provincial level.
Concerns raised in this study is how the duties and functions of Information
Commission Lampung Province and how the factors inhibiting the implementation of
the duties and functions of Information Commission Lampung Province. The purpose
of this study was to determine the duties and functions of Information Commission
Lampung Province and inhibiting factors in the performance of duties and functions
of the Lampung Provincial Information Commission. The method used in this study
is based on a normative-empirical primary data sources from interviews with the
Information Commissioner Lampung Province, secondary data from books, as well as
data derived from tertiary related articles to the duties and functions of Information
Commission. Methods of data collection using the literature.
The results showed that the Information Commission has been trying to provide
public information services to the public by the First, public information disputes
using mediation and adjudication of dispute resolution and litigation in Lampung
Province Information Commission to act as a mediator.Second, set the general policy
of public information services. This general policy determination made by the
Commission's work program is based on information from field duty Education,
Outreach and Advocacy. Third, the establishment of guidelines and technical
instructions.
In terms of implementation obstacles Provincial Information Commission is the
secretariat of the Commission inadequate information, budget disbursement process
is slow, as well as human resources (stakeholders) is inadequate and lack of
socialization.
Keywords: Information Commission, Public Information.UCI NAWA INSANI 09120112602015-04-28T02:09:25Z2015-04-28T02:09:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8903This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89032015-04-28T02:09:25ZPERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN
RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIKAbstrak
Penampilan menarik diinginkan oleh setiap wanita, oleh karena itu kosmetik
menjadi salah satu kebutuhan. Tindakan curang terjadi pada bidang usaha
kosmetik ini, yaitu penyalahgunaan rhodamin b sebagai bahan pewarna. Untuk itu
yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah pertama, Tata cara
pendaftaran produk kosmetik di BPOM. Kedua, Bentuk pelanggaran yang
dilakukan pelaku usaha terkait penyalahgunaan rhodamin b pada kosmetik
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Ketiga, Tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang
mengandung rhodamin b.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif
terapan. Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh
langsung dari wawancara dengan pihak BBPOM Bandar Lampung dan data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan
studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan mengenai tata cara pendaftaran
kosmetik di BPOM yaitu, Pemohon mengisi template secara elektronik melalui
website BPOM kemudian template tersebut disimpan dan dikirim secara
elektronik ke BPOM, pemohon yang telah berhasil mengirim template notifikasi
akan menerima surat perintah bayar melalui email pemohon, pemohon kemudian
melakukan pembayaran melalui bank yang ditunjuk, lalu menyerahkan bukti
pembayaran melalui bank kepada BPOM, bukti pembayaran yang diterima BPOM
akan diverifikasi kebenarannya, kemudian pemohon menerima tanda pengenal
produk sebagai tanda terima pengajuan permohonan notifikasi. Apabila dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan permohonan notifikasi
diterima oleh Kepala BPOM tidak ada surat penolakan maka dianggap disetujui.
Bentuk pelanggaran pelaku usaha berdasarkan UUPK yaitu tidak menjalankan
Tyas Hartanti Meidiana
kewajiban sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, d, e, f,g serta
melakukan pelanggaran hukum yang dilarang dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a, d, e,
f, i. Bentuk pelanggaran pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
yaitu pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana telah ditentukan
dalam Pasal 98 Ayat (1), Pasal 105 Ayat (2), dan Pasal 106 Ayat (1) dan (2).
Tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang
mengandung rhodamin b akan ditarik dari peredaran,dimusnahkan dan dilakukan
tindakan projusticia.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Penyalahgunaan Rhodamin b,
KosmetikTYAS HARTANTI MEIDIANA 09120112592015-04-28T02:09:20Z2015-04-28T02:09:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8898This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88982015-04-28T02:09:20ZPERAN DAN FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
(BPOM) DALAM PEREDARAN OBAT TRADISIONAL TERDAFTAR DI
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang didirikan oleh pemerintah untuk mewujudkan pengawasan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. BPOM menjalankan tugas
pemerintah dalam mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia, termasuk
mengawasi peredaran dan penjualan produk obat tradisional terdaftar di Bandar
Lampung. Berkaitan dengan hal ini, yang menjadi pokok bahasan dalam
penelitian ini adalah pertama bagaimanakah prosedur pendaftaran obat tradisional
oleh BPOM. Kedua bagaimanakah peran dan fungsi BPOM terhadap pengawasan
peredaran obat tradisional terdaftar di Bandar Lampung. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memahami prosedur pendaftaran obat tradisional oleh BPOM dan
untuk menggambarkan peran dan fungsi BPOM dalam pengawasan peredaran
obat tradisional terdaftar di Bandar Lampung.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan
normatif terapan (applied law approach). Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara studi kepustakaan, studi wawancara dan studi dokumen dengan pengelolaan
data dilakukan melalui editing, evaluasi dan sistematisasi data. Data yang
diperoleh dianalisis secara kualitatif.
Hasil pembahasan menjelaskan bahwa prosedur pendaftaran obat tradisional di
BPOM dilakukan oleh produsen untuk memperoleh izin edar agar produk obat
tradisional yang diproduksinya dapat beredar secara legal di wilayah Indonesia.
Prosedur awal yang dilakukan produsen dalam pendaftaran obat tradisional adalah
memenuhi kriteria obat tradisional yang didaftarkan dan memenuhi syarat
pendaftaran obat tradisional. Setelah kriteria dan syarat tersebut terpenuhi,
produsen melakukan pendaftaran secara manual di BPOM atau secara online di
Rintar Zahrina Ali
website pom.go.id. Prosedur pendaftaran obat tradisional mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.41.1384
tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisonal, Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)
Bandar Lampung mempunyai peran dan fungsi berbeda dalam peredaran obat
tradisional terdaftar di Bandar Lampung. Peran BBPOM Bandar Lampung adalah
memberikan penindakan kepada produsen obat tradisional illegal yang beredar di
Bandar Lampung. Tindakan yang dilakukan oleh BBPOM Bandar Lampung
adalah memberikan sanksi administratif, yang berupa peringatan tertulis,
penarikan obat tradisional dari peredaran termasuk penarikan iklan, penghentian
sementara kegiatan pembuatan, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan
penyerahan obat tradisional dan pembekuan dan/atau pencabutan izin edar. Fungsi
BBPOM Bandar Lampung adalah sebagai fasilitator apabila terjadi kesulitankesulitan dalam proses pendaftaran obat tradisional dan sebagai pengawas yang
berfungsi mengawasi peredaran obat tradisional di Bandar Lampung untuk
menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional.
.
Kata Kunci: Peran dan Fungsi BPOM, Obat Tradisional Terdaftar.Rintar Zahrina Ali 09120112402015-04-28T02:09:15Z2015-04-28T02:09:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8897This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88972015-04-28T02:09:15ZSTUDI KOMPARASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI DALAM UU
NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK
DENGAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN ANAKAbstrak
Kedudukan anak yang berperan sebagai generasi muda penerus bangsa membuat anak
menjadi elemen penting yang selalu diperhatikan semua kalangan. Hal ini didasari mengingat
anak merupakan individu yang belum menyadari secara penuh atas tindakan/ perbuatan yang
dilakukannya. Undang – undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah salah
satu bentuk dari mewujudkan kepastian hukum dalam melindungi dan mengayomi anak yang
berhadapan dengan hukum namun undang – undang itu dirasa sekarang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga pada tanggal 3 Juli 2012 disahkanlah
Undang – undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam Undang –
undang No. 11 Tahun 2012 ini banyak hal – hal yang berbeda hal ini disebabkan adanya
kebijakan formulasi yang berbeda dengan undang – undang terdahulu. Permasalahan yang
akan dibahas dalam skripsi penulis adalah bagaimanakah kebijakan formulasi pengaturan
sanksi terhadap UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dibandingkan dengan UU
No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak dan Bagaimanakah pengaturan sanksi
dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang
menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif
atau penelitian hukum tertulis. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi
pustaka dan studi literatur dan mengakaji pendapat – pendapat narasumber yang membantu
dalam menganalisis permasalahan dalam skripsi ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa kebijakan formulasi dalam UU No. 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dengan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak tidak terlepas dari politik hukum pidana yang berguna untuk mengetahui
tujuan pemidanaan. kebijakan dalam memformulasikan Undang – undang No. 11 Tahun 2012
merupakan respon dari kekurangan – kekurangan terhadap undang – undang terdahulu serta
pertimbangan – pertimbangan lain seperti : Landasan Psikopolitik : Kebijakan formulasi
Undang – Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan hukum masyarakat, Landasan Yuridis : Formulasi sanksi pidana dalam UndangUndang No. 3 Tahun 1997 menjurus tipe hukum represif dan tidak mengedepankan
Nico Andreas Simanungkalit
kemanfaatan terhadap anak serta formulasi sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 lebih menitikberatkan sanksi pidana dalam menanggulangi kejahatan anak,
Landasan Filosofis : Kebijakan formulasi Undang - Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak mengikuti perkembangan masyarakatnya dan memaksimalkan prinsip
perlindungan dalam Konvensi Hak – Hak Anak dan Landasan Sosiologis : Sanksi pidana
yang digunakan dalam undang-undang pengadilan anak menjadi faktor berkembangnya
kriminalitas. Pengaturan sanksi dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak memiliki
kebijakan formulasi yang berbeda. Hal tersebut kemudian terimplementasi ke dalam UU No.
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak yang berakibat adanya persamaan dan
perbedaan dari pengaturan mengenai sanksi. Adapun Perbedaan tersebut antara lain:
Perbedaan jenis sanksi yang diterapkan, Perbedaan pengaturan pasal, perbedaan batas umur,
perbedaan sistem pemidanaan, dan perbedaan sanksi tindakan yang diterapkan. Namun,
selain terdapat perbedaaan masih terdapat persamaan-persamaan yang terkadung dalam
perumusan sanksi pidana yang mungkin dirasa baik dan masih cocok untuk tetap
dipertahankan. Persamaan tersebut antara lain seperti Jenis pidana yang digunakan masih
menggunakan 2 jenis pidana yaitu : pidana pokok dan tambahan serta masih menggunakan
istilah sanksi tindakan dalam perumusannya.
Saran yang diberikan dalam skripsi ini adalah Agar DPR mengkaji kembali formulasi
Undang – undang No. 11 Tahun 2012 agar tidak ada kasus anak yang tidak mendapat
kepastian hukum dan DPR seharusnya mengatur secara jelas batasan umur serta kelompok
tindak pidana yang dilakukannya. Penulis juga menyarankan adanya kerjasama dari semua
pihak baik pemerintah maupun keluarga dalam rangka menyukseskan tercapainya tujuan dan
harapan dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak serta pemerintah harus
pro-aktif dalam melakukan pengawasan di lapangan karena bila kita berkaca dari pengalaman
UU No. 3 Tahun 1997 masih banyak pengaturan sanksi yang tidak digunakan dengan baik
terhadap penyelesaian perkara anak.Nico Andreas Simanungkalit 09120112162015-04-28T02:09:10Z2015-04-28T02:09:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8896This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88962015-04-28T02:09:10ZLEGALITAS UNDIAN BERHADIAH DAN PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PESERTA UNDIAN SIGERMAS
(Studi pada PT. Bank Lampung)Abstrak
Persaingan dalam dunia perbankan, membuat bank berusaha memberikan yang
terbaik bagi nasabahnya dengan mengeluarkan berbagai jenis tabungan dan
memberikan hadiah-hadiah yang menarik. Undian berhadiah merupakan salah
satu produk perbankan untuk menarik minat nasabah, namun setiap undian
berhadiah harus memberikan kepastian hukum kepada nasabah. Salah satu bank
daerah di Lampung yang menawarkan undian berhadiah adalah Bank Lampung
disebut undian berhadiah Sigermas. Penelitian ini akan mengkaji legalitas undian
berhadiah dan perlindungan hukum bagi peserta undian Sigermas. Adapun yang
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah legalitas undian
berhadiah, pelaksanaan undian berhadiah, dan perlindungan hukum bagi peserta
undian berhadiah.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif-terapan. Data
yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari observasi di
lapangan melalui wawancara, data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data
dilakukan melalui studi pustaka, studi lapangan. Pengolahan data dilakukan
dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data dan sistematisasi data. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa legalitas undian berhadiah
Sigermas Bank Lampung memiliki dua syarat yaitu syarat umum dan syarat
khusus. Syarat umum merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh Bank Lampung
disebut memiliki legalitas dengan dikeluarkan keputusan Menteri Sosial RI
Nomor 105/HUK-UND/2012 tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Undian
Gratis Berhadiah Kepada PT. Bank Lampung di Lampung, sedangkan syarat
khusus merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh nasabah peserta undian
berhadiah Sigermas Bank Lampung. Pelaksanaan undian berhadiah Sigermas
Bank Lampung periode XV tahun ke-11 berdasarkan keputusan Menteri Sosial RI
Nomor 105/HUK-UND/2012, pejabat Kementerian Sosial RI dan Dinas Sosial
Provinsi Lampung serta instansi lain yang terkait harus menghadiri pelaksanaan
undian berhadiah, sesuai dengan tugas dan fungsinya melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan penyelenggaraan undian. Dengan adanya pelaksanaan
undian berhadiah Sigermas menimbulkan perlindungan hukum bagi nasabah
peserta undian berhadiah Sigermas, berdasarkan kesimpulan Pasal 14 UUPK
disebutkan apabila Bank Lampung tidak mengumumkan hasilnya melalui media
massa, mengganti hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka Bank
Lampung memiliki tanggung jawab apabila melakukan wanprestasi berupa ganti
kerugian kepada nasabahnya.
Kata Kunci: Legalitas, Undian Berhadiah, Perlindungan Hukum. LIA ANGGRAINI 09120111802015-04-28T02:09:04Z2015-04-28T02:09:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8894This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88942015-04-28T02:09:04ZASPEK HUKUM PENAWARAN ASURANSI JIWA
MELALUI TELEMARKETING
(STUDI PADA AIA FINANCIAL AREA BANDAR
LAMPUNG)Abstrak
Usaha peransuransian membawa misi ekonomi dan sosial dengan adanya premi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan jaminan adanya transfer of
risk, yaitu pengalihan risiko dari tertanggung kepada penanggung. Perjanjian
asuransi yang dilakukan melalui telemarketing berpeluang timbulnya perselisihan
karena dilakukan melalui telepon dan di luar kebiasaan pada umumnya. Praktik
perjanjian asuransi jiwa melalui telemarketing juga dilaksanakan oleh AIA
Financial area Bandar Lampung. Penulisan bertujuan untuk menganalisis waktu
terjadinya perjanjian asuransi jiwa melalui telemarketing, pihak-pihak yang
terlibat, serta akibat hukum asuransi jiwa yang dilakukan melalui telemarketing.
Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif empiris. Tipe penelitian
bersifat deskriptif. Penelitian dilakukan melalui pendekatan normatif empiris.
Data yang digunakan adalah data primer dari hasil wawancara dan polis asuransi
AIA Financial dan data sekunder terdiri dari bahan-bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Pengolahan dilakukan melalui tahap pemeriksaan data,
rekonstruksi data dan sistematisasi data. Data yang terkumpul dianalisis
menggunakan analisis data secara kualitatif yang menguraikan sekaligus
menganalisis tentang aspek hukum penawaran asuransi jiwa melalui
telemarketing.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa terjadinya perjanjian
asuransi jiwa melalui telemarketing yaitu sejak ditandatanganinya Surat
Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ). Tertanggung dan penanggung telah sepakat
mengajukan dan menerima peralihan risiko. Peralihan risiko ditanggung sejak
pendebetan premi pertama oleh bank. Jadi SPAJ dan bukti pendebetan premi
adalah satu kesatuan karena penanggung tidak akan menanggung risiko apabila
pendebetan premi pertama belum dilakukan. Pihak-pihak yang terlibat adalah
Clara Novianti
penanggung, pemegang polis/tertanggung, tertunjuk/penikmat, bank, dan
telemarketer. Terdapat banyak pihak yang terlibat, tetapi yang terikat dalam
perjanjian hanyalah penanggung dan tertanggung. Akibat hukum mengikat pihak
yang terikat dalam perjanjian. Apabila penanggung tidak menanggung risiko akan
diselesaikan di Pengadilan Negeri. Sedangkan akibat hukum bagi tertanggung
apabila informasi yang disampaikan tidak benar adalah klaim akan ditolak oleh
penanggung.
Kata kunci : Penawaran, Asuransi jiwa, Telemarketing Clara Novianti 09120111222015-04-28T02:08:59Z2015-04-28T02:08:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8893This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88932015-04-28T02:08:59ZTANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PELAKSANAAN
PENGANGKUTAN BARANG KIRIMAN DENGAN MENGGUNAKAN
KENDARAAN BERMOTOR UMUM PADA PT ROSALIA EXPRESS
BANDAR LAMPUNGAbstrak
Perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain memerlukan sarana yang
menunjangnya. PT Rosalia Express merupakan perusahaan yang bergerak dalam
bidang jasa angkutan barang dengan menggunakan kendaraan bermotor umum
seperti bus box dan truck box. Penyelenggaraan proses pengangkutan ini tidak
terlepas dari hambatan -hambatan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
pengirim ataupun penerima barang. Ketentuan seperti tanggung jawab
pengangkut, ganti rugi dan sebagainya dibuat oleh pengangkut secara sepihak, dan
dengan ditandatanganinya surat perjanjian pengangkutan maka pengirim barang
dianggap telah menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut. Berkaitan dengan hal ini,
yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah hak dan kewajiban para
pihak dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan, bentuk wanprestasi para pihak,
dan tanggung jawab pengangkut dalam pelaksanaan pengangkutan barang kiriman
dengan menggunakan kendaraan bermotor umum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif dan pendekatan masalah normatif terapan. Data yang
digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara kepada
karyawan bagian operasional PT Rosalia Express dan data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.
Pengumpulan data dilakukan melaui studi pustaka dan studi dokumen.
Pengolahan data dengan cara, pemeriksaan data, rekonstruksi data dan
sistematisasi data serta dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hak dan kewajiban pihak-pihak tertulis
dalam dokumen pengangkutan PT Rosalia Express tersebut, pengirim
berkewajiban membayar biaya angkutan yang telah ditetapkan, sedangkan
pengangkut berkewajiban mengirim barang kiriman yang diangkut sampai di
tempat tujuan dengan tepat dan aman. Perbuatan wanprestasi yang pernah
Chandra Evita
dilakukan oleh pengangkut antara lain terlambatnya barang kiriman ditempat
tujuan dan barang kiriman rusak saat proses pemuatan. Pengangkut bertanggung
jawab terhadap keterlambatan yang diakibatkan karena kelalaian pihak
pengangkut, dan kerusakan barang kiriman yang terjadi selama proses pemuatan
barang dan pengangkutan yang diakibatkan oleh pihak pengangkut. Dalam
perjanjian baku yang dibuatnya, pertanggungjawaban dilakukan dengan
memberikan layanan ganti kerugian sebesar 10 kali biaya pengiriman atau
maksimum nominal Rp. 1.000.000,-. Besarnya ganti rugi yang harus diberikan
diatur dalam Pasal 193 Ayat (2) UU LLAJ yang mengatur bahwa besarnya ganti
rugi dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami. Hal ini apabila
dikaitkan dengan pasal diatas tidak terdapat kesesuaian. Ganti kerugian yang
hanya sebesar 10 kali biaya pengiriman dinilai tidak adil dan sangat merugikan
bagi pihak yang mengalami kerugian yaitu pengirim.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Pengangkut, Barang Kiriman, Kendaraan
Bermotor Umum.CHANDRA EVITA 09120111172015-04-28T02:08:55Z2015-04-28T02:08:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8892This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88922015-04-28T02:08:55ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIHAK DEBT COLLECTOR
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(STUDI KASUS PUTUSAN PN No. 1201/ Pid.B/2011/PN. Jkt Sel)Abstrak
Manusia akan memilih untuk berhutang ketika memiliki persoalan ekonomi dan
pihak perbankan biasanya menjadi tempat seseorang untuk berhutang. Dalam
proses penagihan hutang, ada banyak cara yang dilakukan pihak perbankan, salah
satunya dengan menggunakan jasa debt collector sebagai pihak ketiga dalam
menjalankan proses penagihan hutang tersebut. Namun, kasus meninggalnya
seorang nasabah Citibank menunjukkan bahwa tindakan debt collector dalam
proses penagihan hutang sudah terlalu berlebihan hingga menyebabkan kematian
Irzen Octa. Surat dakwaan yang dilayangkan kepada tiga tersangka yaitu Arief
Lukman, Henri Waslinton, dan Donald Harris Bakara, dikatakan bahwa mereka
melakukan kegiatan merampas kemerdekaan korban Irzen Octa dengan cara
melarang korban Irzen Octa keluar dari ruangan Cleo dengan tujuan sampai ada
kepastian pembayaran tunggakan kartu kreditnya hingga menyebabkan kematian
korban.
Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dilakukan
dengan cara menelaah teori-teori konsep-konsep serta peraturan perundangundangan yang ada dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yaitu
Analisis Pertanggungjawaban Debt Collector Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan.
ADE TIFFANY PASHA
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan hakim PN No.
1201/Pid.B/2011/PN. Jkt Sel yang diberikan untuk tiga terdakwa yaitu Arief
Lukman, Henry Waslinton dan Donald Harris Bakara diputus satu tahun penjara
dengan melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, hakim berkeyakinan bahwa tindakan para
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak kekerasan yang dapat membuat nyawa
seseorang hilang.
Berdasarkan kesimpulan, maka yang menjadi saran penulis adalah di dalam
pertanggungjawaban debt collector sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan
dalam setiap memutuskan perkara pidana selain hakim harus berdasarkan
keyakinannya dan ketentuan hukum pidana, tetapi hakim juga harus bijak dalam
menjatuhkan sanksi pidana terhadap para terdakwa, sebab dalam kaitannya
pemutusan perkara ini tetap kembali pada keyakinan hakim. (Perkara PN No.
1201/ Pid.B/2011/PN. Jkt Sel)ADE TIFFANY PASHA 09120110892015-04-28T02:08:51Z2015-04-28T02:08:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8891This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88912015-04-28T02:08:51ZPELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK
TANGGUNGAN OLEH KOPERASI
(STUDI PADA KSP KOPERASI KREDIT MEKAR SAI BANDAR
LAMPUNG)Abstrak
Salah satu cara yang lazim ditempuh untuk mendapatkan tambahan modal adalah
dengan melakukan pinjaman kredit. Pinjaman kredit saat ini tidak hanya diberikan
oleh Lembaga Perbankan tetapi juga koperasi melalui Koperasi Simpan Pinjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian. Perjanjian Kredit pada Koperasi Simpan Pinjam juga ada
yang mensyaratkan jaminan berupa Hak Tanggungan. Dalam memberikan kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan koperasi wajib menerapkan prinsip kehatihatian dan harus mematuhi segala aturan hukum mengenai pemberian dan
pendaftaran jaminan berupa Hak Tanggungan sesuai Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah. Dalam pelaksanaanya, sangat dimungkinkan kredit yang
diberikan oleh koperasi gagal dikembalikan atau macet. Oleh karena itu, koperasi
wajib melakukan upaya-upaya untuk menyelematkan kredit yang gagal dipenuhi
oleh anggota debitur. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas mengenai
pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan penyelesaian
wanprestasi Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan pada koperasi,
khususnya KSP Kopdit Mekar Sai.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan pendekatan
masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi lapangan dengan
pengolahan data dilakukan melalui editing, klasifikasi dan sistematisasi data. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa KSP Koperasi Kredit
Mekar Sai Bandar Lampung telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam tata
Sujana Donandi Sinuraya
cara pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. Pemberian kredit
mensyaratkan pula jaminan Hak Tanggungan yang pelaksanaannya telah sesuai
dengan aturan pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam pelaksanaan
pemberian kredit diterapkan juga ketentuan mengenai biaya administrasi, jangka
waktu pinjaman, bunga, sanksi, dan perpanjangan waktu atas kredit. Apabila
terjadi wanprestasi atas kredit oleh anggota debitur, maka akan dilakukan
penyelesaian melalui upaya penanganan/non litigasi dan upaya hukum. Upaya
penanganan/non litigasi lebih diutamakan dalam menyelesaikan kredit yang
macet. Sampai saat ini belum pernah terjadi eksekusi atas jaminan, meskipun
eksekusi jaminan atas kredit yang mecet sebenarnya dapat dimintakan oleh pihak
KSP Koperasi Kredit Mekar Sai Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pelaksanaan pemberian kredit, jaminan Hak Tanggungan,
koperasiSujana Donandi Sinuraya 09120110752015-04-28T02:08:47Z2015-04-28T02:08:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8890This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88902015-04-28T02:08:47ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PENELANTARAN
OLEH SUAMI DALAM RUMAH TANGGA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGAAbstrak
PermasalahanKekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) khususnya kasus
penelantaran memerlukan dasar hukum dalam penanganannya, sehingga negara
kita mengeluarkan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk
mengkriminalisasi tindakan-tindakan KDRT. Namun dalam praktik pelaksanaan
hukumnya, sebagian besar korban penelantaran rumah tangga dalam berjuang
mendapatkan keadilan masih tidak lepas dari praktik-praktik diskriminatif dalam
penegakan hukumnya yang lebih menguntungkan pihak yang mempunyai
kekuatan, baik kekuasaan ekonomi, sosial, ataupun budaya, dan kasus
penelantaran ini tetap kerap saja terjadi di masyarakat. Maka penelitian ini
membahas tentang dua permasalahan mengenai penelantaran yakni mengenai
perlindungan hukum yang pasti terhadap korban agar korban memperoleh hakhaknya sesuai dengan aturan hukum mengenai tindak KDRT (penelantaran) yang
berlaku, serta hal-hal apa sajakah yang menjadi faktor peghambat dari proses
penegakan hukum Undang-Undang KDRT yang berlaku di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris yakni memperoleh data dari studi pustaka dan
wawancara terhadap beberapa responden, dalam hal ini aparatur penegak hukum
yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Advokat serta sebuah Lembaga Advokasi
Perempuan.
Penelitian dan pembahasan memperoleh kesimpulan bahwabentuk perlindungan
hukum kepada para korban penelantaran yang dilakukan oleh suami dalam rumah
tangga yakni tertuang dalam Pasal 10 serta yang menjadi hak-hak korban semua
diatur dalam Bab VI Pasal 16 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang artinya korban dapat
melapor tindak penelantaran ini dan memperoleh berbagai bentuk perlindungan
hukum dari aparatur penegak hukum maupun Lembaga Advokasi Perempuan
Saskia Christy Damelia Pasaribu
yang mendampingi korban. Sedangkan dalam prosesnya, yang menjadi faktor
penghambat dalam proses perlindungan hak-hak korban dalam kasus penelantaran
dalam rumah tangga, yakni: faktor hukumnya sendiri, faktor tradisi, faktor
kurangnya sarana dan fasilitas dari pemerintah, faktor masyarakat, faktor
kebudayaan.
Saran penulis adalah tindak penelantaran oleh suami haruslah mendapat perhatian
khusus dari pemerintah, pihak kepolisian ataupun masyarakat agar para korban
penelantaran dalam rumah tangga memperoleh hak-haknya dan pelaku bisa diadili
menurut hukum atau ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta keterlibatan tokoh agama dalam hal ini
berfungsi sebagai pemberi pemahaman agama sehingga melahirkan akhlak atau
perilaku yang baik di dalam ruang lingkup keluarga maupun bermasyarakat.
KATA KUNCI : Penelantaran, Korban, SuamiSASKIA CHRISTY DAMELIA PASARIBU 09120110692015-04-28T02:08:34Z2015-04-28T02:08:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8888This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88882015-04-28T02:08:34ZANALISIS YURIDIS FUNGSI AKTA JUAL BELI (AJB) TANAH DALAM
PERJANJIAN KREDITAbstrak
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Dalam hal seorang atau lebih
mengikatkan diri untuk melakukan jual beli tanah, maka dibuatlah perjanjian jual
beli hak atas tanah. Setelah terjadi jual beli sangat dimungkinkan terjadi situasi
dimana pembeli tanah membutuhkan dana. Salah satu cara yang digunakan untuk
mendapatkan tambahan dana adalah dengan melakukan pinjaman kredit. Kredit
yang dipinjam membutuhkan jaminan. Peminjam yang memiliki Akta Jual Beli
tanah dapat menjaminkan Akta Jual Beli yang dimiliki kepada lembaga yang
memberi kredit. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas fungsi Akta Jual beli
sebagai jaminan dalam perjanjian kredit dan fungsi Akta Jual Beli sebagai alat
bukti dalam perjanjian kredit.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif
dan pendekatan masalah normatif dengan tipe approach of legal content analysis
adalah objek kajian memfokuskan pada substansi hukum. Data yang digunakan
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Setelah data terkumpul, selanjutnya
diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data serta
dilakukan analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan Akta Jual Beli bisa dijaminkan
dalam perjanjian kredit. Akan tetapi, tidak semua Akta Jual Beli diterima oleh
kreditur (Bank) sebagai jaminan. Akta Jual Beli yang diterima sebagai jaminan
hanya Akta Jual Beli yang mana tanah yang dijaminkan sudah terdaftar pada
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akta Jual Beli mempunyai tiga kekuatan
pembuktian. Kekuatan pembuktian yang pertama adalah kekuatan pembuktian
lahiriah (uitwendige bewijskracht). Pembuktian ini dilihat dari tanda tangan
Feni Ayu Novereza
pejabat pembuat akta tanah. Kekuatan pembuktian yang kedua adalah kekuatan
pembuktian formal (formele bewijskracht). Pembuktian ini melihat
kebenaran/kepastian dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam
akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten). Kekuatan yang
ketiga adalah kekuatan pembuktian materiil (materielle bewijskracht).
Pembuktian ini mengenai harga penjualan, benda yang dijual, dan syaratsyaratnya dibuktikan oleh akta itu.
Kata kunci: Perjanjian, akta jual beli, fungsi Akta Jual BeliFENI AYU NOVEREZA 09120110272015-04-28T02:06:34Z2015-04-28T02:06:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9012This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90122015-04-28T02:06:34ZPENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUUIX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANAAbstrak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menentukan suatu mekanisme khusus berupa perijinan yang harus ditempuh oleh
penyidik apabila tindak pidana yang terjadi diduga dilakukan atau melibatkan para
penyelenggara negara. Mekanisme perijinan tersebut masih menemui berbagai
kendala yaitu salah satunya izin yang tidak keluar. Ketentuan ini memberikan
perlakuan yang berbeda antara pejabat negara dan warga negara biasa, sehingga
tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum ( equality
before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta
ketentuan perundang-undangan lain. Lalu diajukan permohonan pengujian
undang-undang sehingga Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor
73/PUU-IX/2011, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan tidak
perlunya izin kepada Presiden apabila melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana, tindakan penyidikan yang
dilanjutkan dengan penahanan terhadap pejabat negara memerlukan persetujuan
tertulis dari presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak dib erikan
oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan
penahanan dapat langsung dilakukan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini bagaimana penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
73/PUU-IX/2011 dan apakah yang menjadi kendala dalam penerapan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut.
Metode penelitian yang dipakai dalam membahas permasalahan yang terdapat
dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris guna
mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar.
Elsa Septa Ballini
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 pihak
Kejaksaan dan Kepolisian belum menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, karena belum adanya perkara yang berkaitan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak
menemui kendala atau hambatan karena prinsip dari Kejaksaan dan Kepolisian
apabila ada undang-undang atau putusan akan dilaksanakan jadi dari segi undangundang atau aparatur penegak hukum tidak ditemui kendala.
Saran dalam penelitian ini adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi ini
diharapkan para aparat penegak hukum dapat melaksanakan atau menerapkan
putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik tanpa menemui kendala atau
hambatan dalam penerapannya dan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut jangan menjadi timbulnya sikap semena-mena bagi aparat penegak
hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara,
aparat penegak hukum harus tetap profesional, proporsional dan yuridis. Jadi
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut memberikan kemudahan kepada
aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
pejabat negara yang melakukan tindak pidanaELSA SEPTA BALLINI 09120111372015-04-28T02:05:55Z2015-04-30T07:48:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9033This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90332015-04-28T02:05:55ZUPAYA UNIT SATUAN LALU LINTAS KEPOLISIAN RESOR KOTA
BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PELANGGARAN
SEPEDA MOTOR YANG TIDAK MEMATUHI PERSYARATAN
TEKNIS DAN LAIK JALANAbstrak
Kemajuan dan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini yang diikuti
dengan pertambahan penduduk yang cukup tinggi serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat menimbulkan dampak lain, yaitu dengan semakin tinggi kepemilikan
kendaraan sepeda motor. Salah satu kendala mengenai sepeda motor yang kerap
dihadapi polisi lalu lintas (polantas) sebagai penegak hukum yang terlibat
langsung dilapangan adalah seringnya terjadi pelanggaran -pelanggaran lalu lintas
seperti penggunaan sepeda motor yang tidak menggunakan knalpot standar
(racing), tidak menggunakan spion dan memakai lampu rem belakang yang
berwarna putih. Tingkat pelanggaran tersebut pada tahun 2012 mengalami
penurun yaitu mencapai angka 21.848 yang pada tahun sebelum mengalami
kenaikan. Permasalahan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, dengan
mengajukan dua permasalahan yaitu: (1) Bagaimanakah upaya yang dilakukan
Unit Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam
menanggulangi pelanggaran sepeda motor yang tidak mematuhi persyaratan
teknis dan laik jalan (2) Apakah faktor-faktor penghambat Unit Satuan Lalu
Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam menanggulangi
pelanggaran sepeda motor yang tidak mematuhi persyaratan teknis dan laik jalan?
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data
primer yaitu diperoleh dari perundang-undangan, data sekunder adalah data-data
yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, karyakarya ilmiah dan hasil penelitian para pakar sesuai dengan obyek pembahasan
penelitian, dan data tersier antara lain berupa bahan-bahan yang dapat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder.
Yoga Febritian Tomi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis maka upaya yang dilakukan
pihak kepolisian dalam menanggulangi pelanggaran sepeda motor yang tidak
mematuhi persyaratan teknis dan laik jalan dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan cara sarana non penal dan penal. Dimana sarana non penal dilakukan
dengan cara sosialisasi dan pendidikan berlalu lintas pada dunia pendidikan,
sosialisasi terhadap club-club motor. Selanjutnya, Sarana penal dilakukan dengan
cara menilang, penyitaan barang bukti, menggantikan perlengkapan sepeda motor
yang tidak berstandar pada tempat dimana operasi lalu lintas dilakukan, lalu
digantikan dengan perlengkapan sepeda motor yang berstandar SNI dan
memusnakan barang-barang yang didapat dalam penyitaan. Faktor-faktor
penghambat antara lain: faktor masyarakat yaitu pada kalangan masyarakat sendiri
kurang memahami, mengerti apa yang dimaksud dengan persyaratan teknis dan
laik jalan, faktor kebudayaan yaitupolafikirdanpandangan masyarakat dalam
merubah dan mengganti perlengkapan yang ada pada sepeda motor itu sendiri
lebihmelihatkepadakebudayaandariasing.
Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar : (1)Aparat penegak hukum
harus selalu memberikan himbauan atau sosialisasi kepada masyarakat maupun
dikalangan dunia pendidikan, seperti yang dilakukan tahun sebelumnya,
diharapkan pada tahun ini kegiatan tersebut harus diterapakan kembali atau
memberikan pamflet di jalan guna di fokuskan agar masyarakat umum dapat
mengetahui tentang pemaham arti dan makna yang terdapat pada persyartan teknis
dan laik jalan.(2) Dengan adanya kewenangan terhadap polisi dalam hal tindakan
tilang dan penyitaan barang bukti, penulis berharap jangan dicari jalan pintas yang
bertentangan dengan aturan Perundang-Undangan yang berlaku sehingga dalam
pelaksanaannya tidak ada yang merasa dirugikan/diuntungkan. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan pengawasan dan kontrol yang ketat dari pimpinan yang
berkaitan.Yoga Febritian Tomi 09120112692015-04-28T02:05:49Z2015-04-28T02:05:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9032This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90322015-04-28T02:05:49ZPENGATURAN PERIZINAN TERHADAP LEMBAGA PENDIDIKAN PRIVAT
DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Lembaga Pendidikan Privat adalah lembaga yang bergerak dibidang pendidikan
bertujuan untuk membantu menyelesaikan permasalahan akademik siswa di
pendidikan formal. Pengaturan terkait izin operasinal lembaga pendidikan privat
diatur di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 62 ayat (1). Sanksi terhadap lembaga
pendidikan privat yang tidak memiliki izin jelas diatur dalam Pasal 71 Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Faktanya banyak lembaga pendidikan privat di Kota Bandar Lampung
yang tetap beroperasi tanpa mendapatkan izin resmi dari Dinas Pendidikan Kota
Bandar Lampung. Fokus penelitian ini adalah Pengaturan Perizinan Terhadap
Lembaga Pendidikan Privat Di Kota Bandar Lampung. Dengan rumusan masalah
yaitu bagaimana pengaturan perizinan lembaga pendidikan privat di Kota Bandar
Lampung dan faktor-faktor yang menjadi penghambat tidak terwujudnya
pemberian izin usaha lembaga pendidikan privat pendidikan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Faktor-faktor penghambat
tidak terwujudnya pemberian izin operasional lembaga pendidikan privat di Kota
Bandar Lampung antara lain adanya ketidak tahuan terhadap kewajiban memiliki
izin operasional, terlalu banyak s yarat untuk mendapatkan izin operasional,
adanya biaya tidak terduga pada saat proses pengajuan izin, birokrasi yang rumit,
dan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Bandar
Lampung terhadap lembaga pendidikan privat yang tidak memiliki izin.
Kata kunci : Pengaturan perizinan, lembaga pendidikan privat, izin operasional
Abstract
Private Educational Institutions are institutions engaged in education aims to
help solve problems in the student's academic education. Related settings
operasinal permit private educational institutions regulated in the Law of the
Republic of Indonesia Number 20 Year 2003 on National Education System,
Article 62 paragraph (1). Sanctions against private educational institutions that
do not have the permission expressly provided for in Article 71 of Law of the
Republic of Indonesia Number 20 Year 2003 on National Education System. In
fact many private educational institutions in the city of Bandar Lampung keep
operating without obtaining permission of the Education Office of Bandar
Lampung. The focus of this research is Against Licensing Settings Private
Institutions In the city of Bandar Lampung. With the formulation of the problem is
how to manage the licensing of private educational institutions in the city of
Bandar Lampung and what factors are a barrier to the realization of not granting
business licenses of private educational institutions. The method used in this study
is empirical juridical. Factors inhibiting the realization of not granting
operational licenses of private educational institutions in the city of Bandar
Lampung among others, the ignorance of the requirement to hold an operating
permit, too many requirements to obtain an operating permit, any unexpected
costs during the process of applying for licenses, bureaucracy, and lack of control
by the Education Office of Bandar Lampung on private educational institutions
which do not have permission.
Keywords:
Licensing arrangements, private educational institutions, the operational licenseWinda Yunika 0912011266 2015-04-28T02:05:44Z2015-04-28T02:05:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9031This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90312015-04-28T02:05:44ZPELAKSANAAN PEMBERIAN TUNJANGAN PROFESI TERHADAP
GURU AGAMA OLEH KEMENTERIAN AGAMA
KOTA BANDAR LAMPUNG
Abstrak
Pada pelaksanaan tunjangan profesi, tidak dipungkiri bahwa guru agama yang mengajar di sekolah umum sering mengalami kesulitan dalam proses sertifikasi. Sertifikasi guru dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani. Sebagai bentuk implementasi kebijakan sertifikasi, tahun 2006 sampai sekarang dilaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan. Sistem sertifikasi terbaru sejak tahun 2011 adalah melalui penilaian portofolio dan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pemberian tunjangan profesi terhadap guru agama oleh Kementerian Agama Kota Bandar Lampung dan apa saja faktor penghambat pelaksanaan pemberian tunjangan profesi terhadap guru gama oleh Kementerian Agama Kota Bandar Lampung tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan normatif dan pendekatan empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pelaksanaan tunjangan profesi terhadap guru agama oleh Kementerian Agama Kota Bandar Lampung, yaitu: 1) pelaksanaan melalui portofolio dengan urutan: Staf Mapenda Kemenag menerima usulan daftar nama guru agama dari pihak sekolah, menginformasikan calon peserta, melakukan seleksi berkas, dan terakhir dengan tes portofolio tersebut. 2) pelaksanaan melalui PLPG. Setelah itu melakukan tindak lanjut bagi peserta yang tidak lulus dan diskualifikasi. Faktor penghambat yang dialami Kementerian Agama Kota Bandar Lampung dalam pelaksanaan pemberian tunjangan profesi adalah faktor dari guru yang kurang kooperatif atau kurangnya pemahaman guru dalam penyusunan portofolio, faktor adanya mutasi guru, faktor perbedaan pendapat antara staf, dan dana yang tersendat dari pusat sehingga berakibat pada mundurnya jadwal pelaksanaan pemberian tunjangan profesi.
Abstract
In the implementation of giving profession benefit, for religion teachers who teach in government schools have some difficulties in certification process. Teacher sertification is stated in Clause 8 Constitution No. 14 2005 about teachers and lecturers, that teachers must have academic qualification, competence, educator’s sertification, healthy in physically and spiritually. As the implementation of teacher sertification, in 2006 until now the implementation of teacher sertification in profession. The latest system of sertification since 2011 is taking portofolio evaluation and teacher training and education (PLPG).
The problem of this research is how the implementation of giving the profession benefit to religion teachers by The Ministry of Religion, Bandar Lampung. And the factor of the implementation of giving the profession benefit to religion teachers by The Ministry of Religion, Bandar Lampung. The methods use in this research is Normative approach and Empiric approach.
The result of this research showed: the implementation of giving the profession benefit to religion teachers by The Ministry of Religion, Bandar Lampung is 1) the implementation taking portofolio with chronology: officer of Mapenda The Ministry of Religion, Bandar Lampung receive religion teachers name list proposal of religion from school board, give the information to the participants, select the files, and last with taking the fortofolio. 2) the implementation through the teacher training and education. Then, to do futher act to failed participants and diskualified participants. Factor faced by The Ministry of Religion, Bandar Lampung in the implementation of giving the profession benefit to the religion teacher is uncooperative teachers (the less understanding of teacher in making portofolio), factor the mutation of teacher, there is the different oppinion in the officer Mapenda, and the fund trouble from govenment makes the late of giving the profession teacher benefit.
TRIA YUNITA M 09120112582015-04-28T02:05:39Z2015-04-28T02:05:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9030This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90302015-04-28T02:05:39ZANALISIS EFEKTIVITAS PENERAPAN ASAS CONTANTE JUSTITIE
DALAM PELANGGARAN LALU LINTASAbstrak
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai konsekuensi Negara hukum
maka setiap penyelenggara negara, setiap aparatur pemerintah serta semua warga
negara harus tunduk dan taat kepada aturan hukum yang berlaku.Pada era
globlisasi saat ini segala sesuatu berubah dengan cepat seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya berasal manusia yang berlalu
lintas di jalan raya. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas oleh pemakai jalan salah satunya adalah di
tempat-tempat tertentu diawasi oleh para polisi lalu lintas. Proses penindakan
pelanggaran lalu lintas dapat digunakan asas contante justitie karena dapat diputus
ditingkat kepolisian tanpa harus dibawah ke pengadilan karena pelanggaran lalu
lintas merupakan tindak pidana ringan dengan begitu asas contante justitie bisa
diterapkan dalam pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan. Permasalahan yang
dibahas penulis dalam skripsi ini, dengan mengajukan dua permasalahan yaitu: (1)
Bagaimanakah pengaturan asas contante justitie dalam proses penindakan
pelanggaran lalu lintas? (2) Bagaimana keefektifitasan penerapan asas contante
justitie dalam pelanggaran lalu lintas bagi pengguna lalu lintas?
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data
primer yaitu diperoleh dari perundang-undangan, data sekunder adalah data-data
yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, karyakarya ilmiah dan hasil penelitian para pakar sesuai dengan obyek pembahasan
penelitian, dan data tersier antara lain berupa bahan-bahan yang dapat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis maka upaya yang dilakukan
pihak kepolisian dalam menanggulangi pelanggaran lalu lintas sangatlah efektif
bila mengunakan asas contante justitie buat pelanggar lalu lintas terlihat pada
tingkat pelanggaran mengalami penurunan kasus pelanggaran lalu lintas. Asas
contante justitie sangat membantu penguna atau pelanggar lalu lintas dalam
menyelesaikan masalah hukum dan pelanggaran lalu lintas dimana asas contante
justitie yaitu asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Sehingga masalah
hukum dan pelanggaran lalu lintas diselesaikan dengan cepat tanpa harus dibawa
kepengadilan yang prosesnya memakan waktu lama. Selama proses asas contante
justitie dilakukan secara sederhana dan biaya murah. Namun tidak tepat bagi
pengguna yang tidak melakukan pelanggaran. Namun dalam melihat keseluruhan
tidak efektif bila penerapannya dilakukan oleh pihak polisi lalu lintas tidak sesuai
dengan proses malahan terjadi penyelewengan dalam proses pengaturan asas
contante justitie. Sehingga tercipta rasa takut dalam masyarakat terhadap polisi
lalu lintas itu sendiri.
Penulis juga menyarankan agar : (1) Penerapan asas contante justitie sangatlah
membantu pelanggar lalu lintas dalam menyelesaikan pekara lalu lintasnya.
Dalam penerapannya terjadi penyelewengan sehingga haruslah diubah cara
pembayaran tilangnya yaitu langsung kekantor kas negara contohnya yang
diterapkan diluar negeri yaitu negara Thailand dan negara-negara yang maju. (2)
Untuk memaksimalkan upaya yang dilakukan pihak polisi lalu lintas maka sangat
diperlukan sistem penambahan sehingga makin berkurang pelanggaran lalu lintas.
Kata Kunci : Efektivitas, Asas Contante Justitie, Lalu Lintas TIMOTEUS KRISTIANTO SILALAHI 09120112572015-04-28T02:05:35Z2015-04-28T02:05:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9029This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90292015-04-28T02:05:35ZPENYELESAIAN KERUSUHAN MASSA
MENGGUNAKAN MEDIASI PENAL
(STUDI KASUS WILAYAH LAMPUNG TENGAH)Abstrak
Penyelesaian kasus melalui mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif dari
penyelesaian masalah ditengah masyarakat melalui jalur diluar pengadilan (non
litigasi) yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute
Resolution. Penyelesaian sengketa melalui mediasi biasanya hanya terdapat pada
sengketa perdata, namun dalam prakteknya sering juga kasus pidana diselesaikan
diluar pengadilan (mediasi) melalui diskresi aparat penegak hukum. Musyawarah/
perdamain, musyawarah keluarga, musyawarah desa, dan musyawarah adat yang
dimediatori oleh Pemerintah Daerah. Dalam kasus kerusuhan massa (konflik
sosial) yang terjadi di Lampung Tengah, ada beberapa diantaranya diselesaiakan
menggunakan jalan mediasi meskipun didalam kerusuhan tersebut terdapat tindak
pidana berat. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, adalah
bagaimana proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi serta
dasar pertimbangan dalam penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi
penal.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Selain itu, untuk menunjang data
yang diperlukan, maka dilakukan wawancara dengan responden kemudian dalam
pengambilan kesimpulannya dengan menggunakan teknis analisis substantif yang
berpedoman pada cara berfikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian kerusuhan massa
menggunakan mediasi penal melalui tiga tahapan yakni tahapan persiapan yang
terdiri dari pembentukan tim penyelesaian konflik, tahap pendekatan terhadap
pihak-pihak yang berkonflik, membangun hubungan kepada beberapa pihak untuk
menyelesaikan konflik, tahap kedua yaitu pertemuan terhadap masing-masing
pihak yang berkonflik yang dimana dalam tahap ini merupakan tahap untuk
menjaring aspirasi serta perumusan dan arah perdamaian yang diinginkan dan
selanjutnya tahap pacamediasi yang terdiri dari penandatanganan surat perjanjian
damai, prosesi angkat saudara serta. Penyelesaian kerusuhan massa menggunakan
mediasi penal tidak memiliki dasar hukum, meskipun tidak memiliki dasar
SM. Munawar Harun Alrasyid
hukum, jalan mediasi dapat diambil dengan beberapa pertimbangan. Adapun
pertimbangan tersebut antara lain : kedua belah pihak yang sama-sama
menyelesaikan konflik dengan jalan kekeluargaan/ non litigasi dan sepakat untuk
berdamai, efek yang timbul akibat tetap diteruskannya konflik kerusuhan massa
diselesaiaknnya menggunakan jalur litigasi sebab konflik ini akan berdampak luas
yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional, diskresi kepolisian
yang tercantum dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan Surat Kapolri No. Pol: B/
3022/ XII/ 2009/ SDEOPS, mengacu pada RUU Penanganan Konflik sosial, serta
penggunaan kearifan lokal yang dalam hal ini adalah hukum adat yang mampu
mengakomodasi atau menjembatani penyelesaian konflik hingga pascakonflik,
serta keuntungan yang dimiliki oleh mediasi itu sendiri. Penyelesain
menggunakan mediasi ini dimediatori oleh Tim Penyelesaian Konflik yang terdiri
dari USPIDA (Unsur Pimpinan Daerah Kabupaten Lampung tengah). Pemerintah
daerah dapat ikut menjadi mediator dan berperan aktif dalam penyelesaian atas
dasar Feies Emerssen dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengingat
konflik ini berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional yang
dilatarbelakangi tidak terciptanya ketertiban dan keadaan aman didalam
masyarakat. Mediasi penal dapat digunakan untuk mencegah permasalahan
berdampak luas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan bahwa
proses penyelesaian kerusuhan massa menggunakan mediasi penal melalui tiga
tahapan, dan tahap-tahapan tersebut menggunakan mpendekatan yang sifatnya
kekeluargaan serta untuk dasar pertimbangan dilakukannya mediasi terhadap
tindak pidana berat dengan pertimbangan yang mendasar demi terciptanya
keadaan yang kembali aman, kondusif didalam masyarakat. Penyelesaian konflik
menggunakan pendekatan terhadap masyarakat dan mempertimbangkan hal-hal
apa saja yang melandasi dilakukannya mediasi merupakan suatu terobosan baru
dalam penyelesaian konflik, namun penulis menyarankan bahwa apabila dalam
setiap kasus pidana berat diselesaikan menggunakan jalan mediasi dan tidak
adanya penjatuhan hukuman yang tegas bagi para pelaku tindak pidana maka hal
ini akan memicu setiap konflik akan mengenyampingkan hukum pidana dan efek
jera bagi pelaku tidak didapat.
Kata kunci: Mediasi Penal, Diskresi Kepolisian, Kerusuhan Massa SM. MUNAWAR HARUN ALRASYID 09120112502015-04-28T02:05:28Z2015-04-28T02:05:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9028This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90282015-04-28T02:05:28ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH KEPOLISIAN
TERHADAP PENYANYI DANGDUT KOPLO YANG MENARI EROTIS
(STUDI KASUS WILAYAH KOTA BEKASI)Abstrak
Belakangan ini banyak bermunculan band dangdut dan jenis musik lainnya yang
mempunyai ciri khas musik tersendiri. Dangdut koplo merupakan salah satu jenis
musik baru yang berkembang saat ini. Berkembangnya musik dangdut koplo hal
ini menjadi salah satu faktor munculnya pelanggaran-pelanggaran pornoaksi yang
dilakukan oleh biduanita yaitu dengan menampilkan dan memberikan suguhan
yang terlihat fulgar seperti memakai pakaian yang minim, bergoyang erotis, dan
adanya saweran yang menjadi ciri khas khusus dalam dangdut koplo. Pokok
permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana
oleh kepolisian terhadap penyanyi dangdut koplo yang menari erotis di Kota
Bekasi dan apakah faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana
terhadap penyanyi dangdut koplo yang menari erotis di Kota Bekasi.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah jenis data primer
dan data sekunder. Analisis yang digunakan analisis kualitatif, kemudian diambil
kesimpulan secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis, bahwa
pada kasus pornoaksi yang dilakukan oleh penyanyi dangdut koplo yang menari
erotis yang terjadi di Bekasi Barat, Pekayon tersebut dilakukan Surat Perintah
Pemberhentian Penyidikan (SP3) yang dikarenakan tidak cukupnya alat bukti dan
dan saksi-saksi serta telah lewatnya waktu penyidikan. Sehingga penyanyi
tersebut tidak terbukti bersalah dan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh
satuan kepolisian polresta Bekasi Barat dihentikan.
Faktor penghambat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana oleh
kepolisian terhadap penyanyi dangdut koplo yang menari erotis adalah terdapat
pada faktor penegak hukum, faktor tidak adanya seseorang yang akan dijadikan
seorang saksi, faktor sosial dan budaya, serta kurangnya kesadaran dan kepedulian
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis
Saputro Prayitno
penegakan hukum pidana oleh kepolisian terhadap penyanyi dangdut koplo yang
menari erotis, maka saran yang dapat diberikan yaitu pihak kepolisian seharusnya
melakukan pengawasan terhadap tempat-tempat yang terlihat mencurigakan
melakukan aktivitas tindak pidana pornoaksi. Memberikan sanksi tegas baik
terhadap penyanyi yang menari erotis, maupun terhadap tempat dan pemilik usaha
yang menyediakan penyanyi erotis. Menghimbau / mensosialisasikan terhadap
masyarakat agar tindak pidana pornoaksi penyanyi dangdut koplo yang menari
erotis dan tindak pidana pornoaksi lainnya tidak akan terulang kembali. Serta
adanya kerjasama kepolisian dan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan
penindakan terhadap perbuatan tindak pidana pornoaksi sehingga tercipta
keamanan, kenyamanan, dan ketentraman dilingkungan masyarakatSAPUTRO PRAYITNO 09120112492015-04-28T02:05:21Z2015-04-28T02:05:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9027This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90272015-04-28T02:05:21ZPENGENDALIAN TERHADAP EMISI GAS BUANG KENDARAAN
BERMOTOR DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Kualitas udara di Kota Bandar Lampung semakin memprihatinkan, dari hasil
pengujian sampel udara di empat ruas jalan padat kendaraan yang dilakukanoleh
BPLH, DinasPerhubungan, dan Polresta ditemukan bahwa polusi udara sudah
melebihi baku mutu udara ambein yang telahditetapkan dalam Lampiran I PP no
41 tahun 1999 yang berdampak pada memburuknya kualitas kesehatan
masyarakat Kota Bandar Lampung. Polusi ini 80% disumbangkan oleh emisi gas
buang kendaraan bermotor di Kota Bandar Lampung, sisanya disumbangkan oleh
Limbah Pabrik sebesar 10%, dan limbah lainnya sebesar 10%. Dalam skripsi ini
peneliti merumuskan masalah menjadi bagaimanakah pengendalian emisi gas
buang kendaraan bermotor di Kota Bandar Lampung dan apa faktor-faktor
penghambat dalam pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor di Kota
Bandar Lampung.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris, dimana
peneliti turun lapangan dan mensinkronisasi dengan teori dan undang-undang
terkait yang menjadi dasar hukum penelitian ini diantaranya UU no 32 tahun
2009, UU no 22 tahun 2009, dan PP no 41 tahun 1999.
Dari hasil enelitian yang dilakukan pengendalian emisi gas buang kendaraan
bermotor di Kota Bandar Lampung baik secara preventif dalam bentuk Program
Langit Biru, Ruang Terbuka Hijau, Pengujian KendaraanBermotor, Kendaraan
Berorientasi Transit maupun bentuk pengendalian secara represif dalam bentuk
Pengujian Emisi Gas Buang secara acak di empat ruas jalan padat kendaraan
bermotor di Kota Bandar Lampung masih sangat lemah sehingga menyebabkan
terus meningkatnya emisi gas buang kendaraan bermotor. Beberapa faktor yang
menghambat dalam pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor antara lain
karena kurangnya sosialisasi mengenai emisi gas buang, kurangnya sarana,
fasilitas pendukung pengujianemisi gas buang kendaraan bermotor, dan tidak
adanya tindaklanjut dalam pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor di
Kota Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pengendalian, Emisi Gas Buang, KendaraanBermotor
Abstract
Air quality in the city of Bandar Lampung is increasingly of concern, from the
results of testing air samples in four solid road vehicles are carried out by the
Department of transportation, BPLH, and Polresta found that air pollution has
exceeded the air quality standard that has been established in ambein Annex I PP
No. 41 of 1999 which resulted in the worsening of the quality of public health city
of Bandar Lampung. This pollution 80% contributed by motor vehicle exhaust
emissions in the city of Bandar Lampung, the rest was donated by Factory Waste
by 10%, and other wastes by 10%. In this thesis the researcher formulates the
problem becomes how does the control of motor vehicle exhaust emission in the
city of Bandar Lampung and what barrier factors in the control of motor vehicle
exhaust emission in the city of Bandar Lampung.
Approach used in this research is normative empirical, where researcher falling
pitch and synchronize with theory and the Act of related that be legal basis this
research are Act no.32 2009, Act no.22 / 2009, and Government Regulation No 41
1999.
From the results of research conducted by control gas emissions vehicles in city
lampung both in preventive in the form of the blue sky program green open space,
road-worthy test, vehicle oriented transit or form in repressive control in the
testing gas emissions at random on four lanes solid vehicles in city lampung still
very weak thus causing continued rise gas emissions motor vehicles. Several
factors that inhibits in the control of exhaust gas emissions a motor vehicle among
others due to lack of socialization regarding gas emissions, a lack of facilities,
supporting facilities testing gas emissions motor vehicles, and the absence of a
follow-up in the control of exhaust gas emissions a motor vehicle in the city of
lampung.
Keywords: control, gas emissions, vehicleRESKY PRADHANA ROMLI 09120112342015-04-28T02:05:17Z2015-04-28T02:05:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9026This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90262015-04-28T02:05:17ZPENGATURAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU
DALAM UPAYA MENINGKATKAN INVESTASI DI PROVINSI LAMPUNGAbstrak
Untuk dapat memberikan pelayanan yang transparan, perlakuan yang sama, mudah,
efisien, cepat, berkeadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum, diperlukan
pengaturan pelayanan perizinan secara terpadu satu pintu. Permasalahan dalam
skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan pelayanan perizinan terpadu satu pintu
dalam upaya meningkatkan investasi di Provinsi Lampung dan apakah faktor-faktor
penghambat dalam pelayanan perizinan terpadu satu pintu dalam upaya
meningkatkan investasi di Provinsi Lampung?
Pendekatan masalah menggunakan normatif empiris. Sumber data menggunakan data
primer dan data sekunder.Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan
dan studi lapangan.Metode pengolahan data menggunakan seleksi data, klasifikasi
data dan sistematika data.Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT)
diatur melalui Peraturan Gubernur Lampung No. 15 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
Kewenangan di Bidang Perizinan dan Nonperizinan kepada BPMPPT Provinsi
Lampung. Dalam upaya meningkatkan investasi, BPMPPT menata PTSP Bidang
Penanaman Modal dengan meningkatkan fasilitas, sumber daya manusia dan sarana
prasarana. Faktor penghambat dalam pelayanan PTSP di Provinsi Lampung adalah
terbatasnya sumber daya manusia yang kompeten dalam PTSP, terjadi perbedaan
persepsi antara satu dengan yang lain, proses perizinan yang melibatkan satuan kerja
lainnya, serta fasilitas IT yang kurang maksimal. Di sarankan BPMPPT
meningkatkan sumber daya manusia yang berkompeten dalam PTSP, adanya
pemahaman yang sama terhadap aturan-aturan pelayanan PTSP, satuan kerja yang
memberikan rekomendasi dapat menempatkan sumber daya manusia nya di satu
tempat sehingga tidak memakan waktu yang lebih lama dan perlunya pengadaan IT
yang maksimal.
Abstract
To be able to give transparent service with equal treatment which is easy,
efficient, fast, fair, accountable and having legal certainty, one door integrated
permit service regulation is needed. The problem in this thesis is that how does
the one door integrated permit service in effort to improving investment in
Lampung province and what are inhibiting factors in one door integrated permit
service in effort to improving investment in Lampung province?
This research is classified as normative empirical approach. And conducted by
using primary and secondary data. Data were collected by literature study and
field study. These data were processed through data selection, data classification
and data systematization. Finally, were analyzed data is regulated by qualitative
analysis.
The results of research showed that the regulation of one door integrated service
(PTSP) in Board of investment and integrated permit service (BPMPPT) is
Governor Regulation number 15 in 2011 Authority Endorsement in Permit Field
and Non-permit Field to BPMPPT Lampung province. In efforts of improving
investment, BPMPPT is regulating PTSP of Investment Sector by improvement
facilities, human resources, structure and infrastructure. There are many factors
become obstacles in developing service conductury by PTSP such as; the lack of
human resources, the difference of perspective among the officer, permit process
involving sectoral unit, and last is the lack of IT facilities. Several
recommendation as follow: BPMPPT could be improve human resource
competence in PTSP, the same perspective against the rules of PTSP service, to
several unit to recommend or to place right human resources according to the
relevant unit so that the permit process would not take longer time, and to provide
optimum IT facilities.RAISA HARLY RUNIDA AGUSTINE 09120112292015-04-28T02:05:12Z2015-04-28T02:05:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9025This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90252015-04-28T02:05:12ZPERAN DINAS PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI LAMPUNG
DALAM PEMBINAAN ORGANISASI KEOLAHRAGAAN
PELAJARAbstrak
Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Lampung dalam kaitannya membina
organisasi keolahragaan pelajar, memiliki peran sebagai pendukung dan
fasilitator. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor
13 Tahun 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi
Lampung Pasal 8 yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi Dinas Pemuda dan
Olahraga Provinsi Lampung ialah mendukung atau memfasilitasi organisasi
Kepemudaan dan Keolahragan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran Dinas Pemuda dan
Olahraga Provinsi Lampung dalam pembinaan organisasi keolahragaan pelajar
dan faktor apakah yang menjadi penghambat dalam pembinaan organisasi
keolahragaan pelajar oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Lampung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif – empiris, sedangkan
sumber data yang digunakan ialah data primer dan data sekunder dengan prosedur
pengumpulan data terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan, lalu data tersebut
dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, peran Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi
Lampung sebagai pendukung dan fasilitator membina para atlet pelajar melalui
bantuan alat-alat olahraga, tenaga pelatih atau guru olahraga dan uang insentif
kepada pelatih dan asisten pelatih klub / Kelompok Olahraga Pelajar (KOP).
Adapun faktor-faktor yang menghambat peran Dinas Pemuda dan Olahraga
Provinsi Lampung dalam pembinaan organisasi keolahragaan pelajar yaitu,
terbatasnya kemampuan Pemerintah Daerah terhadap pendanaan olahraga dan
sistem pembinaan belum terarah. Saran yang dapat disampaikan kepada
pemerintah Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Lampung ialah meningkatkan
kembali kerjasama antara Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Lampung dengan
Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten / Kota dalam hal pembinaan dan
penjaringan bibit-bibit atlet yang berprestasi
Abstract
Department Youth and Athletics of Lampung Province in its bearing construct
organization sportmanship of student, owning role as and supporter of fasilitator.
The mentioned pursuant to By Law Of Lampung Province Number 13 Year 2009
About Organization and Administration Department Area of Lampung Province
paragraph 8 mentioning that one of function Department Youth and Athletics of
Lampung Province are to support or organizational facility of Youth and
Sportsmanship.
Problem of this research are how role Department Youth and Athletics of
Lampung Province in construction of organization sportmanship of factor and
student what is become resistor in construction of organization sportmanship of
student by Department Youth and Athletics of Lampung Province. This Research
use approach of law of normatif - empirical, while source of data the used are
primary data and secondary data with data collecting procedure consist of book
study and field study, and then the data analysed to use descriptive method
qualitative.
Pursuant to result of research, role Department Youth and Athletics of Lampung
Province as supporter and fasilitator construct all athlete of student by sport
equipment s, coach or athletic teacher and incentive money to coach and assistant
coach of club or Athletic Group of Student (KOP). As for factors pursuing role
Department Youth and Athletics of Lampung Province in construction of student
organization that is, the limited ability of Local Government to financing of
athletics, construction system not yet is directional, and less optimal coach and
athletic teacher in extramural education. Suggestion able to be submitted to
government Department Youth and Athletics of Lampung Province are improve
again cooperation between Department Youth and Athletics of Lampung Province
with Department Youth and Athletics of Lampung Province Sub-Province / Town
in the case of seeds network and construction of atlet which are have achievementNadia Purnama Sari 09120112122015-04-28T02:05:07Z2015-04-28T02:05:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9024This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90242015-04-28T02:05:07ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGELAPAN
KENDARAAN BERMOTOR SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA
(Studi Kasus Di PT. Mandala Multifinance Bandar Jaya)Abstrak
Penggelapan kendaraan bermotor sebagai Jaminan Fidusia merupakan
pelanggaran dari sistem jual beli kendaraan bermotor melalui cara kredit yang
dibiayai oleh perusahaan pembiayaan. Kendaraan bermotor sebagai Jaminan
Fidusia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia,
yang mengatur mengenai kepentingan hukum baik kreditur maupun debitur dalam
perjanjian jual beli kendaraan bermotor yang berisi ketentuan-ketentuan dalam
proses perjanjian kredit, namun dalam beberapa kasus pada perusahaan
pembiayaan yaitu PT. Mandala Multifinance perbuatan konsumen yang
menggelapkan kendaraan bermotor tidak dapat dilaporkan secara pidana atas
kerugian pihak lessor. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam skripsi ini yaitu
bagaimanakah pertanggungjawaban pidana penggelapan kendaraan bermotor
sebagai Jaminan Fidusia dan mengapa penggelapan kendaraan bermotor sebagai
Jaminan Fidusia pada PT. Mandala Multifinance tidak dapat dipidana.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah
primer dan data skunder. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling, dua orang pegawai PT. Mandala Multifinance, konsumen
pembeli motor pada PT. Mandala Multifinance, satu orang dosen Universitas
Lampung bagian Pidana, satu orang dosen Universitas Lampung bagian hukum
Perdata. Hasil dari wawancara responden kemudian diolah dan dianalisis secara
kualitatif dengan mengambil kesimpulan secara deduktif.
Made Apriana
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa tanggung jawab dan resiko
sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia diancam dengan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia yang mengatur :
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat
(2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima
Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta) rupiah”. Selain Pasal 36 UUJF
Jika pelaku memenuhi unsur-unsur penggelapan dalam KUHP diancan dengan
Pasal 372 KUHP yang mengatur “barang siapa dengan sengaja dan dengan
melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan,
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Dalam praktek alasan
tidak dapat dipidana karena pihak PT. Mandala Multifinance tidak mendaftarkan
benda Jaminan Fidusia yaitu sepeda motor. Benda yang dijaminkan dengan
Jaminan Fidusia dibuktikan dengan akta notaris. akta notaris di sini merupakan
syarat materiil berlakunya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Fidusia atas
perjanjian penjaminan fidusia.
Saran-saran dan masukan yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai
berikut: Diharapkan dengan ini angka kerugian pada lessor akibat penggelapan
sepeda motor berkurang dengan pengetahuan lessor akan Jaminan Fidusia. Pihak
lessor di harapkan untuk mendaftarkan sepeda motor pada jaminan fidusia agar
mendapatkan kepastian hukum pada saat terjadi pelanggaran perjanjian jual beli
sepeda motor kredit dan dapat menindak pidana penggelapan sepeda motor yang
dilakukan oleh konsumen, dengan bukti materiil akta jaminan fidusia.MADE APRIANA 09120111892015-04-28T02:05:02Z2015-04-28T02:05:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9023This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90232015-04-28T02:05:02ZUPAYA STRATEGIS INTELIJEN YUSTISIAL KEJAKSAAN DALAM
PROSES PENYELIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)Abstrak
Tugas Intelijen Yustisial Kejaksaan bukanlah pekerjan mudah. Selain dituntut
menguasai fungsi penegakan hukum, yakni bidang pidana, perdata dan tata usaha
negara, juga harus memahami bidang ketertiban dan ketentraman umum. Secara
strategis, Intelijen Yustisial Kejaksaan adalah intelijen sipil yang bergerak di
dalam negeri dan bertugas mencari informasi untuk digunakan oleh pimpinan dan
merupakan intelijen yang menjalankan fungsi penegakan hukum. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah Upaya strategis Intelijen Yustisial
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam rangka penyelidikan mengungkap
dugaan tindak pidana korupsi dan apakah faktor-faktor yang menjadi hambatan
Intelijen Yustisial Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam pengungkapan
dugaan tindak pidana korupsi.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan
studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data,
penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah
kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan
untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa upaya strategis
Intelijen Yustisial Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam rangka penyelidikan
mengungkap dugaan tindak pidana korupsi memiliki cara dan teknik tersendiri
dalam pengungkapan kasus/permasalahan tindak pidana korupsi. Memiliki
tahapan kegiatan yang sering disebut intelligence cycle atau Roda Perputaran
Intelijen (RPI) adalah proses pengembangan informasi dasar menjadi produk
intelijen bagi pengguna (user) untuk pengambilan keputusan atau tindakan. Roda
Perputaran Intelijen (RPI) dipergunakan pada setiap kegiatan intelijen yang
berupa penyelidikan (Lid), pengamanan (Pam) dan penggalangan (Gal).
Jiwa Syahputra
Pelaksanaan kegiatan penyelidikan memperhatikan pendekatan kriminalistik SOM
dan pendekatan alat bukti. Pendekatan kriminalistik SOM yaitu S (subyek) adalah
saksi, ahli, calon tersangka, O (obyek) yaitu sasaran, sarana dan hasil kejahatan
serta M (modus operandi) yaitu bagaimana kejahatan dilakukan. Pendekatan alat
bukti dengan memperhatikan Pasal 184 KUHAP adalah saksi, ahli, surat, petunjuk
dan terdakwa. Faktor-faktor yang menjadi hambatan Intelijen Yustisial Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi
adalah faktor perundang-undangan, faktor aparatur penegak hukum, dan faktor
sarana dan prasarana. Ketentuan perundang-undangan yang ada tidak sesuai
dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan reformasi birokrasi pemerintahan
serta tidak sepenuhnya mengakomodasi tugas dan wewenang Intelijen Yustisial
Kejaksaan. staff Intelijen Yustisial Kejaksaan Negeri Bandar Lampung belum
seluruhnya mendapat dan menguasai materi teknik perkara dan minimnya
personel intelijen serta sarana prasarana intelijen.
Agar upaya Intelijen Yustisial Kejaksaan khususnya di Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung lebih optimal maka diperlukan peningkatan kemampuan dan
keterampilan staff Intelijen Yustisial Kejaksaan dalam hal manajemen, metode
dan teknik intelijen dasar maupun lanjutan dengan dibekali dana operasional yang
memadai serta penggunaan sarana teknologi dan informasi yang terkini.
Kata Kunci: Upaya Strategis, Intelijen Yustisial, Tindak Pidana KorupsiJiwa Syahputra 09120111772015-04-28T02:04:58Z2015-04-28T02:04:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9022This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90222015-04-28T02:04:58ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR
( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No.
304/PID.SUS/2011/PN.TK)Abstrak
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menilai bahwa putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang telah salah menerapkan hukum atau tidak menerapkan
sebagaimana mestinya dalam memutus perkara tersebut. Menilai kedua putusan
lembaga peradilan tersebut, dapat menganalisis apakah dalam penerapan
hukumnya benar-benar murni ada kesalahan penafsiran hukum, atau merupakan
modus adanya mafia hukum yang mengiringi proses peradilan guna
menyelamatkan pejabat tertentu yang terlibat didalamnya. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana korupsi di Lampung Timur
dan apakah putusan Mahkamah Agung RI perkara No. 253 K/Pid.Sus/2012 sudah
mencerminkan rasa keadilan secara substantif.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mempelajari azas-azas, norma, konsep, dan teori yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas. Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang
didapatkan langsung dari lapangan hasil wawancara yaitu di Pengadilan Negeri IA
Tanjung Karang dan wawancara kepada salah satu dosen bagian hukum pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan data sekunder yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
serta literatur-literatur yang mendukung penulis skripsi ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa dasar
pertimbangan hakim menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
dalam putusan Mahkamah Agung perkara nomor 253 K/Pid.Sus/2012 majelis
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu terdakwa selaku
bupati tidak mendukung program pemerintahan dalam upaya memberantas
korupsi, kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan terdakwa jumlah
Irmalia Murniati
nya fantastis untuk satu Kabupaten serta perbuatan terdakwa melukai rasa
keadilan masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan yang mendambakan
tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sosial. Berbeda dalam putusan
Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang perkara nomor 304/Pid.Sus/2011/PN.TK
majelis hakim menimbang bahwa unsur melawan hukum dalam perkara ini telah
dinyatakan tidak terpenuhi atau tidak terbukti, sebagaimana dalam pertimbangan
unsur melawan hukum pada dakwaan primer, namun demikian untuk terangnya
perkara ini majelis akan tetap mempertimbangkan unsur menyalahgunakan
kewenangan tersebut yang dihubungkan dengan fakta persidangan, bahwa
perbuatan terdakwa bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan formal Undang-Undang. Putusan pada Mahkamah
Agung yang dijatuhkan dianggap telah cukup tepat dan cermat dalam
menjatuhkan putusannya, Majelis Hakim juga telah memutuskan berdasarkan
teori keadilan substantif yang berdasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari
sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani dan telah menemukan
nilai-nilai kebenaran dan berdasarkan keadilaan.
Adapun saran penulis yaitu hakim hendaknya lebih meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan dalam menyelesaikan kasus atau perkara yang di ajukan
kepadanya. Hakim harus banyak belajar mencari sumber-sumber hukum yang luas
dan bermoral, serta berahlak baik dan untuk keadilan masyarakat. Hakim juga
harus telah mempertimbangkan fakta-fakta yang meliputi perkara tersebut, semua
fakta dan keadaan yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan, yang dapat
mempengaruhi pembuktian unsur-unsur, tanpa terkecuali, harus dipertimbangkan
dengan sebaik dan secermat mungkin agar tidak salah menerapkan hukum atau
menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana KorupsiIRMALIA MURNIATI 09120111702015-04-28T02:04:50Z2015-04-28T02:04:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9021This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90212015-04-28T02:04:50ZTANGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT
UDARA ATAS PERJANJIAN PENGIRIMAN BARANG
(STUDI PADA PT TIKI JNE CABANG BANDAR LAMPUNG)Abstrak
Kondisi geografis wilayah nusantara menunjukkan betapa pentingnya peranan
transportasi udara terhadap kelancaran arus lalu lintas barang dari dan ke suatu
daerah tertentu. PT Tiki JNE merupakan suatu bentuk usaha pengiriman barang
yang bertindak sebagai wakil dari pengirim untuk mengirimkan barang dengan
tepat waktu dan selamat sampai kepada penerima. Dalam dokumen perjanjian PT
Tiki JNE mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan apabila terjadi
wanprestasi, untuk itu PT Tiki JNE berkewajiban menciptakan suatu usaha yang
profesional sehingga barang yang dikirim sampai di tempat tujuan selamat dan
tepat pada waktunya. Permasalahannya adalah bagaimana prosedur pelaksanaan
pengiriman barang, dan bagaimana tanggung jawab PT Tiki JNE terhadap
wanprestasi atas perjanjian pengiriman barang.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis
sosiologis dengan menelaah berbagai peraturan kemudian dikaji keberlakukannya
secara nyata. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder,
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, dan
wawancara, yang kemudian diolah melalui seleksi data, klasifikasi data dan
sistematika data, kemudian data tersebut dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur pengiriman barang pada PT Tiki
JNE terjadi melalui 3(tiga) tahapan, yaitu tahapan transaksi, tahapan pengemasan
dan penyimpanan sementara dan tahapan operasional. Perjanjian ekspedisi yang
terjadi antara PT Tiki JNE dengan pengirim barang terjadi secara lisan dan
dibuktikan dengan dokumen tanda bukti pengiriman barang yang dibuat secara
baku oleh PT Tiki JNE serta di dalamnya memuat hak dan kewajiban para pihak
yang harus dipenuhi. Tanggung jawab PT Tiki JNE dipenuhi apabila terdapat
kelalaian atau kesalahan yang timbul dari pihak nya. PT Tiki JNE bertanggung
jawab atas keterlambatan dengan memberikan garansi terhadap service tertentu.
Indah Puspitarani
PT Tiki JNE bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan barang dengan
mengganti kerugian sebesar 10 (sepuluh) kali ongkos kirim. PT Tiki JNE
bertanggung jawab mengganti sejumlah barang yang dikirim atau mengganti
sejumlah harga penerbitan barang berupa dokumen apabila barang kiriman
diasuransikan.
Kata Kunci : Tanggung Jawab, Perjanjian Ekspedisi, Wanprestasi. Indah Puspitarani 09120111652015-04-28T02:04:44Z2015-04-28T02:04:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9020This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90202015-04-28T02:04:44ZPERLINDUNGAN HUKUM PADA KORBAN PEMERKOSAAN
YANG MELAKUKAN ABORTUS PROVOCATUSAbstrak
Aborsi atau pengguguran kandungan merupakan suatu masalah yang sangat
kontroversi pada saat sekarang ini dimana terdapat pihak yang pro dan kontra atas
aborsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dari perspektif yuridis
tentang bagaimana hukum pidana melalui peraturan perundang-undangan yang ada
memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap korban perkosaan yang
melakukan abortus provocatus. Perempuan korban perkosaan yang kemudian hamil
dan memilih aborsi sebagai cara untuk mengakhiri kehamilannya selama ini
diposisikan sebagai pelaku tindak pidana aborsi, yang dalam kepustakaan hukum
pidana dikenal dengan tindak pidana “pengguguran kandungan” (abortus provocatus).
Adapun perlindungan hukum pada korban perkosaan yang melakukan abortus
provocatus tersebut ditinjau berdasarkan pengaturan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai Lex Generale, dan
juga berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang merupakan pengganti UU Kesehatan yang lama, yaitu UU No. 23
Tahun 1992, dan berlaku sebagai Lex Speciale.
Untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang ditunjukan dengan cara
mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara yurudis
normatif dan didukung yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama menelaah eberapa hal
yang ersifat teoritis berkenaan dengan sekripsi yang sedang dibahas. Pendekatan
secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis dilakukan dengan mengadakan
penelitian secara langsung kelapangan. Dari hasil penelitian yang dilakukan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus
provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam
Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab
XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan
terhadap nyawa. pasal-pasal dalam KUHP tersebut, tampaklah KUHP tidak
membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan
abortus provocatus tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus
provocatus the rapeuticus pun dilarang, termasuk di dalamnya adalah abortus
provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang
kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, melalui Pasal
75,76, dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran
kandungan (abortus provocatus).
Saran dari penulis adalah perlu dirumuskan secara eksplisit di dalam Peraturan
Pemerintah. Untuk itu perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai
peraturan pelaksana dari UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan aborsi bagi korban perkosaan, Perlu melakukan revisi terhadap UU No.
36 Tahun 2009, khususnya beberapa pasal yang terkait dengan penentuan usia
maksimal janin sebagai akibat perkosaan yang boleh diaborsi. Menurut Pasal 76
huruf a UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan kerjasama dari berbagai pihak
yang terkait dalam hal memastikan, bahwa proses pelaksanaan aborsi secara sah tidak
memberikan trauma kedua kalinya kepada para korban perkosaan, dan tidak
membebankan sehingga mungkin mencegah sebagian besar korban, terutama mereka
yang tinggal di komunitas miskin, termarginalisasi dan terpencil, untuk mengakses
pelaksanaan layanan-layanan aborsi yang aman. I GEDE AGUS SETIAWAN 09120111622015-04-28T02:04:39Z2015-04-28T02:04:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9019This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90192015-04-28T02:04:39ZPERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN
TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAKAbstrak
Anak adalah karunia yang sangat penting karena anak adalah generasi yang harus
dilindungi, mereka yang nantinya berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus
cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Perlindungan anak merupakan
usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan
peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian
hari. Menurut data dari Departemen Sosial, jumlah kasus anak berhadapan dengan
hukum cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2008 terdapat setidaknya
6.500 kasus anak berhadapan dengan hukum, dan meningkat pada tahun 2009
menjadi 6.704 kasus. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktorfaktor yang melatar belakangi adanya konsep Diversi pada Undang undang No. 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimanakah perspektif
penerapan diversi pada tahap penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana perkosaan berdasarkan prinsip-prinsip Undang-undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif.
Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari study kepustakaan baik itu bahan hukum primer seperti peraturan
perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti literatur yang dapat
menunjang penelitian, maupun bahan hukum tersier seperti kamus besar bahasa
indonesia. Data yang diperoleh kemudian diolah, setelah data diolah yang
kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu
kesimpulan.
Hendra Dwi Gunanda
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
Faktor-faktor yang melatarbelakangi diterapkannya konsep diversi didasarkan
pada nilai-nilai Yuridis, filosofis serta sosiologis. Nilai Yuridis terdapat pada
instrumen hukum HAM internasional seperti Konvensi tentang Hak-Hak Anak,
Peraturan-peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan
bagi Anak (Beijing Rules) dan Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak
Pidana Anak (The Riyadh Guidelines). Nilai filosofis konsep diversi ini
digambarkan berdasarkan Pancasila yaitu moral Ketuhanan, moral kemanusiaan,
moral persatuan, moral kerakyatan dan moral keadilan sosial. nilai sosiologis
digambarkan dengan keadaan masyarakat yang religius, humanis, utuh dan
bersatu, kekeluargaan serta adil. Sedangkan Perspektif Penerapan Diversi Bagi
Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Perkosaan Pada Tahap Penyidikan
Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak diterapkan berdasarkan kriteria penerapan diversi diantaranya masih
tergolong pidana ringan dan ancaman dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh)
tahun, bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Penerapan diversi juga harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian
kemasyarakatan dari Bapas, serta dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Konsep diversi juga harus memperhatikan asas perlindungan anak diantaran ya
keadilan dalam suatu masyarakat, usaha bersama melindungi anak untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif.
Memperhatikan mental, fisik, dan sosial, hal ini berarti bahwa pemahaman,
pendekatan, dan penanganan anak dilakukan secara integratif, interdisipliner,
intersektoral, dan interdepartementel.
Adapun saran penulis yaitu agar konsep diversi dilakukan sedini mungkin
walaupun Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak tersebut belum berlaku karena konsep diversi tersebut dapat melindungi
kepentingan hak anak juga dapat terwujudnya rasa keadilan terhadap korban dan
masyarakat.
Kata Kunci : Perspektif, diversi, anak. HENDRA DWI GUNANDA 09120111582015-04-28T02:04:34Z2015-04-28T02:04:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9018This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90182015-04-28T02:04:34ZUPAYA POLRES TANGGAMUS DALAM PENANGGULANGAN
PERJUDIAN TOTO GELAP (TOGEL)
DI WILAYAH TANGGAMUSAbstrak
Perjudian toto gelap (togel) merupakan suatu masalah serius yang dihadapi oleh
pihak kepolisian, sebab judi ini merupakan kejahatan yang melanggar hukum.
Sesuai dengan konteks bahwa tindak pidana perjudian pada dasarnya adalah
kejahatan, bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral pancasila, serta
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara,
maka pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai aparat penegak hukum dituntut
untuk melaksanakan berbagai upaya dan kebijakan dalam rangka penegakan hukum
terhadap tindak pidana perjudian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah upaya Polres Tanggamus dalam penanggulangan perjudian toto gelap
di Wilayah Tanggamus? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya Polres
Tanggamus dalam penanggulangan perjudian toto gelap di Wilayah Tanggamus?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden yaitu anggota Kepolisian Resor
Tanggamus, tokoh masyarakat dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan
dan dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan:
(1) Upaya Kepolisian Resor Tanggamus dalam upaya penanggulangan judi togel di
wilayah Tanggamus dilaksanakan secara penal dan non penal. Upaya penal
dilaksanakan dalam kerangka penegakan hukum melalui proses penyidikan dengan
landasan dasar hukum yaitu KUHAP dan Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum
terhadap pelaku judi togel di Kabupaten Tanggamus. Sementara upaya non penal
dilaksanakan dengan penyuluhan kepada masyarakat tentang judi togel sebagai
tindak pidana, menjalin kerjasama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat serta
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang bersedia menjadi pelapor
atau saksi dalam tindak pidana judi togel. (2) Faktor-faktor yang menghambat
Upaya Kepolisian Resor Tanggamus dalam upaya penanggulangan judi togel di
wilayah Tanggamus adalah: a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya oknum
polisi yang terlibat dalam tindak pidana judi togel adan kurangnya kuantitas anggota
Satreskrim Polres Tanggamus dalam penanggulangan judi togel. b) Faktor sarana
dan prasarana, yaitu keterbatasan sarana kendaraan operasional kepolisian sehingga
Harmawan Prana Yuda
pemberantasan judi togel di wilayah pelosok dan terpencil di Kabupaten Tanggamus
belum dilaksanakan secara optimal. c) Faktor masyarakat, yaitu tidak bersedianya
masyarakat untuk menjadi pelapor atau saksi dalam penanggulangan tindak pidana
judi togel d) Faktor budaya, yaitu semakin membudayanya judi dalam kehidupan
masyarakat, sehingga judi togel ini terjadi secara menyeluruh pada hampir seluruh
wilayah Kabupaten Tanggamus.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik Kepolisian Resor Tanggamus
disarankan untuk melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya secara jujur dan
bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam
sistem peradilan pidana. Polisi dalam melaksanakan upaya paksa terhadap pelaku
tindak pidana judi togel hendaknya tidak sewenang-wenang dan tetap berada pada
koridor dan batas yang telah ditentukan oleh hukum. (2) Kepolisian Resor
Tanggamus disarankan untuk mengembangkan dan meningkatkan jaringan kerja
sama dengan berbagai pihak terkait dalam upaya penanggulangan tindak pidana
perjudian togel. Hal ini diperlukan guna mengantisipasi semakin berkembangnya
perjudian togel di wilayah Tanggamus khususnya.HARMAWAN PRANA YUDA 09120111562015-04-28T02:04:20Z2015-04-28T02:04:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8988This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89882015-04-28T02:04:20ZNNNNNN 08520111612015-04-28T02:04:04Z2015-04-28T02:04:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9016This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90162015-04-28T02:04:04ZPERAN BKKBN PROPINSI LAMPUNG TERHADAP PROGRAM PENYIAPAN KEHIDUPAN BERKELUARGA BAGI REMAJA
Abstrak
Isu-isu triad KRR (seksualitas , HIV-AIDS dan Napza) merupakan isu yang sangat aktual saat ini. Apabila kasus-kasus remaja dibiarkan nantinya akan merusak masa depan keluarga dan masa depan bangsa indonesia. Untuk merespon hal tersebut pemerintah (c.q. BKKBN) mengembangkan program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR) yang merupakan salah satu program pokok pembangunan nasional yang tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Program Jangka Menengah Nasional (BKKBN 2010-2014).
Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimanakah peran BKKBN Propinsi Lampung terhadap program PKBR dan apakah faktor penghambat dari program PKBR. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Normatif-Empiris. Sumber data dari penelitian ini berasal dari dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi lapangan. Dari hasil penelitian diolah dengan seleksi data, klasifikasi data, penyusunan data.
Peran BKKBN Propinsi Lampung terhadap Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja antara lain dalam hal pembinaan, pembimbingan atau pendampingan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi terkait program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja. Hambatan dalam pelaksanaan program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja, adalah: (a). Program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja belum menjadi program prioritas dalam dukungan dan komitmen pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota, yang khususnya berdampak pada besarnya dukungan dana, sarana-prasarana dan personil. (b). Sumber daya (dana, sarana dan personil) untuk program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja yang relatif kecil/minim dibandingkan dengan urgensi dan cakupan permasalahan remaja yang ada.
Kata Kunci : BKKBN, Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja
Abstract
KRR triad issues (sexuality, HIV-AIDS and drug use) is an issue that is very actual today. If the juvenile cases will be allowed to ruin the family's future and the future of the nation of Indonesia. In response the government (cq BKKBN) develop family life preparation program for youth (PKBR) which is one of the principal national development programs that are listed in the Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 5 of 2010 on the National Medium Term Program Plan (BKKBN 2010-2014).
The problem in this research is how the role of the program BKKBN Lampung PKBR and what inhibiting factors of the program PKBR. The approach used in this study is normative-empirical approach. Source data from this study come from two types of data, namely primary data and secondary data. Data was collected through library research, field study. From the results of the research has been collected, then processed with data selection, data classification, data preparation.
Role BKKBN Lampung Province on family life Preparation Program For Teens (PKBR) among others in terms of coaching, coaching or mentoring, facilitation, monitoring and evaluation of the implementation of the program related to the preparation of family life for adolescents.
In related duties Implementation Program for teens preparing family life, BKKBN Lampung province met several obstacles, among others: (a). Preparation programs for youth and family life has not been a priority program in the support and commitment of the provincial and district / city, which particularly impact on the amount of financial support, infrastructure and personnel. (b). Resources (funds, facilities, and personnel) for the preparation of family life for a relatively small teen / minimal compared to the urgency and scope of adolescent problems that exist.
Keyword : BKKBN, Preparation Program For Teens Family Life
Elvira Lieshanty Febryza 09120111392015-04-28T02:03:53Z2015-04-28T02:03:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9014This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90142015-04-28T02:03:53ZANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR
HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor:
313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)Abstrak
Pembunuhan berencana adalah suatu tindak pidana yang dipandang sebagai
salah satu tindak pidana berat, karena tindak pidana ini telah menghilangkan
nyawa orang lain. Perbuatan pembunuhan berencana yang dijatuhi hukuman
seumur hidup dipandang sebagian orang sebagai suatu hukuman yang
setimpal, tetapi banyak juga yang memandang bahwa pidana seumur hidup
adalah hukuman yang cukup berat bagi pelaku pembunuhan berencana.
Perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana seumur hidup sebagai
sarana penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya
"falsafah pembinaan" (treatment philosophy) dalam pemidanaan. Perdebatan
tentang pidana seumur hidup semakin meruncing seiring meningkatnya issu
global tentang hak asasi manusia. Adapun Permasalahan yang menyangkut
Pidana Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana,
yaitu bagaimanakah penerapan pidana penjara seumur hidup terhadap pelaku
pembunuhan berencana dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhi pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana
berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor:
313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK.
Pendekatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data
dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan
dengan melakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Gunung
Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, dan Dosen bagian Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi
kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa
dan mengoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara
Elsie Viana
analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan
kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan Pidana Penjara Seumur Hidup, dalam perkara Nomor:
313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK bahwa terdakwa Antoni bin
Sa’ani divonis penjara seumur hidup, dengan pengertian bahwa terdakwa
menjalankan masa tahanan sampai selama sisa hidupnya terdakwa, tetapi
dengan adanya Keputusan Presiden RI Nomor 69 tahun 1999 tentang
Pengurangan Masa Pidana (Remisi). Dalam Pasal 7 ditentukan bahwa
narapidana yang dijatuhi pidana seumur hidup, termasuk terdakwa Antoni bin
Sa’ani masih memiliki kemungkinan untuk mendapatkan remisi atau
pengurangan masa pidana dengan ketentuan berkelakuan baik selama
menjalani pidananya paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut. Hakim
dalam menjatuhi pidana dikarenakan terdakwa Antoni bin Sa’ani terbukti
melanggar Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dasar
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Antoni
bin Sa’ani adalah karena berdasarkan sudah terpenuhinya unsur-unsur dari
Pasal 340 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah: Barang siapa, dengan
sengaja, Dengan rencana terlebih dahulu, dan Merampas nyawa orang lain.
Selain itu karena tindak pidana pembunuhan berencana ini dilakukan dengan
sadis, dan juga mengingat bahwa tersangka Antoni bin Sa’ani adalah seorang
Residivis, yang tengah menjalani masa tahanannya di LP Rajabasa. Serta
beberapa hal yang memberatkan. Saran yang akan diberikan penulis berkaitan
dengan kasus ini, ialah Hakim harus lebih selektif dalam menjatuhkan vonis
kepada terdakwa, karena pidana ini dianggap penulis terlalu berat. Mengingat
bahwa terdakwa tidak memiliki kepentingan secara langsung kepada korban
Sutrisno Hadi.
Kata Kunci: Putusan Pengadilan, Pidana Penjara Seumur Hidup,
Pembunuhan Berencana. ELSIE VIANA 09120111382015-04-28T02:03:25Z2015-04-28T02:03:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9007This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90072015-04-28T02:03:25ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN
KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA
(Studi Pada KSP Kopdit Mekar Sai)Abstrak
KSP Kopdit Mekar Sai dalam memberikan kredit mensyaratkan adanya jaminan
bagi pemberian kredit. Salah satu jaminan yang digunakan dalam perjanjian kredit
pada KSP Kopdit Mekar Sai adalah jaminan fidusia, Perjanjian kredit dengan
jaminan fidusia sering terjadi bahwa pihak kreditur dirugikan ketika pihak debitur
melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan suatu aturan hukum dalam
pelaksanaan pembebanan jaminan fidusia yang tertuang dalam suatu perjanjian
kredit, yang bertujuan memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi
pihak-pihak terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan prosedur
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, akibat hukum jika debitur wanprestasi
serta bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia pada KSP Kopdit Mekar Sai.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif
empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi pada peristiwa hukum. Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka, studi dokumen serta wawancara. Kemudian analisis data dilakukan
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa syarat dan prosedur
perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia pada KSP Kopdit Mekar Sai tidak
sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata karena jaminan fidusianya tidak
didaftarkan, hal ini melanggar syarat sahnya perjanjian adanya suatu sebab yang
halal. Akibat hukum yang ditimbulkan jika debitur wanprestasi antara lain
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, terjadi pembatalan perjanjian,
peralihan risiko, dan debitur diwajibkan membayar seluruh perkara jika
diperkarakan di depan hukum. Perlindungan hukum terhadap kreditur dalam
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia adalah melalui pendaftaran jaminan
fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia hal tersebut diatur dalam Undang-undang
Nomor 42 tahun1999 tentang Jaminan Fidusia. Sedangkan perlindungan hukum KSP Kopdit Mekar Sai hanyalah dilindungi oleh ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata, karena obyek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tidak
mempunyai hak preferen.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit, Jaminan Fidusia.Cindi Kartika 09120111202015-04-28T02:02:45Z2015-04-28T02:02:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9004This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/90042015-04-28T02:02:45ZPELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN
PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS
(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)Abstrak
Anggota kepolisian dalam menyelesaikan perkara tindak pidana lalu lintas dapat
menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, namun demikian
pelaksanaan diskresi harus dilakukan secara profesional dan sesuai dengan kode
etik kepolisian sebagai keharusan bagi anggota kepolisian, mengingat kekuasaan
diskresi tanpa disertai pembatasan dapat berpotensi penyalahgunaan kewenangan.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan diskresi kepolisian
dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota
Bandar Lampung dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh
Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu
anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan dan Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka
dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan diskresi
kepolisian dalam perkara pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung adalah melalui perdamaian antara pelaku dan korban. Eksistensi
perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas berkaitan
dengan kewenangan diskresi yang dimiliki oleh kepolisian. Perdamaian ini
didasarkan pada adanya itikad baik antara pihak-pihak yang terlibat dalam
kecelakaan lalu lintas untuk menempuh penyelesaian secara kekeluargaan.
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak harus dengan pemidanaan atau
penjatuhan sanksi pidana, dalam hal tersebut berdasarkan pada terjadinya
perbuatan, apabila terjadi karena kealpaan dan kesalahan bukan pada tersangka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam
penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas, adalah sebagai berikut: faktor
perundang-undangan (substansi hukum), yaitu adanya dasar hukum yang
memberikan kewenangan kepada anggota kepolisian untuk melakukan tindakan
diskresi sehingga pelaksanaan tugas di lapangan disesuaikan dengan kewajiban
Ary Reza Pratama
hukum dan menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia; faktor penegak
hukum, yaitu adanya profesionalisme kerja polisi. Polisi dalam hal ini mempunyai
kedudukan sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk melaksanakan tugastugasnya secara profesional terutama dalam mempergunakan wewenang diskresi
yang dimilikinya; faktor masyarakat, yaitu masyarakat menyadari bahwa
pelanggaran lalu lintas adalah suatu kejadian di luar kehendak dan sama sekali
tidak diinginkan sehinggga mereka menghendaki adanya perdamaian di luar
pengadilan dan pihak kepolisian dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya
menjadi mediator dalam perdamaian tersebut; faktor kebudayaan, yaitu adanya
nilai-nilai budaya di Indonesia yang mengedepankan prinsip kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga
dalam konteks kecelakaan lalu lintas, faktor budaya ini berpengaruh besar, di
mana masyarakat menggunakan nilai-nilai kebudayaan berupa kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perkara lalu lintas.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung
disarankan untuk lebih cermat dalam mengklasifikasikan perkara pidana lalu
lintas yang dapat diselesaikan melalui kewenangan diskresi. Hal ini penting
dilakukan agar kepolisian tidak melampaui kewenangan diskresi yang dimilikinya
dan untuk meningkatkan profesionalisme Kepolisian dalam penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan. Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam proses
mediasi penal disarankan untuk secara proporsional menempatkan diri sebagai
pihak yang netral, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemihakan terhadap
salah satu pihak. Hal ini penting dilakukan agar proses perdamaian yang terjadi
antara kedua belah pihak benar-benar dilandasi oleh maksud yang baik dan
keinginan yang tulus dari kedua belah pihak, serta tetap berlandaskan pada rasa
keadilan bagi masyarakat.
Kata Kunci: Diskresi, Perkara Pidana, Lalu LintasARY REZA PRATAMA 09120111102015-04-28T02:02:15Z2015-04-28T02:02:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8998This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89982015-04-28T02:02:15ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAAbstrak
Kekerasan tidak hanya terjadi pada istri atau anggota inti dari sebuah keluarga.
Bahkan seseorang yang bekerja di rumah atau pembantu rumah tangga (PRT)
diperlakukan sangat tidak pantas dan seringkali mengarah pada perbuatan yang
dapat di kategorikan kekerasan. Skripsi ini membahas masalah mengenai
kekerasan yang dilakukan terhadap pembantu rumah tangga. Penulisan skripsi ini
berusaha untuk mengetahui mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya kekerasan yang berasal dari pelaku. Tindakan semenamena terhadap para pembantu rumah tangga (PRT), yang khususnya terjadi di
rumah-rumah yang merupakan wilayah atau area privat dan personal yang tidak
dapat di jamah oleh orang lain bahkan wilayah atau area yang sangat tersembunyi
dari penglihatan umum dan penyelesaiannya tidak semudah kasus-kasus kriminal
dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan yaitu pembantu
rumah tangga (PRT) cenderung membisu.
Pendekatan masalah untuk membahas permasalahan tersebut penulis melakukan
penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan
yuridis normatif adalah dilakukan dengan cara menganalisis dan mempelajari
aturan-aturan, teori, defenisi, dan bahan-bahan yang ada di perpustakaan beserta
literatur-literatur. Pendekatan yuridis empiris adalah penelitian lapangan yang
dilakukan dengan cara mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa
penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga (PRT).
Novia Anggraini LT
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dengan ini dapat penulis
simpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan pada pembantu rumah tangga (PRT) di wilayah Indonesia, khususnya
Bandar Lampung dilaksanakan secara preventif yaitu pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan dengan cara mensosialisasikan peratutan pemerintah (PP) dan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT), misalnya dengan melakukan seminar-seminar nasional
untuk mensosialisasikan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT), membuat iklan di media cetak dan elektronik dan secara
represif yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yaitu dengan
menyelidiki dan memproses laporan yang masuk namun masih belum terlaksana
dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kasus yang masuk ke Kepolisian tidak
dapat ditindaklanjuti karena masih banyaknya faktor-faktor penghambat ada di
masyarakat yaitu kurang peduli terhadap nasib kaum rendahan yaitu pembantu
rumah tangga (PRT).
Penulis menyarankan agar aparat penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat
agar bekerjasama melakukan sosialisasi terhadap peraturan dan undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga agar terciptanya masyarakat yang
adil dan sejahtera. Serta pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga ini harus
mendapatkan sanksi yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pelaku, agar
kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga ini
dapat dimimalisir mengingat bahwa akibat yang ditimbulkan dengan adanya
tindak pidana ini cukup berat, karena menimbulkan trauma fisik maupun psikis,
sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pembantu rumah tangga.
Kata Kunci : Kekerasan, Penegakan Hukum, Pembantu Rumah TanggaNovia Anggraini LT 09120110572015-04-28T02:02:00Z2015-09-07T08:56:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8996This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89962015-04-28T02:02:00ZPENGGUNAAN HASIL UJI BALISTIK SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERDASARKAN PASAL 184 KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA Abstrak
Problrmatika pembuktian untuk kasus kejahatan dengan menggunakan senjata api
merupakan suatu hal yang penting untuk dikaji lebih dalam dikarenakan
perkembangan kejahatan dengan menggunakan senjata api. Adanya kajian
mengenai uji balistik ini dapat diketahui cara mengungkapkan dan membuktikan
kejahatan dengan menggunakan senjata api dengan metode dan data yang akurat
untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan. Adapun
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah hasil uji balistik
dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tindak pidana pembunuhan dan
bagaimana kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat
bukti dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yurudis normatif dan
yurudis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder,
pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen.
Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data,
rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian
disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk
dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Hasil uji balistik dapat
dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tindak pidana pembunuhan, kedudukan
Hasil Uji Balistik dalam konsepsi alat bukti tidak disebutkan secara langsung
dalam Pasal 184 KUHAP dan juga tidak diatur secara khusus dalam jenis
peraturan lainnya. Oleh karena itu, Hasil Uji Balistik dari Laboratorium Forensik
bidang BALMETFOR (Balistik dan Metalurgi Forensik) dalam konsepsinya
sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP dapat dikualifikasikan kedalam jenis
alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk dengan
ketentuan dalam keadaan bagaimana Hasil Uji Balistik tersebut diajukan sebagai
alat bukti dalam persidangan. Kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang
digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan
Pasal 184 KUHAP bersifat bebas, artinya di dalam keterangan ahli tidak ada
Martha Elvin Maika
melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna danmenentukan, terserah pada
penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.
Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian
harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral dan terwujudnya
kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. Selain itu,
sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP, keterangan ahli tidak dapat berdiri sendiri harus didukung dengan
persesuaian dengan alat bukti yang lain, begitupun jika dikaitkan dengan Pasal
185 ayat (2) KUHAP seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, maka demikian halnya dengan keterangan ahli harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
Hendaknya ada pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis alat bukti yang
baru yang belum diatur dalam Pasal 184 KUHAP mengingat perkembangan
masyarakat dan teknologi yang sangat pesat dan dinamis sehingga dapat
memungkinkan timbulnya jenis-jenis tindak pidana yang memanfaatkan teknologi
yang canggih dengan modus-modus baru.
Kata Kunci: Hasil Uji Balistik, Pembuktian, Tindak Pidana PembunuhanMartha Elvin Maika 09120110482015-04-28T02:01:55Z2015-04-28T02:01:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8994This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89942015-04-28T02:01:55ZPENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
(Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)Abstrak
Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak masih terjadi di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Gunung Sugih, hal itu dapat dilihat dari Perkara
Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS. Dalam kasus
tersebut, terdakwa Boby Fernandes Bin Anshori yang masih berusia 12 tahun
dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan
dipinda selama 3 (tiga) bulan pidana penjara. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana
penganiayaan (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah
data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara
terhadap Jaksa, Hakim, Lembaga Advokasi Anak dan Dosen bagian pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi
kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis
secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan
oleh anak yakni berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan unsur-unsur yang terpenuhi atas
perbuatan yang dilakukan, fakta-fakta dipersidangan dalam hal ini terdapat 4
(empat) alat bukti yang cukup berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP,
terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan diberikan
sanksi pidana selama selama 3 (tiga) bulan pidana penjara, ketentuan Pasal 79
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menegaskan bahwa pidana penjara dalam KUHP berlaku terhadap Anak
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Secara normatif penerapan
sanksi pidana tersebut kurang tepat karena melihat keadaan pelaku yang masih
anak dibawah umur yakni berusia 12 tahun maka hal ini tentunya mensyaratkan
mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap terdakwa untuk
menghindari pengaruh negatif terhadap anak dalam lingkungan penjara, tetapi
secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara dinilai Hakim sudah
sesuai dengan tujuan pemidanaan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan
dalam Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS adalah dakwaan jaksa, tujuan
pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim
cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak
mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan
tindak pidana, akibat yang ditimbulkan, serta aplikasi teori-teori pertimbangan
hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan yakni kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan hukum. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6),
Pasal 183, Pasal 184 KUHAP.
Adapun saran penulis yaitu penegak hukum dalam menerapkan sanksi pidana
anak agar lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih anak dibawah
umur maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan
pembinaan khusus terhadap pelaku untuk dapat mengembangkan kontrol diri dan
untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak yakni stigma mental dalam
lingkungan penjara, mengingat bahwa sanksi pidana yang dapat diterapkan tidak
hanya sanksi pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kata Kunci: Penerapan, Sanksi Pidana, Penganiayaan, AnakHerlia Anissa 09120110342015-04-28T02:01:51Z2015-04-28T02:01:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8993This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89932015-04-28T02:01:51ZKEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA DALAM PELAKSANAAN
TEMBAK DI TEMPATAbstrak
Anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penegakan
hukum pidana diberikan kewenangan di antaranya kewenangan untuk menembak
dengan senjata api atau lebih sering dikenal dengan kewenangan tembak di
tempat. Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya oleh anggota Polri agar tidak
terjadi penyalahgunaan kewenangan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia? (2) Bagaimanakah kewenangan yang
dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di
tempat?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu
anggota Kepolisian Daerah Lampung, Pegawai Kanwil Hukum dan HAM
Provinsi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.
Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pengaturan kewenangan
tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri
dari: a) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. b) Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pengendalian Masa c) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki (2)
Kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam
pelaksanaan tembak di tempat merupakan tindakan terakhir yang dilakukan oleh
pihak kepolisian dalam prosedur penggunaan senjata api setelah memberikan
tembakan peringatan dengan cara menembak bagian tubuh tersangka dengan
tujuan melumpuhkan bukan untuk mematikan. Kewenangan ini dibatasi oleh asas
legalitas, nesesitas dan proporsionalitas agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) dan sebagai pembatasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan
tembak di tempat.
Anand Faiza Berlian
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Perlu ditingkatkan mekanisme pengawasan
dan pendataan terhadap anggota Polri yang memegang senjata api, sehingga dapat
diantisipasi dan ditempuh langkah-langkah kongkrit pencegahan penyalahgunaan
senjata api oleh anggota kepolisian. (2) Perlu diberikan tindakan dan hukuman
tegas kepada anggota polri yang terbukti menyalahgunakan senjata api, hal ini
akan memberikan efek jera dan sebagai pelajaran bagi anggota polri lainnya agar
tidak menyalahgunakan senjata api. (3) Perlu ditingkatkan kedisiplinan dalam
melaksanakan prosedur penggunaan senjata api ketika melaksanakan tugas di
lapangan. Selain itu anggota kepolisian yang memegang senjata api hendaknya
mampu memisahkan kepentingan dinas dan permasalahan pribadi atau keluarga
secara proporsional, sehingga tidak berpengaruh negatif pada pelaksanaan tugastugas kepolisian, terutama yang dapat berpotensi penyalahgunaan senjata api.
Kata Kunci: Kewenangan, Tembak di Tempat ANAND FAIZA BERLIAN 09120110072015-04-28T02:01:47Z2015-04-28T02:01:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8991This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89912015-04-28T02:01:47ZPENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSIAbstrak
Tindak pidana korupsi semakin merajalela terjadi yang disertai dengan tidak
adanya lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan tersebut dikalangan pegawai
negeri dan penyelenggara negara, serta semakin tersistematis dan canggihnya
perbuatan tersebut Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi
memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang
terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau
kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi
yang telah begitu banyak merugikan negara. Permasalahan dalam penelitian ini
adalahah bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia
dalam perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah penerapan sistem
pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi.
Untuk menjawab permasalahan, pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris.
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan
wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data
melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan
sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk
uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Pengaturan sistem
pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi diatur di
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37. terhadap pembalikan beban
pembuktian, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi sehingga jika terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti. Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU
No. 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B
Ryan Archie
dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta
kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur
dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001.
Penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi
sifatnya terbatas. Terbatas disini maksudnya adalah bahwa yang wajib dibuktikan
oleh terdakwa hanyalah terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang diduga
berasal dari tindak pidana. Untuk unsur-unsur lainnya dari tindak pidana tersebut
beban pembuktiannya berada di Jaksa Penuntut Umum. Pada prakteknya sistem
pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan asas praduga bersalah
secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang dimana di satu sisi terdakwa
harus membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana dan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan tuntutannya.
Disarankan adanya perubahan terhadap ketentuan hukum acara pidana di
Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang
terjadi saat ini, dimana secara gamblang dapat kita lihat khususnya mengenai
pengaturan mengenai beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian
terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dari
aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik.
Kata Kunci: Penerapan, Pembuktian Terbalik, KorupsiRyan Archie 08520112002015-04-28T02:01:43Z2015-04-28T02:01:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8990This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89902015-04-28T02:01:43ZPENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL ANGKUTAN MASSAL
BERBASIS JALAN DALAM UJI KELAIKAN ANGKUTAN OLEH DINAS
PERHUBUNGAN KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional. Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menentukan bahwa setiap
kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan
teknis dan laik jalan. Uji kelaikan angkutan massal yang dilakukan oleh Dinas
Perhubungan Kota Bandar Lampung pada saat ini masih terkesan hanya
formalitas. Seharusnya uji kelaikan angkutan massal merupakan salah satu upaya
preventif untuk mencegah terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan kondisi
kendaraan yang tidak baik atau tidak laik jalan atau beroperasi. Berdasarkan hal
ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai
berikut: a) Bagaimanakah penerapan Standar Pelayanan Minimal Angkutan
Massal Berbasis Jalan dalam uji kelaikan angkutan oleh Dinas Perhubungan Kota
Bandar Lampung? b) Apakah faktor penghambat penerapan Standar Pelayanan
Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan dalam uji kelaikan angkutan oleh Dinas
Perhubungan Kota Bandar Lampung?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif
dan pendekatan empiris. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari hasil studi
lapangan yaitu wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan
hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Peneliti dalam pengumpulan data melakukan studi kepustakaan
(library research) dan studi lapangan (field research). Metode pengolahan data
yang digunakan peneliti yaitu editing, sistematisasi dan klasifikasi data. Analisis
data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
Rizki Oktria
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: a) Penerapan Standar
Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan dalam uji kelaikan angkutan
oleh Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dilakukan dengan menggunakan
standar operasional pelayanan terutama waktu yang diperlukan untuk setiap
kendaraan melakukan uji kelaikan. Waktu yang dipelukan dalam pengujian
kendaraan bermotor di UPT Pengujian Kendaraan Bermotor adalah selama 30
menit. Selain itu, Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam melaksanakan
standar operasional pelayanan, telah membuat alur dalam proses pelayanan
pengujian kendaran bermotor. Alur ini memberikan panduan kepada pemohon
(pemilik kendaraan bermotor) dalam mengajukan pengujian laik jalan, akan tetapi
dalam pelaksanaannya belum optimal. b) Faktor penghambat penerapan Standar
Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan dalam uji kelaikan angkutan
oleh Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung adalah peralatan pengujian yang
belum memadai dan terbatasnya petugas pengujian yang profesional yang tidak
sebanding dengan jumlah kendaraan yang diujikan
Adapun saran yang diajukan peneliti, yaitu sebaiknya pemerintah Kota Bandar
Lampung segera melakukan perbaikan terhadap peralatan yang digunakan dalam
uji kelaikan kendaraan atau mengganti peralatan pengujian dengan peralatan yang
baru dan lebih canggih dan dilakukan penambahan pegawai teknis pengujian
kendaraan dan apabila diadakan perekrutan pegawai teknis baru yang bertugas
melakukan pengujian kendaraan, pemerintah melakukan penyaringan secara
selektif, sehingga pegawai yang dipekerjakan berkualitas dan profesional.
Kata kunci: kendaraan, pengujian, angkutan massal, transportasi dan pelayananRizki Oktria 08520111932015-04-28T02:01:35Z2015-04-28T02:01:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8989This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89892015-04-28T02:01:35ZANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT (DISSENTING OPINION)
DIANTARA HAKIM TENTANG PRAPERADILAN
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 98/PK/PID/2010)Abstrak
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan Pengadilan Negeri dapat
melaksanakan sidang praperadilan untuk menentukan apakah penangkapan atau
penahanan dilakukan secara sah. Pengadilan juga berwenang untuk memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Dalam sidang pra peradilan Hakim mengeluarkan Dissenting Opinion dalam
memeriksa dan memutus perkara pra peradilan. Pada perkembangannya, dimana
muncul kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam
memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion
tersebut. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah perbedaan pendapat di
antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang
penghentian penuntutan yang tidak sah? dan Bagaimanakah akibat hukum yang
terjadi dengan adanya perbedaan pendapat terhadap putusan yang dijatuhkan?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang
digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi
pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan
data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah
diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau
ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian
untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Perbedaan pendapat oleh Hakim
Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara praperadilan tentang
penghentian penuntutan yang tidak sah dalam perkara ini terdapat dari Ketua Majelis
yang berpendapat bahwa Putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena
berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. Memang
benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak
dapat dimintakan banding. Pertimbangan tersebut tentunya tidak sesuai dengan unsur
Richi Andrean
kepastian hukum, Ketua Majelis hakim mengajukan Dissenting Opinion karena
memperjuangkan apa yang dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang
berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini hakim ketua menganggap tidak sesuai dengan
tata cara dan wewenang peradilan yang berlaku dan kepastian hukum harus
ditegakkan agar tidak menimbulkan keresahan dan terwujud rasa keadilan bagi
masyarakat. Akibat hukum adanya dissenting opinion tidak ada, karena masingmasing hakim mempunyai independensi pendapat. Sepanjang pendapatnya itu
memang ada kepentingan diluar perkara yang bersangkutan. Terjadinya perbedaan
pendapat Dissenting Opinion dalam anggota Majelis Hakim yang menimbulkan tidak
tercapainya mufakat untuk mengambil putusan. Akan tetapi dissenting opinion dari
Ketua Majelis yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan,
dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6)
KUHAP, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
Disarankan kepada Hakim dalam menggunakan kewenangan dissenting opinion harus
didasarkan kepada pertimbangan yang cermat dan bijaksana, agar tidak merugikan
kepentingan semua pihak.Richi Andrean 08520111842015-04-28T01:59:41Z2015-04-28T01:59:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8857This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/88572015-04-28T01:59:41ZUPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF
DI KOTA BANDAR LAMPUNGAbstrak
Pelaku tindak pidana pajak fiktif bukan hanya pejabat yang bekerja di instansi
perpajakan, tetapi juga pribadi atau oknum di luar instansi perpajakan, yaitu
perusahaan atau koorporasi. Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang
tidak bertanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat merugikan
masyarakat. Perusahaan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, ternyata
pajak yang mereka keluarkan tidak dibayarkan ke negara. Permasalahan penelitian
ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota
Bandar Lampung? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum
terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan empiris. Responden dalam penelitian ini adalah Penyidik Polresta
Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan PPNS
Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang selanjutnya
dianalisis dan dibahas secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1)Penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana pajak fiktif di Kota Bandar Lampung dilaksanakan dengan upaya penal
dan non penal, sebagai berikut: a) Penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana pajak fiktif dengan upaya penal adalah penyidikan oleh Kepolisian Resor
Kota Bandar Lampung dan PPNS Ditjen Pajak untuk memastikan bahwa telah
terjadi tindak pidana pajak fiktif melalui rangkaian tindakan penyidikan yang
disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dakwaan oleh Kejaksaan Negeri
dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal
Pasal 41A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, yaitu pidana berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pengadilan terhadap oleh hakim Pengadilan Negeri, untuk menegakkan keadilan
berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan. (2) Penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif dengan upaya non penal, dilaksanakan
melalui penyuluhan dan sosialisasi kepada wajib pajak, khususnya perusahaan
Lucy Mayasari
yang berisi materi mengenai pentingnya penerimaan pajak perusahaan bagi negara
dan pembangunan, serta ancaman atau sanksi terhadap pelaku yang melakukan
tindak pidana pajak fiktif. (2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif di Kota Bandar Lampung adalah:
a) Faktor substansi hukum, yaitu perubahahan Undang-Undang di Bidang
Perpajakan berdampak pada pelaksanaan undang-undang tersebut di lapangan
karena para petugas harus mempelajari kembali berbagai perubahan tersebut.
b) Faktor aparat penegak hukum, adalah secara kuantitas masih terbatasnya
personil PPNS Ditjen Pajak yang khusus melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana pajak fiktif. Secara kualitas adalah terbatasnya profesionalime kerja
petugas di bidang penyidikan, perlu ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan
teknis penyidikan di bidang perpajakan c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu
masih terbatasnya teknologi yang mampu mengidentifikasi berkas pajak yang
dipalsukan, sehingga diperlukan sarana prasarana yang dapat memastikan secara
akurat keaslian berkas pajak sehingga akan mempermudah pelaksanaan
penyidikan.
Saran dalam penelitian ini adalah: a) Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa
dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam penanganan tindak pidana
pajak fiktif dengan melakukan penyidikan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman
kepada pelaku tindak pidana pajak fiktif sesuai dengan hukum yang berlaku,
untuk memberikan efek jera kepada para pelaku. b) Pengawasan terhadap wajib
pajak, baik secara berkala maupun secara insidental hendaknya ditingkatkan
dalam rangka mengantisipasi dan meminimalisasi tindak pidana pajak fiktif di
masa-masa yang akan datang.LUCY MAYASARI 08420110302015-04-28T01:59:01Z2015-04-28T01:59:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8907This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89072015-04-28T01:59:01ZUPAYA PENANGGULANGAN PENGEMUDI YANG MENYALAHGUNAKAN TELEPON GENGGAM SAAT BERKENDARAAN
(Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)
Abstrak
Persoalan yang pernah menyangkut bidang lalu lintas makin bertambah seiring dengan maraknya penggunaan telepon genggam oleh pengemudi kendaraan roda dua dan roda empat di jalan-jalan. Aktifitas penggunaannya pun bermacam-macam, dari sms-an, BBM (Blackberry Messenger) hingga telepon. Terkait hal tersebut menimbulkan gangguan atau terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian bagi semua pihak. Dalam hal ini sangat diperlukan peran serta kepolisian dalam menanggulangi pengemudi yang menggunaka telepon genggam saat berkendaraan. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah bagaimanakah upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan serta apakah yang menjadi faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yang yuridis normatif dan yuridis empiris dan dengan dua jenis data yaitu data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pada sampel penelitiannya, diambil dari beberapa orang populasi secara purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini di wakili oleh 4 responden yang terdiri dari tiga orang dari Polresta Bandar Lampung dan satu orang Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Data yang diperoleh dengan cara editing, klasifikasi dan sistematisasi data.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut, yaitu dalam upaya penanggulangan hukum pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan yang dilakukan aparat penegak hukum baru dalam upaya non penal (preventif) yaitu dilakukan dengan sosialisasi kepada masyarakat dan belum ada penindakan secara penal yaitu dengan pemberian sangsi tegas berupa penilangan. Faktor penghambat dalam upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan adalah faktor sumber daya penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat, dan budaya masyarakat.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penanggulangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan masih dalam upaya preventif yaitu sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga guna mewujudkan masyarakat yang taat pada hukum, dalam pelaksanaan peraturan harus adanya peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk mengetahui dan peduli akan keselamatan diri sendiri ataupun orang lain saat berkendara. Saran yang dapat diberikan adalah untuk meminimalisir angka kecelakaan yang terjadi akibat pengemudi yang menggunakan telepon ganggam saat berkendara diharapkannya sosialisasi yang dilakukan aparat penegak hukum dapat dilakukan secara merata di seluruh lapisan masyarakat. Jika tahap sosialisasi sudah dilaksanakan secara optimal maka dapat dilakukan penindakan yang tegas apabila terdapat pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan.
Ardo Gunata 09120113002015-04-28T01:58:35Z2015-04-28T01:58:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8939This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89392015-04-28T01:58:35ZPERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Tanjung Karang)Abstrak
Sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman untuk mengantisipasi penyelesaian dan
penyaluran sengketa buruh dan tenaga kerja, maka dibuat dan diundangkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai dasar peradilan Hubungan
Industrial di samping peradilan umum. Dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di Pengadilan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
terdapat peran dari hakim Ad Hoc selain dari hakim karier. Hakim Ad Hoc
merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi
persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita
negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan
menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya tugasnya, hakim Ad Hoc belum sepenuhnya sesuai yang
diharapkan. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah kedudukan hakim Ad
Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial? b) Bagaimanakah peran hakim Ad Hoc
pada Peradilan Hubungan Industrial?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian ini terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari
hasil studi lapangan yaitu wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap
bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Peneliti melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan
untuk mengumpulkan data. Metode pengolahan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu editing, sistematisasi dan klasifikasi data. Analisis data
dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
M. Ersyad Bafadhal
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: a) Kedudukan Hakim Ad
Hoc adalah sebagai Hakim Anggota dalam suatu Majelis Hakim yang memiliki
tugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara
hubungan industrial yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh
dan organisasi pengusaha. Hakim Ad Hoc mempunyai tugas dan wewenang yang
sama dengan Anggota Majelis lainnya. Hakim Ad Hoc hanya dapat menjadi
Hakim Anggota dan tidak dapat menjadi Hakim Ketua Majelis. b) Keterlibatan
Hakim Ad Hoc dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, memegang
peranan penting mengingat Perselisihan Hubungan Industrial bukan perkara yang
bersifat umum tapi merupakan perkara yang bersifat khusus, sehingga dibutuhkan
aparat penegak hukum yang benar-benar berpengalaman di bidang hubungan
industrial. Hakim Ad Hoc untuk perkara-perkara di pengadilan dibutuhkan untuk
mendapatkan keseimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara terutama jika
ada masalah-masalah yang kompleks yang menyangkut hukum ketenagakerjaan
atau hukum perburuhan.
Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah perekrutan hakim Ad Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial sebaiknya dilakukan dengan lebih transparan dan
efisien, sehingga hakim Ad Hoc yang diterima merupakan orang yang benar-benar
ahli di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan.
Kata kunci: hakim Ad Hoc, peradilan hubungan industrial, perburuhan dan
ketenagakerjaanM. Ersyad Bafadhal 08520111512015-04-28T01:58:30Z2015-04-28T01:58:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8919This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89192015-04-28T01:58:30ZOPTIMALISASI UNIT PELAYANAN CEPAT TERHADAP
PEMBAYARAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR
DI PROVINSI LAMPUNGAbstrak
Sistem Manunggal Satu Atap (Samsat) adalah salah satu instansi pemerintah yang
berfungsi salah satunya sebagai tempat pengesahan pajak kendaraan bermotor.
Dalam rangka efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas dan pelayanan
prima kepada wajib pajak di Provinsi Lampung, berbagai langkah upaya telah
dilaksanakan Samsat di Provinsi Lampung yaitu melakukan terobosan/inovasi
salah satunya berdasarkan Nota Kesepakatan bersama antara Dinas Pendapatan
Daerah Provinsi Lampung, Direktorat Lalu Lintas Polda Lampung dan PT. Jasa
Raharja (Persero) cabang Lampung Nomor: 119/1569.A/III.15/2007 yaitu dengan
membentuk Unit Pelayanan Cepat/Samsat Drive Thru. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah dan mempersingkat waktu pembayaran pajak tahunan atau
pengesahan (STNK) mengingat jumlah kendaraan yang dari tahun ke tahun
semakin tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini diketahui sudah optimal tidaknya
Unit Pelayanan Cepat terhadap pembayaran pajak kendaraan bermotor di Provinsi
Lampung dan faktor-faktor yang menjadi penghambatnya.Untuk mencapai tujuan
penelitian tersebut, peneliti menggunakan pendekatan normatif-empiris dan
didukung dengan observasi lapangan dan wawancara responden dalam
pengumpulan data. Dari data yang didapat di lapangan diperoleh hasil bahwa
menurut beberapa responden wajib pajak belum optimalnya Unit Pelayanan Cepat
terhadap pembayaran pajak kendaraaan bermotor meskipun telah berjalan baik
belum maksimal, karena masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi lagi atau
bahkan diadakan.
Berdasarkan penelitian pengoptimalan Unit Pelayanan Cepat belum cukup
optimal, kita ketahui bahwa setiap tahun volume kendaraan bermotor semakin
bertambah seharusnya dapat diiringi dengan optimalnya pelayanan pajak
kendaraan bermotor sehingga memberikan pengaruh yang baik pula dalam
peningkatan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Lampung. Untuk mencapai hal
tersebut dibutuhkan penambahan unit dan harus diperhatian, terlebih dari pihak-
pihak terkait guna memberikan pelayanan yang prima kepada wajib paajak pada
pelayanan pajak kendaraan bermotor di Provinsi Lampung.
Kata kunci : Unit Pelayanan Cepat/Samsat Drive Thru, Pajak Kendaraan
Bermotor, Provinsi Lampung
Abstract
SAMSAT is one of government agencies that serves the approval and payment of
motor vehicle tax. In the context of efficiency, effectiveness, transparency,
accountability and good service toward the tax payer in Lampung Province,
various efforts have been undertaken by the Lampung Provincial Government in
order to do some Memorandum of Understanding of Lampung's Revenue
Department, traffic directorate of Lampung Police, an PT Jasa Raharja(Persero)
Lampung to establish Quick Service Unit /SAMSAT Drive Thru. It was intended
to simplify and minimize the time of the annual tax payment and approval of
Certificate Number of Vehicles considering the increase of the number of four
wheeled vehicles that year by year is getting higher.
The aim of this research is to investigate the optimization of Quick Service Unit
of the motor vehicle tax services in Lampung Province and also the obstacle
factors. To achieve the aim of this study,the researcher used a normative
empirical approach which was supported by field observation and respondents’
interviews in data collection. From the obtained data, it was found that according
to some respondents the optimization of Quick Service Unit of the motor vehicle
tax services in Lampung province has run well even though it's not maximum
because there were still some things which need some considerations or even to be
held again.
Based on the research, the optimization of Quick Service Unit has not quite
optimal,considering that in every year there is an increasing of the motor
vehicle's volume which should be accompanied with the optimalization of
vehicle tax services in order to provide a good effect in increasing the local
revenue of Lampung Province. To achieve this aim, it requires the consideration
to add some units, especially from the parties to provide a good service to tax
payers in vehicle tax payment in Lampung province.
Keywords: Quick Service Unit, Vehicle Tax, Lampung Province HANDRIAL TRI SAPUTRA 09120113262015-04-28T01:58:17Z2015-04-28T01:58:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8921This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89212015-04-28T01:58:17ZANALISIS PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
KOORDINASI DAN SUPERVISI TERHADAP INSTANSI YANG
BERWENANG MELAKUKAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSIAbstrak
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime)
sehingga penanganannya tidak lagi dapat menggunakan peraturan hukum yang
konvensional dengan lembaga/instansi hukum yang konvensional pula dengan
demikian dianggap sudah tidak sesuai dan butuh penanganan yang khusus dengan
lembaga/instansi hukum yang lebih spesifik dan independen, maka dibuatlah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pembentukan
lembaga yang independen dan khusus menangani tindak pidana korupsi yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal KPK menjalankan fungsi, tugas juga
kewenangannya dalam koordinasi dan supervisi, mereka memiliki
kedudukan/peranannya dalam masyarakat, di samping itu, dalam menjalankan sebuah
peranan dalam koordinasi dan supervisi di masyarakat tentu tidak semudah yang
diharapkan dan dalam pelaksanaannya terdapat hambatan-hambatan yang dapat
mengganggu pelaksanaan peranan tersebut, seperti pada kasus simulator sim yang
mengindikasikan adanya kepentingan dan kekuatan antar instansi didalamnya.
Permasalahan yang diperoleh berdasarkan latar belakang tersebut yaitu,
bagaimanakah peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi dan apakah faktor-faktor yang
menjadi penghambat peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi
yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah peranan dari
Komisi Pemberantasan Korupsi ditinjau dari Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
Muhammad Aditya Pratama Putra
yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif, guna
mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang
diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4
(empat) klasifikasi peranan KPK terkait kewenangan koordinasi dan supervisi, yaitu
peranan ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan
peranan yang sebenarnya dilakukan, namun, Peranan yang dominan dan harus
diterapkan/ditegakkan diantara keempat peranan tersebut adalah peranan yang
seharusnya, yaitu berasal dari Undang-Undang KPK yang didalamnya terdapat
pengaturan mengenai peranan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi, sehingga bila peranan yang
seharusnya ini dijalankan dengan baik dan sesuai ketentuan maka akan tercipta
harmonisasi peranan antara KPK dengan penyelenggara negara yang berwenang
memberantas korupsi maupun penyelenggara negara lainnya. Terdapat 5 (lima)
faktor penghambat peranan KPK terkait kewenangan koordinasi dan supervisi yaitu,
faktor hukumnya sendiri (undang-undang), penegak hukumnya, sarana, masyarakat
dan kebudayaan, namun faktor yang dominan dan memang nyata terjadi di
masyarakat hanyalah faktor penghambat dari hukumnya sendiri yaitu pelemahan
KPK dengan mencabut kewenangan penuntutan dan beberapa kewenangan lain
dengan merevisi Undang-Undang KPK, juga faktor penghambat dari segi fasilitas
yaitu tidak adanya perwakilan KPK di daerah yang dinilai dapat mempermudah
koordinasi dan supervisi terhadap kasus di daerah.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu menjalankan peranan yang seharusnya
(expected role) bagi KPK, yaitu peranan yang memang sudah tercantum dalam
Undang-Undang KPK dan menyertakan peranan ideal menurut undang-undang lain
juga mendengar peranan ideal menurut pihak lain adalah metode yang tepat agar
terciptanya keselarasan antara penyelenggara negara dengan KPK dalam kewenangan
koordinasi dan supervisi.MUHAMMAD ADITYA PRATAMA PUTRA 09120113372015-04-28T01:57:58Z2015-04-28T01:57:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8935This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89352015-04-28T01:57:58ZAnalisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa
Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)Abstrak
Bantuan hukum terhadap anak yang menjalani proses persidangan diatur dalam Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berisi: “Dalam
setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing
Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dan Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
berisi: “Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping,
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk
mendampingi Anak”. Penerapan dari undang-undang tersebut belum optimal, salah satu contoh
kasus anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang melakukan tindak pidana
pembunuhan biasa seperti yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Kasus ini sebelumnya telah diputus
oleh Pengadilan Negeri Gunung Sugih dengan N omor perkara 222/Pid.A/2011/PN.GS. Berdasarkan
uraian diatas maka penulis mengambil judul analisis proses peradilan perkara tindak pidana
pembunuhan oleh anak tanpa didampingi advokat. Identifikasi dan pembatasan masalah di atas,
maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah yang menjadi faktor
penyebab seorang anak tidak didampingi advokat dalam proses persidangan? Apakah yang menjadi
dampak hukum yang ditimbulkan ketika proses persidangan terhadap anak yang berperkara tidak
didampingi advokat?
Pendekatan yang digunakan oleh untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dalam
penulisan skripsi ini yaitu menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji
serta mempelajari beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum,
konsepsi dan pandangan dan doktrin hukum, peraturan hukum, dan sistem hukum yang
berkenaan dengan penulisan skripsi ini.
Marudut Tampubolon
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak tidak didampingi penasehat hukum
ketika sedang dalam proses peradilan adalah Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak
yang membentuk maupun yang menerapkan hokum belum melaksanakan undang-undang
tersebut dengan maksimal. Faktor sarana atau fasilitas Lembaga advokasi anak yang
seharusnya memberikan perlindungan hukum belum menjangkau di daerah. Berdasarkan
Pasal 55 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Dalam sidang Anak, Hakim wajib
memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak . Dalam hal orang
tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan
Berdasarkan terhadap ketentuan kata “wajib”, Pasal yang mencantumkan kata “wajib” itu,
apabila dilanggar ada sanksinya, yaitu yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pelanggaran terhadap ketentuan di atas,
berdasarkan penjelasan Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
maka putusan hakim dapat dinyatakan “batal demi hukum”.
Sistem peradilan tindak pidana anak seharusnya dapat diperbaiki sehingga dalam proses
penegakan hukumnya dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Anak No. 11 Tahun 2012, sehingga setiap perkara/tindak pidana yang dilakukan
anak dapat diselesaikan dengan optimal sesuai undang-undang yang ada. Dan diharapkan
setiap proses peradilan yang melibatkan anak berhadapan dengan hukum seharusnya anak
diberitahukan hak-haknya terutama memperoleh bantuan hukum sehingga proses
pemebrian sanksi terhadap anak tersebut sesuai dengan aturan Undang-Undang Sistem
Peradilan Anak dan juga berjalan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sehingga
tidak merugikan anak sebagai pelaku. Karena anak merupakan masa depan bangsa dan
yang menentukan nasib bangsa ini nantinya.
Kata kunci : Proses Peradilan Anak Tanpa Advokat.Marudut Tampubolon 08520111432015-04-28T01:57:28Z2015-04-28T01:57:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8928This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89282015-04-28T01:57:28ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
MEMBAWA PERGI SEORANG WANITA YANG BELUM DEWASA
DISERTAI DENGAN PENCABULAN
(Studi Putusan PN No.618/PID.SUS/2011/PN.TK.)Abstrak
Anak adalah genarasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin
kelangsungan eksistensi suatu Bangsa dan Negara itu sendiri diatur dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tindak pidana
membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa disertai dengan pencabulan
yang dilakukan oleh kekasihnya sendiri masih sering terjadi di Negara Republik
Indonesia seperti yang pernah terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dalam putusan perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 618/PID.SUS/2011/PN.TK. Terdakwa dijatuhi hukuman Pasal 332 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 81 ayat (2) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan pidana penjara 4
tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana
selama 2 bulan. Permasalahan dalam penelitihan ini adalah Bagaimana
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana membawa pergi
seorang wanita yang belum dewasa disertai dengan pencabulan (Studi Putusan PN
No.618/PID.SUS/2011/PN.TK.) dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana membawa pergi
seorang wanita yang belum dewasa disertai dengan pencabulan (Studi Putusan PN
No.618/PID.SUS/2011/PN.TK.)
Penelitihan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris sumber
data diperoleh dari lapangan dan kepustakaan dengan jenis data yaitu data primer
dan data sekunder. Populasi yang diambil penulis dari hakim di Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, serta Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Untuk
menganalisis data dengan menggunakan analisis kualitatif.
Febri Andela
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitihan dapat disimpulkan sebagai berikut
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana membawa pergi seorang wanita
yang belum dewasa disertai dengan pencabulan. Terdakwa Sarwo Edi Wibowo
Bin Sutarto terdakwa terbukti telah melanggar ketentuan dalam Pasal 332 ayat (1)
KUHP dan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Terdakwa sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan tersebut karena memenuhi unsur-unsur suatu tindak
pidana yaitu perbuatan terdakwa telah mempunyai unsur-unsur perbuatan
manusia, dilarang oleh Undang-Undang, bersifat melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu dipertanggungjawabkan. Dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam menjatuhkan putusan pidana
terhadap pelaku yaitu hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum
menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan
menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat
menyimpulkan suatu fakta hukum atas peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi.
Adapun saran yang disampaikan yaitu perlu dikaji lebih mendalam lagi terhadap
pola pemidanaan terhadap tindak pidana anak, Hakim haruslah
mempertimbangkan ketentuan Pasal 332 ayat (1) KUHP dan Pasal 81 ayat (2)
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga dalam
pemberian hukum pidana terhadap pelaku akan lebih objektif dalam
memaksimalkan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, Karena pidana ini
sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian yang sangat
fatal bagi saksi korban, karena sudah menghilangakan keperawanan serta merusak
masa depan saksi korban, dan sebaiknya para penegak hukum sebelum
menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang
terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana
membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa disertai dengan pencabulan
dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya serta memberikan rasa
keadilan dimasyarakat.
Kata kunci : PertanggungJawaban Pidana, membawa pergi seorang wanita yang
belum dewasa, Perbarengan Tindak Pidana, pencabulanFEBRI ANDELA 08120111662015-04-28T01:57:18Z2015-04-28T01:57:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8926This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89262015-04-28T01:57:18ZANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 14 TAHUN 2012
TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP UPAYA
PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN Abstrak
Secara umum,fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam
bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum
Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dari tindakan yang sewenangwenang aparat penegak hukum khususnya penyidik kepolisian setiap tindakan penyidik
tentunya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan
kepolisian berupa penyelidikan dan penyidikan terutama dalam menjalakan kewenangannya
melakukan upaya paksa diantaranya adalah penangkapan dan penahanan seringkali
menyimpang dari peraturan yang berlaku khususnya KUHAP dan Peraturan kapolri Nomor
14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana sebagai hukum acara yang
menjadi acuan kepolisian dalam melakukan penangkapan dan penahanan. berdasarkan uraian
diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah Bagaimanakah perbandingan hukum
penetapan upaya paksa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
khususnya proses penangkapan dan penahanan dan Bagaimanakah perbandingan pelaksanaan
upaya paksa dalam proses perkara pidana dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14
Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana khususnya proses penangkapan
dan penahanan
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris sumber
data Penulis berdasarkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier dan data primer yaitu data yang penulis peroleh secara
kangsung di lapangan dengan nara sumber 3 orang satu orang Penyidik Polrest Tulang
Bawang dan Dua orang akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa aturan hukum yang
mengatur upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan berdasarkan KUHAP dan
Perkap 14 Tahun 2012 bukan merupakan pertentangan karena KUHAP merupakan hukum
acara yang didalamnya mengatur tentang panangkapan dan penahanan dan Perkap 14 Tahun
2012 merupakan aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri untuk kepentingan penyidikan
yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan yang salah satu sumbernya adalah
KUHAP hasil penelitian penulis lainnya penerapan KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 oleh
Penyidik Kepolisian dalam penanganan perkara pidana khususnya penangkapan dan
penanganan tidak terjadi kendala atau pertentangan karena KUHAP mengatur penangkapan
dan penahanan secara umum dan Perkap 14 tahun 2012 adalah aturan internal yang
dikeluarkan oleh Kapolri yang lebih mengatur tentang masalah tehnis upaya paksa khususnya
penangkapan dan penahanan yang bersumber dari KUHAP.
Saran yang dapat diberikan adalah : (1) Kepolisian disarankan dalam melakukan upaya paksa
khususnya penangkapan dan penahanan harus tetap menjadikan KUHAP sebagai acuan
utama dalam beracara setelah itu baru menjadikan Perkap 14 Tahun 2012 tentang manajemen
penyidikan tindak pidana sebagai acuan tetapi apabila di dalam KUHAP tidak diatur
sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur maka kepolisian dapat menggunakan
Perkap sebagai Payung hukum dalam menjalankan upaya paksa khususnya penangkapan dan
penahanan. (2) Perlunya menambah wawasan pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum
khususnya kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dan menyadari bahwa penegakan hukum
pada tingkat kepolisian merupakan pintu gerbang dalam penegakan hukum sehingga tugas
kepolisian dapat terwujud sehingga kepolisian dapat meminimalisir permasalahan dalam
penerapan hukum.IVIN AIDYAN F 07120112292015-04-28T01:57:13Z2015-09-11T07:37:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8925This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89252015-04-28T01:57:13ZUpaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik
Antar Kampung Oleh Kepolisian
(Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Lampung)Abstrak
Konflik yang sudah kerap terjadi di Lampung Selatan merupakan konflik yang
bersifat anarkis yang timbul akibat dari adanya pertikaian dan selanjutnya meluas
menjadi perpecahan antar kelompok masyarakat tertentu yang secara kebetulan
memiliki perbedaan suku dan keyakinan sehingga Kepolisian beserta jajaran
dengan tugas dan wewenangnya diharuskan melakukan langkah-langkah agar
situasi dan kondisi dapat kondusif. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik
antar kampung oleh kepolisian, Apakah faktor-faktor penghambat upaya
penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh
kepolisian.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi
kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses
editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan
adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis terhadap upaya
penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh
kepolisian maka dapat ditarik kesimpulan, (1) Upaya penanggulangan terhadap
tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian dengan langkah
preventif dan represif secara bersamaan serta bersinergis, langkah preventif yang
dilakukan dalam penanggulangan dan pencegahan terhadap tindakan anarkis
dalam konflik antar kampung sebelum dan sesudah terjadinya pertikaian.
Sedangkan yang masuk dalam langkah represif yang diambil oleh kepolisian
adalah dengan diterjunkannya pasukan Dalmas dan PHH Brimob untuk
mengamankan situasi agar tidak meluasnya bentrok (2) Faktor-faktor penghambat
upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung
oleh kepolisian faktor penghambat dalam menanggulangi masalah terhadap
tindakan anarkis dalam konflik antar kampung yaitu faktor hukum, faktor penegak
Muhammad Yusuf
hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat dan SDM. Faktor-faktor
tersebut kaitannya dengan sarana pendukung seperti perlengakapan anti huru hara
yang terbatas jumlahnya, minimnya jumlah personil yang diterjunkan serta
luasnya cakupan wilayah konflik sehingga tidak semua wilayah dapat diamankan
oleh kepolisian.
Saran dalam penelitian ini setelah melakukan pembahasan dan memperoleh
kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah (1)
Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung
oleh Kepolisian sudah cukup tepat meskipun dalam hal ini kepolisian dinilai gagal
karena konflik yang terjadi di Lampung Selatan sudah memakan korban harta dan
jiwa yang tidak sedikit dan terus bertambah sehingga perlu ditingkatkan lagi
dalam hal koordinasi secara cepat dan tanggap agar kerusuhan serupa tidak
semakin meluas dan berkepanjangan. (2) Faktor penghambat dalam hal ini yang
paling utama adalah faktor hukum,faktor sarana,faktor penegak hukum, faktor
masyarakat itu sendiri sehingga solusinya adalah dengan fungsi dari Binmas dan
intelkam juga perlu ditingkatkan lagi agar pemahaman masyarakat akan hukum
lebih dimengerti serta segala informasi mengenai adanya indikasi-indikasi yang
sifatnya akan menimbulkan perpecahan dan konflik secara responsif dapat
diketaui oleh Kepolisian yang selanjutnya dapat diambil langkah-langkah guna
mencegah terjadinya konflik antar kampung yang bersifat anarkis.
Kata Kunci: Kepolisian, Upaya Penanggulangan, Konflik Antar Kampung Muhammad Yusuf 05420113672015-04-28T01:57:08Z2015-04-28T01:57:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8924This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89242015-04-28T01:57:08ZANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG (TRAFFICKING IN PERSON)
(Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan
Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )Abstrak
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di
dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang
tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang
sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.
Tindak pidana perdagangan orang atau Trafficking in Persons di Indonesia
semakin meningkat di zaman sekarang ini, Tindak pidana perdagangan orang
pastilah mengakibatkan trauma terhadap korban yang bersangkutan. Untuk itu,
diperlukan proses pidana dalam rangka pemberian sanksi terhadap pelaku tindak
pidana dengan tujuan memberikan efek jera pada pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Adapun yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini
adalah Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhan putusan
terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) ? dan
Apakah hal yang melatarbelakangi disparitas pidana pada putusan pengadilan
terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person)?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang
menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi
lapangan dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka.Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan, maka dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
orang pada Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor
384/Pid/B/2012/PNTK dapat dilihat dari hal-hal yang bersifat yuridis yaitu:
dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang bukti yang
ada di persidangan, dan pasal yang terdapat di dalam hukum pidana, hal-hal yang
bersifat non yuridis yaitu: latar belakang dan akibat perbuatan terdakwa, kondisi
diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi terdakwa, dan faktor agama dari terdakwa.
Rio Fabry
Hal yang melatarbelakangi disparitas pidana pada kedua putusan pengadilan
adalah Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut mendasarkan pada
terpenuhinya atau tidak terpenuhinya seluruh unsur pasal yang didakwakan oleh
jaksa penuntut umum, pada kasus 1 terdakwa dijerat pasal 2 ayat (1) Jo pasal 11
Jo Pasal 48 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, sedangkan pada kasus 2 hanya dikenakan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Karena pada kasus pertama penulis menganalisis telah terjadinya unsur
pemufakatan jahat dan unsur penipuan yaitu dengan cara Mai Diana alias Dewi
Wulandari (korban) yang mengaku dijanjikan oleh Fitriyani pekerjaan. Akan
tetapi, kenyataannya korban malah dipaksa melayani tamu sampai beberapa kali
di sebuah kafe milik Fitriyani di daerah Panjang yang diberi nama Kafe dan
Wisma Selayang Pandang, sedangkan pada kasus 2 terdakwa Asmaniar hanya
memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan cara Anna
Nurhidayah (korban) yang mengaku dijual oleh Asmaniar kepada laki-laki hidung
belang, Hakim bebas untuk memilih beratnya pidana (starmaat) yang akan
dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan
minimumnya saja. Untuk itu diperlukan kecermatan hakim dalam membuat
keputusan dan belum adanya pedoman pemidanaan dalam hukum pidana.
Berdasarkan kesimpulan maka Penulis menyarankan agar aparat penegak hukum
terutama hakim agar dalam menjatuhkan putusan hakim harus dapat
mempertanggungjawabkan putusan yang dihasilkannya dengan memberikan
alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya agar disparitas
pidana akan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan
masyarakat terhadap putusan hakim.
Kata kunci : Disparitas Pidana Pada Tindak Pidana Perdagangan
Orang(Trafficking in Person)RIO FABRY 09120113692015-04-28T01:57:02Z2015-04-28T01:57:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8923This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89232015-04-28T01:57:02ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI
PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK)Abstrak
Setiap jaksa dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan
penyalahgunaan narkotika, tetapi pada kenyataannya terdapat oknum jaksa yang
terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya adalah sebagaimana tertuang
dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK.
Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra, SH., MKn Bin
Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Jaksa
yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai
pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika
dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif
untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana
terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK, dilaksanakan dengan
pemidanaan terhadap Terdakwa Tesar Esandra yang telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri
sendiri. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana selama satu tahun
dan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis.
Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
Rifki Apriansyah
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Dasar yuridis pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam
hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP
menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b)
Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang
secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non
yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu
perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus sebagai
aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan
menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum
pernah dihukum.
Berdasarkan penelitian maka saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pada masa
mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu
menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak
akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan
tindak pidana. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar)
hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut
setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat
secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Jaksa, NarkotikaRIFKI APRIANSYAH 09120113682015-04-28T01:56:57Z2015-04-28T01:56:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8922This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89222015-04-28T01:56:57ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)Abstrak
Setiap anak seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dalam memasuki masa remaja dan masa
dewasanya, tetapi pada kenyataannya terdapat anak yang justru melakukan tindak pidana pembunuhan. Terkait
dengan hal tersebut maka anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Permasalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan
hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK? (2) Apakah
faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor
791/PID.A/2012/PN.TK?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Responden penelitian terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
dilakukan secara kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui penegakan hukum
terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK (2) Untuk
mengetahui faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor
791/PID.A/2012/PN.TK
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Penegakan penegakan hukum terhadap anak yang melakukan
pembunuhan dilaksanakan melalui pemidanaan. Hukuman yang jatuhkan kepada terdakwa anak harus sesuai dengan
perbuatan dan hasil dari tindak pidana pembunuhan yang dilakukan anak. Disparitas pidana yang dijatuhkan kepada
anak didasarkan pada pertimbangan hakim peradilan anak dalam menjatuhkan sanksi pidana yang bertujuan untuk
memberikan pembinaan kepada anak agar yang bersangkutan dapat memperbaiki dirinya dan tidak mengulangi
kesalahannya di masa-masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memberikan
perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak anak. Selain itu hakim tidak menggunakan sanksi pidana secara
sembarangan, menyamaratakan dan digunakan secara paksa kepada anak yang
Raditya Satwika Arjan
melakukan tindak pidana pembunuhan. Maknanya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah
memenuhi keadilan substantif ditinjau dari tujuan pemidanaan terhadap anak. (2) Faktor-faktor yang menghambat
penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan adalah: (a)Faktor perundang-undangan (substansi
hukum), yaitu ketentuan yaitu Pasal 183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang -kurangnya dua alat bukti yang sah,
sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar -benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. (b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya profesionalisme petugas penyidik dan petugas
penyidikan dalam melaksanakan penyidikan khusus kepada anak yang melakukan tindak pidana. (c) Faktor sarana
dan fasilitas, yaitu kurangnya ketersediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyidikan
tindak pidana yang dilakukan anak, sehingga memungkinkan penyidikan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
(d) Faktor Masyarakat, yaitu minimnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum dengan tidak bersedia
untuk menjadi pelapor atau saksi dalam tindak pidana pembunuhan. (e) Faktor Kebudayaan, yaitu pergeseren nilainilai dan norma budaya yang diakui secara umum oleh masyarakat di Indonesia, yang seharusnya memahami bahwa
pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap norma dan nilai-nilai kebudayaan di Indonesia.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada pemerintah untuk memulai membuat program-program
yang bersifat edukatif sebagai ganti dari penjatuhan sanksi pidana penjara dengan dibangun lebih banyak tempattempat pendidikan bagi anak yang bermasalah dengan hukum, seperti sekolah, pesantren atau tempat keagamaan
yang sejenisnya, balai latihan kerja dan memberikan pengetahuan serta keterampilan khusus dalam menangani anak
kepada para aparat penegak hukum. (2) Pemerintah disarankan untuk menyiapkan aparat penegak hukum yang
benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan
adanya pembedaan perlakuan dalam hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku
tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. (2) Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para
aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar -benar
khusus dibentuk untuk menangani kasus anak yang bermasalah dengan hukum.RADITYA SATWIKA ARJAN 09120113602015-04-28T01:56:52Z2015-04-28T01:56:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8917This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89172015-04-28T01:56:52ZANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA
TERHADAP PELAKU KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Perkara Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK di Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjung Karang)Abstrak
Pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seharusnya
mendapatkan hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi
pada kenyataannya pelaku hanya dihukum ringan sehingga terjadi kesenjangan antara
aturan hukum dengan pelaksnaannya di lapangan. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan dalam rumah
tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor
383/Pid.B/2012 PN.TK (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor
383/Pid.B/2012 PN.TK sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap pelaku
KDRT.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Responden penelitian adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan
Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK
diwujudkan dengan pemidanaan, yaitu pelaku tindak pidana KDRT yaitu Aries
Kurniawan Bin Abdul Djalil terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44
Ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga,
terhadap istrinya yaitu Agus Laila Yusmanita. Terdakwa dihukum selama tiga bulan
lima belas hari sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini belum sesuai
dengan ketentuan pidana pada Pasal 44 Ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dasar Pertimbangan
Fery Wirawansyah
Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung
Karang Nomor 383/Pid.B/2012 PN.TK mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya sebagaimana diatur. Pasal 183 KUHAP menyebutkan alat bukti sah
yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu
dibuktikan. Selain itu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana selama
tiga bulan lima belas hari adalah: (a) Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan
Terdakwa telah mengakibatkan istrinya menderita sakit dan trauma, sebagai aparat
hukum terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada isti dan keluarganya,
saksi Agus Laila Yusmanita tidak memaafkan terdakwa, terdakwa tidak mengakui
perbuatannya di persidangan dan terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali
perbuatannya (b) Hal-hal yang memberatkan meringankan terdakwa adalah bersikap
sopan di persidangan dan belum pernah dihukum karena melakukan suatu tindak
pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum hendaknya terus
meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya upaya perlindungan hukum dan penghapusan KDRT untuk pencegahan
terjadi KDRT pada masyarakat. (2) Masyarakat hendaknya menyadari dan mengubah
pandangan bahwa KDRT adalah masalah intern keluarga, sehingga tidak diupayakan
adanya penyelesaian melalui jalur hukum. Apabila hal tersebut tetap diyakini dan
dianut maka kejahatan KDRT akan sulit untuk dihapuskan.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Kekerasan dalam Rumah Tangga.FERY WIRAWANSYAH 09120113242015-04-28T01:56:46Z2015-04-28T01:56:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8916This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89162015-04-28T01:56:46ZPELAKSANAAN PROGRAM PEMBERIAN BANTUAN SISWA MISKIN
DI KOTA BANDAR LAMPUNG Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Program
Bantuan Siswa Miskin (BSM) tingkat SMP hingga tahun 2012 di Kota Bandar
Lampung dan apakah faktor penghambatnya. Pendekatan masalah dalam
penelitian ini adalah pendekatan secara Normatif-Empiris. Sumber data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dengan studi
pustaka dan studi lapangan.
Pada tahun 2012, pelaksanaan pemberian BSM tingkat SMP di Kota Bandar
Lampung belum berjalan baik, lancar, dan mampu membiayai siswa miskin
tingkat SMP secara keseluruhan yang dibuktikan dengan hanya ada 2.750 siswa
penerima BSM tingkat SMP dari 2.932 pendaftar. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya faktor penghambat, seperti dalam pendataan calon siswa penerima
BSM, seringkali siswa enggan memberikan surat keterangan tidak mampu karena
malas mengurusnya ke Rukun Tetangga atau Kantor Kelurahan tempat ia tinggal,
guru atau wali kelasnya tidak mendapatkan informasi mengenai siswa yang
bersangkutan miskin atau tidak, dan banyaknya siswa yang mengaku-ngaku
miskin padahal mereka tergolong mampu; adanya ketidaktepatan sasaran dalam
pelaksanaan program; terbatasnya anggaran dana BSM yang diberikan pemerintah
pusat; dan penyaluran dana sering tidak tepat waktu.
Saran yang dapat peneliti berikan, yaitu seharusnya pemerintah pusat lebih
meningkatkan besarnya anggaran dana BSM dan menyalurkannya secara tepat
waktu, pemerintah daerah selalu melaksanakan dan menjaga hubungan koordinasi
dengan pemerintah pusat secara baik, setiap sekolah selalu mengadakan pendataan
seluruh siswa miskin dengan baik dan intensif untuk memperoleh data yang tepat
dan akurat, dan pihak-pihak di luar program, seperti BPKP ikut terlibat dalam
monitoring, evaluasi, dan pelaporan program agar program BSM ini dapat
terselenggara dengan baik dan lancar.
Kata Kunci : Pendidikan, Program Bantuan Siswa Miskin, Keluarga Tidak
Mampu, Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung
Abstract
This study aims to determine how the implementation of the Poor Students
Assistance Program (BSM) to junior level in 2012 in the city of Bandar Lampung
and whether inhibiting factor. Approach the problem in this research is the
normative-empirical approach. Source of data used are primary data and
secondary data collected with library research and field study.
In 2012, the implementation of the provision of BSM junior level in the city of
Bandar Lampung has not gone well, smoothly, and able to finance poor students
overall junior high level as evidenced by only 2,750 recipients BSM junior high
students from 2,932 applicants. That is because many inhibiting factors, such as
the prospective student recipients BSM data collection, students are often
reluctant to provide a written statement could not because I was lazy to take care
of the Neighborhood or Village Office where he lived, his homeroom teacher or
no information about the student's poor or not , and the number of students who
claim they are poor but among the better; any inaccuracy in the implementation of
program objectives; BSM’s limited budget funds by the central government, and
the distribution of funds is often not timely.
Suggestions given, which should further increase the size of the central
government budget BSM and distribute funds in a timely manner, local
governments always implement and maintain coordination with the central
government as well, every school has always held the entire collection with good
and poor students to gain intensive precise and accurate data, and those outside
the program, such as the BPK involved in monitoring, evaluation, and reporting of
BSM program so it can be held properly and smoothly.
Keywords : Education, Student Assistance Program Poor, Needy Families, The
Department of Education in Bandar LampungFERLYANI GUSTIA S. 09120113232015-04-28T01:56:36Z2015-04-28T01:56:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8913This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89132015-04-28T01:56:36ZANALISIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DAN KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNGAbstrak
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) menjadi problematika
masyarakat karena penegak hukum dinilai kurang serius dalam menyelesaikan
berbagai kasus tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dari data kasus korupsi lima
tahun terakhir (2008-2012) tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang
dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi
di daerah. Kewenangan kejaksaan dalam hal SP3 berbeda dengan lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan berpedoman pada Pasal 109 Ayat (2)
KUHAP yang memberikan wewenang bagi penyidik dapat menghentikan proses
penyidikan, sedangkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah apakah syarat-syarat suatu perkara tindak pidana
korupsi dihentikan penyidikannya dan mengapa penyidik Kejaksaan berwenang
mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi sedangkan Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Staf Ahli
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa dan Dosen bagian pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.
Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara kualitatif
guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
syarat-syarat suatu perkara tindak pidana korupsi dihentikan penyidikannya antara
lain: karena tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana dan alasan demi
hukum yang pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut
dan hilangnya hak menjalankan pidana seperti nebis in idem, tersangka meninggal
dunia, daluarsa, tersangka menderita sakit jiwa, dan adanya pencabutan
pengaduan, dalam hal tindak pidana yang disidik itu adalah tindak pidana aduan.
Alasan bahwa penyidik Kejaksaan berwenang mengeluarkan SP3 pada perkara
tindak pidana korupsi sedangkan KPK tidak memiliki kewenangan mengeluarkan
SP3 hal ini karena penyidik Kejaksaan untuk menghentikan penyidikan yang
sedang berjalan kejaksaan memiliki beberapa rasio sebagai alasan dalam
penghentian penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi yakni penyidik
Kejaksaan menghentikan penyidikan yang sedang berjalan pada hakikatnya untuk
menegakkan prinsip peradilan yang yang cepat, tepat dan biaya ringan dan
sekaligus untuk tegaknya hukum. Penyidik kejaksaan menghentikan penyidikan
yang sedang berjalan supaya penyidikan terhindar dari tuntut kemungkinan ganti
kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau
alasan untuk menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberikan hak
kepada tersangka untuk menuntut ganti kerugian. Komisi Pemberantasan Korupsi
tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 karena dalam kerangka menjamin
kepastian hukum di masyarakat dan agar tidak terjadi praktik mafia peradilan
ataupun rekayasa perkara, hal ini yang menjadi alasan utama bahwa KPK tidak
dapat mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi, ketegasan hukum
akan pemberantasan korupsi di masyarakat merupakan tujuan utama dibentuknya
lembaga KPK, sehingga dalam proses pemeriksaan suatu perkara tindak pidana
korupsi berlandaskan pada asas kehati-hatian dan menjunjung tinggi kepastian
hukum agar tidak terjadi praktik mafia peradilan pada proses penyidikan.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu dalam melakukan proses penyelidikan
dan penyidikan baik KPK maupun Kejaksaan yang melakukan pemeriksaan
tersebut diharapkan dapat bekerja secara professional, efisien dan efektif serta
harus diperhatikan benar syarat-syarat dan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum
terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi dilakukan penyidikan demi
menjunjung tinggi kepastian hukum dan agar tidak terjadi praktik mafia peradilan
dengan penerbitan SP3 sehingga tercipta sinergis dan kepastian hukum di
masyarakat.
Kata Kunci: Penerbitan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), KorupsiDinny Dwi Astari 09120113172015-04-28T01:56:16Z2015-04-28T01:56:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8909This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/89092015-04-28T01:56:16ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN
YANG DILAKUKAN OLEH KELOMPOK PREMAN
(Studi Kasus di Polda Lampung)Abstrak
Premanisme telah menyebar di Indonesia, mulai dari kota besar hingga ke desadesa telah begitu rata dikuasai oleh preman yang tidak lain adalah geng yang
rawan melakukan tindak kejahatan. Jajaran Polda Lampung telah menggelar
operasi Sikat Krakatau yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 2012. Operasi
Sikat Krakatau 2012 memfokuskan permasalahan premanisme yang sangat
meresahkan masyarkat. Operasi tersebut dititikberatkan pada aksi premanisme di
antaranya, penodongan, pemerasan dan penganiayaan. Operasi itu dilakukan di
terminal, pasar, pelabuhan dengan sasaran kelompok pengangguran yang kerap
kali meresahkan masyrakat. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu
bagaimanakah upaya Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan yang dilakukan
oleh kelompok preman di Lampung dan faktor-faktor apakah yang menjadi
penghambat dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok
preman di Lampung.
Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris, sedangkan sumber data dan jenis data diambil dari data primer,
data sekunder dan juga dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier, adapun yang dijadikan populasi disini adalah anggota
Kepolisian daerah Lampung dan dosen fakultas hukum Unila. Pengumpulan data
berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengelolaan data
dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, klasifikasi dan tabulasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa upaya Kepolisian dalam
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh kelompok preman di Lampung,
antara lain dengan upaya non-penal dan upaya penal. Upaya non-penal yaitu
upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat akan pencegahan untuk terjadinya
kejahatan diluar pengadilan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktorfaktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Upaya non-penal yang dapat
dilakukan yaitu penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene); kegiatan
Karang Taruna dan kegiatan Pramuka; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat
Bambang Sepriyanto
dengan pendidikan agama; pemanfaatan media pers/media massa, pemanfaatan
kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi efek preventif dari aparat penegak
hukum; kegiatan patroli dari Polisi yang dilakukan secara kontinyu serta kegiatan
yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif-edukatif
dengan masyarakat. Sedangkan, upaya penal lebih menitikberatkan pada sifat
represif sesudah kejahatan terjadi, antara lain mencakup tindakan menyelidiki,
menyidiki, menuntut serta memeriksa dan mengadili. Faktor-faktor yang menjadi
penghambat dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok
preman di Lampung, antara lain aparat penegak hukum yang tidak bertindak tegas
dalam menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh kelompok preman, sarana
atau fasilitas yang tidak mendukung, masyarakat yang bersikap apatis, dan budaya
yang cenderung membiarkan munculnya kelompok preman yang tentu saja diikuti
dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh kelompok preman tersebut.
Agar membantu proses penanggulangan preman pelaku kejahatan hendaknya
aparat Kepolisian dapat memperbaiki kualitas dengan cara lebih cepat dalam
menanggapi laporan masyarakat, kegiatan patroli yang dilakukan secara kontinyu,
dan menambah jumlah personil terutama saat melaksanakan razia, selain itu aparat
Kepolisian juga harus dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang mendukung,
dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya kejahatan oleh kelompok
preman, serta menumbuhkan budaya percaya kepada pihak keamanan yang resmi
Abstract
Gangsterism has spreaded in Indonesia, it begins from big city until village is
dominated by crime gang. Lampung police has operated “Sikat Krakatau” which is
held in the middle of 2012. “Sikat Krakatau Operation 2012” focused on the
gangsterism problems. This operation focused on hold up, extortion, persecution.
This operation is done by terminal, market, harbor with target the unemployed are
disturbing residents. The problem of the research is how the police efforts overcome
crimes committed by gang in Lampung and what the factors become obstacle in
prevention crimes which is done by gang in Lampung.
The method of this research used normative juridical and empric juridical approach,
while the data source and Type of data is taken from the primary data, secondary data
and from primary matter of law, secondary matter of Law, and tertiary matter of Law,
this population is Lampung police and Lecture of Law Faculty Lampung University.
The collecting the data consists of document and field study, while the data used
editing method, systematization, classification and tabulation.
Based on the result of research and discussion states that the efforts police in prevent
crimes which is done gang in Lampung, non-penal efforts and penal efforts. Nonpenal efforts are the efforts preventing crimes outside the court, so the main target is
to prevent the cause conducive factors crimes. Non-penal efforts which can be done
are social hygiene; scout activity; social hygiene with religion education; use of mass
media, use of technology modern and use of preventive potency from Police; activity
police which is done continually and activity oriented public service or
communicative-educative activity with community. While, the efforts penal efforts
focused on repressive after crimes, for example investigation acts, investigating,
prosecute and judge checking. The factors which can be obstacle in preventing crimes
which is done by gang in Lampung, there is no role which manage crimes which is
Bambang Sepriyanto
done by gang applicable both nationally and local regulations, law personnel who do
not act decisively in preventing crimes which is done by gang, facilities do not
support apathetic community, and culture which provokes gang to crimes act
continuously.
To help preventing process of gang, police should improve professional and human
resources., besides that community should be pro-active in joining police in
preventing and eradicating a gang in LampungBAMBANG SEPRIYANTO 09120113042015-04-21T07:57:23Z2015-04-21T07:57:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/8642This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/86422015-04-21T07:57:23ZTANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATASAbstrak
Direksi merupakan organ yang memegang peranan penting dalam menentukan
maju atau mundurnya perseroan. Direksi menjalankan pengurusan perseroan
untuk kepentingan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Direksi
berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang
tepat menurut undang-undang atau anggaran dasar perseroan tersebut. Perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah tanggung jawab direksi
dalam pengurusan perseroan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseoran Terbatas?” Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah
kewajiban dan tanggung jawab direksi dalam pengurusan perseroan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh diskripsi lengkap, rinci, dan sistematis
tentang kewajiban dan tanggungjawab direksi dalam pengurusan perseroan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseoran Terbatas
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, dengan tipe penelitian deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan. Data selanjutnya dianalisis dengan analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Kewajiban direksi dalam pengurusan
perseroan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah: a) Membuat
daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan risalah rapat direksi
(Pasal 100 huruf (a) UUPT b) Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan
(Pasal 100 huruf (b) UUPT c) Memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen
keuangan perseroan (Pasal 100 huruf (c) UUPT) d) Melaporkan kepada perseroan
mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi (Pasal 101 ayat (1) UUPT) e)
Meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan (Pasal 102
ayat (1) UUPT) (2) Tanggungjawab Direksi dalam Pengurusan Perseroan menurut
Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah: (a) Bertanggungjawab secara pribadi
atas kerugian Perseroan yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Direksi
dalam Pengurusan Perseroan (Pasal 97 Ayat (2) UUPT) dan bertanggungjawab
secara tanggung renteng setiap anggota Direksi dalam dalam hal Direksi terdiri
atas dua anggota Direksi atau lebih. (Pasal 97 Ayat (3) UUPT) (b)
Bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan yang disebabkan oleh kesalahan dan
kelalaian Direksi (Pasal 104 Ayat (2) UUPT.
Kata Kunci: Tanggungjawab, Pengurusan PerseroanANING PUJIWATI 06420110652014-11-07T07:48:14Z2015-03-18T04:35:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5215This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/52152014-11-07T07:48:14ZPELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH OLEH KOMISI B KOTA BANDAR LAMPUNG
PERIODE 2009-2014abstrak indonesia
Tujuan Penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD oleh Komisi B di Kota Bandar Lampung Periode 2009-2014 dan hambatan-hambatan serta upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD oleh Komisi B di Kota Bandar Lampung Periode 2009-2014. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif empiris yaitu dengan melakukan penelitian lapangan dan wawancara untuk memperoleh data langsung dari sumber pertama yaitu dari DPRD Kota Bandar Lampung dan penelitian kepustakaan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD oleh Komisi B di Kota Bandar Lampung Periode 2009-2014 belum dilaksanakan secara optimal karena masih dilaksanakanya pengawasan terhadap bidang-bidang tertentu bukan terhadap keseluruhan bidang tugas Komisi B DPRD Kota Bandar Lampung dan masih tersumbatnya partisipasi masyarakat serta lemahnya tindaklanjut hasil pengawasan. Kemudian hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD oleh Komisi B di Kota Bandar Lampung Periode 2009-2014 meliputi faktor DPRD Kota Bandar Lampung, partisipasi masyarakat dan media massa serta pemerintah daerah. Sedangkan upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap anggota DPRD Kota Bandar Lampung, komunikasi (lobi) antar fraksi, mengadakan pendekatan personal kepada pemerintah daerah, menggali Informasi terkait masalah yang ada dalam masyarakat dan pengoptimalan tenaga ahli.
Kata kunci : Pelaksanaan, fungsi Pengawasan, Komisi B DPRD
abstrak inggris
The purpose of this thesis is Writing to know about implementation by the Commission of legislative oversight function B in the city of Bandar Lampung period 2009-2014 and barriers as well as the efforts to overcome the obstacles in the implementation of legislative oversight function by the Commission B in the city of Bandar Lampung period 2009-2014. The research method used was the normative empirical, by doing field research and interviews to obtain data directly from the source of the first of the DPRD city of bandar lampung and research librarianship. Based on the research has been carried out, this research result indicates that the implementation of supervision by the commission in the city Bandar Lampung has not been conducted a period of 2009-2014 optimally because it still implementation supervision on certain subjects not against a whole fields duty Commission B city of Bandar Lampung and still pluge the participation of the people and the lack of a follow-up from the oversight. Then constraints in the implementation of supervision by the commission in the city of Bandar Lampung covering the period 2009-2014 factor DPRD city of Bandar Lampung, public participation and mass media and the local government. While effort to overcome constraints in the implementation of supervision is by holding trainings against member city of Bandar Lampung, communication (lobby) between fractions, hold approach personal to the regional governments burrow down related to the existing in society and optimalization expert.
Keywords: Implementation, Monitoring functions, the Commission B DPRD0812011324 AGUS TOMI2014-11-07T07:47:52Z2014-11-07T07:47:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5184This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51842014-11-07T07:47:52ZDESKRIPSI KEDUDUKAN DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGANabstrak
OJK merupakan lembaga yang terpisah dari bank sentral dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi keuangan di dunia bank ataupun non bank. Penelitian ini akan mengkaji kedudukan dan wewenang OJK berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dengan pokok bahasan latar belakang dialihkannya kegiatan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia kepada OJK, tugas dan wewenang OJK dalam mengawasi perbankan di Indonesia, dan struktur kelembagaan OJK.
Jenis penelitian yang digunakan penelitian normatif. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan editing, kalsifikasi data, dan sistematisasi data yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil pembahasan dan penelitian menunjukkan bahwa latar belakang peralihan kegiatan pengawasan perbankan oleh BI kepada OJK yaitu kelemahan-kelemahan BI dalam segi teknis pengawasan perbankan. Berdasarkan Undang-Undang No.21 Tahun 2011 OJK mempunyai tugas mengatur dan mengawasi dalam sektor perbankan selain itu OJK juga mempunyai wewenang untuk melindungi nasabah serta pembelaan hukum dan dapat melakukan hubungan internasional, serta kewenangan dalam hal penyidikan. Berdasarkan Undang-Undang No.21 Tahun 2011, struktur kelembagaan OJK terdiri dari Dewan Komisioner yang beranggotakan 9 orang yang ditetapkan oleh Keputusan Presiden.
Kata Kunci: Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Perbankan0912011045 M FARIZ BANUWA2014-11-07T07:42:18Z2014-11-07T07:42:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5206This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/52062014-11-07T07:42:18ZKONSTRUKSI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEHabstrak indonesia
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan statue approach, conceptual approach, hystorical approach. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Data diolah secara sistematis. Setelah itu dianalisis secara diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan terjadinya kesepakatan damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang melahirkan nota kesepahaman yakni MoU Helsinki menimbulkan konsekuensi berupa diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 Tentng otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh, Aceh memiliki kewenangan yang istimewa, yaitu otonomi khusus yang luas, sehingga memiliki konstruksi hubungan dengan pemerintah pusat seperti pengaturan bagi hasil sumber daya alam dengan pemerintah pusat yang relatif besar, dana perimbangan dan dana tambahan otonomi khusus bagi Aceh. Penyelenggaraan lembaga peradilan di Aceh, serta turut campur pemerintahan Aceh dalam urusan pertahanan dan keamanan yang pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh berimplikasi akan terjadi kecemburuan daerah lain dalam NKRI ingin melakukan tuntutan serupa bahkan menuntut merdeka.
abstrak inggris
Research is aimed to know the construction of the relationship between the central government and regions in the regulation 11 / 2006 about reign of Aceh in the unitary state of the Republic of Indonesia. Research using statue approach, conceptual approach, hystorical approach. The data used is data secondary acquired through study of pustaka. data processed in systematic. After that analyzed in descriptive qualitative. Result showed that of the agrement between the government and gerakan aceh merdeka organitations made agreement MoU Helsinki impack consequences implementation regulation number 18 / 2011 about aceh special autonomy as a province Nanggroe Aceh Darussalam replace with regulation number 11 / 2006 about government of Aceh. aceh has special authority, that is a broad special autonomy, it has relationship construction with the Central Government As regulation for the natural resources with the central government relatively large, Balancing fund and additional funds special autonomy for aceh, Organization of the judiciary in aceh, government of Aceh also participated in defense and security affairs Supposed to of the central government. The implementation of the regulation number 11 / 2006 about government of Aceh impact will be inequality in the regions of the Indonesian unitary State even want to prosecute independent0912011053 MUHAMAD YUDHO SYAFEI2014-11-07T07:42:00Z2015-03-25T03:53:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5203This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/52032014-11-07T07:42:00ZKEDUDUKAN HUKUM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG - UNDANGANabstrak indonesia
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan pencantuman kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu sumber hukum dalam tata uturan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta mengetahui alasan Kedudukan Ketetapan MPR ditempatkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang di bawah UUD Tahun 1945 dan di atas undang-undang. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan normatif analitis substansi hukum (approach of legal content analysis). Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, Pertama alasan pencantuman kembali Ketetapan MPR sebagai sumber hukum dalam tata uturan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011: a) Jaminan kepastian hukum terhadap Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002; b) Sebagai konsekuensi hukum yang jelas terhadap 8 (delapan) Ketetapan MPRS/MPR yang hingga saat ini masih berlaku. Kedua Kedudukan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan diposisikan berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, karena masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku dan harus dijadikan sebagai salah satu sumber hukum materiil bagi peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR itu sendiri, hal ini terkait dengan penggolongan ketetapan MPRS/MPR pada Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dimana dalam pasal ini ketetapan-ketetapan MPRS/MPR dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya sebuah undang-undang sebagai pengganti ketetapan-ketetapan MPRS/MPR tersebut. Dengan ini jelas bahwa posisi Ketetapan MPR berada di bawah UUD Tahun 1945 dan di atas undang-undang
0812011130 BERRY PRATAMA .S2014-11-07T07:41:49Z2015-03-16T03:56:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5200This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/52002014-11-07T07:41:49ZKEDUDUKAN PARTAI POLITIK DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIAabstrak indonesia
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan partai politik dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kedudukan partai politik sangatlah bergantung kepada konfigurasi politik yang sedang diterapkan. Konfigurasi politik yang berwatak demokratis, dengan bercirikan adanya pencalonan dan pemilihan anggota lembaga-lembaga perwakilan politik secara adil, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lembaga tersebut untuk mendiskusikan persoalan-persoalan, melakukan kritik, dan mengkristalisasikan pendapat umum, serta pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan sebagai sebuah kenyataan memberikan ruang yang besar bagi partai politik untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Sebaliknya, konfigurasi politik yang berwatak otoriter, yaitu memaksakan persatuan, dan ingin menghapuskan perbedaan melalui masyarakat yang homogen dan seragam, maka akan menghambat ruang gerak partai politik sehingga kedudukan partai politik menjadi lemah. Penulisan ini menggunakan asumsi dasar bahwa konfigurasi politik adalah sebagai variabel berpengaruh (independent variable) dan partai politik sebagai variabel terpengaruh (dependent variable).
Kata Kunci: Perkembangan, Partai Politik, dan Demokrasi
abstrak inggris
This thesis research aims to determine how the position of political parties in the dynamics of democracy in Indonesia. This type of research is to use a normative approach to law ( statute approach), and historical approaches (historical approach). The data was collected by way of literary study. The results showed that the position of political parties is very dependent on the political configuration that is being applied. Configuration of the character of democratic politics, with characterized by nomination and election of members of representative political institutions are fair, and provide greater opportunities for the agency to discuss issues, to criticize, and crystallize public opinion, as well as the recognition and acceptance of difference as a fact provide a large space for political parties to carry out its duties and functions. Conversely, authoritarian political configuration character, namely that impose unity, and want to eliminate the difference through a homogeneous and uniform society, it will hinder the movement of political parties so that the position of political parties to be weak. This paper uses the basic assumption that the political configuration is as influential variable (independent variable) and the political parties as dependent variable.
Keywords : Status, Party Politics, and Democracy0912011394 ZULQADRI ANAND2014-11-07T07:41:32Z2015-03-18T07:19:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5198This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51982014-11-07T07:41:32ZTANGGUNG JAWAB MEDIA CETAK DALAM MEMUAT BERITA YANG TIDAK BENAR SEBAGAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM PERDATAabstrak
Media cetak merupakan media komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik dengan cetakan yang berfungsi sebagai kontrol sosial, hiburan dan sebagai media informasi. Namun dalam kegiatannya media cetak berpotensi menciptakan dampak negatif terhadap masyarakat atau pihak lain apabila berita yang diterbitkan adalah berita yang tidak benar. Untuk itu, diperlukan upaya hukum sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah antara pihak yang dirugikan dengan media cetak yang menerbitkan berita. Dengan adanya upaya hukum tersebut maka media cetak yang menerbitkan berita harus bertanggungjawab atas berita yang diterbitkan. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas tanggung jawab media cetak dalam memuat berita yang tidak benar. Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah tanggung jawab media cetak dalam memuat berita yang tidak benar, upaya hukum yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan apabila ada pemberitaan yang tidak benar.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari wawancara tertulis kepada pihak Harian Umum Lampung Post dan pihak Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa tanggung jawab media cetak dalam memuat berita yang tidak benar dilakukan berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan KUHPerdata, yaitu media cetak harus melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak
benar0912011096 AHMAD FATONI2014-11-07T07:41:01Z2014-11-07T07:41:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5195This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51952014-11-07T07:41:01ZDESKRIPSI PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN PENGOBATAN TRADISIONAL YANG MENGGUNAKAN TESTIMONI PASIENabstrak
Iklan merupakan unsur penting dalam menyampaikan informasi layanan masyarakat tentang tersedianya barang/jasa kepada konsumen. Kondisi tersebut memungkinkan pelaku usaha pengobatan tradisional untuk melakukan publikasi melalui iklan demi tersampainya informasi dan keuntungan dalam produksi. Penulisan ini melakukan penelitian terhadap iklan pengobatan tradisional yang menggunakan testimoni pasien. Penelitian ini menganalisis berdasarkan aspek pengaturan perlindungan konsumen dan upaya perlindungan hukum terhadap iklan pengobatan tradisional yang menggunakan testimoni pasien.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, dengan berdasarkan aturan hukum yang bersumber dari substansi peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menganalisis secara deskriptif-analitis dengan melakukan kajian secara komprehensif terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, pengaturan tentang iklan pengobatan tradisional yang menggunakan testimoni secara umum terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu Pasal 10 hingga Pasal 20, dan Undang-Undang Penyiaran pada Pasal 36. Secara khusus iklan testimoni pengobatan tradisional diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787 Tahun 2010 yaitu Pasal 5 huruf n yaitu iklan yang mengunakan testimoni pasien dilarang karena penggunakan kata-kata berlebihan akan menjurus pada iklan yang menyesatkan. Sedangkan, Etika Pariwara Indonesia (EPI) yaitu Bab III tentang Ketentuan testimoni butir 1.17 menyebutkan bahwa iklan testimoni diperbolehkan tetapi harus mengacu pada syarat dan ketentuan berlaku bahwa kesaksian (testimoni) konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami tanpa maksud melebih-lebihkan dan dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani konsumen tersebut. Upaya perlindungan hukum oleh pemerintah adalah melalui fungsi pengawasan oleh KPI dan upaya hukum jika terjadi kerugian akibat iklan. Konsumen dapat melindungi diri terhadap iklan pengobatan tradisonal yang menggunakan testimoni dengan cara menganalisis siaran iklan (sadar media). Upaya hukum konsumen jika dirugikan sebuah iklan yaitu, dengan mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen (litigasi dan non-litigasi) kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau melakukan pengaduan kepada KPI baik secara tertulis maupun lisan.
Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Pengobatan Tradisional, Pengaturan Iklan Testimoni0912011222 PIMAL IBRAHIM2014-11-07T07:40:52Z2014-11-07T07:40:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5192This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51922014-11-07T07:40:52ZANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
(Studi Pada PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah)abstrak
Dana pensiun PT Gunung Madu Plantation merupakan Dana Pensiun Pemberi Kerja yang dimana perusahaan itu sendiri yang mendirikan, mengelola dan melakukan pelaksanaan perjanjian dana pensiun untuk karyawannya yang menjadi peserta dana pensiun. Program iuran yang termuat dalam isi perjanjian pelaksanaan dana pensiun gunung madu adalah program pensiun iuran pasti yang dimana peserta dana pensiun gunung madu dipotong gajinya untuk iuran dana pensiun yang selanjutnya akan dikelola serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta sampai waktunya peserta masuk usia pensiun. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pelaksanaan perjanjian Dana Pensiun pada PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah, apa perbedaan antara Perjanjian Dana Pensiun Pemberi Kerja pada PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah dengan Perjanjian Asuransi Hari Tua dan akibat hukum apabila terjadi wanprestasi pada pelaksanaan perjanjian Dana Pensiun Pemberi Kerja PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-terapan. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan, data ini di peroleh dengan cara melakukan wawancara terhadap orang yang menjadi pengurus dana pensiun serta pekerja di PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka. Data yang diterkumpul dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian Dana Pensiun Pemberi Kerja PT Gunung Madu Plantations Kabupaten Lampung Tengah dimulai sejak tercapainya kesepakatan antara para pihak yang diketahui dari adanya tanda tangan peserta pada formulir aplikasi kepesertaan dan berakhir pada saat dilakukan pembayaran manfaat pensiun, meninggal dunia atau terkena sanksi kerja (PHK). Perbedaan antara perjanjian Dana Pensiun
Amri Eka Suma
Pemberi Kerja dengan Perjanjian Asuransi Hari Tua terletak pada peraturan yang dibentuk oleh masing-masing penyelenggara, serta pada penerapan pelaksanaan perjanjiannya yang dituangkan dalam formulir aplikasi kepesertaan. Apabila terjadi wanprestasi antara para pihak maka akibat hukumnya bagi pihak Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah bertanggung jawab atas kerugian yang dilakukannya, sedangkan bagi peserta yang melanggar kesepakatan dalam perjanjian maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Selain hal tersebut penyelesaian wanprestasi dapat diselesaikan secara musyawarah dengan bantuan SPSI atau juga bisa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Kata Kunci0912011006 AMRI EKA SUMA2014-11-07T06:37:46Z2015-04-16T06:30:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5185This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51852014-11-07T06:37:46ZPERLINDUNGAN HUKUMTERHADAP PENERIMA BILYET GIROabstrak
Bilyet giro merupakan surat berharga yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pengaturan tentang Bilyet giro terdapat dalam SKBI No.28/KEP/DIR/1995 tentang Bilyet Giro tanggal 4 Juli 1995 yang mulai berlaku tanggal 1 November 1995. Dalam pelaksanaannya terdapat kemungkinan pada saat Bilyet giro tersebut dimintakan pemindahbukuan, ternyata dananya tidak mencukupi atau kosong. Pada kondisi seperti ini mengakibatkan pihak penerima Bilyet giro menjadi dirugikan dan membutuhkan suatu perlindungan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah ketentuan hukum bagi penerbit yang menunggak bilyet giro, bagaimanakah pelaksanaan perintah pemindahbukuan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penerima Bilyet Giro.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan masalah yang digunakan yaitu jenis normatif analisis teori hukum. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa: pertama, penerima bilyet giro kosong dapat menggunakan hak "regres", yaitu hak untuk melakukan tuntutan pembayaran kembali kepada debitor "regres", yang dalam hal ini adalah penerbit bilyet giro, kedua, penerima dapat mengugat perdata atas dasar perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPdt, ketiga, dalam pemindahbukuan penerbit dan penerima, harus mempunyai rekening giro pada bank yang sama ataupun berbeda bank, jika dana tersimpan pada bank yang sama maka pemindahbukuan tersebut dengan cara mengurangi saldo rekening giro penerbit kemudian ditambah ke rekening giro pemegang bilyet giro. Tetapi jika pemindahbukuan tersebut dilakukan dengan bank yang berbeda maka pelaksanaan administratif pemindahbukuan tersebut dilakukan dengan melalui lembaga kliring sesuai dengan aturan dalam SEBI No. 4/670 ketentuan No. 8, diatur tentang pelaksanaan amanat dalam Bilyet Giro. keempat, bentuk
perlindungan0542011013 AGUS ERLIYANTO2014-11-07T06:37:22Z2015-04-16T06:45:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5182This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51822014-11-07T06:37:22ZPENGGABUNGAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING DENGAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERIabstrak
Penggabungan perseroan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan perseroan dalam mempertahankan dan mengembangkan kegiatan usahanya. Penggabungan perseroan dapat dilakukan oleh perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal dalam negeri. Penelitian ini mengkaji mengenai penggabungan perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal dalam negeri berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 beserta peraturan yang ditetapkan BKPM dan Bapepam-LK. Adapun yang menjadi pokok bahasan adalah mengenai syarat, prosedur dan akibat hukum dalam melakukan penggabungan perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal dalam negeri baik yang berbentuk perseroan tertutup maupun perseroan terbuka.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif analitis substansi hukum. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Selanjutnya, dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa penggabungan perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dengan memenuhi syarat umum, yaitu penggabungan tidak boleh merugikan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor dan penggabungan dilarang menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penggabungan juga diwajibkan memenuhi syarat khusus. Penggabungan perseroan tertutup wajib memenuhi syarat khusus yang ditetapkan BKPM, yaitu untuk memiliki izin prinsip penggabungan dan izin usaha0912011203 MUHAMMAD FAISAL SF2014-11-07T06:35:17Z2014-11-07T06:35:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5178This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51782014-11-07T06:35:17ZDESKRIPSI ASURANSI KECELAKAAN TERHADAP KARYAWAN
DI LUAR HUBUNGAN KERJA
(Studi pada PT Rabobank International Cabang Kartini Bandar Lampung)abstrak
Asuransi kecelakaan diluar hubungan kerja terjadi dikarenakan adanya hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan. Salah satu bentuk hak yang dimiliki oleh seorang karyawan adalah mendapat perlindungan dan jaminan selama masih menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Risiko-risiko dalam bekerja bukan saja terjadi selama seorang karyawan menjalankan pekerjaannya melainkan dapat juga terjadi saat karyawan tersebut sedang diluar hubungan kerja. Dan dalam hal tersebut maka perusahaan bekerjasama dengan perusahaan asuransi guna memberikan perlindungan terhadap karyawannya dengan cara mengikutsertakan para karyawannya dalam asuransi kecelakaan diluar hubungan kerja. Penelitian ini dilakukan di PT Rabobank International Cabang Kartini Bandar Lampung dan Permasalahannya adalah bagaimana hubungan hukum antara para pihak dalam asuransi AKDHK, serta bagaimana tata cara pengajuan klaim asuransi AKDHK apabila terjadi evenement.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-terapan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, studi dokumen dan wawancara. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Analisis yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa hubungan hukum para pihak dalam asuransi AKDHK ialah karyawan PT Rabobank International Cabang Kartini Bandar Lampung sebagai tertanggung, PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda sebagai Penanggung, dan PT Rabobank International sebagai pemegang polis. Sedangkan mengenai tata cara pengajuan klaim hanya dengan cara mengisi formulir-formulir yang telah ada sesuai urutan tata cara
APRIL0912011008 APRIL RAWANDI2014-11-07T06:34:59Z2014-11-07T06:34:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5175This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51752014-11-07T06:34:59ZTINJAUAN YUIRIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
NOMOR 09/Pdt.G/2007/PN.KLD
TENTANG PEMBATALAN SERTIPIKAT TANAH HAK MILIK
No. 229/NT
DI KABUPATEN LAMPUNG SELATANnot found0612011250 SHINTA NOVALINDA2014-11-07T06:34:10Z2014-11-07T06:34:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5173This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51732014-11-07T06:34:10ZPERTANGGUNG JAWABAN PEMBERI DANA EKONOMI KERAKYATAN OLEH DINAS KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KOTA BANDAR LAMPUNGabstrak indonesia
Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang mengacu pada peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandar Lampung menyalurkan dana dalam bidang ekonomi kerakyatan sebesar 6,5 miliar yang berasal dari APBD Kota Bandar Lampung. Program itu diperuntukan bagi masyarakat yang memiliki usaha produktif, penyerapan dana pada tiap kelurahan tidak sama, tergantung pada kepatuhan peminjam, kinerja kelompok masyarakat, lurah, dan camat setempat berdasarkan laporan dari Bank Pasar. Sesuai peraturan Walikota Bandar Lampung No. 57 tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Program Gerakan Masyarakat Membangun Tapis Berseri Kota Bandar Lampung, tujuan program pemberdayaan masyarakat gemma tapis berseri ialah penanggulangan kemiskinan, peningkatan ekonomi masyarakat dan mewujudkan masyarakat yang sehat di Kota Bandar Lampung. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah pertanggung jawaban pemberi dana ekonomi kerakyatan oleh Diskoperindag, (2) apakah yang menjadi faktor penghambat dalam hal pertanggung jawaban dana ekonomi kerakyatan.
Metode penelitian dalam skripsi ini digunakan pendekatan yuridis empiris normatif yaitu dengan cara mempelajari dan mengkaji bahan hokum sebagai norma atau peraturan-peraturan yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas guna menunjang data-data yang dihasilkan melalui studi lapangan. Sumber data primer yaitu data yang peneliti dapatkan dari lapangaan, data sekunder yaitu data yang peneliti peroleh dari studi kepustakaan
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa pertanggung jawaban Diskoperindag dalam pemberian dana ekonomi kerakyatan adalah (a) bertanggung jawab secara administrasi dan teknis dalam kegiatan ekonomi kerkyatan (b) menyusun dan memantapkan kembali proposal dan rencana teknis kegiatan (c) Diskoperindag menyiapkan dokumen administrasi yang akan digunakan oleh pemohon pinjaman
dana
abstrak inggris
Society economy is economy which has a purpose to improve the prosperity and safety for society. The official of cooperation small middle entrepreneur industry and trading of Bandar Lampung to distribution of fund in field of society economy is about 6,5 billion the fund was came from APBD of Bandar Lampung. This program was given for society who has productive enterprise. The absorption of fund in each political district was not same. It was depend on loan’s discipline activity of society group, chief village, and subdistrict head based on report from Pasar Bank. Bassed on the regulation of the mayor of Bandar Lampung No.57 year 2012 about the instruction and implementation and for the society movement for developing tapis berseri program in Bandar Lampung, this program has a purpose for making efficient of the society gemma tapis berseri the destitution, improvement of the society economy and the realitation of public health in Bandar Lampung. The problem from this research were (1) how the responbility of the official of cooperation and trading of Bandar Lampung Diskoperindag (2) what was the impede factor which become the impede in responbilityof fund society economy.
This methode which was used in this script that was yuridis empiris normative approach this method was used to learn and inspect of law as norm or the regulation which the connection between the problem that will be discussed for supporting the data which will be resulted from this field study. Secondary data is a data which has got by the researcher and the data has got from study of the literature.
According of the result of this research that was the responbility from the official of cooperation and trading of Bandar Lampung in giving fund loan to the economy society they were (a) to responbility of administration and technical in economy society activity (b) to arrange and stable the proposal and the plane of technical activity (c) the official at cooperation and trading prepare the document of administration which will be used by the applicant of economy society fund loan (d) the official of cooperation and trading helped to give the instruction the economy society program for the productive enterprise (e) to carried out the supervision to ward the distribution, the profit, restitution and over throw the fund
of0742011237 MUHAMMAD GILANG ADIE N2014-11-07T06:33:54Z2014-11-07T06:33:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5169This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51692014-11-07T06:33:54ZPENGATURAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA
PENAMBANGAN PANAS BUMIABSTRAK INDONESIA
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber energi baru dan terbarukan yang beraneka ragam, salah satunya adalah panas bumi. Namun untuk memanfaatkanya diperlukan perizinan karena dalam Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2003 tentang panas bumi dalam pasal 21 ayat (1) dinyatakan bahwa IUP dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing kemudian jg diatur dalam Undang-Undang No. 41 serta pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007 tentang kegiatan usaha penambangan panas bumi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah arah kebijakan energi nasional tentang panas bumi?. Bagaimana kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam perizinan penambangan panas bumi? Bagaimana tahapan dan persyaratan pengeluaran izin kegiatan usaha penambangan panas bumi?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelaahan terhadap substansi peraturan perundang-undangan, dianalisis secara deskriptif-analitis dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Dalam kebijakan energi nasional yang dibuat oleh pemerintah tentang panas bumi sebesar 5% untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada tahun 2025. Kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan panas bumi yaitu pemberian izin dan pengawasan pertambangan panas bumi pada wilayah lintas provinsi. Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan panas bumi yaitu pemberian izin dan pengawasan pertambangan panas bumi di wilayah lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan panas bumi yaitu pemberian izin dan pengawasan pertambangan panas bumi di kabupaten/kota; pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar wilayah kerja di kabupaten/kota. Persyaratan dan tahapan yang harus dipersiapkan oleh badan usaha dalam UU No. 27 Tahun 2003 telah menentukan tahapan-tahapan pengembangan kegiatan usaha penambangan panas bumi: Survey pendahuluan, Eksplorasi, Studi kelayakan, Eksploitasi dan Pemanfaatan. Saran yang diberikan peneliti adalah kebijakan yang dibuat pemerintah dalam memanfaatkan energi panas bumi sebagai pengganti energi fosil seharusnya lebih tinggi sebesar 10 % energi panas bumi di Indonesia sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi nasional.
Kata Kunci : Perizinan dan Panas bumi
ABSTRAK INGGRIS
Indonesia is a country which has a wealth of new and renewable sources of energy are multi-faceted, one was geothermal. But for the memanfaatkanya required permissions for in the legislation of Indonesia No. 27 of 2003 about geothermal in article 9 paragraph (1) States that the Minister issued by IUP, Governor, district/city and in accordance with their respective authority and DND is set in Act No. 41 and its implementation is set out in Government Regulation No. 59 in 2007 about geothermal mining business activities. Problems in the research is How national energy policy direction about geothermal? How the authority of the Central Government and the regions geothermal mining permissions? How do the stages and requirements of mining activity permit spending hot Earth?. This research uses the normative legal research methods that study of the substance of the legislation, analyzed by descriptive-analytical approach to legislation. the results showed that. In the national energy policy made by the Government about the Earth's heat by 5% to meet national energy needs by 2025. The authority of the Central Government in the management of geothermal mining, namely the granting of permission and supervision of geothermal mining region across the province. Provincial authorities in the management of geothermal mining, namely the granting of permission and supervision of mining in the area of geothermal across district/city. Authorities of the district/city in the management of geothermal mining, namely the granting of permission and supervision of mining the Earth's heat in the district/city; community empowerment in or around work areas in the district/city. Terms and stages that must be prepared by a business entity in Act No. 27 of 2003 has been determining the stages of development of geothermal mining business activities: a preliminary Survey, exploration, feasibility study, Exploitation and utilization. The advice given is the policy researcher who made the Government in utilizing geothermal energy as a substitute for fossil energy should be higher by 10% geothermal energy in Indonesia so as to meet national energy needs.
Keywords: license and geothermal power0912011147 Gigih Suci Prayudhi2014-11-07T06:33:45Z2014-11-07T06:33:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5167This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51672014-11-07T06:33:45ZPENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI
(Studi di Kawasan Industri Panjang)ABSTRAK INDONESIA
Penegakan hukum lingkungan hidup salah satunya adalah dapat berupa kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu institusi lingkungan hidup yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan pengelolaan limbah hasil pembakaran batubara oleh beberapa industri di Kota Bandar Lampung ternyata masih dijumpai hal-hal yang belum atau bahkan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dikhawatirkan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung terhadap pengelolaan limbah hasil pembakaran batubara bagi industry dan faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pengawasannya tersebut .
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pelaksanaan pengawasan BPPLH Kota Bandar Lampung terhadap pengelolaan limbah hasil pembakaran batubara bagi industri dilakukan dengan cara sebagai memberlakukan prosedur wajib untuk memperoleh izin tempat penyimpanan sementara LB3 bagi pelaku industri yang mempunyai kegiatan di bidang pengumpulan dan/atau penyimpanan sementara LB3. Pembentukan Tim Pengawas Pelaksanaan Kebijakan Bidang Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung. Terdapat faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pengawasan BPPLH Kota Bandar Lampung terhadap pengelolaan limbah hasil pembakaran batubara bagi industri adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur professional yang dimiliki oleh BPPLH
ABSTRAK INGGRIS
The maintenance of right in living environtment is an activity of supervision which is done by the government that is living evirontment which is based on the regulation No 32 years 2009 about the protection and processing living environment. The implementation of processing waste of burning coal waste which are done by some industry in Bandar Lampung was found many things whose have not approprrate with the regulation, so this case was worried caused damage environment. The problem from this research was how was the implementation of supervision the official of living environtment in Bandar Lampung to wards the processy of burning coal waste for industry and what were the factors which were impede to implementation of supervision.
The methode which was used yuridis normative approach and yuridis empiris. The collecting data and interview, literature study, and document study. The data which have been collected then to presented in the essay form and then to presented for implementation in discussing and analyzing in kuantitative, then the researcher took the summary.
The result of this research of this research and the discussion showed that the implementation of supervision which was done by BPPLH in Bandar Lampung to ward the processing of burning coal waste for industry were done in a way, doing obligatory procedure for receving permission for temporary keeping LB3 area. To organize the supervisor of implementation policy in living environment area of Bandar Lampung. There were many factors which impede in implementation of supervison BPPLH Bandar Lampung to ward the processing of burning coal waste for industry were the limitation of human resources (SDM) professional institution which was belonged by BPPLH Bandar Lampung in implementation for supervision. The limitation of transportation facilities or operational field for doing supervision.0742011024 Ahmad Hirliansyah2014-11-07T06:33:37Z2014-11-07T06:33:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5166This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51662014-11-07T06:33:37ZPENYELENGGARAAN IZIN PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI DI KABUPATEN LAMPUNG TIMURABSTRAK INDONESIA
Bisnis menara makin berkembang sejak keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, dan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Sesuai ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi menyatakan bahwa menara telekomunikasi dapat beroperasi setelah memiliki izin operasional dari Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Lampung Timur berdasarkan rekomendasi dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lampung Timur. Pada kenyataannya, masih ada menara telekomunikasi yang belum memiliki izin. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan permasalahan: 1) Bagaimanakah penyelenggaraan izin pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur? 2) Bagaimanakah pengawasan terhadap penyelenggaraan izin pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi data, editing, dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: 1) Penyelenggaraan izin pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu bersama dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lampung Timur. Perizinan pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur dilakukan secara terpadu0852011093 Fery Purnomo2014-11-07T06:32:51Z2014-11-07T06:32:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5165This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51652014-11-07T06:32:51ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA PT. CENTRAL PERTIWI BAHARIabstarak indonesia
Usaha Pemerintah dalam rangka mengatur dan mengurangi perselisihan antara pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha agar tidak terjadi kesewenang – wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak adalah salah satunya dengan membuat Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi pada PT. Central Pertiwi Bahari dan Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif - empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan Perundang - Undangan serta penerapannya pada peristiwa hukum. Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembahasan, Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada PT. Central Pertiwi Bahari terjadi karena adanya Efisiensi Perusahaan karena tidak adanya budidaya udang sehingga perusahaan merugi.
Dalam Penyelesaiaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini dilakukan secara Bipartit antara Manajemen PT. Central Pertiwi Bahari dengan Serikat Pekerja PT. Central Pertiwi Bahari dengan tahapan – tahapan Negosiasi untuk memutuskan besaran uang Pesangon yang di atur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (PMTK) No. KEP – 150/ MEN/ 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon. Sedangkan faktor yang menghambat dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut adalah Tawar Menawar besarnya uang pesangon dan konflik internal yang terjadi dalam Serikat Pekerja PT.Central Pertiwi Bahari.
Saran dari penulis sebaiknya pembayaran uang pesangon, uang penghargaan dan ganti rugi dilakukan menurut ketentuan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta dilaksanakan menurut Keputusan Menteri No. KEP.150/MEN/2000 dan PT. Central Pertiwi Bahari dapat mempercepat rekonsiliasi antara perusahaan dengan petambak plasma agar dapat melakukan budidaya kembali sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja
abstrak inggris
Government efforts to regulate and reduce disputes between workers and employers or between workers and business partner in order to avoid any misconduct - handedness that could harm either party is one of them by making Lex No. 2 of 2004 on Industrial Relations Dispute Settlement.
The study objective was to determine how the implementation of the Employment Termination by Lex No. 2 of 2004 on Industrial Relations Dispute Settlement happens at PT. Central Pertiwi Bahari and what are the factors inhibiting the implementation of the Employment Termination is.
Approach problems used in this study is the normative legal approach - empirical, that is research object of study includes provision of legislation and its application to the legal events. Based on the results of research and discussion, implementation of Employment Termination at PT . Central Pertiwi Bahari is due to the efficiency of the Company in the absence of shrimp farming so the company loses money.
In Completion of Employment Termination is performed by bipartite system between Management of PT. Central Pertiwi Bahari with labor unions of PT. Central Pertiwi Bahari with stages of negotiations to decide the amount of severance pay that money be set in the Regulation of the Minister of Labour No. KEP - 150 / MEN / 2000 on the settlement of labor dismissal and the stipulation of severance pay. While the factors that impede the implementation of the Employment Termination is the amount of severance pay Bargaining and internal conflict that occurred in Union of PT.Central Pertiwi Bahari
Advice from the author should be severance pay, cash awards and indemnities made under the provisions of Lex No. 13 of 2003 as well as implemented by Decree No. KEP.150/MEN/2000 and PT. Central Pertiwi Bahari can accelerate reconciliation between the company and farmers in order to make the cultivation plasma back so it can absorb more labor.
Keywords: Employment Termination0612011185 Landri Valleska2014-11-07T06:32:44Z2014-11-07T06:32:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5161This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51612014-11-07T06:32:44ZPENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH
PT. SUGAR LABINTA LAMPUNG SELATANabstrak b.indonesia
Kelangsungan kehidupan di dunia ini didasari oleh kualitas lingkungan hidup itu sendiri, oleh karena itu lingkungan hidup penting untuk dijaga kelestariannya, di Indonesia lingkungan hidup dijaga dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2009. Salah satu hal yang penting dari lingkungan hidup adalah sumber daya air sungai, di desa malangsari sungai adalah sumber kehidupan masyarakat sebagai sumber perairan pertanian dan perternakan, namun sungai tersebut tidak dapat digunakan kembali karena pendugaan pencemaran limbah PT. Sugar Labinta, Lampung Selatan. Setelah kurang lebih 3 tahun permasalahan tersebut belum juga terselesaikan, hal ini tentu saja berkaitan dengan pemerintah Lampung Selatan dalam pelaksanaan pengawasan pembuangan limbah di wilayah kabupaten Lampung Selatan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) (1) Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah Bagaimana pengawasan pemerintah daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint daerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labintdaerah dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labint a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan? a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan?a Lampung Selatan? a Lampung Selatan?a Lampung Selatan? (2) (2) FaktorFaktorFaktor -faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. faktor apa saja yang menjadi penghambat bagi pemerintah daerah Kab. Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Lampung Selatan dalam pengawasan terhadap pengelolaan Limbah PT. Sugar Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan? Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan? Labinta, Lampung Selatan? Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan? Labinta, Lampung Selatan?Labinta, Lampung Selatan? Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris, dengan mengunakan data primer, data sekunder. Prosedur pengolahan data dengan tahap-tahap Identifikasi, klasifikasi data, editing, sistematisasi data dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, (1) Pengawasan dalam pengelolaan limbah PT. Sugar Labinta, adalah a) inspeksi lapangan b) meminta laporan rutin limbah perusahaan c) uji sample limbah d) pembinaan e) pemberlakuan sanksi. (2) Faktor penghambat bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengawasan, yaitu a) APBD yang belum efektif b) Kurangnya jumlah Sumber daya manusia c) Kebijakan pemerintah yang kurang tegas dalam memberlakukan sanksi d) BLHD Lampung Selatan belum memiliki pos pengaduan e) Belum menerapkan Permen LH dengan baik, karena pertimbangan tenaga kerja.
Kata Kunci : Pengawasan, Limbah, Pencemaran sungai.
abstrack b.inggris
Continuity of life in this world is based on the quality of the environment itself, therefore it is important for the environment to be preserved, guarded environment in Indonesia with the enactment of Law no. 32/2009 . One important feature of the environment is a river resources, in Malangsari village river is the lifeblood of the community as a source for agricultural and farming, but the river cannot be used anymore because of estimation waste pollution of PT . Sugar Labinta , South Lampung . After about 3 years the problem has not been resolved , it is of course related to the implementation of the government of South Lampung monitoring waste disposal in South Lampung regency.
The problem in this study are (1) How is the monitoring of local government in waste management of PT. Sugar Labinta South Lampung? (2) What are the obstacle factors for South Lampung government in monitoring of waste management of PT. Sugar Labinta, South Lampung?. This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical This study uses empirical jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary jurisdiction, by using primary data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data data, secondary data. The procedure of data processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization processing stages of identification, classification data, editing, systematization of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively. of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.of data and qualitatively analyzed descriptively.
The research results revealed that, the monitoring in waste management of PT. Sugar Labinta, namely a) field inspection b) asking for waste regular reports from companies c) waste sample test d) couching e) sanctions. Disincentives to the local governments in the implementation of monitoring, are a) the budget is not effective b) a lack of human resources in the amount of c) Government policies are less strict in enforcing sanctions d) BLHD South Lampung doesn’t have a postal complaints e) Not apply the environment minister’s regulations well, due to considerations of labor.
Keyword : Monitoring, Waste, River pollution0912011351 Nirma Afianita2014-11-07T06:31:55Z2014-11-07T06:31:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5159This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51592014-11-07T06:31:55ZPENYELENGGARAAN PROGRAM TRANSMIGRASI OLEH
DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
KABUPATEN PRINGSEWUProgram transmigrasi adalah salah satu program pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan berlandaskan pada Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Kabupaten Pringsewu pada awalnya merupakan daerah tujuan transmigrasi dari pulau jawa namun sekarang kabupaten pringsewu bukan lagi menjadi daerah tujuan transmigrasi tetapi justru menjadi daerah pengirim transmigran. Sehingga dari sinilah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang penyelenggaraan program transmigrasi oleh Dinas Sosial tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kabupaten Pringsewu dan faktor penghambatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris dengan sumber data primer dan sekunder dengan pengambilan data mengunakan studi kepustakaan dan wawancara.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pringsewu memiliki peran yang penting dalam penyelenggaraan program transmigrasi. Pelaksanaannya dilakukan mulai dari tahap pendaftaran, seleksi calon transmigrasi, legitimasi, pengumuman, pelatihan hingga pemberangkatan. Program ini diselenggarakan karena telah berkurangnya lahan dan tempat berusaha di kabupaten pringsewu. Pelaksanaan program transmigrasi di samping pemindahan penduduk juga dilaksanakan pemberian hak atas kepemilikan tanah yang merupakan sarana pelaksanaan ketentuan landreform Indonesia. Transmigrasi juga merupakan usaha dalam penataan kembali penggunaan tanah dan pemilikan tanah di daerah asal dan daerah tujuan transmigrasi. Hambatan – hambatan yang dihadapi dalam penyelenggaraan transmigrasi yaitu dari pihak peserta terkendala oleh terbatasnya kuota yang disediakan dan rendahnya tingkat pendidikan peserta transmigrasi dan dari pihak pemerintah hambatan terdapat pada koordinasi lintas sektoral antar daerah dan terbatasnya anggaran dari pemerintah. Oleh karena itu penulis memberikan saran hendaknya dapat menambah kuota calon transmigrasi serta meningkatkan intensitas pelatihan yang nantinya berguna untuk menunjang kehidupan ekonomi di lokasi pemukiman. Selanjutnya bagi pemerintah disarankan untuk meningkatkan
koordinasi kerjasama antar daerah yang signifikan dan berkesinambungan0912011009 ARDIAN DWI SAPUTRA2014-11-07T06:31:46Z2014-11-07T06:31:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5157This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51572014-11-07T06:31:46ZPELAKSANAAN PEMBERIAN IZIN BELAJAR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI DINAS KESEHATAN KOTA BANDAR LAMPUNGabstrak b.indonesia
Kebijakan pemberian Izin Belajar tertuang dalam Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2012tentang Pedoman dan Tata Cara Seleksi Calon Peserta Tugas Belajar dan Izin Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Bandar Lampung, kebijakan tersebut guna tertib administrasi dalam pembinaan kepegawaian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan pemberian Izin Belajar dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung pelaksanaan pemberian Izin Belajar bagi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
Jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan cara seleksi data, pemeriksaan data, klasifikasi data, dan penyusunan data yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pelaksanaan pemberian Izin Belajar Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung tidak berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Hal ini terlihat dengan adanya Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan yang meninggalkan tugas-tugas kedinasan dalam melaksanakan perkuliahannya, hal ini bertentangan dengan ketentuan Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Seleksi Calon Peserta Tugas Belajar dan Izin Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pelaksanaan, Izin Belajar
abstrack b.inggris
Study Permit granting policies contained in Bandar Lampung Mayor Regulation Number 10 Year 2012 on Guidelines and Procedures for Candidate Selection Task Learning and Study Permit For Civil Servants in Government Environment Bandar Lampung, the policy guidance for the orderly administration of the civil service. The purpose of this study was to determine the permit granting process execution Learning and the factors that support the implementation of a barrier and granting permission for the Study of Civil Servants in Bandar Lampung City Health Office.
Type of approach used in this study is an empirical juridical. The data used in this study of primary data and secondary data. Methods of data collection in this study was done by library research and field study. The data were then processed by the data selection, examination of the data, classification data, and preparation of the data were then analyzed using qualitative descriptive analysis method.
From the results of research conducted on the implementation of the provision of the Civil Service Study Permit in Bandar Lampung City Health Office is not run in accordance with regulatory requirements. This was shown by the Civil Servants Medical Officer who left the official duties in conducting lectures, it is contrary to the provisions of Bandar Lampung Mayor Regulation Number 10 Year 2012 on Guidelines and Procedures for Candidate Selection Task Learning and Study Permit For Public Servants Environmental civil Government in Bandar Lampung.
Keywords: Implementation, Study Permit0912011330 IKO TIRTAMANA2014-11-07T06:31:18Z2015-04-16T06:30:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5155This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51552014-11-07T06:31:18ZPELAKSANAAN KEBIJAKAN SISTIM PENGAWASAN
TERHADAP EFEKTIFITAS KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL
DI INSPEKTORAT KOTA BANDAR LAMPUNGabstrak b.indonesia
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, perwujudan good governance (pemerintahan yang baik) merupakan amanat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai salah satu unsur manajemen pemerintah, disamping perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan, pengawasan memegang peranan penting untuk terciptanya kinerja pemerintah yang baik. Sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 Pasal 24 tentang pengawasan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang pedoman pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah, menyatakan bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan aparat pengawas Internal pemerintah daerah.
Inspektorat Kota Bandar Lampung selaku pengawas internal pemerintah kota memiliki tugas, fungsi, serta sistem pengawasan dalam melaksanakan keberadaannya sebagai lembaga pengawasan. Agar tugas dan fungsi dapat berjalan dengan baik maka sistem pengawasan yang berlaku haruslah efektif.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pelaksanaan sistim pengawasan terhadap efektifitas kinerja pegawai negeri sipil di Inspektorat Kota Bandar Lampung serta faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam pelaksanaannya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif empiris, yaitu identifikasi dan deskripsi hukum positif. Tidak saja mengacu pada norma-norma hukum secara normatif, tetapi juga melihat implementasi di lapangan secara empiris.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa sistem kebijakan pengawasan Inspektorat Kota Bandar Lampung telah berhasil efektif meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil di Inspektorat Kota Bandar Lampung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Meskipun demikian, masih terdapat faktor penghambat yang berupa kurangnya tenaga berkeahlian, lemahnya koordinasi, minimnya dana, sarana dan prasarana, serta lemahnya kesadaran untuk melaksanakan tindak lanjut hasil temuan pengawasan.
abstrack b.inggris
In execution of area autonomy, materialization of governance good ( good governance ) representing commendation which must be executed by good local government of provinsi and also sub-province/town. As one of the governmental management element, beside planning,organization,executor, observation play a part important for the creation of good governmental performance. According to Number 8 year 2005 section 24 about observation and regulation of republic government of Indonesia number 79 year 2005 about guidance of construction and observation of management of local government, please express that inspectorate sub-province / town represent internal supervisor government officer of local government.
Inspectorate town port float as internal supervisor of government of town have duty, function, and also observation system in executing its existence as observation institute. To be function and duty can walk better hence observation system going into effect shall be effective.
Approach which is used in this research is approach of law of normative empirical, that is identifying and positive law deskripsi. Not even relate at norms punish by normative, but also see implementation in field empirically.
Problem of this research that is how execution of observation systems to performance effectivically public servant of civil in inspectorate town port float and alsa factors what is become resistor in its execution.
Pursuant to result of solution and research can know that system policy of observation of inspectorate town port float have succeeded effective improve performance public servant of civil in inspectorate town port float in executing duty and his function. Nevertheless, still there are resistor factor which in the form of lack of energy have membership, weak of coordination him, its minim of fund, facilities and basic facilities and also weaken awareness him to execute follow-up result of observation finding.0742011005 ABIZAR ALGHIFARI2014-11-07T06:31:09Z2014-11-07T06:31:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5154This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51542014-11-07T06:31:09ZPELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK AIR BAWAH TANAH SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAHabstrak b.indonesia
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penghambat dan pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah kabupaten Lampung Tengah. Data yang telah diolah menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menginterpretasikan data dan memaparkan dalam bentuk kalimat untuk menjawab permasalahan pada bab-bab selanjutnya dan melalui pembahasan tersebut diharapkan permasalahan tersebut dapat terjawab sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan dan saran dari permasalahan tersebut.
Pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah di Lampung Tengah adalah melakukan survei langsung ke lapangan untuk mengecek pengguna air bawah tanah secara monitoring dan evaluasi, perhitungan dengan alat water meter untuk mengetahui hasil dari perhitungan pajak air tanah, pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah adalah Dinas, Kepala Dinas bertanggung jawab untuk menghitung Pajak Air Tanah dengan melibatkan Dinas Teknis. Sedangkan kendala-kendala adalah berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya, kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional, database yang masih jauh dari standar internasional, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara, kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat.
Kata Kunci : Pajak Air Bawah Tanah, Pendapatan Asli Daerah Lampung Tengah0912011084 Yosan Dwi Novayanto2014-11-07T06:04:52Z2014-11-07T06:04:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5152This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51522014-11-07T06:04:52ZTINJAUAN PERTANGGUNG JAWABAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN DAN PENGAMANAN ARSIP DAERAH
(Studi pada Kantor Arsip Daerah Propinsi Lampung)abstrak indonesia
Kearsipan belum sepenuhnya menjadi perhatian baik oleh masyarakat umum, organisasi pemerintahan maupun organisasi swasta dan masyarakat masih belum mengetahui dan memahami arti pentingnya manfaat Arsip dalam kehidupan sehari-hari, bagi pribadi maupun organisasi. Arsip seringkali di posisi sebagai barang yang tidak berharga bahkan dianggap sebagai sampah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah tanggung jawab pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan dan pengamanan Arsip daerah? 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan yang mendukung pengelolaan dan pengamanan Arsip daerah? 3) Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan dan pengamanan Arsip daerah?. Dalam melakukan penelitian dilakukan pendekatan secara normatif dan empiris, selanjutnya dilakukan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Kantor Arsip Daerah Propinsi Lampung hanya mengelola Arsip Inaktif dari Lembaga/Kantor/Dinas/Satuan Unit Kejar di lingkungan Pemerintah Propinsi Lampung. Arsip Inaktif yaitu frekuensi penggunannya untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan sudah menurun. Sedangkan Arsip Aktif dikelola oleh Unit Pengolah yang ada pada Lembaga/Kantor/Dinas/Satuan Unit Kerja masing-masing, mengingat arsip aktif masih secara langsung dan terus menerus diperlukan dan dipergunakan dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan sebagai bahan bukti kebijakan pimpinan.
Dalam melakukan pengelolaan arsip inaktif, Kantor Arsip Daerah Propinsi Lampung masih berpedoman pada Surat Edaran Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia tentang Penanganan Arsip Inaktif sebagai Pelaksanaan Peralihan Peraturan Pemerintah tentang Penyusutan Arsip, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang kearsipan. Adapun sasaran dalam penanganan arsip inaktif adalah penyelamatan dan pemanfaatan informasi untuk meningkatkan daya guna dan tepat guna administrasi aparatur negara serta bahan bukti pertanggung jawaban nasional/pemerintah.
Kata kunci :Pertanggung jawaban, Pengelolaan, Pengamanan, Arsip Daerah
abstrack inggris
Archives have not been fullest attention both by the general public as well as government organizations, private organizations and the public still do not know and understand the sense of the importance of Archives benefits in everyday life, for personal or organization. The archives are often in the position of the item that is worthless to even be considered as junk.
The problem in this study were 1) How is the responsibility of local governments in managing and securing local archives? 2) What factors are inhibiting and supporting local management and security local archives? 3) What efforts are made by the government in the management and security local archives?. In research conducted by normative and empirical approach, then performed a qualitative analysis.
Based on this research, that the Office of the Provincial Archives. Archives Inactive Lampung only managing of Institution/Office/Department/Unit Chase in Lampung Provincial Government environment. Inactive records the frequency of consumer for the administration of government has declined. While Active Archive is managed by the existing Processing Unit at the Institute/Office/ Department/Unit respectively, given the still active archive directly and continuously required and used in the operation of public administration as head of policy evidence.
In conducting the management of archives inactive, the Office of Lampung Provincial Archives are still guided by the Circular Head of the National Archives of the Republic of Indonesia on the Inactive Records Management Implementation of the Transitional Government Regulation of Depreciation Archive, as well as regulations concerning archives. The targets in the treatment of inactive files are saving and the use of information to improve the efficiency and effective administration of the state apparatus as well as material evidence of the accountability of national / government.
Keywords : Accountability, Management, Security, Local Archives0642011198 Hafidz andrianto2014-11-04T03:33:33Z2014-11-04T03:33:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5138This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51382014-11-04T03:33:33ZANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN PEMURNIAN MINERAL DAN BATUBARA GUNA MENINGKATKAN NILAI TAMBAHAbstrak Indonesia
Kebijakan pada pertambangan yang tengah dipersiapkan dewasa ini adalah kemajiban melakukan pemurnian tambang mineral dan batubara. Namun pengaturannya masih diatur secara parsial. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah banyak yang tidak terintegrasi dengan baik dan seringkali lebih menimbulkan egoisme sektoral dan mengabaikan semangat incorporated. Oleh karena itu terdapat dua buah permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi ini yakni: Pertama, Bagaimanakah pengaturan hukum atas kebijakan pemurnian mineral dan batubara. Kedua. Bagaimanakah implikasi kebijakan pemurnian mineral dan batubara terhadap Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (dogmatic research). Pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Berdasarka hasil penelitian maka didapatkan hasil bahwa: pertama, pengaturan hukum kebijakan pemurnian mineral dan batubara secara khusus telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral. Implikasi atas kebijakan ini guna meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah tambang Indonesia, tersedianya bahan baku industri dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Implikasi bagi Indonesia adalah dengan adanya kebijakan ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global. Sebaiknya pemerintah harus mereformasi regulasi dan membuat satu pedoman formal yang ideal serta kebijakan akselerasi untuk seluruh pihak yang terlibat dalam pemurnian mineral dan batubara agar akselerasi peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dapat terealisasikan.
Kata Kunci : Kebijakan, Pemurnian, Mineral, Batubara, Nilai Tambah.
Abstrak Bahasa Inggris
Limited from the ability of environment to meet the needs of human for the generation now and the future led to the necessary arrangements good for processing and purification of minerals and coal. Natural resources must be managed and wide web is as good as possible in order to remain incapable of supporting development activities in order to provide welfare on society. Arrangement that exists when and that raises various problems. Starting from an early stage of permission exploration up to do marketing mine indonesia. The lack of setting upon Indonesian natural wealth make Indonesia as state of being consumptive. Should Indonesia capable of being state productive. Based on these phenomena needs to be done arrangement reexamined over government policy. Reformation of regulations to be done on the policy and the arrangement of law that cannot accommodate empirical fact and juridic fact that occurs in the management of the quarry.
Keywords: reform, policy, and mining.0912011246 Roni Septian Maulana2014-11-04T03:33:25Z2014-11-04T03:33:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5144This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/51442014-11-04T03:33:25ZPENGUASAAN HAK ATAS TANAH OLEH PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNGabstrak indonesia
Tanah sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia oleh karena itu sudah sewajarnya apabila kita mengelola tanah dengan sebaik-baiknya, Pemerintah Kota Bandar Lampung Tahun 2012 memiliki aset tanah 633 bidang, yang belum bersertipikat berjumlah 324 bidang dan yang sudah bersertipikat berjumlah 309 bidang. Berdasarkan prasurvei, hingga saat ini masih terdapat tanah aset yang belum terpelihara dengan baik yang tidak digunakan dan tidak dipagar, belum bersertipikat. Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah penguasaan hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung (2) Apa saja faktor yang mendukung dan menghambat penguasaan hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung baik secara fisik maupun yuridis.
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.Yuridis normatif adalah adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mempelajari, mengkaji peraturan perundang-undangan dan literatur serta bahan-bahan hukum. Yuridis empiris dilakukan dengan cara mengkaji dan memperjelas kajian hukum Penelitian tersebut guna mendapat hasil penelitian yang objektif dan terperinci dengan cara melakukan wawancara dengan nara sumber ditempat lokasi penelitian. Sumber data yaitu data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan studi lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa (1) Penguasaan hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung terbagi 2 yaitu penguasaan secara fisik dan penguasaan secara yuridis. Penguasaan secara fisik dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan menggunakannya dengan dibangun gedung untuk Pemerintahan sedangkan tanah yang belum dimanfaatkan masih kosong dan tidak dipagar dikarenakan tidak adanya anggaran. Penguasaan secara yuridis oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung dibuktikan dengan dimilikinya sertipikat dan kelengkapan akta-akta alas hak atas tanah, tetapi masih terdapat tanah Pemerintah Kota Bandar Lampung yang belum bersertipikat dikarenakan ada yang masih dalam proses dan ada yang dikarenakan kurangnya anggaran. (2) Faktor pendukung penguasaan tanah secara fisik yaitu digunakan untuk gedung Pemerintahan. Faktor pendukung penguasaan tanah secara yuridis yaitu dengan
abstrak inggris
Land as a natural resource is a gift of God Almighty to the Indonesian Nation, therefore it was appropriate for us to manage the land as well as possible. In 2012, Government of Bandar Lampung had assets of 633 field soil, which has not been certificated totaled 324 field and are already certificated totaled 309 field. Based pre survey recently, there are land assets that have not been well maintained which are not used, fenced and certificated. Based on the above, the issues in this study are (1) How control of land rights by the Government of Bandar Lampung (2) What are the factors that support and hinder acquisition of land rights by the Government of Bandar Lampung, both physically and legally.
The research methods in this study are normative and empirical jurisdiction. Normative jurisdiction is done by studying, reviewing legislation and literature as well as legal materials. Empirical jurisdiction made by reviewing and clarifying the research study law in order to get the results of objective and detailed research by conducting interviews with informants in place research sites. Sources of data are primary data and secondary data. Methods of collecting data are library research and field study.
Based on the findings that (1) control of land rights by the Government of Bandar Lampung is divided into two, namely physical and juridical control. The Bandar Lampung Government used physical control for constructing building while the soil is still untapped empty and fenced off because there was no budget. The control of Juridical Aspects of Government of Bandar Lampung evidenced by its certificate and completeness of title deeds to land, but there are still government land in Bandar Lampung is not certificated because there is still in progress and there due to lack of budget. (2) The supporting factors of physical control of land rights that is used for government buildings. The supporting factors of land rights of juridical control can be seen if the certificates are complete. Inhibitory of physical factor is a land which is not fenced due to the lack of budget. Besides that, the inhibitory of juridical factor is incomplete land rights.
Suggestion in this study was each control of land rights by the Government of Bandar Lampung to be accompanied with a complete control of basic rights are originates in legal right evidence, in order that there are certainty rule of law and land rights.0742011365 MULIAWAN ADI PUTRA2014-02-04T08:20:19Z2014-02-04T08:20:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/515This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5152014-02-04T08:20:19ZEFKTIFITAS PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAKNOT FOUNDNOVI .2014-02-04T08:20:14Z2014-02-04T08:20:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5842014-02-04T08:20:14ZPERBANDINGAN STELSEL PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) 2012Not foundarie tandy sarda sami sidik2014-02-03T04:01:05Z2014-02-03T04:01:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/597This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5972014-02-03T04:01:05ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA
PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Kasus Perkara No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl)
Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum yang menentukan putusan terhadap suatu perkara yang disandarkan pada intelektual, moral, dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Memang sulit untuk mengukur putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tidak menyenangkan, dan apakah alasan hakim dalam mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam menjatuhkan pidana pada putusan Pengadilan Negeri Menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan, dan data skunder yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil penelitian menyatakan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana pelaku perbuatan tidak menyenangkan pada putusan Pengadilan Menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl adalah berdasarkan pertimbangan yang pertama bersifat yuridis (teoritis) pada Pasal 335 ayat (1) KUHP yang terdiri dari unsur subjektif yaitu adanya terdakwa Pedrayansyah Bin Birman yang telah melakukan dengan sengaja tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Kemudian unsur objektif yaitu unsur perbuatan, akibat, dan sifat melawan hukum. Perbuatan tidak menyenangkan Pedrayansyah Bin Birman telah mengakibatkan Salimi Bin Sihabudin tidak senang sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dan unsur-unsurnya telah terbukti secara sah menurut hukum. Pertimbangan kedua adalah pertimbangan bersifat non yuridis yang terdiri dari latar belakang, kondisi jasmani rohani, serta akibat yang ditimbulkan terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Kemudian alasan hakim dalam mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa adalah motif terdakwa hanya emosi sehingga melakukan perbuatan tidak menyenangkan, sikap terdakwa setelah melakukan tindak pidana tersebut sungguh menyesalinya, akibat yang ditimbulkan perbuatan terdakwa utamanya hanya pada perbuatan tidak menyenangkan, dan tujuan pidana yang diberikan untuk mengingatkan terdakwa agar tidak mengulang perbuatannya. Setelah menganalisa surat putusan pada putusan hakim Pengadilan Negeri Menggala No.32/Pid.B/2010/PN.Mgl, penulis menyarankan agar hakim lebih cermat dan teliti dalam memberikan putusan pada perkara, lebih menggali nilainilai hukum dan aturan undang-undang sehingga benar-benar tercipta keputusan yang adil selaras dengan aturan hukum yang ada. Hakim tidak bisa mengesampingkan Pasal 63 KUHP karena telah jelas unsur-unsur tindak pidana kedua perbuatan tindak pidana telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum. Sehingga pidana yang dikenakan oleh hakim seharusnya adalah Pasal 406 KUHP, karena hukuman pokok pada Pasal 406 KUHP lebih berat dari pada Pasal 335 KUHP. Sesuai ketentuan Pasal 63 KUHP “jika suatu perbuatan termasuk ke dalam beberapa ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan maka yang dikenakan adalah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya”. Hal ini bertujuan untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat agar memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa semua orang dimata hukum itu sama. Agus Prasetyo Tupanto 2014-02-03T04:00:24Z2014-02-03T04:00:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/594This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5942014-02-03T04:00:24ZANALISIS FUNGSI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) DALAM MENGELOLA BENDA SITAAN
DAN RAMPASAN NEGARA (Studi Pada Kantor Rumah Penyimpanan Benda Sitnan Negara
Kelas II Kota Metro) Keberadaan benda sitaan dan rampasan negara tersebut menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi aparat penegak hukum, sebab berpotensi adanya penyalahgunaan, penggelapan dan hilangnya barang bukti, penyalahgunaan barang bukti yang telah disita seperti dijual oleh oknum aparat penegak hukum. Oleh karena benda sitaan dan rampasan negara harus disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah fungsi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas II Kota Metro dalam mengelola barang sitaan negara dan rampasan negara? (2) Bagaimanakah tahapan pengelolaan barang sitaan negara dan rampasan negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas II Kota Metro? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Kepala Rupbasan Ketas II A Kota Metro, Kepala Urusan Penyimpanan, Kepala Urusan Pemeliharaan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Fungsi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas II Kota Metro dalam mengelola barang sitaan negara dan rampasan Negara adalah melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan negara, melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang rampasan Negara, Melakukan pengamanan dan pengelolaan Rupbasan dan Melakukan urusan surat-menyurat dan kearsipan. (2) Tahapan Pengelolaan Barang Sitaan Negara dan Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas II Kota Metro terdiri dari Penerimaan, Penelitian dan Penilaian, Pendaftaran, Penyimpanan, Pemeliharaan, Pengeluaran dan Penghapusan, Penyelamatan dan Pengamanan, pelaporan dan Pengeluaran Akhir Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Koordinasi dalam pengelolaan barang sitaan dan rampasan negara oleh aparat penegak hukum hendaknya semakin ditingkatkan dan tidak dilakukan secara parsial, baik oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan, tetapi dilaksanakan secara terpadu di dalam Rupbasan. (2) Pengawasan terhadap pengelolaan barang sitaan dan rampasan negara hendaknya ditingkatkan dalam rangka mengantisipasi munculnya resiko terhadap keamanan barang sitaan dan barang rampasan yang disimpan di dalam Rupbasan. Kata Kunci: Fungsi Rupbasan, Sitaan, Rampasan IRAWAN SAPUTRA Idhan Rosidi2014-02-03T04:00:18Z2014-02-03T04:00:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/593This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5932014-02-03T04:00:18ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KASUS SALAH TANGKAP TERHADAP
TERSANGKA PENGEROYOKAN Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana pengeroyokan bisa jadi mengalami kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek dilapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namun seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik kepolisian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap kaedah-kaedah, norma-norma, peraturan-peraturan, yang berhubungan dengan tindak pidana dalam hal salah tangkap. Sedangkan pendekatan yuridis empiris merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan tindak pidana dalam hal salah tangkap. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan. Pertanggungjawaban penyidik Polri secara individu atau non individu dengan memberikan jalan terhadap korban untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Pertanggungjawaban penyidik secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan bahkan pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik Kepolisian Indonesia. Pertanggungjawaban penyidik polri secara hukum pidana apabila terjadi salah tangkap atau error in persona dalam melakukan tugas kepolisian dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang Kepolisian. Penyidik juga berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka. Adapun saran yang diberikan penulis yaitu perlu Kepolisian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang dan dapat meminimalisir terjadinya salah tangkap, selain itu penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Untuk mencegah dan menanggulanginya terjadinya salah tangkap maka upaya ditreskrimmum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan tellegram atau juklak. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya praperadilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya terpidana tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut. Kata kunci : , pertanggungjawaban,salah tangkap,error in persona, pengeroyokan. MOH. MARTHADINATA HASAN Hasan Basri 2014-02-03T04:00:07Z2014-02-03T04:00:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/592This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5922014-02-03T04:00:07Z
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST
(Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa ada kecuali. Seiring perkembangan teknologi, orang dengan mudah mendapat berita kriminal juga informasi dan pengalaman pornografi melalui banyak jenis media, dan akses internet. Akibatnya menjadi model bagi mereka yang tidak dapat menahan nafsu seksualnya sehingga memicu tindak pidana pemerkosaan antara lain tindak pidana Incest yang dilakukan oleh Salim bin Natam (Putusan No. 24/Pid.B/2012/PN.Kld.). pada skripsi ini, permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah apa yang menjadi dasar hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendektan yang dilakukan dengan cara memperoleh teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah dan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku pendapat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest ada dua macam, yaitu : pertama Pertimbangan Yuridis yaitu : a. Formil: dimana dalam persidangan telah diperoleh alat-alat bukti dan keterangan saksi-saksi yang dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa, b. Materiil: dimana unsur-unsur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasar 64 ayat (1) KUHP telah terpenuhi sebagaimana dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi. Kedua Pertimbangan Non Yuridis yaitu :1.Latar belakang perbuatan terdakwa yaitu rendahnya tingkat perekonomian pelaku sehingga istri terdakwa harus bekerja yang dimanfaatkan terdakwa untuk melakukan tindak kejahatan, 2.Akibat perbuatan pelaku yaitu menimbulkan luka psikis dan trauma, 3.Kondisi diri terdakwa yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan pada persidangan terdakwa merupakan seseorang yang sehat jasmani dan rohaninya, 4. Faktor sosial ekonomi terdakwa yaitu pelaku tidak sempat mengenyam bangku sekolah, 5.Faktor agama terdakwa yaitu rendahnya tingkat keimanan/ketakwaan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Faktor Penghambat Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest yaitu Faktor Masyarakat, masyarakat anarkis atau main hakim sendiri jika ada kasus pidana incest dan Faktor Kebudayaan, ketakutan akan perpecahan keluarga memungkinkan keluarga untuk memilih diam dan memmilih untuk menyimpan aib.
Saran yang dapat diberikan Penulis dalam penelitian ini adalah Pemerintah melalui aparat hukumnya memberikan pemahaman hukum agar masyarakat mengerti hukum dan ke depannya tidak ada lagi tindakan anarkis dan masyarakat menjadi aktif dalam artian akan melaporkan segala kejahatan yang terjadi khususnya tindak pidana incest, dan memberikan pelayanan sosial atau pendampingan kepada korban pasca trauma tindak pidana incest oleh ahli-ahli di bidang nya seperti pakar psikologis.
Kata Kunci : Incest. Tindak Pidana, Pertimbangan Hakim FITRIYANTO Alm. Sardjoko 2014-02-03T03:59:51Z2014-02-03T03:59:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/591This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5912014-02-03T03:59:51ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )
Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara. penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan kepada suatu kepentingan. Hal ini sangat berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan kedamaian dalam masyarakat.Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelititn ini adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian lapangan berupa wawancara dengan para responden. Pendekatan ini bertujuan memperoleh data konkrit mengenai masalah yang akan diteliti. Data yang diperoleh kemudian akan diseleksi, diklarifikasikan dan disistematiskan yang kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode induktif. Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK. yaitu pelaku terbukti telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan disaat pelaku melakukan perbuatannya pelaku dalam keadaan sehat dan sadar serta tidak terganggu jiwanya oleh karena itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 (epat) tahun serta pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa yaitu melalui pertimbangan berdasarkan ; keterangan saksi-saksi, keterangan saksi ahli, surat dakwaan, petunjuk-petunjuk dan alat-alat bukti serta keterangan dari terdakwa. Disamping hal itu, dalam memutuskan perkara di persidangan hakim juga harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan untuk mencapai suatu kepastian hukum dan rasa keadilan agar tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam penegakan hukum khususnya penanganan kasus Tindak Pidana Korupsi, agar Majelis Hakim sebagai pemberi putusan harus mampu adil dan benar dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa. Karena itu kemampuan hakim dalam menggali peristiwa hukum harus dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan kreatif dalam menemukannya, karena itu akan menjadi acuan seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang, sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dpat mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat. Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Pelaku, Tindak Pidana Korupsi Tomi Arafik TUZAKKIR2014-01-27T02:24:05Z2014-01-27T02:24:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5862014-01-27T02:24:05ZUPAYA POLISI DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN TELEPON GENGGAM DI KOTA BANDAR LAMPUNG (STUDI KASUS
DI POLRESTA BANDAR LAMPUNG) Masalah kejahatan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini sering kali
dipersoalkan oleh kalangan akademisi, masyarakat maupun praktisi hukum. Salah satu bentuk kriminalitas yang mempunyai frekuensi tertinggi adalah tindak pidana pencurian. Dalam media massa terutama media cetak, banyak sekali berita berkaiatan dengan pencurian telepon genggam atau handphone yang terjadi di wilayah Kota Bandar Lampung. Dari sudut itu dapat dilihat letak peran besar aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan demi terciptanya ketertiban umum. Pada garis besarnya masalah-masalah sosial yang timbul karena pencurian telepon genggam dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat khususnya di Kota Bandar Lampung. Problem tadi pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama dan msayarakat juga bisa membantu pihak keapolisian dalam mengungkap kasus penaacurian telepon genggam di Kota Bandar Lampung. Yang menjadi permasalahan dalam penilitan ini adalah bagaimana pihak polisi berperan dalam menanggulangi kasus pencurian tersebeut, faktor-faktor apa yang menjadi kendala pihak polisi dalam menanggulangi kasus pencurian tersebut serta apa faktor yang dapat menyebabkan banyaknya kasus pencurian telepon genggam di Kota Bandar Lampung tersebut. Dalam penulisan karya ini maka metode pendekatan yang dipakai adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diproleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek dengan cara observasi dan wawancara dengan responden dan narasumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Hasil penelitian dari penanggulangan kepolisian terhadap pencurian telepon genggam banyak masalah-masalah yang timbul dan faktor-faktor yang menyebabkan pencurian tersebut. Faktor-faktor penyebab terjadinya pencurian tersebut ialah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Salah satu faktor –faktor itu ialah faktor intelegensia, usia, ekonomi, pendidikan, pergaulan, dan lingkungan. Dimana dari salah satu faktor tersebut seperti faktor ekonomi yaitu para pelaku pencurian dilatar belakangi dengan ekonomi yang rendah, selain faktor ekonomi ada beberapa faktor lain seperti faktor lingkungan yang dimana mereka mempunyai lingkungan bersama orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak adanya perhatian dari dalam rumah maupun diluar rumah, ada juga faktor pendidikan dimana rat-rata dari mereka yang melakukan tindakan pencurian ialah mereka yang kurang berpendidikan, atau berpendidikan rendah. Selain faktor-faktor yang menyebabkan pencurian ada upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yaitu dengan cara preventif (nonpenal) dan represif (penal). Upaya preventif antara lain mengadakan penyuluhan kepada masyarakat dan mengadakan patroli di beberapa daerah rawan pencurian atau ditempat keramaian kota. Upaya represif antara lain menindak tegas para pelaku agar membuat mereka jera, mendata residivis serta melakukan operas-operasi berkesinambungan. Dari beberapa pemaparan diatas, bisa diberikan simpulan dan saran untuk masalah polisi dalam menanggulangi pencurian telepon genggam. Dan beberapa simpulan dan saran tersebut adalah agar pihak kepolisian meningkatkan program sosialisasi kepada msyarakat, agar dilakukan operasi secara mendalam terhadap daerahdaerah rawan kejahatan, dan masyarakat agar turut membantu dan bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam menangani kasus pencurian tersebut dan diharapkan kesadaran kepada masyarakat untuk melapor bila melihat atau menjadi korban tindak pencurian itu. Bahry Grend Derwansyah2014-01-20T08:37:20Z2014-01-20T08:37:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5852014-01-20T08:37:20ZANALISIS UPAYA NON PENAL PENANGGULANGAN NARKOBA OLEH PENEGAK HUKUM DI KOTA BANDAR LAMPUNG Upaya non penal penanggulangan Narkoba lebih diutamakan dari kebijakan penal berorientasi kepada upaya pencegahan dan pembinaan. Kebijakan non penal dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preventif dan premitif yang diimplementasikan melalui penyuluhan, safari narkotika, penyebaran pamflet dan baliho serta pendekatan terhadap tokoh adat dan agama serta pembinaan terhadap masyarakat. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah sosial sekaligus menjadi masalah hukum dalam masyarakat. Penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika dilakukan melalui kebijakan yang terarah yang pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya tujuan (goal), sasaran (objectives) dan kehendak (purpose). Kebijakan non penal ditunjukan pada anak (termasuk remaja usia sekolah) dan masyarakat umum. Kebijakan ini bukan hanya menjadi kehendak pemerintah atau penegak hukum melainkan kehendak seluruh masyarakat dalam menjamin keberlangsungan generasi bangsa indonesia yang sehat dari bahaya narkoba. Adapun upaya non penal dalam penanggulangan narkoba oleh penegak hukum di Bandar Lampung dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya pemakaian, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap kaedah-kaedah, norma-norma, peraturan-peraturan,yang berhubungan dengan upaya non penal penanggulangan narkoba oleh penegak hukum di kota Bandar Lampung. Sedangkan pendekatan yuridis empiris merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan upaya non penal penanggulangan narkoba oleh penegak hukum di kota Bandar Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa upaya non penal penanggulangan narkoba oleh penegak hukum di kota Bandar Lampung yaitu Menumpas jaringan sindikat narkoba hingga ke akar-akarnya melalui pemutusan jaringan sindikat narkoba dalam dan/atau luar negri dan penghancuran kekuatan ekonomi jaringan sindikat narkoba dengan cara penyitaan aset yang berasal dari tindak pidana narkotika melalui penegakan hukum yang tegas dan keras. Memberikan pengobatan/perawatan terhadap pengguna Narkoba yang mengalami ketergantungan di panti-panti pusat rehabilitasi dan pelayanan bagi korban narkoba. Mengadakan penyuluhan dan sosialisasi Undang-Undang tentang narkoba. Melaksanakan program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Melakukan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba secara komprehensif dan sinergis dengan pemusnahan ladang-ladang ganja. Adapun faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan narkoba di kota Bandar Lampung yaitu jumlah anggota BNP berasal dari Pejabat Pemerintah belum banyak berperan disebabkan kesibukan tugasnya sehari-hari. Rendahnya dukungan anggaran penanggulangan narkoba pada sebagian besar Kabupaten/Kota. Belum optimalnya dukungan perangkat hukum dan Perundang-Undangan yang ada serta upaya penegakan hukum oleh aparat berwenang. Mahalnya biaya pemeriksaan darah / urine termasuk bahaya narkoba. Belum adanya pedoman kelembagaan penanggulangan narkoba secara Nasional sampai tingkat Kecamatan dan Desa. Mengingat kelembagaan BNP dan BNK merupakan lembaga non teknis daerah, maka adanya jabatan rangkap tidak dapat dihindari. Hal ini sangat berpengaruh pada kinerja BNP yang dianggap sebagai beban anggaran tambahan. Kelembagaan penanggulangan narkoba pada tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan masih sangat rendah. Adapun saran yang diberikan penulis yaitu upaya non penal dalam penanggulangan narkoba oleh penegak hukum di kota Bandar Lampung perlunya diberikan penyuluhan secara intensif kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya pemakaian, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Membentuk pusat rehabilitasi bagi para pecandu narkoba dengan sarana dan prasarana yang memadai. Harus lebih meningkatkan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait sehingga dalam pelaksanaan penanggulangan narkoba dapat berjalan dengan baik Kata Kunci: Non Penal, Penanggulangan, Narkoba M. NOVAN SATRIA Sudirman2014-01-20T08:36:50Z2014-01-20T08:36:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5832014-01-20T08:36:50ZALASAN PENGHAPUS PIDANA DENSUS 88 ANTI TEROR MABESPOLRI TERKAIT DENGAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA
TERORIS Pemberantasan tindak pidana teroris di Indonesia di lakukan oleh Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri, yang dalam mengemban tugasnya didasarkan pada Peraturan Pengganti Undang Undang No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur menggunakan senjata api. Tapi dalam tahap pelaksanaan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri terkadang melakukan tembak di tempat terhadap terduga teroris hal ini yang menjadi pro dan kontra terkait dengan tugas Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dalam memberantas tindak pidana teroris.Pedoman yang ada mendukung Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tahapan Pengunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Hal itu yang menjadi dasar dalam melakukan tembak di tembak terhadap berbagai kasus tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia. Permasalahan terkait dalam penelitian ini adalah apakah dasar hukum Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris? dan bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sehingga ada alasan penghapus pidana ? Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, kemudiaan pendekatan yang dilakukan secara yuridis normatif. Pendekatan Normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau normanorma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Hasil Penelitian dalam skripsi ini bahwa dalam Menjalankan tugasnya Densus 88 Anti Teror Mabes Polri di naungi oleh dasar-dasar hukum yang berfungsi sebagai landasan yang harus diikuti dan ditaati. Cikal bakal Densus 88 lahir dari Inpres No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini dipicu oleh maraknya teror bom sejak 2001. Aturan ini kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Perpu No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan
Argadwi saputra ketentuan Undang Undang mengenai pembentukan Densus 88 Anti Teror Mabes
Polri untuk memberantas tindak pidana teroris, maka muncullah berbagai pro dan kontra terkait dengan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri hal yang paling disoroti adalah tindakan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terhadap terduga teroris. Adanya aturan hukum yang khusus demikian bisa menjadi alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dalam melakukan tembak di tempat. Tindakan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dalam sudut pandang yang berbeda ketika melakukan tembak di tempat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak hidup seseorang yang harus di junjung tingi dalam Hak Asasi Manusia, tetapi bila tembak di tempat dilakukan densus 88 Anti Teror Mabes Polri dengan memperhatikan beberapa tahapan yang sesuai dengan ketentuan yang mengatur maka tidak ada pertanggungjawaban pidana atas tindakakan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempa terhadap terduga teroris Adapun saran yang dapat diajukan Dalam kaitannya dengan dasar hukum alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sebaiknya lebih dipahami secara keseluruhan mengenai berbebagai aturan – aturan terkait sehingga tidak ada penyimpangan dalam proses atau prosedur pelaksanaan nya. Dengan tidak adanya Pertanggungjawaban pidana terhadap Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris, sebaiknya menjadikan kinerja Densus 88 Anti Teror Mabes Polri semakin profesional,bertanggung jawab serta menggunakan peran intelejennya dengan baik agar tidak ada kesalahan dalam memberantas tindak pidana teroris di Indonesia.
Kata kunci : Tembak di Tempat, Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Argadwi Saputra Subagio2014-01-20T08:36:24Z2014-01-20T08:36:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/580This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5802014-01-20T08:36:24ZANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN (B E WIJS K R AC HT ) KETERANGAN PENYIDIK BERDASARKAN PENYADAPAN
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diberikan beberapa kewenangan salah satunya yaitu melakukan penyadapan. Kewenangan tersebut dalam pelaksanaannya ternyata menimbulkan beberapa permasalahan, salah satunya adalah ketika penyidik KPK yang melakukan penyadapan dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi dan memberikan keterangannya berdasarkan atas tindakan penyadapan. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menilai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah merupakan hal yang penting dikarenakan, keterangan saksi pada umumnya merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah (1) bagaimana kekuatan pembuktian keterangan penyidik berdasarkan penyadapan (2) bagaimana kekuatan pembuktian rekaman penyadapan dalam proses pembuktian di sidang pengadilan tindak pidana korupsi.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari studi pustaka meliputi perundang-undangan, yurisprudensi dan buku literatur hukum tertulis lainnya. Setelah bahan hukum terkumpul, kemudian diolah dengan cara memeriksa bahan hukum, penandaan bahan hukum, penyusunan ulang bahan hukum, dan menempatkannya menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah yang selanjutnya dianalisis.
Rafli Pramudya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bahwa kekuatan pembuktian pada keterangan penyidik berdasarkan penyadapan bernilai sebagai alat bukti yang sah. Keterrangan penyidik sebagai saksi, bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat. Ketidakterikatan hakim dalam arti bahwa hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya.Selanjutnya dalam perkara tindak pidana korupsi, rekaman penyadapan bernilai sebagai alat bukti petunjuk seperti yang diatur dalam KUHAP. Keberlakuan Undang – undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur rekaman penyadapan sebagai alat bukti petunjuk merupakan perwujudan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis yang bermakna bahwa aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan : (1) Penilaian keterangan saksi oleh hakim hendaknya dilakukan dengan sangat teliti mengingat pada kenyataannya tidak semua keterangan saksi membantu hakim dalam membuat jelas suatu tindak pidana namun tidak jarang keterangan saksi yang dihadirkan justru menyesatkan hakim. (2) Rekaman penyadapan sebagai alat bukti pada tindak pidana korupsi hendaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh semua penegak hukum, khususnya bagi hakim. Informasi yang terkandung dalam rekaman penyadapan sangat efektif dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi mengingat cara-cara konvensional tidak lagi memadai untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang masuk dalam kategori extraordinary crime. Kata kunci : kekuatan pembuktian, keterangan penyidik, tindak pidana korupsi
Rafli Pramudya Yulian Sobri 2014-01-20T06:15:15Z2014-01-20T06:15:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/578This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5782014-01-20T06:15:15Z
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGRUSAKAN POLSEK METRO
KIBANG LAMPUNG TIMUR (Studi Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd) Kekerasan terjadi pada mereka yang mudah terprovokasi, frustasi atau menderita stress lingkungan. Kemudian terbentuklah satu keyakinan kolektif, yang walaupun tidak sertamerta menjadi perilaku massal, merekalah kelompok potensial untuk terlibat dalam kerusuhan massa. Tindakan pengrusakan terhadap fasilitas umum ini merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hukum, dimana secara yuridis formil tindakan pengrusakan tersebut sudah diatur dalam Pasal 170 KUHP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif danyuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh massa adalah menggunakan Pasal 170 KUHP sebagai mana yang sering digunakan penuntut umum untuk mendakwa massa yang berbuat anarkis, dan hal ini sering ditemukan pada yurisprudensi. Penggunaan Pasal 170 KUHP sudah tepat, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, pelaku adalah lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Kekerasan dapat saja dilakukan oleh dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu. Dengan adanya pasal tersebut sangat membantu tugas penuntut umum dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dalam penegakkan hukumnya, seperti tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Hendaknya diberlakukan sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, sehingga dalam penegakkan hukumnya dapat berjalan dengan lancar, sehingga paling tidak adanya keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan pertanggungjawaban yang dikenakan. Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku, Pengrusakan Deni Supriyadi Supardi2014-01-20T05:33:32Z2014-01-20T05:33:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/576This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5762014-01-20T05:33:32ZANALISIS PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KELAS II A BANDAR LAMPUNG Dasar hukum pembebasan bersyarat adalah Pasal 15 KUHP dan yang menyatakan
orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 14 yang menyatakan narapidana memiliki hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bila telah melalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari masa hukumannya. Pemberian pembebasan bersyarat ini jika dilihat secara implisit hanya merupakan hadiah dari Negara kepada narapidana yang dinilai telah memenuhi persyaratan sesuai undang-undang. Perumusan masalah penlitian ini adalah : Bagaimanakah pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung dan kendala saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung dan untuk mengetahui kendala saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menganalisis asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan teori-teori hukum. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dipergunakan untuk melihat penerapan ketentuan pasal dan ketentuan undang-undang yang terjadi di dalam praktek hukum tersebut. Setelah pengolahan data diperoleh dianalisa secara kualitatif . sumber data yang dipakai adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data melalu studi kepustakaan dan wawan cara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di peroleh sebagai berikut: setiap narapidana memiliki hak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 14. dan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor.M. 01-PK.04-10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Meskipun mendapatkan Pembebasan Bersyarat adalah hak bagi Narapidana namun Narapidana tersebut harus melengkapi syarat-syarat yang telah diatur dengan Undang-Undang. Dalam sistem pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat memiliki tujuan untuk memperpendek masa hukuman Narapidana dengan syarat-syarat yang ketat agar tujuan dari pembinaan tersebut tidak berkurang kualitasnya. Secara implisif Narapidana dapat mengambil haknya apabila kewajibannya telah dipenuhi. Dengan adanya Pembebasan Bersyarat tersebut banyak dampak positif yang dirasakan bagi Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan. Pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terdapat kendala yang berasal dari narapidana itu sendiri, masyarakat, petugas, serta sarana dan fasilitas. Namun kendala yang paling sulit pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat adalah ketika melengkapi syarat administratif dan subtantif.
Berdasakan simpulan maka yang menjadi saran penulis adalah sebaiknya petugas dapat bekerja lebih profesional lagi sehingga dapat membantu narapidana melengkapi syarat subtantifnya untuk mengusulkan Pembebasan Bersyarat, dan narapidana juga harus lebih mempercepat lagi dalam melengkapi syarat-syarat pengajuan pembebasan bersyarat. Serta jumlah petugas lebih disesuaikan lagi dengan jumlah narapidana dan menambah sarana dan fasilitas seperti gedung dan fasilitas penunjang lainnya. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari Pemerintah yaitu dengan meningkatkan mutu pembinaan bagi narapidana serta menambah jumlah petugas dan fasilitas. Dengan mentaati semua peraturan mengenai Pembebasan Bersyarat, narapidana tidak akan menemukan kendala yang berarti pada saat proses Pembebasan Bersyarat serta dengan menambah jumlah petugas dan fasilitas, pembinaan terhadap narapidana akan lebih maksimal. Berbagai upaya yang telah di lakukan petugas lembaga pemasyarakatan pada hakekatnya hanya merupakan upaya yang bertujuan untuk mengembalikan narapidana menjadi manusia yang lebih berguna lagi dan menumbuhkan kesadaran akan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kata Kunci : Pelaksanaan, Pembebasan Bersyarat, Narapidana Narkotika Samsu Rahman k Sismuslim.2014-01-20T05:33:21Z2014-01-20T05:33:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/572This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5722014-01-20T05:33:21ZANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI Korupsi pada saat ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu Negara.mengingat telah adanya Undang-Undang tindak pidana korupsi no 20 tahun 2001 yang berbunyi”dalam hal sebagaimana dimaksud pasal 1 dilakukan dalam keadaan tertentu hukuman mati dapat dijatuhkan” Permasalahan dalam penelitian ini adalah
mengapa hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap kaedah-kaedah, norma-norma, peraturan-peraturan, yang berhubungan dengan orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disinpulkan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat inisebab utamanya adalah undang-undang tidak menjadikan Instansi yang menanggulangi masalah tindak pidana korupsi sebagai institusi (single institution) yang berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, sehingga fungsinya kurang berjalan efektif karena seringkali berbenturan dengan kejaksaan dan kepolisian yang (dalam beberapa proses hukum) memiliki kewenangan serupa dengan KPK. yang menjadi dasar Pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dalam memberikan hukuman bagi tindak pidana korupsi hakim tentunya memiliki dasardasar yang dijadikan pedoman yakni Undang-undang yang bersinergi dalam mendukung pemberantasan korupsi. Secara asumtif, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yaitu mengenai adanya alat bukti yang sah, bedasarkan teori kepastian hukum, teori kemanfaatan, teori keadilan dan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan Perbuatan terdakwa menyebabkan ruginya negara. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan mengakui perbuatannya secara terus terang dan menyesali atas perbuatannya. Bedasarkan hasil pembahasan yang penulis kemukakan, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif pemecahan masalah dimasa yang akan datang sebgai berikut : 1. Mengingat undang-undang yang tidak bersinergi dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah dalam hal ini harus lebih membuat Undang-Undang yang dapat menyatukan instansi demi terciptanya hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir (organized corruption) agar tidak rumit dan sulit pengusutannya. 2 Penjatuhan pidana mati juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif untuk mencegah berkembangnya Praktek korupsi dan Undang-Undang telah sebagaimana ditetapkan telah dijalankan, tetapi penjatuhan pidana mati harus sangat selektif dan disertai pertimbanganpertimbangan yang sangat ketat karena dengan penjatuhan pidana yang sangat ketat maka ancaman pidana mati akan efektif untuk pencegahan. Kata Kunci : Urgensi,Tindak pidana Korupsi dan Pidana Mati. RIDHO ABDILLAH HUSIN Alfian Zulkarnaen Husin 2014-01-20T05:33:15Z2014-01-20T05:33:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5712014-01-20T05:33:15ZUPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP NARAPIDANA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung) Setiap narapidana yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan seharusnya berupaya untuk memperbaiki kesalahan mereka melalui proses pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, sehingga apabila kelak mereka dibebaskan mereka akan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan tidak aklan mengulangi kesalahannya. Pada kenyataannya narapidana justru kembali mengulangi kesalahannya dengan melakukan tindak pidana narkotika meskipun mereka masih berstatus sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung? 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat upaya penanggulangan pidana terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa dilaksanakan dengan: a) Upaya non penal, dilaksanakan dengan cara penyuluhan narkoba kepada narapidana, melakukan pemeriksaan terhadap pengunjung lapas, melakukan tes narkoba terhadap narapidana, melakukan pembinaan terhadap sipir agar mereka tidak ikut terlibat dalam peredaran narkotika di dalam lapas. b) Upaya penal, dilaksanakan dengan melakukan razia terhadap narapidana, yaitu penggeledahan terhadap narapidana untuk menemukan ada atau tidaknya narapidana yang terlibat di dalam kasus peredaran narkotika di dalam lapas, melakukan penyidikan terhadap narapidana yang diduga mengedarkan narkotika di dalam lapas, memproses secara hukum narapidana yang mengedarkan narkotika diawali dengan menangkap narapidana yang terlibat penyalahgunaan narkoba dan memproses secara hukum sipir yang terlibat atau bekerjasama dengan narapidana dengan para narapidana. (2) Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa adalah: a) Faktor penegak hukum yaitu adanya kesempatan bagi petugas Lapas untuk terlibat dalam peredaran narkoba di dalam Lapas. b)Faktor sarana dan prasarana yaitu masih minimnya teknologi yang dapat mendeteksi keberadaan narkoba di dalam Lapas. Polresta Bandar Lampung juga belum memiliki laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium. c) Faktor masyarakat, yaitu kurangnya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan peredaran narkoba, yaitu menyelundupkan narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan atau menjadi agen narkoba bagi para narapidana. d)Faktor budaya, yaitu berkembangnya sikap individualism dalam kehidupan masyarakat, khususnya narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga apabila mereka mengetahui ada narapidana lain yang menyalahgunakan narkoba maka mereka bersikap acuh atau membiarkan hal tersebut. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Upaya penanggulangan melalui upaya penal berupa razia terhadap narapidana hendaknya terus ditingkatkan dan berkelanjutan dalam rangka mencegah terjadinya peredaran narkotika di dalam Lapas di kemudian hari. Terhadap narapidana yang terbukti mengedarkan narkotika hendaknya penegakan hukum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka memberikan efek jera kepada narapidana tersebut (2) Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang terbukti terlibat kasus peredaran narkoba di dalam lapas hendaknya diproses secara hukum dengan transparan, hal ini penting dilakukan sebagai percontohan bagi para petugas lain agar tidak terlibat dalam peredaran narkoba di masa mendatang.
JAKA PERMANA k Sahrial 2014-01-20T05:33:09Z2014-01-20T05:33:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/570This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5702014-01-20T05:33:09ZANALISIS NOTA KESEPAHAMAN ANTARA BANK INDONESIA, POLRI, DAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 SEBAGAI MEKANISME PERCEPATAN PENANGANAN TINDAK
PIDANA PERBANKAN KHUSUSNYA BANK INDONESIA SEBAGAI PIHAK PELAPOR Perkembangan dalam industri perbankan dan teknologi informasi, disamping dampak positif dapat pula menimbulkan dampak negatif berupa semakin beragamnya tindak pidana perbankan. Bank dijadikan sarana dan sasaran untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu scara melawan hukum dilakukan oleh anggota dewan sekretaris, direksi, pegawai bank, pihak terafilisasi, dan pemegang saham baik dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama dengan pihak luar. Dalam rangka penanganan tindak pidana perbankan, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Penelitian ini akan membahas tentang mekanisme koordinasi penanganan tindak pidana perbankan yang diatur dalam nota kesepahaman dalam rangka percepatan tindak pidana perbankan dalam hal ini BI sebagai pelapor dan hambatan penyelesaian menggunakan mekanisme nota kesepahaman tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research) dengan tipe penelitian deskriptif dan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer, data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data serta dilakukan analisis data secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Nota Kesepahaman Antara
Bank Indonesia, Polri, dan Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2011 Sebagai Mekanisme Percepatan Penanganan Tindak Pidana Perbankan Khususnya Bank Indonesia Sebagai Pihak Pelapor yaitu, menjelaskan Peran penyidik kepolisian Republik Indonesia dalam menindaklanjuti laporan dari Bank Indonesia tentang tindak pidana perbankan masih berasal dari laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dan dilaporkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan mekanisme dalam Nota Kesepahaman. Berjalannya penyidikan tindak pidana perbankan yang berasal dari bank Indonesia tidak bersifat mandiri hal ini disebabkan karakteristik dari tindak pidana perbangkan sebagai tindak pidana yang terorganisir. Namun demikian terdapat beberapa faktor yang menghambat penanganaan tindak pidana perbankan menggunakan Nota Kesepahaman tersebut, diantaranya: faktor penegak hukumnya sendiri; faktor sarana dan fasilitas; dan faktor masyarakat dan budaya.
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti antara lain: adanya peran aktif Polri dalam dalam menanggulangi tindak pidana perbankan, salah satunya dengan adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang tindak pidana perbankan ini agar supaya masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana perbankan tersebut, serta untuk masa yang akan datang peraturan mengenai mekanisme tindak piana perbankan bisa dinasukan dalam sistem hukum pidana secara lengkap, karena penyelesaian tindakpidana perbankan menjadi tugas dan tanggung jawab penegak hukum yang didasarkan pada peraturan perundangundangan.
Kata Kunci: Nota Kesepahaman, Polri, BI, Kejaksaan, dan Tindak Pidana Perbankan. CHANDRA BANGKIT SAPUTRA Joko Waluyo 2014-01-20T05:33:04Z2014-01-20T05:33:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/569This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5692014-01-20T05:33:04ZAnalisis Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak
(Studi Kasus Wilayah Hukum Lampung Utara) Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan tersebut, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan secara fisik serta psikis, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sering menjadi korban kejahatan seksual khususnya perkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa dan yang menjadi korban ialah anak di bawah umur. Tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur, termasuk kedalam salah satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : (1) Bagaimanakah perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Uandang-Undang Perlindungan Anak ; (2) Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif. Penelitian Normatif dilakukan hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian perilaku, pendapat dan sikap, yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer, sekunder dan tresier. Data primer diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan Data tresier diperoleh dari kamus yang relevan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Perlindungan anak sendiri perlu dilaksanakan sejak sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Selain itu, tahapan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan juga dilakukan : a)sebelum sidang pengadilan; seperti penerimaan laporan/pengaduan dari masyarakat, dilakukan upaya
bantuan melalui konseling b)selama sidang pengadilan; selama proses sidang pengadilan, korban dalam memberikan kesaksian didampingi oleh anggota LBH/LSM supaya korban dapat lebih tenang dan tidak merasa takut dalam persidangan dan c)setelah sidang pengadilan korban mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, korban mendapatkan identitas baru mendapatkan tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapatkan nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan akhir dan yang menjadi faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan, seperti faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor budaya menjadi sorotan saat ini, faktor-faktor tersebut menjadi penghambat dalam penengakan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan. Berdasarkan kesimpulan di atas maka yang menjadi saran penulis adalah : Sebaiknya dalam pemberian perlindungan hukum pada anak korban tindak pidana perkosaan aparat penegak hukum lebih memaksimalkan upaya pemberian perlindungan hukum dengan mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak; Sebaiknya pihak kepolisian bekerjasama dengan instasi dan LSM terkait agar lebih intensif dalam menerapkan perlindungan hukum yang sesuai dengan UndangUndang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; dan perlu dibentuk Unit Polwan (Polisi Wanita) yang secara khusus memeriksa atau menyelidiki korban perkosaan agar korban bisa lebih terbukadan berterus terang akan dirinya yang mengalami tindak pidana perkosaan, sehingga pidana dapat diberikan secara maksimal kepada pelaku tindak pidana. Kata kunci: anak korban, tindak pidana perkosaan, perlindungan hukum. M. Aditya Kusuma Putra Bismark 2014-01-20T05:32:53Z2014-01-20T05:32:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/563This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5632014-01-20T05:32:53ZPERAN DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG PADA BIDANG KONSULTASI dan BANTUAN HUKUM SEBAGAI
PELAKSANA PEMBERI BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA Bantuan hukum merupakan pelayanan jasa hukum dari seseorang pemberi bantuan dalam rangka menjalankan profesinya kepada pencari keadilan (justisiabel), menyelesaikan sengketa hukum untuk mempertahankan hak melalui litigasi. Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum No. 16 Tahun 2011 menjelaskan yang memberikan bantuan hukum adalah pemberi bantuan hukum. Berdasarkan hal tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelitian sebagai tersebut: (1) Bagaimanakah peran dosen fakultas hukum pada Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum sebagai pelaksana pemberi bantuan hukum dalam perkara pidana dan (2) Faktor apa sajakah yang menjadi penghambat dosen Fakultas Hukum pada Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum dalam memebrikan bantuan hukum. Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan data primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber terkait bahasan skripsi dan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah skripsi ini. Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian. Klasifikasi peranan dosen sebagai pelaksana pemberi bantuan hukum ada 3, yaitu (a) peranan yang seharusnya, (b) Peranan ideal dan, (c) peranan yang sebenarnya dilakukan. Faktor penghambat dosen dalam memberikan bantuan hukum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Faktor aparat penegak, (b) faktor sarana dan fasilitas, (c) faktor masyarakat, dan (d) faktor kebudayaan. Saran yang diberikan penulis yaitu sebagai berikut: (1) Perlu adanya komunikasi antara Lembaga Bantuan Hukum, penegak hukum, serta Lembaga Peradilan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi tentang adanya Lembaga Bantuan hukum. (2) Perlunya Lembaga Bantuan Hukum Kampus menyosialisasikan kepada masyarakat secara luas tentang Lembaga Bantuan Hukum kampus yang dapat memberikan bantuan hukum dan konsultasi hukum secara prodeo.
Kata Kunci : Peran Dosen Hukum, Sebagai Pemberi Bantuan Hukum Muhammad Amri Ardaputra Siregar Dam Dam Bachtiar 2014-01-20T05:32:42Z2014-01-20T05:32:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/559This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5592014-01-20T05:32:42Z
ANALISIS PENERAPAN KETENTUAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
Korupsi berakar pada kebudayaan lama dan berasal dari birokrasi-
patrimonial dari masa feodal di masa lalu. Beberapa kali perubahan dalam undang-undang Tipikor tidak serta merta membuat pelaku korupsi jera dengan hukuman yang dijatuhkan. Korupsi bagi para pelaku yang telah berhasil itu akan menjadi sia-sia kecuali mereka dapat menyembunyikan atau menyamarkan hasilnya (harta kekayaan), yaitu melalui penyedia jasa keuangan (bank atau non bank) atau menggunakan sarana lainnya, sehingga uang hasil tindak pidana yang telah berhasil berhasil dipindahkan itu seolah-olah bersumber pada sesuatu yang dianggap sah. Mereka melakukan praktik pencucian uang (money laundering) untuk menjauhkan diri mereka dari tindak kejahatan yang dilakukan dan hasilhasil kejahatan yang mereka peroleh, sehingga penegak hukum sulit membuktikan adanya hubungan yang sangat erat antara hasil-hasil kejahatan dengan perbuatan pidana dan pelakunya.Penelitian ini akan membahas bagaimana proses penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang dari hasil suatu tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan, pemeriksaan, penuntutan, hingga penjatuhan hukuman serta juga akan membahas bagaimana hambatan dalam proses penerapan tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research) dengan tipe penelitian deskriptif dan pendekatan masalah yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data serta MUHAMMAD HAFIZ ALFARIZI Ajmain 2014-01-20T05:31:56Z2014-01-20T05:31:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/520This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5202014-01-20T05:31:56ZUPAYA UNIT SATUAN NARKOBA POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN NARKOBA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (StudiPadaLemabagaPemasyarakatan Way Huwi) not foundMARINI H. Hairi Fasyah2014-01-20T05:31:25Z2014-01-20T05:31:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/547This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5472014-01-20T05:31:25ZAnalisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
(Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK) Anak merupakan modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional serta generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Kualitas anak sangat ditentukan oleh proses dan bentuk perlakuan terhadap mereka dimasa kini. Sementara itu, anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal pemidanaannya dinilai kurang efektif bila dijatuhi pidana penjara. Seharusnya ada suatu alternatif berupa tindakantindakan atau upaya-upaya lain yang dapat dilakukan untuk menangani dan menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana sebagai pengganti pidana penjara. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam skripsi ini yaitu apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak, dalam perkara pidana Nomor 622/PID/B(A)/2011/ PN.TK, dan bagaimanakah upaya-upaya serta tindakan-tindakan lain yang dapat dilakukan atau diusahakan dalam menyelesaikan perkara anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara.
Dalam melakukan penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Suber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sampel dalam penelitian ini di ambil dari responden sebanyak (4) orang, yaitu: Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjungkarang, (2) Orang dan Dosen pada bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Lampung, (2) orang.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan, dalam penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana anak, didasarkan pada landasaan yuridis dan nonyuridis. Landasan yuridis didasarkan pada ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil yang dimaksud adalah adanya unsur-unsur delik atau unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar. Unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdiri dari unsur subjektif (dilakukan dengan sengaja atau kealpaan), unsur objektif (adanya perbuatan, menimbulkan akibat, keadaan-keadaan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum) dan adanya kemampuan bertanggungjawab serta tidak adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitings-grondery). Hukum pidana formil berkaitan dengan acara pemeriksaan perkara pidana anak dan kekuatan pembuktian atas suatu tindak pidana. Sedangkan landasan nonyuridis berkaitan dengan aspek sosiologis (latar belakang kehidupan anak, keadaan keluarga, pendidikan anak, ekonomi dan lingkungan masyarakat), aspek psikologis (berkaitan dengan kepribadian dan kejiwaan anak), serta aspek kriminologis (berkaitan dengan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan oleh anak). Metode Diversi dan Restorative Justice menjadi suatu pilihan dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak hak anak.
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu, putusan hakim dalam penjatuhan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pada Putusan Nomor 622/PID/B(A)/2011/PN.TK memang sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 363 ayat (1) Ke-3, ke-4 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tentang pencurian dengan pemberatan, serta peraturan perundang-undangan, namun jika mengingat stigma negatif atau cap jahat sebagai akibat dari pidana penjara, maka seyogyanya hakim memperhatikan dan dapat mempertimbangkan efek negatif bagi kelangsungan hidup anak. Hakim pun harus mengedepankan prinsip ultimum remidium. Dalam hal penegakan hukum, jika anak memang harus atau pantas di jatuhi pidana, maka penjatuhan pidana terhadap perkara anak seyogyanya hakim mengefektifkan jenis pidana bersyarat sebagai alternatif pidana penjara (terlebih penjara yang singkat), dan terlebih jika hakim dapat mengupayakan suatu tindakan-tindakan serta upayaupaya lain sebagai alternatif pemidanaan terhadap anak, maka hal itu akan lebih baik bagi anak.
Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Pidana, Anak, Pencurian dengan Pemberatan. Ari Siddiq Rismawan Suparno, 2014-01-20T04:28:34Z2014-01-20T04:28:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/546This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5462014-01-20T04:28:34ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENCUCIAN UANG DALAM SISTEM PERBANKAN Negara Indonesia menganut sistem devisa bebas yang berarti bahwa setiap orang dapat memiliki, memindahkan, menyimpan uang sepanjang uang itu halal dan tidak terkait kejahatan pencucian uang, tentunya di sini dapat menimbulkan bebagai faktor kriminologis pemicu kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Para pelaku kejahatan memiliki berbagai modus yang dilakukan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan dan bagaimanakah upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Petugas PPATK, Petugas Bank Indonesia, Petugas Bank BUMN, Petugas Bank Swasta Nasional dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan banyak yang dipicu dari lemahnya sistem perbankan baik itu dari Bank Indonesia maupun pada Penyedia Jasa Keuangan Bank sehingga para pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan pencucian uang antara lain lemahnya sistem perbankan dari Bank Indonesia, faktor Internal dari Penyedia Jasa Keuangan Bank, pengaruh kriminologis para pelaku kejahatan pencucian uang karena lemahnya penerapan prinsip dan mentalitas dari karyawan atau pegawai Bank, ketidakefektifan Skala usaha Bank, Ketidaksiapan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah dari Bank dan birokrasi politik yang turut campur di dalamnya menjadi Pengaruh kriminologis para pelaku kejahatan pencucian uang. Upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan yakni perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian meliputi: mengidentifikasi nasabah dan transaksi keuangan mencurigakan, melaksanakan kewajiban pelaporan kepada pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan, memberikan informasi dan segala keterangan kepada PPATK dalam rangka audit, memberikan keterangan rahasia bank kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim. Adapun saran yang diberikan penulis yaitu permasalahan yang muncul dari penyedia jasa keuangan bank dalam hal ini faktor internal penyedia jasa keuangan bank, tentunya akan mempengaruhi dan menjadikan faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan maka perlu untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kinerja di kalangan pengurus dan pegawai bank dalam upaya meminimalisir faktor kriminologis dan memberantas kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Kata Kunci: Kriminologis, Kejahatan, Pencucian Uang, Sistem Perbankan. IRWAN KISFRY Yamin2014-01-17T05:10:31Z2014-01-17T05:10:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/545This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5452014-01-17T05:10:31Z
PENYALAHGUNAAN PERIZINAN SENJATA API AIRSOFT GUN DITINJAU DARI PERATURAN KAPOLRI NO 8 TAHUN 2012 Menyalurkan kegemaran merupakan hak setiap individu, selama kegemaran
tersebut tidak merugikan atau membahayakan orang lain. Bahkan kegemaran yang terbilang unik seperti permainan airsoft gun. Airsoft gun sendiri merupakan sebuah replika senjata api dengan skala 1:1. Di Indonesia permainan airsoft gun mulai
berkembang dan populer sekitar tahun 1999. Berkembangnya permainan ini menjadi menjadi salah satu sebab munculnya penyalahgunaan perizinan airsoft gun yaitu membawa-bawa airsoft gun sebagai alat beladiri/alat penggaman, memiliki airsoft gun tanpa izin, berjualan airsoft gun tanpa memiliki izin dan penyalahgunaan
perizinan airsoft gun untuk melakukan tindak pidana. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah apa sajakah perbuatan yang dapat digolongkan sebagai penyalahgunaan perizinan airsoft gun dan bagaimana penegakan hukum dalam tindak pidana penyalahgunaan perizinan airsoft gun.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan data sekunder. Analisis yang digunakan analisis kualitatif, kemudian diambil kesimpulan secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis, di wilayah lampung berdasarkan data dirintelkam polda lampung sendiri tidak ada satupun izin yang dikeluarkan/diberikan terkait segala bentuk izin penggunaan/kepemilikan airsoft gun dan fungsi airsoft gun hanya untuk tujuan olahraga bukan dipergunakan untuk alat pengaman/beladiri. Penjualan airsoft gun telah diatur di dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2012 dimana pembelian airsoft gun harus dari importer resmi yang telah ditunjuk Kapolri. Airsoft gun tidak berizin dapat ditindak sebagaimana kepemilikan senjata api ilegal berdasarkan UU Drt No 12 Tahun1951. Penyalahgunaan airsoft gun sebagai alat tindak pidana dapat dipidana berdasarkan bentuk tindak pidana yang dilakukan menggunakan airsoft gun sesuai ketentuan KUHP dan dapat dilakukan penyitaan. Upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan perizinan airsoft gun lewat sarana penal dengan menggunakan ketentuan dalam UU Drt No 12 Tahun 1951, Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2012, KUHP. Upaya non penal dengan melakukan sosialisasi, pengawasan, pembinaan, dari kepolisian.
Maka saran yang dapat diberikan yaitu pihak kepolisian jangan ragu jika memang dibutuhkan penyitaan terkait kepemilikan airsoft gun yang tak berizin untuk menekan penyalahgunaan airsoft gun, kepolisian diharapkan dapat melakukan penertiban terhadap para penjual airsoft gun illegal dan masyarakat khususnya pengguna/pemilik airsoft gun maupun calon pengguna/pemilik airsoft gun diharapkan agar menggurus izin sesuai prosedur dalam peraturan Kapolri No 8 Tahun 2012 terkait penggunaan/kepemilikan senjata api olahraga airsoft gun.
Kata kunci : penyalahgunaan perizinan, senjata api airsoft gun, peraturan Kapolri RADEN PERMATA Sardan Raden Kemala2014-01-17T05:10:26Z2014-01-17T05:10:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/544This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5442014-01-17T05:10:26Z PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENIMBUNAN
PUPUK BERSUBSIDI (Studi Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)
Pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi harus dilakukan sesuai dengan dasar hukum, syarat dan prosedur yang berlaku, dan dilakukan secara bertahap mulai dari produsen, distributor, pengecer, hingga ke petani. Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan tindak pidana ekonomi yaitu pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Pemerintah menggolongkan pupuk bersubsidi ke dalam jenis barang yang dalam pengawasan pemerintah yaitu tertera pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan yaitu dengan peraturan Presiden ini, Pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 Tentang BarangBarang Pengawasan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi; (2) apakah faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif dilakukan melalui pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini, sedangkan yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek dan mengenai pelaksanaannya. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui melalui studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap penimbunan pupuk bersubsidi dilakukan dengan dua cara 1. Upaya preventif dengan cara lebih menitik beratkan pada kegiatan pengawasan untuk pencegahan terjadinya tindak pidana yaitu patroli dan monitoring. Tugas tersebut diberikan kepada badan eksekutif dan kepolisian serta pihak yang terkait dengan pengadaan pupuk selaku badan pengawasan terhadap pengadaan pupuk. 2 Upaya represif dilakukan dengan cara penindakan yang meliputi Pengusutan (penyelidikan dan penyidikan). Penindakan meliputi lembaga peradilan (Pro Justicia) dan tindakan tata tertib oleh pihak pengusut. Faktor penghambatnya adalah faktor undang-undang, yaitu istilah pada UUTPE banyak menggunakan bahasa asing sehingga membuat rancu, belum ada definisi pada UUTPE, berat barang, lama waktu menyimpan barang yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi, sanksi yang dikenakan masih terlalu ringan. Faktor aparat penegak hukum, personil yang khusus menangani tindak pidana ini sedikit. Faktor sarana dan fasilitas, kekurangan mobil patroli. Faktor masyarakat, kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan Faktor kebudayaan yaitu masyarakat menganggap polisi lah yang harus aktif dalam menegakkan hukum dalam tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi. Bagian akhir penulisan ini yang disarankan penulis adalah dari segi sosialisasi peraturan mengenai pupuk bersubsidi (preventif) harus lebih sering dilakukan serta penjatuhan sanksi dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1959 (represif). Pemerintah harus merevisi UUTPE, menambahkan peralatan yang lebih canggih dalam hal patroli, perlu adanya penyuluhan hukum oleh pemerintah terutama daerah terpencil yang mayoritas penduduknya petani, mengajak peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana sehingga kedepannya masyarakat lebih aktif. Kata kunci: Penimbunan, Pupuk Bersubsidi, Tindak Pidana Ekonomi NUR ASIANA SIREGAR (Alm) Agus Salim Siregar2014-01-17T05:10:19Z2014-01-17T05:10:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/541This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5412014-01-17T05:10:19ZANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI
(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA) Kejahatan korupsi dari tahun ketahun semakin meningkat drastis, bahkan dari beberapa kasus terdapat diantaranya yang melibatkan para pejabat dan para pengambil kebijakan ditingkat daerah maupun pusat, seperti tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten lampung timur. Dampak paling besar dari tindak pidana korupsi adalah terhambatnya pembangunan secara umum maka diperlukan pemberian sanksi pidana sebagai pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur tersebut.
Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, analisa data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa korupsi dana APBD lampung timur dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat(1) KUHP. Dalam sidang ditingkat kasasi, Hakim memutus bahwa terdakwa H.Satono SH.SP bin Darmo Susiswo telah melakukan tindak pidana korupsi dan terdakwa divonis pidana penjara selama lima belas (15) dengan pidana denda Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp.10.586.575.000 (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Terdakwa diperintahkan mengembalikan barang bukti dalam perkara lain atas nama Sugiharto Wiharjo als Alay. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana APBD lampung timur dalam kasasi dalam perkara Nomor : No.253 K/PID.SUS/2012/MA dengan mempertimbangkan pada pertimbangan yang bersifat yuridis dogmatis yaitu terdakwa telah melanggar Pasal 3 jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 sesuai Pasal 3 menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sifat melawan hukum terdakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materiil karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma yang hidup dimasyarakat, maka Perbuatan itu dapat dipidana.
Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui kalau perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai kesadaranya yang dimilikinya. Perbuatan terdakwa adalah dilakukan dengan adanya unsur kesengajaaan (Dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tidak ada alasan pemaaf atau pembenar (Culpa) yang dapat menghapuskan perbuatan pidana terdakwa.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka yang menjadi saran penulis adalah hendaknya para penegak hukum dapat bersinergi dalam penegakan tindak pidana korupsi, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi orang lain sehingga perbuatan tersebut tidak terulang kembali. Serta perlu ditingkatkan kerjasama terpadu dalam mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi tindak pidana korupsi.
Kata kunci : Tindak Pidana Korupsi, Dana APBD Lampung Timur Wajid Husni Lamuji2014-01-17T05:10:14Z2014-01-17T05:10:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/539This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5392014-01-17T05:10:14ZKOORDINASI POLISI KHUSUS KERETA API DAN PENYIDIK POLRI
DALAM TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI DALAM KERETA API Tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api merupakan masalah yang kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten. Salah satu lembaga yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api adalah Polisi Khusus Kereta Api. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) bagaimanakah koordinasi antara penyidik Polisi Khusus Kereta Api dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api. (2) apakah faktor-faktor penghambat dalam penyidikan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan masalah yuridis empiris. Responden penelitian adalah penyidik Polisi Khusus kereta api Tanjung Karang, pegawai stasiun kereta api dan penyidik Polri. Pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dan studi lapangan. Data di analisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan khusus dan kemudian di tarik suatu kesimpulan umum.
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan: (1) Koordinasi antara penyidik Polsuska dan penyidik Polri dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api kurang berjalan secara efesien. Untuk itu perlu diwujudkan adanya keseragaman, keselarasan dan keserasian sehingga tercipta kepastian hukum dan kelancaran pelaksanaan hubungan kerja masing-masing. Wujud dari koordinadi tersebut berupa : (a) Mengatur dan menuangkan lebih lanjut dalam keputusan dan instruksi bersama. (b) Mengadakan rapat-rapat berkala atau waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu (c) Menunjuk seseorang atau lebih pejabat dari masing-masing departemen atau instansi yang secara fungsional dianggap mampu sebagai penghubung (liasion officer). (d) menyelenggarakan pendidikan dan latihan dengan penekanan bidang penyidikan. (2) faktor-faktor penghambat dalam penyidikan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api adalah : (a) Faktor apara penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya personil penyidik Polsuska dan pengetahhuan tentang penyidikan, sedangkan jumlah tindak pidana ini cendrung mengalami peningkatan. (b) Faktor sarana dan prasarana, yaitu kurangnya perlengkapan oprasional, kantor sendiri dan sebagainya. (c) fakttor masyarakat, yaitu masih adanya rasa ketakutan atau keengganan masyarakat untuk terlibat atau menjadi saksi dalam proses penegakan hukum tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api (d) Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyrakat, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apa yang terjadi dalam tindak pidana di dalam kereta api.
Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Hendaknya dioptimalkan kerjasama dan koordinasi antara penyidik Polsuska dan penyidik Polri dengan lintas sektoral terkait dalam pengawasan dan pencegahan tindak pidana yang terjadi di dalam kereta api. (2) Perlunya peningkatan kembali kemampuan, pengetahuan dan keterampilan dalam teknis penyidikan oleh polsuska dibidang perkeretaapian, baik dalam hal peraturan perundang-undangan maupun teknis penyidikannya juha tersedianya sarana dan prasarana untuk melaksanakan tugas dan peranannya baik mobilitas maupun perlengkapan oprasional lainnya.
Kata kunci : Polisi khusus kereta api, Polri, tindak pidana CHANDRA RIZKI .Oktoviadi muchtar 2014-01-17T05:10:08Z2014-01-17T05:10:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/537This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5372014-01-17T05:10:08ZEKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Hubungan KPK dangan Kepolisian dan Kejaksaan bersifat partnership yaitu
KPK sebagai penunjang kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sampai tahun 2002 Indonesia masih mengenal Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan lembaga penegak hukum yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana untuk memberantas tindak pidana di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Eksistensi KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Bagaimanakah Kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pendekatan masalah yang digunakan, Pendekatan yuridis normative dan pendekatan yuridis empris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap penyidik Kepolisian Polda Lampung dan Kasi Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil Penelitian dan Pembahasan bahwa Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dapat dilihat dari adanya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai Lembaga Negara KPK berada diluar Criminal Justice System, namun KPK diatur secara Korelasi yang dilandasi oleh Undang-Undang, dapat dilihat dari cara kerjanyatanya KPK selalu berkolerasi dengan Instansi-Instansi didalam Criminal Justice Syste. Kewenangan supervise oleh KPK juga dimaksudkan untuk meminimalisir penyalah gunaan kewenangan polisi dan jaksa dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana krupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap melakukan pemberantasan korupsi tanpa terganggu ada nya isu - isu diluar yang menyudutkan kewenangan KPK. Adapun saran yang diberikan oleh penulis : Baiknya Kepolisian dan Kejaksaan lebih untuk melakukan kerjasama dan membudayakan harmonisasi antara ketiga Lembaga Negara yang ditunjuk secara khusus. dalam menangani pidana khusus korupsi. Sebaiknya menjalankan tugas yang sudah diatur oleh Undang-Undang dan saling mendukung dan lebih bekerja sebagai sebuah Lembaga Negara bukan sebagai pribadi yang memiliki “ego” masing-masing ditiap Lembaga yang di pimpin masing-masing Kepala Lembaga Pemerintahan. yang harus lebih ditekankan adalah KPK harus tetap melakukan pemberantasan korupsi tanpa terganggu adanya isu-isu diluar yang menyudutkan kewenangan KPK, KPK harus berani memperbarui kesepakatan untuk benar-benar dan sepenuhnya bekerja untuk Indonesia yang bersih dari kepentingan politikdan KPK harus menjadikan semua kasus yang tengah dikerjakan sebagai momentum untuk pembuktian dan diselesaikan dengan tepat, capat dan pasti untuk mengembalikan citra KPK dimata masyarakat.
Kata Kunci :Komisi Pemberantasan Korupsi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia MITTA DESSYANA Napoleon Sampurna Jaya2014-01-17T05:10:01Z2014-01-17T05:10:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/534This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5342014-01-17T05:10:01Z DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PERKELAHIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi di Polresta Bandar Lampung)
Oleh Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan antara sesama anak saat ini sering kali terjadi, bentuknya dapat berupa perkelahian. Perkelahian ini tidak jarang mengakibatkan luka-luka baik bagi korban maupun pelakunya sendiri. Penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa pelaku penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Penganiayaan yang dilakukan oleh sesama anak yang terkategorikan penganiayaan ringan sebenarnya dapat diterapkan diskresi di tingkat kepolisian, sehingga proses hukumnya tidak sampai di tingkat pengadilan. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung? b) Apakah faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung? Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi lapangan dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: a) Diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung diterapkan karena tindak pidana tersebut tergolong dalam tindak pidana ringan yang ancaman pidananya kurang dari 7 (tujuh) tahun penjara, serta karena dilakukan oleh anak maka ancaman pidananya hanya ½ dari ancaman untuk pelaku yang telah dewasa. Selain itu, dasar pertimbangan yang dilakukan oleh kepolisian dalam mengambil langkah diskresi atas perkara penganiayaan ini yaitu kepentingan bagi para pihak yang masih berstatus anak dan pelajar, karena apabila proses hukum ini tetap dilakukan akan merusak masa depan dari para pihak yang masih berstatus pelajar. b) Faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap
tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung adalah faktor hukumnya sendiri, yaitu penerapan diskresi kepolisian saat ini berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 2. Faktor penegak hukum, yaitu telah adanya ketentuan hukum pelaksanaan mengenai diskresi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempermudah aparat kepolisian dapat melaksanakan diskresi secara efektif; 3. Faktor masyarakat, yaitu penerapan diskresi ini tidak terlepas dari faktor masyarakat atau lebih khusus pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Khusus untuk tindak pidana penganiayaan ringan yang dilakukan anak, penerapan diskresi akan mudah dilakukan apabila pihak-pihak yang berperkara sepakat berdamai dan tidak melanjutkan perkara tersebut ke tahap selanjutnya. Adapun saran yang diajukan peneliti, yaitu sebaiknya penerapan diskresi dapat dilakukan dengan lebih optimal oleh kepolisian agar tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan tergolong ringan tidak mudah untuk sampai diproses atau diselesaikan di tingkat pengadilan dan sebaiknya pemerintah dapat membuat aturan pelaksanaan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang dilakukan oleh anak yang dapat diterapkan diskresi, sehingga kepolisian sebagai aparat penagak hukum pertama yang memiliki kewenangan memproses tindak pidana tersebut memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan untuk menerapkan diskresi. Kata kunci: diskresi, tindak pidana, tindak pidana perkelahian dan anak Hety Novita Sari Hanan 2014-01-17T05:09:55Z2014-01-17T05:09:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/532This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5322014-01-17T05:09:55ZANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANATERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN
(STUDI PUTUSAN NOMOR : 237/PID.SUS /2013/PN.TK)
Perkara tindak pidana perikanan atas nama terdakwa MISNI BIN SAMIRAN telah diputuskan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan putusan pidana nomor:237/PID.SUS/2013/PN.TK. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah menjatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara, dan denda Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah) serta mengembalikan 1 (satu) unit kapal kayu merk KM. Indosiar warna coklat bermesin Mitsubishi 7 (tujuh) grostone. Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Permasalahan yang dibahas adalah Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perikanan dan Dasar Pertimbangan dalam menjatuhkan putusan tindak pidana perikanan. Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris yang dimaksudkan untuk memperoleh jawaban serta gambaran yang jelas terhadap permasalahan dalam skripsi ini. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan metode pengambilan sampel secara purpose sampling. Populasi dalam peneltian ini adalah 1 (satu) orang Penyidik Pol Air Polda Lampung, 1 (satu) orang Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 1 (satu) orang Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan 1 (satu) orang Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: pertama Pertanggungjawaban Pidana pelaku tindak pidana perikanan telah terbukti melanggar Pasal 85 UndangUndang Nomor 45 tahun 2009 jo pasal 55 ayat (1) KUHP maka majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara dan denda Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah) terhadap pelaku tindak pidana perikanan. Putusan Hakim tersebut dipandang belum memenuhi rasa keadilan karena masih terlalu ringan dari tuntutan yang diberikan oleh penuntut Umum. Kedua, dasar pertimbangan hakim melihat dari: (1). Latar belakang dan motivasi dilakukannya tindak pidana dan motif dari tindak pidana yang dilakukan (2) Pengaruh pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku sudah cukup membuat pelaku jera. (3). Sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana, dan (4). Pelaku bersikap baik selama persidangan berlangsung. Selain itu, pertimbangan hakim berdasarkan 3 hal yaitu :(a) Aspek yuridis (kepastian hukum), (b) aspek sosiologis (kemanfaatan), (c) Aspek filosofis (keadilan). Disarankan kepada pelaku tindak pidana perikanan agar tidak mengulang lagi tindak pidana perikanan, setiap putusan hakim harus menyampaikan dasar-dasar pertimbangan terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata kunci : putusan tindak pidana perikanan terhadap pelaku tindak pidana perikanan an. Terdakwa Misni Bin Samiran MUHAMMAD GRIBALDY alm. Aidil fitri 2014-01-17T05:09:49Z2014-01-17T05:09:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/530This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5302014-01-17T05:09:49Z
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TIMBULNYA PREMANISME DI BANDARLAMPUNG
(Studi Kasus Wilayah Hukum Polresta Bandarlampung)
Kepolisian Resort Kota Bandarlampung melakukan razia dengan sebanyak 51 preman terjaring razia yang digelar Polres Bandarlampung, operasi kali ini berdasarkan aduan masyarakat yang resah terhadap keberadaan para preman kerap melakukan pemerasan terhadap masyarakat di sejumlah fasilitas umum wilayah Bandarlampung. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu. a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung, b) Bagaimanakah upaya Polri dalam Menanggulangi premanisme di Bandarlampung,c) Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari: a) bahan hukum primer, b) bahan hukum sekunder, c) bahan hukum tersier. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hasil penelitian penulis: a)Faktor yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung: 1.Faktor internal (Ekonomi,Pendidikan,Latar belakang individu), 2.Faktor eksternal (Lingkungan dan Pergaulan). b)Upaya Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung dengan menggunakan sarana Penal dan Non Penal, yaitu Penal dengan cara pengajuan di persidangan pengadilan dan Non penal dengan upaya preventif berupa penyuluhan rehabilitasi dan represif berupa razia. c)Faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung antara lain faktor hukum, faktor sarana pendukung, faktor SDM penegak hukum, faktor Kebudayaan dan masyarakat. Saran dalam penelitian ini yang dapat disampaikan yaitu: a) Kepolisian dan pemerintah dalam upaya menanggulangi timbulnya premanisme di adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan serta giat melakukan kegiatan penyuluhan, b) Kepolisian seharusnya saat ini sudah mempunyai penanganan khusus seperti melakukan razia secara berkala selanjutnya untuk dapat dibina dengan memberi keterampilan dan bersama instansi terkait diberikan lapangan pekerjaan agar terjadi perubahan sosial serta perubahan gaya hidup c) Kepolisian turut serta meningkatkan kualitas dan jumlah personil Kepolisian dalam menangani suatu tindak pidana oleh premanisme, karena dalam hal ini Kepolisian dituntut untuk mengetahui ilmu lain dalam penanggulangan Premanisme khususnya di Bandarlampung
Kata Kunci: Kriminologis, Upaya polri, Premanisme Munadi Afrizal k Hasan Basri2014-01-17T05:09:44Z2014-01-17T05:09:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/528This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5282014-01-17T05:09:44ZPERANAN INTEKAM POLRI DALAM MENGANTISIPASI KONFLIK SOSIAL
(STUDI DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG) Masyarakat yang merupakan elemen dasar dalam terbentuknya suatu Negara haruslah saling bersatu. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi. Interaksi antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama tersebut pada akhirnya melahirkan kebudayaan. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sementara kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Melalui kebudayaan, manusia menciptakan tatanan kehidupan yang ideal di muka bumi. Apabila interaksi antar masyarakat mengalami suatu gesekan ataupun pertentangan, tentunya hal ini dapat menyebabkan konflik sosial. Konflik sosial dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu perbedaan pemikiran, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan kelompok, perubahan nilai sosial yang cepat dalam masyarakat, dan kesenjangan sosial yang ada. Intelkam POLRI yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi perubahan dinamika sosial masyarakat yang berkembang harus sangat jeli dan peka. Hal ini untuk mengantisipasi terjadi Konflik Sosial di dalam masyarakat. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini dengan mengajukan dua permasalahan, yaitu bagaimanakah peranan Intelkam POLRI dalam mengantisipasi Konflik Sosial dan apa sajakah faktor-faktor penghambat Intelkam POLRI dalam mengantisipasi Konflik Sosial.
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu diperoleh dari wawancara dan perundang-undangan, data sekunder adalah data-data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, karya-karya ilmiah dan hasil penelitian pakar sesuai dengan obyek pembahasan penelitian, dan data tersier antara lain berupa bahan-bahan yanng dapat menunjang bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis maka peranan Intelkam POLRI dalam mengantisipasi konflik sosial adalah dengan memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian konflik secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun sistem peringatan dini. Sistem penyelesaian masalah di tingkat terendah masyarakat pun dilakukan dengan Rembuk Pekon atau penyelesaian masalah secara musyawarah untuk mufakat tanpa harus dilakukannya proses hukum berupa litigasi, hal ini juga mencegah terjadi konflik sosial yang beralaskan balas dendam apabila salah satu pihak diproses secara hukum yang berlaku. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Intelkam POLRI juga mendapat beberapa faktor penghambat yaitu faktor kurangnya personil, kurang memadainya sarana dan prasarana, serta kurangnya pendanaan guna menunjang kinerja intelkam.
Penulis juga menyarankan agar proes pendekatan POLRI kepada masyarakat harus dilakukan secara emosional serta diutamakannya proses Rembuk Pekon dalam setiap penyelesaian masalah di masyarakat. Untuk memaksimalkan tugas dan fungsi Intelkam POLRI dalam mengantisipasi konflik sosial, maka faktorfaktor penghambat haruslah dihilangkan atau diminimalisir secara cepat.
Kata Kunci : Peranan, Intelkam, POLRI, Konflik Sosial
Daniel Marbun D. Marbun2014-01-17T05:09:38Z2014-01-17T05:09:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/526This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5262014-01-17T05:09:38Z
PENENTUAN LOCUS DAN TEMPUS DELICTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN
KARTU KREDIT ONLINE (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)
Penyalahgunaan kartu kredit bukan merupakan tindak pidana biasa, kharakteristik tindak pidana kartu kredit bersifat tidak kasat mata, dilakukan secara sangat kompleks, terdapat ketidakjelasan korban, memanfaatkan peraturan hukum yang tidak jelas atau samar. Inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam perumusan locus dan tempus delicti pada tindak pidana kartu kredit. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online dan apakah hambatan-hambatannya. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online yaitu dengan menggunakan tolak ukur tempat dan waktu saat kejahatan penyalahgunaan kartu kredit itu dilakukan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Penentuan tempat tindak pidana dilakukan dengan melihat saat pelaku melakukan akses atau membuka jaringan internet pada atau di komputer untuk pertama kalinya, sehingga akan diketahui berapa nomor IP Address yang digunakan pelaku. Sedangkan dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, maka penyidik mengacu pada log file, dari log file tersebut dapat terlihat waktu ketika pelaku melakukan tindak pidana. Hambatanhambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online adalah pertama, masih kurangnya jumlah aparat yang paham mengenai teknologi informasi dan tidak adanya peraturan tentang cybercrime. Kedua, belum adanya komputer forensik di Indonesia yang digunakan untuk melacak keberadaan tempat dan waktu dari kejahatan mayantara (cybercrime). Sebaiknya pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana untuk memberikan pengetahuan para aparat penegak hukum, agar dapat menemukan langkah-langkah tepat untuk menanggulangi kejahatan di internet agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal. Kata Kunci: Locus, Tempus Delicti, Penyalahgunaan Kartu Kredit Tommy Krenz Husin Sanusi 2014-01-17T05:09:32Z2014-01-17T05:09:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/525This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5252014-01-17T05:09:32ZANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31
TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Masalah korupsi cukup mengkhawatirkan karena dapat melemahkan sistem kehidupan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Tindakan korupsi dimasukkan dalam kategori tindakan pidana yang sangat besar dan merugikan bangsa dan negara dalam suatu wilayah. Untuk mencegah meningkatnya pelaku korupsi dibentuklah undangundang korupsi dan sistem peradilannya dengan hukuman terberat yaitu ancaman hukuman mati. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK), akan tetapi masih terdapat banyak kelemahan dalam pasal ini yang membuat sanksi pidana mati tidak pernah diterpakan. Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data adalah data primer yang menggunakan metode wawancara dan data sekunder di peroleh dari hasil kepustakaan, responden dan penelitian di lakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Muara Enim, dengan sample satu orang hakim, dan Kejaksaan Negeri Muara Enim terdiri dari 2 orang Jaksa. Data yang dipeoleh dengan cara editing, interprestasi dan sistematika data. Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dan hasil yang
didapatkan adalah sebagai berikut, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yang hanya terbatas pada Keadaan Tertentu seperti dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan. Untuk pengulangan tindak pidana (recidive) khususnya untuk Tindak Pidana Korupsi tidak bisa dikenakan dengan ketentuan recidive dalam KUHP, karena belum memiliki kriteria pengulangan tindak pidana (recidive) yang seperti apa agar bisa dikenakan sanksi pidana mati. Untuk pengulangan tindak pidana (recidive) masih belum memiliki kualifikasi dasar hukum yang baik. Berdasarkan penjabaran diatas. kesimpulan dalam penelitian ini adalah tentang keadaan tertentu dan masih terdapat banyak faktor yang membuat sulitnya diberlakukan sanksi pidana mati seperti : belum adanya standard berapa besar kerugian Negara yang bisa dikenakan sanksi pidana mati, banyaknya hal-hal yang meringankan tersangka korupsi, dan pengulangan tindak pidana yang belum jelas kriterianya seperti apa untuk bisa dikenakan sanksi pidana mati. Saran yang dapat diberikan penulis dalam penelitian ini disarankan untuk memperbaiki struktur formulasi isi dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, mulai dari menambahkan standard dana kerugian Negara dan kualifikasi tentang pengulangan Tindak Pidana (recidive) harus lebih jelas, agar pemberlakuan sanksi pidana mati dapat diberlakukan secara maksimal. Kata Kunci: tindak pidana korupsi, sanksi pidana mati Omen Seftyan Yudiono 2014-01-17T05:09:26Z2014-01-17T05:09:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/523This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5232014-01-17T05:09:26Z
DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Pada Polresta Bandar Lampung)
Penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia bertumpu pada ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dari beberapa penelitian tentang pelaksanaan peradilan pidana anak terdapat fakta bahwa proses pengadilan pidana bagi anak menimbulkan dampak negatif pada anak. Untuk menghindari efek negatif proses peradilan pidana terhadap anak ini, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, mencanangkan salah satu program yang disebut diversi. Sehubungan dengan adanya konsep diversi, apakah konsep diversi relevan untuk diimplementasikan dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan diversi pada proses penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan apakah hambatan-hambatan dalam pelaksanaan diversi pada proses penyidikan dalam upaya perlindungan anak. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana antara lain dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangkan anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan. Tujuan dari pelaksanaan diversi adalah bahwa anak berhadapan dengan hukum dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara psikologis dan pembauran lagi didalam Ardinata Munthe .2014-01-17T05:09:14Z2014-01-17T05:09:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/518This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5182014-01-17T05:09:14ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK Tindak pidana pencabulan terhadap anak merupakan kejahatan yang melanggara moral, susila dan agama. Dampak tindak pidana ini terhadap anak adalah menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? (2) Apakah perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah dapat memenuhi kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Responden penelitian adalah Kasubnit I Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung, Assisten Tindak Pidana Umum Kejakasaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Staf Unit Rehabilitasi Anak Korban Kekerasan Seksual RSUD Abdoel Moelok Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak menunjukkan bahwa pemberlakuan undang-undang ini memberikan perlindungan secara komprehensif atau menyeluruh terhadap anak yang menjadi korban pencabulan, baik dari aspek ancaman pidana terhadap pelaku, perlindungan atas perlakuan diskriminasi maupun perlindungan atas proses hukum. (2) Perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002 memenuhi kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana karena mengacu pada perlindungan yang menyeluruh kepada anak korban pencabulan serta memenuhi hak-hak anak dalam proses penegakan hukum serta memberikan rehabilitasi kepada anak, baik secara medis atau secara psikis. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan mulai dari tingkat kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan di tingkat kepolisian dilakukan dengan melaksanakan penyidikan, di Tingkat Kejaksaan dilakukan dengan melakukan penuntutan terhadap tersangka dan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri beserta surat dakwaan dan di Tingkat Pengadilan Negeri, dilakukan dengan proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku pencabulan terhadap anak. Hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana pencabulan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum disarankan untuk lebih intens dalam menangani masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan sosialiasi dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan, dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah, tentang pentingnya perlindungan hukum kepada anak. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat luas mengetahui adanya perlindungan hukum kepada anak dan mereka mengetahui langkah-langkah apa yang semestinya dilakukan ketika anak-anak mereka dilecehkan secara seksual. (2) Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mengancam anak-anak. Kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya semakin intensif melakukan pembinaan kepada warga masyarakat untuk dapat meminimalisasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan masyarakat setempat. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Pencabulan NOVI PUSPASARI RS Benny Santoso2014-01-17T05:08:27Z2014-01-17T05:08:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/511This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5112014-01-17T05:08:27Z
ANALISIS YURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA Praktik mafia hukum di Indonesia telah berlangsung lama dan dilakukan dengan berbagai modus operandi yang semakin hari semakin canggih. Untuk itu penting melakukan penelitian guna memetakan penyebab mafia hukum di berbagai institusi penegak hukum serta akar permasalahan yang membuat praktik tersebut dapat tumbuh subur. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah penyebab terjadinya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana, bagaimanakah upaya penanggulangan dan faktor-faktor yang menghambat upaya mafia peradilan dalam peradilan perkara pidana. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penyebab terjadinya Mafia Peradilan dalam peradilan perkara pidana antara lain adalah Kekuasaan penyidikan, Kekusaan penuntutan, Kekuasaan mengadili. Pada tahap penyidikan Mafia peradilan menggunakan modus menjanjikan kepada tersangka bahwa ia dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal ringan dalam menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh terperiksa. Pada tahap penuntutan, didalam proses ini modus operandi Mafia Peradilan adalah berkonspirasi dengan oknum jaksa untuk tidak menuntut pasal-pasal yang memberatkan, tidak menuntut hukuman maksimal. Pada tahap peradilan Mafia Peradilan melobi hakim dengan cara mengajak oknum hakim tersebut ke tempat yang telah disepakati guna membahas nasib terdakwa yang sedang diproses dipengadilan, karena putusan hakim merupakan tahap terakhir dalam proses peradilan. Upaya penanggulangan Mafia Peradilan dalam peradilan perkara pidana dilakukan dengan menciptakan birokrasi yang membentengi timbulnya Mafia Peradilan, mengembangkan substansi penegak hukum yang bermoral dan menggagas budaya hukum, dan membangun partisipasi masyarakat dalam membrantas Mafia Peradilan. Faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan Mafia Peradilan dalam peradilan perkara pidana dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Perbedaan persepsi antara sesama penegak hukum dapat menimbulkan kekacauan dalam upaya mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana yang disebabkan persaingan antara sesama penegak hukum. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong lahirnya agen perubahan di lembaga penegak hukum dan peradilan, yakni dengan memastikan orang-orang di posis-posis kunci adalah mereka yang memiliki integritas tinggi, memiliki komitmen serta kemampuan untuk mendorong perubahan. Kata Kunci: Penanggulangan, Mafia Peradilan, Perkara Pidana Irhamy Tauhid Tauhid2014-01-17T03:48:34Z2014-01-17T03:48:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/524This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5242014-01-17T03:48:34ZANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAKUpaya untuk mengoptimalkan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kendala yang dihadapi adalah masih adanya perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, yang sama seperti pelaku tindak pidana dewasa seperti dalam proses penyidikan maupun dalam penempatan pada lembaga pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? (2) Apakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sudah dapat mengakomodir pidana anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan selanjutnya data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman, usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah, penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana; tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara; belum adanya pengaturan Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum; belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif; tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal dan penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. Sementara itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun
Zahara Alfiria
2012 diberlakukan dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.(2) Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan serta adanya pemberlakuan diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Proses Penegakan hukum disarankan lebih mempertimbangkan dan mengedepankan pelaksanakan diversi dalam menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan terhadap anak yang berorientasi pada upaya pembinaan agar mereka tidak lagi melakukan kesalahan atau tindak pidana pada masa-masa yang akan datang. (2) Peradilan terhadap anak disarankan agar ditangani oleh aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana dewasa. Juga disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukumZAHARA ALFIRIA Ali2014-01-17T03:42:07Z2014-01-17T03:42:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/522This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5222014-01-17T03:42:07ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERI KETERANGAN PALSU DALAM PEMBUATAN
AKTA OTENTIK
(Studi Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK)Akta otentik berupa sertifikat tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, tetapi masalahnya adalah di dalam akta otentik tersebut terdapat peluang tindak pidana yaitu pemberian keterangan palsu. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik pada Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap sebagai pelaku tindak pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 885/Pid/B/2011/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Drs. Abas Yusuf Bin Yusuf yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana penjara selama enam bulan penjara. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melakukan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik dilarang oleh undang-undang, tetapi ia tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan. (2) Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana tindak pemberi keterangan palsu dalam pembuatan akta otentik dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 885/Pid/B/2011/PN.TK adalah yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa melanggar hak milik orang lain, merugikan orang lain,
Yuridhani Rahman
mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kejahatan yang dilakukannya serta merugikan korban, dan menimbulkan keresahan pada masyarakat sebagai akibat dari perbuatannya. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum hendaknya bekerja lebih maksimal dalam jaringan sistem peradilan pidana terhadap pelaku pemberian keterangan palsu dalam akta otentik berupa serifikat tanahuntuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini penting dilakukan sebab pemberian keterangan palsu dalam akta otentik berupa serifikat tanah ini merugikan orang lain dan melawan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana maupun undang-undang bidang pertanahan. (2) Para petugas BPN sebagai instansi yang berwenang, dalam hal penerbitan sertifikat hak-hak atas tanah, juga perlu terlebih dahulu memeriksa rekaman data fisik dan data yuridis dalam buku tanah, supaya penerbitan sertifikat tidak tumpang tindih atau terdapat dua sertifikat atau lebih di atas satu bidang tanah.YURIDHANI RAHMAN Arpansyah2014-01-17T03:38:19Z2014-01-17T03:42:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/519This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/5192014-01-17T03:38:19ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI
PERSYARATAN UMUR
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia harus dilaksanakan secara optimal, sebab jika tidak TKI dapat berpotensi dijadikan sebagai obyek perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK dilaksanakan dalam wujud pemidanaan, yaitu majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ismail dengan pidana penjara selama 1 tahun, karena secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur. Pertanggungjawaban pidana tersebut merupakan suatu mekanisme dalam peradilan pidana, yang menunjukkan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, karena memenuhi unsur kesengajaan, memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab serta tidak ada alasan pembenar atau pemaaf bagi pelaku untuk terlepas dari hukuman sebagai akibat tindak pidana perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur.
Yoga Pratama
2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK adalah didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan keadilan, sehingga hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 1 tahun kepada pelaku tindak pidana perekrutan terhadap TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, membebaskan rasa bersalah pada terdakwa dan memenuhi aspek keadilan bagi pelaku, korban maupun bagi masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana dalam bentuk pemidanaan pelaku tindak pidana perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur hendaknya dilaksanakan secara optimal dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan agar tidak terjadi lagi perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur pada masa mendatang. (2) Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan/ pedalaman sehingga mereka memiliki pemahaman mengenai syarat untuk menjadi TKI dan tidak mudah tertipu oleh agen atau sponsor dari perusahaan perekrutan TKI yang banyak mencari calon TKI di desa-desa.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Perekrutan TKIYOGA PRATAMA Heri