Digital Library: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T10:56:42ZEPrintshttp://digilib.unila.ac.id/images/sitelogo.pnghttp://digilib.unila.ac.id/2024-03-01T02:20:29Z2024-03-01T02:20:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79603This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/796032024-03-01T02:20:29ZANALISIS PERAN JAKSA DALAM PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE PADA PENYELESAIAN PERKARA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Pada Kejaksaan Tinggi Lampung)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) meskipun telah memilik aturannya
tersendiri, Jaksa sebagai penuntut dapat mengupayakan alternatif penyelesaian
yaitu melalui keadilan restoratif. Dalam penelitian ini tindak pidana KDRT yang
dilakukan adalah Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004. Kejaksaan
melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif karena telah
terpenuhinya beberapa persyaratan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah peran jaksa dalam penerapan restorative justice terhadap
penyelesaian perkara KDRT dan apakah faktor penghambat peran jaksa dalam
penerapan restorative justice pada perkara KDRT.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris,
dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan ditunjang dengan
pendekatan lapangan berupa perolehan tambahan informasi serta opini penegak
hukum terkait. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Jaksa Penuntut Umum
dan Akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa Peran
Normatif jaksa adalah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021
tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan penerapan restorative justice bagi jaksa
telah tercantum dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peran faktual jaksa
adalah menjalankan fungsi dan wewenangnya seperti melakukan penyidikan,
memeriksa saksi-saksi, dan memutuskan apa hukuman yang tepat dalam suatu
perkara. peran idealnya jaksa dapat menanggulangi suatu perkara tindak pidana
sesuai dengan kedudukan serta sistem hukumnya sehingga jaksa dapat menangani
suatu perkara yang ada diwilayah hukumnya dengan baik. Berjalannya restorative
justice juga harus memenuhi persyaratan seperti tersangka yang baru pertama kali melakukan tindak pidana dan tindak pidana hanya diancam tidak lebih dari 5 tahun.
Dalam penelitian ini hambatan yang ditemui jaksa berasal dari faktor masyarakat
itu sendiri, karena baik korban maupun pelaku tidak benar-benar memahami itu
restorative justice dan bagaimana proses penerapannya, sehingga jaksa dituntut
untuk lebih sabar dan memberikan pengertian lebih mengenai proses pelaksanaan
restorative justice itu sendiri. Selain ada faktor-faktor lain yang dapat menghambat
jaksa, yaitu faktor hukum dimana belum ada aturan khusus mengenai restorative
justice pada KDRT, dari segi penegak hukum hambatan yang sering dijumpai
adalah keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain,
terutama pada KDRT yang bertujuan mendamaikan kembali hubungan keluarga.
Kemudian dari faktor Sarana dan fasilitas hambatan yang sering dijumpai berupa
peralatan yang kurang memadai. Sedangkan dari faktor kebudayaan yang terkadang
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, namun tentunya
masyarakat harus senantiasa berperan dalam perkembangan hukum untuk menjaga
nilai ketertiban dan ketenteraman di masyarakat. Faktor-faktor tersebut saling
berkaitan erat satu sama lain karena menjadi hal pokok dalam proses penyelesaian
perkara KDRT maupun dalam penegakan hukum lainnya.
Saran dari penelitian ini adalah membangun persepsi yang sama dalam penanganan
KDRT melalui Restorative Justice, maka Pemerintah diharapkan dapat membuat
suatu aturan atau regulasi yang dapat dijadikan pedoman bagi aparat penegak
hukum dalam proses penyelesaian KDRT melalui restorative justice. Pemerintah
melalui aparat penegak hukum juga perlu untuk lebih mensosialisasikan tentang
pentingnya edukasi mengenai KDRT terutama untuk calon pasangan suami istri,
Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya KDRT. Kejaksaan juga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas aparat penegak hukumnya sehingga jaksa
dapat menegakkan keadilan yang seadil-adilnya.
Kata Kunci : Peran Jaksa, Restorative Justice, Kekerasan Dalam Rumah
TanggaUtama Hardiansyah19120111332024-02-28T07:07:35Z2024-02-28T07:07:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79582This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/795822024-02-28T07:07:35ZTINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAKU KEJAHATAN PEMBUNUHAN BERENCANA AKIBAT HARTA WARISAN (Studi Kasus di Kepolisian Resor Way Kanan) Tindak pidana pembunuhan berencana merupakan tindak pidana materiil. Pembunuhan berencana sudah diatur dalam KUHP yaitu Pasal 340. Pembunuhan berencana terjadi karena diawali dengan rencana terlebih dahulu sebelum pembunuhan yang menjadi dasar terjadinya perbuatan pembunuhan berencana sehingga terdapat suatu permasalahan yang cukup serius yang terjadi sehingga pelaku tega melakukan perbuatan tersebut yang mengakibatkan hilangnya nyawa keluarganya sendiri yang kemudian menjadi suatu permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah faktor yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatan pembunuhan berencana akibat harta warisan dan bagaimanakah upaya penanggulangan oleh aparat kepolisian terhadap pelaku kejahatan pembunuhan berencana akibat harta warisan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Dengan melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan yaitu melakukan wawancara oleh dengan narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan narasumber yang terdiri dari Penyidik pada Kepolisian Resor Way Kanan, Dosen Ahli Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung, dan dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data penelitian dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang menunjukkan bahwa Faktor- faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan pembunuhan berencana akibat harta warisan bersumber dari faktor internal yaitu faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, dan psikologis diri individu, sehingga menjadikan pelaku tidak bisa berfikir rasional atas tindakan yang akan dilakukan hingga menyebabkan kematian keluarganya sendiri. Adapun faktor eksternalnya yaitu faktor dari luar diri pelaku seperti faktor lingkungan dalam hal ini erat kaitanya dengan tempat keluarga pelaku tinggal, permasalahan ekonomi yang tidak setabil. Selain itu, terdapat faktor lainnya yaitu faktor pengaruh alkohol, faktor perkembangan teknologi, film dan faktor kesalahpahaman sehingga adanya perilaku menyimpang dan komunikasi yang kurang baik akibat adanya penggunaan teknologi yang tidak dibarengi dengan nilai- nilai dan kaidah agama.
Kemudian, upaya penanggulangan yang dilakukan kepolisian terhadap kejahatan pembunuhan berencana akibat harta warisan dilakukan dengan sarana non-penal atau preventif dengan melakukan sosialisasi atau penyuluhan hukum tentang jenis tindak pidana atau kejahatan berikut sanksinya dan melakukan kegiatan patroli secara rutin oleh pihak kepolisian guna mencegah terjadinya suatu kejahatan. Sedangkan upaya penanggulangan secara penal atau represif yaitu dengan memberikan serta menegakkan hukum secara tegas sesuai peraturan yang ada agar membuat efek jera bagi pelaku.
Berkaitan dengan persoalan diatas, maka penulis membuat kesimpulan berupa saran terhadap aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian dalam meminimalisir suatu kejahatan pembunuhan berencana harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta dalam menjatuhkan pidana atau vonis pada suatu kejahatan harus memberikan hukuman yang setimpal agar memberikan efek jera kepada pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan tersebut. Aparat penegak hukum juga dapat meningkatkan kegiatan penyuluhan secara rutin guna memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahayanya suatu kejahatan. Tak hanya itu, pemerintah juga harus berada di garda terdepan dalam penegakan hukum untuk memberikan harapan kepada masyarakat atas kepastian hukum.
Kunci: Tinjauan Kriminologis, Pembunuhan Berencana, Harta Warisan.
Pandu Winata Saputra Try 20520110172024-02-28T03:13:10Z2024-02-28T03:13:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79575This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/795752024-02-28T03:13:10ZPERAN UNDERCOVER BUY DALAM PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH PIHAK KEPOLISIAN (Studi di Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung) Pembelian terselubung (undercover buy) menjadi salah satu upaya kepolisian dalam mengungkap tindak pidana narkotika di Indonesia. Pembelian terselubung (undercover buy) diatur dalam Pasal 75 huruf (j) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dan Peraturan Kepala Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standar Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana. Dalam pelaksanaan operasinya diperlukan koordinasi antara penegak hukum dan masyarakat selaku informan. Upaya pembelian terselebung (undercover buy) diharapkan dapat memberantas tindak pidana narkotika guna melahirkan generasi penerus bangsa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana peran Ditresnarkoba Polda Lampung dalam melaksanakan undercover buy dalam penangkapan pelaku tindak pidana narkotika?
2) Apa saja faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pembelian terselubung atau undercover buy?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan melalui wawancara dengan narasumber yang terdiri dari informan Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung dan Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung yang menjadi penyidik dalam penanganan tindak pidana narkotika. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya pembelian terselubung (undercover buy) sudah efektif pelaksanaannya sehingga dapat memutus beberapa jaringan gelap narkotika, namun masih perlu ditingkatkan lagi. Ditemukan adanya kendala dalam pelaksanaan upaya pembelian terselubung (undercover buy) mulai dari
rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan penyalahgunaan narkotika di sekitar mereka, minimnya sumber daya manusia yang mahir dalam pelaksanaan pembelian terselubung, minimnya sarana dan fasilitas untuk menunjang pelaksanaan secara maksimal, serta minimnya anggaran yang secara khusus dialokasikan pada upaya tersebut sehingga pelaksanaan pembelian terselubung belum sepenuhnya optimal meskipun sudah berjalan dengan efektif dan sudah mencapai target yang diharapkan.
Kata Kunci: Pembelian Terselubung, upaya kepolisian, tindak pidana narkotika
Covert purchases or undercover buy is one of the police’s efforts to uncover
narcotics crimes in Indonesia. Undercover buy are regulated in Law Number 35 of
2009 concerning Narcotics and Regulation of the Head of the National Police’s Criminal Investigation Agency Number 1 of 2022 concerning Standard Operational Procedures for Criminal Investigations and Investigations. In operational implementation, coordination is required between law enforcement and the community as informants. It is hoped that undercover buying efforts can eradicate narcotics crimes in order to give birth to the nation’s next generation. The problem in this research are : 1) What is the role of the Lampung Police Narcotics Directorate in carrying out undercover buys in arresting narcotics criminals? 2) What are the inhibiting factors in carrying out hidden purchases or undercover buys?
This research uses an normative empirical juridical approach. Data collection was carried out using an interview system with sources consisting of informants from the Lampung Police Narcotics Research Directorate and the Lampung Province National Narcotics Agency who are investigators in handling narcotics crimes. Data processing in this research uses qualitative descriptive analysis.
The results of this research show that undercover buying efforts have been implemented effectively so that they can break up several illegal narcotics networks, but they still need to be improved. It was found that there were obstacles in implementing undercover buying efforts, starting from the low level of public awareness of reporting narcotics abuse around them, the lack of human resources who are skilled in carrying out hidden purchases, the lack of facilities and facilities
to support maximum implementation, and the lack of sufficient budget. specifically allocated to these efforts so that the implementation of hidden purchases is not yet fully optimal even though it has been running effectively and has achieved the expected targets.
Keywords: Undercover buy, police efforts, narcoticss crime
ASTARIN UENINA BR. TARIGAN KHALYA 19520111022024-02-27T02:37:34Z2024-02-27T02:37:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79554This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/795542024-02-27T02:37:34ZANALISIS PERAN BENEFICIAL OWNERSHIP YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA PERSEROAN TERBATASKepemilikan atas sebuah perseroan terbatas yakni dibuktikan dengan lembar saham
yang dimiliki pemegang saham yang tertera pada daftar pemegang saham. Semakin
berkembangnya dunia bisnis, saham mampu di miliki oleh perseorangan yakni
pemilik manfaat yang memiliki pengaruh penuh terhadap kebijakan atas sebuah
perseroan terbatas yang dimilikinya. Pemilik manfaat sendiri memang belum diatur
secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas sebagai payung hukum dari perseroan terbatas itu sendiri.
Peran dari Pemilik Manfaat yang terbukti secara sah melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan menggunakan perseroan terbatas sendiri dengan berusaha
untuk memanfaatkan dari struktur organisasi yang tersembunyi dan sangat sulit
dilacak keberadaanya, Pemilik manfaat yang melakukan upaya dalam pencucian
uang yang dihasilkan dari harta yang tidak sah. Yang kemudian dalam hal ini
Pemilik manfaat perlu dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang telah
diperbuat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencuci Uang dan juga Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.Yuliansyah Wahyu20120111242024-02-23T08:24:24Z2024-02-23T08:24:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79512This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/795122024-02-23T08:24:24ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
MEMPERDAGANGKAN JASA YANG TIDAK SESUAI
DENGAN PROMOSI OLEH PENGUSAHA
FINANCIAL TECHNOLOGY ILEGALTindak pidana memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan promosi oleh
pengusaha financial technology illegal merupakan salah satu masalah yang cukup
serius yang dapat merugikan masyarkat, penawaran yang menarik didalam promosi
yang diberikan oleh perusahaan financial technology illegal membuat masyarakat
tertarik untuk melakukan pinjaman tanpa mengetahui legalitas perusahaan tersebut.
Hal ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang menjadi korban suku bunga
yang tinggi serta penagihan yang menyalahi aturan oleh penrusahaan financial
technology ilegal dan membuat masyarakat penerima pinjaman menjadi stres.
Permasalahan skripsi ini adalah : Bagaimana Upaya Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Memperdagangkan Jasa Yang Tidak Sesuai Dengan Promosi Oleh
Pengusaha Financial Technology Ilegal dan Faktor apa saja yang mempengaruhi
Upaya Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Memperdagangkan Jasa
Yang Tidak Sesuai Dengan Promosi Oleh Pegusaha Financial Technology Ilegal.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi Pustaka dan studi lapangan dengan mewawancarai narasumber. Narasumber
teridiri dari pihak Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Lampung dan Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Data penelitian dianalisis secara kualitatif,
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini adalah : 1. Penegakan hukum
terhadap tindak pidana memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan peromosi
oleh pengusaha financial technology illegal telah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Upaya penegakan
hukum terhadap tindak pidana memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan
promosi oleh pengusaha financial technology illegal dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dengan melalui dua upaya, yakni upaya prefentif dengan melakukan
upaya pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi serta pemantauan potensi dugaan
tindakan melawan hukum dan upaya represif yaitu masyarakat yang menjadi
korban tindak pidana financial technology illegal dapat langsung membuat laporan
kekepolisian 2. Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan promosi oleh pengusaha
financial technology illegal yaitu faktor hukum, sarana fasilitas dan kesadaran
masyarakat.
Saran dari penelitian ini adalah diperlukannya regulasi mengenai financial
technology ilegal serta sarana dan fasilitas yang memadai agar penegakan hukum
terhadap financial technology ilegal dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta
berjalan sebagaimana mestinya dan hendaknya masyarakakat serta para pelaku
usaha memiliki kesadaran hukum. Serta masyarakat yang sudah terlanjur terjerat
financial technology ilegal hendaknya melapor kepada pihak yang berwenang
untuk membantu pengakan hukum terhadap perusahaan fintech ilegal.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Financial Technology Ilegal, Fintech
Lestari Tri17120112152024-02-23T07:10:15Z2024-02-23T07:10:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79502This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/795022024-02-23T07:10:15ZANALISIS HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN PADA
PUTUSAN NOMOR
1993/Pdt.G/2022/PA.Tnk
Perkawinan terjadi pada setiap pasangan suami istri untuk memperoleh tujuan
kebahagiaan dan kesejahteraan dalam berumahtangga, pada kenyataannya tidak
semua itu dapat terwujud, salah satu penyebab adalah perkawinan yang dilandasi
dengan unsur ancaman sehingga suami dan istri melakukan pembatalan
perkawinan , putusan No.1993/Pdt.G/2022/PA.Tnk salah satu fakta yang
membuktikan bahwa seorang suami yang merasakan keterpaksaan melakukan
suatu perkawinan dengan istrinya dikarenakan adanya unsur ancaman yang
dilakukan oleh kakak dari istri, yang akhirnya melakukan pengajuan permohonan
pembatalan dipengadilan Dimana pemohon dan termohon
berdomisili.Dilatarbelakangi hal itu maka memunculkan suatu pertanyaan yang
perlu dibahas yaitu alasan-alasan Pemohon mengajukan pembatalan perkawinan,
tata cara pengajuan pembatalan perkawinan oleh Pemohon kepada Termohon, dan
akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan bagi pasangan suami istri.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian
Normatif.Tipe penelitian menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan
pendekatan perundang-undangan,dan menggunakan sumber data sekunder dengan
bahan hukum primer, sekunder dan tersier,metode pengumpulan data yang
digunakan adalah studi pustaka dan dokumen dan analisis data secara kualitatif .
Hasil Penelitian dan pembahasan menetapkan bahwa alasan-alasan Pemohon
mengajukan pembatalan perkawinan yang utama adanya keterpaksaan menikahi
termohon dikarenakan adanya ancaman pihak termohon dan hal ini merupakan
salah satu unsur pelanggaran hukum, selanjutnya tata cara pengajuan pembatalan
perkawinan terdapat pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP.No.9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan pembatalan perkawinan. Adapun akibat hukum pembatalan
perkawinan adalah putusnya hubungan suami istri, anak yang dikandung dan
harta kekayaan.
Kata Kunci:Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Putusan Pengadilan Prasetya Yudhistira19520110962024-02-23T07:10:03Z2024-02-23T07:10:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79498This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/794982024-02-23T07:10:03ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN OLEH OKNUM ANGGOTA POLRI
(Studi Putusan Nomor : 314/Pid.B/2022/PN.Gns dan Putusan Nomor :
187/Pid.B/2021/PN Tjs)
Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu tindakan menghilangkan nyawa orang lain
dengan cara melanggar hukum. Putusan yang telah di upload pada website resmi Pengadilan
Negeri Gunung Sugih No : 314 /Pid.B/2022/PN.Gns dan Pengadilan Negeri Tanjung Selor No
:187/Pid.B/2021/PN.Tjs terdapat hal yang menarik pada putusan ini yaitu jika dilihat
bagaimana kronologi kedua kasus pembunuhan itu terjadi, terdapat adanya kesamaan unsurunsur
pada tindak pidana yang sudah dilakukan oleh pelaku, namun pada penjatuhan
hukumannya hakim dalam hal ini menjatuhkan hukuman yang berbeda. Pada kasus l dikenakan
pidana selama 12 tahun penjara, sedangkan pada kasus ll dikenakan pidana selama 15 tahun
penjara. Permasalahan pada penulisan skripsi ini adalah bagaimana pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana pembunuhan, serta bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data primer yang
didapatkan dengan melakukan wawancara kepada Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih,
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, dan Polri pada Kepolisian Resor
Lampung Tengah, serta Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung,
data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari dan mengkaji
peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur,dan dokumen resmi terkait penelitian ini.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Buku
II Bab XIX yang mencakup Pasal 338 KUHP sampai dengan Pasal 350 KUHP. Pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP dijelaskan bahwa barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun, sedangkan apabila terdapat unsur-unsur dengan rencana terlebih
dahulu maka pelaku akan dijatuhi Pasal 340 KUHP yaitu berupa pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan telah menggunakan pertimbangan yuridis,filosofis, dan sosiologis. Secara yuridis
pidana yang telah dijatuhkan sudah sesuai dengan asas kepastian hukum, karena hakim
menggunakan Pasal 338 dan 340 KUHP yang mana terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari
kedua Pasal tersebut, sedangkan secara filosofis hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang
dijatuhkan adalah sebagai bentuk pemidanaan terhadap terdakwa. Secara sosiologis hakim
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal yang
memberatkan adalah akibat perbuatan terdakwa korban telah meninggal dunia, adapun keadaan
yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan dalam proses persidangan dan memberikan
keterangan dengan sebenar-benarnya.
Disarankan perlunya pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tidak hanya terpaku pada
pertimbangan yuridis, filosofis,dan sosiologis, akan tetapi hakim dalam menjatuhkan pidana
harus berlandaskan pula pada teori-teori yang mana penulis mengkaitkan pertimbangan hakim
menggunakan teori keseimbangan, yang mana teori ini dikemukakan oleh Mackenzie, hakim
dalam menjatuhkan suatu hukuman harus dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal
yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa, dimana kepentingan
masyarakat dirumuskan dalam hal hal yang memberatkan, dan kepentingan terdakwa
dirumuskan pada hal-hal yang meringankan. Maka dari itu adanya hal-hal yang meringankan
dan juga memberatkan dalam suatu perkara ini menjadi faktor pertimbangan bagi hakim dalam
menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
Kata Kunci: Pemidanaan, Pertimbangan Hakim, Pembunuhan.
MUKTI ARTA LILIS20120111682024-02-23T04:22:01Z2024-02-23T04:22:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79444This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/794442024-02-23T04:22:01ZKAJIAN KRIMINOLOGI TERHADAP KEJAHATAN DENGAN ANCAMAN KEKERASAN MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung) Kejahatan atau kriminalitas merupakan salah satu bentuk perbuatan menyimpang yang mana dalam kehidupan masyarakat masih sangat melekat. Salah satunya yang biasa dijumpai adalah istilah kejahatan dengan ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam, dimana kejahatan ini dapat memberikan dampak buruk yaitu bisa dapat menimbulkan ketegangan pada kehidupan yang sedang berlangsung seperti rasa ketakutan yang berlebih, trauma, dan bahkan gangguan kejiwaan lainnya. Menurut pandangan hukum hal ini merupakan ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasar bagi kehidupan. Berdasarkan kejahatan tersebut maka permasalahan yang akan dibahas adalah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dengan ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam dan bagaimana upaya penanggulangan yang dilakukan kepolisian dalam menanggulangi masalah kejahatan ancaman kekearasan dengan senjata tajam.
Pembahasan terhadap penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Sumber data studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data kualitatif. Narasumber penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung, dan Dosen-dosen Bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menujukan bahwa dalam perkara kejahatan dengan ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam yang menjadi faktor penyebabnya yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dapat menjadi faktor kejahatan, faktor ekonomi dimana krisis ekonomi yang melanda dapat membentuk seseorang menjadi keras dan berperilaku jahat, faktor
agama yaitu seseorang yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya maka ketika seseorang melakukan ancaman kekerasan sering kali
1tidak merasa bersalah, faktor penyimpangan budaya terhadap perbedaan visi misi dalam menjalankan kehidupan di masyarakat maka berdampak pada perselisihan sehingga terjadinya suatu ancaman kekerasan. Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan jalur penal dan non penal. Upaya penanggulangan melalui non penal lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Adapun upaya penal dilakukan untuk memberikan tindakan tegas dan konsisten sehingga membuat para pelaku jera akan perbuatannya.
Saran dalam penelitian ini adalah undang-undang tentang perbuatan tidak menyenangkan harus disosialisasikan kepada masyarakat umum, agar masyarakat bisa mengetahui bahwasanya kejahatan dengan ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam dan perlindungan terhadap korban memiliki ketentuannya, sehingga jika ada seseorang yang mengalami kejahatan ini masyarakat untuk tidak ragu dalam melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Serta diharapkan bagi penegak hukum dapat menegakkan hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera pada pelaku kejahatan, selain itu juga melakukan pembinaan pada pelaku kejahatan agar mempunyai bekal dan tidak kembali melakukan kejahatan lagi.
Kata Kunci: kriminologi, ancaman kekerasan, senjata tajam
SABNA MAHARANI PUTRI 20120110772024-02-23T01:36:02Z2024-02-23T01:36:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79292This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/792922024-02-23T01:36:02ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP MANTAN ISTRI
(Putusan Nomor: 555/Pid.B/2020/PN.Tjk)Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat
dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Penganiayaan
merupakan dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan
tetapi suatu perbuatan itu tidak dapat dikatakan penganiayaan apabila perbuatan itu
dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Mantan istri ialah istri yang sudah
di talak oleh suami dansudah habis masa iddahnya, disini juga termasuk istri yang
sudah di talak ba’in oleh suaminya sehingga terhalang untuk rujuk kembali, kecuali
denganakad dan mahar baru. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimana pertanggungjawaban pidana
penganiayaan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pada
mantan istri dalam Studi Putusan Nomor: 555/Pid.B/2020/PN.Tjk. b) Apakah dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana
penganiayaan pada mantan istri dalam Studi Putusan Nomor:
555/Pid.B/2020/PN.Tjk.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancaradengan Hakim
pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang,dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang diperoleh kemudian diolah
melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang
telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil
menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: a) Pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pada mantan istri
dalam Studi Putusan Nomor: 555/Pid.B/2020/PN.Tjk, berhubungan dengan
Kemampuan bertanggungjawab dimana setiap orang akan dimintakan
pertanggungjawabannya di depan hukum atas apa yang telahdilakukan.b) Penulis
melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam
kasus penganiayaan pada PutusanNomor: 555/Pid.B/2020/PN.Tjk hukuman pidana
penjara 2 tahun 3 bulan sudah termasuk berat dalam pertimbangan hakim sesuai
dengan KUHAP yang berlaku
Adapun saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum mulai dari tingkat
penyidikan di kepolisian sampai pada proses persidangan dalam memberikan
perlindungan terhadap korban tindak kekerasan penganiayaan harus meningkatkan
koordinasi dalam rangka pemenuhan hak-hak korban untuk dilindungi, karena
perlindungan terhadap korban kekerasan adalah kewajiban bersama.
Kata kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Penganiayaan, Mantan Istri.mega100599@gmail.com MEGAWATI17120113202024-02-23T00:50:11Z2024-02-23T00:50:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79263This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/792632024-02-23T00:50:11ZUPAYA POLDA LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN OLEH DEBT COLLECTOR TERHADAP DEBITUR Pihak lembaga pembiayaan atau leasing, dalam penagihan hutangnya biasanya menyerahkan kuasanya kepada debt collector. Karena atas kuasa tersebutlah para debt collector sering melakukan sejumlah cara bahkan sampai menggunakan ancaman dan kekerasan dalam penagihan hutangnya kepada debitur-debitur yang menunggak kredit. Debt collector identik dengan kekerasan dimana kekerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh atau untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Upaya Polda Lampung dalam Menanggulangi Kekerasan yang dilakukan oleh debt collector terhadap Debitur serta Apakah Faktor penghambat Polda Lampung dalam Menanggulangi Kekerasan yang dilakukan oleh debt collector terhadap Debitur. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data skunder dan data primer. Studi yang dilakukan yaitu dengan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara narasumber yang telah ditentukan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelititian dan pembahasan menunjukkan bahwa upaya kepolisian Polda Lampung dalam menanggulangi kekerasan yang dilakukan oleh debt collector terhadap debitur yaitu dapat dilakukan melalui pertama, upaya pre-emtif dengan sosialisasi hukum kepada debitur, debt collector dan Lembaga pembiayaan atau leasing, kedua upaya preventif yaitu dengan cara menyiagakan bagian humas kepolisian untuk menerima laporan-laporan dari masyarakat, dan yang terakhir upaya represif yang dilakukan adalah dengan memberikan sanksi pidana atau penjatuhan pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Faktor- faktor penghambat Polda Lampung dalam menanggulangi kekerasan yang dilakukan oleh debt collector terhadap debitur yaitu faktor ekonomi Dimana faktor ekonomi adalah penyebab utama terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh debt collector terhadap debitur, faktor hukumnya sendiri yaitu belum adanya peraturan yang khusus untuk mengatur tentang debt collector itu tersendiri, faktor penegakan hukum yaitu masih kurangnya partisipasi Masyarakat dalam membuat laporan terkait kekerasan yang dilakukan oleh debt collector tersebut, faktor masyarakat yaitu masih banyak Masyarakat yang belum mengetahui hak dan kewajibannya dalam melakukan kredit dan yang terakhir adalah faktor kebudayaan yaitu masih melekatnya budaya serba instant di kalangan masyarakat. Saran dalam penelitian ini adalah penegak hukum khususnya pihak kepolisian sebaiknya lebih aktif lagi dalam memberikan sosialisasi hukum kepada debitur, debt collector dan juga pihak leasing akan hak dan kewajibannya dan juga disarankan agar pihak kepolisian mewajibkan Perusahaan leasing mengajukan permohonan penarikan barang yang diajukan ke kantor kepolisian tempat pelaksanaan penarikan barang agar tidak melanggar prosedur yang ada. dan juga sebaiknya debt collector mematuhi peraturan mengenai tata cara penagihan hutang yang benar secara hukum.
Kata Kunci : Kekerasan, Debt Collector, Debitur Sapta Putri Meisya Ardila 2012011036 2024-02-22T08:13:47Z2024-02-22T08:13:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79241This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/792412024-02-22T08:13:47ZKEBIJAKAN OPTIMALISASI PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN RESTORATIF DEMI KEADILAN Penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu bentuk model baru dalam penyelesaian perkara pidana yang menawarkan solusi secara komprehensif dan efektif dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan keasadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan di dalam lingkungan bermasyarakat. Permasalahan yang akan dikaji yaitu pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip keadilan restoratif demi keadilan dan optimalisasi penghentian penuntutan dengan pendekatan Restorative Justice. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji bahan-bahan pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan dokumen terkait. Dalam mengoptimalisasi pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif Jampidum telah mengeluarkan Surat Edaran No. 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Surat Edaran tersebut berisi tentang persyaratan prinsip di dalam Perja Keadilan Restoratif yang dapat dikecualikan namun bersifat kasuistik. Upaya dalam rangka mengoptimalisasi penghentian penuntutan dengan pendekatan Restorative Justice adalah dengan melakukan pembaharuan hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana untuk mengakomodir penegakan hukum berorientasi keadilan restoratif yang harus diikuti dengan penguatan kewenangan Jaksa selaku Dominus Litis dalam penegakan hukum pidana berorientasi keadilan restoratif. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memasukkan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kemudian perlu adanya substansi hukum yang mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif secara lengkap agar terdapat keseragaman peraturan perundang- undangan yang memberikan legitimasi kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif serta diharapkan Jaksa Agung dapat mendelegasikan kewenangan penentuan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada Kejaksaan Negeri yang ada di seluruh Indonesia dengan tetap adanya pengawasan melekat pada masing-masing Kejaksaan Tinggi. Kata Kunci: Penghentian Penuntutan, Keadilan Restoratif, Demi Keadilan
Resolving cases using a restorative justice approach is a new model in resolving criminal cases that offers comprehensive and effective solutions by involving victims, perpetrators, families and the community to repair an act against the law by using awareness and conviction as a basis for improving life in the environment social. The problem that will be studied is the implementation of the termination of prosecution based on the principles of restorative justice for the sake of justice and optimizing the termination of prosecution using a Restorative Justice approach. This research uses a normative juridical approach by examining library materials such as statutory regulations, books, journals and related documents. To optimizing the implementation of the termination of prosecutions based on restorative justice Jampidum has issued a Circular Number 01/E/EJP/02/2022 concerning the Implementation of Termination of Prosecution Based on Restorative Justice. The Circular contains the principle requirements in the Restorative Justice Perja which can be excluded but are casuistic in nature. Efforts to optimize the termination of prosecutions using a Restorative Justice approach are by reforming the criminal procedural law in the criminal justice system to accommodate restorative justice-oriented law enforcement which must be followed by strengthening the authority of the Prosecutor as Dominus Litis in enforcing restorative justice-oriented criminal law. Based on these conclusions, it is recommended to the House of Representatives of the Republic of Indonesia to include Termination of Prosecution Based on Restorative Justice into the Draft Criminal Procedure Code, then there needs to be legal substance that accommodates the complete implementation of restorative justice so that there is uniformity in legal regulations that provide legitimacy. to the Public Prosecutor to terminate the prosecution based on restorative justice and it is hoped that the Attorney General can delegate the authority to determine approval for the termination of the prosecution based on restorative justice to the District Attorneys throughout Indonesia with continued supervision attached to each High Prosecutor's Office. Keyword: Termination of Prosecution, Restorative Justice, For Justice . BERNADETA 22220110442024-02-22T08:11:37Z2024-02-22T08:11:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79239This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/792392024-02-22T08:11:37Z
UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP SUAP MENYUAP
PENGATURAN SKOR (MATCH FIXING)
DALAM SEPAK BOLA NASIONAL
Pengaturan skor (match fixing) adalah sebuah pengaturan pertandingan sepak bola
untuk mendapatkan keuntungan secara materil dan immaterial. Berdasarkan
pandangan FIFA bahwa pengaturan skor yang terjadi dalam dunia sepak bola ini
biasanya sudah direncanakan secara kriminal yang termasuk dalam kejahatan
korupsi secara personal bahkan kelompok. Rumusan masalah yang diajukan
dalam penelitian ini yaitu, bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana
suap menyuap terhadap pengaturan skor (match fixing), dan faktor apakah yang
menjadi penghambat dalam penanggulangan tindak pidana pengaturan skor.
Penelitian ini mengunakan metode pendekatan hukum normatif, dengan
melakukan teknik pendekatan kepustakaan yang bersumber dari perundangundangan,
buku-buku, dokumen resmi dan penelitian yang berhubungan dengan
match fixing. Bahan hukum yang digunakan yakni bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier serta dianalisis secara deskritif kualitatif.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan terhadap pelaku
pengaturan skor sudah dilakukan melalui dua cara yaitu dengan penarapan sanksi
administratif dan juga sanksi pidana, sanksi administratif berupa sanksi denda
dan larangan berkecimpung didalam dunia olahraga khususnya sepak bola
sementara waktu bahkan bisa sampai seumur hidup tidak bisa kembali beraktivitas
pada ruang lingkup sepak bola, lalu ada sanksi pidana yang dapat dikenakan
kepada pelaku praktik pengaturan skor yaitu menggunakan undang-undang nomor
11 tahun 1980 tentang suap menyuap dan pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kemudian yang menjadi faktor penghambat ada dari faktor hukumnya sendiri,
faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, dan juga faktor masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah dalam menanggulangi match fixing hukum
pidana harus dijadikan sebagai ultimum remedium yang berarti pemerintah harus
dapat menggunakan dan melibatkan instrumen hukum pidana untuk menangani
permasalahan pengaturan skor guna menanggulangi pengaturan skor karena
kurang efektif jika hanya menghukum secara administratif saja. Lalu perlunya
penambahan personel satgas anti mafia bola dan juga penambahan alat-alat
forensik yang berguna untuk mempercepat proses pembuktian dalam menangani
pengaturan skor (match fixing).
Kata Kunci: Suap Menyuap, Pengaturan Skor, Sepak Bola.
MUHAMAD MAIGEL ALFAJAR 20120112852024-02-22T08:02:54Z2024-02-22T08:02:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79233This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/792332024-02-22T08:02:54ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYEBARLUASAN KONTEN PORNOGRAFI DENGAN MOTIF BALAS DENDAM (REVENGE PORN)Kemajuan teknologi membawa suatu perkembangan terhadap kehidupan bermasyarakat. Namun di balik kemajuan itu, telah melahirkan keresahan-keresahan baru dengan munculnya kejahatan dalam bentuk Cybercrime, salah satunya adalah revenge porn. Selama ini belum adanya spesifikasi aturan mengenai pornografi balas dendam, sehingga tidak adanya upaya preventif untuk mencegah tindak pidana revenge porn ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyebarluasan konten pornografi dengan motif balas dendam (revenge porn) dan apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyebarluasan konten pornografi dengan motif balas dendam (revenge porn).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data menggunakan data primer yang didapatkan di lapangan dan data sekunder dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Penyidik pada Kepolisian Daerah Lampung, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap kasus revenge porn ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: Pertama, Tahap Formulasi, yaitu tahap pembuat undang-undang dalam kasus ini yaitu UU Pornografi dan UU ITE; Kedua, Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian hingga pengadilan; Ketiga, Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana, dalam kasus ini pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sesuai dengan Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (1) UU No 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penegakan hukum pidana terhadap kasus revenge porn masih terdapat beberapa faktor yang menghambat, meliputi faktor substansi dimana dalam UU ITE pengaturan tentang cyberporn masih sangat terbatas sekali. Faktor penegak hukum, penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer. Faktor sarana dan prasarana, minimnya fasilitas penunjang alat bukti elektronik. Faktor masyarakat, masyarakat yang enggan untuk melapor jika mengetahui kejahatan cyberporn. Faktor kebudayaan, budaya malu yang masih melekat dijiwa masyarakat untuk melaporkan tindak pidana kesusilaan.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran kepada penegak hukum harus memahami perkembangan kejahatan dan menguasai teknologi informasi. Dalam hal ini meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime dan berkaitan dengan faktor penghambat terhadap pencegahan cyberporn, disarankan kepada pemerintah agar mengambil kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada yaitu dengan memperbaiki substansi hukum tentang cyberpon khususnya dalam hal pembahasan pada UU ITE.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Pornografi Balas Dendam, Revenge Porn.CAHYA UTARI ANNISANPM20520110242024-02-21T04:11:09Z2024-02-21T04:11:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79198This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/791982024-02-21T04:11:09ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DIBAWAH
MINIMUM KHUSUS DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor 119/PID.SUS/2022/PT TJK)
Tujuan UU No. 35 Tahun 2009 menunjukkan bahwa narkotika tidak boleh
digunakan di luar kepentingan tersebut dan hanya dapat digunakan oleh dokter
atau pakar kesehatan yang telah resmi dengan dosis yang tepat. Hal tersebut juga
diperjelas dengan Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 bahwa, “Narkotika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi”. Ketentuan pidana dalam penyalahgunaan narkotika,
diatur mengenai pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus. Dapat
dilihat dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-undang Narkotika 2009 yang
rumusannya sebagai berikut : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit “paling Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).” Adanya redaksi kalimat “paling
singkat 4 (empat) tahun” untuk pidana minimum khusus dan “paling lama 12 (dua
belas) tahun” untuk pidana maksimum khusus merupakan penanda bahwa dalam
pasal tersebut terkandung ketentuan minimum dan maksimum pemidanaan.
Namun dalam penerapannya ada perkara yang diputus dibawah minimum khusus,
sehingga dalam hal ini penulis mengkaji masalah yang pertama bagaimana
pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara nomor
119/PID.SUS/2022/PT TJK dan masalah kedua bagaimana pengaruh SEMA No. 3
Tahun 2015 terhadap putusan hakim dalam menjatuhkan pidana dibawah
minimum khusus tindak pidana narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dalam metode
penulisannya dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan
pengumpulan data melalui kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini didasarkan pada telaah studi
kepustakaan dan analisis kasus terkait putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang
yang memberikan pertimbangan positif terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Menggala dalam perkara narkotika. Peneliti menyoroti tiga aspek pertimbangan
hakim, yakni yuridis, sosiologis, dan filosofis, dalam menjatuhkan putusan di
bawah minimum khusus. Peradilan Indonesia mengadopsi sistem pembuktian
Negatief Wettelijk Bewijstheorie, di mana kesalahan terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim berdasarkan bukti yang sah. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pedoman hakim dalam memutuskan perkara narkotika di bawah minimum khusus
dipengaruhi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 dan
SEMA Nomor 2 Tahun 2010, yang mengatur terdakwa hanya sebagai pemakai
atau penyalahguna narkotika dengan barang bukti relatif kecil. Dari hasil
penelitian ini, penulis memberikan saran kepada para hakim untuk selalu
mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis dalam memutuskan
suatu perkara guna menciptakan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan
bagi semua pihak. Penulis juga menyarankan pembaruan terhadap ketentuan alam
SEMA agar sejajar dengan undang-undang atau keputusan Mahkamah Konstitusi
ketika diperlukan, sehingga penegakan hukum dapat tetap konsisten.
Penulis mengkaji apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara narkotika dengan putusan dibawah minimum khusus dengan
melihat 3 (tiga) aspek pertimbangan putusan hakim. Menurut penulis majelis
hakim Pengadilan Negeri Menggala dalam menjatuhkan putusan sudah
mempertimbangkan pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Yang menjadi
pedoman pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dibawah minimum
khusus berdasarkan peraturan yang berlaku ialah adanya Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 pada pembuktian di persidangan dengan
ketentuan terdakwa hanya sebagai pemakai atau penyalahgunaan narkotika dan
berat barang bukti relatif kecil yang diatur dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2010.
Kata kunci : Narkotika, Pidana Minimum Khusus, Pertimbangan Hakim.
The purpose of Law no. 35 of 2009 indicates that narcotics should not be used
outside of these purposes and can only be used by doctors or authorized health
experts in the correct dosage. This is also clarified in Article 7 of Law no. 35 of
2009 that, "Narcotics can only be used for the purposes of health services and/or
the development of science and technology". Criminal provisions in narcotics
protection regulate special minimum penalties and special maximum penalties. It
can be seen in Article 112 Paragraph (1) of ithe 2009 Narcotics Law, the
formulation of which is as follows: Every person who, without right or againstithe
law, possesses, keeps, controls, or provides Class I non-plant Narcotics, shall be
punished with imprisonment for a minimum of 4 (four) years and a maximum of
12 (twelve) years and a fine of at least Rp. 800,000,000.00 (eight hundred million
rupiah) and a maximum of Rp. 8,000,000,000.00 (eight billion rupiah).”
Theredaction of the sentence "a minimum of 4 (four) years" for a special
minimum sentence and "a maximum of 12 (twelve) years" for a special maximum
sentence is a sign that the article contains provisions for minimum and maximum
sentences. However, in its application there are cases that are decided below the
special minimum, so in this case the author examines the first problem, how the
judge's legal considerations are in deciding case number 119/PID.SUS/2022/PT
TJK and the second problem, how the influence of SEMA No. 3 of 2015
regarding the judge's sentencing for crimes below the minimum specifically for
narcotics crimes.
This research uses a normative juridical approach in its writing method and the
type of data used is secondary data with data collection through the literature.
Based on the results of this research and discussion, it is based on a literature
review and case analysis related to the decision of the Tanjung Karang High Court
which gave positive consideration to the decision of the Menggala District Court
in a narcotics case. The researcher highlights three aspects of the judge's
consideration, namely juridical, sociological, and philosophical, in imposing a
verdict below the special minimum. The Indonesian judiciary adopts the Negatief
Wettelijk Bewijstheorie evidentiary system, in which the guilt of the defendant is
determined by the judge's belief based on valid evidence. This research shows that
judges' guidelines in deciding narcotics cases under the special minimum are
influenced by Supreme Court Circular Letter Number 3 of 2015 and SEMA
Number 2 of 2010, which regulates defendants only as users or abusers of
narcotics with relatively small evidence. From the results of this study, the author
provides advice to judges to always consider juridical, sociological, and
philosophical aspects in deciding a case in order to create legal certainty, justice,
and benefits for all parties. The author also suggests updating the natural
provisions of the SEMA to be in line with the law or decisions of the
Constitutional Court when necessary, so that law enforcement can remain
consistent.
The author examines what is the basis for the judge's consideration in deciding
narcotics cases with verdicts below the special minimum by looking at 3 (three)
aspects of consideration of the judge's decision. According to the author, the
judges of the Menggala District Court in handing down the verdict have
considered juridical, sociological and philosophical considerations. What guides
the judge's consideration in imposing a verdict below the special minimum based
on applicable regulations is the existence of Supreme Court Circular Letter
(SEMA) Number 3 of 2015 on evidence at trial provided that the defendant is
only a user or abuser of narcotics and the weight of evidence is relatively small as
regulated in SEMA Number 2 of 2010.
Keywords: Narcotics, Special Minimum Sentence, Judge's Consideration. HONEY DEBORA RIEKE 2052011128 2024-02-21T02:42:30Z2024-02-21T02:42:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/79173This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/791732024-02-21T02:42:30Z
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN HIBAH TANAH
KAS DESA UNTUK PEMBANGUNAN PUSKESMAS RAWAT INAP DI
PEKON REJOSARI KEC. PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNGPenelitian ini bertujuan untuk membahas dan mengkaji mengenai pengelolaan
tanah yang dimiliki pemerintah desa sesuai dengan amanat Peraturan Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Selain itu, penelitian
ini akan mengkaji bagaimana mekanisme dan bentuk perjanjian yang digunakan
daalam proses hibah yang melibatkan obyek tanah kas desa, khususnya di daerah
Pekon Rejosari, Kecamatan Pringsewu, Provinsi Lampung. Perjanjian hibah yang
dikaji dibuat antara Pemerintah Desa Pekon Rejosari dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung untuk pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat
(PUSKESMAS).
Dengan demikian penelitian dapat berfungsi untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan hibah tanah kas desa dan bentuk perjanjian yang dibuat. Penelitian ini
mekanisme hibah tanah kas desa dan bentuk perjanjian yang dibuat. Penelitian ini
berjenis normatif empiris dengan mengkaji langsung data dari lapangan dan
pengambilan keterangan dari wawancara langsung pihak yang berkaitan. Untuk
mendapatkan hasil penelitian ini digunakan analisis data deskriptif untuk untuk
memecahkan masalah dalam penelitian. Hasil penelitian menyatakan bahwa
perjanjian diantara pemerintah desa di Pekon Rejosari sebagai pemilik tanah kas
desa dengan Dinas Kesehatan dianggap sah karena dibuat dalam bentuk tertulis
meskipun perjanjian yang terjadi pada tahun 2018 telah menyimpang dari aturan
yang berlaku.
Kata Kunci : Hukum Perjanjian, hibah, tanah kas desa, pengelolaan aset desa.
This research aims to discuss and examine the management of land owned by the
village government in accordance with the mandate of Domestic Regulation
Number 1 of 2016 concerning Village Asset Management. Apart from that, this
research will examine the mechanisms and forms of agreements used in the grant
process involving village treasury land objects, especially in the Pekon Rejosari
area, Pringsewu District, Lampung Province. The grant agreement studied was
made between the Pekon Rejosari Village Government and the Lampung
Provincial Health Service for the construction of a Community Health Center
(PUSKESMAS).
In this way, research can function to find out how village treasury land grants are
implemented and the form of agreement made. This research examines the
mechanism the village treasury land grant mechanism and the form of agreement
made. This research is an empirical normative type by directly examining data
from the field and taking information from direct interviews with related parties.
To obtain the results of this research, descriptive data analysis was used to solve
problems in the research. The research results stated that the agreement between
the village government in Pekon Rejosari as the owner of the village treasury land
and the Health Service was considered valid because it was made in written form
even though the agreement that occurred in 2018 had deviated from the applicable
regulations.
Key Word : Agreement Law, grants, village treasury land, village asset
management.
AKHWAN PUTRI RAKHMA MEILIA19120113312024-02-19T03:31:28Z2024-02-19T03:31:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78993This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/789932024-02-19T03:31:28ZKAJIAN KRIMINALISTIK TERHADAP PENGUNGKAPAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG YANG
BERIMPLIKASI DENGAN PROSTITUSI
(Studi Pada Polresta Bandarlampung)Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk membantu proses penyelidikan
dengan menggunakan ilmu bantu lain, guna menemukan pelaku tindak pidana.
Praktek perdagangan orang yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi,
dimana kebanyakan korbannya adalah anak-anak dan perempuan. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
merupakan bagain dari salah satu instrumen yang mengatur tentang Perdagangan
Orang Permasalahan dalami penelitiani inii adalahi mengenai bagaimanakah kajian
kriminalistik terhadap pengungkapan tindak pidana perdagangan orang yang
berimplikasi dengan prostitusi serta apa faktor penghambat kepolisian dalam
mengungkap tindak pidana perdagangan orang yang berimplikasi dengan prostitusi.
Metode penelitian untuk pendekatan masalah menggunakan yuridis normative dan
yuridis empiris dengan dibantu oleh data primer dan data sekunder. Penentuan
narasumber dilakukan dengan teknik wawancara kepada narasumber secara
langsung dan daring (online). Narasumber penelitian terdiri dari satu (1) Kasubnit
2 Unit V PPA Satreskrim Polresta Bandarlampung. dan Akademisi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan, yang selanjutnya pengolahan data dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan dengan membentuk tim khusus yang bertugas secara cermat
memantau berbagai isu, tren topik, dan potensi kegiatan kriminal di dunia maya.,
faktor penghambat kepolisian dalam mengungkap tindak pidana perdagangan
orang yang berimplikasi dengan prostitusi yaitu secara kuantitas masi banyak
anggota yang kurang ahli dan berpengalaman di bidang penyelidikan,
anggaran minim, sarana prasarana dan keadaan dilapangan, Ada pihak keluarga
korban yang berperan dan kurangnya kesadaran publik, serta korban yang enggan
menceritakan telah terjadinya TPPO.
Saran dalam penelitian ini adalah: Penyelidikan tindak pidana perdagangan
orang sangatlah perlu untuk ditingkatkan kualitasnya, terutama agar pihak
kepolisian supaya menambah anggota/personil yang ahli dan berpengalaman
dibidang penyelidikan, maka dapat meningkatkan kerja dan kinerja anggota. Hal
ini dikarenakan, semata-mata agar kesalahan dalam tugas penyelidikan dapat
diminimalisir demi kepentingan aparatur negara itu sendiri, maupun
kepentingan umum. Lalu dibutuhkan juga peran masyarakat serta membantu
upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang
dengan aktif memberikan informasi dan melaporkan jika ada kejadian tersebut
kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib.
Kata Kunci: Kriminalistik, Perdagangan Orang, Tindak PidanaAMIN ALI 17120110222024-02-16T03:00:53Z2024-02-16T03:01:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78961This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/789612024-02-16T03:00:53ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEJABAT PUBLIK YANG MEMBANTU SINDIKAT JOKI SELEKSI CALON APARATUR SIPIL NEGARA (CASN) MELALUI APLIKASI REMOTE ACCESS (Studi Kasus Putusan Nomor: 868/Pid.Sus/2022/PN.Tjk) Pelaku pembantu tindak pidana yang merupakan pejabat publik dalam Putusan
Nomor: 868/Pid.Sus/2022/PN.Tjk hakim mengadili dengan pidana penjara selama
4 (empat) bulan dan denda Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan 1 (satu) bulan sesuai dengan Pasal 46 Ayat (1) Juncto Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Juncto Pasal 56 Ayat (1) KUHP. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini terkait dengan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat publik yang membantu sindikat joki seleksi CASN melalui aplikasi remote access berdasarkan Putusan Nomor:
868/Pid.Sus/2022/PN.Tjk, serta bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pejabat publik yang membantu sindikat joki seleksi CASN melalui aplikasi remote access berdasarkan Putusan Nomor : 868/Pid.Sus/
2022/PN.Tjk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum doktrinal (normatif) dan didukung dengan pendekatan non-doktrinal (empiris). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Narasumber dari penelitian ini adalah: Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA; Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; Penyidik Kepolisian Daerah Lampung; Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kemudian data tersebut diperoleh serta dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik simpulan bahwa tindak pidana sebagaimana dalam Putusan Nomor: 868/Pid.Sus/2022/PN. Tjk Terdakwa Ani Sudari dalam kasus ini melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak membantu mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun sebagai pelaku pembantu telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dan bertentangan dengan hukum atau unsur perbuatan
jahat (actus reus) dan unsur niat jahat (mens rea) telah terpenuhi. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berdasarkan Putusan Nomor
868/Pid.Sus/2022/PN.Tjk hakim mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis seperti dakwaan Jaksa Penuntut Umum; keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa; barang bukti dalam persidangan; dan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang (KUHP dan UU ITE). Serta hal-hal yang bersifat non-yuridis seperti: latar belakang perbuatan terdakwa; akibat perbuatan terdakwa; kondisi diri terdakwa; dan keadaan yang memberatkan serta meringankan terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah agar pertanggungjawaban pidana pejabat publik yang dengan jabatannya membantu dalam suatu tindak pidana diberikan hukuman yang lebih berat. Kepada penegak hukum dalam mengkaji suatu perkara diharapkan dapat benar-benar cermat mempertimbangkan pertimbangan yuridis maupun non yuridis. Hendaknya juga hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang merupakan seorang pejabat publik yang melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak membantu mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun harus benar-benar melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum agar keadilan sebenar- benarnya dapat tercapai dan dirasaka semua pihak.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pejabat Publik, Joki CASN.
OKTARIANA REGY 2012011049 2024-02-16T02:49:03Z2024-02-16T02:49:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78959This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/789592024-02-16T02:49:03ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL
OLEH AYAH KEPADA ANAK TIRI
(Studi Putusan No 1126/Pid-Sus/2022/PN.Tjk)
Berdasarkan data terjadinya tindak pidana kekerasan seksual masih sangat tinggi pada
tingkat nasional serta daerah. Peristiwa itu tentu akan menjadi ironi bilamana orang
terdekat menjadi pelaku utama dalam kasus kekerasan seksual, seperti ayah tiri yang
terjadi dalam Putusan No 1126/Pid-Sus/2022/PN.Tjk dimana ayah melakukan
tindakan kekerasan seksual kepada anak tirinya. Permasalahan yang diangkat seperti
Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual oleh ayah kepada anak
tiri yang berdasarkan Putusan Nomor 1126/Pid.Sus/2022/PN Tjk? Apakah dasar
pertimbangan hakim dalam mempidanakan terhadap pelaku kekerasan seksual oleh
ayah kepada anak tiri berdasarkan Putusan Nomor 1126/Pid.Sus/2022/PN Tjk?
Metode penelitian yang digunakan ialah normatif yuridis dengan menggunakan
sumber data primer dan data sekunder. Didukung dengan wawancara kepada Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung, dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Hasil penelitian telah menunjukan dalam Putusan Nomor: 1126/Pid.Sus/2022/PN.Tjk
dimana majelis hakim dalam memeriksa perkara tersebut mengimplementasikan teori
pembalasan saat menjatuhkan pemidanaan kepada diri terdakwa. Terlihat dalam salah
satu pertimbangan pokoknya majelis hakim bermaksud ingin memberikan hukuman
yang setimpal kepada diri terdakwa atas perbuatan kekerasaan seksual kepada anak
tirinya tersebut. Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut memutus terdakwa
terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang RI No 17
Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang yang mana hakim
memutus terdakwa lebih rendah dari tuntutan yang diajukan penuntut umum yaitu 10
(sepuluh) tahun pidana penjara. Kedua, dasar pertimbangan dalam perkara a quo
berlandaskan pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosilogis (non-yuridis) dengan
turut juga menggunakan teori keseimbangan dan teori intuisi sebagai aspek
pertimbangan sebelum menjatuhkan pemidanaan kepada diri terdakwa.
Saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah Majelis Hakim dalam
memberikan penjatuhan pemidanaan kepada terdakwa kekerasan seksual sedapatnya
memberikan penjatuhan pemidanaan yang lebih berat serta dapat melakukan upaya
preventif berupa pencegahan dengan menyertakan lembaga perlindungan anak terkait
agar tidak terjadinya lagi kekerasan seksual pada diri anak. Selain itu orang tua
hendaknya lebih serius lagi dalam melakukan edukasi kepada anak perihal
pencegahan kekerasan seksual pada anak.
Kata Kunci: Pemidanaan, Kekerasaan Seksual, Anak Tiri.
SYAPUTRA SUNGKAI AZRIL20520110062024-02-16T01:36:12Z2024-02-16T01:36:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78917This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/789172024-02-16T01:36:12ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA EKSIBISIONIS KEPADA ANAK (Studi di Polresta Bandar Lampung) Perilaku eksibisionis merupakan penyimpangan seksual dimana pelaku mempertontonkan alat kelaminnya di depan umum dan kepada orang yang tidak menginginkannya untuk mendapatkan kepuasan seksualnya tersendiri. Kasus ini marak terjadi di Bandar Lampung dan beberapa daerah yang ada di Provinsi Lampung. Penyimpangan norma kesusilaan seperti kasus eksibisionis yang dilakukan terhadap anak merupakan masalah yang serius dan memerlukan adanya penegakan hukum. Fokus utama adalah memeriksa efektivitas upaya penegakan hukum dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual melalui tindakan eksibisionis dan apakah sudah sesuai dengan regulasi yang ada. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana eksibisionis kepada anak di Wilayah Bandar Lampung dan apakah faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana eksibisionis kepada anak.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang penelitian ini. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Para pihak yang terlibat sebagai narasumber diantaranya Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Penyidik pada Polresta Bandar Lampung, serta Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana kasus eksibisionis yang korbannya adalah anak bermula dari dilakukannya proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penuntutan, hingga putusan hakim/pengadilan, dan pelaksanaan pidana. Dalam melakukan penegakan hukum yang korbannya adalah anak-anak, perlindungan yang diberikan oleh Polresta yaitu mengerahkan Lembaga Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) guna melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Penegakan hukum yang diberikan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana eksibisionis yang korbannya adalah anak berbeda dengan yang korbannya merupakan orang dewasa. Dakwaan yang disangkakan dan pasal yang digunakan dalam menjerat pelaku pun berbeda. Perbedaan ini tercermin dalam dakwaan yang disangkakan dan pasal-pasal hukum yang digunakan dalam menjerat pelaku. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan khusus terkait dengan perlindungan anak. Dalam melakukan penegakan hukum, seorang hakim hampir tidak pernah mengalami hambatan karena semua perkara yang masuk ke pengadilan akan selalu dapat diputuskan. Namun, terdapat masalah yang dihadapi pihak kepolisian seperti terhambatnya proses penyelidikan dikarenakan kurangnya korban yang bersedia bersaksi dan lebih memilih diam karena merasa malu sebagai korban tindakan eksibisionis, serta kurangnya bukti yang cukup untuk membuktikan pelaku/tersangka yang diduga melakukan tindak eksibisionis.
Saran dari penelitian adalah penegakan hukum yang diberikan kepada anak sebagai korban dari tindakan eksibisionis sangat penting guna melindungi anak dari perilaku eksploitasi seksual. Oleh sebab itu, diharapkan adanya upaya peningkatan kerja sama antara pihak kepolisian, masyarakat, dan pihak terkait untuk memastikan adanya bukti, serta memberikan edukasi kepada masyarakat, orang tua, dan korban mengenai pentingnya bersaksi dalam kasus eksibisionis agar pelaku dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.
Aris Wari Ardhan 2012011166 2024-02-16T01:32:12Z2024-02-16T01:32:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78912This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/789122024-02-16T01:32:12ZANALISIS FUNGSI ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PENYIDIKAN
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Kemajuan teknologi saat ini, membuat para pelaku kejahatan dapat memanfaatkan
perangkat elektronik seperti smartphone untuk melakukan tindakan kriminal,
terutama dalam hal peredaran narkotika. Penggunaan smartphone oleh pelaku
terkait dengan proses transaksi antara pembeli dan pengedar narkotika. Bukti yang
umumnya ditemukan dalam kasus ini adalah smartphone atau alat bukti elektronik
lainnya, yang digunakan oleh pelaku untuk mengatur pembelian dan pengedaran
narkotika, dan alat bukti elektronik ini menjadi bahan utama dalam persidangan.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dalam Pasal 184 KUHAP telah mengatur
alat-alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa. Selain dari yang telah disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP tersebut, terdapat alat bukti lain yang tidak dijelaskan dalam KUHAP,
yaitu alat bukti elektronik. Penelitian ini mengangkat permasalahan apakah alat
bukti elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam pembuktian kasus tindak pidana
narkotika dan fungsi dari alat bukti elektronik dalam penyidikan perkara Tindak
pidana Narkotika.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis normatif yang berfokus pada
pendekatan normatif perundang-undangan dan yuridis empiris dengan pendekatan
terhadap indentifikasi hukum dan efektivitas hukum dengan cara observasi terhadap
permasalahan yang dibahas. Penelitian ini dilakukan di instansi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Lampung, dengan memperoleh data-data dari hasil wawancara
dan kajian Pustaka. Langkah selanjutnya melakukan pengumpulan dan pengolah
data, yang kemudian data-data tersebut akan melalui tahapan editing, penyeleksian,
pengkalisifikasian, dan penyusunan, kemudian dianalisa dengan metode deskriptif.
Sumber dan jenis data dalam penelitian ini ialah data primer dan sekunder.
Narasumber dalam penelitin ini yaitu Anggota Bidang Pemberantasan Badan
Narkotika Nasional Provinsi Lampung.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, peran alat bukti elektronik dalam
penyidikan tindak pidana narkotika tidak hanya terbatas pada menentukan
kesalahan atau ketidakbersalahan terdakwa. Alat bukti elektronik juga memiliki
fungsi penting dalam mengidentifikasi jaringan peredaran narkotika, sehingga
upaya pemberantasan tindak pidana narkotika dapat mencapai akar-akarnya. Alat
bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Penulis menarik kesimpulan bahwa alat bukti elektronik merupakan suatu alat bukti
yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang diatur dalam KUHAP yaitu berupa
keterangan ahli, dokumen, dan petunjuk. Alat bukti elektronik ini selain berfungsi
untuk membuktikan kesalahan tersangka, juga berfungsi untuk menemukan
pengedar dari barang haram tersebut. Penulis memberi saran bahwa, perlu adanya
sosialisasi serta pelatihan dari bidang yang ahli tentang alat bukti elektronik ini
kepada para penyidik maupun Masyarakat luas terkait alat bukti elektronik dan
tidak hanya bagi para penegak hukum saja, namun Masyarakat luas pun perlu lebih
memahami lagi terakit dengan ilmu teknologi, agar pemanfaatan teknologi dapat
lebih kearah yang positif.
Kata Kunci : Alat Bukti Elektronik, Penyidikan, Tindak Pidana Narkotika.
The current technological advancements enable criminals to exploit electronic
devices such as smartphones for criminal activities, particularly in the circulation
of narcotics. The use of smartphones by offenders is related to the transaction
process between buyers and drug dealers. Evidence commonly found in such cases
includes smartphones or other electronic devices used by perpetrators to arrange
the purchase and distribution of narcotics. These electronic evidence items become
crucial in legal proceedings. As known, Article 184 of the Criminal Procedure Code
(KUHAP) regulates valid evidence, such as witness statements, expert testimony,
documents, instructions, and defendant statements. In addition to those mentioned
in Article 184 of the KUHAP, there is another type of evidence not explicitly
explained in the KUHAP, namely electronic evidence. This research addresses
whether electronic evidence can be used in proving narcotics cases and the function
of electronic evidence in the investigation of narcotics offenses.
This research falls within the normative juridical category, focusing on normative
legislative approaches and juridical-empirical approaches to legal identification
and effectiveness. The research was conducted at the National Narcotics Agency in
the Lampung Province, obtaining data from interviews and literature reviews. The
next steps involved data collection and processing, followed by editing, selection,
classification, and organization of the data, which were then analyzed using
descriptive methods. The sources and types of data in this research are primary and
secondary data. The interviewee in this research is a member of the Anti-Narcotics
Division of the National Narcotics Agency in the Lampung Province.
The results of this research indicate that the role of electronic evidence in
investigating narcotics offenses is not limited to determining the guilt or innocence
of the defendant. Electronic evidence also plays a crucial role in identifying
narcotics distribution networks, allowing efforts to combat narcotics offenses to
address their root causes. Electronic evidence is regulated in Article 44 of Law
Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, as well as
Article 86 of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics.
The conclusion drawn is that electronic evidence is a type of evidence that can be
considered as evidence regulated by the KUHAP, such as expert testimony,
iii
documents, and instructions. In addition to proving the suspect's guilt,
electronic evidence also functions in identifying the distributors of illicit
substances. The author suggests the need for socialization and training by
experts in the field on electronic evidence for investigators and the general
public. It is not only for law enforcement but also for the broader community
to better understand technology to ensure its positive utilization.
Keywords: Electronic Evidence, Investigation, Narcotics Crimes AULIA RAMADHANI MUHAMMAD20120111402024-02-15T07:36:02Z2024-02-15T07:36:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78883This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788832024-02-15T07:36:02ZTINJAUAN YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
TINDAK PIDANA PERIKANAN PADA STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 41/Pid.Sus/2023/PN Liw DIKAITKAN DENGAN UNDANGUNDANG
NOMOR
45
TAHUN
2009
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah laut yang mencapai
hampir 3 juta km², memiliki potensi sumber daya alam laut yang besar. Sektor
perikanan memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, menyumbang
pada lapangan pekerjaan, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup
nelayan. Sumber daya alam laut, khususnya perikanan, menjadi sumber daya yang
penting dan dapat diperbarui.
Bidang perikanan, termasuk hasil seperti ikan, udang, kepiting, kerang, ubur-ubur,
dan lobster, menjadi fokus pemanfaatan sumber daya alam laut. Namun, isu-isu
seperti penangkapan ikan berlebih, pencurian ikan, dan illegal fishing menuntut
perhatian serius untuk menjaga keberlanjutan sektor perikanan. Regulasi, seperti
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan penerapan hukuman pidana,
menjadi instrumen penting dalam menjaga ketertiban dan keberlanjutan.
Selain itu, pengelolaan budidaya lobster diatur oleh Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan, menandakan upaya pemerintah dalam mengelola sumber daya ini
secara berkelanjutan. Penegakan hukum, terutama melalui pengadilan perikanan
di lingkungan peradilan umum, menjadi langkah penting untuk mengatasi tindak
pidana perikanan yang merugikan segi ekonomi dan lingkungan. Dengan adanya
kerangka hukum yang kuat, Indonesia berkomitmen untuk memastikan
pemanfaatan sumber daya alam laut yang bijaksana demi kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan fokus penelitian Untuk mengetahui
apakah hakim Pengadilan Negeri Liwa berwenang menjatuhkan putusan terhadap
tindak pidana perikanan serta analisis terkait bagaimana dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana perikanan apakah
sudah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah jenis
penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Jenis penelitian
hukum normatif yaitu penelitian dengan cara menganalisa hukum yang tertulis
berdasarkan bahan pustaka, undang-undang, atau bahan bacaan yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini mengenai bahan pustaka dan
peraturan terkait kompetensi hakim pengadilan negeri dalam memutus perkara
perikanan. Sedangkan tipe penelitian deskriptif adalah tipe penelitian yang
bersifat pemaparan untuk dapat memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap, rinci,
jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang,
peraturan pemerintah, atau objek kajian lainnya. Sehingga hasil penelitian skripsi
ini dapat diharapkan bisa memberikan informasi secara lengkap dan juga jelas
dalam memberikan pemaparan dan gambaran mengenai penegakan hukum
perikanan oleh formasi hakim pengadilan negeri.
Dalam Putusan Nomor 41/Pid.Sus/2023/Pn Liw kompetensi hakim Pengadilan
Negeri dalam memutus perkara perikanan di Indonesia, yang diatur dalam Pasal
106 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Meskipun Pengadilan
Perikanan belum terbentuk di semua wilayah, hakim Pengadilan Negeri tetap
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perikanan di luar
wilayah Pengadilan Perikanan yang telah dibentuk. Dalam konteks Pengadilan
Negeri Liwa, yang belum memiliki Pengadilan Perikanan, hakim Pengadilan
Negeri dianggap berwenang untuk memutus perkara perikanan.
Putusan Nomor 41/Pid.Sus/2023/Pn Liw menjadi contoh konkret, di mana hakim
mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana perikanan sesuai dengan UndangUndang
Perikanan. Pertimbangan melibatkan unsur kesalahan, keadilan, dan
keadaan yang memberatkan atau meringankan. Tindak pidana perikanan dianggap
sebagai kejahatan luar biasa yang diatur secara terpisah, dan penyebaran
pengadilan perikanan di berbagai provinsi diharapkan dapat lebih efektif
menangani kasus-kasus perikanan.
Dalam konteks perkara di Pengadilan Negeri Liwa, tindak pidana perikanan
mencakup masalah penangkapan dan pengiriman benih lobster yang merugikan
masyarakat, pembudidaya ikan, dan sumber daya lobster. Putusan hakim juga
mempertimbangkan faktor-faktor yang merugikan perekonomian negara dan
melibatkan program pemerintah dalam menjaga sumber daya lobster di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Penulis berharap agar masyarakat
mematuhi aturan terkait larangan menangkap benur untuk mencegah dampak
yang merugikan, termasuk dampak ekologis, ekonomis, dan sosial.
Kata Kunci : Perikanan, Kompetensi Hakim, Dasar Pertimbangan Hakim
Indonesia, as an archipelagic country with a sea area of almost 3 million km², has
huge marine natural resource potential. The fisheries sector has a strategic role
in the national economy, contributing to employment opportunities, income
distribution and improving the standard of living of fishermen. Marine natural
resources, especially fisheries, are important and renewable resources.
The fisheries sector, including products such as fish, shrimp, crabs, shellfish,
jellyfish and lobsters, is the focus of utilizing marine natural resources. However,
issues such as overfishing, fish theft and illegal fishing require serious attention to
maintain the sustainability of the fisheries sector. Regulations, such as Law
Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law Number 31 of 2004
concerning Fisheries, and the application of criminal penalties, are important
instruments in maintaining order and sustainability.
In addition, the management of lobster cultivation is regulated by a Minister of
Maritime Affairs and Fisheries Regulation, indicating the government's efforts to
manage this resource sustainably. Law enforcement, especially through fisheries
courts within the general judiciary, is an important step to overcome fisheries
crimes that are detrimental to the economy and the environment. With a strong
legal framework, Indonesia is committed to ensuring the wise use of marine
natural resources for the sake of environmental sustainability and community
welfare.
In this research, the author focuses on the focus of the research to find out
whether the Liwa District Court judge has the authority to make decisions
regarding fisheries crimes as well as analysis regarding the basis of the judge's
considerations in making decisions on fisheries crimes, whether they are in
accordance with the Fisheries Law.
The type of research used by the author in compiling this thesis is normative legal
research with a descriptive research type. This type of normative legal research is
research by analyzing written law based on library materials, laws, or reading
materials related to the problem being studied. In this case, it concerns library
materials and regulations related to the competence of district court judges in
deciding fisheries cases. Meanwhile, the descriptive research type is a type of
research that is explanatory in nature to obtain a complete, detailed, clear and
systematic picture (description) of several aspects studied in laws, government
regulations or other objects of study. So it is hoped that the results of this thesis
research will provide complete and clear information in providing an explanation
and description of fisheries law enforcement by the formation of district court
judges.
In Decision Number 41/Pid.Sus/2023/Pn Liw the competence of District Court
judges in deciding fisheries cases in Indonesia, which is regulated in Article 106
of Law Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law Number 31 of 2004
concerning Fisheries. Even though Fisheries Courts have not been established in
all regions, District Court judges still have the authority to examine, try and
decide fisheries cases outside the established Fisheries Court area. In the context
of the Liwa District Court, which does not yet have a Fisheries Court, District
Court judges are considered to have the authority to decide fisheries cases.
Court ruling Number 41/Pid.Sus/2023/Pn Liw is a concrete example, where the
judge considered the elements of a fisheries crime in accordance with the
Fisheries Law. Considerations involve elements of fault, justice, and aggravating
or mitigating circumstances. Fisheries crimes are considered extraordinary
crimes that are regulated separately, and it is hoped that the distribution of
fisheries courts in various provinces will be able to more effectively handle
fisheries cases.
In the context of the case at the Liwa District Court, fisheries crimes include the
issue of catching and sending lobster seeds which is detrimental to the
community, fish farmers and lobster resources. The judge's decision also
considers factors that are detrimental to the country's economy and involves
government programs in protecting lobster resources in the fisheries management
area of the Republic of Indonesia. The author hopes that the public will comply
with the rules regarding the prohibition on catching fry to prevent detrimental
impacts, including ecological, economic and social impacts.
Keywords: Fisheries, Judge Competence, Basic Judge ConsiderationsJonah Beto Bartolomeus20120111572024-02-15T06:11:27Z2024-02-15T06:11:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78871This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788712024-02-15T06:11:27ZANALISIS PERAMPASAN BARANG BUKTI KENDARAAN YANG DIGUNAKAN PELAKU TINDAK PIDANA PERMUFAKATAN JAHAT DALAM KASUS NARKOTIKA UNTUK NEGARA (Studi Putusan Nomor: 622/Pid.Sus/2022/PN.Tjk) Perampasan barang bukti kendaraan dalam tindak pidana narkotika meskipun memiliki dasar hukum yaitu Pasal 101 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Narkotika, namun idealnya disertai dengan kejelasan mengenai siapa pemilik kendaraan tersebut. Permasalahan: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam perampasan barang bukti kendaraan yang digunakan pelaku tindak pidana permufakatan jahat dalam kasus narkotika untuk negara pada Putusan Nomor: 622/Pid.Sus/2022/PN.Tjk? Apakah perampasan barang bukti kendaraan yang digunakan pelaku tindak pidana permufakatan jahat dalam kasus narkotika untuk negara telah memenuhi aspek kepastian hukum? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam perampasan barang bukti kendaraan yang digunakan pelaku tindak pidana permufakatan jahat dalam kasus narkotika untuk negara pada Putusan Nomor: 622/Pid.Sus/2022/PN.Tjk, baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis, tidak memuat adanya pertimbangan hakim dalam merampas untuk negara 1 (satu) unit mobil Daihatsu Sigra Warna Abu-Abu Nomor Polisi BE 2221 BZL sebagai kendaraan yang digunakan terdakwa untuk melakukan tindak pidana narkotika. Perampasan barang bukti kendaraan yang digunakan pelaku tindak pidana permufakatan jahat dalam kasus narkotika untuk negara belum memenuhi aspek kepastian hukum, karena tidak disertai dengan kejelasan siapa pemilik kendaraan dan tidak ada keterangan identitas pemilik kendaraan dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), karena kemungkinan kendaraan tersebut adalah milik pihak ketiga yang disewa oleh pelaku kejahatan. Saran: Hakim dalam memutuskan perampasan barang bukti kendaraan yang digunakan pelaku dalam kasus narkotika, hendaknya menguraikan dalam putusan mengenai kepemilikan sah kendaraan tersebut. Hendaknya masyarakat dapat membantu tugas-tugas aparat penegak hukum, khususnya dalam hal memberikan informasi apabila mengetahui adanya tindak pidana peredaran gelap narkotika. Kata Kunci: Perampasan, Kendaraan, Permufakatan Jahat, Narkotika KURNIA JAYA REKSY19120111252024-02-15T04:51:25Z2024-02-15T04:51:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78870This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788702024-02-15T04:51:25ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Nomor: 42/Pid.Sus-Anak/2022/PN.TJK) Penjatuhan pidana penjara yang dijatuhkan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan orang Studi Putusan Nomor : 42/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk dalam hal ini kurang tepat karena anak korban melakukan perbuatan tersebut atas kesadaran dan kemauan diri sendiri dan anak pelaku masih berusia 17 tahun dimana dalam Pasal 71
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak yaiu pidana penjara merupakan upaya terakhir dalam menjatuhkan pidana. Perdagangan orang yang dilakukan anak dituntut pidana oleh penuntut umum dengan pidana penjara terhadap anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Selanjutnya hakim anak menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Permasalahan yang di teliti oleh penulis adalah mengenai bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Nomor: 42/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk dan apakah faktor penghambat hakim dalam proses penjatuhan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan orang.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis Normaif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim Anak Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang, Jaksa Anak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Prosedur pengumpulan data dlakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini adalah: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana perdaganan orang dalam Putusan Nomor:
42/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk secara yuridis adalah perbuatan anak terbukti secara
sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
76F Jo. Pasal 83 Undang-Undang Perlindungan Anak. Secara filosofis hakim mempertimbangkan pidana penjara berdasarkan Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana terhadap anak sebagai upaya untuk membina anak agar menjadi pribadi yang lebih baik setelah selesai menjalani masa pidana dan agar menimbulkan efek jera pada anak agar tidak melakukan kejahatan. Secara sosiologis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana bagi anak. (2) Faktor penghambat hakim dalam proses penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam hal ini yaitu terdapat faktor keluarga atau masyarakat dan faktor penegak hukum dimana hakim mengalami kendala pada saat proses pemeriksaan meskipun hakim telah mengarahkan dan memimpin jalannya persidangan sesuai dengan surat dakwaan yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum Anak.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim dalam mеnjatuhkan pidana kepada anak diharapkan lebih mempertimbangkan kеmanfaatan yang sеbеsar-bеsarnya bagi anak. Mеngingat pеlaku adalah anak, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama dan penjatuhan pidana yang sama yaitu pidana penjara terhadap Anak tersebut agar dapat menjatuhkan sanksi pidana lain yang lebih memperhatikan kelangsungan hidup anak dan penghindaran pembalasan terhadap anak tersebut. (2) Perlu adanya sosialisasi dari aparat penegak hukum di berbagai daerah terhadap anak, orangtua dan masyarakat, bahwa penegakkan hukum kepada pelaku Anak berbeda dengan orang dewasa sebagaimana diatur dalam sistem peradilan pidana anak. Hal tersebut juga demi kebaikan, kemanfaatan dan keadilan di masyarakat.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Pidana Penjara, Anak, Perdagangan Orang.
LIANA SARI ICHA 2052011085 2024-02-15T02:23:01Z2024-02-15T02:23:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78850This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788502024-02-15T02:23:01ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN MENGENAI
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK YANG
DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLRI
(Studi Putusan Nomor 347/Pid.Sus/2021/PN Mgl)Anak harus menjadi objek dan subjek yang harus dijaga perkembangannya, agar
tercipta kualitas penerus bangsa yang mampu melanjutkan dan melaksanakan misi
bangsa.
Penulisan tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peraturan tentang perlindungan
anak, serta apa yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara
yang menyangkut kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh anggota
kepolisian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data
diperoleh melalui studi kepustakaan dan melalui wawancara menggunakan
pedoman tertulis terhadap narasumber yang telah ditentukan. Narasumber pada
penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Menggala.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan bahwa pengaturannya
tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah fakta-fakta
hukum yang terjadi sebenarnya dan yang terbukti selama proses persidangan
seperti, keterangan saksi, keterangan terdakwa, bukti surat, petunjuk, serta unsurunsur
pasal
yang
di
dakwakan
terhadap
terdakwa
melalui
pasal
yang
di
dakwakan
terhadap
terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan profesi terdakwa, yang
dimana dalam undang-undang telah diatur bahwa akan ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana.
Kata Kunci : perlindungan anak, pertimbangan hakim, peraturan perlindungan
anak
Children must be objects and subjects whose development must be maintained in
order to create the quality of the nation's successors who are able to continue and
carry out the nation's mission. In safeguarding children's welfare, the government
has regulated and formed laws that guarantee children's safety, namely Law 23 of
2002 and Law Number 35 of 2014 concerning child protection.The aim of writing
this article is to find out the regulations regarding child protection as well as
what judges will consider when deciding cases involving violence against children
committed by members of the police.
This research uses normative juridical research methods. Data was obtained
through a literature study and through interviews using written guidelines with
predetermined sources. The resource person for this research consisted of the
Menggala District Court Judge. The results of the research and discussion
indicate that the regulations are written in Law of the Republic of Indonesia
Number 17 of 2016 concerning the Stipulation of Government Regulations in Lieu
of Law Number 1 of 2016 concerning the Second Amendment to Law Number 23
of 2002 concerning Child Protection.
The things that must be considered are the legal facts that actually occurred and
were proven during the trial process, such as witness statements, defendant
statements, documentary evidence, instructions, as well as elements of the articles
indicted against the defendant through the articles indicted against the defendant.
The judge also took into account the defendant's profession, where the law
stipulates that 1/3 (one third) of the criminal threat.
Keywords: child protection, judge's considerations, child protection regulations.
Saragih Monika20120110672024-02-13T08:05:20Z2024-02-13T08:05:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78817This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788172024-02-13T08:05:20ZTINJAUAN YURIDIS DIVERSI TERHADAP PERKARA TINDAK
PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
(STUDI DI PENGADILAN NEGERI MENGGALA) Penyelesaian perkara-perkara tindak pidana anak, khususnya pencurian di Menggala, tentu
saja tidak dapat disamakan dengan orang dewasa yang menggunakan penyelesaian litigasi
yang kaku. Maka dari itu diciptakanlah suatu penyelesaian bagi perkara pencurian anak
yang menghindari penyelesaian secara litigasi dengan menggunakan pendekatan Keadilan
Restoratif yang lebih cocok terhadap anak, yaitu Diversi. Penelitian ini mengkaji tinjauan
yuridis terhadap Diversi didalam penyelesaian perkara tindak pidana pencurian anak,
bersamaan dengan faktor-faktornya, baik yang mendukung maupun yang menghambat.
Studi ini dibuat memakai konsep penelitian Normatif, yang memakai kepustakaan secara
luas mengenai pengaturan, perundang-undangan, buku-buku serta jurnal-jurnal terkait
yang sesuai dengan Diversi didalam menyelesaikan perkara tindakan pidana yang
diperbuat Anak, khususnya Pencurian di Pengadilan Negeri Menggala.
Studi ini menghasilkan tinjauan yuridis terhadap Diversi secara umum dan khususnya
terhadap implementasi Diversi didalam menyelesaikan perkara tindakan pidana pencurian
yang diperbuat Anak di wilayah Menggala. Data-data seperti pengaturan yang digunakan
didalam penyelesaian perkara pencurian secara Diversi serta wawancara atas
pelaksanaannya, beserta pertimbangan-pertimbangan Hakim Anak di Pengadilan Negeri
Menggala, menciptakan suatu kesimpulan bahwasanya, pelaksanaan Diversi di Pengadilan
Negeri Menggala sudah menciptakan inovasi baru yang lebih berdampak positif didalam
penyelesaian Tindak Pidana Pencurian oleh Anak serta bisa digunakan sebagai alternatif
yang lebih utama kepada anak-anak dan masyarakat Menggala yang belum sepenuhnya
sadar hukum, khususnya di daerah hukum Pengadilan Negeri Menggala.
Kata Kunci : Tindak Pidana Pencurian, Diversi, Keadilan Restoratif, Anak,
Menggala, Pengadilan Negeri Menggala.
The resolution of criminal cases involving children, especially theft in Menggala, cannot
be equated with adults who use rigid litigation methods. Therefore, a resolution has been
created specifically for cases of child theft that avoids litigation by utilizing a Restorative
Justice approach more suitable for children, known as Diversion.
This research examines the juridical aspects of Diversion in resolving criminal cases of
child theft, along with its supporting and hindering factors. The research employs the
Normative research method, extensively utilizing literature on regulations, laws, books,
and relevant journals related to Diversion in resolving criminal cases committed by
children, especially theft cases in the Menggala District Court. The study provides a
juridical overview of Diversion in general and, specifically, its implementation in resolving
criminal cases of child theft in the Menggala region.
Data such as the regulations used in resolving theft cases through Diversion, along with
interviews on its implementation and considerations of the Children's Judge at the
Menggala District Court, lead to the conclusion that the implementation of Diversion at
the Menggala District Court has introduced new innovations that have a more positive
impact on resolving criminal theft cases involving children. It can be considered a
preferred alternative for children and the Menggala community, particularly for those who
are not fully aware of the law, within the jurisdiction of the Menggala District Court.
Keywords: Criminal Theft, Diversion, Restorative Justice, Children, Menggala,
Menggala District Court. Yazid Juan Elnatarisi2012011296 2024-02-13T07:02:15Z2024-02-13T07:02:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78803This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/788032024-02-13T07:02:15ZANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MELALUI REHABILITASI
DENGAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF
(Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Lampung) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme dan peran pihak Kejaksaan dalam penanganan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif yang berdasarkan pada
pedoman jaksa agung nomor 18 tahun 2021. Jenis Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian normatif empiris dengan metode pengumpulan data dengan cara menggunakan studi kepustakaan praktek kerja, dan studi lapangan dengan cara wawancara pada Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung serta dengan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Adupun Hasil penelitian yaitu: Proses pelaksanaan Keadilan restoratif mengenai narkotika bahwa Keadilan restoratif mengenai narkotika ini dapat dilaksanakan apabila pelaku merupakan penyalahguna narkotika yang melanggar Pasal 127 ayat (1) Undang - undang Narkotika, dan tidak melebihi pemakaian satu hari, merupakan pengguna terakhir serta terdapat hasil laboratorium Metamfetamina. Peranan pihak Kejaksaan Tinggi Lampung dalam proses pelaksanaan Keadilan Restoratif berperan sebagai fasilitator dalam pelaksanaan Keadilan Restoratif, dalam pelaksanaan ini Kejaksaan Tinggi Lampung melengkapi persyaratan yang ada di Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 yang mana selanjutnya diilakukan ekspose ke pihak Jaksa Agung. Hambatan bagi Kejaksaan Tinggi Lampung dalam penegakan hukum terhadap penayalahgunaan narkotika
pada dasarnya terletak pada faktor hukum, dan faktor penegak hukum
Kata Kunci: Keadilan Restoratif, Penyalahguna Narkotika, Kejaksaan ANISA JENNY20120110542024-02-13T01:24:14Z2024-02-13T01:24:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78751This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/787512024-02-13T01:24:14ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI APLIKASI KENCAN ONLINE (Putusan PN Nomor: 431/Pid.B/2020/Pn.Jkt.Tim) Penipuan melalui aplikasi kencan online ialah bentuk tindak pidana penipuan yang mengalami perubahan yaitu tindak pidana yang dilaksanakan melalui media sosial (dunia maya) dengan modus love scam untuk mendapatkan keuntungan. Tindak pidana penipuan melalui aplikasi kencan online merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Skripsi ini akan fokus membahas tentang pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan melalui aplikasi kencan online. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan melalui aplikasi kencan online Putusan PN Nomor: 431/Pid.B/2020/Pn.Jkt.Tim. dan mengapa pada Putusan PN Nomor: 431/Pid.B/2020/Pn.Jkt.Tim menggunakan Pasal
378 KUHP serta tidak menggunakan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE.
Penelitian ini memakai pendekatan normatif empiris. Pengumpulan data yakni data primer serta data sekunder dengan melakukan pengumpulan data melalui studi lapangan serta studi kepustakaan. Narasumber terdiri dari Advokat serta Dosen Fakultas Hukum. Setelah data didapat melalui penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif.
Penulis menarik kesimpulan bahwasanya: Pertanggungjawaban pidana terdakwa tindak pidana penipuan melalui aplikasi kencan online sudah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaksanakan tindak pidana penipuan telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana serta terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur penipuan dengan sudah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwasanya terdakwa bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 378
KHUP tentang penipuan dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Putusan PN Nomor: 431/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim, Akan tetapi Hakim memutuskan untuk mengikuti surat dakwaan atau tuntutan dari Jaksa dalam memutuskan dakwaan kasus ini dimana digunakannya Pasal 378 dan tidak menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE untuk penjatuhan dakwaan kasus penipuan melalui aplikasi kencan online ini meski terdapat media online sebagai sarana utama dalam menjalankan aksinya
yang masuk keranah tindak pidana penipuan online, sedangkan terdapat uu khusus yang mengatur mengenai tindak pidana penipuan online yaitu tepatnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE akan tetapi hakim tidak mempertimbangkannya dan mengikuti tuntutan dari Jaksa. Hal ini terlihat dari terdakwa menggunakan identitas dan foto palsu, media utama berupa aplikasi kencan online dan aplikasi Line, lalu penipuan yang dilakukan terdakwa terhadap korban sepenuhnya terjadi melalui dunia maya tanpa tatap muka atau bertemu satu sama lain dengan menggunakan modus love scam, dan terdapat transaksi yang merugikan korban.
Saran dalam penelitian ini adalah bagi masyarakat lebih bijak lagi dan berhati-hati lagi dalam berinteraksi di dunia maya, jaga informasi pribadi, hati-hati terhadap orang yang baru dikenal, jangan mudah terperdaya oleh kata-kata mereka agar terhindar dari penipuan. Hakim dan Jaksa sebagai penegak hukum dalam menjatuhkan dakwaan dan proses penuntutan dapat lebih memperhatikan tindak pidana tersebut apakah terdapat undang-undang khusus yang mengaturnya atau tidak sehingga tidak keliru dalam menentukan penggunaan pasal yang akan di dakwakan kepada terdakwa.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Penipuan, Aplikasi Kencan Online
SINTIA YOLA 19120110482024-02-13T01:10:09Z2024-02-13T01:10:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78741This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/787412024-02-13T01:10:09ZUPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HAL
PENGADAAN BARANG DAN JASA DI DESA
(Studi Pada Desa Rejosari Kabupaten Pringsewu)Tindak pidana korupsi ini telah menyebar disetiap lapisan masyarakat, salah satu
pelaku yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi adalah Kepala Desa.
Modus korupsi paling banyak terjadi dalam pengelolaan keuangan desa adalah
pengadaan barang dan jasa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana
kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa di desa berdasarkan Permendagri 20 tahun
2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No 12 Tahun 2019 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa di Desa dan Apa saja Upaya Hukum dalam mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Desa.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah
hukumnya, dan data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa
di Desa berada pada bagian belanja desa berdasarkan kegiatan. Sesuai Peraturan
LKPP No 12 tahun 2019 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Desa yang
menyatakan bahwa Pengadaan adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa
oleh Pemerintah Desa, baik dilakukan melalui swakelola dan/atau penyedia
barang/jasa. Belanja tersebut dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan desa yang
telah dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), Pengadaan
Barang dan Jasa di Pemerintahan Desa berbeda dengan pengadaan barang dan jasa
di kementerian, lembaga dan perangkat daerah. Terdapat beberapa perbedaan
yang sangat luas dan dalam jumlah yang tidak sedikit. Hanya saja, karena
keterbatasan yang ada, kajian di atas hanya mengupas sedikit perbedaan yang
muncul. Perbedaan tersebut dari aspek subyek pengadaan dan model pengadaan.
Dan Mekanisme yang dapat diterapkan dalam mencegah korupsi pengadaan
barang dan jasa di Desa dapat dilakukan dengan upaya pengawasan peran serta
masyarakat dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi khususnya pengadaan
barang dan jasa di Desa sangat penting peran dari masyarakat itu sendiri untuk
melakukan kontrol sosial. Serta peran masyarakat ikut berpartisipasi dalam
mengawasi secara eksternal terkait penggunaan anggaran desa dalam pengadaan
barang dan jasa.
Saran dari penelitian ini kepada pemerintah dan seluruh elemen mayarakat untuk
lebih meningkatkan sosialisasi tentang pencegahan korupsi, khususnya korupsi
dana desa dalam pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian dana yang
digelontorkan untuk desa dapat tepat sasaran dan tidak ada pihak yang
menyalahgunakan. Efek akhir dari pencegahan korupsi adalah kepercayaan
masyarakat yang meningkat terhadap pemerintah, khsusunya pemerintah desa.
Kata Kunci : Korupsi, Pengadaan Barang dan Jasa, Desa.
This criminal act of corruption has spread to every level of society, one of the
perpetrators who has the potential to commit a criminal act of corruption is the
Village Head. The most common mode of corruption in village financial
management is the procurement of goods and services. The problem in this
research is what is the policy for Procurement of Goods and Services in villages
based on Permendagri 20 of 2018 concerning Village Financial Management and
LKPP Regulation No. 12 of 2019 concerning Procurement of Goods and Services
in Villages and What are the Legal Efforts to prevent criminal acts of corruption
in Procurement of Goods and Services in the Village.
The approach method used in this research is a normative juridical and empirical
juridical approach, emphasizing the study of legal rules, and the data used is
secondary data and primary data. Data collection was carried out using literature
studies and field studies.
The results of the research and discussion show that the procurement of goods and
services in the village is in the village expenditure section based on activities. In
accordance with LKPP Regulation No. 12 of 2019 concerning Procurement of
Goods and Services in Villages which states that Procurement is an activity to
obtain goods and services by the Village Government, whether carried out
through self-management and/or providers of goods/services. This expenditure is
spent in accordance with village needs which have been outlined in the Village
Government Work Plan (RKPDes). Procurement of Goods and Services in
Village Government is different from procurement of goods and services in
ministries, institutions and regional apparatus. There are several very wide
differences and the numbers are not small. However, due to existing limitations,
the study above only examines a few of the differences that emerge. These
differences come from aspects of procurement subjects and procurement models.
And the mechanism that can be implemented to prevent corruption in the
procurement of goods and services in the Village can be carried out by monitoring
the role of the community in efforts to prevent criminal acts of corruption,
especially in the procurement of goods and services in the Village. The role of the
community itself is very important in carrying out social control. As well as the
role of the community in participating in external supervision regarding the use of
the village budget in procuring goods and services.
Suggestions from this research are for the government and all elements of society
to further increase socialization regarding the prevention of corruption, especially
corruption of village funds in the procurement of goods and services. In this way,
the funds disbursed to villages can be right on target and no party misuses them.
The final effect of preventing corruption is increased public trust in the
government, especially village governments.
Keywords: Corruption, Procurement of Goods and Services, Village.
Chandra Yoga I Gede18420110342024-02-12T07:01:02Z2024-02-12T07:01:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78710This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/787102024-02-12T07:01:02ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN
TERHADAP ANAK PELAKU PENGANIYAAN BERAT
MENGAKIBATKAN KEMATIAN
(Studi Perkara Nomor:54/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk)
Hukum Pidana di Indonesia menjadi salah satu pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah dasar yang kuat dalam rangka menentukan perbuatan suatu tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara tegas memiliki ancaman sanksi pidana, Salah satu bentuk kejahatan yang seringkali terjadi di sekitar kita yakni kejahatan dalam bentuk kekerasan seperti penganiyaan hal ini penganiayaan maupun kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain bahkan terhadap benda sekalipun menjadi suatu alasan seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tanpa terkecuali oleh anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, di mana hukum dikonsepkan sebagai apa yang dituliskan oleh peraturan perundang- undangan dan penelitian terhadap sistematika hukum pada peraturan perundang-undangan tertentu atau tertulis. Sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder yang diperoleh melalui bahan kepustakaan yaitu seperti peraturan perundang-undangan, dokumen, buku, dan dituangkan dalam bentuk analisis kualitatif. Berdasarkan penelitian diatas bahwa penegakan hukum oleh kepolisian terhadap anak sebagai pelaku penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian Polresta Kota Bandar Lampung tersebut memiliki pertimbangan untuk tidak mengupayakan diversi dikarenakan perbuatan para pelaku secara yuridis sangat memberatkan.
Faktor internal dan eksternal turut menjadi penghambat penyelesaian penegakan hukum di tahap penyidikan di kepolisian. Kesimpulan pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian oleh pelaku penyertaan anak dibawah umur yang terjadi Di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Kota Kota Bandar Lampung. Dengan ancaman pemidanaan yang dikenakan persangkaan KUHPidana, dengan acara pidana berpedoman kepada sistim peradilan dewasa.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Penganiayaan, Anak, dan Diversi
Criminal Law in Indonesia is one of the most important guidelines in realizing justice. The Criminal Code is a strong basis in order to determine the conduct of a criminal act. Criminal Code which expressly has the threat of criminal sanctions,
One form of crime that often occurs around us is crime in the form of violence such as abuse, this is persecution or violence committed by someone against others, even against objects, even though it is a reason someone must account for their actions without exception by children.
The method used in this study is normative juridical, where law is conceptualized as what is written by laws and regulations and research on legal systematics in certain laws and regulations or written. The nature of descriptive research that uses primary and secondary data sources obtained through literature materials, such as laws and regulations, documents, books, and is outlined in the form of qualitative analysi.s Based on the research above, law enforcement by the police against children as perpetrators of severe abuse that resulted in the death of the Bandar Lampung City Police had considerations not to seek diversion because the actions of the perpetrators were juridically very burdensome.
Internal and external factors also hinder the completion of law enforcement at the investigation stage in the police.Criminal conclusion of maltreatment causing death by perpetrators of participation of minors that occurred in the jurisdiction of the Bandar Lampung City Resort Police. With the threat of punishment imposed by the Penal Code, with criminal procedures guided by the adult justice system
Keywords: Law Enforcement, Maltreatment, Children, and Diversion
Adji Sutan Rafi Muhammad 18120112242024-02-12T03:30:33Z2024-02-12T03:30:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78684This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/786842024-02-12T03:30:33ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA JUDI TOGEL YANG SUDAH LANJUT USIA
(Studi Putusan Nomor : 39/Pid.B/2022/PN TJK)
Lanjut Usia (Lansia) adalah seseorang yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupan. Lanjut Usia merupakan seseorang yang usianya sudah dikatakan tua, namun tetap memiliki hak dan kewajiban. Togel (toto gelap) itu sendiri tidak banyak peminatnya seperti sekarang karena proses perjudian tersebut hanya melalui perorangan yang belum banyak dimengerti oleh masyarakat. Salah satu tindak pidana perjudian togel yang akan di kaji dalam skrispi ini adalah perkara yang diadili oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang, yaitu perkara pidana dengan Studi Putusan Nomor : 39/Pid.B/2022/PN Tjk dengan terdakwa bernama M.Basir Bin M.Nuh. Terdakwa yang sudah lanjut usia tersebut terbukti bermain judi togel. Permasalahan dalam penelitian ini ialah Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara judi togel yang dilakukan oleh pelaku lansia sesuai dengan ketentuan hukum. Apakah yang menjadi faktor penghambat hakim dalam memutus perkara judi togel yang di lakukan oleh pelaku lansia.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji perundang-undangan dan literature terkait dan dilanjutkan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris untuk mengobservasi lebih mendalam serta mewawancarai Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mendapatkan data empiris terkait penelitian yang sedang dilaksanakan. Analisis data digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif merupakan proses analisis data yang tidak melibatkan atau berbentuk angka.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pembebanan pertanggungjawaban yang dibebankan telah terpenuhi dengan adanya perbuatan pidana, adanya kesengajaan, kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya unsur alasan pemaaf sesuai dengan keberadaan terdakwa. Maka pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap Terdakwa dibebankan selama 8 (delapan) bulan, karena telah terbukti melanggar Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP. Dasar
pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan tindak pidana harus mempertimbangkan berdasarakan aspek yuridis sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Keterangan Terdakwa, Keterangan Saksi, Barang-Barang Bukti, dan Pasal yang di Dakwakan serta adanya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Serta adanya tiga aspek yuridis, aspek filosofis, dan sosiologis. Terdapat 2 hambatan yakni hambatan dari faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal adalah menurut narasumber yang ada kasus ini minim ditemukannya hambatan dikarenakan kasus ini merupakan OTT dengan demikian mulai dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti telah memenuhi unsur-unsur dakwaan yang didakwakan, Faktor eksternal adalah ketidak hadirannya ahli di persidangan. Hakim dalam perkara ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada pada dasarnya telah terbukti, berdasarkan terdakwa, keterangan saksi, dan alat bukti serta fakta-fakta hukum yang ada pada dasarnya terbukti bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan tindakan melanggar hukum pidana.
Saran penelitian ini adalah hendaknya Hakim dalam menjatuhkan pidana harus mempertimbangkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa dalam penjatuhan tindak pidana. Selanjutnya agar tercapainya putusan yang adil Majelis Hakim harus memperhatikan jalannya persidangan dalam mendatangkan ahli di persidangan hendaknya dipersiapkan secara baik agar meminimalisir ketidak hadiran ahli agar tidak terjadinya hambatan Majelis Hakim dalam memutus sebuah perkara perjudian togel.
Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Judi Togel, Lanjut Usia
Elderly is someone who has entered the final stage of the life phase. Elderly is someone whose age is said to be old, but still has rights and obligations. Togel itself did not have as many enthusiasts as it does now because the gambling process was only through individuals who were not widely understood by the public. One of the togel gambling crimes that will be examined in this thesis is a case tried by the Tanjung Karang District Court, namely a criminal case with Decision Study Number: 39/Pid.B/2022/PN Tjk with the defendant named M.Basir Bin M.Nuh. The elderly defendant was proven to have played togel gambling. The problem in this study is How is the basis for the judge's consideration in deciding the togel gambling case committed by elderly actors in accordance with legal provisions. What are the inhibiting factors for judges in deciding togel gambling cases committed by elderly perpetrators.
This research uses normative juridical research methods by examining related legislation and literature and continued by using empirical juridical research to observe more deeply and interviewing Tanjung Karang District Court Judges and Lecturers at the Faculty of Law, University of Lampung to obtain empirical data related to the research being carried out. Data analysis used in this research is qualitative data analysis is a data analysis process that does not involve or take the form of numbers.
Based on the results of the research and discussion, it is known that the imposition of responsibility imposed has been fulfilled with the existence of a criminal act, the existence of intent, the ability to be responsible and the absence of elements of excuse in accordance with the existence of the defendant. Therefore, the criminal liability of the defendant is imposed for 8 (eight) months, because he has been proven to have violated Article 303 bis paragraph (1) to 1 of the Criminal Code. The basis of the Judge's legal considerations in imposing a criminal offense must consider based on juridical aspects in accordance with the charges of the Public Prosecutor, the Statement of the Defendant, Witness Statements, Evidence, and the Articles charged as well as aggravating and mitigating circumstances. As well
as the three aspects of juridical, philosophical, and sociological aspects. There are 2 obstacles, namely obstacles from internal factors and external factors. Internal factors are according to existing sources this case has minimal obstacles, thus starting from the witness testimony, the defendant's testimony and the evidence have fulfilled the elements of the charges charged, the external factor is the absence of experts at the trial. The judge in this case, in accordance with the existing facts, basically proved that the actions committed by the defendant violated the criminal law, based on the defendant, witness testimony, and evidence.
The suggestion of this research is that the Judge in imposing a sentence should consider every mistake made by the defendant in imposing a criminal offense. Furthermore, in order to achieve a fair verdict, the Panel of Judges must pay attention to the course of the trial in bringing experts to the trial should be well prepared in order to minimize the absence of experts so that there are no obstacles for the Panel of Judges in deciding a togel gambling case.
Keywords : Judge’s Considerations, Togel Gambling, Elderly
Ismarini Azizah Elsa 19420110032024-02-02T08:26:17Z2024-02-02T08:26:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78526This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/785262024-02-02T08:26:17ZPENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Kasus Pada Kejaksaan Negeri Kota Kediri)Penyalahgunaan Narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang tertinggi di
Indonesia, dimana pidana penjara dan denda yang menjadi hukuman bagi pelaku
tak terkecuali bagi pengguna tindak pidana tersebut. Konsep keadilan restoratif
memfokuskan bahwa tujuan pidana adalah untuk memulihkan keadaan dan hadir
sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula dan bukan pada pembalasan. Kejaksaan Negri Kota Kediri
melakukan penghentian penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan
dialihkan dengan pendekatan keadilan restoratif bagi pelaku Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan keadilan restoratif bagi pelaku tindak pidanan narkotika dan
faktor penghambat pelaksaan keadilan restoratif bagi pelaku Tindak Pidana
Narkotika serta perbedaan penghentian penuntutan dengan pendekatan Keadilan
Restoratif terhadap Tindak Pidana Narkotika dan penghentian penuntutan menurut
KUHAP dan KUHP.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Narasumber pada penelitian ini
adalah dari pihak Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Advokat dan Dosen Bagian
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan yaitu penerapan keadilan restoratif bagi pelaku
Tindak Pidana Narkotika dapat diselesaikan dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Penanganan Perkara tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi
Adisa Athallah Fakhirah
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis
Jaksa. Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika
melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan asas
kemanfaatan, serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya
ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir dan pemulihan pelaku. Faktor
penghambat pelaksanaan keadilan restoratif bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika
adalah, kendala di tempat rehabilitasi untuk rawat inap, sarana dan prasarana yang
belum memadai, serta Mind set (cara pikir) Aparat Penegak Hukum (APH) yang
belum maksimal dalam pelaksaan penyelesaian Keadilan Restoratif. Penghentian
penuntutan dengan pendekatan Keadilan Restoratif terhadap Tindak Pidana
Narkotika dan penghentian penuntutan menurut KUHAP dan KUHP tidak sama,
pemberian Keadilan Restoratif bagi penyalahguna narkotika adalah salah satu jalan
untuk memberikan dampak yang lebih baik bagi pelaku tindak pidana Narkotika
juga alasan dihentikannya penuntutan untuk diahlihkan ke keadilan restoratif.
Saran dari penelitian ini adalah Penyelesaian perkara Narkotika melalui Keadilan
Restoratif harus lebih di sosialisasikan baik kepada aparat penegak hukum dan
masyarakat serta penyelesaian dilakukan dengan hati-hati sesuai proposional dan
professional. Pembangunan Balai Rehabilitasi Adhyaksa di daerah yang Kejaksaan
Tinggi maupun Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia pada wilayah hukumnya
akan menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten maupun
Kota disegerakan untuk membantu upaya penegak hukum dalam Rehabilitasi
Penyalahguna, Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Kata Kunci : Keadilan Restoratif, Narkotika, Rehabilitasi
Athallah Fakhirah Adisa1952011047 2024-02-02T06:52:00Z2024-02-02T06:52:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78502This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/785022024-02-02T06:52:00ZANALISIS YURIDIS URGENSI KEBERADAAN MOTIF DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANAMotif dalam tindak pidana menjadi dorongan yang terdapat dalam sikap batin atau niat
pelaku untuk melakukan tindak pidana. Dalam tindak pidana, motif seringkali
dianggap tidak relevan, untuk itu perlu ada penyelidikan polisi dan kepastian dalam
memastikan kesalahan seseorang atas penjelasan mengenai alasan yang dituduhkan,
karena bertindak atau menahan diri dari bertindak dengan cara tertentu. Motif menjadi
awal timbulnya niat, yang mana niat dikaitkan dengan unsur delik kesengajaan.
Berbicara soal motif dalam kasus pembunuhan berencana, muncul pro kontra mengenai
penting tidaknya motif pelaku dalam kasus pembunuhan.
Pendekatan masalah yang digunakan pada skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan
sekunder. Para pihak yang terlibat sebagai narasumber diantaranya, Hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dalam konstruksi Pasal 340
KUHP (pembunuhan berencana), tidak terdapat unsur motif dalam konstruksi delik.
Konsekuensi jika unsur motif tidak menjadi rumusan delik adalah penyidik tidak perlu
mengungkap atau menggambarkan motif itu dalam penyidikan maupun dalam
pembuktian dan jaksa penuntut umum tidak perlu menguraikan dan membuktikan
dalam dakwaan Urgensi dicarinya motif dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tindak
pidana pembunuhan berencana oleh penyidik dan surat dakwaan oleh penuntut umum
hanya untuk mengonstruksi rangkaian perbuatan pelaku. Motif juga diperlukan dan
dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dan dasar pemberat dan/atau peringan
pidana terhadap terdakwa yang sifatnya sekunder bagi Penuntut Umum dalam
penyusunan surat tuntutannya (requisitor) dan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Secara garis besar terdapat saran dalam penelitian skripsi ini yaitu perbedaan
pendapat yang ada diharapkan dapat dilakukan konsolidasi sehingga terjadi
persamaan presepsi yang pada akhirnya dapat dijadikan referensi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan Keputusan hakim dalam memutuskan perkara
tindak pidana pembunuhan berencana sesuai dengan pasal 340 KUHP yang
menyatakan motif berada di luar unsur unsur pada pasal 340 KUHP diharapkan
dapat menjadi yurisprudensi di masa yang akan datang.
Kata Kunci: Motif, Tindak Pidana, Pembunuhan Berencana.
ALDINA WAZUBA PUTRI19120112922024-02-02T06:30:53Z2024-02-02T06:30:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78495This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784952024-02-02T06:30:53ZPENEGAKAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANA PENGHINAAN
NAMA BAIK SESEORANG DI TEMPAT UMUM
(StudI Putusan 552/Pid.B/2019/PN.TJK)
Tindak pidana penghinaan secara sederhana yaitu suatu tindakan atau sikap yang
melanggar atau menyerang nama baik seseorang atau sikap yang telah
bertentangan dengan tata krama, sopan santun dalam memperhatikan kepentingan
diri orang lain dalam pergaulan sehari-hari. Perbuatan tindak pidana penghinaan
nama baik seseorang telah terjadi di Kota Bandar Lampung, dimana hal itu dapat
dilihat melalui putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
552/Pid.B/2021/PN TJK. Permasalahan penelitian adalah bagaimana penegakan
hukum dalam menerapkan Pasal 310 KUHP tindak pidana penghinaan kepada
pelaku kejahatan dan apakah hambatan penegakan hukum dalam menerapkan
Pasal 310 KUHP tindak pidana penghinaan kepada pelaku kejahatan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 552/Pid.B/2019/PN Tjk.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana penghinaan nama baik di tempat umum berdasarkan Putusan
Nomor: 552/Pid.B/2019/PN Tjk melalui beberapa tahapan yakni pemanggilan,
pemeriksaan, penjatuhan, dan penyampaian putusan pidana. Melalui pemanggilan
terdakwa lalu diperiksa dan dalam pemeriksaan terdakwa bersalah dan dijatuhi
hukuman lalu hakim membacakan putusan terhadap terdakwa yang telah
melakukan tindak pidana kasus penghinaan nama baik. Terdakwa Ria Maryana
binti Nadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“sengaja menyerang kehormatan atau nama baik dengan menuduhkan sesuatu hal,
yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum”. Menjatuhkan pidana
kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas)
hari. Serta membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp
2.000,00 (dua ribu rupiah). (2) Hambatan penegakan hukum dalam menerapkan
Pasal 310 KUHP tindak pidana penghinaan kepada pelaku kejahatan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 552/Pid.B/2019/PN Tjk
adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat yakni lingkungan
di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan serta faktor kebudayaan yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada rasa kemanusiaan di
dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan simpulan di atas, dapat diberikan saran bahwa Hakim sebaiknya
mempertimbangkan apa yang diputuskannya dengan lebih bijak serta diharapkan
kepada Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dapat memberikan
kesadaran pada diri terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan dapat
memberikan pandangan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam
penggunaan media elektronik sehingga tida terjerumus ke dalam tindak pidana
yang sama. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan pidana diharapkan dapat
memberikan dampak pada pidana yang dijatuhkan, sehingga putusan tersebut
dapat memenuhi aspirasi dan rasa keadilan masyarakat.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Penghinaan, Nama Baik.
KURNIA PRATAMA RIZKY20520110212024-02-02T06:20:19Z2024-02-02T06:20:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78491This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784912024-02-02T06:20:19ZUPAYA UNIT PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (PPA) DALAM MENGUNGKAP ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI KORBAN TINDAK PIDANA PADA KASUS KEKERASAN SEKSUAL
PADA PENYANDANG DIFFERENT ABLE PEOPLE ( DIFABEL)
(Studi Pada Kepolisian Resor Tanggamus )
Dalam mengungkap kasus pidana pada penyandang disabilitas anak dibawah umur untuk memperoleh bukti bahwa telah terjadinya tindak pidana diperlukannya salah satu bukti yaitu keterangan saksi, hal ini tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Pada Pasal 12 dan Pasal 13 konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas tersebut, ditegaskan bahwa disabilitas mempunyai kedudukan yang setara di hadapan hukum dan memiliki hak atas akses yang sama terhadap peradilan. Salah satu contoh kasus kekerasan seksual pada anak perempuan disabilitas mental terjadi di Kabupaten Tanggamus, seorang kakek yang tega melakukan tindakan kekerasan seksual yang berupa pemerkosaan terhadap cucu kandungnya sendiri yang merupakan seorang penyandang disabilitas tuna wicara hingga korban tersebut hamil.
Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan antara lain terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak yang menjadi Narasumber yaitu Penyidik Kepolisian Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Tanggamus, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan upaya pihak kepolisian yang terbagi menjadi menjadi 3 tahap yang berupa penyelidikan, penyidikan, dan pra perunututan. Dalam rangka mengungkap suatu kasus tindak pidana kekerasan seksual pada penyandang disabilitas anak dibawah umur yaitu dengan menyediakan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan menerapkan metode gambar dalam proses mengumpulkan alat bukti pada kasus yang dialami oleh penyandang disabilitas anak serta menggunakan ahli bahasa isyarat dalam menjembatani komunikasi antara penyidik kepolisian dan korban. Maka berdasarkan alat bukti
yang diperoleh dari upaya kepolisian dalam rangka mengungkap kronologis secara jelas dan berdasarkan pertimbangan hakim keterangan saksi pada penyandang disabilitas yang usianya dibawah umur dipergunakan sebagai faktor yang menambah keyakinan hakim sesuai dengan pasal 183 KUHAP dimana Hakim dalam menjatuhkan putusan dengan minimal dua alat bukti dan dari itu hakim memperoleh keyakinan. Hal yang perlu menjadi perhatian khusus terhadap penyumpahan saksi penyandang disabilitas tetap bisa di sumpah jika ia sudah berusia 18 Tahun dan dalam hal ini yang menjadi korban ialah anak di bawah umur yang kesaksiannya tidak bisa di sumpah dan untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi dimana keterangan saksi digunakan sebagai acuan untuk mencari fakta mengenai kasus yang dialami oleh korban, sedangkan keterangan saksi korban penyandang disabilitas anak dibawah umur dianggap tidak kuat seperti keterangan saksi orang normal pada umumnya karena penyandang disabilitas tidak dapat memberikan keterangan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya secara sempurna dengan mengungkapkan kejadian tindak pidana kekerasan seksual terhadap dirinya maka dari itu Hakim timbul keyakinan. Serta kualitas kesaksian saksi testimonium de auditu ditinjau dari hukum positif meskipun bukan atas apa yang dilihat, di dengar, dan dialami sendiri tetap dapat dijadikan alat bukti karena memiliki relevansi dari persesuaian cerita. Kesaksian testimonium de auditu tidak boleh dikesampingkan atau ditolak sepenuhnya dan hakim harus mendengarkan keterangan semua pihak demi terciptanya keadilan.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini yaitu diharapkan untuk pihak penyidik agar selalu konsisten dalam melakukan penyidikan terhadap saksi penyandang disabilitas tuna wicara dan tidak melakukan dasar pembedaan dan menyetarakan proses penyidikan dengan orang normal pada umumnya, karena sangat jelas negara ini khususnya dalam aspek hukum mengatur setiap warga negara tanpa terkecuali mempunyai kedudukan yang setara. Hakim dapat menerapkan metode pembuktian yang ada dalam Undang-undang, untuk kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas karena pada saat menerapkan metode pembuktian tersebut, hakim tidak melanggar aturan terkait pembuktian yang ada dalam KUHAP. Dalam menafsirkan alat bukti petunjuk, hakim telah melakukan penafsiran hukum yang responsif berdasarkan hukum progresif yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi anak sebagai korban kekerasan seksual untuk menemukan keadilan bagi anak selaku korban, tidak sekedar memenuhi keadilan prosedural yang dituntut oleh Undang-undang.
Kata Kunci: Keterangan Saksi, Penyandang Disabilitas, Kekerasan Seksual
Earlyani Aura20520111192024-02-01T08:09:29Z2024-02-01T08:09:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78467This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784672024-02-01T08:09:29ZPERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PRAKTIK EUTHANASIA DI INDONESIAEuthanasia merupakan prosedur medis untuk mempercepat proses kematian seorang pasien dengan tujuan menghilangkan penderitaan. Tindakan euthanasia dapat dilakukan dengan cara menginjeksikan suatu zat mematikan atau menghentikan proses pengobatan. Penelitian ini akan menganalisis praktik euthanaisa yang ditinjau berdasarkan perspektif nilai-nilai hukum pidana dan hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Narasumber dalam penelitian ini yaitu Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan ahli hukum dalam bidang HAM. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Berdasarkan Pasal 344 KUHP seorang dokter dapat dipidana apabila melakukan tindakan euthanasia dan keberadaan Pasal 48 KUHP tidak dapat membenarkan tindakan euthanasia yang dilakukan dokter (2) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM tindakan euthanasia melanggar hak hidup dan bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2), serta UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28A, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Diperlukan reformulasi hukum kesehatan yang menjebatani kebutuhan masyarakat dengan sifat represif hukum pidana sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pasien dan tenaga kesehatan. (2) Dalam rangka menghormati dan melindungi hak hidup pasien diperlukan perbaikan pelayanan kesehatan sehingga tidak ada masyarakat yang terancam hidupnya, dan terbesit untuk melakukan euthanasia.
Kata Kunci: Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia, Euthanasia
Pratama Rico Virza 20120112942024-02-01T07:40:17Z2024-02-01T07:40:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78460This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784602024-02-01T07:40:17ZANALISIS FAKTOR PENYEBAB KEJAHATAN EKSPLOITASI ORANG
TUA YANG MENYURUH MELAKUKAN ANAK SEBAGAI PENGEMIS
Negara Indonesia telah menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Namun sayangnya di Indonesia saat ini khususnya di Kota Bandar
Lampung sendiri masih marak terjadinya tindak kejahatan ekploitasi anak sebagai
pengemis oleh orang tuanya sendiri. Perbuatan orang tua yang menggunakan anak
sebagai pengemis termasuk kedalam perbuatan eksploitasi yang melanggar
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dan termasuk kedalam perbuatan kejahatan.
Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apakah faktor-faktor
penyebab kejahatan eksploitasi orang tua yang menggunakan anak sebagai
pengemis dan bagaimana upaya penanggulangan tindak kejahatan eksploitasi
orang tua yang menggunakan anak sebagai pengemis.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang penelitian ini. Data yang digunakan
adalah data primer, data sekunder, data tersier. Sedangkan pengolahan data yang
diperoleh dengan cara editing, evaluasi, klasifikasi, dan sistematika data. Data
hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif, kualitatif dengan
menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa (1) Faktor utama penyebab
terjadinya kejahatan eksploitasi orang tua yang menggunakan anak sebagai
pengemis adalah faktor ekonomi yang membuat orangtua terpaksa membawa atau
menyuruh anak untuk mengemis agar kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi,
Faktor penegak hukum mempengaruhi penekanan angka pengemis namun sampai
saat ini belum ada kasus eksploitasi anak yang naik ke tahap penyidikan
dikarenakan kurangnya alat bukti, Faktor Masyarakat ini seharusnya masyarakat
tidak memberikan uang kepada pengemis dengan tujuan para pengemis tidak
menganggap tindakan mereka sebagai cara paling mudah mendapatkan uang, dan
Faktor lingkungan sekitar mempengaruhi tindakan seseorang untuk mengikuti
perbuatan mengemis dengan tujuan mendapatkan uang secara mudah. (2) Upaya
yang telah dilakukan ialah Dinas sosial telah berjuang dalam menekan angka
pengemis dengan berkolaborasi dengan kementrian sosial, satpol PP, kepolisian,
serta yayasan panti atau pembinaan swasta. Lalu dalam langkah penanggulangan
selanjutnya, dinas sosial telah melakukan penyuluhan terhadap para pengemis
dengan perpanjangan tangan kepada Yayasan Pembinaan Swasta.
Saran dalam penelitian ini adalah: Instansi kepolisian resort kota bandar lampung
dapat mengoptimalisasikan kinerjanya dalam menangani kasus eksploitasi anak di
Kota Bandar Lampung dengan mencari alat bukti yang kuat untuk melanjutkan ke
tahap penyidikan dan memberikan sanksi hukum bagi pelaku yang dapat
menimbulkan efek jera. Kemudian Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja
kota bandar lampung melakukan patroli atau razia ke jalan-jalan atau tempattempat
yang
biasa
dikunjungi
pelaku
untuk
melakukan
aksinya,
terutama
terhadap
pekerja
anak
dibawah
umur,
dan
kesadaran
masyarakat
dalam
menegakkan
norma
dan
hukum
yang
berlaku diwilayah kota bandar lampung, serta Pemerintah kota
bandar lampung secara serius membuat langkah yang efektif,konsisten,dan
komprehensif dengan bantuan Dinas Sosial,Satuan Polisi Pamong
Praja,Kepolisian Resort Kota Bandar lampung untuk memberikan
penyuluhan,peltihan,dan pembinaan agar dapat menekan angka pengemis anakanak.
Kata
Kunci
: Eksploitasi,
Orang
Tua,
Anak.
Rizki Prasetyawan Muhammad19520110292024-02-01T07:05:48Z2024-02-01T07:05:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78455This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784552024-02-01T07:05:48ZANALISIS ALASAN PENYIDIK DALAM MENOLAK PERMOHONAN
PENANGGUHAN PENAHANAN
(Studi di Polres Pesawaran)Melakukan suatu penahanan akan menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik
sebab pada dasarnya melakukan penahanan sama saja dengan merampas hak
kebebasan seseorang. Oleh karena nya, dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
mengatur juga tentang ketentuan mengenai bahwa tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan permohonan penangguhan penahanannya. Penangguhan penahanan
adalah suatu upaya mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum
batas waktu penahanannya berakhir. Kewenangan untuk mengabulkan suatu upaya
penangguhan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai
dengan kewenangannya masing-masing.
Permasalahan dalam penelitian ini mengenai bagaimana pengaturan penangguhan
penahanan di Indonesia dan juga alasan penyidik dalam menolak permohonan
penangguhan penahanan. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data primer dan data
sekunder. Narasumber dalam penelitian terdiri dari Penyidik pada Polres Pesawaran
dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis
data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan penangguhan penahanan di
Indonesia diatur dalam Pasal 31 Ayat 1 KUHAP, mengenai jaminan penangguhan
penahanan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983, pada
bab X Pasal 35 diatur tentang jaminan berupa uang dan dalam Pasal 36 Peraturan
Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 tentang jaminan berupa orang. Alasan
penyidik dalam menolak permohonan penangguhan penahanan yang pertama yaitu,
adanya rasa khawatir tersangka atau terdakwa melarikan diri. Kedua, adanya
kemungkinan tersangka atau terdakwa menghilangkan atau mengaburkan barang
bukti. Ketiga, tersangka atau terdakwa bisa saja mengulangi perbuatan tindak
pidana berulang dan juga bisa saja tersangka atau terdakwa tidak koperatif pada saat
proses pemeriksaan.
Kata Kunci : Alasan Penyidik, Penolakan, Penangguhan PenahananMUHAMMAD IBRAHIM FARIED 19420110322024-02-01T03:55:09Z2024-02-01T03:55:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78448This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784482024-02-01T03:55:09ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PENGGELAPAN DALAM JABATAN
(Studi Putusan Nomor: 1015/Pid.B/2021/PN Tjk)
Penggelapan merupakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melawan
hukum untuk memiliki barang milik orang lain. Kejahatan ini sering terjadi di
berbagai lapisan sosial dan ditandai dengan pelanggaran kepercayaan. Salah satu
kasus di Bandar Lampung yang menggambarkan modus operasi penggelapan
dilakukan oleh seorang pekerja, Pratama Ramadoni, yang menukar sepeda motor
majikannya tanpa izin, kemudian menjualnya, dan menyelewengkan hasilnya.
Perbuatan ini berujung pada kasus hukum dengan putusan vonis satu tahun dua
bulan penjara untuk pelaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pelaku yang melakukan
penggelapan dalam jabatan dan faktor penghambat dalam penegakan hukum dalam
perkara 1015/Pid.B/2021/PN Tjk.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder, yang
masing – masing data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan studi lapangan.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana
penggelapan dalam perkara nomor 1015/Pid.B/2021/PN Tjk tidak sepenuhnya
sesuai dengan teori penegakan hukum. Meskipun rumusan hukumnya cukup baik,
namun masih ada masalah dalam penerapannya. JPU tidak berupaya membuktikan
dakwaan lain yang didakwakan kepada terdakwa, dan hanya berfokus pada
dakwaan primer. Kurangnya pembuktian yang komprehensif ini mempengaruhi
keakuratan surat dakwaan. Penggunaan Pasal 374 KUHP tampaknya tidak tepat
karena pasal tersebut membutuhkan bukti hubungan kerja, yang tidak terbukti
secara memadai. Proses penegakan hukum secara keseluruhan menghadapi
berbagai tantangan, termasuk konflik antara kepastian hukum dan keadilan, sumber
daya yang terbatas, dan kesadaran masyarakat.
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas
penegakan hukum, aparat penegak hukum perlu memastikan bahwa proses mereka
berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada dan meningkatkan pemahaman mereka
tentang penegakan hukum. sehingga persidangan dapat berjalan secara adil dan
efisien. Selain itu, penting untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat
mengenai pemahaman hukum terkait tindak pidana penggelapan dalam jabatan,
dengan tujuan melindungi dan menghargai hak-hak masyarakat lain. Pemakaian
anggaran penyidikan yang efisien oleh aparat kepolisian juga menjadi faktor
penting untuk memastikan penyelesaian tindak pidana dengan baik. Dengan
demikian, kolaborasi antara aparat penegak hukum, jaksa, dan kesadaran
masyarakat dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam penegakan hukum
Kata Kunci : Penggelapan, Penegakan Hukum, Hukum Pidana, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Muhamad Falah Handika20120111782024-02-01T03:34:13Z2024-02-01T03:34:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78447This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784472024-02-01T03:34:13ZDASAR PENJATUHAN PIDANA PENJARA DAN PEMBERIAN REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKAPenyalahguna Narkotika merupakan perbuatan menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan secara melawan hukum. Tindakan Pidana Penyalahangunaan Narkotika diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Permasalahannya adalah bagaimanakah dasar penjatuhan pidana penjara dan pemberian rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dan apakah tujuan penjatuhan pidana penjara dan pemberian rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris kemudian di sesuaikan dengan pendekatan yuridis normative. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari anggota Kepolisian polda lampung, anggota badan narkotika nasional provinsi Lampung dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan dasar penjatuhan pidana penjara didasarkan pada ketentuan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan melebihi pemakaian sehari yang diatur dalam dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 karna dianggap oleh tim assessment bukan hanya penyalahguna. Dasar pemberian rehabilitasi bagi Penyalahguna Narkotika didasarkan pada ketentuan Pasal 54, Pasal 55, Pasal 103 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis. Tujuan pidana penjara adalah tujuan penjatuhan pidana penjara oleh hakim kepada penyalahguna narkotika agar memberikan efek jera kepada penyalahguna narkotika yang sudah pernah diberikan rehabilitasi namun mengulangi tindakan yang sama, sedangkan tujuan pemberian rehabilitasi adalah menjaga untuk seseorang yang hanya melakukan Penyalahgunaan narkotika agar tidak terjerumus atau naik level menjadi terlibat jaringan pengedar narkotika dan juga over kapasitas yang ada di lapas yang didominasi oleh banyaknya kasus narkotika.
Dapat diajukan saran yaitu didalam memberikan perlindungan hukum terhadap penyalahguna narkotika haruslah diimbangi dengan menjaga hak-haknya, aparat penegak hukum harusmeningkatkan kerjasamanya dalam melakukan pemberantasan terhadap oknum-oknum yang melakukan tindak pidana,
Kata Kunci: Pidana Penjara, Rehabilitasi, Penyalahguna NarkotikaWIBOWO ALDI20520110832024-02-01T02:56:16Z2024-02-01T02:56:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78444This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784442024-02-01T02:56:16ZPERAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK SEBAGAI ILMU PENDUKUNG DALAM PERSIDANGAN PERKARA PIDANA (Studi Putusan Nomor:47/PID.B/2022/PN.Gns) Pasal 44 Ayat (1) KUHP merumuskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungjawaban kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau karena sakit ingatannya. Pada saat ini banyak memanfaatkan keadaan seperti yang berpura-pura terjadi gangguan mental atau jiwanya. Pada bidang ilmu ini sangat membantu untuk melakukan proses penegakan hukum dengan mengungkapkan penyebab melalui pencegahan dan terapi. Maka perlunya peran psikiatri forensik untuk membuktikan apakah orang tersebut benar tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya ataukah sebaliknya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran ahli psikiatri forensik sebagai ilmu pendukung dalam persidangan perkara pidana dan faktor penghambat peran ahli psikiatri forensik sebagai ilmu pendukung dalam persidangan perkara pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan sekunder. Narasumber merupakan seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Dokter Ahli Psikiatri Forensik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung, Penyidik Unit PPA Reskrim di Polres Lampung Tengah, dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diambil simpulan bahwa 1) Pada Pasal 120 KUHAP peran psikiatri forensik ini adalah untuk memenuhi permintaan sebagai ahli. saat diminta oleh penyidik, dia harus memberikan pandangan ahlinya menurut keilmuannya, yaitu ilmu psikiatri forensik atau ilmu tentang kejiwaan. berperan untuk memberikan keterangan ahli mengenai keadaan jiwa secara tertulis melalui Visum et Repertum. Sering kali para penegak hukum hanya bisa menduga- duga pelaku benar-benar gangguan jiwa atau hanya pura-pura gila untuk dapat dibebaskan dari pemidanaan. Jika dilihat Pasal 351 KUHP penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Akan tetapi, terhadap perbuatan terdakwa pada kasus ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 44 Ayat 2 KUHP. Dan memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk menempatkan terdakwa di Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani perawatan selama 8 bulan.
2) Faktor-faktor penghambat peran psikiatri forensik dalam tahap pemeriksaan sangat besar pengaruhnya pada faktor sarana dan prasarana, Menghadapi resiko seseorang dengan gangguan jiwa yang melakukan tindak pidana jangan sampai berkeliaran tanpa adanya pengawasan dari pihak yang ahli dalam hal itu, maka sangat diperlukan sarana dan prasarana rumah sakit jiwa. Faktor yang menghambat selanjutnya yaitu faktor masyarakat, tingkat kesadaran hukum pada Masyarakat masih rendah. Dan permasalahan mulai dari alibi sakit ataupun memberikan jawaban yang sulit untuk dimengerti sehingga psikiatri wajib ketahui gimana mengidentifikasi tanda-tanda nyata dan terus mengevaluasi secara konstistensi data di sumber yang berbeda.
Saran dari penelitian ini adalah 1) Mengingat pentingnya peranan yang diberikan dalam proses pembuktian perkara di pengadilan. Peran masih sedikit hendaknya ditingkatkan dengan cara lebih banyak lagi dokter-dokter muda yang ingin mengabdikan atau melibatkan dirinya untuk membantu proses pembuktian suatu perkara pidana sehingga proses pemeriksaan dapat berjalan dengan cepat. 2) Agar menurunkan faktor-faktor penghambat yaitu perihal pengawasan, dan juga menyarankan untuk para apparat penegak hukum alangkah lebih baik mempelajari beberapa ilmu yang terkait dengan psikiatri untuk menjamin keamanan dalam memutus suatu perkara, sehingga pada saat memutuskan tidak merugikan semua pihak.
Kata Kunci: Psikiatri Forensik, Visum et Repertum, Penganiayaan.
AMALTA YUSUF TANIA 2052011007 2024-01-31T08:23:50Z2024-01-31T08:23:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78441This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784412024-01-31T08:23:50ZPENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERHADAP KENDARAAN ANGKUTAN BARANG MELEBIHI DAYA ANGKUT YANG MENYEBABKAN JALANAN MENJADI RUSAK (Studi di Wilayah Polres Metro) kepada para pelanggar karna kurang tegasnya sanksi dan denda yang diberikan, kurangnya jumlah personil polisi lalu lintas dalam mengawasi kendaraan angkutan barang yang ada dijalan raya, kurangnya sarana atau fasilitas berupa rambu lalu lintas, pos penjagaan dan jembatan timbang dalam mendukung kinerja polisi lalu lintas, dan yang terakhir minimnya pengetahuan tentang hukum dan penggunaan jalan raya serta masyarakat tidak memberi dukungan dalam upaya penanggulangan pelanggaran lalu lintas.
Saran dari penelitian ini adalah penanggulangan yang dilakukan oleh kepolisian baik dari Pre-emtif yang berupa sosialisasi kemudian Preventif berupa patroli dan operasi zebra dan yang terakhir Represif berupa penilangan dan penyitaan dilakukan secara rutin dan bersamaan agar upaya yang dilakukan dalam menanggulangi kendaraan kelebihan muatan menjadi maksimal, diperlukan aturan tegas dari pemerintah terkait sanksi dan denda pada undang-undang yang guna memberikan efek jera agar tidak ada lagi pelanggaran yang dilakukan oleh kendaraan kelebihan muatan, perlu ditingkatkannya kinerja pihak Kepolisian dan menambah jumlah personil serta lebih menjalin kerja sama dengan Dinas Perhubungan dalam menanggulangi tindak pidana lalu lintas, sarana maupun fasilitas perlu diperbaiki dan dilengkapi seperti dilengkapi rambu-rambu lalu lintas, pos penjagaan dan jembatan timbang sebagai pendukung kinerja dalam menegakkan aturan hukum dan yang terakhir diperlukan sosialisasi kepada masyarakat tentang akan pentingnya taat aturan hukum dan bahaya dari kendaraan kelebihan muatan
Kata Kunci: Penanggulangan, Tindak Pidana Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kelebihan Daya Angkut
SALMAA ZAHRAAN AQIILAH2052011093 2024-01-31T08:14:42Z2024-01-31T08:14:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78440This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784402024-01-31T08:14:42ZANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG GANGGUAN KEJIWAAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN.Pms) bahwa perbuatannya tersebut benar walaupun melanggar hukum. Kemudian, untuk menentukan terdakwa dapat bertanggungjawab atau tidak tergantung pada keyakinan hakim terhadap alat bukti yang sah. Karena apapun yang menjadi putusan hakim harus dianggap benar sesuai dengan prinsip res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar).
Saran dalam penulisan ini yaitu harus adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dan dokter spesialis jiwa untuk menilai psikis seorang terdakwa sehingga dapat diberikan putusan yang adil dan sesuai dengan kondisi kejiwaannya. Serta perlu dukungan dari masyarakat terhadap orang-orang disekitarnya yang mengalami gangguan jiwa dan perlu menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap orang gangguan kejiwaan. Sehingga orang yang mengalami gangguan jiwa tidak merasa dikucilkan dan diasingkan.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Skizofrenia Paranoid, Pertimbangan Hakim.
Criminal acts are not only committed by normal people, but some criminal acts are committed by defendants who suffer from mental disorders as contained in Decision Number: 288/Pid.B/2020/PN.Pms, where the defendant committed a criminal offense that caused the loss of life of another person, is punishable by Article 388 of the Criminal Code. Then there is a Visum et Repertum which states that the defendant has severe mental disorders, namely Paranoid Schizophrenia, but the judge sentenced him to 13 years in prison. The problems that are the subject of this research are How is the criminal responsibility of the perpetrator of the crime of murder who has a mental disorder and What is the basis for the judge's consideration in deciding the case with criminal punishment against the perpetrator of the crime of murder who has a mental disorder.
The research method in this writing is using a normative juridical approach. The resource persons in this research are Mental Specialist Doctors at the Lampung Provincial Mental Hospital and Lecturers of the Criminal Law Section of the Faculty of Law, University of Lampung. Data collection analysis with literature studies and field studies was conducted qualitatively.
The results of this study are that to be criminalized a person must fulfill objective and subjective requirements. subjective requirements contain elements of guilt, and it is this guilt that gives rise to criminal liability. Paranoid Schizophrenia type of mental disorder that makes the sufferer experience hallucinations that make it difficult to distinguish between reality and delusion. When the perpetrator of a criminal offense is a person with a mental disorder, what must be considered is whether the defendant was under the influence of his mental disorder when he committed the criminal offense. In this case, the defendant was under the influence of a mental disorder when he committed the crime, as evidenced by the fact that after committing the crime, the defendant did not feel guilty because he thought that
his actions were right even though they violated the law. Then, determining whether the defendant is liable or not depends on the judge's belief in the valid evidence. Because whatever the judge decides must be considered true by the principle of res judicata pro veritate habetur (the judge's decision must be considered true).
The suggestion in this writing is that there must be cooperation between law enforcement officials and psychiatric specialists to assess the psychology of a defendant so that a fair decision can be given on his mental condition. As well as the need for support from the community for people around them who experience mental disorders and the need to eliminate the negative stigma of the community towards people with mental disorders. So that people who experience mental disorders do not feel ostracized and alienated.
Keywords: Criminal Liability, Paranoid Schizophrenia, Judges' Consideration.
HUSNA REVIO ALWA DETIA 20120112582024-01-31T07:01:03Z2024-01-31T07:01:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78433This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784332024-01-31T07:01:03ZPERSPEKTIF HUKUM PIDANA TERHADAP PERBUATAN MERENDAHKAN KEHORMATAN DAN KELUHURAN MARTABAT HAKIM (PMKH)Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) merupakan perbuatan yang dianggap merendahkan martabat hakim dan pengadilan ini seringkali mengancam keamanan hakim tidak hanya di dalam persidangan tetapi juga diluar persidangan. Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pengaturan terkait perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim? Dan Bagaimanakah perspektif hukum pidana terhadap perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim?
Pendekatan masalah penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan di Kantor Komisi Yudisial RI Penghubung Wilayah Lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim PMKH telah diatur dalam beberapa pengaturan mulai dari UUD 1945 sampai dengan Peraturan Komisi Yudisial. Dalam Perspektif Hukum Pidana Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim merupakan tindak pidana yang diancam pidana karena memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dalam hal pidana sebagai upaya terakhir, maka penanganan peristiwa PMKH dapat ditangani dengan langkah lain berupa koordinasi, mediasi, konsiliasi dan somasi.
Br Nainggolan Yolandasari19120111802024-01-31T03:38:03Z2024-01-31T03:38:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78421This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/784212024-01-31T03:38:03ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
BAZNAS KOTA BANDAR LAMPUNG PADA PROGRAM
BANTUAN MODAL USAHA BERGULIR YANG MENGUGUNAKAN AKAD
QARDH AL-HASAN TANPA ADANYA JAMINANPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi
BAZNAS Kota Bandar Lampung pada program bantuan modal usaha bergulir.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya program bantuan modal usaha bergulir
yang dilakukan oleh BAZNAS Kota Bandar Lampung dengan pelaksanaan
programnya menggunakan akad Qardh al-hasan tanpa adanya jaminan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris dengan tipe
penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan nonjudicial case study. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder. Ruang linkup penelitian ini adalah adalah program BAZNAS Kota
Bandar Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa BAZNAS Kota Bandar Lampung
belum mendapatkan perlindungan hukum preventif yang kuat, hal ini dikarenakan pada
bantuan modal usaha bergulir bergulir tanpa adanya jaminan tidak terdapat sebuah
perjanjian, sehingga ketika terjadi suatu wanpretasi BAZNAS Kota Bandar Lampung
tidak dapat mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi ke Pengadilan Agama dan
meminta sita jaminan.
Kata Kunci : Qardh Al-Hasan, Perlindungan Hukum, Perjanjian
This study aims to determine how the form of legal protection for BAZNAS Bandar
Lampung City in the revolving business capital assistance program. This research is
motivated by the existence of a revolving business capital assistance program carried
out by BAZNAS Bandar Lampung City with the implementation of the program using
the Qardh al-hasan contract without any guarantee.
This research uses empirical normative legal research with descriptive research type
and uses nonjudicial case study approach. The data used in this research is secondary
data consisting of primary and secondary legal materials. The scope of this research
is the BAZNAS program of Bandar Lampung City.
The results of the research and discussion show that BAZNAS Bandar Lampung City
has not received strong preventive legal protection, this is because in the revolving
business capital assistance without collateral there is no agreement, so that when a
default occurs BAZNAS Bandar Lampung City cannot file a lawsuit on the basis of
default to the Religious Court and ask for collateral confiscation.
Keywords : Qardh Al-Hasan, Legal Protection, Agreement.
Winarti Ayu20120113082024-01-31T02:41:45Z2024-01-31T02:41:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78392This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783922024-01-31T02:41:45ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Kasus Putusan: Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk)Kasus kejahatan yang terjadi di masyarakat semakin sering terjadi sekarang ini dan
semakin meningkat dari tahun ke tahun, salah satu tindak pidana yang dilakukan
oleh masyarakat adalah tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan atau merampas nyawa orang
lain, pembunuhan memiliki tujuan untuk menghilangkan nyawa dan merampas
nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan biasanya dilakukan oleh orang
dewasa, tetapi tindak pidana ini juga bisa dilakukan oleh anak. Permasalahan dalam
skripsi ini meliputi : Bagaimanakah pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana pembunuhan pada Putusan: Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk dan
Apakah dasar pertimbangan pemidanaan majelis hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan pada Putusan:
Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dengan
studi pustaka dan studi lapangan, kemudian diolah menggunakan analisis data yang
dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa (1) Pemidanaan
terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor:
2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk yang menyatakan bahwa terdakwa anak atas nama
FNA telah terbukti bersalah melanggar Pasal 338 KUHP yang telah memenuhi
semua unsur dan dalam kasus ini sulit dilakukan upaya diversi karena pembunuhan
merupakan tingkat kejahatan yang tergolong berat sehingga anak dijatuhi hukuman
penjara. Pemidanaan dalam putusan tersebut menggunakan teori tujuan/relatif, teori
tujuan pemidanaan ini untuk mencapai pemanfaatannya, dengan kata lain
pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa anak bukanlah untuk membalas
kejahatannya tetapi untuk mempertahankan ketertiban umum dan mencegah adanya
suatu kejahatan tersebut. (2) Dasar pertimbangan hukum majelis hakim dalam
menjatuhkan pidana penjara di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Maghfira Vania Putri
terhadap anak pelaku. Tindak pidana pembunuhan terdiri atas pertimbangan
yuridis, pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologis. Pertimbangan yuridis
merupakan pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang
terungkap di persidangan dan perbuatan anak telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana pembunuhan. Pertimbangan filosofis merupakan hakim dalam
mempertimbangkan pidana yang dijatuhkan pada terdakwa anak untuk
memperbaiki perilaku terdakwa anak melalui proses pemidanaan sehingga setelah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan terpidana dapat memperbaiki dirinya dan
tidak lagi melakukan kejahatan. Sedangkan pertimbangan sosiologis merupakan
hakim menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang sosial anak dan
memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi
masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana dimasa yang anak datang di sarankan untuk
memberikan pembinaan terhadap pelaku, yaitu dengan menitikberatkan upaya
mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana
dan masyarakat lain juga tidak melakukan tindak pidana serupa dan juga Hakim
dalam menangani anak hendaknya memutuskan dengan berorientasi pada
mewujudkannya perlindungan terhadap anak salah satunya menghindarkan pidana
penjara.
Kata Kunci: Pemidanaan, Anak, Tindak Pidana Pembunuhan.VANIA PUTRI MAGHFIRA19520110742024-01-30T08:27:35Z2024-01-30T08:28:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78361This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783612024-01-30T08:27:35ZUPAYA PENANGGUNGLANGAN TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU MODIFIKASI KENDARAAN RODA EMPAT
(Studi Pada Polres Pringsewu) Angka tindak pidana modifikasi kendaraan roda empat cenderung semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tindakan modifikasi kendaraan roda empat sangat membahayakan pengemudi dan mengganggu pengemudi lainya yang ada di jalan raya serta meresahkan masyarakat sehingga membutuhkan upaya maksimal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka dari itu judul dari penelitian ini adalah “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Modifikasi Kendaraan Roda Empat”, dari permasalahan tersebut: Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan modifikasi kendaraan roda empat dan Apakah faktor penghambat upaya penanggulangan tindak pidana modifikasi kendaraan roda empat.
Metode penelitianl ini menggunakanl pendekatanl masalah yuridisl normatif ldan pendekatanl yuridisl empiris. Sumberl data lyang digunakanl berupal studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data: kualitatif. Narasumber: Kasat Lantas Polres Pringsewu, Anggota Dinas Perhubungan Pringsewu, danl Dosen Bagian lHukum Pidanal Fakultas lHukum Universitasl Lampung.
lHasil penelitianl dan lpembahasan menunjukan lbahwa: Upaya penanggulangan tindak pidanal terhadap pelaku modifikasi kendaraan roda empat merupakan fungsi dan peran kepolisian sebagaimana Pasal 2 dan Pasal 5 Undangl- Undangl Nomorl 2 Tahunl 2002 lyang menjelaskan lbahwa fungsi dan peran kepolisianl ladalah memeliharal keamanan danl ketertiban lmasyarakat. Berdasarkan penelitian terhadap narasumber dan terkait permasalahan upaya penanggulangan modifikasi kendaraan roda empat dari pihak kepolisian telah berupaya melakukan penegakan hukum terhadap pelaku modifikasi kendaraan roda empat melalui upaya preemtif, upaya preventif dan upaya represif yang dibagi menjadi dua yaitu upaya penal dan non penal untuk mengatasi kasus modifikasi kendaraan roda empat yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan.
Faktor penghambat upaya penanggungalan tindak pidana terhadap pelaku modifikasi kendaraan roda empat diantaranya kurangnya kesadaran masyarakat terhadap aturan undang-undangan atau budaya hukum masyarakat sendiri yang kurang menyadari pentingnya tetib berlalu lintas, hal inilah yang menjadi faktor utama penghambat kepolisian dalam upaya penanggulangan tindak pidana modifikasi kendaraan roda empat.
Saran yang diberikan penulis dalam penelitian ini adalah: Tingginya angka modifikasi kendaraan roda empat yang bisa berakibat menjadi kejahatan di lalu lintas diharapkan dapat diminimalisir melalui Langkah-langkah upaya penanggulangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terutama kepolisian, dengan memberikan sanksi hukuman yang tegas serta diimbangi dengan upaya lainya seperti mengedukasi Masyarakat. Perlu adanya Tindakan khusus untuk mengatasi faktor penghambat upaya penanggulangan tindak pidanaterhadap pelaku modifikasi kendaraan roda empat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan Kerjasama antara kepolisian dengan Masyarakat serta Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya penanggulangan dibidang lalu lintas agar tercipta budaya tertib hukum.
Kata Kunci : Upaya Penanggulangan, Modifikasi, Kendaraan Roda Empat
Regita Cahyani Putri20120110072024-01-30T03:24:34Z2024-01-30T03:24:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78356This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783562024-01-30T03:24:34ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA
CYBER HACKING DALAM MODUS PEMBOBOLAN M-BANKING
Ledakan teknologi informasi serta kemajuan teknologi telekomunikasi telah
mengubah banyak hal dari manusia dalam cara hidup, bekerja dan berkomunikasi.
Salah satunya adalah teknologi m-banking yang mana memudahkan Masyarakat
dalam transaksi jual dan beli melalui cashless, akan tetapi m-banking sendiri
menjadi rawan ketika banyak laporan Masyarakat yang kehilangan saldonya
setelah mengklik tautan web atau diberikan kiriman melalui format Apk. Adapun
yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimana modus
operandi cyber hacking dilakukan? Bagaimana upaya kepolisian dalam
penanggulangan mencegah terjadinya cyber hacking dalam modus pembobolan
m-banking? Apakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kepolisian
dalam mencegah terjadinya cyber hacking dalam modus pembobolan m-banking?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian normatif dilakukan dengan cara mengkaji literatur dan undang-undang,
sedangkan penelitian dengan empiris dilakukan dengan mewawancarai para
narasumber yang kompeten di bidangnya, kemudian dianalisis dengan analisis
kualitatif
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa :
modus operandi cyber hacking dalam melakukan pembobolan m-banking yakni
dengan cara Tahap pengumpulan informasi, Setelah mengumpulkan informasi
yang cukup, peretas akan mencari titik masuk ke dalam sistem., Setelah berhasil
masuk, peretas akan memantau dan memetakan sistem m-banking,Setelah
mencuri data, peretas akan berusaha menghapus jejak mereka dari system dan
Data yang dicuri akan diekstraksi dari sistem dan digunakan untuk tujuan tertentu,
seperti pencurian dana dari rekening nasabah, pencurian identitas, atau penipuan
finansial lainnya, upaya kepolisian dalam penanggulangan mencegah terjadinya
cyber hacking dalam modus pembobolan m-banking yakni upaya non penal
memberikan penyuluhan edukatif kepada masyarakat, peningkatan sdm polri
dalam bidang cyber dan patroli cyber, sedangkan upaya penal dengan cara
melakukan penegakan hukum dan memberikan sanksi berat kepada pelaku, dan Faktor penghambat penangkapan tersangka seringkali kepolisian tidak dapat
menentukan secara pasti siapa pelakunya karena mereka melakukannya cukup
melalui komputer yang dapat dilakukan dimana saja tanpa ada yang
mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil
pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan IP Address dari pelaku dan
komputer yang digunakan. Hal itu akan semakin menyulitkan apabila
menggunakan warnet, sebab saat ini masih jarang sekali warnet yang melakukan
registrasi terhadap pengguna jasa mereka, sehingga pihak kepolisian tidak dapat
mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat terjadi tindak
pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi saran penulis adalah: Diharapkan
Perbankan selaku penyedia layanan M-Banking harus memastikan keamanan
infrastruktur teknologi mereka dengan menerapkan enkripsi data, perlindungan
perangkat keras, pemantauan terus-menerus terhadap aktivitas mencurigakan,
serta regulasi keamanan yang ketat dan Bagi instansi Pemerintah khususnya BI dan
Kominfo perlu terus memperbarui dan mengembangkan hukum yang berkaitan dengan
kejahatan siber, termasuk sanksi yang tegas bagi pelaku serangan siber. Ini dapat
menciptakan efek penghalang bagi mereka yang berencana melakukan serangan.
Kata Kunci : Upaya Kepolisian; Penanggulangan; Cyber Hacking M-Banking
Farisa Susandi Putri 2012011062 2024-01-29T08:35:08Z2024-01-29T08:35:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78352This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783522024-01-29T08:35:08ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP UNDERCOVER AGENT DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Pada Polresta dan BNN di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan transnasional yang sudah terstruktur, mulai dari bandar, kurir, pengedar, hingga sampai kepada pemakai. Maka, penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung serta BNNP Lampung melaksanakan upaya pemberantasan dengan maksimal melalui berbagai teknik penyidikan, salah satunya adalah dengan undercover agent. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana perlindungan hukum terhadap penyidik yang bertindak sebagai undercover agent dalam mengungkap tindak pidana narkotika?
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan terkait dengan perspektif hukum dalam memberikan perlindungan terhadap penyamaran atau undercover agent yang dilakukan oleh Penyidik Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Penyidik Reserse Narkotika Polresta Bandar Lampung, Penyidik Pemberantasan Narkotika BNNP Lampung serta akadmisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi Pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada undercover agent terdapat dalam peraturan perundang-undangan untuk mencegah resiko dan ancaman yang terjadi serta memberikan batasan-batasan dalam melakukan penyidikan. Undercover agent dalam melaksanakan tugasnya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Undercover agent dilaksanakan dengan mengumpulkan profil awal target berdasarkan laporan dari informan, kemudian dilakukan pengembangan dan pembuatan hipotesa. Kemudian dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan penyamaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun faktor yang harus dipenuhi agar penyidik Polresta Bandar Lampung dan BNNP Lampung dapat dilindungi dari segala unsur meliputi faktor Undang-Undang, yaitu pada Kepolisian dengan memberikan peraturan secara tegas mengenai batasan-batasan pada penyidik dalam melakukan undercover agent. Faktor penegak hukum yaitu jumlah personil yang masih kurang secara kuantitas. Faktor sarana dan prasarana yaitu keterbatasan sarana dan prasana untuk penyidikan.
Saran dalam penelitian ini adalah undercover agent dan informan hendaknya mendapatkan perlindungan hukum yang bersifat aktif. Batasan kewenangan kepada penyidik sebagai undercover agent diatur lebih jelas dalam peraturan khusus agar penyidik dapat memperoleh perlindungan hukum secara maksimal. Kemudian perlindungan kepada informan tidak terbatas pada kerahasiaan data diri informan saja, harus ada upaya lain yang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada informan agar dapat dilindungi dari segala unsur. Dengan adanya kerjasama dari aparat penegak hukum dalam melindungi informan, akan menciptakan rasa aman bagi informan dalam berpartisipasi dalam memberikan informasi terkait tindak pidana narkotika.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Undercover Agent, Narkotika
DWI YULIYANTI INTAN 2012011245 2024-01-29T07:55:14Z2024-01-29T07:55:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78349This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783492024-01-29T07:55:14Z
ANALISIS TINDAK PIDANA PELAKU BANDAR PERJUDIAN TOGEL
ONLINE PADA STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI METRO
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Metro 185/PID.B/2022/PN Met)
Permainan dalam bentuk perjudian merupakan bagian dari tindak pidana yang dapat
bertentangan dengan nilai-nilai moral dan hukum. Permainan judi dapat dilihat pada
putusan Pengadilan Negeri Metro 185/PID.B/2022/PN Met yang terdakwanya Aris
Munandar sengaja bermain judi togel online. Rumusan masalah seperti Bagaimana
dasar pertimbangan hakim pada proses transaksi penjualan pemasangan nomor
togel secara online. Bagaimana modus operasional bandar togel online pada perkara
Putusan Pengadilan Negeri Metro 185/PID.B/2022/PN Met.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber data dilapangan diperoleh dari hasil wawancara ditambah
literatur-literatur hukum.
Pembahasan dan hasil penelitian mengungkapkan pertama, keputusan majelis
hakim menetapkan perbuatan terdakwa telah melakukan perjudian toto gelap yang
telah diatur di Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga hakim
dalam putusan nomor 185/Pid.B/2022/PN Met, menghukum terdakwa dengan
hukuman pidana penjara selama 10 bulan. Selanjutnnya hasil penelitian yang
kedua, mengungkapkan Peristiwa perjudian toto gelap (Togel) dengan dua orang
pelaku diawali dengan modus penambahan deposit atau saldo, dimana terdakwa
melakukan deposit untuk memasang nomor togel dengan nominal Rp.50.000,- dan
terdakwa diberikan akun dengan nama ARES29 pada salah satu situs togel online
berbasis judi bernama SDTOTO kemudian setelah dana deposit masuk terdakwa
memilih pasangan judi togel dengan pasaran Taiwan, selanjutnya terdakwa
memasukkan nomor pasangan yakni 01,10,03,30,02,20,13,31,12,21,32,23 x 3
lembar dengan total biaya Rp.25.560 dan untuk 3 angka yaitu 132,123,213,312 x 6
lembar dengan biaya Rp.10.080 dengan total Rp.35.640, setelah memasang nomor
terdakwa tinggal menunggu pemasangan tembus atau tidak, jikalau nomor tembus
maka terdakwa mendapatkan keuntungan namun jikalau nomor tidak tembus maka
terdakwa mendapatkan kerugian.
Cesara Titania Aurel Cahya Santoso
Saran pertama untuk para penegak hukum, dapat memberantas perjudian togel
online ini dengan cara bekerja sama dengan Kominfo untuk memblokir dan untuk
melakukan penangkapan besar-besaran. Saran kedua kepada masyarakat untuk
berani melaporkan jika menemukan permainan judi togel online untuk segera
melaporkan kepolisian setempat.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana, Perjudian, Togel Online.
TITANIA AUREL CAHYA SANTOSO CESARA19120113732024-01-29T07:26:29Z2024-01-29T07:26:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78344This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783442024-01-29T07:26:29ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PELANGGARAN LALU LINTAS BERDASARKAN SISTEM TILANG ELEKTRONIK (Studi di Polresta Bandar Lampung) Era globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, kini tilang telah menggunakan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) yang mendeteksi pelanggaran dengan kamera ETLE. Polresta Bandar Lampung sendiri telah menerapkan sistem ETLE pada tahun 2021. Problema yang terjadi yaitu ketika kendaraan bermotor tersebut sedang dipinjamkan namun peminjam kendaraan telah melanggar lalu lintas tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Maka pemilik kendaraan akan tetap menerima surat konfirmasi dan tetap dibebankan pertanggungjawaban pidana atas kendaraannya yang dipinjamkan. Berdasarkan isu hukum tersebut maka permasalahan yang akan dibahas adalah pertanggungjawaban pidana pelaku pelanggaran lalu lintas sistem tilang elektronik dan aspek keadilan dalam pertanggungjawaban pidana pelaku pelanggaran lalu lintas berdasarkan sistem tilang elektronik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi Pustaka dan didukung wawancara dengan narasumber pada penelitian ini terdiri dari Ketua Unit Gakkum Polresta Bandar Lampung, Staff Lantas Polresta Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Analisis data secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana bagi peminjam kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran lalu lintas dalam ETLE di Polresta Bandar Lampung adalah dengan menggunakan pertanggungjawaban Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pidana pengganti. Dalam aspek keadilan lebih cenderung pada aspek keadilan
prosedural. Adapun pemenuhan aspek keadilan substantif yaitu dilakukan dengan adanya kesepakatan atau perjanjian kedua belah pihak baik itu pemilik kendaraan maupun peminjam kendaraan untuk dapat menyelesaikan perkara tersebut secara kekeluargaan.
Saran dalam penelitian ini ialah diharapkan bagi penegak hukum khususnya pihak kepolisian Bandar Lampung untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta mengedukasi bagi pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam meminjamkan kendaraannya kepada orang lain serta diharapkan pihak kepolisian dapat menegakkan keadilan prosedural dan keadilan substantif secara seimbang.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Tilang Elektronik
DEA ANANDA REZHA 1912011376 2024-01-29T02:57:44Z2024-01-29T02:57:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78326This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783262024-01-29T02:57:44ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM PADA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN TERHADAP PELAKU PENCURIAN UANG ATM MANDIRI CABANG BANDAR LAMPUNG (Studi Putusan Nomor : 517/Pid.B/2021/PN.Tjk) Pencurian dikategorikan sebagai tindak pidana yang menegaskan adanya ancaman hukuman yang berat atas seseorang yang melakukannya. Perbuatan tindak pidana pencurian dapat dilihat melalui putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 517/PID.B/2021/PN.TJK, yang mana pelaku bernama Risman Prasetyo melakukan pencurian dengan cara berencana di Bank Mandiri Cabang Kota Bandar Lampung area malayahati, yang mana terdakwa melakukan perbuatan pencurian secara berencana dengan temannya dalam membobol ATM Bank Mandiri Cabang Bandar Lampung dengan hukuman yang ringan.Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan terhadap pelaku pencurian uang ATM Mandiri cabang Bandar Lampung (Studi Putusan Nomor: 517/Pid.B/2021/PN Tjk)? (2) Apakah Putusan Nomor 517/Pid.B/2021/PN.Tjk telah sesuai dengan tujuan pemidanaan? Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka. Adapun narasumber yang telah di wawancara yaitu Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA, Tanjung Karang, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Penyidik Subdit Jatanras Polresta Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan bahwa pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana penjara pada Putusan Nomor 517/Pid.B/2021/PN Tjk berdasarkan dari aspek filosofi dimana hakim mempertimbangkan dari sisi positif hukuman yang telah dijatuhkan kepada pelaku pencurian ATM Bank Mandiri yang merupakan upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa. Dasar pertimbangan hakim dari aspek yuridis, pelaku dikenakan Pasal 363 KUHP, yang mana Hakim menyakini pelaku di tindak pidana pencurian tersebut berdasarkan fakta yang ditemukan oleh pihak kepolisian melalui penyidik, dan dipertegas dari adanya tuntutan jaksa. Dasar pertimbangan hakim dari aspek sosiologis dimana individu sebagai subjek hukum dapat bertanggung jawab atas tindakan pencurian. Pada Putusan Nomor 517/Pid.B/2021/PN.Tjk sudah menerapkan tujuan pemidanaan bagi terdakwa pencurian uang di ATM bank Mandiri yaitu dengan hukuman penjara selama 1 tahun, sesuai dengan teori pemidanaan relatif yaitu memberikan efek jera kepada pelaku untuk menjaga ketertiban umum yang aman, dengan adanya hukuman penjara ini dapat menyadarkan pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut dan tidak mengulanginya lagi. Saran untuk majelis hakim dapat memperhatikan penerapkan tujuan pemidanaan kepada pelaku untuk diupayakan oleh penegak hukum dengan memperhatikan motif pelaku pencurian beserta kerugian yang telah diciptakan oleh pelaku sehingga hukuman lebih maksimal lagi kedepannya. Kata Kunci: Pemidanaan, Pertimbangan Hakim, Pencurian Uang di ATM. Izha Leondra M. Fadel20520110372024-01-29T02:50:26Z2024-01-29T02:50:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78325This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783252024-01-29T02:50:26ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KEADAAN YANG MEMBERATKAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 234/PID.B/2022/PN.TJK)Seseorang yang melakukan tindak pidana harus memiliki kemampuan untuk dapat bertanggungjawab, seseorang tersebut harus mampu menanggung atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya dengan menerima sanksi yang akan dikenakan kepadanya, dalam hal ini pelaku tindak pidana pencurian.
Permasalahan dalam skripsi ini yaitu mengapa pelaku diadili tidak disertakan dengan Pasal 55 KUHP serta bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terdahap pelaku tindak pidana pencurian dalam keadaan yang memberatkan.
Metode penelitian yang dilakukan pada skripsi ini yaitu dengan pendekatan yuridis normatif, disertai dengan menggunakan data primer dan sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Pengolahan data dilakukan dengan prosedur seleksi data, klasifikasi data, dan sistemisasi data. Kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatannya telah memenuhi unsur dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP. Tidak disertakannya Pasal 55 KUHP kepada Terdakwa
karena penyertaan tindak pidana sudah termasuk di dalam unsur Pasal 363 Ayat(2) KUHP sebagai unsur yang memberatkan, hal ini karena salah satu efektifitas dalam sistem peradilan pidana. Diatur pula perbedaan antara Pasal 55 dengan 363 ayat (2) KUHP yaitu dibedakan mengenai sifat umum dan khusus dalam KUHP. Hakim dalam mengadili sudah sesuai dan meyakinkan berdasarkan fakta hukum yang ada pada persidangan. Keterangan Terdakwa dan Saksi Korban menjadi faktor penting bagi hakim dalam memutus perkara ini.
Saran dari penulis yakni perlu adanya kepastian hukum mengenai alasan tidak dikenakannya aturan hukum Pasal 55 KUHP 363 Ayat (2) KUHP terhadap Terdakwa di dalam pengadilan. Terus ditingkatkannya penegakan hukum sekaligus melengkapi sarana dan prasarana yang sudah ada namun belum memadai sebagai upaya agar aparat penegak hukum lebih siap dalam menghadapi berbagai perkara pidana. PRAKOSO WIBI DHANU18120111002024-01-26T08:59:22Z2024-01-26T08:59:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78322This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783222024-01-26T08:59:22ZKAJIAN VIKTIMOLOGIS TERHADAP PERAN KORBAN (VICTIM PRECIPITATION) TERJADINYA TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN BIASA
(Studi Putusan Nomor 402/Pid.B/2023/PN Tjk)
Peran Korban (Victim Precipitation) menjelaskan bahwa korban bisa menjadi pelaku kontribusi munculnya viktimisasi. Pemicu peran korban dalam terjadinya tindak pidana dapat terjadi karena provokasi yang dilakukan korban dan menyebabkan pelaku melakukan tindak pidana. Peran Korban (Victim Precipitation) seharusnya dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam penjatuhan putusan pemidanaan karena tanggungjawab yang terbagi antara korban dan pelaku tindak pidana. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah peran korban (victim precipitation) dalam terjadinya tindak pidana penganiayaan biasa dalam Putusan Nomor 402/Pid.B/2023/PN Tjk dan bagaimanakah perlindungan hukum terdahap korban tindak pidana penganiayaan pada Putusan Nomor 402/Pid.B/2023/PN Tjk.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan dengan pendekatan secara yuridis empiris. Sumber dan jenis data menggunakan data primer yang didapatkan di lapangan dan data sekunder dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Dosen Kriminologi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dalam terjadinya suatu tindak pidana, terutama penganiayaan, terlihat hubungan dan interaksi antara pelaku dengan korban sebelum tindak pidana penganiayaan terjadi yang memicu terjadinya tindak pidana dalam kasus ini terjadi provokasi oleh korban dimana kerugian akibat kejahatan pelaku sebenarnya tidak terjadi jika tidak ada provokasi oleh korban. Perlindungan hukum yang diterima oleh korban dalam putusan 402/Pid.B/2023/PN Tjk yaitu korban mendapatkan perlindungan hukum represif berupa restitusi, pertanggungjawaban pelaku Herdi bin Astajahk. Pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan tindak pidana penganiayaan yang dilakukannya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
Saran penelitian ini yaitu, disarankan kepada aparat pemerintah untuk meningkatkan kerjasama terpadu dalam mensosialisasikan pencegahan terjadinya kekerasan serta meningkatkan kewaspadaan diri dalam potensi terjadinya kekerasan. Perlindungan hak-hak korban tindak pidana perlu perhatian seperti dalam hukum acara pidana nasional memuat ketentuan yang jelas, tegas dan berimbang mengenai perlindungan terhadap hak-hak korban agar kedudukan korban setara dengan kedudukan pelaku tindak pidana.
Kata Kunci: Korban, Victim Precipitation, Tindak Pidana, Penganiayaan Biasa
Sharfina Andira Putri Bunga 20120112292024-01-26T08:08:57Z2024-01-26T08:08:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78318This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783182024-01-26T08:08:57ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DISERTAI PENCURIAN TERHADAP ANAK
(Studi Putusan Nomor : 171/Pid.B/2022/PN.Gdt)
Tindak pidana pembunuhan disertai pencurian terhadap anak termasuk kedalam
pembunuhan terkualifikasi, maksudnya suatu pembunuhan yang dilakukan dengan
didasarkan ingin menguasai barang milik korban, Oleh karena itu, menjadi lebih
berat dan berpotensi dikenai sanksi yang lebih berat. Hal ini dapat dilihat pada
putusan perkara nomor 171/Pid.B/2022/PN.Gdt pada kasus tersebut terdakwa
Kamal Rajab Saputra bin Wagiman secara resmi diakui telah melaksanakan tindak
pidana pembunuhan disertai pencurian terhadap anak. Permasalahan penelitian:
Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku Tindak Pidana Pembunuhan disertai Pencurian terhadap Anak dan apakah
putusan yang dijatuhi Hakim sudah sesuai dengan fakta - fakta di persidangan.
Penelitian ini menerapkan pendekatan yuridis normatif serta yuridis empiris. Jenis
data melibatkan data primer serta data Sekunder. Narasumber melibatkan Hakim
Pengadilan Negeri Gedong Tataan, Jaksa Kejaksaan Negeri Pesawaraan, serta
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Analisis
data menggunakan Analisis Kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menyatakan bahwa pertimbangan hukum hakim
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan disertai pencurian terhadap anak
dalam putusan nomor: 171/Pid.B/2022/PN.Gdt adalah secara yuridis mengacu
pada alat bukti dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP yangmana pada putusan
ini unsur - unsur pada Pasal tersebut yaitu adanya minimal dua alat bukti yang sah
seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan
terdakwa. Secara filosofis pada kasus ini adalah dalam putusannya hakim
mengharapkan putusan yang diberikan dapat memperbaiki perilaku terdakwa
sehingga terdakwa jera serta tidak melakukan perbuatan itu kembali di kemudian
hari. Secara sosiologis yaitu Hakim, dalam mengambil keputusan tentang
hukuman, mempertimbangkan latar belakang sosial terdakwa serta
memperhatikan bahwa hukuman yang diberikan bermanfaat bagi masyarakat.
Putusan yang dijatuhkan Hakim terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan
disertai pencurian terhadap anak pada Putusan Nomor :171/Pid.B/2022/PN.Gdt
telah sesuai dengan fakta - fakta persidangan karena seseorang dapat dijerat
Sisca Dewi Ramadita
dengan pidana berdasarkan Pasal 183 KUHAP jika telah memenuhi kriteria
minimal dua alat bukti yang sah. Jenis alat bukti yang dimaksud diuraikan dalam
Pasal 184 KUHAP menyatakan alat bukti terdiri dari keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Adapun saran yang diberikan penulis Agar Pertimbangan Hakim lebih cermat
dalam mengambil keputusan dalam kasus pidana, perlu menekankan faktor -
faktor yang dapat meningkatkan sanksi terhadap terdakwa dan mengurangi
kemungkinan terjadinya kejahatan serupa. Dan Diharapkan kepada Aparat
Penegak Hukum, untuk memastikan setiap orang yang melakukan kejahatan
ditindaklanjuti secara tegas dan dengan diberikan hukuman yang sepadan, dan
mampu untuk membuat pelaku kejahatan merasa jera, berdasarkan bukti yang
tersedia dan bukti tambahan yang mendukung hingga keputusan hakim bisa
memenuhi keadilan.
Kata kunci: analisis, pertimbangan hakim, pembunuhan disertai pencurian,
anak .
DEWI RAMADITA SISCA20120110392024-01-26T07:59:41Z2024-01-26T07:59:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78317This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783172024-01-26T07:59:41ZPERANAN PENYIDIK DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN MELALUI RESTORATIVE JUSTICE Penyidik diberikan kewenangan dalam melakukan penyelesaian perkara melalui Restorative Justice yang diatur pada Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 salah satu kasus yang diselesaikan melalui Restorative Justice adalah kasus kelalaian yang menyebabkan kematian, namun pada perkara ini kasus saudara KUSMARNO yang mengalami kecelakaan lalu lintas meskipun ada permintaan untuk memproses kembali secara hukum dari pihak keluarga korban, tetapi pada akhirnya Restorative Justice berhasil dilaksanakan walaupun memakan nyawa korban. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah peranan penyidik dalam menangani Tindak Pidana kelalaian yang menyebabkan kematian melalui Restorative Justice? Faktor penghambat penyidik dalam menangani Tindak Pidana kelalaian yang menyebabkan kematian melalui Restorative Justice?
Pada penelitian ini penulis melakukan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi lapangan dan kepustakaan dengan menggunakan analisis kualitatif guna mendapatkan suatu simpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa peranan penyidik dalam menangani tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun peraturan lainnya yang berlaku dengan melakukan penyelidikan, olah TKP, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara dan yang utama dalam menyelesaikan kasus Restorative Justice memediatori antara kedua belah pihak. Peranan Advokat terkait implementasi restorative justice dalam praktik peradilan pidana adalah upaya untuk mengedepankan perdamaian antara korban dan pelaku karena Advokat merupakan satu-satu nya penegak hukum yang dapat mendampingi baik tersangka, terdakwa dan terpidana. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih belum optimal, hal ini dikarenakan terdapat faktor-faktor penghambat dalam peranan penyidik menangani tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian diantaranya adalah faktor hukum yang hukum yang masih terdapat kerancuan, sehingga menjadi kedelimaan bagi Polri untuk menerapkan restorative justice dalam menangani kasus kecelakaan lalu lintas. faktor penegak hukum yang dimana penyidik belum dapat menjalankan peraturan dengan sebagaimana mestinya, masyarakat yang masih kurang kesadaran hukum dan rasa empati kepada sesama nya dan faktor kebudayaan karna terus terpaku pada tradisi lama yang mengakibatkan kurang simpati antar sesama.
Saran penelitian ini adalah dalam penyelesaian perkara Restorative Justice perlu dilakukan kebijakan terhadap penyelesaian kasus-kasus kecelakaan lalu lintas khususnya yang golongan berat melalui pendekatan restorative justice. Hendaknya penyidik dalam penyelesaian perkara rj juga memperhatikan asas kepastian hukum selain mengedepankan keadilan dan kemanfaatan. Kedepan perlu dilakukan perubahan hukum pidana dalam pengaturan Rj secara integral yang bisa digunakan oleh semua penegak hukum pidana yaitu dalam bentuk pembaharuan hukum acara pidana . selanjutnya perlu dilakukan pelatihan ataupu sosialisasi terhadap penyidik sebagai instrumen awal dalam penegakan hukum.
Kata kunci: Peranan, Penyidik, Tindak Pidana, Restorative Justice.
LESTARI MAHARANI SHINTA 2012011057 2024-01-26T07:39:02Z2024-01-26T07:39:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78316This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783162024-01-26T07:39:02ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA “TURUT SERTA MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA” (Studi Putusan Nomor: 73/Pid.Sus-Anak/2022/PN.TJK) Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu metode untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dapat dilihat dari suatu perbuatan melawan hukum dengan bentuk kelalaian dan kesengajaan. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah mengenai bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dalam Putusan Nomor: 73/Pid.Sus- Anak/2022/PN.TJK dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana (Studi Putusan Nomor: 73/Pid.Sus-Anak/2022/PN.TJK).
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Anak Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Fakultas Hukum bagian Pidana Universitas Lampung. Sumber data primer berupa wawancara narasumber dan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan. Jenis data terbagi menjadi data primer, data sekunder, dan data tersier yang kemudian dianalisis.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dalam Putusan Nomor: 73/Pid.Sus-Anak/2022/PN.TJK adalah sudah sesuai. Dari segi orang yang bersangkutan, meskipun pelaku tindak pidana tersebut adalah seorang Anak, ia dianggap sudah mampu bertanggungjawab, karena pada saat melakukan tindak pidana tersebut, Anak telah berusia 16 (enam belas) tahun 8 (delapan) bulan, di mana berdasarkan Pasal 69 Ayat (2) UUSPPA, disebutkan bahwa pelaku tindak pidana Anak dapat dikenakan 2 jenis sanksi, yaitu tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 (empat belas) tahun, dan pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas, serta Anak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Dari segi perbuatannya, perbuatan Anak tersebut bersifat melawan hukum karena telah diatur di dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55
Ayat (1) KUHP tentang Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana. Kemudian tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf terkait dengan Anak dan perbuatannya. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dalam Putusan Nomor: 73/Pid.Sus-Anak/2022/PN.TJK secara yuridis adalah perbuatan anak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana. Secara filosofis, hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap anak sebagai upaya untuk membina anak agar menjadi pribadi yang lebih baik setelah selesai menjalani masa pembinaannya di LPKA. Secara sosiologis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana bagi anak.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Diharapkan pengawasan secara intensif dari Orang Tua kepada Anak, karena Orang Tua berperan penting dalam proses tumbuh kembang Anak, dengan cara mendidik, membina, dan membimbing Anak agar menghindarkan Anak, terutama Anak di masa remajanya, dari segala tindakan yang melanggar aturan hukum, salah satunya adalah tindak pidana Pembunuhan Berencana. Hendaknya Orang Tua, Pemerintah, Masyarakat, dan Penegak Hukum saling bekerja sama untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, dengan cara memberikan sosialisasi dan pemahaman agama. (2) Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Anak hendaknya tidak hanya memikirkan dari segi normatifnya saja, tetapi juga harus memikirkan kepentingan Anak untuk masa depannya.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Anak, Pembunuhan Berencana.
HARDIANTI CHELSY 20120111912024-01-26T04:06:10Z2024-01-26T04:06:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78303This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/783032024-01-26T04:06:10ZPELAKSANAAN PEMENUHAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN KORBANPengabaian penanganan kasus kekerasan seksual mengakibatkan korban menderita kerugian fisik, trauma berkelanjutan bahkan disabilitas psikososial. Salah satu kebijakan pada Pasal 30 UU Nomor 12 Tahun 2022 ayat (1) bahwa: “Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.” Akan tetapi, pemenuhan hak restitusi masih menghadapi tantangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah Pelaksanaan Pemenuhan Pembayaran Restitusi yang dilakukan oleh Terpidana. Apakah Faktor Penghambat dalam Pemenuhan Kewajiban Pembayaran Restitusi Korban terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selanjutnya, penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif. Prosedur pengumpulan data dengan cara studi lapangan dan kepustakaan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan data LPSK pemenuhan hak restitusi korban tindak pidana kekerasan seksual masih belum maksimal dalam pelaksanaanya sehingga masih terdapat korban yang tidak memperoleh hak restitusi dikarenakan terdapat faktor penghambat pemenuhan hak restitusi diantaranya adalah faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat, faktor kebudayaan masyarakat Indonesia. Faktor dominan yang mengakibatkan hak restitusi korban kekerasan seksual belum maksimal terlaksana dikarenakan umumnya pelaku tindak pidana kekerasan seksual adalah masyarakat dengan kelas ekonomi menengah kebawah sehingga tidak memiliki kemampuan dalam mengupayakan kewajibannya membayar hak restitusi sebagai usaha memperbaiki keadaan korban ke semula.
Saran yang dapat penulis berikan adalah diperlukan koordinasi aparat penegak hukum (APH) antara Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim atau pihak terkait yang berwenang LPSK seperti UPTD-PPA untuk memastikan pemenuhan hak korban dan menginformasikan hak restitusi kepada korban, keluarga dan APH lainnya yang belum mengetahui restitusi sehingga terlaksakannya pemenuhan hak restitusi.
Kata kunci: Hak Restitusi, Kekerasan Seksual, Korban,
Pramita Amboina Tekila 20120110752024-01-24T06:46:09Z2024-01-24T06:46:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78272This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782722024-01-24T06:46:09Z
IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PERLUASAN MAKNA ASAS LEGALITAS DALAM KUHP NASIONAL
Perluasan makna asas legalitas di dalam KUHP Nasional yaitu seseorang bisa dituntut serta dipidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) meski perbuatannya tidak dilarang di dalam undang-undang. Diketahui di Provinsi Aceh sudah lebih dahulu memperluas ketentuan asas legalitas yang mengakomodir nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat yang dikompilasi ke dalam Peraturan Daerah yang dinamakan Qanun Aceh. Di dalam ketentuan Qanun Aceh dapat memidanakan perbuatan tindak pidana yang tidak diatur di dalam hukum positif, namun diatur di dalam Hukum Jinayat (hukum pidana Aceh) yang terdapat di dalam ketentuan Qanun Aceh. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: bagaimanakah kebijakan formulasi perluasan makna asas legalitas dalam KUHP Nasional dan bagaimanakah implikasi yuridis terhadap perluasan makna asas legalitas dalam KUHP Nasional.
Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Kemudian sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Narasumber di dalam penelitian ini adalah tiga orang dosen dan satu orang hakim. Pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pengolahan data yaitu melalui seleksi data dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterpretasikan untuk dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya ditarik suatu simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan formulasi dalam perluasan makna asas legalitas di dalam KUHP Nasional merupakan perluasan dari bentuk Asas Legalitas Formil di KUHP WvS ke dalam konsep Asas Legalitas Materiil di KUHP Nasional yang mengakomodir nilai-nilai hukum yang hdiup di dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pemidanaan, sepanjang perbuatan tersebut tidak diatur di dalam KUHP dan dikompilasi dalam Peraturan Daerah.
Implikasi yuridis terhadap perluasan makna asas legalitas yaitu segala perbuatan jahat yang memang melanggar ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat sepanjang diatur didalamnya dan sepanjang perbuatan jahat tersebut tidak diatur juga dalam ketentuan hukum positif, maka perbuatan jahat tersebut dapat dipidana dengan menggunakan keberlakuan hukum yang hidup di dalam masyarakat yang sudah dikompilasi dengan Peraturan Daerah setempat.
Saran penulis diharapkan kepada Pemerintah untuk mensosialisasikan lebih sering lagi kepada masyarakat mengenai pembaharuan hukum pidana di dalam KUHP Nasional, khususnya mengenai perluasan makna asas legalitas. Karena KUHP Nasional ini tergolong baru kehadirannya, juga diharapkan agar masyarakat dapat memahami keberlakuan hukum yang hidup di dalam masyarakat yang bisa menjadi dasar pemidanaan ketika nantinya sudah dikompilasi lebih lanjut ke dalam Peraturan Daerah.
Kata Kunci: Asas Legalitas, KUHP Nasional, Living Law
Nur Ramadhani. D Anggia 20120111952024-01-24T03:48:42Z2024-01-24T03:48:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78267This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782672024-01-24T03:48:42ZPENEGAKKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN BATAS KECEPATAN DI JALAN TOL DENGAN
MENGGUNAKAN SPEED CAM
(Studi Kasus Direktorat Lalu Lintas Polda Lampung)
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Saat ini Indonesia dihadapkan dengan maraknya pelanggaran lalu lintas yang terjadi yang dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Hal ini dilatarbelakangi bahwa masih banyak ditemui masyarkat yang abai terhadap ketertiban, keamanan dan kenyamanan pengguna lain saat berkendara. Berangkat dari kebutuhan tersebut, penelitian ini berusaha memotret upaya penerapan tilang atas pelanggaran batas kecepatan di jalan tol serta faktor penghambat tindakan a quo.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis empiris, dengan menggunakan literatur dan perundang-undangan yang berkaitan serta menggali informasi dan melakukan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara kepada pihak terkait yang bertujuan untuk memperoleh data yang akurat terkait upaya penerapan tilang atas pelanggaran batas kecepatan di jalan tol. Data diolah kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian pada bab pembahasan, Direktorat Lalu Lintas Polda Lampung telah melakukan upaya yang signifikan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran batas kecepatan di jalan tol. Upaya tersebut meliputi, penggunaan alat pemantau kecepatan, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terdeteksi. Meskipun demikian, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, seperti minimnya jumlah petugas dan fasilitas pendukung yang memadai. Dalam penelitian ini juga ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran batas kecepatan di jalan tol, antara lain kesadaran dan keselamatan pengendara, sosialisasi dan edukasi, serta sanksi yang diberikan.
Saran pada penelitian ini yaitu perlu pemeliharaan perangkat dan jaringan, peningkatan kapasitas petugas, evaluasi peraturan, edukasi masyarakat, dan alokasi sumber daya yang memadai dalam sistem penegakan hukum menggunakan Speed cam.
Kata Kunci :Penegakan Hukum, Pelanggaran Lalu Lintas, Batas Kecepatan
Aditya Nugraha Yoga 17120112772024-01-24T03:42:12Z2024-01-24T03:42:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78266This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782662024-01-24T03:42:12ZPERLINDUNGAN HUKUM OLEH KEJAKSAAN TERHADAP PELAPOR KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Wilayah Kejaksaan Tinggi Lampung) Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi ini bukan lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa tetapi dituntut dengan cara-cara yang luar biasa. Kehadiran pelapor tindak pidana korupsi merupakan anugerah yang harus disyukuri bagi para penyidik. bagaimana tidak, kehadiran pelapor menjadikan proses penyidikan akan menjadi lebih mudah dan efisien, tentu saja informasi yang diberikan oleh seorang pelapor kemungkinan besar akurat.
Untuk itu perlindungan oleh Kejaksaan bagi seorang pelapor tindak pidana korupsi sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak nya. Situasi ini dapat dikatakan sebagai situasi simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak akan saling mendapatkan keuntungan apabila keduanya bekerja sama dengan baik. Penegak hukum akan mendapatkan informasi yang akurat dan sang pelapor akan dengan sangat luwes dalam memberikan informasi yang akurat tanpa mendapatkan distraksi dari ancaman-ancaman ataupun intimidasi.
Adapun Pendekatan Masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Penelitian normatif- empiris digunakan untuk melakukan analisis atau mengetahui sejauh mana peraturan atau undang-undang dan regulasi hukum yang berjalan secara efektif. Fungsi dari metode penelitian normatif-empiris yaitu untuk melakukan pemantauan secara langsung agar bisa melihat perkembangan hukum yang berjalan di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian bahwasanya Di Indonesia, pengejawantahan dari Perlindungan Hukum bagi para saksi dan pelapor secara norma hukum dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kejaksaan sebagai salah satu aparat penegak hukum yang juga berwenang memberikan perlindungan hukum terhadap Pelapor tindak pidana korupsi, tunduk pada undang-undang lex
specialis yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun dari berbagai perlindungan hukum yang diberikan terhadap Pelapor tindak pidana korupsi yang tercantum, Identitas Pelapor merupakan bentuk perlindungan hukum dengan tingkat urgensi yang paling tinggi untuk dilindungi.
Berdasarkan fakta di lapangan bahwa Kejaksaan Tinggi Lampung memberikan perlindungan hukum berupa, Memberikan keterangan tanpa tekanan, Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, Merahasiakan identitas pelapor, Bebas dari pertanyaan yang menjerat, Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan, Mendapatkan tempat kediaman sementara, Mendapatkan perlindungan atas keamanan pribadi, Mendapat nasihat hukum, Mendapat pendampingan hukum.
Keberadaan LPSK tersendiri yang hanya berpusat di Ibu Kota Jakarta terkadang menjadi kendala bagi LPSK dalam hal menjangkau bentuk perlindungan ke seluruh wilayah di Indonesia, oleh karena itu dibentuklah suatu kerjasama yang dilakukan oleh LPSK dan beberapa Instansti terkait dalam kesepakatan kerja yang berbentuk nota kesepahaman ataupun MoU. Hal ini dilakukan agar pemenuhan hak saksi, korban dan Pelapor dapat semakin optimal. Salah satu Instansi terkait yang juga bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah Kejaksaan, LPSK membentuk sebuah kerjasama dengan Kejaksaan dalam bentuk Pedoman Kerja antara LPSK dengan Kejaksaan Republik Indonesia.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pelapor, Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan.
Fitra Diansyah Pratama Ramadani20120112112024-01-24T01:10:44Z2024-01-24T01:10:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78257This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782572024-01-24T01:10:44ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENGGUNAKAN ANJING PELACAK (K9)
(Studi Direktorat Reserse Narkoba di Kepolisian Daerah Lampung)
Penggunaan anjing pelacak (K9) sebagai alat bantu pihak kepolisian menjalankan tugasnya dalam mencari dan menemukan barang bukti tindak pidana narkotika yang mana kepolisian diperbolehkan menggunakan segala cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam membantu tugasnya dalam pengungkapan suatu tindak pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (a) Bagaimanakah peran kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana narkotika menggunakan anjing pelacak (K9)? (b) Apakah faktor penghambat kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana narkotika menggunakan anjing pelacak (K9)?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Narasumber penelitian terdiri dari anggota Dit Reserse Narkoba Polda Lampung, anggota BNNP Lampung, dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi lapangan. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterpretasikan untuk dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya untuk ditarik suatu kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa peran kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana narkotika menggunakan anjing pelacak (K9) meliputi peran normatif, ideal, dan faktual. Peran normatif adalah berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/ 251/IV/2004 tentang Pelacakan Narkoba dengan Anjing Pelacak (K9) dan Nomor:SOP/11/V/2019/UNITPOLSATWA. Peran ideal yaitu tindakan kerja sama Polda Lampung dengan BNNP Lampung dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya terhadap tindak pidana narkotika. Peran faktual Polda Lampung dalam menggunakan anjing pelacak (K9) guna menemukan dan mencari barang belum sepenuhnya berjalan dengan baik karena ada beberapa
faktor dan kendala pada pengunaan anjing pelacak (K9). Faktor penghambat kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana narkotika menggunakan anjing pelacak (K9) yaitu peraturan mengenai penggunaan anjing pelacak (K9) yang hanya sebatas Surat Keputusan Kapolri No. Pol: SKEP / 251 / IV / 2004 dan Surat Keputusan Kapolda Nomor: SOP / 11 / V / 2019 / UNITPOLSATWA. Seharusnya ada dasar hukum yang mengatur secara jelas tentang keabsahan atau penggunaan hukum di dalamnya, faktor aparat penegak hukumnya dalam hal ini kurangnya polisi yang bertugas sebagai pawang anjing atau K9 di Polda Lampung, dan faktor sarana prasarana yaitu masih kurang optimalnya manajemen kesehatan unit satwa yaitu anjing pelacak (K9), serta faktor masyarakat yaitu kurangnya peran masyarakat akibat ketidaktahuan dan tidak adanya kerja sama yang baik antar masyarakat dengan pihak polisi K9.
Saran penulis seharusnya penggunaan anjing pelacak dapat lebih dimaksimalkan penggunaannya dalam mencari barang bukti tindak pidana dengan adanya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur keabsahannya. Yang berupa landasan hukum yang seharusnya diakomodir dalam ketentuan Undang-Undang Kepolisian. Selain itu seharusnya terdapat penambahan jumlah personil polisi pawang anjing pelacak (K9) yang berkompeten, peningkatan sarana dan prasarana, serta memberikan sosialisasi tentang penggunaan anjing pelacak.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Tindak Pidana Narkotika, Anjing Pelacak (K9)
RISKIA SAFITRI SIHITE NURUL 20120111862024-01-24T01:07:28Z2024-01-24T01:07:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78253This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782532024-01-24T01:07:28ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMERASAN DENGAN ANCAMAN KEKERASAN
( Studi Putusan Nomor : 629/Pid.B/2022/PN Tjk )
Tindak pidana yang terjadi di masyarakat baik dari tingkat anak-anak maupun
kalangan remaja sampai dengan dewasa yaitu tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan. Berdasarkan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan
adalah barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus
piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun. Oleh karena itu perlu sebuah tindakan konsisten yang dapat menegakkan
hukum sehingga terjalin kerukunan. Salah satu bentuk kejahatan dengan ancaman
kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi dan sangat mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat yakni pada putusan 629/Pid.B/2022/PN Tjk. Berdasarkan
hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan permasalahan:
Bagaimanakah Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan
Ancaman Kekerasan dan Apakah Faktor Penghambat Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan Ancaman Kekerasan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
penegakan hukum kemudian akan menjadi sebuah rangkaian sebagai bentuk dari
upaya maupun sebuah proses guna mencapai sebuah tujuan tertentu yang mana
rangkaian tersebut bersumber dari nilai-nilai yang kemudian akan berujung pada
pidana serta pemidanaan. Tahap Aplikasi pada penegakan hukum ini merupakan
tahap penerapan hukum pidana oleh para aparat penegak hukum mulai dari tahap
penyidikan sampai dengan tahap pemeriksaan di persidangan. Kemudian pada
Tahap Eksekusi dimana pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan Perundang-undangan yang telah dibuat melalui penerapan
pidana terkait dengan Pasal 368 KUHP yang menandakan bahwa Pasal dan juga
Undang-Undang tersebut sudah ditegakkan terhadap pelaku dengan seharusnya.
Faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan terdiri dari 5 (lima) faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak
hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Pada penegakan hukum terhadap tindak pidana pemerasan dengan ancaman
kekerasan faktor penegak hukum menjadi faktor penghambat yang paling besar
diantara faktor-faktor lainnya.
Rekomendasi penelitian ini adalah hakim harus menegakkan dan menjatuhkan
hukuman seberat-beratnya kepada pelaku. Meningkatkan koordinasi dan kerja
sama antara aparat penegak hukum untuk mempercepat proses penyelidikan dan
pengadilan pada tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Pemerasan, Ancaman Kekerasan
Agni Syafitri Arghea19120113722024-01-24T01:06:07Z2024-01-24T01:06:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78248This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/782482024-01-24T01:06:07ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA MEMAKAI SURAT PALSU ATAU YANG DIPALSUKAN
(Studi Putusan Nomor 139/Pid.B/2022/PN.Tjk) Memalsukan atau membuat secara palsu suatu surat merupakan bentuk tindak
pidana pemalsuan surat. Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam KUHP, dalam
hukum positif di Indonesia tindak pidana mengenai pemalsuan surat (valschheid in
gescriften) telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab
XII buku II KUHP, yang dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan untuk dapat
menghukum para pelaku yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat yaitu
melalui Pasal 263 s/d Pasal 276. Tindak pidana menggunakan surat palsu atau yang
dipalsukan adalah permasalahan hukum yang mendalam dan kompleks. Dalam
kaitannya dengan hal ini, putusan Nomor 139 Pid.B/2022/PN.Tjk menjadi fokus
utama dalam melakukan analisis dasar pertimbangan hakim terhadap tindak pidana
tersebut. Permasalahan pertama Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim
Terhadap Tindak Pidana Memakai Surat Palsu Atau Yang Dipalsukan dan kedua
Apakah Putusan yang Dijatuhi Hakim Sudah Sesuai dengan Fakta di Persidangan.
Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris, dengan mengacu pada
putusan tersebut sebagai sumber utama. Sumber data primer diperoleh melalui
wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, dan Akademisi Bagian Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung, sementara data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Putusan
hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek seperti aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.
Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya sebagai berikut: Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, Keterangan saksi, Keterangan terdakwa, Barang-barang bukti dan
Pasal-Pasal yang didakwakan. Pertimbangan yang bersifat sosiologis adalah hakim
dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan
memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi
masyarakat. Pertimbangan yang bersifat filosofis adalah hakim mempertimbangkan
bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sebagai bentuk pembinaan dan
dapat menimbulkan efek jera kepada terdakwa. Hakim mempertimbangkan buktibukti
yang ada, termasuk otentisitas surat yang digunakan dan hakim dalam
menjatuhkan putusan nomor 139/Pid.B/2022/PN.Tjk telah sesuai dengan
memperhatikan fakta-fakta di persidangan. Maka diketahui bahwa perbuatan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana memakai
surat palsu atau yang dipalsukan sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian skripsi ini adalah Hakim
dalam menjatuhkan hukuman pidana harus tetap berdasarkan pertimbanganpertimbangan
dan fakta-fakta yang timbul pada saat persidangan baik itu secara
subjektif maupun objektif, sehingga penghukuman tersebut akan memberikan efek
jera bagi pelaku. Selain itu agar Badan Pertanahan Negara (BPN) lebih
memperhatikan setiap pembuatan akte hak kepemilikan tanah dan lebih teliti dalam
pengurusan akte hak milik tanah yang hilang ataupun balik nama.
Kata Kunci: pertimbangan hakim, tindak pidana, pemalsuan surat.
Ardi Darmawan Richo19120111672024-01-18T06:27:49Z2024-01-18T06:27:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78129This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/781292024-01-18T06:27:49ZKEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KETENTUAN PIDANA DENDA BAGI WAJIB PAJAK BADAN YANG TIDAK MENYETORKAN PAJAK Salah satu tindak pidana perpajakan yang cukup sering terjadi adalah terhadap tindak pidana wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dan dimaksud dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut ”UU KUP”), dimana proses penegakan hukum pidananya seringkali menimbulkan problematika, khususnya terhadap segi penerapan pengganti pidana dendanya. Oleh karenanya, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai proses penegakan hukum pidana terhadap wajib pajak badan yang melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, untuk kemudian mencari bentuk konsepsi ideal terhadap ketentuan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, dan untuk analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif, yaitu analisis data dengan obyek yang alamiah serta dilakukan dengan cara menguraikan dan menjelaskan data yang diteliti dan diolah secara rinci ke dalam bentuk kalimat supaya memperoleh gambaran yang jelas dan mudah menelaahnya, sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan penulis, diketahui terdapat kekacauan penegakan hukum pidana terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP yang menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum pelaksanaannya, hal ini diakibatkan perbedaan dan ketidaksamaan terhadap pemahaman maupun penerapan mekanisme pidana denda yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP.
Oleh karena itu, diperlukan kesepahaman antara para pembentuk peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum serta Hakim dalam memahami konteks penegakan hukum pidana pajak secara umum dan khususnya mengenai penerapan pengganti pidana denda agar proses penegakan hukum pidananya berjalan terintegrasi dan satu tujuan, dengan cara melakukan mereformulasi terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP, khususnya terhadap mekanisme dan penerapan penjatuhan pidana dendanya yang disesuaikan dengan asas, tujuan, dan filosofis ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang disesuaikan dengan prinsip dan ketentuan umum hukum pidana agar diperoleh konsepsi idealnya tersebut.
Kata Kunci: Kebijakan Formulasi, Pidana Denda, Wajib Pajak Badan, Tidak Menyetorkan Pajak.
ANGGRAINI2022110512024-01-16T06:47:58Z2024-01-16T06:47:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78073This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780732024-01-16T06:47:58ZKAJIAN TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK
KORBAN KEKERASAN SEKSUALKekerasan seksual sering terjadi dimasyarakat,Perempuan menjadi korban terbanyak dalam kasus
kekerasan seksual karena secara kodrati fisik perempuan lebih lemah dibanding laki-laki.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah kondisi saat ini perlindungan hak korban kekersan
seksual serta produk hukum yang berlaku menurut pandangan teori nhukum feminis. Hal ini yang
menjadi dasar kajian terhadap korban kekerasan seksual karena masih banyak masyarakat yang
tidak dapat menananggapi masalah ini secara benar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh lalu dianalisis secara
kualitatif, untuk selanjutnya diambil kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi saat ini dalam perlindungan hak korban kekerasan
seksual yang melibatkan peran pemerintah dan masyarakat yang diwakili Lembaga Swadaya
masyarakat sudah menunjukan kesadaran yang lebih lanjut ini terbukti bahwa adanya program
untuk memulihkan keadaan korban baik secara fisik maupun mental, serta mengedukasi
masyarakat terkait perannya dalam menangani korban kekerasan seksual. Dalam sudut pandang
teori hukum feminis produk hukum Indonesia sudah memiliki kesadaran terhadap gender melihat
adanya peraturan peraturan khusus yang menangani masalah perempuan. Selain itu produk hukum
yang ada di Indonesia sudah memilikinkesadaran terhadap gender dengan terbukti adanya undang
undang khuhus yang menitik beratkan kepada perempuan maupun pasal pasal didalam suatu
undang undang yang kemiliki fokus terhadap perlindungan terhadap perempuan.
Saran dalam penelitian hendaknya adanya peningkatan kinerja pemerintintah terkait perlindungan
hak korban kekerasan seksual ditunjukan dengan adanya program baru yang inovatif sertua
pengawasan mutu dalam melakukan perlindungan terhadap hak korban kekerasan
seksual.Perlunya sosialisai produk hukum yang berkaitan dengan perlindungan hak korban
kekerasan seksul ke masyarakat dalam upaya edukasi. Prima Putra Alfiando 21220110372024-01-16T06:30:35Z2024-01-16T06:30:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78066This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780662024-01-16T06:30:35ZIMPLEMENTASI REMBUK TIUH DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN GETAH KARET DENGAN PELAKU ANAK
(Studi Rembuk Tiuh Masyarakat Adat Lampung Di Desa
Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan)Penyelesaian tindak pidana pencurian getah karet oleh pelaku usia anak di Desa Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan melalui rembuk tiuh merupakan bentuk restorative justice berupa musyawarah adat yang memberikan keadilan terhadap korban dan pelaku. Penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana implementasi dan faktor penghambat rembuk tiuh dalam penyelesaian tindak pidana pencurian getah karet dengan pelaku usia anak di Desa Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer berupa hasil wawancara dan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa implementasi rembuk tiuh dalam penyelesaian tindak pidana pencurian getah karet dengan pelaku usia anak dapat dikatakan efektif dalam mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku. Denda ganti rugi oleh pelaku kepada korban merupakan pemulihan ke kondisi semula dan bukan bentuk pembalasan. Tidak adanya pemidanaan terhadap pelaku usia anak memberikan kesempatan anak untuk tumbuh kembang sebagaimana layaknya. Kehadiran tokoh adat dalam rembuk tiuh sebagai mediator membantu mencari solusi dan kesepakatan bersama. Faktor-faktor penghambat implementasi penerapan rembuk tiuh yang dominan yaitu kurangnya peran pemerintah di daerah dalam mendorong penyelesaian tindak pidana pencurian melalui rembuk tiuh dan masyarakat yang belum memahami sepenuhnya rembuk tiuh sebagai jalan penyelesaian tindak pidana pencurian.
Saran penelitian ini kepada pemerintah di daerah agar lebih mendorong penerapan rembuk tiuh dalam penyelesaian tindak pidana ringan dengan pelaku usia anak. Kepada penegak hukum dan tokoh adat Lampung Way Kanan agar lebih mengekesistensikan lagi rembuk tiuh sebagai solusi penyelesaian masalah di masyarakat.
Kata Kunci: Mediasi Penal, Rembuk Tiuh, Tokoh Adat.AMALIA HANISA 22220110052024-01-16T02:00:06Z2024-01-16T02:00:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78059This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780592024-01-16T02:00:06ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN
2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUALKekerasan seksual merupakan salah satu permasalahan yang sudah lama terjadi
dalam lingkungan masyarakat di Indonesia dan telah menjadi perbincangan utama
karena sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai moral masyarakat Indonesia.
Pemerintah di Indonesia berupaya melakukan pembaharuan hukum terkait tindak
pidana kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual hadir untuk menjawab penantian masyarakat selama ini
mengenai langkah apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi
permasalah kekerasan seksual. Oleh karena itu rumusan masalah atau pembahasan
dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum
terhadap korban kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta implikasi dari pengaturan
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual tersebut.
Peneliti di dalam skripsi ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
didukung dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara mendalam
dengan narasumber, yang terdiri atas dosen bagian hukum pidana, penyidik
ditreskrimum kepolisian daerah, kepala bagian tata usaha dan tim advokat unit
pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak. Dimana data yang
digunakan adalah data yang bersumber dari data primer dan sekunder yang
utamanya diperoleh dari lapangan dan kepustakaan, serta analisis data secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap
korban kekerasan seksual yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual telah berperan sebagai bagian dari
kebijakan kriminal serta kebijakan sosial, yang pada dasarnya pembaharuan hukum
ini memiliki tujuan sebagai bagian dari usaha pemerintah untuk mengatasi
persoalan kekerasan seksual serta memberikan perlindungan hukum kepada
masyarakat dan merupakan bagian dari usaha memperbaharui substansi hukum
dengan tujuan mengefektifkan sistem penegakan hukum yang ada. Sementara itu
implikasi dari regulasi yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual telah
mengakomodir perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual berupa jaminan
perlindungan hukum atas hak yang dimiliki korban.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian skripsi ini adalah perlu
adanya peran dari pemerintah untuk dapat lebih mengoptimalkan terkait kinerja unit
pelayanan terpadu pusat dan unit pelayanan teknis daerah perlindungan perempuan
dan anak dalam menanggulangi dan melayani masyarakat yang mengalami
kekerasan seksual. Selain itu perlu adanya peran dari aparat yang berwenang dan
masyarakat luas untuk dapat kerja sama dalam mengoptimalkan suatu kebijakan
agar bisa berlaku dan berjalan sesuai seperti yang dicita-citakan.
Kata kunci: Perlindungan hukum, korban, kekerasan seksualTry Laksana Arif19120113142024-01-15T06:03:51Z2024-01-15T06:03:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78049This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/780492024-01-15T06:03:51ZKEBIJAKAN INTEGRAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PELECEHAN SEKSUAL SECARA VERBAL BERBASIS TECHNO PREVENTIONDampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih yaitu penyalahgunaan media sosial yang menjadi sarana pelecehan seksual verbal. Sehingga, perlu dilakukan pengkajian serius dan konseptual terhadap kebijakan penanggulangannya. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah kondisi eksisting kebijakan penal dalam penanggulangan kejahatan pelecehan seksual secara verbal dan bagaimanakah kebijakan integral hukum pidana dengan techno prevention sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual secara verbal.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Metode pengumpulan data ialah studi kepustakaan dan studi lapangan, serta analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Kanit Subdit V Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung, Penyidik Subdit IV Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung, dan Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi eksisting kebijakan penal dalam penanggulangan kejahatan pelecehan seksual secara verbal sangat terbatas dan fragmentair, upaya penanggulangan pelecehan seksual verbal di media sosial tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana (sarana penal), tetapi harus ditempuh pula dengan kebijakan integral/sistemik baik melalui upaya penal maupun upaya non penal. Dan kebijakan integral hukum pidana dengan techno prevention sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual secara verbal dilakukan dengan Cyber Troops dari Polda Lampung yang merupakan bagian dari Hubungan Masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah penambahan dan peningkatan Iptek personil Polda Lampung serta penambahan kewenangan untuk memblokir konten negatif oleh Diskominfotik Lampung agar efisien. Dan masyarakat juga dapat berperan aktif dengan mengadakan atau membentuk suatu gerakan dengan agenda penyuluhan tentang dampak pelecehan seksual verbal.
Meita Sarie Putri Rendie22220111012023-12-29T01:10:01Z2023-12-29T01:10:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77956This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/779562023-12-29T01:10:01ZPENERAPAN SANKSI KEBIRI KIMIAWI TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi Dari Aspek Keadilan)
Kekhawatiran negara terhadap kondisi meningkatnya kekerasan seksual pada anak,
membuat negara mengeluarkan kebijakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan
seksual pada anak sebagai pidana tambahan. Permasalahan yang menjadi obyek
kajian tesis ini adalah bagaimanakah penerapan sanksi kebiri kimiawi terhadap
pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Apakah terdapat aspek
keadilan dari penerapan sanksi kebiri terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak.
Penelitian tesis ini dihasilkan dari penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan undang-undang, asas hukum serta doktrin-doktrin hukum. Data dalam
penelitian ini menggunakan data hukum primer, sekunder dan tersier. Cara yang
digunakan untuk mendapatkan bahan hukum dalam tesis ini yaitu dengan
melakukan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data penelitian ini dilakukan
secara kualitatif yang kemudian dituangkan secara dedukatif.
Hasil dari penelitian ini adalah penerapan sanksi kebiri kimiawi di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan tata
cara pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
70 Tahun 2020 dengan cara memasangkan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi
dan pengumuman identitas pelaku. Pemberatan sanksi dengan pemasangan alat
tersebut dinilai paling baik dan memberikan efek jera pada pelaku dengan tujuan
agar pergerakan pelakunya bisa diketahui setelah selesai menjalankan pidananya.
Aspek keadilan dari keadilan korban sebagai bentuk hukuman pembalasan terhadap
pelaku tindakan kekerasaan seksual sedangkan aspek keadilan terhadap pelaku
yaitu dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan adanya hukuman yang
terlalu berat dan tidak rasional bagi pelaku kekerasan seksual pada anak.
Saran dari penulis yaitu dengan pemerintah meninjau kembali pemberian hukuman
tambahan berupa kebiri kimia karena kebijakan tersebut tidaklah sesuai dengan
tujuan pemidanaan dan tidak memenuhinya aspek keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum bagi pelaku.
Kata Kunci : Kebiri Kimiawi, Kekerasan Seksual, Anak
The state's concern about the increasing condition of sexual violence against
children has led the state to issue a policy of chemical castration for perpetrators
of sexual violence against children as an additional crime. The problem that is the
object of this thesis study is how to apply chemical castration sanctions to
perpetrators of criminal acts of sexual violence against children. Is there a justice
aspect in applying castration sanctions to perpetrators of criminal acts of sexual
violence against children.
This thesis research was produced from normative research using a statutory
approach, legal principles and legal doctrines. The data in this research uses
primary, secondary and tertiary legal data. The method used to obtain legal
material in this thesis is by conducting literature studies and field studies. This
research data analysis was carried out qualitatively which was then presented
deductively.
The results of this research are that the implementation of chemical castration
sanctions in Indonesia is regulated in Law Number 17 of 2016 concerning Child
Protection and the procedures for implementation are regulated in Government
Regulation of the Republic of Indonesia Number 70 of 2020 by installing electronic
detection, rehabilitation and announcement of the identity of the perpetrator.
Increasing sanctions by installing this device is considered the best and provides a
deterrent effect on the perpetrator with the aim that the perpetrator's movements
can be known after completing the crime. The justice aspect of justice for victims is
a form of retaliatory punishment against perpetrators of sexual violence, while the
aspect of justice for perpetrators is that it is considered to violate human rights
(HAM) with punishments that are too severe and irrational for perpetrators of
sexual violence against children.
The author's suggestion is that the government review the provision of additional
punishment in the form of chemical castration because this policy is not in
accordance with the objectives of punishment and does not fulfill the aspects of
justice, benefit and legal certainty for the perpetrator.
Keywords: Chemical castration, Sexual Violence, Children Arif Wahyu Saputra Muhammad 2022010352023-12-22T01:31:55Z2023-12-22T01:31:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77865This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/778652023-12-22T01:31:55ZANALISIS PELAKSANAAN PENYITAAN DAN EKSEKUSI ASET TERPIDANA KORUPSI DALAM RANGKA PEMULIHAN KEUANGAN NEGARAPenyitaan dan Eksekusi aset hasil Tipikor telah menempati posisi penting dalam pemberantasan Tipikor, maka keberhasilan pemberantasan Tipikor tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan pemidanaan saja, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Bahwa untuk mengetahui penyitaan dan eksekusi barang sitaan berupa aset tidak bergerak hasil tindak pidana korupsi, maka diperlukan upaya Kejaksaan dalam melakukan penyitaan dan eksekusi barang sitaan berupa aset benda bergerak maupun tidak bergerak hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya dalam pengembalian kerugian negara. Permasalahan yang akan dikaji yaitu terkait dengan pelaksanaan penyitaan dan eksekusi aset dalam pengembalian kerugian keuangan negara dan faktor penghambat untuk melaksanakan penyitaan dan eksekusi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini terdiri dari spesifikasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan empiris, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder yang penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif serta data lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan penyitaan dan eksekusi aset dalam rangka pemulihan keuangan negara dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan Kejaksaan dan peraturan lainnya. Upaya jaksa dalam melaksanakan penyitaan dan eksekusi aset, dalam artian bahwa perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan penyitaan aset para pelaku korupsi merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Kedua hal tersebut dilakukan dengan mekanisme pelaksanaan yang berbeda namun keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kendala dalam upaya melaksanakan penyitaan dan eksekusi aset hasil tindak pidana korupsi oleh jaksa yaitu sulit untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana. Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan, selain itu menjadi sebabnya adalah belum adanya kerja sama internasional yang memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh aparat penegak hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Saran perlu ada pembaharuan di dalam UU PTPK terkait ketentuan hukum mengenai upaya penyitaan dan pengembalian aset saat terkait tata cara dan lembaga konsen melaksanakan perampasan aset, sehingga lebih efektif dalam penanganan kasus pengembalian dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Perlunya perlengkapan sarana dan prasarana yang canggih dalam upaya melakukan penelusuran aset benda tidak bergerak milik para koruptor, dan perlu adanya komitmen dan keseriusan pemerintah menjalin komunikasi dengan negara lain sehubungan apabila ada aset benda tidak bergerak milik koruptor yang berada di luar negeri dapat diakses secara mudah dan sederhana.
Kata Kunci: Pelaksanaan, Penyitaan dan Eksekusi Aset, Tipikor, Keuangan Negara
The confiscation and execution of assets resulting from Corruption has occupied an important position in the eradication of Corruption, so the success of eradicating Corruption is not only measured by the success of sentencing, but also determined by the level of success in returning state assets that have been corrupted. That in order to find out the confiscation and execution of confiscated assets in the form of immovable assets resulting from criminal acts of corruption, it is necessary for the Attorney's Office to confiscate and execute confiscated assets in the form of movable and immovable assets resulting from criminal acts of corruption as an effort to recover state losses. The problems to be studied are related to the implementation of asset confiscation and execution in recovering state financial losses and the inhibiting factors for carrying out confiscation and execution.
The research method used in this thesis research consists of research specifications, data sources, data collection techniques and data analysis. The type of research used is normative legal research, namely legal research that uses secondary data sources with an emphasis on theoretical and qualitative analysis.
The results of this study indicate that the implementation of asset confiscation and execution in the framework of recovering state finances is carried out based on statutory provisions, Attorney General's regulations and other regulations. Prosecutors' efforts to carry out confiscation and execution of assets, in the sense that confiscation is a coercive measure taken by the state to separate rights to assets based on a court decision, while the confiscation of assets of corruptors is an anticipatory measure aimed at saving or preventing the flight of assets. Both of these are carried out with different implementation mechanisms but are related to one another. Obstacles in efforts to carry out confiscation and execution of assets resulting from criminal acts of corruption by prosecutors are that it is difficult to confiscate assets resulting from criminal acts that have been controlled by perpetrators of criminal acts. There are many difficulties encountered in the attempt to confiscate the proceeds of crime, such as the lack of instruments in the attempt to confiscate the proceeds of crime. The existing systems and mechanisms regarding confiscation of criminal assets are currently not able to support law enforcement efforts that are just, besides that the reason is the absence of adequate international cooperation, and a lack of understanding of the mechanism for confiscation of proceeds of criminal acts by law enforcement officials who have permanent legal force.
Suggestions that there needs to be an update in the PTPK Law regarding legal provisions regarding efforts to confiscate and return assets when it comes to procedures and institutions concerned with carrying out asset confiscation, so that it is more effective in handling cases of return and confiscation of assets resulting from corruption. It is necessary to complete sophisticated facilities and infrastructure in an effort to trace immovable assets belonging to corruptors, and there is a need for the government's commitment and seriousness to establish communication with other countries in connection if there are immovable assets belonging to corruptors who are abroad can be accessed easily and simply .
Keywords: Execution, Confiscation and Execution of Assets, Corruption, State Finances
ARJA PRATAMA GITA21220110262023-12-21T06:14:22Z2023-12-21T06:14:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77810This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/778102023-12-21T06:14:22ZKEABSAHAN CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE (BUKTI TIDAK LANGSUNG) DALAM MEMPERKUAT KEYAKINAN HAKIM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Ditinjau dari Viktimologi) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa dalam keadaan tertentu dan sering kali jika pembuktian tersebut sangat minim terkadang hakim dapat menggunakan bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dalam hal tidak ditemukannya saksi mata yang melihat tindakan asusila tersebut. permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: Bagaimana keabsahan circumstantial evidence dalam memperkuat keyakinan hakim memutus perkara tindak pidana kesusilaan di tinjau dari viktimologi? Bagaimana hakim mengkontruksikan atau menarik kesimpulan bahwa bukti tidak langsung tersebut dalam memperkuat keyakinan hakim?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa : Bukti tidak langsung dapat diterima menjadi alat bukti hal ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2011 yang memperluas batasan saksi yaitu saksi tidak hanya saksi yang melihat langsung, akan tetapi saksi yang tidak mendengar, melihat, ia alami sendiri dapat diterima sebagai saksi. Hal ini sangat penting dalam memperluas alat bukti saksi mengingat ada asas hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya dasar hukumnya (ius curia novit). Oleh karena itulah hakim memiliki instrument untuk menerima alat bukti tidak langsung/circumstantial evidence dengan metode yakni melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) dan Hakim dapat mengkonstruksikan atau menarik kesimpulan bahwa bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dapat digunakan untuk mendukung keyakinan hakim dalam memutus perkara tindak pidana kesusilaan. Jenis bukti ini dapat digunakan apabila tidak terdapat bukti-bukti dan saksi mata dalam kasus-kasus tindak pidana kesusilaan, karena seringkali tidak ada saksi atau bukti langsung yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara langsung, oleh karena itu hakim dapat mengkonstruksikan dari alat bukti yang saling berkesesuaian sudah dapat menilai persistiwa pidana yang kongkrit terjadi.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini sebagai berikut: Sebaiknya penegak hukum harus memahami dan mengoptimalkan penggunaan bukti tidak langsung dalam kasus tindak pidana kesusilaan..
Kata Kunci: Keabsahan; Circumstantial Evidence; Keyakinan Hakim.Elisabet Febriyana20220110822023-12-21T06:05:43Z2023-12-21T06:05:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77805This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/778052023-12-21T06:05:43ZANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG
(Studi Putusan Nomor 485/Pid.Sus/2022/PN Mgl)
Di Indonesia sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang
berpendapat bahwa wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya
berpakain minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak
pidana perkosaan terhadapnya. Tindak pidana perkosaan dapat terjadi ada anakanak
dibawah
umur
juga
pada
orang
lajut
usia,
begitu
pula
dengan
pelaku
perkosaan
tidak
mengenal batas usia mulai dari usia remaja sampai usia lanjut dan kadang
pelaku perkosaan adalah orang terdekat korban, seperti ayah kandung, tetangga,
paman, ataupun saudara kandung sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan perkara tindak
pidana pemerkosaan terhadap anak kandung.
Metode penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan statute
approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pemerkosaan anak kandung didasari oleh beberapa aspek
dari aspek hukum (unsur–unsur pasal yang didakwakan dan kemampuan
bertanggungjawab terdakwa), dari aspek terdakwa hakim juga mempertimbangkan
faktor yang melatarbelakangi terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan
dan adanya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Perkosaan, Anak Kandung, Pertimbangan
Hakim
In Indonesia, most of the crimes of rape occur in women, there are those who argue
that women are raped because of their appearance, such as wearing minimal
clothes so that it can provoke someone to commit a crime of rape against them. The
crime of rape can occur with underage children as well as with the elderly, as well
as the perpetrators of rape who know no age limit, from teenagers to old age and
sometimes the perpetrators of rape are the closest people to the victim, such as
biological fathers, neighbours, uncles, or siblings. This study aims to analyze the
judge's considerations in passing a decision on the crime of rape against a
biological child.
This research method is a normative juridical method with a statute approach. The
results of the study show that the judge's considerations in deciding a case of rape
of a biological child are based on several aspects of the legal aspect (elements of
the article being charged and the ability of the accused to be responsible), from the
aspect of the defendant the judge also considers the factors behind the defendant
committing the crime being charged and the aggravating and mitigating
circumstances for the defendant.
Keywords: Crime, Rape, biological children, judge's considerations
Zakia Karin 19120112782023-12-18T00:45:02Z2023-12-18T00:45:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77476This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/774762023-12-18T00:45:02ZPERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
NARAPIDANA PENGGUNA NARKOTIKA JENIS GANJA
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung) Tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan masalah besar yang sedang
menjadi suatu keperihatinan bangsa indonesia saat ini, salah satunya pengguna
narkotika jenis ganja. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di indonesia
ganja merupakan narkotika golongan 1 yang berarti bahwa ganja dilarang untuk
dikonsumsi. Indonesia telah menerapkan pasal-pasal tindak pidana narkotika dan
sanksinya pun telah diatur dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika dengan minimal pidana penjara 4 tahun dan maksimal
hukuman mati, namun untuk pecandu pada Pasal 127 dijelaskan mereka untuk
direhabilitasi dan maksimal penjara 4 tahun. Selama di Lembaga Pemasyarakatan
mereka akan mendapatkan pembinaan yang mana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah peran Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana
pengguna narkotika jenis ganja dan apakah yang menjadi faktor penghambat
dalam pelaksanaan pembinaan narapidana pengguna narkotika jenis ganja.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya dan data
yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara
dengan narasumber Staff dan Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak
Didik Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung, serta
narapidana dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa peran lembaga
pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana pengguna narkotika terdapat peran
faktual yaitu pelayanan, pembinaan, pembimbingan. Akan tetapi, program
pembinaan dan pelayanan dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas
IIA Bandar Lampung tidak berjalan semestinya dikarenakan terdapat
pada kegiatan pembinaan kemandirian yang tidak dilaksanakan. Kondisi
lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas juga mempengaruhi kualitas
kepribadian dan kualitas kemandirian dari narapidana yang ingin ditingkatkan.
Muhammad Syah Farrel
Pelaksanaan pembinaan narapidana pengguna narkotika jenis ganja di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung hanya terdapat 3 (tiga)
faktor penghambat yaitu pertama, faktor petugas pemasyarakatan disebabkan
petugas yang tidak sebanding dengan warga binaan. Kedua, faktor masyarakat
yang sulit untuk menjalin kerja sama dalam proses pembinaan. Ketiga, faktor
kebudayaan yaitu perbedaan latar belakang dan sifat dari setiap narapidana yang
mengakibatkan gesekan antar narapidana maupun dengan petugas. Faktor yang
paling menghambat dalam pembinaan narapidana pengguna narkotika jenis ganja
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung yaitu faktor
masyarakat, sulitnya menjalin kerja sama dengan masyarakat dalam proses
pembinaan bahkan terdapat beberapa kegiatan pembinaan yang tidak memiliki
tenaga pengajar menyebabkan tenaga pengajar dilakukan narapidana yang sudah
memiliki skill dibidang tersebut. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai
aspek integral dari upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat
diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembinaan warga
binaan.
Saran dari penelitian ini adalah, sebaiknya memisahkan atau membedakan jenis
pembinaan berdasarkan jenis narkotika dan membedakan antara pengguna
narkotika dengan pengedar narkotika. Untuk pihak lembaga pemasyarakatan perlu
menambah petugas pemasyarakatan yang berkualitas dan meningkatkan kerja
sama dengan masyarakat atau lembaga dalam aspek tenaga pengajar untuk
meningkatkan kualitas kepribadian dan kualitas kemandirian dari narapidana agar
peran lembaga pemasyarakatan dapat berjalan maksimal.
Kata Kunci: Peran, Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan, Narkotika.
The criminal act of narcotics abuse is a big problem that is becoming a concern
for the Indonesian nation at this time, one of which is the narcotic type of
marijuana. Based on the laws and regulations in Indonesia, cannabis is a class 1
narcotic, which means that cannabis is prohibited for consumption. Indonesia has
implemented articles on narcotics crimes and the sanctions have also been
regulated in the Narcotics Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics with a
minimum prison sentence of 4 years and a maximum sentence of death, but for
addicts in Article 127 it is explained that they need to be rehabilitated and a
maximum of 4 years in prison. year. While in Correctional Institutions they will
receive guidance which is regulated in Law Number 22 of 2022 Concerning
Corrections. The problem in this study is what is the role of Correctional
Institutions for inmates who use cannabis narcotics and what are the inhibiting
factors in the implementation of coaching for inmates who use cannabis narcotics.
The approach method used in this research is normative juridical and empirical
juridical, emphasizing on the study of the rule of law, and the data used are
secondary data and primary data. Data collection was carried out by library
research and field studies through interviews with staff sources and the Head of
the Guidance Section for Prisoners and Students at the Class IIA Bandar Lampung
Narcotics Correctional Institution, as well as prisoners and Academics from the
Faculty of Law, University of Lampung.
The results of the research and discussion show that the role of correctional
institutions in developing convicts who use narcotics has a factual role, namely
service, coaching, mentoring. However, the guidance and service program from
the Bandar Lampung Class IIA Narcotics Correctional Institution did not run
properly because there were independence development activities that were not
implemented. Conditions in correctional institutions that exceed capacity also
affect the quality of personality and the quality of independence of prisoners
which they want to improve. In the implementation of training for prisoners
who use marijuana-type narcotics at the Bandar Lampung Class IIA Narcotics
Correctional Institution, there are only 3 (three) inhibiting factors, namely first,
the correctional officer factor is caused by officers who are not comparable to the
Muhammad Syah Farrel
inmates. Second, community factors make it difficult to collaborate in the
coaching process. Third, cultural factors, namely differences in the background
and characteristics of each prisoner, which results in friction between prisoners
and officers. The most hindering factor in coaching prisoners who use marijuanatype
narcotics
at
the
Bandar
Lampung
Class
IIA
Narcotics
Correctional
Institution
is
the
community
factor, the difficulty of collaborating with the community in the
coaching process, there are even some coaching activities that do not have
teaching staff, causing teaching staff to be done by inmates who already have
skills in that field. Community participation must be seen as an integral aspect of
development efforts, so that community support is very necessary in achieving the
desired goals in developing assisted residents.
The suggestion from this research is that it is best to distinguish or differentiate
the types of training based on the type of narcotics and differentiate between
narcotics users and narcotics dealers. Correctional institutions need to add more
qualified correctional officers and increase cooperation with the community or
institutions in the aspect of teaching energy to improve the quality of personality
and the quality of independence from scholarships so that the role of correctional
institutions can run optimally.
Keywords: Role, Penitentiary Institution, Coaching, Narcotics.
Syah Farrel Muhammad 19120112492023-12-14T08:32:23Z2023-12-14T08:32:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77377This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/773772023-12-14T08:32:23ZANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI
(Studi Kasus Polres Tulang Bawang)
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Permasalahan
dari penelitian ini adalah mengetahui apa faktor yang mempengaruhi terjadinya
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mengetahui bagaimana
upaya penanggulangan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris
kemudian di sesuaikan dengan pendekatan yuridis normative. Narasumber dalam
penelitian ini terdiri dari anggota Kepolisian Polres Kabupaten Tulang Bawang, dan
Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyebab terjadinya tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga karena adanya beberapa faktor penyebab
atau pendorong yakni: Faktor Ekonomi/Keuangan, Faktor Orang Tua, Faktor
Hilangnya Rasa Kemanusiaan dan Hati Nurani, Faktor Komunikasi, Faktor Orang
Ketiga. Bentuk upaya penanggulangan yang dilakukan Polres Kabupaten Tulang
Bawang dibagi menjadi dua yakni: Upaya Penal dan Non-penal. Upaya Penal atau
langkah represif yang dilakukan berupa: menerima laporan dan pengaduan dari
masyarakat, penyidikan, penyelidikan, dan penangkapan. Sedangkan Upaya NonPenal
yang dilakukan lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan
yang berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya non-penal
ini sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan.
Ivan Pranowo
Saran dari penelitian ini adalah menjaga keharmonisan rumah tangga dengan cara
seperti menjalin komunikasi yang baik dan belajar memiliki kesetiaan kepada
pasangan, agar tercipta harominsasi dalam rumah tangga dan terhindar dari segala
tindak kejahatan yang bisa terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan suami
ataupun istri. Serta memilik kesadaran akan pentingnya saling mengerti dan
menghargai suami atau istri agar terhindar dari kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga.
Kata kunci: Analisis Kriminologis, KDRT, Kematian Istri
Domestic violence is any act against someone, especially women, which results in
physical, sexual, psychological misery or suffering, and/or domestic neglect
including threats to commit acts, coercion, or unlawful deprivation of liberty within
the scope of household. The problem of this research is knowing what factors
influence the occurrence of criminal acts of domestic violence and knowing how to
deal with criminal acts of domestic violence.
The approach taken in this research is an empirical juridical approach which is
then adapted to a normative juridical approach. The resource persons in this
research consisted of members of the Tulang Bawang Regency Police, and lecturers
in the Criminal Law section of the Faculty of Law, Lampung University. Data
collection was carried out using literature studies and field studies. Next, it was
analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that the causes of criminal acts of
domestic violence are due to several causal or driving factors, namely:
Economic/Financial Factors, Parental Factors, Loss of Humanity and Conscience
Factors, Communication Factors, Third Person Factors. The forms of
countermeasures carried out by the Tulang Bawang Regency Police are divided
into two, namely: Penal and Non-penal Efforts. Penal measures or repressive
measures taken include: receiving reports and complaints from the public,
investigations, inquiries and arrests. Meanwhile, the Non-Penal Efforts that are
carried out focus more on preventive nature, namely actions in the form of
prevention before a crime occurs. Through this non-penal effort, the main target is
to address the conducive factors that cause crime.
The advice from this research is to maintain household harmony by means of
establishing good communication and learning to be loyal to your partner, in order
to create harmony in the household and avoid all crimes that could occur in the
household by the husband or wife. As well as having awareness of the importance
of understanding and respecting each other's husband or wife in order to avoid
violence that occurs in the household.
Ivan Pranowo
Keywords: Criminological Analysis, Domestic Violence, Wife's Death
Pranowo Ivan19120112702023-12-12T03:25:11Z2023-12-12T03:25:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77249This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/772492023-12-12T03:25:11ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK (Studi di Polresta Bandar Lampung)
Anak merupakan cikal bakal generasi penerus bangsa yang rentan dijadikan korban dari kejahatan eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma mendalam bagi anak. Oleh karena itu Kepolisian menempuh berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual anak. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya kepolisian dalam menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak dengan menggunakan sarana penal dan bagaimanakah upaya kepolisian dalam menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak dengan menggunakan sarana non-penal.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap narasumber yang terdiri dari Personil Satreskrim Polresta Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data dan sistematisasi data, yang kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa upaya Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual secara penal dilaksanakan melalui penegakan hukum, dengan menerima laporan adanya kejahatan dari masyarakat, kemudian dari laporan tersebut dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Hasil dari penyidikan tersebut kemudian dilimpahkan ke kejaksaan untuk diproses di pengadilan sesuai undang-undang yang berlaku. Selain itu, Kepolisian juga melakukan razia yang bertujuan untuk menanggulangi serta menangkap para pelaku yang terjaring dalam razia dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Upaya Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual secara non-penal dilaksanakan dengan melakukan patroli, melakukan penyuluhan, pengarahan serta edukasi kepada masyarakat, bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak, serta membentuk Polisi Sahabat Anak.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian hendaknya dalam upaya menanggulangi kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak melalui sarana penal dapat meningkatkan kinerjanya dan menindak pelaku eksploitasi seksual terhadap anak secara tegas dengan memberikan sanksi kepada pelaku eksploitasi seksual anak sesuai dengan ketentuan Undang-undang, sehingga hak-hak anak sebagai korban dapat benar-benar dilindungi. Sedangkan melalui sarana non-penal harus meningkatkan kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum, pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta terkait dan masyarakat sebab lebih baik dan bijaksana mencegah terjadinya kejahatan itu beserta seluruh akibat-akibatnya demi untuk ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Kata Kunci : Upaya Kepolisian, Eksploitasi Seksual, AnakAZALIA NADHIFA NAURA18120112882023-12-06T07:12:11Z2023-12-06T07:12:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77126This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/771262023-12-06T07:12:11ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM RANGKA MENJAGA KEAMANAN SISTEM M-BANKING TERHADAP ANCAMAN SERANGAN SIBER MELALUI TEKNIK SCAMMINGAktivitas online saat ini telah menjadi bagian besar dari kegiatan masyarakat dunia. Bersamaan dengan meningkatnya penggunaan m-banking, muncul pula berbagai ancaman keamanan siber yang mengintai. Salah satu ancaman tersebut adalah serangan scamming, tujuan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menganalisis dan memahami upaya kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming dan untuk menganalisis dan memahami kendala kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum dan efektifitas hukum.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa dalam rangka menjaga keamanan sistem M-Banking terhadap serangan scamming, upaya kepolisian sangat penting. dalam analisis ini, kita melihat bahwa kepolisian telah menerapkan langkah- langkah preventif dan represif yang efektif, sejalan dengan teori penanggulangan kejahatan. Langkah-langkah preventif, seperti kampanye kesadaran dan edukasi keamanan digital, dan langkah-langkah represif, seperti deteksi dini, investigasi mendalam, penangkapan pelaku, dan penuntutan hukum yang efektif, memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku serangan scamming. Ini memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan keadilan kepada korban. Kendala kepolisian dalam rangka menjaga keamanan sistem m-banking terhadap ancaman serangan siber melalui teknik scamming meliputi: keterbatasan personil seperti tenaga ahli IT dan cyber forensic. Kendala lain yang krusial adalah terbatasnya dana anggaran operasional, masalah yang cukup krusial selain perangkat hukum, yaitu SDM yang belum mencukupi, anggaran serta sarana dan prasarana untuk menunjang pengungkapan kasus-kasus cyber crime dan lemahnya pengawasan penggunaan internet berpotensi besar akan menciptakan peluang terjadinya kejahatan cyber crime (dunia maya).
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini sebagai berikut: Sebaiknya para praktisi juga bisa berperan penting dalam memberikan masukan- masukan kepada pihak pemerintah dalam keamanan jaringan komputer dan internet dan sebaiknya kepolisian perlu mengembangkan kapasitas mereka dalam menghadapi serangan siber. Ini melibatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan dalam bidang keamanan siber
Kata Kunci: Upaya Kepolisian, M-Banking, Cyber Scamming
Online activity recently has become big part of world society events. Along with increasing of m-banking usage, also appears some threats of cyber security attacks which lurks. One of the threat is scamming attack, the purposes of this thesis writing are to analyze and to understand police efforts in order to keep m-banking security system from cyber attack threat through scamming technique and to analyze and to understand police constraints in order to keep m-banking security system from cyber attack threat through scamming technique.
This research is use normative juridical and empirical approach. Normative research is carried out on theoretical matters of legal principles, While the empirical approach is carried out to study the law in reality both in the form of an assessment of legal behavior based on legal identity and legal effectiveness.
The results of the research obtained that in order to maintain the security of the M-Banking system against scamming attacks, police efforts are important. In this analysis, we see that the police force has implemented effective preventive and repressive measures, in line with the theory of legal countermeasures. Preventive measures, such as digital safety awareness and education campaigns, and repressive measures, such as early detection, in-depth investigations, arrests of perpetrators, and effective prosecution, provide strict sanctions to perpetrators of scamming attacks. It provides a deterrent effect to the perpetrator and provides justice to the victim and police constraints in order to maintain the security of the m-banking system against the threat of cyber attacks through scamming techniques include: limitations of personnel such as IT experts and cyber forensics. Another crucial obstacle is the limited operational budget funds, problems that are quite crucial in addition to legal tools, namely insufficient human resources, budget and facilities and infrastructure to support the disclosure of cyber crime cases and weak supervision of internet use has great potential to create opportunities for cyber crime.
The suggestions that can be conveyed in this study are as follows: Practitioners should also act an important role in providing input to the government on computer network and internet security and should police need to develop their capacity to deal with cyber attacks. This involves training and developing the necessary skills in the field of cyber security.
Keywords: Police Efforts, M-Banking, Cyber Scamming
ARUMAWAN DICKY PUTRA20220110812023-11-30T04:05:17Z2023-11-30T04:05:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77024This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/770242023-11-30T04:05:17ZIMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK
PIDANA INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK
(Studi Kasus Polda Lampung)
merupakan konsep baru dalam penegakan hukum pidana yang mengakomodir norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat, guna menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang memenuhui rasa keadilan semua pihak, yang merupakan wujud kewenangan Polri sesuai dengan Pasal 16 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyelesaian tindak pidana informasi transaksi elektronik melalui Keadilan Restoratif merupakan sebagai langkah Polri dalam mewujudkan Keadilan Restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Bagaimanakah implementasi restorative justice terhadap tindak pidana informasi transaksi elektronik dan Apakah faktor penghambat implementasi restorative justice terhadap tindak pidana informasi transaksi elektronik ?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara identifikasi, klasifikasi, dan penyusunan data serta penarikan kesimpulan.
Implementasi keadilan restoratif adalah pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana seperti sedia kala,bukan pembalasan (keadilan retributif) yang selama ini diterapkan pada sistem peradilan pidana. Penanganan tindak pidana berdasarkan Keadilan Restoratif khususnya tindak pidana informasi transaksi elektronik harus memenuhi persyaratan umum dan khusus. Restorative justice merupakan suatu konsep penyelesaian tindak pidana yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk bersama-sama berbicara, dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan, tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar kembali harmonis dan membuat pelaku serta masyarkat jera untuk melakukan tindak pidana informasi transaksi elektronik yang bermuatan asusila baik secara disengaja maupun tidak disengaja, serta lebih berhati-hati dalam mengunggah sesuatu apapun padasosial media, terutama pada sosial media yang bersifat dapat diketahui oleh banyak orang atau umum. Maka, konsep restorative justice merupakan konsep yang sangat cocok digunakan untuk menyelesaikan peristiwa hukum dibidang cyber crime terutama yang berkaitan dengan muatan asusila yang merugikan korbannya.
Faktor-faktor yang menghambat penegakan adalah faktor hukum, faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan. Faktor penghambat implementasi restorative justice terhadap tindak pidana informasi transaksi elektronik meliputi sebagai berikut : Faktor Aturan, hambatan terbesar yang menurut peneliti adalah faktor aturan. Hal demikian karena belum ada aturan dalam bentuk undang-undang khusus yang secara spesifik memuat perihal penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana informasi transaksi elektronik. Hal demikian membuat sedikit terhadap pengimplementasian penerapan prinsip restorative justice dan aparat penegak hukum Polri menegakkan hukum terhadap suatu tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif dengan mengacu pada Perpol Restorative Justice saja. Faktor Kepahaman Akan Hukum oleh Masyarakat, hambatan yang selanjutnya adalah perihal ketidakpahaman masyarakat akan adanya aturan tentang informasi dan transaksi elektronik ini. Hal demikian menimbulkan ketidakseimbangan dalam edukasi akan suatu aturan yang dilakukan oleh pemerintah melalui perangkat-perangkatnya.
Saran dari penulis yaitu : pentingnya implementasi restorative justice diikuti oleh profesionalisme aparat penegak hukum Polri dalam proses penyelesaian perkara pidana, perlunya membuat peraturan khusus dalam bentuk undang-undang yang mengatur tentang restorative justice agar nantinya dapat terjalankan secara maksimal dan diharapkan perlunya edukasi tentang restorative justice kepada masyarakat tentang restorative justice secara menyeluruh tanpa terkecuali.
Kata Kunci : Implementasi; Tindak Pidana Informasi Transaksi Elektronik; Restorative Justice.
YUSUF ARRAHMAN ARKAN18120112572023-11-30T03:45:13Z2023-11-30T03:45:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/77022This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/770222023-11-30T03:45:13ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEJAHATAN KESUSILAAN MELALUI
MEDIA SOSIAL INSTAGRAM
(Studi Putusan 319/Pid.Sus/2021/PN Sdn)
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih membawa banyak manfaat yang didapatkan oleh tiap orang dan tiap lapisan masyarakat. Namun hal tersebut tidak luput dari dampak negatif, salah satu dampak negatifnya seperti penyalahgunaan internet dan media sosial untuk menjadi sarana pelecehan seksual online yang banyak menyerang perempuan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana analisis perlindungan hukum terhadap perempuan korban kejahatan kesusilaan melalui media sosial instagram dan apa sajakah faktor penghambat dalam perlindungan hukumnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan dan studi lapangan, serta analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Sukadana, Penyidik Polres Lampung Timur, Lembaga Perlindungan Perempuan Lampung Timur dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan korban yang diberikan pemerintah maupun berbagai lembaga swadaya masyarakat secara preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual online melalui Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta berbagai sosialisasi langsung ataupun melalui webinar tentang pelecehan seksual online. Perlindungan secara represif yang diberikan negara bertujuan untuk mengatasi permasalahan pelecehan seksual online melalui Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Faktor penghambat ialah minimnya kemampuan dan pengalaman dibidang ITE atau kejahatan cyber serta keterbatasan alat-alat khusus yang dimiliki oleh Polres Lampung Timur untuk menunjang sarana prasarana penyidik dalam mengungkap tindak pidana cybercrime.
Rizky Maulana Prasetyo
Saran dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum oleh lembaga perlindungan saksi dan korban dalam memberikan perlindungan harus bersifat aktif. Peran LPSK disini sangat penting untuk memberikan perindungan hukum dengan cara mendampingi pihak korban, memberikan perlindungan dari bahaya maupun ancaman yang datang dari luar. Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Bareskrim, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta berbagai pihak lembaga bantuan hukum terus bekerjasama untuk mengatasi kendala dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan korban pelecehan seksual online dengan berbagai upaya yang berasal dari kendala. Dengan berbagai pihak yang bekerjasama dalam mengatasi kendala dalam memberikan perlindungan hukum kepada perempuan korban dapat menciptakan keadaan yang membuat perempuan merasa aman, mudah memperoleh keadilan serta dapat menikmati haknya sebagai warga negara Indonesia.
Kata Kunci: Korban Kesusilaan, Perempuan, Perlindungan Hukum.
MAULANA PRASETYO RIZKY18120112462023-11-06T02:28:23Z2023-11-06T02:28:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76796This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767962023-11-06T02:28:23ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI MASA PANDEMI COVID-19Perlindungan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Kekerasan seksual pada anak, baik berupa kekerasan seksual konvensional ataupun kekerasan seksual secara online, mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19. Di sisi lain, pandemi Covid-19 mempengaruhi pola perilaku masyarakat dengan adanya pembatasan interaksi secara langsung yang turut mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia yang salah satunya penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Oleh karena itu, penulis akan membahas dua permasalahan, yaitu bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada masa pandemi Covid-19 dan mengapa terdapat faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak saat ini.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan hasil berupa data primer dan sekunder yang diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan metode analisis kualitatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada masa pandemi Covid-19 pada tingkat penyidikan dan penuntutan berjalan seperti biasa dengan tetap dilakukan secara langsung, namun pada tahap persidangan proses pemeriksaan dilakukan secara online sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Persidangan online dilaksanakan dengan Hakim dan Panitera/Panitera Pengganti bersidang di ruang sidang Pengadilan, Penuntut Umum dan saksi (termasuk korban) mengikuti persidangan di kantor Kejaksaan serta terdakwa mengikuti sidang dari tempat terdakwa ditahan. Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak di masa pandemi Covid-19 didominasi oleh faktor sarana prasarana, sehingga tidak semua instansi siap dengan sarana yang ada misalnya koneksi internet yang tidak stabil, alat kelengkapan seperti laptop, layar LCD dan mikrofon yang tidak memadai.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan agar Pemerintah perlu memperbaiki fasilitas pemeriksaan secara teleconference serta Kejaksaan dan Kepolisian mesti menerbitkan panduan pemeriksaan secara teleconference guna membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Kata kunci: Penegakan hukum pidana, Kekerasan seksual, Anak Korban, Pandemi Covid-19
The protection of children is regulated in Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection as amended by Law Number 35 of 2014 as amended by Law Number 17 of 2016. Sexual violence against children, whether in the form of conventional sexual violence or sexual violence online, experienced an increase during the COVID-19 pandemic. On the other hand, the COVID-19 pandemic has influenced people's behavioral patterns by limiting direct interactions, which has also influenced the law enforcement process in Indonesia, one of which is law enforcement against criminal acts of sexual violence against children. Therefore, the author will discuss two problems, namely how to enforce criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic and why there are inhibiting factors in enforcing criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children at this time.
This research was conducted using a normative juridical approach and an empirical juridical approach. Data collection was carried out using literature study and field study methods, with the results in the form of primary and secondary data, which were processed and analyzed descriptively using qualitative analysis methods.
This research shows that enforcement of criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic at the investigation and prosecution level is proceeding as usual and is still carried out in person; however, at the trial stage, the examination process is carried out online as regulated in the Supreme Court Regulations Number 4 of 2020 concerning Electronic Administration and Trial of Criminal Cases in Court. Online trials are carried out with the Judge and Registrar/Substitute Registrar meeting in the Court's courtroom, the Public Prosecutor and witnesses (including victims) attending the trial at the Prosecutor's office, and the defendant attending the trial from where the defendant is detained. Obstacles in enforcing criminal law against perpetrators of criminal acts of sexual violence against children during the COVID-19 pandemic are dominated by infrastructure factors, so not all agencies are ready with existing facilities, for example, unstable internet connections, equipment such as laptops, LCD screens, and microphones, which is inadequate.
Based on the results of this research, it is recommended that the Government improve teleconference examination facilities and that the Prosecutor's Office and the Police issue guidelines for teleconference examinations to help justice seekers and try to overcome all obstacles to realize simple, fast, and low-cost justice.
Keywords: Criminal law enforcement, sexual violence, child victims, Covid-19 pandemic
NOVIARINI WAHYU 20220110472023-11-06T02:26:51Z2023-11-06T02:26:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76795This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767952023-11-06T02:26:51ZPERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN PINJAMAN ONLINE (PINJOL) SECARA ILEGALPenyidik kepolisian merupakan gerbang pertama sistem peradilan pidana masih sulit untuk mencegah dan menindak tegas secara pidana penipuan pinjaman online ilegal. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian tesis ini meliputi peranan penyidik dalam penanggulangan tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal dan faktor penghambat peranan penyidik dalam menanggulangi tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. sumber datanya adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, sedangkan pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yakni pemeriksaan data, penandaan data dan sistematisasi data. Berikutnya analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, peranan penyidik dalam penanggulangan tindak pidana penipuan pinjaman online secara ilegal meliputi upaya preventif, kuratif dan represif. Pinjaman online ilegal dikatakan penipuan manakala terjadi pemanfaatan data pribadi untuk sarana melakukan tindak pidana, nominal peminjaman tidak sesuai atau berbeda dengan yang diterima oleh peminjam serta bunga utang yang tidak wajar dan kesepakatan dengan nasabah ditempuh dengan memperdaya orang tersebut. Pada praktiknya masih terdapat kendala-kendala yang dialami penyidik dalam menanggulangi tindak pidana penipuan pinjaman online ilegal antara lain, UU ITE tidak mengatur secara khusus mengenai tindak pidana penipuan dalam lingkup pinjaman online ilegal, kurang meratanya personil kepolisian, penyidik harus memeriksa ribuan akun yang di blokir sehingga memperlambat pemeriksaan, kurang meratanya fasilitas, serta masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam menghindari pinjaman online ilegal.
Saran kepada masyarakat, diharapkan lebih cermat dan selektif dalam memahami mengenai persoalan pinjaman online agar tidak dengan mudahnya terjebak ke dalam layanan pinjaman online ilegal. Selain itu, pemerintah dan penegak hukum, diharapkan dapat memberikan sosialisasi atau pembekalan kepada masyarakat agar masyarakat lebih cermat dan selektif sehingga tidak mudah memberikan data pribadi kepada pinjaman online ilegal.
Kata kunci: Peran penyidik, Penipuan, Pinjaman online
Police investigators are the first gateway to the criminal justice system, and it is still difficult to prevent and take firm action against illegal online loan fraud. Therefore, the problems in this thesis research include the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud and factors inhibiting the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud.
This research is empirical normative research with a statutory regulation approach, case approach, and conceptual approach. The data source is secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through literature study. Data collection was carried out through a literature study, while data processing was carried out through several stages, namely data checking, data marking, and data systematization. Next, data analysis was carried out qualitatively.
Based on the research results, the role of investigators in overcoming criminal acts of illegal online loan fraud includes preventive, curative, and repressive efforts. Illegal online loans are said to be fraudulent when there is the use of personal data as a means of committing a criminal act, the loan amount does not match or is different from that received by the borrower, and the interest on the debt is unreasonable, and the agreement with the customer is reached by deceiving the person. In practice, there are still obstacles experienced by investigators in dealing with criminal acts of illegal online loan fraud. Among others, the ITE Law does not explicitly regulate criminal acts of fraud in the scope of illegal online loans, police personnel are not evenly distributed, and investigators must check thousands of blocked accounts. Resulting in slow inspections and unequal distribution of facilities, the public's legal awareness still needs to improve to avoid illegal online loans.
Advice to the public, please be more careful and selective in understanding online loan issues so that you don't easily get trapped in illegal online loan services. Apart from that, it is hoped that the government and law enforcement can provide outreach or training to the public so that people are more careful and selective so that it is not easy to provide personal data to illegal online loans.
Keywords: The role of the investigator, Fraud, Online loans
Jhohannes Simanullang Trisno 20220110502023-10-30T08:23:33Z2023-10-30T08:23:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76785This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767852023-10-30T08:23:33ZANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA MEMBAWA, MENYIMPAN SENJATA TAJAM TANPA HAK
(Studi putusan Nomor 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk)
Salah satu kejahatan yang meresahkan masyarakat adalah kejahatan dengan
menggunakan senjata tajam. Kejahatan ini banyak macamnya, misalnya tindak
pidana pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dengan pemberatan,
pengancaman, penculikan, dan sebagainya. Kesemua jenis tindak pidana ini diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. Berdasarkan uraian
tersebut, permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana pertimbangan hukum
Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pada anak dibawah umur yang
membawa atau menyimpan senjata tajam tanpa hak dalam perkara Putusan Nomor
65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk?. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap
anak sebagai pelaku kejahatan senjata tajam tanpa hak dalam perkara Putusan
Nomor 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan cara
menganalisis perundangan dan literatur yang terkait serta dilanjutkan dengan
metode yuridis empiris dengan melakukan wawancara dengan narasumber.
Narasumber yang dilakukan dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung karang
dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Pidana Universitas Lampung.
Pengumpulan data dengan studi Pustaka dan studi lapangan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kasus Analisis
Putusan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Membawa, Menyimpan
Senjata Tajam Tanpa Hak sebagaimana dalam putusan Nomor 65/Pid.SusAnak/2022/PN
Tjk. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penjatuhan putusan
Hakim. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan
bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara senjata
tajam dengan putusan nomor 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN TjK, secara filosofis
hakim menghukum penjara terdakwa anak yang berinisial MRS sebagai pembawa
senjata tajam tanpa hak untuk memperbaiki tindakan yang diperbuat. Secara
yuridis MRS telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Darurat RI 12
Tahun 1951 dengan hukuman 2 (dua) bulan penjara dengan dibebani membayar
Muhammad Farhan Nugraha
biaya perkara Rp2.000,00, Secara sosiologis terdakwa berinisial MRS tidak
mempunyai izin untuk membawa atau mempunyai senjata tajam.
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana membawa senjata tajam
tanpa hak studi putusan Nomor 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN TjK, telah memenuhi
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang didasarkan dengan kemampuan
dalam bertanggung jawab yang adanya kesengajaan, dan tidak adanya pemaaf dan
pembenar yang dapat menghapus unsur perbuatan pidana tindak pidana kejahatan
senjata tajam tanpa hak. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 2
(dua) bulan dan memberatkan biaya perkara Rp2.000,00,-.
Saran penulis dari permasalahan yang terjadi adalah (1) Putusan yang ringan
dijatuhkan oleh Hakim masih bisa saja tidak membuat pelaku jera dan sewaktuwaktu
dapat mengulangi perbuatannya kembali. (2) Pertanggungjawaban yang
diberikan kepada kejahatan penggunaan senjata tajam yang kerapkali terjadi,
dengan ini masyarakat dan para penegak hukum dapat bekerja sama dalam
memberikan sosialisasi hukum mengenai dampak dari adanya kejahatan senjata
tajam.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Anak, Senjata Tajam Tanpa Hak
One of the crimes that disturbs the public is crime involving the use of sharp
weapons. There are many kinds of crimes, for example murder, serious assault,
aggravated theft, threats, kidnapping, and so on. All types of criminal acts are
regulated in the Indonesian Criminal Code. Based on this description, the problem
in this thesis is: What is the judge's legal consideration in handing down a
criminal decision on a minor who carries or keeps a sharp weapon without rights
in the case of Decision Number 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk?. What is the
criminal responsibility for children as perpetrators of sharp weapons crimes
without rights in the case of Decision Number 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk?
This research uses a normative juridical approach by analyzing legislation and
related literature and continues with an empirical juridical method by conducting
interviews with sources. The resource persons were conducted with Tanjung
Karang District Court Judges and Academics from the Faculty of Law, Criminal
Division, University of Lampung. Data collection using library research and field
studies.
This research was conducted to find out and analyze the case of Judge's Decision
Analysis on Children Who Perpetrated the Crime of Carrying and Storing Sharp
Weapons Without Rights as in decision Number 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk.
This research is motivated by the judge's decision. Based on the results of the
research and discussion, it can be stated that the judge's considerations in handing
down the criminal decision to imprison sharp weapons with decision number
65/Pid.Sus-Anak/2022/PN TjK, philosophically the judge sentenced the child
defendant with the initials MRS to prison as a carrier of sharp weapons without
rights. to correct the actions taken. Juridically, MRS has violated Article 2
Paragraph (1) of the Republic of Indonesia Emergency Law 12 of 1951 with a
sentence of 2 (two) months in prison with the burden of paying
Muhammad Farhan Nugraha
court costs Rp. 2,000.00. Sociologically, the defendant with the initials MRS does
not have a permit to carry or possess sharp weapons. Criminal liability for
perpetrators of criminal acts carrying sharp weapons without the right to study
decision Number 65/Pid.Sus-Anak/2022/PN TjK, has fulfilled the elements of
criminal liability based on the ability to take responsibility which is intentional,
and the absence of forgiveness and a justification that can remove the element of a
criminal act of a sharp weapon crime without rights. The panel of judges
sentenced him to prison for 2 (two) months and charged a case fee of IDR
2,000.00.
The author's suggestions regarding the problems that occur are (1) A light decision
handed down by the judge may still not deter the perpetrator and at any time they
may repeat their actions again. (2) Accountability is provided for crimes involving
the use of sharp weapons which often occur, with this the community and law
enforcers can work together in providing legal outreach regarding the impact of
sharp weapon crimes.
Keywords: Judge's considerations, children, sharp weapons without rights
FARHAN NUGRAHA MUHAMMAD19520110672023-10-30T08:17:53Z2023-10-30T08:17:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76784This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/767842023-10-30T08:17:53ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBERIAN
KESAKSIAN PALSU DALAM PERSIDANGAN
DI MUKA PENGADILAN
Tindak pidana pemberian keterangan palsu merupakan salah satu kasus yang masih
sering terjadi di kalangan masyarakat yang disebabkan banyak faktor seperti adanya
kepentingan atau tekanan dalam suatu perkara. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku pemberian kesaksian
palsu dalam persidangan di muka pengadilan dan apakah faktor penghambat dalam
penegakan hukum pidana terhadap kesaksian palsu dalam persidangan di muka
pengadilan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara mendalam bagaimana penegakan hukum
pidana terhadap pelaku pemberian kesaksian palsu dalam persidangan di muka
pengadilan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber dalam penelitian ini
terdiri dari Penyidik Direktorat Krmininal Umum (Ditreskrimum) Polda Lampung,
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Akademisi Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya di analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penegakan
hukum pidana terhadap pelaku pemberian kesaksian palsu dalam persidangan di muka
pengadilan dapat dilakukan dengan 3 tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi,
tahap eksekusi. Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum oleh badan pembuat
undang undang. Tahap aplikasi adalah tahap penegakan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum. Tahap eksekusi adalah tahap penegakan hukum pidana secara konkrit
oleh aparat penegak hukum pidana.
Faktor faktor yang menjadi penghambatnya penegakan hukum antara lain, faktor
hukumnya sendiri, faktor sarana dan fasilitas, faktor penegak hukum, dan faktor
masyarakat. Pada akhirnya yang menjadi dominin pada faktor penghambat penegakan
hukum pidana terhadap pelaku pemberian kasian palsu ini adalah faktor masyarakat,
fakor penegak hukum, dan faktor sarana dan fasilitas. Penegakan hukum yang baik
apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan tidak bersifat memihak
serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai nilai yang hidup
dan berkembang dimasyarakat. Salah satunya faktor penghambat dalam melakukan
penegakan hukum pidana terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu dalam
persidangan di muka pengadilan.
Saran dalam penelitian ini adalah penegakan hukum mengenai saksi yang memberikan
keterangan palsu, hakim perlu mempertegas dengan mewajibkan membacakan pasal
dalam KUHPidana yang dapat dijadikan dasar penuntutan (Pasal 242 KUHPidana) dan
ancaman pidana maksimum yang telah ditentukan dalam pasal tersebut. Hakim harus
yakin dalam pengambilan keputuda dan menetapkan saksi yang memberikan
keterangan palsu
Kata kunci : Penegakan Hukum, Kesaksian Palsu, Saksi
MAULANA IMAM 19420110422023-10-19T08:52:30Z2023-10-19T08:52:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76651This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/766512023-10-19T08:52:30ZANALISIS KRIMINOLOGI TERJADINYA TINDAKAN MAIN HAKIM
SENDIRI (EIGENRICHTING) YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang telah tertuang dalam Pasal 1
Ayat (3) Undang – Undang Dasar Tahun 1945. Menurut Subekti, dalam bukunya
yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” hukum itu mengabdi pada
tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan pada rakyatnya. Mengenai berbagai masalah sosial diangkat suatu
permasalahan terkait apakah pelaku perbuatan main hakim sendiri dapat
dihukum dalam hukum pidana di Indonesia. Bagaimanakah upaya dan faktor
sebaiknya pengaturan perbuatan main hakim sendiri dalam hukum pidana
Indonesia di masa mendatang.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang
pendekatannya dilakukan dengan cara memahami suatu permasalahan dengan
berlandaskan pada peraturan – peraturan atau literatur yang mengkaji tentang
ilmu hukum yang dilanjutkan dengan metode yuridis empiris dengan
mewawancarai narasumber terkait dengan penelitian ini. Narasumber terdiri dari
Instansi kepolisian Polresta Bandar Lampung, Penyidik Bareskrim Polresta
Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung, serta analisis pengumpulan data dengan studi Pustaka dan
studi lapangan dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku perbuatan main hakim
sendiri dapat dipidana. Adapun permasalahan yang dikaji, yakni unsur,
penyebab, ancaman pidana, serta hubungan antara penjatuhan pidana bagi
pelaku main hakim sendiri, dengan teori tujuan pemidanaan dan fungsi hukum
sebagai alat kontrol sosial (social controlling). Tujuan karya ilmiah ini adalah
untuk mengetahui pengkualifikasian perbuatan main hakim sendiri sebagai suatu
tindak pidana beserta ancaman pidananya. Dalam hal ini kepolisian Polresta
Bandar Lampung juga telah melakukan tindakan represif dan prefentif untuk
mencegah main hakim sendiri diwilayah Kota Bandar Lampung. Sehingga dapat
meminimalisir kejahatan serupa dan juga dibutuhkan aturan yang lebih khusus
agar kedepannya orang maupun kelompok agar tidak melakukan perbuatan main
hakim sendiri dan agar dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk
menindak pelaku perbuatan tersebut. Derry Almas
Berdasarkan penjabaran diatas, Untuk Kepolisian Kota Bandar Lampung harus
membangun kemitraan dengan masyarakat terutama kepada Tokoh masyarakat,
Kepala Lurah, Pak Camat dalam bentuk kegiatan penyuluhan hukum dan
kegiatan lainnya yang dapat menciptakan keakraban dan kesadaran hukum
antara kepolisian dan masyarakat. Untuk masyarakat harus menertibkan diri
dengan masyarakat lain dengan melakukan musyawarah dalam mengatasi
masalah yang terjadi di sekitar, diharapkan dapat terhindar dari perbuatan
kejahatan termasuk perbuatan main hakim sendiri.
Kata Kunci: Kriminologi, Main Hakim Sendiri, Hukum Pidana.
ALMAS DERRY1952011045 2023-10-11T07:52:27Z2023-10-11T07:52:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76265This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/762652023-10-11T07:52:27ZPENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK TERHADAP
TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(STUDI DI POLSEK BANJIT WAY KANAN) ABSTRAK Restorative Justice merupakan p roses penyelesaian yang dilakukan di luar dari
sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang melibatkan korban,
pelaku, keluarga korban serta pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi guna mencapai
kesepakatan. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimanakah penerapan
Restorative Justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian, dan
apa sajakah faktor penghambat bagi kepolisian dalam menerapkan asas
Restorative Justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian di
Polsek Banjit Way Kanan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris
dengan menggunakan data primer dan sekunder yang berasal dari peraturan
perundang-undangan, buku, literatur hukum, wawancara serta bahan-bahan
lainnya. Sedangkan analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Hasil dari penelitian serta pembahasan ini ialah, penerapan Restorative Justice
pada wilayah Banjit Way Kanan yang tercatat di Polsek Banjit Way Kanan
dilakukan dengan pertimbangan anak masih mempunyai masa depan yang
panjang, sehingga masih perlu diberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih
baik. Penerapan Restorative Justice terhadap tindak pidana pencurian oleh anak
dilakukan melalui proses mediasi, negosiasi antara pelaku tindak pidana, korban,
keluarga pelaku dan korban, masyarakat serta penegak hukum sehingga
mendapatkan kesepakatan bersama. Hambatan yang dihadapi oleh penyidik di
Polsek Banjit Way Kanan dalam menerapkan Restorative Justice dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan
intenal yaitu faktor hukum itu sendiri, kekurangannya adalah koordinasi antar
lembaga, dan terbatasnya sarana serta prasarana. Sedangkan hambatan eksternal
ialah faktor anak sebagai pelaku, faktor korban, faktor sulitnya mencari saksi dan
faktor pandangan masyarakat.
Saran dalam penelitian ini ialah Penyidik hendaknya lebih proaktif dan
mendukung dalam meningkatkan pentingnya menerapkan Restorative Justice
pada penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak dengan memperhatikan
perundang-undangan yang berlaku. Aparat penegak hukum dalam proses
penyelesaian tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak hendaknya
menjalin komunikasi yang baik dan intensif dengan semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Kata Kunci : Restorative Justice, Pencurian, Anak AMALIA SHABRINA TALITHA 1912011051 2023-10-05T07:59:09Z2023-10-05T07:59:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76117This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/761172023-10-05T07:59:09ZTINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG
(Studi Kasus : Nomor Perkara 146/Pid.Sus/2022/PN Gdt)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan anak yang dilakukan oleh ayah kandung dan untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana persetubuhan anak yang dilakukan oleh ayah kandung pada perkara 146/Pid.Sus/2022/PN.Gdt yang terjadi pada wilayah hukum Pesawaran.
Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan mengenai faktor penyebab dan upaya penanggulangan kejahatan tindak pidana persetubuhan anak yang dilakukan oleh ayah kandung. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian ini diantaranya data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Gedong Tataan.
Hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian ini menunjukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana persetubuhan anak yang dilakukan oleh ayah kandung adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu sikap emosional, relasi kuasa, kelainan seksual terdapat pula faktor eksternal yaitu faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor ekonomi, agama dan keimanan. Serta upaya penanggulangan dan pencegahan tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh ayah kandung dengan upaya penal melalui penindakan terhadap pelaku kejahatan, menjatuhkan hukuman yang sesuai untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan meminimalisir kejahatan serupa di masa depan. Upaya non penal lebih menekankan pada pencegahan kejahatan sebelum terjadi. Ini melibatkan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat terkait tindak pidana persetubuhan terhadap anak.
Kata Kunci: Kriminologi, Tindak Pidana, Persetubuhan, Anak, Ayah
Alkrisanda Muhammad Gavra19120110742023-10-05T07:55:59Z2023-10-05T07:55:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76115This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/761152023-10-05T07:55:59ZTINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2023/PN Gdt)Anak merupakan bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dimasa mendatang. Saat ini telah marak terjadi kejahatan terhadap anak, salah satunya adalah tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak. Contoh perkara persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak yaitu perkara nomor 5/Pid.Sus-Anak/023/PN Gdt yang terjadi di Kabupaten Pesawaran. Permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini meliputi, Bagaimanakah pengaturan hukum tentang tindak pidana persetubuhan dalam perkara pidana nomor 5/Pid.Sus-Anak/2023/PN Gdt? Dan Bagaimanakah pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana tersebut?
Metode penelitian ini dilakukan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yurudis empiris. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan, serta opini dari penegak hukum terkait.
Hasil penelitian dan pembahasan memperlihatkan kesimpulan bahwa Pengaturan hukum pada tindak pidana persetubuhan dalam perkara putusan nomor 5/Pid.Sus.Anak/2023/PN Gdt pada Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, masih memiliki ketidakjelasan. Pasal 81 Ayat (2) tidak memberikan definisi yang jelas terkait unsur ini, sehingga interpretasinya menjadi sulit. Hal ini dapat menciptakan kerancuan dalam pemahaman dan mengesankan bahwa pelaku persetubuhan harus memenuhi unsur tersebut. Serta pertimbangan hakim putusan ini terlihat cenderung diskriminatif atau berat sebelah, kurang mencerminkan keadilan, dan tidak selaras dengan asas dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Persetubuhan, Anak.Lestari Gita19120111682023-10-03T03:16:07Z2023-10-03T03:16:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76021This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/760212023-10-03T03:16:07ZTINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP
PEMILIK RENTAL PLAYSTATION SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK
Penelitian ini menganalisis peran kriminologi dalam konteks tindak pidana pencabulan anak yang dilakukan oleh pemilik rental Playstation. Tindakan kejahatan semacam ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara faktor-faktor kejiwaan, modus operandi, dan motif pelaku. Dalam upaya menggali pemahaman yang lebih mendalam, penelitian ini melihat kasus konkret di mana pemilik rental Playstation menjadi pelaku tindak pidana pencabulan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan data dari sumber-sumber primer seperti berita, laporan, serta kasus hukum terkait. Data dianalisis dengan merujuk pada teori kriminologi dan konsep Pilihan Rasional. Temuan penelitian menggambarkan bagaimana pemilik rental Playstation secara sadar menggunakan usahanya untuk merayu, memaksa, dan melakukan kekerasan terhadap anak-anak demi pemenuhan hasrat seksualnya yang terdistorsi.
Tinjauan kriminologi terhadap kasus ini melihat dari berbagai penyebab yang memiliki dampak terhadap kejadian tindak pidana pencabulan terhadap anak, termasuk latar belakang psikologis pelaku, modus operandi yang digunakan, serta motif di balik tindakan tersebut. Penelitian ini juga mengulas relevansi hukum, termasuk Pasal 289 KUHP dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam menghadapi kasus semacam ini.
Kesimpulannya, analisis kriminologi terhadap peran pemilik rental Playstation sebagai pelaku tindak pidana pencabulan menggambarkan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam memahami dan menangani kejahatan semacam ini. Teori Pilihan Rasional membantu mengiluminasi pertimbangan pelaku dalam melakukan kejahatan, sementara aspek hukum memainkan peran sentral dalam penegakan keadilan. Upaya perlindungan anak, edukasi, serta penindakan yang tegas menjadi krusial dalam memitigasi kasus tindak pidana pencabulan anak dan mengatasi dampaknya dalam masyarakat.
Kata Kunci : Kriminologi, Pencabulan, Rental
Ihklayani Rigasmi19120111162023-10-02T07:07:46Z2023-10-02T07:07:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75993This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/759932023-10-02T07:07:46ZEFEKTIVITAS PEMIDANAAN TERHADAP RESIDIVIS PADA TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor : 226/PID.Sus/2021/PN Gdt)Terjadinya pengulangan tindak pidana menandakan tidak tercapainya tujuan
pemidanaan yang dicita-citakan, berdasarkan hal tersebut penulis memandang
perlu melakukan Analisa terkait efektivitas pemidanaan yang dijatuhakan hakim
terhadap para residivis khususnya dalam tindak pidana Narkotika. Maka peneliti
ingin melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Pemidanaan Terhadap
Residivis Pada Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor :
226/Pid.Sus/2021/PN Gdt)”, Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengetahuan
terkait efektifitas sanksi pidana penjara terhadap residivis tindak pidana Narkotika
dan bertujuan mengetahui penerapan hukum bagi residivis dan efektivitas
pemidanannya.
Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis empiris. Penerapan hukum
terhadap residivis tindak pidana narkotika dalam putusan Nomor:
226/Pid.Sus/2021/PN Gdt yang berlandaskan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang narkotika telah diterapkan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku.iii
Terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 114 Ayat (1) sudah memenuhi unsurunsur dalam pasal tersebut. Sehingga Majelis Hakim menjatuhkan terdakwa
pidana penjara selama 7 Tahun 6 Bulan dan denda Rp. 1.500.000.000,00
mengingat terdakwa merupakan penyalahguna narkotika sekaligus berperan
sebagai pengedar. Keadaan seperti ini didasari oleh pertimbangan bahwa
pengadilan harus melakukan sanksi yang berat bagi pelaku. Tindakan yang
diterapkan harus mampu menekan atau mengurangi peredaran narkotika tersebut.
Dalam memberikan putusan Nomor: 226/Pid.Sus/2021/PN Gdt majelis hakim
juga mempertimbangkan adanya hal-hal yang meringankan dan memberatkan.
hakim mempunyai pertimbangan hukum sendiri dalam memutus suatu perkara
seperti seberapa banyak barang buktinya dan banyak lagi pertimbangan lainnya.
Dalam putusan tersebut, pertimbangan hukum oleh hakim juga
mempertimbangkan Pasal 144 Ayat (1) Undang-undang Narkotika mengingat
terpidana merupakan seorang residivis.
Kata kunci : Efektivitas, pemidanaan, tindak pidana narkotika, residivisRAHMAWATI DESY 19120111382023-10-02T06:12:17Z2023-10-02T06:12:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75978This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/759782023-10-02T06:12:17ZDASAR PERTIMBANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENENTUKAN TUNTUTAN PIDANA TERHADAP TERDAKWA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Nomor 13/Pid.Sus-TPK/2019/PN TJK)Kejaksaan adalah salah satu instansi penegak hukum yang memiliki kompetensi dan wewenang yang diatur oleh undang-undang dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Penuntut Umum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya khususnya terkait pelaksanaan penjatuhan penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada. Permasalahan dalam penelitian ini adalah dasar pertimbangan jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan terdakwa tindak pidana korupsi dalam putusan Nomor : 13/Pid.Sus-TPK/2019/PN TJK dan dasar pertimbangan jaksa penuntut umum dalam menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dalam putusan Nomor : 13/Pid.Sus-TPK/2019/PN TJK.
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar pemikiran dalam menjawab pokok permasalahan yaitu tinjauan umum tentang tindak pidana, tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang jaksa penuntut umum, tinjauan umum tentang surat dakwaan, tinjauan umum tentang tuntutan dan tinjuan umum tentang terdakwa.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung.
Hasil penelitian dari penulisan ini yaitu dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum menyusun Surat Dakwaan untuk menentukan tuntutan di Kejaksaan Tinggi Lampung terhadap perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Yusmardi, S.T. Binti Yusri Munir selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kegiatan pengadaan peralatan olahraga SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Selatan Tahun Anggaran 2016 adalah Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan yaitu Syarat formil dan materiil dalam penyusunan Surat Dakwaan berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (1) dan (2) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pembuktian alat-alat bukti di muka persidangan, BAP perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Yusmardi, S.T. Binti Yusri Munir. Dasar Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam Menyusun Surat Tuntutan perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama terdakwa Yusmardi, S.T. Binti Yusri Munir selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kegiatan pengadaan peralatan olahraga SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Selatan Tahun Anggaran 2016 adalah Surat Dakwaan yang dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di muka persidangan, Fakta Persidangan, keterangan terdakwa keterangan saksi serta keterangan ahli, Barang bukti, Petunjuk yang berupa kumpulan fakta persidangan dan barang bukti yang dijadikan petunjuk untuk menyusun surat tuntutan dan Hal-hal yang dianggap memperberat dan memperingan dari terdakwa. Pembuatan surat tuntutan dibuat oleh Tim Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan hasil musyawarah atau konsultasi dengan para atasannya, yaitu Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, Aspidus Kejaksaan Tinggi Lanpung, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung. Standar tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk Tindak Pidana Korupsi didasarkan atas ketentuan Surat Edaran Nomor : SE-003/A/JA/02010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Setelah melakukan penelitian terkait pertimbangan jaksa penuntut umum dalam menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa perkara tindak pidana korupsi, penulis memberikan saran yaitu perlu adanya pedoman khusus terkait standar dalam penyusunan surat dakwaan untuk Tindak Pidana Korupsi karena tindak pidana korupsi adalah tindak pidana khusus yang tidak dapat disamakan dengan tindak pidana umum sehingga dengan adanya pedoman formil tersebut Surat Dakwaan yang dihasilkan dapat mewujudkan tujuan pemidanaan yang semestinya. Penyusunan surat tuntutan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum harus tepat dan sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan khususnya dalam pengenaan pasal dakwaan untuk terdakwa tidak boleh keliru, sehingga tidak ada pasal yang didakwa menjadi sia-sia atau hanya sebagai pelapis semata. Sehingga tuntutan tersebut benar-benar telah memberikan efek jera yang membuat pelaku tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Kata Kunci : Jaksa Penuntut Umum, Pertimbangan Hukum, Tindak Pidana Korupsi
Permata Melli18120112682023-09-20T10:18:08Z2023-09-20T10:18:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75749This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/757492023-09-20T10:18:08ZPERLINDUNGAN ANAK DALAM PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN (Studi di Dinas PPPA Provinsi Lampung)Kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pondok pesantren merupakan permasalahan yang terus terjadi. Anak yang seharusnya merasakan perlindungan dan rasa aman justru menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh kyai, guru, pengurus atau teman sesama santri. Realitas yang mengerikan ini menimbulkan dampak sosial dan psikologis yang serius pada korban.
permasalahan penelitian ini adalah apakah peran Dinas PPPA dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren serta faktor penghambat dalam menjalankan peran Dinas PPPA pada pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk mempelajari aspek teoritis dan pendekatan yuridis empiris untuk mempelajari fakta di lapangan. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, dan analisis data yang dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa peran Dinas PPPA dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren lebih dominan memenuhi peran faktual. Terdapat beberapa peran yang belum dijalankan oleh Dinas PPPA secara optimal. Keterbatasan anggaran menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peran normatif Dinas PPPA sulit terealisasikan. kendala lain seperti stigmatisasi dan kurangnya keterbukaan oleh korban kekerasan seksual juga menjadi tantangan dalam memberikan dukungan dan perlindungan yang tepat. Akses yang sulit ke pondok pesantren juga menjadi hambatan dalam memberikan edukasi dan perlindungan kepada anak-anak di lingkungan tersebut. Adapun saran yang diberikan yaitu melakukan kerja sama yang efektif antara Dinas PPPA, Pesantren, dan aparat hukum, serta psikolog dalam menangani dan menanggulangi kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Tindakan sinergi ini akan membantu mencapai tujuan utama Dinas PPPA dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak, memastikan hak dan perlindungan mereka secara efektif, serta membantu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang aman dan berkualitas bagi generasi muda.
Kata Kunci: Dinas PPPA, Perlindungan Anak, Kekerasan Seksual.Sonia Permata Ananda19120111542023-09-16T04:14:50Z2023-09-16T04:14:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75664This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/756642023-09-16T04:14:50ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEBOCORAN DATA PRIBADI
MELALUI MEDIA ELEKTRONIK Kemajuan teknologi informasi terutama pada bidang jejaring sosial terbukti telah
memberikan dampak positif bagi kemajuan kehidupan manusia. Selain
menawarkan kelebihan, ternyata teknologi juga memberikan dampak negatif yang
dapat merugikan manusia itu sendiri seperti salah satu nya terhadap kebocoran data
pribadi pengguna teknologi termasuk penggguna sosial media. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum terhadap kebocoran data
pribadi dan apakah yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap
kebocoran data pribadi.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan proses
pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan ditunjang dengan
studi lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian penegakan hukum terhadap kebocoran data pribadi
melalui media elektronik, dapat dikatakan belum terealisasikan secara maksimal
dibuktikan dengan maraknya kasus kebocoran data pribadi di Indonesia seperti
salah satunya adalah kebocoran data yang dialami oleh pengguna web E-Commerce
yaitu Bhineka.com. Meskipun sudah ada payung hukum yang mengaturnya yaitu
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Hal ini
disebabkan karena dalam penegakannya masih banyak faktor-faktor penghambat
seperti kurangnya SDM yang dimiliki untuk menangani kasus ini, selain itu hampir
tiap Polres dan Polda diseluruh Indonesia masih belum mampu menangani kasus
kebocoran data pribadi karena kurangnya kemampuan dan sarana prasarana yang
dimiliki sehingga kasus mengenai kebocoran data pribadi akhirnya dilimpahkan ke
Mabes Polri. Terakhir, masih banyaknya masyarakat yang kurang peduli dengan
data pribadi yang dimiliki sehingga mempermudah oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab untuk mencuri dan menggunakan data tersebut demi keuntungan
pribadi.Saran dari penelitian ini adalah instansi Kepolisian sebaiknya melakukan pelatihan
kepada para penegak hukum mengenai ITE dan kebocoran data pribadi agar
dikemudian hari jika terdapat kasus mengenai kebocoran data pribadi para penegak
hukum sudah mempunyai kemampuan yang mumpuni sehingga dapat menangani
kasus kebocoran data pribadi dengan baik. Selain itu, dengan teknologi yang telah
berkembang pesat tentu diperlukannya sarana dan prasarana yang canggih untuk
membantu proses penanganan kasus kebocoran data pribadi dengan baik.
Masyarakat pun diharapkan lebih peduli dengan data pribadi yang dimilikinya
karena dengan masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan hal tersebut dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya pencurian data pribadi oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Kebocoran Data, Data Pribadi, Media
ElektronikRIO SYAHPUTRA 19120113522023-09-13T03:32:13Z2023-09-13T03:32:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75553This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/755532023-09-13T03:32:13ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERJUDIAN ONLINE
HIGGS DOMINO OLEH KEPOLISIAN
(Studi Pada Polres Kota Bengkulu)
Perjudian Online Higgs Domino merupakan game yang dapat diunduh
di playstore, game tersebut terdiri dari beberapa jenis permainan seperti Domino,
Poker, Ludo, dan Permainan Slot yang sama seperti mesin jackpot, dimana setiap
permainan, pemain harus mempunyai chip untuk dipertaruhkan. Tingginya
perjudian online yang terjadi yang kemudian berdampak buruk kepada
masyarakat, sehingga dituntutnya upaya yang lebih maksimal oleh kepolisian
mengenai kejahatan perjudian online. Permasalahan dari penelitian ini adalah
mengetahui bagaimana upaya penanggulangan kejahatan perjudian online Higgs
Domino dan apa faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kejahatan
perjudian higgs domino.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris
kemudian di sesuaikan dengan pendekatan yuridis normatif. Narasumber dalam
penelitian ini terdiri dari anggota Kepolisian Polres Kota Bengkulu, Pengguna
aplikasi perjudian online Higgs Domino, dan Akademisi Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa upaya penanggulangan yang
dilakukan oleh Polres Kota Bengkulu dibagi menjadi dua yakni: Upaya Penal dan
Non-penal. Upaya Penal atau langkah represif yang dilakukan berupa: menerima
laporan dan pengaduan dari masyarakat, penyidikan, penyelidikan, dan
penangkapan. Kemudian jalur non-penal, jalur non-penal sendiri terbagi dua yaitu
dengan cara pre-emtif dan preventif. Pada pre-emtif upaya penanggulangan yang
dilakukan Polres Kota Bengkulu berupa penyuluhan edukasi tentang larangan dan
bahayanya perjudian online, sedangkan dalam upaya preventif yang ditekankan
adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan, upaya ini
berupa patroli dan pengawasan di tempat-tempat yang rawan dilakukannya
perjudian online seperti warung dan konter pulsa yang menjual chip higgs domino
dan menjual secara terang-terangan. Serta faktor pengambat pada upaya
penanggulangan perjudian online antara lain, faktor hukumnya itu sendiri, faktor
penegakan hukum, faktor masyarakat, faktor kebudayaan, dan faktor sarana dan
fasilitas.
Muhammad Lizaso Hasnam
Saran dari penelitian ini adalah aparat Kepolisian khususnya Polres Kota
Bengkulu untuk lebih melengakapi alat elektronik yang berguna menunjang tim
cyber crime. Kemudian diperlukannya peningkatan kualitas dan pengetahuan
dengan melatih penyidik dibidang teknologi informasi yang berguna dalam
menghadapi kasus perjudian online. Selain dari kepolisian diperlukannya
partisipasi masyarakat, masyarakat hendaknya lebih terbuka dalam memberikan
informasi serta laporan terkait kejahatan perjudian online yang terjadi di sekitar
wilayah tempat tinggalnya, sehingga kepolisian dapat segera bertindak guna
meminimalisir terjadinya kejahatan perjudian online demi terciptanya lingkungan
masyarakat yang aman, damai dan tentram.
Kata kunci: Upaya Penanggulangan, Perjudian Online, Higgs Domino
ABSTRAK
Higgs Domino Online Gambling is a game that can be downloaded at PlayStore,
this game consists of several types of games such as Domino, Poker, Ludo, and
Slot Games which are the same as jackpot machines, where for each game,
players must have chips to bet on. occurred which then had a negative impact on
society, so that more efforts were demanded by the police regarding online
gambling crimes. The problem of this research is to find out how to deal with
Higgs Domino online gambling crimes and what are the inhibiting factors in
efforts to tackle the higgs domino gambling crime.
The approach taken in this study is an empirical juridical approach which is then
adapted to a normative juridical approach. The informants in this study consisted
of members of the Bengkulu City Police Police, Users of the Higgs Domino
online gambling application, and Academics from the Criminal Law Department
of the Faculty of Law, University of Lampung. Data collection is done by
literature study and field study. Then analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that the countermeasures carried
out by the Bengkulu City Police are divided into two, namely: Penal and Nonpenal
routes.
Penal
or
repressive
steps
taken
in
the
form
of:
receiving
reports
and
complaints
from the public, investigations, investigations, and arrests. Then the
non-penal route, the non-penal route itself is divided into two, namely pre-emptive
and preventive ways. In the pre-emptive response efforts carried out by the
Bengkulu City Police in the form of educational counseling about the prohibition
and dangers of online gambling, while in the preventive efforts the emphasis is on
eliminating opportunities for crime to be committed, these efforts are in the form
of patrols and supervision in places that are prone to online gambling such as
stalls and credit counters that sell higgs domino chips and sell them openly. As
well as the inhibiting factors in efforts to combat online gambling, including the
legal factor itself, law enforcement factors, community factors, cultural factors,
and facilities and facilities.
Muhammad Lizaso Hasnam
Suggestions from this study are the police officers, especially the Bengkulu City
Police, to better equip electronic devices that are useful for supporting the cyber
crime team. Then it is necessary to improve quality and knowledge by training
investigators in the field of information technology that is useful in dealing with
online gambling cases. Apart from the police the need for community
participation, the public should be more open in providing information and reports
regarding online gambling crimes that occur around their area of residence, so that
the police can immediately act to minimize the occurrence of online gambling
crimes in order to create a safe, peaceful and peaceful community environment.
Keywords: Countermeasures, Online Gambling, Higgs Domino
LIZASO HASNAM MUHAMMAD19120112672023-09-06T09:20:09Z2023-09-06T09:20:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75514This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/755142023-09-06T09:20:09ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS
PEMBUNUHAN BERENCANA Salah satu perkara tindak pidana pembunuhan berencana adalah pada Putusan
Nomor 112/PID/2022/PT TJK. Dalam perkara tersebut korban dan terdakwa
merupakan pasangan sesama jenis, terdakwa sakit hati sehingga timbul rasa
dendam terhadap korban, kemudian timbullah niat terdakwa untuk melakukan
pembunuhan terhadap korban. Terdakwa Bakas Maulana Zambi tanpa hak dan
melawan hukum, terdakwa yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut
serta melakukan perbuatan tindak pidana pembunuhan berencana.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan
menggunakan pendekatan Undang-undang dan pendekatan konseptual dengan
bahan-bahan hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat diketahui
bahwa, pemidanaan terhadap pembunuhan berencana dapat di dakwa dengan
beberapa pasal yang berada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti
Pasal 340 KUHP dan 338 KUHP. Implementasi Pemidanaan dari kasus
pembunuhan berencana tidak hanya dilihat dari segi penjatuhan hukuman kepada
terdakwa, akan tetapi juga dilihat dari psikologis keluarga korban yang telah
ditinggalkan. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan berencana pada Studi Putusaan Nomor 112/Pid/2022/PT TJK,
kepada terdakwa Bakas Maulana Yuzambi alias Alan bin Yuzambi terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta melakukan
pembunuhan berencana” sebagaimana diatur dalam Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana pada
studi putusan Nomor 112/Pid/2022/PT TJK, terdakwa Bakas Maulana Yuzambi
alias alan bin Yuzambi dengan memperhatikan Pasal 340 KUHP yang didasarkan
pada pembuktian serta fakta-fakta yuridis yang terungkap pada persidangan.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Pembunuhan Berencana,Pertimbangan Hakim. GIGA PRIMASTIA19420110382023-09-04T08:39:26Z2023-09-04T08:39:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75451This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754512023-09-04T08:39:26ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK
(Studi Putusan Nomor: 1/Pid.B/2021/PN.Tjk)Perkembangan kehidupan masyarakat sering terjadi tindak pidana pemalsuan yang dalam hal ini telah dimuat dalam Pasal 266 KUHP terkait membuat surat palsu dan memalsukan surat. Tindakan tersebut merupakan tindakan pidana sehingga mengakibatkan kerugian yang nyata bagi korban, dan dalam praktiknya kasus pemalsuan akta otentik sangat sering terjadi di masyarakat dengan bermacam�macam motif yang dilakukan. Berdasarkan isu hukum tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan akta otentik dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan akta otentik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder, metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, serta analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari 3 orang yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Advokat atau Penasehat Hukum pelapor pada
Asima Left & Partner, serta Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan akta otentik ialah dengan dijalaninya hukuman sesuai putusan hakim yakni pidana penjara selama 2 (dua) Bulan dan membayar
biaya perkara sejumlah Rp. 2.000., (dua ribu rupiah). Bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa dalam tindak pidana pemalsuan akta otentik terdiri dari pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis yang dilakukan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar serta memenuhi unsur-unsur Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pertimbangan non yuridis majelis hakim dalam menjatuhkan pidana yang dijatuhkan terhada terdakwa
diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan untuk memenuhi aspek keadilan, dan adanya kesesuaian antara pidana yang dijatuhkan oleh hakim dengan pasal yang dilanggar terdakwa.
Saran dalam penelitian ini Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pemalsuan akta otentik dalam perkara ini, hendaknya benar-benar didasarkan pada terpenuhi unsur kesalahan, adanya kemampuan bertanggungjawab dan tidak
adanya alasan pemaaf serta pembenar atas perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana disarankan untuk selalu mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis serta fakta-fakta yang ada dipersidangan baik itu keterangan saksi, bukti-bukti, serta ahli sehingga putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa benar-benar sesuai dengan perbuatan yang dilakukan sehingga tidak menciderai rasa keadilan.Halim Pahmi17520110922023-09-01T09:40:44Z2023-09-01T09:40:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75428This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754282023-09-01T09:40:44ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS
(Studi Putusan Nomor:927/Pid.Sus/2021/PN.Tjk) Salah satu tindak pidana terkait dengan merek dan indikasi geografis adalah pada
Putusan Nomor: 927/Pid.Sus/2021/PN Tjk) yang menyatakan terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak pidana telah memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau
produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah dasar
pertimbangan hukum Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana
merek dan indikasi geografis berdasarkan Putusan Nomor: 927/Pid.Sus/2021/PN Tjk
dan apakah putusan Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana
merek dan indikasi geografis tersebut telah sesuai dengan cita hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan
adalah data sekunder. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan. Adapun
narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam
penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Merek dan Indikasi geografis
berdasarkan Putusan Nomor: 927/Pid.Sus/2021/PN.Tjk adalah pertimbangan yuridis
dimana hakim mendasarkan putusannya pada ketentuan peraturan perundangundangan
secara materil. Hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa melawan
hukum materil dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan yaitu Pasal
102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
dan Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertimbangan filosofis dimana hakim
mempertimbangkan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa merupakan
upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa melalui proses pemidanaan melalui
pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga setelah terpidana keluar dari
lembaga permasyarakatan, akan dapat memperbaiki dirinya dan tidak melakukan
kejahatan lagi. Sedangkan, pertimbangan sosiologis hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa
pidana yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat. (2) Putusan Hakim
dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana merek dan indikasi
geografis tersebut telah sesuai dengan cita hukum yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Keadilan dalam Putusan Nomor: 927/Pid.Sus/2021/PN.Tjk, hakim
telah menjatuhi sanksi pidana kepada terdakwa dengan Pasal 102 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Pasal 62 Ayat (1)
Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Putusan Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku
tindak pidana merek dan indikasi geografis tersebut telah sesuai dengan asas
kepastian dimana putusan Hakim telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Serta asas kemanfaatan, dimana
putusan Hakim dapat bermanfaat agar terdakwa menyadari kesalahannya,
memberikan efek jera pada terdakwa sehingga tidak akan mengulangi perbutannya
di kemudian hari.
Saran dalam skripsi ini adalah diharapkan kepada majelis hakim, dalam mengadili
pelaku tindak pidana penggunaan merek yang sama pada pokoknya dengan merek
yang sudah terdaftar milik pihak lain harus memperhatikan kepentingan masyarakat
umum dan kepentingan korban sebagai pemilik sah merek maka akan memberikan
keadilan, kepastian dan manfaat hukum bagi semua pihak. Diharapkan kepada
pemerintah agar melakukan sosialisasi mengenai budaya patuh hukum kepada
masyarakat dan juga pemerintah harus menyediakan atau menfasilitasi sosialisasi
agar pengusaha mengerti prosedur untuk memperoleh hak merek yang tidak sulit
pengurusannya dan tidak terlalu panjang yang pada dasarnya perusahaan berskala
besar mampu mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga
perusahaan dengan skala kecil memilih untuk tidak melakukan perdagangan merek
yang sama yang sudah terdaftar milik pihak lain.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penjatuhan Pidana, Merek dan Indikasi
Geografis.
MUHAMMAD DZAKY MURTADHO18420110232023-09-01T07:43:32Z2023-09-01T07:43:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75426This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754262023-09-01T07:43:32ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCABULAN
OLEH GURU TERHADAP SISWA PESANTREN
DI INDONESIA
Salah satu kejahatan yang sering dijumpai di media cetak atau elektronik yaitu
kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur, khususnya kejahatan pencabulan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor penyebab terjadinya
kejahatan pencabulan oleh guru terhadap siswa pesantren di Indonesia,
Bagaimanakah upaya Penanggulangan Kejahatan pencabulan oleh guru terhadap
siswa pesantren di Indonesia dan apakah faktor penghambat upaya Penanggulangan
Kejahatan pencabulan oleh guru terhadap siswa pesantren di Indonesia.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari
Polisi Penyidik Bagian Anak dan Perempuan pada Polresta Bandar Lampung, Jaksa
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan
Dosen Bagian Hukum Fakultas Hukum Bagian Pidana Univeritas Lampung.
Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor penyebab terjadinya kejahatan
pencabulan oleh guru terhadap siswa pesantren di Indonesia adalah yaitu faktor
internal yaitu yang berasal dari diri pelaku tersebut, karena adanya gangguan jiwa
terhadap diri si pelaku misalnya si pelaku mengalami nafsu seks abnormal.
Kemudian Faktor ekstern yaitu meningkatnya kasus-kasus kejahatan kesusilaan
terkait erat dengan aspek sosial budaya. (2) Upaya Penanggulangan Kejahatan
pencabulan oleh guru terhadap siswa pesantren di Indonesia yaitu perlindungan
hukum terhadap anak korban asusila oleh oknum guru dilaksanakan berdasarkan
Pasal 64 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak. Hal yang telah dilaksanakan adalah perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus
anak sejak dini dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa dan
untuk menghindari labelisasi. Sedangkan yang belum terlaksana dengan baik yaitu
penyediaan sarana dan prasarana khusus, pemantauan dan pencatatan terus menerus
terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum serta pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. (3)
Faktor penghambat upaya Penanggulangan Kejahatan pencabulan oleh guru terhadap siswa pesantren di Indonesia adalah kurangnya kesadaran hukum
masyarakat dan kurang baiknya budaya hukum dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dari tindakan masyarakat yang tidak kooperatif terhadap penyidik dan kurangnya
ketaatan terhadap hukum.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran diharapkan profesi guru
dapat meningkatkan mentalitas, moralitas, serta keimananan dan ketaqwaan yang
bertujuan untuk pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk
melakukan sesuatu yang tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat
menghindari pikiran dan niat yang kurang baik di dalam hati serta pikirannya. Bagi
orang tua yang mempunyai anak baik laki-laki atau perempuan, hendaklah berhatihati
serta mengawasi, karena orang yang dianggap mampu dipercaya bisa menjadi
salah satu pelaku kejahatan pencabulan, serta orang tua hendaklah memberikan
pengasuhan, pengawasan, serta bimbingan terhadap anak secara intensif karena
dengan tidak adanya pengawasan secara intensif anak cenderung merasa nyaman
dengan orang lain dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kejahatan
pencabulan. Bagi pihak kepolisian khususnya Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung, dalam melakukan proses perlindungan hukum bagi korban kejahatan
pencabulan terhadap anak diharapkan tidak hanya formalitas karena biar dianggap
masyarakat bahwa kepolisian sudah melakukan dengan optimal perlindungan hukum
tersebut.
Kata Kunci: Penanggulangan, Kejahatan Pencabulan, Guru, Siswa Pesantren.
EDWAR YUSUF8620110012023-08-31T03:19:44Z2023-08-31T03:19:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75403This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754032023-08-31T03:19:44ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM
JABATAN
(Studi Putusan Nomor: 64/Pid.B/2022/PN Liw)Tindak pidana penggelapan adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan
manusia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kejahatan penggelapan dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung. Seperti
yang diketahui, bahwa penggelapan adalah termasuk di dalam bagian kejahatan yang
diatur di dalam KUHP (buku dua) Pasal 372-377. Penggelapan termasuk di dalam
jenis kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan
bermasyarakat menjadi fenomena yang terus menjadi sorotan. Penggelapan seperti
yang diuraikan sebelumnya adalah merupakan bagian dari kejahatan yang diatur di
dalam KUHP. Penggelapan berdasarkan pada Pasal 374 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) merupakan Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
penguasaannya akan barang itu disebabkan karena adanya suatu hubungan kerja atau
karena mata pencarian atau mendapat upah. Permasalahan penelitian bagaimanakah
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Putusan Nomor
64/Pid.B/2022/PN.Liw? Dan apakah pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim dalam
Putusan Nomor 64/Pid.B/2022/PN.Liw. telah sesuai dengan tujuan pemidanaan?Marvelino Arkan Haidar
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Empiris, yaitu
pendekatan dengan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan hukum secara
langsung dan dibandingkan dengan norma-norma atau ketentuan yang berlaku
dilapangan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Liwa, dengan cara melalui
wawancara guna mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan
pidana dalam perkara Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan. Berdasarkan hasil
dari penelitian dan pembahasan tersebut adalah: Dasar pertimbangan Majelis Hakim
dalam Penjatuhan 2 (dua) tahun pidana penjara sudah tepat dikarenakan telah
memenuhi aspek keadilan bagi Terdakwa, korban, maupun masyarakat dikarenakan
sudah mempertimbangkan unsur kesalahan dalam perbuatan terdakwa serta
mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan dari Terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan Hakim yang menangani tindak pidana
penggelapan di masa mendatang untuk mempertimbangkan kerugian perusahaan
yang diakibatkan oleh pelaku. Sehingga semakin besar kerugian perusahaan maka
makin besar hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana penggelapan
dalam jabatan ini.
Kata kunci: Pertimbangan Hakim, Penggelapan dalam Jabatan, Tindak PidanaARKAN HAIDAR MARVELINO 18520110252023-08-31T03:06:15Z2023-08-31T03:06:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75402This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/754022023-08-31T03:06:15ZPENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PENYALAHGUNA
NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Mgl dan
Perkara Nomor 7/Pid.SusAnak/2022/PN.Mgl)Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian
damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang
difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat.
Penerapan Diversi diupayakan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Permasalahan penelitian ini adalah Bagaimana penerapan Diversi bagi anak
penyalahguna narkotika dan Apakah faktor penghambat penerapan Diversi bagi
pelaku penyalahgunaan narkotika. Metode penelitian menggunakan pendekatan
Empiris Normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
maupun data sekunder dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan
studi lapangan. Adapun Narasumber dari penelitian ini terdiri dari Hakim pada
Pengadilan Negeri Menggala.
Penerapan Diversi bagi Anak Penyalahguna Narkotika di Pengadilan Negeri
Menggala terdapat kendala khususnya pada anak penyalahguna narkotika dimana
faktor masyarakat menjadi factor dominan terhadap kegagalan penerapan Diversi.
Diperlukan diselenggarakan sosialisasi maupun penyuluhan terhadap masyarakat
mengenai penyelesaian perkara anak melalui proses Diversi khususnya bagi anak
penyalahguna Narkotika.
Kata Kunci : Diversi, Narkotika, Penerapan, Penghambat.RAKA WIBAWA AHMAD 19120112392023-08-31T02:38:23Z2023-08-31T02:38:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75399This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753992023-08-31T02:38:23ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG
(Studi Putusan Nomor 182/Pid.B/2022/PN.Liw)Kejahatan pemalsuan bisa diartikan sebagai tindakan memalsukan sesuatu yang
menyangkut barang (benda) untuk dibuat tidak benar, palsu, atau seolah-olah
nyata, yang sebenarnya bertentangan dengan fakta. Sebagaimana tercantum dalam
UU No. 7 Tahun 2011 tentang mata uang, pasal, Ayat 9. Jelaslah bahwa Pasal 26
ayat (3) UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011 dilanggar jika seseorang mengedarkan
uang yang tidak dicetak atau dikeluarkan oleh Bank Indonesia dengan sengaja.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana dasar pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 182/Pid.B/2022/PN.Liw? (2) Apakah
pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam Perkara Nomor
182/Pid.B/2022/PN.Liw telah sesuai dengan tujuan pemidanaan?
Peneliti memperoleh data dan dengan demikian menggunakan metode normatif
empiris. Kajian dilakukan di Pengadilan Negeri Liwa. Penulis kemudian
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan metode kualitatif yang
dilanjutkan dengan deskriptif analisis.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Majelis hakim dalam perkara No.
182/Pid.B/2022/PN.Liw mempertimbangkan Pasal 36 (3) UU Mata Uang No. 7
Tahun 2011 dan menggunakan pertimbangan hukum seperti dakwaan JPU, barang
bukti, keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan ketentuan hukum pidana ketika
menjatuhkan sanksi pidana. Karena terdakwa bertanggung jawab atas
perbuatannya, majelis hakim juga menggunakan faktor-faktor di luar hukum
seperti hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Juri hakim
memutuskan bahwa terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman yang setimpal
dengan perbuatannya. (2) Hukuman adalah tindakan yang digunakan terhadap
pelaku bukan dengan tujuan agar orang tersebut melakukan kejahatan, melainkan
dengan tujuan untuk menghentikan pelaku melakukan kejahatan dan menanamkan
rasa takut pada orang lain sehingga mereka tidak akan melakukan kejahatan yang
sama di wilayah tersebut di masa depan.
Kata Kunci: Putusan, Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang dan Uang
Kertas
The crime of counterfeiting is one that includes an element of deceit, fakery, or
something (object) that appears genuine on the surface but is, in actuality, false.
As stated in Law No. 7 of 2011 Concerning Currency, Article 1, Paragraph 9. A
clear violation of Article 26 paragraph (3) of Law Number 7 of 2011 Concerning
Currency occurs when someone intentionally circulates money that was not
created or issued by Bank Indonesia. The issues in this study are: (1) What factors
did the judge take into account when issuing Decision Number
182/Pid.B/2022/PN.Liw? (2) Was the judge's sentence in Case Number
182/Pid.B/2022/PN.Liw consistent with the intended outcome of the sentencing?
The author uses the empirical normative approach method to acquire the data. The
Liwa District Court served as the site of this study. The writers first collected data,
which was then subjected to qualitative analysis before being given with
descriptive analysis.
The findings of this study show that: (1) The Panel of Judges used Article 36
paragraph (3) of Law Number 7 of 2011 concerning Currency in imposing a
criminal verdict on case number 182/Pid.B/2022/PN.Liw and used their legal
considerations, including the demands of the Public Prosecutor, evidence, witness
statements, statements of the Defendant, and Articles in the Criminal Law
regulations. The Defendant's acts and non-juridical factors like aggravating and
mitigating circumstances were also used by the Panel of Judges against the
Defendant because they were still associated with him. The Panel of Judges gave
the Defendant a sentence that was appropriate for his level of guilt because he had
been found guilty. (2) Punishment is an action taken against a criminal; it is meant
to deter future criminal behavior by the offender and to make others fear
committing similar offenses in the future, rather than to punish the offender for
having committed the crime.
Keywords: Verdict, Crime of Counterfeiting Currency and Banknotes
Nanda Bagas Satyanatha18520110942023-08-31T02:07:07Z2023-08-31T02:07:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75394This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753942023-08-31T02:07:07ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANAPELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA
TERKAIT PASAL 340 KUHP
(Studi Pada Polres Lampung Tengah)
Salah satu tindak pidana yang terjadi di masyarakat adalah tindak pidana
pembunuhan. Pembunuhan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk merampas atau menghilangkan jiwa orang lain. Sasaran pelaku
dalam tindak pidana pembunuhan adalah jiwa/nyawa seseorang, hal ini
bertentangan dengan Pasal 28A UUD NRI 1945 yang berbunyi ”Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Tindak pidana pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja maupun
tidak, menghilangkan nyawa orang lain. Perbedaan cara melakukan perbuatan
tindak pidana pembunuhan ini terletak pada akibat hukum nya, ketika perbuatan
tindak pidana pembunuhan ini dilakukan dengan sengaja ataupun direncanakan
terlebidahulu maka akibat hukum yaitu sanksi pidananya akan lebih berat
dibandingkan dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa ada unsur-
unsur pemberat yaitu direncanakan terlebih dahulu.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang
pendekatannya dilakukan dengan cara memahami suatu permasalahan dengan
berlandaskan pada peraturan – peraturan atau literatur yang mengkaji tentang ilmu
hukum yang dilanjutkan dengan metode yuridis empiris dengan mewawancarai
narasumber terkait dengan penelitian ini. Narasumber terdiri dari Penyidik
Bareskrim Polres Lampung Tengah, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, serta analisis pengumpulan data dengan studi
Pustaka dan studi lapangan dilakukan secara kualitatif.
Bedasarkan hasil penelitian penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan
berencana pada studi di wilayah hukum Polres Lampung Tengah belum
terrealisasikan secara maksimal walaupun sudah ada paying hukum yang
mengaturnya yaitu Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Hal ini
disebabkan karena dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus
pembunuhan berencana seperti kurangnya SDM yang dimiliki untuk
menangani kasus pembunuhan berencana ini karena kurangnya kemampuan
dan sarana prasarana yang dimiliki sehingga kasus masih banyaknya
masyarakat yang sudah melapor akan tetapi slow respon dan tidak cepat
tanggapnya pihak dari kepolisian bahkan berlarut-larut. Terakhir masih ada
masyarakat yang masih memiliki rasa tertutup akan suatu hal-hal yang dapat
memicu perselisihan dimana seharusnya masyarakat dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan cara
memanfaatkan fungsi dari pihak kepolisian sebagai mediator dalam
menyelesaikan suatu persoalan.
Bedasarkan penjabaran diatas, saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian
ini ialah dalam setiap proses ini, penting bagi para pihak yang terlibat untuk
mematuhi prosedur hukum yang berlaku dan menghormati hak-hak individu yang
dijamin oleh Undang-Undang. Dalam hal ini jika terdapat situasi semacam ini
disarankan untuk berkonsultasi dengan pengacara atau professional hukum yang
berkompeten. Diharapkan untuk pemerintah dapat meninjak lanjuti apa saja
prasarana dan sarana yang dapat meninjau bagi pihak penegak hukum untuk dapat
memaksimalkan apa yang menjadi kewajiban mereka. Dan untuk para pihak
penegak hukum semestinya dapat turun langsung kemasyarakat supaya tidak ada
jarak antara masyarakat dan pihak kepolisian supaya terciptanya interaksi yang
dinamis dan dapat terkontrol oleh pihak kepolisian serta pelru adanya kegiatan
agar masyarakat dapat dekat dengan pihak kepolisian supaya permasalahan atau
konflik kecil apapun dapat di olah oleh pihak kepolisian, dan untuk masyarakat
perlunya melakukan kegiatan pelaporan dari segi konflik maupun kecil atau besar
karena konflik jika dipendam-pendam akan menciptakan bomb waktu yang kapan
saja dapat meledak.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Pembunuhan, Pembunuhan BerencanaDANIEL FRISKO H. SIREGAR 19120113152023-08-30T08:52:56Z2023-08-30T08:52:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75392This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753922023-08-30T08:52:56ZPERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN TINGGI
TANJUNGKARANG TERHADAP PUTUSAN PERKARA BANDING
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan No. 98/PID/2021/PT TJK) Peninjauan hukum ini dirancang untuk memahami pendapat hukum hakim dan
hakim banding atas bahan yang dikendalikan. Penting untuk mengetahui banding
dan kasus pidana, mengingat banyak kasus pembatalan perintah penahanan di
Indonesia. . Kasus Narkoba oleh Pengadilan Tinggi Tanjungkarang.
Alasan dari permasalahan tersebut dalam penelitian ini menginformasikan
bagaimana hakim menggambarkan penjatuhan hukuman terhadap pelaku narkoba
dan bagaimana hakim mengklasifikasikan pelaku narkoba dalam satu hukuman
yang sama. keputusan. Ini adalah kejahatan kecanduan narkoba.
Menurut cek, komisi yudisial membuat keputusan tentang kasus yudisial dan nonyudisial.
Putusan
hakim
adalah
alat
bukti
berupa
putusan
hakim
dalam
surat
yang
sah
yang memuat pelanggaran pasal 127 pasal 127 surat ini, keterangan saksi,
keterangan, barang bukti, keterangan terdakwa. termasuk dalam sistem. Putusan
hakim selain sidang menambah beban terdakwa sekaligus meringankan beban.
Kajian ini menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam perkara ini beralasan karena
ia mengambil putusan berdasarkan keterangan, keterangan terdakwa, dan buktibukti
yang cukup. Rekomendasi dalam studi ini adalah Pengadilan Tinggi
Tanjungkarang harus mempertimbangkan untuk memperlakukan pengguna
narkoba (bukan pengedar) untuk memastikan para pekerja pasca rehabilitasi pulih
dan diterima oleh masyarakat dan tidak mengulangi perilaku yang sama. tindakan
masa depan.
Kata Kunci : Pertimbangan Hukum; Hakim; Tindak Pidana; Narkotika.
FARAHDYA FADHILA F19420110352023-08-30T08:25:43Z2023-08-30T08:25:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75388This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753882023-08-30T08:25:43ZANALISIS PERDAMAIAN SEBAGAI PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MERINGANKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN KORBAN
(Studi Putusan Nomor: 667/Pid.Sus/2022/PN.Tjk)
Salah satu delik tindak pidana lalu lintas sebagaimana diatur Pasal 310 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
adalah mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaian mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Dalam
perkara ini biasanya dilakukan proses perdamaian antara pelaku dengan keluarga
korban. Permasalahan dalam penelitian mengenai dasar pertimbangan hakim
terhadap perdamaian yang dapat meringankan putusan pidana bagi pelaku tindak
pidana lalu lintas yang mengakibatkan kematian korban dalam Putusan Nomor:
667/Pid.Sus/2022/ PN.Tjk dan pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku
tindak pidana lalu lintas yang mengakibatkan kematian korban telah sesuai dengan
fakta-fakta di persidangan.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi
lapangan. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan seleksi data, klasifikasi data
dan penyusunan data. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim
terhadap perdamaian yang dapat meringankan putusan pidana bagi pelaku tindak
pidana lalu lintas yang mengakibatkan kematian korban merupakan pertimbangan
sosiologis, yaitu hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan
karena kelalaian (bukan kesengajaan). Perdamaian yang dilakukan menunjukkan
adanya penyesalan pelaku atas kelalaian yang dilakukannya dalam mengendarai
kendaraan bermotor. Perdamaian tidak menghapuskan unsur pidana, tetapi hanya
bersifat meringankan pidana dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim
dalam memutus perkara. Hakim juga mempertimbangkan ketentuan Pasal 183
KUHAP mengenai alat-alat bukti di persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal
184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana
lalu lintas yang mengakibatkan kematian korban sesuai dengan fakta - fakta
yang terungkap di persidangan, yaitu perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan
Fahriza Nupandya
meyakinkan tindak pidana lalu lintas sebagaimana didakwakan Penuntut Umum
dan perbuatan tersebut terjadi karena kelalaian, bukan sebagai bentuk kesengajaan
untuk mengakibatkan korban mengalami kematian.
Saran dalam penelitian ini adalah hakim yang menangani perkara tindak pidana lalu
lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia disarankan untuk benarbenar
selektif
dan
seksama
dalam
menjatuhkan
pidana
yang
sesuai
terhadap
pelaku.
Pengendara
hendaknya lebih berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan dalam
mengendarai kendaraan sehingga dapat meminimalisasi kecelakaan lalu lintas yang
dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Kata Kunci: Perdamaian, Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Lalu Lintas
NUPANDYA FAHRIZA1852011097 2023-08-28T07:02:16Z2023-08-28T07:02:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75353This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753532023-08-28T07:02:16ZANALISIS HAK PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP
NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG
PEMASYARAKATAN
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan saat ini tidak lagi
menekankan pada pembalasan terhadap narapidana, tatapi berlandaskan dengan
sistem pemasyarakatan yang bertujuan agar narapidana menjadi warga masyarakat
yang baik, bertanggungjawab, menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukan
perbuatan yang melanggar hukum. Salah satu kebijakan dalam Undang-Undang
Pemasyarakatan adalah bahwa seluruh narapidana yang telah memenuhi
persyaratan tanpa terkecuali berhak untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat,
termasuk untuk narapidana tindak pidana korupsi yang merupakan suatu kejahatan
luar biasa (extraordinary crime). Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui analisis pemberian hak pembebasan bersyarat terhadap narapidana
tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Pemasyarakatan dan untuk
mengetahui apakah pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak
pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Pemasyarakatan sudah sesuai dengan
teori dan tujuan pemidanaan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya,
dan data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dalam pemberian hak
pembebasan bersyarat terhadap narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan
Undang-Undang Pemasyarakatan memiliki landasan filosofis mengenai hak asasi
manusia sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, landasan sosiologis mengenai
kondisi sosial dalam masyarakat, dan yuridis mengenai arah dan tujuan sistem
pemasyarakatan yang baru. Namun, pemberian hak pembebasan bersyarat terhadap
narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Pemasyarakatan
nyatanya tidak sesuai dengan teori dan tujuan pemidanaan. Sebagai suatu kejahatan
luar biasa, hukuman yang diberikan terhadap pelakunya tidak dapat serta merta
disamaratakan dengan tindak pidana umum. Pemberian hak pembebasan bersyarat
terhadap narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang
Pemasyarakatan merupakan kebijakan yang menimbulkan disharmonisasi antar tata
____________________________________________Muhammad Dean Anugra
kelola hukum mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, kebijakan ini justru
tidak akan memberikan efek jera dan terkesan memperlemah penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi.
Saran dari penelitian ini adalah, dalam penerapan pemberian hak pembebasan
bersyarat perlu adanya pembatasan yang membedakan mengenai tindak pidana
biasa dan pidana luar biasa seperti tindak pidana korupsi. Oleh karena itu,
diperlukannya pengaturan ulang untuk mengintegrasikan dan mengharmoniskan
Undang-Undang Pemasyarakatan dengan berbagai aturan hukum, khususnya dalam
upaya memerangi tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Hak Pembebasan Bersyarat, Korupsi, UU Pemasyarakatan.
Law Number 22 of 2022 concerning Correctional Institutions no longer emphasizes
retaliation against convicts, but is based on a correctional system that aims to make
convicts become good citizens, be responsible, realize mistakes and no longer
commit acts that violate the law. One of the policies in Correctional Law is that all
convicts who have fulfilled the requirements without exception are entitled to the
right to conditional release, including for convicts of corruption which is an
extraordinary crime. The problem in this study is to find out the analysis of the
granting of parole rights to convicts of corruption based on the Corrections Act and
find out whether the granting of conditional release rights to convicts of corruption
based on the Correctional Law is in accordance with the theory and objectives of
sentencing.
The approach method used in this study is a normative juridical and empirical
juridical approach, emphasizing the study of the rule of law, and the data used are
secondary data and primary data. Data collection was carried out by library research
and field studies.
The results of the research and discussion show that in granting conditional release
rights to convicts of corruption based on Correctional Law, it has a philosophical
basis regarding human rights according to the mandate of Pancasila and the 1945
Constitution, a sociological basis regarding social conditions in society, and
juridical regarding the direction and objectives of the new correctonal system.
However, the granting of parole rights to convicts of criminal acts of corruption is
based on Correctional Law in fact it is not in accordance with the theory and
purpose of sentencing. As an extraordinary crime, the punishment given to the
perpetrators cannot be equated with general crimes. Granting conditional release
rights to convicts of corruption based on Correctional Law is a policy that creates
disharmony between legal governance regarding the eradication of corruption in
Indonesia, this policy will not provide a deterrent effect and will appear to weaken
law enforcement against corruption crimes.
Suggestions from this study are that in the application of the right to conditional
release, it is necessary to have restrictions that distinguish ordinary and
____________________________________________Muhammad Dean Anugra
extraordinary crimes such as corruption. Therefore, a rearrangement is needed to
integrate and harmonize the Correctional Law with various existing and applicable
legal regulations, especially in efforts to fight corruption.
Keywords: Conditional Release Right, Corruption, Correctional Law.
Muhammad Dean Anugra19120111922023-08-28T06:59:55Z2023-08-28T06:59:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75352This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753522023-08-28T06:59:55ZMEKANISME PENYELESAIAN GUGATAN WANPRESTASI MELALUI
GUGATAN SEDERHANA BERDASARKAN PERMA NOMOR 4 TAHUN
2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMA NOMOR 2 TAHUN 2015
(Studi Kasus Perkara Nomor: 25/Pdt.G.S/2020/PN Mgl) Gugatan sederhana adalah gugatan yang cara penyelesaiannya dilakukan dengan
sederhana, hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan, pada dasarnya gugatan tersebut dilakukan untuk proses
penyelesaian wanprestasi atau ingkar janji dari segala perikatan yang mana nilai
materiil tidak melebihi dari Rp. 500.000.000, gugatan tersebut diterapkan untuk
mengurangi penumpukan perkara, wanprestasi itu sendiri dapat diselesaikan
melalui gugatan sederhana.
Metode penelitian ini menggunakan metode hukum normatif-empiris dengan tipe
penelitian deskriptif dengan judicial case study untuk spesifikasi penelitian yang
bersifat deskriptif-analistis. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara
dengan narasumber. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan pustaka
seperti buku-buku keputakaan, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum,
karya ilmiah, dan lain-lain. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mekanisme penyelesaian sengketa atau perkara perdata melalui penyelesaian
gugatan sederhana berdasarkan Perma Nomor 4 Tahun 2019 perubahan atas
Perma Nomor 2 Tahun 2015, untuk mengetahui tahapan-tahapan penyelesaian
gugatan wanprestasi melalui gugatan sederhana dalam perkara Nomor
25/Pdt.G.S/2020/PN Mgl di Pengadilan Negeri Menggala.
Berdasarkan hasil penelitian proses penyelesaian wanprestasi melalui gugatan
sederhana berdasarkan perma Nomor 4 Tahun 2019 terdapat beberapa tahapan.
Serta dalam proses pemeriksaan hakim mempunyai beberapa kendala, tetapi di
dalam kendala tersebut hakim mempunyai cara untuk dapat menyelesaiakan
perkaara tersebut maksimal 25 hari setelah sidang pertama agar tetap terciptanya
asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Kata Kunci: Gugatan Sederhana, Wanprestasi
A simple lawsuit is a lawsuit whose settlement method is simple, it is
intended to fulfill the principle of simple justice, fast and low cost, basically
the lawsuit is made for the process of settling defaults or broken promises
from all engagements where the material value does not exceed Rp.
500,000,000, the lawsuit is applied to reduce the accumulation of cases, the
default itself can be resolved through a simple lawsuit.
This research method uses a normative-empirical legal method with a
descriptive research type with a judicial case study for descriptiveanalytical
research specifications. In this study, the data sources used were
primary data and secondary data. Primary data obtained from interviews
with informants. While secondary data is obtained from library materials
such as literature books, laws and regulations, legal journals, scientific
papers, and others. The purpose of this study is to find out the mechanism
for resolving disputes or civil cases through settlement of simple lawsuits
based on Perma Number 4 of 2019 amendments to Perma No. 2 of 2015, to
find out the stages of settlement of default claims through simple claims in
case Number 25/Pdt.G.S/ 2020/PN Mgl at the Menggala District Court.
Based on the results of research on the process of resolving defaults through
a simple lawsuit based on Perma No. 4 of 2019, there are several stages. As
well as in the examination process the judge has several obstacles, but
within these constraints the judge has a way to be able to resolve the case a
maximum of 25 days after the first trial so that the principle of simple, fast
and low-cost justice continues to be created.
Keywords: Simple Lawsuit, Default
ARI TAMA FAJAR19120111882023-08-28T06:53:35Z2023-08-28T06:53:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75350This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753502023-08-28T06:53:35ZAKIBAT HUKUM ADANYA PENDAFTARAN MEREK “OPEN MIC
INDONESIA" YANG MENGGUNAKAN ISTILAH UMUM
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua)
dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2
(dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa
yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atau jasa. Syarat mutlak suatu merek harus
dipenuhi oleh setiap orang atau badan hukum yang ingin memakai sebuah
merek yaitu bahwa merek tersebut harus mempunyai daya pembeda yang
cukup. Dengan kata lain, tanda yang dipakai harus sedemikian rupa,
sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil
produksi seseorang dengan hasil produksi orang lain. Suatu nama umum
dan/atau lambang milik umum tentu tidak dapat didaftarkan sebagai merek
oleh setiap orang atau badan hukum. Pada kenyataannya permasalahan
yang ada di masyarakat adalah pendaftaran terhadap nama-nama yang
menurut masyarakat nama tersebut merupakan nama umum. Merek
tersebut didaftarkan dengan tujuan agar pendaftar merek memiliki hak dan
perlindungan atas merek tersebut. Pemanfaatan akan nama yang sudah
menjadi milik umum marak terjadi, hal tersebut dilakukan tidak lain
karena apabila nama sudah menjadi milik umum akan menjanjikan
keuntungan besar. Komunitas Stand Up Comedy Indonesia menggugat
merek “OPEN MIC INDONESIA” milik komedian Ramon Papana.
Gugatan atas pembatalan merek “Open Mic” oleh komunitas Stand Up
Comedy Indonesia. Beberapa komika (sebutan bagi seorang stand up
komedian) mendatangi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meminta
pembatalan merek dagang tersebut, dan meminta pengadilan untuk
mengembalikan merek “Open Mic” untuk menjadi milik publik. Hal ini
dilakukan dikarenakan “Open Mic” yang merupakan istilah umum yang
sudah melekat dalam dunia pertunjukan seni.
Kata Kunci : Merek, Open Mic, Stand Up Comedy.
A mark is a sign that can be displayed graphically in the form of an image, logo, name,
word, letter, number, color arrangement, in 2 (two) and/or 3 (three) dimensional forms,
sound, hologram, or a combination of 2 (two) ) or more of these elements to distinguish
goods and/or services produced by a person or legal entity in the activity of trading
goods and/or services.
The absolute requirement for a mark must be met by every person or legal entity
wishing to use a mark, namely that the mark must have sufficient distinguishing power.
In other words, the sign used must be such that it has enough power to distinguish one
person's goods from those of other people. Of course, a common name and/or symbol
that belongs to the public cannot be registered as a mark by any person or legal entity.
In fact, the problem that exists in the community is the registration of names which
according to the community are common names. The mark is registered with the aim
that the trademark registrant has rights and protection over the mark. The use of names
that already belong to the public is rampant. This is done because if the name becomes
public property, it promises big profits.
The Stand Up Comedy Indonesia community is suing the “OPEN MIC INDONESIA”
brand owned by comedian Ramon Papana. Lawsuit on the cancellation of the “Open
Mic” brand by the Indonesian Stand Up Comedy community. Several Komikas (a term
for a stand-up comedian) approached the Central Jakarta Commercial Court asking for
the cancellation of the trademark, and asked the court to return the “Open Mic” brand
to public property. This is done because “Open Mic” is a general term that is inherent
in the world of performing arts.
Keywords: Brand, Open Mic, Stand Up Comedy.
FAUZIAH AZIZ ALYA 19520110482023-08-28T02:17:42Z2023-08-28T02:17:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75349This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753492023-08-28T02:17:42ZOptimalisasi Diversi Terhadap Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus
Anak di Pengadilan Negeri Menggala Seorang anak yang usianya diatas 12 (dua belas) tahun dan dibawah 18 (delapan
belas) tetapi melakukan tindak pidana diwilayah hukum Pengadilan Negeri
Menggala, maka wajib bagi hakim Pengadilan Negeri Menggala agar
mengupayakan proses diversi dahulu sebelum dilanjutkan ke proses peradilan
biasa. Hal itu bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat serta menjauhkan
anak dari stigma negatif dari masyarakat. Sesuai dengan isi pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
menyatakan bahwa diversi wajib dilaksanakan disemua tingkat proses peradilan
mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, sampai proses pemeriksaan berkas di
pengadilan. Diversi adalah pengalihan proses persidangan biasa ke proses diluar
persidangan yang mengunakan pendekatan restorative justice melalui
musyawarah antara orang tua korban/ korban, orang tua pelaku/ pelaku, hakim,
bagian kemasyarakatan, serta pihak-pihat yang memiliki kepentingan dalam
perkara tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini yang pertama adalah untuk
mengetahui faktor penghambat optimalnya diversi di Pengadilan Negeri
Menggala dan permasalahan yang kedua untuk mengetahui cara mengoptimalkan
pelaksanaan diversi terhadap penyelesaian perkara tindak pidana khusus anak di
Pengadilan Negeri Menggala.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif terapan.
Data yang digunakanan merupakan data primer dan data sekunder, metodologi
pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri Menggala yaitu Yulia Putri Rewanda
Taqwa, S.H. dan Dina Puspitasari, S.H.,M.H.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diketahui faktor yang
menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri
Menggala menurut Soerjono Soekanto ada 5 faktor yang dapat menjadi hambatan
pelaksanaan diversi, yaitu 1) faktor hukumnya sendiri; 2) faktor penegak hukum;
3) faktor sarana dan prasarana; 4) faktor Masyarakat; dan 5) faktor kebudayaan.
Dari faktor- faktor tersebut yang memiliki pengaruh besar terhadap kurang
optimalnya pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Menggala adalah faktor
masyarakat dan faktor kebudayaan dengan alasan bahwa faktor-fator tersebut
dapat mempengaruhi secara langsung kehidupan anak tidak terlepas dari faktor
diatas ada beberapa hal juga yang dapat menjadi habatan untuk pelaksanaan
diversi di Pengadilan Negeri Menggala salah satunya adalah perbedaan persepsi
antara pihak keluarga korban/ korban dengan pihak keluarga pelaku/ pelaku.
Penulis menyarankan dalam penelitian ini Penegak hukum yang berwenang dalam
Pengadilan Negeri Menggala mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga
yang bergerak dalam bidang anak hendaknya rutin bemberikan sosialisasi kepada
masyarakat terkait dengan pentingnya pelaksanaan diversi bagi anak agar
masyarakat lebih memahami konsep dari diversi.
Kata kunci : anak pelaku tindak pidana, diversi, faktor penghambat diversi.
A child who is over 12 (twelve) years old and under 18 (eighteen) but commits a
crime within the jurisdiction of the Menggala District Court, it is obligatory for
the judge of the Menggala District Court to seek the diversion process first before
proceeding to the ordinary trial process. It aims to protect the dignity and distance
of children from negative stigma from society. In accordance with the contents of
Article 7 paragraph (1) of Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal
Justice System which states that diversion must be carried out at all levels of the
judicial process starting from the level of investigation, prosecution, to the process
of examining files in court. Diversion is the transfer of the ordinary trial process
to an out-of-trial process that uses a restorative justice approach through
deliberations between the parents of the victim/victim, the parents of the
perpetrator/perpetrator, judges, members of the community, and parties who have
an interest in the case. The first problem in this study is to find out the optimal
inhibiting factors for diversion at the Menggala District Court and the second
problem is to find out how to optimize the implementation of diversion in
resolving criminal cases specifically for children at the Menggala District Court.
This research uses an applied normative juridical approach. The data used are
primary data and secondary data, the data collection methodology is carried out
by library research and field studies. Data analysis was carried out qualitatively.
The informants in this study consisted of 2 (two) judges at the Menggala District
Court, namely Yulia Putri Rewanda Taqwa, S.H. and Dina Puspitasari, S.H., M.H.
According to Soerjono Soekanto, there are 5 factors that can become obstacles to
the implementation of diversion, namely 1) the legal factor itself; 2) law
enforcement factors; 3) facilities and infrastructure factors; 4) Community factors;
and 5) cultural factors. Of these factors that have a major influence on the less than optimal implementation of diversion at the Menggala District Court are community factors
and cultural factors on the grounds that these factors can directly affect a child's life. for the
implementation of diversion at the Menggala District Court, one of which is the difference in
perception between the families of the victims/victims and the families of the
perpetrators/perpetrators.
The author suggests that in this study law enforcement authorities in the Menggala District Court
cooperate with institutions engaged in the field of children should routinely provide socialization
to the community regarding the importance of implementing diversion for children so that people
understand the concept of diversion better.
Keywords: children of criminal offenders, diversion, diversion inhibiting factors. APRIDA SYARI1912011043 2023-08-25T06:39:16Z2023-08-25T06:39:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75334This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/753342023-08-25T06:39:16ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN SEKSUAL
“BEGAL” PAYUDARA DI KOTA BANDAR LAMPUNG
(Studi di Polresta Bandar Lampung)
Begal payudara merupakan sebuah tindakan kejahatan yang dilakukan dengan cara
menyentuh maupun meremas payudara korban yang dalam hal ini perempuan.
Bukan hanya terjadi di ruang privat, peristiwa “begal” payudara kini semakin berani
dilakukan di muka umum dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Permasalahan
penelitian adalah faktor penyebab terjadinya kejahatan seksual “begal” payudara di
Kota Bandar Lampung dan upaya Polresta Bandar Lampung dalam mencegah dan
menanggulangi kejahatan seksual “begal” payudara di Kota Bandar Lampung.
Metode penelitian menggunakan pendekatan empiris dan yuridis normatif, data yang
digunakan adalah data primer dan sekunder. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor penyebab terjadinya kejahatan
seksual “begal” payudara di Kota Bandar Lampung meliputi faktor internal yang
terdiri dari faktor biologis yaitu faktor yang berasala dari diri pelaku, moral yang
kurang baik dan faktor kejiwaan terutama yang terakit dengan kelainan seksual
kemudian faktor ekternal meliputi faktor media masa seperti seringnya melihat film
porno, faktor stres akibat ekonomi dan sosial budaya yaitu seringnya melakukan
pelecehan terhadap perempuan. Kejahatan ini berdampak secara fisik, psikologis dan
sosial terhadap korban. (2) Upaya Polresta Bandar Lampung dalam mencegah dan
menanggulangi kejahatan seksual “begal” payudara di Kota Bandar Lampung adalah
dengan upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif dilakukan dengan
menetapkan mekanisme perlindungan bagi korban dalam lembaga peradilan,
melakukan pembaruan peraturan-perundangan, termasuk tentang prosedur
persidangan dan aturan pembuktian baru yang kondusif untuk penegakan hak asasi
manusia, termasuk hak-hak korban kejahatan, membuat protokol-protokol yang
dirumuskan dan disepakati bersama oleh lembaga peradilan dan organisasi
masyarakat pendamping korban untuk menjamin koordinasi upaya perlindungan dan
pemberdayaan serta melakukan pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan menjalankan sistem perlindungan
bagi saksi/korban dengan baik. Sedangkan upaya represif yang bertujuan untuk
mengembalikan keresahan yang pernah terganggu, terhadap pelaku kejahatan
seksual “begal” payudara atau warga masyarakat yang melanggar hukum dan dilakukan pembinaan terhadap pelakunya secara konsisten agar tidak melakukan
kejahatan lagi dan kalau perlu hendaknya diberikan sanksi hukum yang berat agar
pelaku kejahatan seksual “begal” payudara tersebut tidak mengulangi lagi
perbuatannya.
Saran dalam skripsi ini adalah Pemberlakukan aturan khusus dimasing-masing
wilayah hukum Polrestra Bandar Lampung untuk mengantisipasi terjadinya
kejahatan seksual “begal” payudara. Pengawasan secara ketat juga harus dilakukan
dimalam hari, dimana kasus kejahatan rentan terjadi pada malam hari. Aparat
penegak hukum seharusnya menindak tegas pelaku kejahatan seksual “begal”
payudara karena merupakan kejahatan yang tidak berperikemanusiaan serta juga
melibatkan peran masyarakat dalam menjaga Kota Bandar Lampung agar
tercapainya rasa aman dan tentram.
Kata Kunci: Kajian Kriminologis, Kejahatan Seksual, Begal Payudara.
SYAHITA AFRIANTY1912011046 2023-08-23T09:32:42Z2023-08-23T09:32:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75229This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/752292023-08-23T09:32:42ZSTUDI PERBANDINGAN PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF
TERHADAP PERKARA YANG DAPAT DILAKUKAN
PENGHENTIAN PENUNTUTAN
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan Negeri Metro)Lahirnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang memberikan kewenangan
Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi terobosan
dalam penyelesaian tindak pidana. Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan
Negeri Metro telah mengajukan permohonan penghentian penuntutan untuk perkara tindak
pidana yang ada di wilayahnya namun kedua permohonan tersebut memiliki hasil yang
berbeda, permohonan dari Kejaksaan Negeri Tulang Bawang disetujui sedangkan
permohonan dari Kejaksaan Negeri Metro ditolak. Alasan inilah yang membuat peneliti
tertarik untuk menganalisisnya guna mengetahui perbandingan penerapan keadilan
restoratif di Kejaksaan Negeri Tulang Bawang dan Kejaksaan Negeri Metro serta untuk
mengetahui kriteria perkara yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah
data primer dan sekunder. Sumber data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan
dokumen serta melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca,
mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menyimpulkan bahwa permohonan Kejaksaan Negeri
Tulang Bawang disetujui karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan juga
alasan tersangka melakukan tindak pidana karena keterpaksaan yang menggugah rasa
kemanusiaan sedangkan permohonan Kejaksaan Negeri Metro ditolak karena ancaman
hukuman tindak pidana adalah 7 (tujuh) tahun dan tersangka masih berusia muda serta bisa
mendapatkan uang dengan cara bekerja bukan dengan mencuri. Selanjutnya kriteria
perkara yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
selain harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif juga tetap melihat dan mempertimbangkan rasa
kemanusiaan serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan baiknya dikemudian hari Jaksa Agung dapat
mendelegasikan kewenangan penentuan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif pada Kejaksaan Tinggi yang ada di Indonesia diikuti dengan
menerbitkan peraturan yang mengatur secara rinci tentang pelaksanaan Restorative Justice
dengan tetap mempertimbangkan rasa kemanusiaan serta norma atau hukum adat pada
masing-masing daerah. Selain itu perlu diadakannya sosialisasi terhadap pelaksanaan
Restorative Justice untuk menghilangkan stigma negatif kepada masyarakat bahwasannya
Jaksa Penuntut Umum tidak berpihak kepada tersangka atau pelaku tindak pidana.
Kata Kunci: Penghentian Penuntutan, Peraturan Kejaksaan, Keadilan RestoratifSAFITRI DINA21220110142023-08-21T06:02:52Z2023-08-21T06:02:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/75019This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/750192023-08-21T06:02:52ZKEDUDUKAN HUK UM ANAK BEBINJAT PADA MASYARAKAT BALI
(STUDI PADA DESA SIDOWALUYO KAB. LAMPUNG SELATAN) Masyarakat Bali mengenal dua istilah anak luar kawin, yaitu anak astra dan anak
bebinjat. Anak bebinjat merupakan anak luar kawin dimana bapak biologisnya
tidak diketahui serta tidak diakui. Fenomena anak bebinjat terdapat pada
masyarakat Bali di Desa Sidowaluyo Kab. Lampung Selatan. Kelahiran anak
bebinjat dapat menimbulkan permasalahan mengenai kedudukan hukum dan
kedudukan waris. Sehingga rumusan masalah yang diabgkat dari penelitian ini
yakni: 1). Bagaimana kedudukan anak bebinjat berdasarkan hukum di
Indonesia?, serta 2). Bagaimana kedudukan anak bebinjat berdasarkan sistem
pewarisan pada masyarakat Adat Bali Di Desa Sidowaluyo?
Metode penelitian dalam penelitian hukum ini ialah metode normatif empiris
melalui pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui kajian pustaka,
observasi, wawancara serta dokumentasi.
Hasil penelitian ini berdasarkan hukum formil yaitu anak bebinjat hanya memiliki
kedudukan dengan ibu serta keluarga pihak ibu. Anak bebinjat dapat memiliki
kedudukan hukum dengan bapak biologisnya, akan tetapi harus dibuktikan
terlebih dahulu melalui ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain yang menurut
hukum memiliki hungungan darah. Salah satunya dengan melakukan tes DNA.
Sedangkan kedudukan anak bebinjat berdasarkan sistem pewarisan hukum Adat
Bali tidak memiliki hubungan kewarisan dan tidak dapat diakui secara hukum
dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran dari anak tersebut. Akan tetapi,
anak bebinjat tetap mempunyai hak waris atas harta dari ibu biologisnya maupun
dengan keluarga dari ibunya.
Kata kunci : Anak bebinjat, kedudukan, waris.
Balinese people know two terms of children outside of marriage, namely Astra
children and Bebinjat children. Bebinjat children are children out of marriage
where their biological father is unknown and not recognized. The phenomenon of
Bebinjat children is found in Balinese people in Sidowaluyo Village, South
Lampung regency. The birth of Bebinjat children can cause problems regarding
legal status and inheritance status. So that the research questions of the problems
raised from this research are: 1). What is the position of Bebinjat children based
on law in Indonesia?, and 2). What is the position of Bebinjat children based on
the inheritance system in the Balinese customary community in Sidowaluyo
Village?.
The research method in legal research is an empirical normative method with a
descriptive approach. Data collection techniques with literature review,
observation, interviews and documentation.
The results of this study are based on formal law, namely that Bebinjat children
only have a position with their mother and their mother's family. A Bebinjat child
can have legal standing with his biological father, but must first be proven through
science tests and/or other evidence which according to law has blood relations.
One of them is by doing a DNA test. Meanwhile, the position of Bebinjat children
based on the Balinese customary legal inheritance system has no inheritance
relationship and cannot be legally recognized by the man who caused the birth of
the child. However, the Bebinjat child still has inheritance rights to the assets of
his biological mother and the mother's family
Keywords: Bebinjat child, status, inheritance
ITA DWI JAYANI NI MADE19520110462023-08-21T01:02:16Z2023-08-21T01:02:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74993This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/749932023-08-21T01:02:16ZANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP WARGA NEGARA ASING
PELAKU TINDAK PIDANA PEMBERIAN DATA YANG TIDAK BENAR
DALAM PEMBUATAN DOKUMEN PERJALANAN
REPUBLIK INDONESIA
(Studi Putusan Nomor: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk) Tindak pidana di bidang keimigrasian salah satunya adalah pemberian data yang
tidak benar oleh warga negara asing dalam pembuatan dokumen perjalanan
Republik Indonesia, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 126 huruf
c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana pemberian
data yang tidak benar dalam pembuatan dokumen perjalanan Republik Indonesia
dalam Putusan Nomor: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk? (2) Apakah pidana yang
dijatuhkan hakim terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana pemberian data
yang tidak benar dalam pembuatan dokumen perjalanan Republik Indonesia telah
sesuai dengan keadilan substantif?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemberian data yang tidak benar
dalam pembuatan dokumen perjalanan Republik Indonesia dalam Putusan Nomor:
327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis, filosofis dan
sosiologis. Pertimbangan yuridis ketentuan Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia atau asas teritorial. Selain
itu perbuatan terdakwa terbukti melanggar Pasal 126 huruf c Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pertimbangan filosofis yaitu hakim
menilai bahwa pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera
pada pelakunya tetapi lebih penting lagi adalah sebagai upaya pemidanaan terhadap
terdakwa. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan latar belakang
terdakwa serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang
memberatkan adalah terdakwa sebagai pengungsi melakukan tindak pidana di
M. Refvoyandra
negara tempat pengungsiannya, sedangkan yang meringankan adalah tindak pidana
yang dilakukan terdakwa dilatarbelakangi orang tuanya yang sedang menderita
sakit. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut majelis hakim menjatuhkan
penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) subsidair 1 (satu) bulan. Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku
tindak pidana pemberian data yang tidak benar dalam pembuatan dokumen
perjalanan Republik Indonesia belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, hal
ini disebabkan penjatuhan pidana penjara selama 5 (lima) bulan masih belum
maksimal, mengingat ancaman pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 126
huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun. Hal ini menunjukkan bahwa lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa hanya 1/10 (satu per sepuluh)
dari pidana yang diancamkan dan lebih rendah selama 2 (dua) bulan dari tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana penjara selama
6 (enam) bulan. Majelis hakim dapat menjatuhkan pidana penjara yang lebih
maksimal terhadap terdakwa agar memberikan efek jera sekaligus sebagai
pembelajaran bagi para pengungsi lainnya yang ada di Indonesia pada umumnya
dan yang ada di Provinsi Lampung pada khususnya agar tidak melakukan tindak
pidana serupa.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim dalam menangani perkara tindak
pidana pemberian data yang tidak benar dalam pembuatan dokumen perjalanan
Republik Indonesia hendaknya dapat menjatuhkan pidana yang maksimal terhadap
pelaku, mengingat perbuatan pelaku dalam memberikan data yang tidak benar
merupakan tindakan yang tidak menghormati atau merendahkan hukum
keimigrasian yang berlaku di Indonesia, mengingat status terdakwa sebagai seorang
pengungsi yang meminta perlindungan dan tinggal di Indonesia. (2) Masyarakat
hendaknya tidak memberikan bantuan kepada warga negara asing dalam pemberian
data yang tidak benar dalam pembuatan dokumen perjalanan Republik Indonesia,
karena terjadinya tindak pidana disebabkan oleh adanya bantuan dari pihak lain,
yaitu pelaku menggunakan data dan identitas dari pihak lain seolah-olah data dan
identitas tersebut adalah data dan identitas terdakwa.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Warga Negara Asing, Dokumen Perjalanan
M. REFVOYANDRA M. REFVOYANDRA1962011004 2023-08-18T02:12:05Z2023-08-18T02:12:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74937This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/749372023-08-18T02:12:05ZUPAYA PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM PROSES DIVERSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Wilayah Hukum Bapas Kelas II Kotabumi)
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Dalam konstitusi Indonesia, peraturan hukum tentang anak diatur tegas dalam undang-undang. Diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan pada setiap tingkatan pemeriksaan. Dalam mengupayakan ini pembimbing kemasyarakatan dari balai pemasyarakatan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Ketentuan mengenai diversi diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya pembimbing kemasyarakatan dalam diversi bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan apakah yang menjadi faktor penghambat upaya pembimbing kemasyarakatan dalam diversi bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yang mana menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan, yang diperkaya dengan data-data narasumber yang terdiri dari pihak pembimbing kemasyarakatan dan akademisi fakultas hukum universitas lampung.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang dilakukan pembimbing kemasyarakatan dalam diversi bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak meliputi membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan yaitu pembimbing kemasyarakatan mendapatkan permohonan penelitian kemasyarakatan (litmas) untuk menentukan rekomendasi terbaik bagi anak dalam hal diversi dan melakukan pendampingan yaitu dapat diartikan peran pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak dalam menghadapi permasalahan yang anak hadapi serta pembimbing kemasyarakatan wajib mendampingi anak sejak anak dilaporkan melakukan tindak pidana serta memberikan arahan – arahan dalam hal merasa bingung saat menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan. Faktor penghambat upaya pembimbing kemasyarakatan dalam diversi bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak yaitu faktor masyarakat yang dalam hal ini dikarenakan masih
Muhammad Farhan Rabbani Ujudan
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mencari sumber informasi terkait diversi yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan sehingga masyarakat terkadang menimbulkan kesalahpahaman terkait pelaksanaan diversi dan enggan untuk melaksanakan proses diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana tersebut. Serta faktor kebudayaan dikarenakan masih minimnya tingkat kesadaran masyarakat akan budaya hukum dan budaya masyarakat yang takut melapor dan berfikiran negatif kepada pembimbing kemasyarakatan atas laporan tersebut dengan alasan laporan tersebut ditolak dan takut laporannya tidak diterima serta tidak diperdulikan. Serta budaya dari masyarakat terkait budaya hukum yang lebih mengedepankan pemahaman dan menitikberatkan bahwa setiap pelaku yang melakukan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh anak tersebut harus dijatuhi sanksi pidana.
Saran dari penelitian ini adalah pembimbing kemasyarakatan dan aparat penegak hukum agar lebih meningkatkan lagi kinerja dalam pelaksanaan diversi terhadap anak, kepada pembimbing kemasyarakatan dan aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan kualitas, integritas dan kredibilitas, pembimbing kemasyarakatan dapat melakukan penelitian kemasyarakatan dan bimbingan terhadap anak tetap mengutamakan kepentingan-kepentingan terbaik bagi anak, serta perlunya adanya sosialisasi atau keterbukaan informasi kinerja pembimbing kemasyarakatan untuk masyarakat luas serta diharapkan pembimbing kemasyarakatan bersama dengan penegak hukum mulai dari penyidik, jaksa, dan hakim diharapkan untuk bersinergi dan berintegritas memaksimalkan pelaksanaan diversi yang sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kata Kunci : Upaya Pembimbing Kemasyarakatan, Diversi, Anak
Indonesia is a state of law. In the Indonesian constitution, legal regulations regarding children are strictly regulated in law. Diversion of children who are in conflict with the law must be pursued at every level of examination. In pursuing this, community counselors from correctional centers have an important role in carrying out diversion of children who are in conflict with the law. Provisions regarding diversion are regulated in Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 concerning Sistem Peradilan Pidana Anak. The problem in this study is how are the efforts of social counselors in diversion for perpetrators of crimes committed by children and what are the inhibiting factors in efforts of social counselors in diversion for perpetrators of crimes committed by children.
The approach method used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach, which uses data collection techniques by means of library research and field studies, which are enriched with data from sources consisting of social advisers and academics at the Faculty of Law, University of Lampung.
The results of this study indicate that the efforts made by social counselors in diversion for perpetrators of criminal acts committed by children include making reports on the results of social research, namely social counselors obtaining requests for social research (litmas) to determine the best recommendations for children in terms of diversion and providing assistance, namely being able to This means that the role of community counselors is to accompany children in dealing with the problems children face and social counselors are required to accompany children since the child has been reported to have committed a crime and to provide directions in terms of feeling confused when answering the questions asked. The inhibiting factor in the efforts of social guidance in diversion for perpetrators of criminal acts committed by children is the community factor which in this case is due to still the lack of public awareness of the importance of finding sources of information related to diversion carried out by community counselors so that
Muhammad Farhan Rabbani Ujudan
the community sometimes creates misunderstandings regarding the implementation of diversion and is reluctant to carry out the diversion process against children as perpetrators of these crimes. As well as cultural factors due to the low level of public awareness of the legal culture and culture of the people who are afraid to report and think negatively to the social adviser about the report on the grounds that the report is rejected and is afraid that the report will not be accepted and will not be cared for. As well as the culture of society related to legal culture which prioritizes understanding and emphasizes that every perpetrator who commits a crime committed by the child must be subject to criminal sanctions.
Suggestions from this study are community counselors and law enforcement officials to further improve performance in the implementation of diversion against children, societal advisers and law enforcement officials can further improve quality, integrity and credibility, community counselors can conduct community research and guidance on children still prioritize the best interests of the child, as well as the need for socialization or disclosure of information on the performance of social counselors for the wider community and it is hoped that social counselors together with law enforcers starting from investigators, prosecutors and judges are expected to work together and have integrity to maximize the implementation of diversion as mandated in the Law Invite No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System.
Keywords : Community Guiding Efforts, Diversion, Children
FARHAN RABBANI UJUDAN MUHAMMAD 1912011104 2023-08-18T01:20:13Z2023-08-18T01:20:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74902This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/749022023-08-18T01:20:13ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI SIMPAN PINJAM
TANPA IZIN PERBANKAN
(Studi Putusan No. 846/Pid.Sus/2021/PN.Tng)Koperasi simpan pinjam dipadang sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan
tingkat kehidupan ekonomi di Indonesia, dikarenakan mengedepankan asas tolong
menolong. Namun, berjalannya kegiatan koperasi simpan pinjam tidak terlepas dari
kemungkinan melakukan tindak pidana perbankan, salah satunya adalah kegiatan
yang berkaitan dengan perizinan. Pelaku tindak pidana perbankan harus
bertanggungjawab atas perbuatannya sesuai dengan sanksi yang diterapkan dalam
undang-undang khusus maupun undang-undang umum, sanksi yang diberikan pada
hakikatnya untuk memberikan rasa keadilan bagi para setiap pihak yang berperkara.
Tindak pidana perbankan yang paling meresahkan adalah sebuah kegiatan berupa
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau deposito dengan
menjanjikan sejumlah bunga, namun kegiatan tersebut tidak memiliki izin dari
Bank Indonesia maupun OJK sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perbankan.
Permasalahan dalam penelitian ini berfokus pada pertanggungjawaban pidana
terhadap koperasi yang melakukan usaha perbankan tanpa izin dan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya lebih rendah dari tunutan
jaksa terhadap koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa izin pada
Putusan Nomor Studi Putusan No.846/Pid.Sus/2021.
Metode penulisan penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini dengan studi kepustakaan dan wawancara. Datadata yang diperoleh selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mendapatkan hasil
penulisan yang bersifat deksriptif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana
dalam hal ini dapat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan ketentuan
pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Koperasi Airo Jaya Bersama masuk ke
dalam kategori bentuk criminal corporation atau kejahatan yang menggunakan
korporasi sebagi alat dalam melancarkan aksi kejahatan serta dalam
pertanggungjawaban pidananya menggunakan teori indentification dengan
menjatuhkan pidana terhadap pimpinan koperasi. Hakim menjatuhkan putusan
dengan mempertimbangkan aspek yuridis dengan menggunakan asas Lex Specialis
Derogat Legi Generali dengan menjatuhkan putusan dengan Pasal 46 Ayat (1) jo
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 tentang Perbankan, dengan menjatuhkanii
Nunut Magdalena
pidana kepada pimpinan koperasi berupa penjara selama 7 (tujuh) Tahun 6 (enam)
bulan serta denda sebesar Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama 3
(tiga) bulan serta aspek filosofis yang menyatakan bahwa putusan yang diberikan
terhadap pelaku bersikap adil bagi setiap pihak yang berperkara. Aspek sosiologis
yang didasarkan pada hal-hal yang dapat memberatkan dan meringankan terdakwa.
Saran yang dapat diberikan penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap
koperasi simpan pinjam yang melakukan kegiatan tanpa izin sebaiknya dapat
memberikan sanksi administratif terhadap koperasi sebagai bentuk sebuah
korporasi mengingat sampai saat ini koperasi masih dapat menjalankan usahanya.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pertimbangan Hakim, Koperasi
Simpan PinjamMAGDALENA NUNUT 19120112272023-08-18T00:55:58Z2023-08-18T00:55:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74891This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/748912023-08-18T00:55:58ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS BULLYING OLEH
SESAMA ANAK YANG MENYEBABKAN KORBAN
MENINGGAL DUNIA
(Studi Kasus Polsek Way Bungur Lampung Timur)Perundungan atau bullying merupakan salah satu kasus yang dapat dijumpai
dimana saja. Perilaku perundungan terjadi pada seseorang yang menjadi sasaran
aksi negatif dari seseorang maupun sekelompok orang secara berulang.
Perundungan tidak hanya terjadi pada anak-anak, namun terjadi pula pada orang
dewasa. Perilaku perundungan dapat terjadi secara langsung seperti mengejek,
mengancam, mencela, memukul, dan merampas yang dilakukan oleh satu atau
lebih siswa kepada korban atau anak yang lain. Perilaku perundungan tidak
langsung, misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan
seseorang yang dianggap berbeda, Upaya Penyidikan oleh pihak kepolisian dalam
Kasus Bullying oleh Sesama Anak yang Menyebabkan Korban Meninggal Dunia,
(Studi kasus Polsek Way Bungur Lampung Timur), kejadian ini membuat resah
tidak hanya pihak masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya
penyidikan oleh kepolisian dalam kasus bullying yang mengakibatkan korban
meninggal dunia dan faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penyidikan
oleh kepolisian dalam kasus Bullying yang mengakibatkan korban meninggal
dunia.
Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris
yaitu pendekatan yang didasarkan kepada perundang-undangan, teori-teori dan
konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian berupa asas-asas,
nilai-nilai, serta tindakan yang dilakukan dengan mengadakan penelitian di
lapangan. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari anggota Kepolisian Sektor
Way Bungur Lampung Timur dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Data yang diperoleh terdiri dari data lapangan dan data
kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder yang kemudian di
analisis secara kualitatif.87
ACHMAD JUNICKO NUGRAHA
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Upaya Penyidikan Oleh
Kepolisian Dalam Kasus Bullying yang Akhrinya Mengakibatkan Korban
Meninggal Dunia, penyidik mempunyai kewenangan dalam hal menghentikan
suatu penyidikan dikarenakan kurangnya alat bukti permulaan yang cukup guna
memperkuat laporan dalam hal ini kasus bullying, sehingga dalam kasus bullying
yang mengakibatkan korban meninggal dunia yang terjadi di wilayah hukum
Polsek Way Bungur dihentikan dikarekan kurangnya bukti yang cukup guna
melanjutkan proses hukum terhadap tersengka kasus bullying (henti lidik). Selain
itu faktor yang menjadi penghambat pihak kepolisian dalam proses penyidikan
kasus bullying yang menyebabkan korban meninggal dunia, tidak kooperatifnya
saksi korban, makdusnya dalam hal ini pihak korban yang mendapatkan bullying
dari teman-temanya meninggal dunia sehari setelah dilakukan perawatan yang
intensif di rumah sakit diakrenakan luka bakar disekujur tubuh yang cukup serius,
sehari sebelum meninggal korban sempat dapat diajak berbicara dan mengatakan
melakukan upaya bunuh diri karena sering dibully atau di olok-olok oleh teman
sebayanya.
Saran dalam penelitian ini adalah penyidik mempunyai kewenangan dalam hal
menghentikan suatu penyidikan dikarenakan kurangnya alat bukti permulaan yang
cukup guna memperkuat laporan dalam hal ini kasus bullying, sehingga dalam
kasus bullying yang mengakibatkan korban meninggal dunia yang terjadi di
wilayah hukum Polsek Way Bungur dihentikan dikarekan kurangnya bukti yang
cukup guna melanjutkan proses hukum terhadap tersengka kasus bullying (henti
lidik) dan keterangan tersangka dan saksi sangatlah penting dalam proses
penyidikan, akan tetapi dalam hal ini seringkali penyidikan terhambat akibat
ketidak jelasan keterangan tersangka dan saksi korban bullying dari temantemanya meninggal dunia sehari setelah dilakukan perawatan yang intensif di
rumah sakit dikarenakan luka bakar disekujur tubuh yang cukup serius, sehari
sebelum meninggal korban sempat dapat diajak berbicara dan mengatakan
melakukan upaya bunuh diri karena sering dibully atau di olok-olok oleh teman
sebayanya, dan yang diduga tersangka dan teman korban lain mengatakan
pembulian tersebut tidak benar adanya sehingga menyulitkan pihak kepolisian
dalam penyidikan kasus ini dan selanjutnya penyidikan dihentikan dikarenakan
kurangnya alat bukti.
Kata kunci : Upaya Penyidikan, Bullying, AnakJunicko Nugraha Achmad 18120112412023-08-16T06:18:34Z2023-08-16T06:18:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74801This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/748012023-08-16T06:18:34ZPENYELESAIAN SENGKETA SERTIFIKAT GANDA OLEH
PTUN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
(Studi Putusan Nomor: 34/G/2021/PTUN-BL) Perselisihan tentang penerbitan sertifikat ganda terjadi di jalan Nusantara Labuhan
Ratu Raya dimana tanah tersebut telah diklaim secara sepihak dengan adanya
plang bertuliskan Tanah ini milik Bp. Adi Sucipto. Yang mana klaim tanah itu
tidak mengikuti aturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
dimana merugikan Penggugat karena kehilangan hak memiliki objek tanah.
Permasalahan seperti bagaimana penyelesaian sertifikat ganda nomor 1060, 55
dan 54, oleh Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung Dan Bagaimanakah
penyelesaian sengketa sertifikat ganda Nomor 1060, 55 dan 54 pada Putusan
Nomor:34/G/2021/PTUN-BL, Pengadilan Tata Usaha Negara, , Bandar Lampung.
Tesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris,
yaitu penelitian hukum memandang dari segi ilmu hukum. Sedangkan penelitian
empiris merupakan suatu metode yang dilakukan dengan bentuk wawancara.
Hasil penelitian dan pembahasan terlebih dahulu, penyelesaian sengketa pada
kantor pertanahan perihal penyelesaian sertifikat ganda surat hak milik nomor
1060, 55 dan 54 pada kantor pertanahan, telah dilakukannya upaya keberatan dan
mediasi oleh Penggugat tidak menemukan kesepakatan, dikarenakan saat ploting
terjadi perbedaan dan juga bergeser objek tanah milik Penggugat. Kedua,
berdasarkan peraturan perundang-undangan tindakan Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kota Bandar Lampung dalam menerbitkan sertifikat hak milik
No.1060/Kel Labuhan Ratu Raya dengan surat ukur Nomor 1279 tahun 2018,
kesalahan yang dilaporkan dalam hukum administrasi, khususnya kesalahan
prosedural dan informasi hukum dan fisik yang salah, oleh karenanya Dewan
hakim menyatakan batal terhadap sertifikat kepemilikan ganda yang diterbitkan
oleh BPN Kota Bandar Lampung.
Penulis memberikan saran kepada masyarakat Kota Bandar Lampung untuk
memantau tanah miliknya di aplikasi sentuh tanahku.
Kata Kunci: BPN Kota Bandar Lampung, Hukum Administrasi Negara,Sertifikat Hak Milik Tanah Ganda.PANJAITAN YORDAN ARDIAN TARUNA 17520110662023-08-16T02:26:27Z2023-08-16T02:26:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74779This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/747792023-08-16T02:26:27ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA
TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PENIPUAN
(Studi Putusan Nomor 33-K/PMT-II/AD/VIII/2019) Tindak pidana penipuan dapat dilakukan oleh setiap subjek hukum persoon tidak
terkecuali oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI),
penipuan sesama anggota TNI termasuk kedalam tindak pidana militer murni atau
zuivermilitairedelict dengan objek hukum pada penelitian ini adalah
penyalahgunaan fungsi dan kewenangan. Menyalahi fungsi dan kewenangan
merupakan pemenuhan unsur mens rea serta terpenuhinya unsur tindak pidana
penipuan merupakan pemenuhan unsur actus reus. Permasalahan yang diteliti
oleh penulis adalah mengenai bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap
anggota TNI yang melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan putusan Nomor
33-K/PMT-II/AD/VIII/2019 dan bagaimanakah penerapan hukum disiplin
terhadap anggota TNI sebagai bentuk sanksi pelanggaran etik.
Pendekatan masalah pada penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari hakim
militer, polisi militer dan dosen fakultas hukum bagian pidana Universitas
Lampung. Sumber data primer berupa wawancara narasumber Interview
Approach dan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan Library Approach
serta studi lapangan Case Approach, jenis data terbagi menjadi primer, sekunder
dan tersier yang kemudian di analisis.
Hasil dari penelitian dan pembahasan ini adalah, pertanggungjawaban pidana
terhadap delik penipuan oleh anggota perwira TNI dikenakan sanksi pidana pokok
penipuan pasal 378 KUHP dengan pasal 126 KUHPM sebagai pemberat, pidana
tambahan berupa pencabutan hak untuk memasuki lingkungan TNI atau
pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai sanksi pelanggaran etik.
Ahmad Surya Pratama
Anggota TNI yang melanggar baik disiplin maupun pidana ringan yang ancaman
hukumannya kurang dari 3 bulan, hukum disiplin militer dalam pengadilan militer
akan disebut dengan sebagai hukuman tambahan yang dapat berupa pencabutan
hak-hak tertentu, demosi hingga pemecatan dinas militer. Penjatuhan hukuman
tambahan dipengaruhi oleh pangkat, jabatan, bentuk tindak pidana dan dampak
yang timbul.
Saran yang diberikan pada penelitian ini adalah bahwa pertanggungjawaban
pidana tindak pidana penipuan tidak hanya dititikberatkan kepada subjek hukum
persoon sebagai anggota TNI saja melainkan juga menitikberatkan objek hukum
serta bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan
mempertimbangkan pemenuhan unsur pasal 65 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI
perwujudan prinsip persamaan dalam hukum atau equality before the law.
Kata Kunci: TNI, Pertanggungjawaban Pidana, Penipuan, Hukum Disiplin.
The crime of fraud can be committed by any legal subject, including soldiers of
the Indonesian National Armed Forces (hereinafter referred to as the TNI). Fraud
by members of the TNI is purely a military crime or zuivermilitairedelict. The
legal object in this study is the abuse of function and authority. Violation of
functions and authorities is the fulfillment of the mens rea element and the
fulfillment of the crime of fraud is the fulfillment of the actus reus element. The
problem that the author examines is how criminal responsibility is for TNI
members who commit criminal acts of fraud based on decision Number 33K/PMT-II/AD/VIII/2019
and
how
disciplinary
law
is applied to members. TNI as
a form of sanction for ethical violations.
The problem approach in this study uses a normative juridical and empirical
juridical approach. The informants in this study consisted of military judges,
military police and law faculty lecturers at the Criminal Section of the University
of Lampung. The primary data source is in the form of Interview Approach to
informants and the secondary data source is in the form of Literature Study
Approach and Field Study Case Approach, the type of data is divided into
primary, secondary and tertiary which are then analyzed.
The results of this research and discussion are that criminal responsibility for
criminal acts of fraud committed by members of the TNI officers is subject to the
main criminal sanctions for fraud under Article 378 of the Criminal Code with
article 126 of the Criminal Code as ballast, additional punishment in the form of
revocation of the right to enter the TNI environment or dishonorable dismissal
(PTDH ) as a sanction for ethical violations.
Ahmad Surya Pratama
Members of the TNI who commit both disciplinary and minor criminal offenses
whose sentences are less than 3 months, military discipline law in a military court
will be referred to as an additional punishment which can be in the form of
revocation of certain rights, demotion to dismissal from military service.
Additional criminal sentences are influenced by rank, position, form of
punishment and the resulting impact.
for fraud is not only focused on the legal subject of people as members of the TNI,
but also focuses on the legal object and the form of crime committed by TNI
soldiers by taking into account the fulfillment of the elements of article 65
paragraph 2 and paragraph 3 UU. TNI is the embodiment of the principle of
equality before the law.
Keywords: TNI, Criminal Liability, Fraud, Legal Discipline.
Surya Pratama Ahmad 19120112582023-08-14T07:31:18Z2023-08-14T07:31:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74638This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/746382023-08-14T07:31:18ZPERAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
(Studi di Kejaksaan Negeri Lampung Barat)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis peran kejaksaan dalam
penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan Restorative Justice khususnya
Kejaksaan Negeri Lampung Barat. Pada 20 Oktober 2022 telah terjadi perkara
kelalaian yang menyebabkan kematian di Pekon Tugu Ratu, Kabupaten Lampung
Barat. Perkara ini diselesaikan oleh Kejaksaan Negeri Lampung Barat melalui
pendekatan Restorative Justice. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Peran
Kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan Restorative
Justice serta mengetahui faktor yang menjadi penghambat dalam penyelesaian
perkara pidana melalui pendekatan Restorative Justice. Dalam melakukan analisa
hukum, peneliti menggunakan teori peran dan teori restorative justice.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis
empiris dengan cara meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara
langsung. Sumber dan jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak
yang menjadi narasumber yaitu Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung Barat,
Polisi pada Kepolisian Resor Lampung Barat serta Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode pengumpulan data melalui studi
kepustakaan dan studi lapangan dengan pengolahan data melalui pengumpulan,
klasifikasi dan sistematisasi data. Analisis data yang digunakan adalah analisis
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kejaksaan dalam penyelesaian perkara
pidana melalui pendekatan restorative justice salah satunya adalah peran faktual.
Peran Faktual tersebut telah dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Lampung Barat
yakni penerapan restorative justice dalam rangka penyelesaian perkara pidana telah
dilaksanakan dengan baik dan berjalan lancar contohnya adalah perkara kelalaian
yang menyebabkan kematian pada 20 Oktober di Pekon Tugu Ratu. Selain itu, dari
Nofal Aditama
hasil analisa menunjukkan bahwa kelima faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum menurut Soerjono Soekanto tidak semuanya menghambat peran kejaksaan
dalam penyelesaian perkara pidana dengan penerapan restorative justice. Faktor
yang paling menghambat peran kejaksaan dalam penerapan restorative justice
adalah faktor kebudayaan. Karena Masyarakat di wilayah hukum Kejaksaan negeri
Lampung Barat menjunjung tinggi nilai piil pussanggiri, yakni pandangan hidup
masyarakat.
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini yaitu pemberian pemahaman
kepada masyarakat mengenai konsep restorative justice guna meningkatkan
pengetahuan serta meyakinkan masyarakat mengenai penyelesaian perkara pidana
melalui pendekatan restorative justice serta dilakukan optimalisasi penyelesaian
perkara pidana melalui pendekatan restorative justice oleh pihak Kejaksaan Negeri
Lampung Barat.
Kata kunci: Peran, Kejaksaan, Perkara Pidana, Restorative Justice
ADITAMA NOFAL1952011052 2023-08-14T04:11:33Z2023-08-14T04:11:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74689This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/746892023-08-14T04:11:33ZANALISIS PERAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN DAN
PENGELOLAAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) Kejaksaan adalah lembaga negara yang berwenang melimpahkan perkara pidana,
menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan melaksanakan penetapan dan
putusan hakim pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari kejaksaan yang
membedakan dengan badan-badan penegak hukum lain. Jaksa memiliki
wewenang untuk mengeksekusi benda sitaan dan rampasan negara dari hasil
tindak pidana korupsi untuk kepentingan negara. Lembaga Kejaksaan RI juga
berperan dalam melakukan pengelolaan aset berupa benda sitaan dan barang
rampasan tersebut. Benda sitaan dan rampasan negara dari hasil tindak pidana
korupsi mengalami peningkatan jumlah yang cukup signifikan, akibatnya
Kejaksaan mengalami kesulitan untuk memlihara dan menyimpannya dengan
baik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penanganan dan
pengelolaan aset hasil tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung dan apakah faktor-faktor penghambat dalam penanganan dan
pengelolaan aset hasil tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan data yang dilakukan melalui
studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan kejaksaan dalam melakukan
pengelolaan aset hasil tindak pidana korupsi berupa benda sitaan dan barang
rampasan yang disimpan di Kejaksaan yang diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor:
PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, memuat
dibentuknya Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan yang berasal
dari tindak pidana umum dan pidana khusus.
Kejaksaan diharapkan dapat melaksanakan dengan baik dalam memelihara dan
mengelola aset hasil tindak pidana korupsi berupa benda sitaan dan barang
rampasan agar tetap bernilai sebagai bentuk pengembalian kekayaan negara.
Faktor-faktor yang menghambat Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam
mengelola aset hasil tindak pidana korupsi berupa benda sitaan dan barang
rampasan, yaitu keterbatasan sarana atau fasilitas kejaksaan sebagai tempat
penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan, kemudian tidak adanya
sosialisasi dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam mengumumkan barangbarang
rampasan yang akan dilelang kepada masyarakat dan hasil lelang tidak
mencapai target yang optimal sehingga negara bisa mengalami kerugian
dikarenakan berkurangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Saran dari penelitian ini adalah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung perlu
mengusulkan anggaran biaya untuk menambah bangunan gedung atau gudang
khusus yang baru sebagai tempat penyimpanan aset hasil korupsi berupa benda
sitaan dan barang rampasan di kejaksaan. Kemudian Kejaksaan seharusnya
memperkuat kerjasama Bersama Kementerian Keuangan untuk melakukan
penghibahan benda sitaan dan barang rampasan yang belum berhasil dilelang
kepada instansi pemerintah yang membutuhkan didaerah Bandar Lampung. Selain
itu, Kejaksaan bisa membuat sebuah badan administrasi internal baru yang khusus
mengurusi kegiatan administrasi lelang terhadap barang rampasan hasil tindak
pidana korupsi.
Kata Kunci : Pengelolaan Aset, Korupsi, Kejaksaan
WENNY RIZA ARIANI1912011176 2023-08-11T01:50:37Z2023-08-11T01:50:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74466This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/744662023-08-11T01:50:37ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK YANG TERJADI DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kabupaten Lampung Tengah)Kejahatan persetubuhan terhadap anak menimbulkan keresahan di dalam masyarakat dan juga dapat mempengaruhi proses pertumbuhan anak karena mengalami trauma yang sangat besar. Namun realitanya, keadaan atau masalah yang terjadi saat ini keluarga sebagai pelindung dan pemelihara tidak lagi benar namun telah menyimpang dari norma-norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian permasalahan yang penulis angkat adalah apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan persetubuhan yang terjadi di dalam rumah tangga dan bagaimana upaya penanggulangan kejahatan persetubuhan yang terjadi di dalam rumah tangga.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang faktor yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan persetubuhan terhadap anak di lingkup rumah tangga dan penanggulangan yang dilakukan Kepolisian Resor Lampung Tengah dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lampung Tengah dalam mencegah kejahatan persetubuhan terhadap anak di lingkup rumah tangga.
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Adapun sumber data yang digunakan adalah hasil dari wawancara dengan informan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, serta data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan lainnya dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya persetubuhan terhadap anak dalam lingkup rumah tangga yaitu faktor kejiwaan (psikologis), faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor lingkungan dan tempat tinggal, serta faktor minuman keras (alkoholisme). Sementara upaya penanggulangan yang dilakukan yakni memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang perlindungan anak agar lebih waspada terhadap kejahatan yang terjadi pada anak, selain itu juga bekerjasama dengan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Upaya penanggulangan berupa upaya penegakan hukum dan upaya pencegahan yaitu kerjasama yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Lampung Tengah dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lampung Tengah dengan pihak masyarakat perlu dimaksimalkan dan dilakukan secara merata disetiap kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah.
Kata Kunci: Kriminologis, Persetubuhan, Anak, Rumah Tangga.
Silaban Hana Joselina19120110952023-08-10T08:05:17Z2023-08-10T08:05:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74439This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/744392023-08-10T08:05:17ZANALISIS DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN HAKIM
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG
(Studi Putusan Nomor: 32/Pid.B/2020/PN Liw
dan 73/Pid.B/2019/PN Liw)
Pemalsuan uang merupakan tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakat.
Namun, dalam proses pemutusan perkara tindak pidana pemalsuan uang terdapat
kemungkinan terjadinya disparitas pidana dalam putusan hakim. Disparitas pidana
dapat didefinisikan sebagai penerapan pemidanaan yang tidak sama terhadap tindak
pidana yang sama. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penjatuhan putusan hakim
kepada terdakwa pada Putusan Nomor 73/Pid.B/2019/PN yang mengedarkan
dan/atau membelanjakan uang palsu lebih sedikit akan tetapi dipidana lebih lama
dari Putusan Nomor 32/Pid.B/2020/PN Liw yang mengedarkan dan/atau
membelanjakan uang palsu lebih banyak. Oleh karenanya menarik untuk
mengetahui serta menganalisa bagaimana disparitas pidana terhadap pelaku tindak
pidana pemalsuan uang dapat terjadi dan bagaimana pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan ini.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis normatif. Sumber dan jenis
data antara lain terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak yang menjadi
narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa kelas II dan Dosen Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah studi kepustakaan. Analisis data
yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas pemidanaan terjadi karena faktor
dari hakim. Hakim memiliki kebebasan dalam memutus suatu perkara dan tidak
adanya pedoman pemidanaan. Dan faktor dari terdakwa, yaitu latar belakang
terdakwa, alasan terdakwa melakukan tindak pidana dan keadaan sosial ekonomi
terdakwa. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan
hakim pada putusan Nomor 32/Pid.B/2020/PN Liw dan 73/Pid.B/2019/PN Liw
didasari atas pertimbangan yuridis, yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan
padak fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan. Sedangkan
pertimbangan non yuridis, yaitu didasari oleh hal-hal yang meringankan atau
M. Hafidz Sufi S
memberatkan terdakwa, motif dan tujuan terdakwa melakukan tindak pidana
pemalsuan uang dan keadaan sosial dan ekonomi terdakwa.
Berdasarkan penelitian ini sangat diharapkan hakim dapat diberikan pedoman
dalam pemidanaan khususnya pada tindak pidana pemalsuan uang dan diharapkan
dapat meminimalisir disparitas pidana dalam putusan hakim agar kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan tidak pudar serta agar tidak terjadi keadaan
dimana peradilan tidak lagi dipercaya sebagai tempat mencari keadilan bagi
masyarakat.
Kata kunci: Disparitas Pemidanaan, Pemalsuan Uang, Dasar Pertimbangan
Hakim
MUHAMMAD HAFIDZ SUFI SATRIA18120111492023-08-10T07:22:37Z2023-08-10T07:22:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74422This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/744222023-08-10T07:22:37ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PENGANGKUTAN BAHAN
BAKAR SUBSIDI SECARA ILEGAL
(Studi Putusan No. 825/Pid.Sus/2020/PN Tjk)ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR SUBSIDI SECARA
ILEGAL (Studi Putusan No. 825/Pid,Sus/2020/PN Tjk)
Pengangkutan bahan bakar merupakan suatu kegiatan yang diatur dalam UndangUndang
Minyak dan Gas Bumi. Dalam pelaksanaannya, pengangkutan bahan
bakar dilakukan secara ilegal, adapun salah satu perkara terkait dengan
pengangkutan bahan bakar secara ilegal ialah perkara yang diputus oleh
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1 A dengan putusan No.
825/Pid.Sus/2020/PN Tjk dengan Terdakwa bernama Marta Dinata bin Jaru Muda
Maulana. Terdakwa melakukan pengangkutan bahan bakar subsidi tanpa adanya
surat izin pengangkutan dan berniaga dari pemerintah. Permasalahan dalam
penelitian ini terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana pengangkutan bahan bakar bersubsidi secara illegal berdasarkan Putusan
No. 825/Pid.Sus/2020/PN Tjk dan juga dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pengangkutan bahan bakar
bersubsidi secara illegal berdasarkan Putusan No. 825/Pid.Sus/2020/PN Tjk.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Jenis data
menggunakan data sekunder. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah
analisis data kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku tindak pidana pengangkutan bahan bakar bersubsidi secara
illegal berdasarkan putusan No. 825/Pid.Sus/2020/PN Tjk dengan Terdakwa
Marta Dinata bin Jaru Muda Maulana telah terbukti melanggar Pasal 55 UndangUndang
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam hal ini
Terdakwa telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana dengan adanya
perbuatan pidana, adanya kesengajaan atau culpa, adanya kemampuan
bertanggungjawab, tidak adanya unsur alasan pemaaf dan unsur penghapus pidana
sesuai dengan keberadaan Terdakwa, sehingga dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana. Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam
menjatuhkan putusan ini menggunakan pendekatan teori Ratio Decidendi yakni
telah mempertimbangkan berdasarkan aspek yuridis dengan dakwaan jaksa
penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti dan
Roy Bastanta Meliala
pasal yang didakwakan, lalu berdasarkan aspek non-yuridis yang dilihat dari hal yang
memberatkan yaitu perbuatan Terdakwa secara sah melawan hukum sedangkan hal yang
meringankan yaitu Terdakwa mengakui terus terang atas perbuatannya dan bersikap
sopan dalam persidangan dan dilihat dari latar belakang Terdakwa.
Saran penelitian ini adalah hakim diharapkan dapat mempertimbangkan faktor
atau hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seorang pelaku, dalam hal ini
diharapkan lebih melihat keseimbangan dari semua aspek seperti aspek yuridis
dan non-yuridis berupa filosofis dan sosiologis seorang pelaku, sehingga dapat
menciptakan bentuk putusan yang benar-benar adil, bermanfaat dan mewujudkan
adanya kepastian hukum. Selanjutnya agar hakim dalam menjatuhkan pidana
harus mempertimbangkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam
penjatuhan tindak pidana tersebut dapat sesuai dengan tujuan pemidanaan. Tujuan
yakni untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan Hakim dalam
menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa harus lebih tegas, adil, dan bijaksana
tanpa adanya intervensi manapun.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku Pengangkutan Bahan
Bakar, Ilegal Bastanta Meliala Roy 19420110072023-08-09T06:46:27Z2023-08-09T06:46:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74385This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/743852023-08-09T06:46:27ZKAJIAN KRIMINOLOGIS PENANGGULANGAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA (Studi Kasus di Kabupaten Pringsewu)Kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan keluarga merupakan permasalahan yang terus terjadi. Anak yang seharusnya merasakan perlindungan dan kasih sayang justru menjadi korban dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan orang terdekat. Keluarga sebagai lingkungan terpenting bagi perkembangan individu seharusnya menjadi tempat yang aman, namun realitas yang mengerikan ini menimbulkan dampak sosial dan psikologis yang serius pada korban. Permasalahan penelitian ini adalah apakah faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan keluarga serta bagaimanakah upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan keluarga.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk mempelajari aspek teoritis dan pendekatan yuridis empiris untuk mempelajari fakta di lapangan. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, dan analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan keluarga yaitu faktor internal (psikologis individu) dan faktor eksternal (faktor pendidikan, ekonomi, lingkungan atau tempat tinggal, kurangnya pemahaman hukum, peranan korban, minuman keras, teknologi, dan kurangnya kebutuhan biologis). Upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan keluarga yakni melakukan sosialisasi, Penguatan Peran Keluarga, memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat dan melakukan penyelidikan maupun penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Adapun saran yang diberikan yaitu adanya kerjasama yang efektif antara keluarga, pihak kepolisian, lembaga sosial yang menangani perlindungan anak, dan seluruh komponen masyarakat di Kabupaten Pringsewu. Dengan menjalankan upaya baik jalur non-penal (preventif) maupun penal (represif) secara bersama-sama dan bersinergi, diharapkan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Pringsewu dapat ditangani dengan baik.
Kata kunci : Kriminologis, Kekerasan Seksual Anak, Lingkungan Keluarga.Efrianti Melia NPM19120111092023-08-08T01:52:30Z2023-08-08T01:52:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74257This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/742572023-08-08T01:52:30ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM ATAS PUTUSAN BEBAS
(VRIJSPRAAK) PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG
DILAKUKAN ANGGOTA KEPOLISIAN
(Putusan No. 184/Pid.Sus/2019/PN Bta)
Putusan bebas khususnya dalam kasus narkotika selalu menjadi hal yang
kontroversial dalam masyarakat, karena seorang pelaku dalam tindak pidana
narkotika merupakan seseorang yang dipandang tercela. Kejahatan narkoba
merupakan kejahatan yang sangat rentan karena menyangkut masa depan generasi
penerus Indonesia, sehingga di mata masyarakat Indonesia kejahatan narkoba
tergolong kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, hakim sebagai penopang sistem
peradilan pidana harus mengambil keputusan secara hati-hati dan bijaksana.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris, tipe penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum deskriptif. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kulitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa hakim dalam putusannya
dapat mengkategorikan perbuatan terdakwa sebagai tindak pidana
penyalahgunaan narkotika meskipun pada surat dakwaannya tidak didakwakan
oleh penuntut umum. Hakim dalam memberikan putusan bebas tidak memenuhi
rasa keadilan. Karena dasar-dasar pertimbangan hakim dinilai kurang kuat dan
hakim seharusnya dapat mengkategorikan perbuatan terdakwa tersebut dalam
penyalahguna berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017
Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Bahwa dari
sini penulis melihat bahwa hakim sendiri tidak cukup serius dalam menangani
perkara ini dan memerangi narkotika. Serta berdasarkan analisis penulis
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusannya
dinilai tidak tepat jika melihat fakta-fakta hukum yang ada di persidangan.
Kata Kunci : Putusan Bebas, Pertimbangan Hakim, Keadilan
Acquittal, especially in narcotics cases, has always been a controversial matter in
society, because an actor in a narcotics crime is someone who is seen as
disgraceful. Drug crime is a crime that is very vulnerable because it involves the
future of Indonesia's next generation, so that in the eyes of the Indonesian people,
drug crime is classified as an extraordinary crime. Therefore, judges as the pillars
of the criminal justice system must make decisions carefully and wisely.
This type of research is empirical juridical legal research. The type of research
used in this research is descriptive legal research. The data obtained were then
analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that the judge in his decision can
categorize the defendant's actions as a crime of narcotics abuse even though the
public prosecutor was not charged with the indictment. The judge in giving the
acquittal did not fulfill the sense of justice. Because the basis for the judge's
considerations was considered to be insufficient and the judge should have been
able to categorize the defendant's actions as an abuser based on the Supreme
Court Circular Number 1 of 2017 concerning the Enforcement of the Formulation
of the Results of the 2017 Supreme Court Chamber Plenary Meeting as a
Guideline for the Implementation of Duties for the Court. That from this the
author sees that the judge himself is not serious enough in handling this case and
fighting against narcotics. And based on the author's analysis, the judge's
consideration in passing a decision on the criminal act of narcotics abuse
committed by members of the police is considered inappropriate if you look at the
legal facts at trial.
Keywords : Acquittal, Consideration, Justice
Tiyas Akbar Chair 19520110092023-08-07T06:52:14Z2023-08-07T06:52:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74179This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/741792023-08-07T06:52:14ZANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PERAN JUSTICE
COLLABORATOR OLEH PELAKU TINDAK PIDANA PORNOGRAFI
KEPADA PIHAK KEPOLISIAN
Saat ini perkembangan teknologi informasi menjadi sarana untuk melakukan
perbuatan tindak pidana yang sering kali melanggar norma-norma, salah satu contoh
yaitu banyaknya kasus penyebaran konten asusila berupa gambar maupun video. Pada
saat sekarang ini banyak sekali konten bermuatan pornografi yang beredar di internet,
salah satunya onlyfans. Salah satu konten kreator onlyfans asal Indonesia adalah
mahasiswi bernama Dea Ayu Dewanti alias “Dea Onlyfans”. Dea sendiri saat ini
sudah ditangkap oleh polisi dan ditetapkan sebagai tersangka atas penyebaran konten
pornografi. Dea pun bersedia mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk
membantu pihak kepolisian memberantas kasus-kasus serupa. Berdasarkan latar
belakang tersebut, timbul persoalan mengenai bagaimanakah tindak lanjut
permohonan peran justice collaborator oleh pelaku tindak pidana pornografi kepada
pihak kepolisian serta apakah yang menjadi faktor penghambat dalam permohonan
peran justice collaborator oleh pelaku tindak pidana pornografi kepada pihak
kepolisian.
Penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode penelitian hukum normatifempiris
dengan
cara
menganalisis
peraturan
perundang-undangan
serta
bahan
bukum
sekunder
dengan pendekatan kualitatif yang akan menghasilkan data desktriptif
dengan cara mengumpulkan data di lapangan dan mengkajinya dengan asas-asas dan
norma hukum yang berkaitan dengan permohonan peran justice collaborator oleh
pelaku tindak pidana pornografi kepada pihak kepolisian. Para pihak yang terlibat
sebagai narasumber di dalam penelitian ini terdiri dari Penyidik pada Ditreskrimsus
Polda Metro Jaya DKI Jakarta dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa permohonan peran justice collaborator oleh
pelaku tindak pidana pornografi kepada pihak kepolisian belum berhasil dikarenakan
terjadinya miskomunikasi antara kuasa hukum Dea yang menekan kepolisian untuk
Daffa Yudhistira
memberikan status justice collaborator kepada kliennya, padahal penerapan peran
justice collaborator hanya dapat diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) bukan oleh kepolisian. Sehingga permohonan peran justice
collaborator oleh pelaku tindak pidana pornografi kepada pihak kepolisian tidak
dapat terlaksana karena belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan peran normatif dan peran ideal belum berperan secara
keseluruhan karena kewajiban penegakan hukum dalam menjalankan tugasnya belum
berjalan secara total enforcement. Kemudian penerapan pada peran faktual belum
dapat dicapai karena fakta yang terjadi di lapangan belum melibatkan peran justice
collaborator dalam mengungkap tindak pidana pornografi. Selanjutnya faktor
penghambat dalam permohonan peran justice collaborator oleh pelaku tindak pidana
pornografi kepada kepolisian yang paling dominan ialah terletak pada faktor
hukumnya yaitu belum ada peraturan perundang-undangan yang tegas untuk dapat
mempersingkat pemberian status justice collaborator. Mengingat eksistensi justice
collaborator dalam membantu penanganan perkara suatu tindak pidana dibutuhkan
model persuasif yang bersifat menyeluruh atas perlindungan kepada justice
collaborator. Oleh karena itu, pada perlindungannya melibatkan semua komponen
sistem peradilan pidana yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
LPSK.
Adapun saran yang diberikan penulis adalah perlunya aturan yang mengatur lebih
lanjut mengenai justice collaborator guna memberikan pedoman untuk seluruh aparat
penegak hukum dan perlindungan hukum kepada saksi pelaku yang bekerja sama.
Serta diperlukan sumber daya manusia yang lebih terampil dalam memahami
mengenai hukum pidana agar dapat menangani suatu perkara pidana dengan lebih
efektif dan efesien.
Kata Kunci: Justice Collaborator, Pembuktian, Pornografi
Currently, the development of information technology is a means to commit
criminal acts that often violate norms, one example is the many cases of spreading
immoral content in the form of images or videos. At the present time there is a lot
of pornographic content circulating on the internet, one of which is onlyfans. One
of the onlyfans creator content from Indonesia is a student named Dea Ayu Dewanti
alias “Dea Onlyfans”. Dea himself has now been arrested by the police and named
as a suspect for spreading pornographic content. Dea was also willing to volunteer
as a justice collaborator to help the police eradicate similar cases. Based on this
background, the issue arises regarding how to follow up on the application for the
role of justice collaborator by the perpetrator of the criminal act of pornography
to the police and what are the inhibiting factors in the application for the role of
justice collaborator by the perpetrator of the criminal act of pornography to the
police.
In writing this thesis, the writer will use the normative-empirical legal research
method by analyzing laws and regulations as well as secondary book materials with
a qualitative approach which will produce descriptive data by collecting data in
the field and studying it based on legal principles and norms related to the
application. the role of justice collaborators by perpetrators of pornographic
crimes against the police. The parties involved as resource persons in this study
consisted of investigators at the Jakarta Metro Jaya Regional Police Criminal
Investigation Directorate and Lecturers of the Criminal Law Department at the
Faculty of Law, University of Lampung.
The results of the study explain that the application for the role of justice
collaborator by the perpetrators of pornographic crimes to the police has not been
successful due to a miscommunication between Dea's attorneys who pressured the
police to grant justice collaborator status to their clients, even though the \
Daffa Yudhistira
implementation of the role of justice collaborator can only be granted by the
Witness and Victim Protection Agency. (LPSK) not by the police. So that the
application for the role of justice collaborator by the perpetrators of pornographic
crimes to the police cannot be carried out because it is not in accordance with the
applicable laws and regulations. Meanwhile, the normative role and the ideal role
have not played a full role because the obligation of law enforcement in carrying
out their duties has not been carried out in total enforcement. Then the application
of factual roles cannot be achieved because the facts that occur in the field do not
involve the role of justice collaborators in uncovering pornographic crimes.
Furthermore, the inhibiting factor in applying for the role of justice collaborator
by perpetrators of pornographic crimes to the police is that the most dominant lies
in the legal factor, namely that there are no strict laws and regulations to be able
to shorten the granting of justice collaborator status. Given the existence of justice
collaborators in assisting the handling of cases of a crime, a comprehensive
persuasive model is needed for the protection of justice collaborators. Therefore,
protection involves all components of the criminal justice system consisting of the
police, prosecutors, courts and LPSK.
The advice given by the author is the need for further regulations regarding justice
collaborators in order to provide guidelines for all law enforcement officials and
legal protection for witness witnesses who work together. It also requires human
resources who are more skilled in understanding criminal law in order to be able
to handle a criminal case more effectively and efficiently.
Keywords: Justice Collaborator, Proof, Pornography Yudhistira Daffa1912011260 2023-08-07T06:14:03Z2023-08-07T06:14:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74174This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/741742023-08-07T06:14:03ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN
SECARA BERSAMA-SAMA
(Studi Putusan PN No 368/Pid.B/2022/PN Jkt.Pst) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama dan apakah putusan yang
diberikan para pelaku sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat (Studi
Putusan Nomor 368/Pid.B/2022/PN Jkt.Pst).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara mendalam bagaimana
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan dan
apakah putusan yang diberikan sudah memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat, oleh karena itu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah pendekatan normatif empiris. Narasumber dalam penelitian ini terdiri
dari Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Akademisi Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa setelah
mendengarkan keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta hukum dalam
persidangan serta berdasarkan Pertimbangan Hakim, seluruh Terdakwa divonis
penjara masing-masing selama 8 (delapan) bulan, sebab unsur telah terbukti
secara sah dan meyakinkan. Selain itu, Putusan Nomor. 368/Pid.B/2022/PN
Jkt.Pst sudah memenuhi rasa keadilan karena Majelis Hakim sudah
mempertimbangan dan menetapkan secara seksama dalam mengeluarkan
putusan ini.
pertanggungjawabannya berbeda-beda tiap pelaku, akan tetapi dalam
putusan ini majelis hakim beranggapan harus memberikan perlakuan yang
sama kepada semua terdakwa. Majelis Hakim memberikan putusan yang sama
karena
para terdakwa telah melakukan mediasi kepada pihak korban dan pihak korban
memaafkan.
Saran dalam penelitian ini adalah kepada Majelis Hakim dalam memutus
perkara tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama
memutus dengan seadil-adilnya. Agar masyarakat tidak mudah terpancing
melakukan aksi tindak pidana penganiayaan dan tidak terpancing main hakim
sendiri.
Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, pelaku penganiayaan,
penyertaan
Aronta Edo1942011008 2023-08-07T04:15:43Z2023-08-07T04:15:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74168This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/741682023-08-07T04:15:43ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP RESIDIVIS PELAKU
PENCURIAN SEPEDA MOTOR
(Studi Kasus Polres Metro )Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Berdasarkan data terbaru di tahun 2022 kejahatan pencurian yang terjadi di Kota
Metro sebanyak 152 kasus. Pelaku pencurian sepeda motor di Kota Metro ketika
selesai menjalani hukuman seringkali mengulangi perbuatannya kembali atau biasa
disebut dengan residivis. Residivis pelaku pencurian dapat dikaji dalam sudut
pandang kriminologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab
terjadinya pencurian sepeda motor di Kota Metro yang dilakukan oleh pelaku
residivis, serta upaya penanggulangannya.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Narasumber pada penelitian ini
adalah dari pihak Kepolisian Resor Kota Metro, Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu
Sosial Ilmu Politik Universitas Lampung, Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Metro,
Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Metro, dan Tokoh Masyarakat.
Hasil penelitian dan pembahasan yaitu mengenai penyebab pelaku residivis
melakukan pengulangan tindak pidana pencurian sepeda motor yang disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama faktor ekonomi, faktor ekonomi yang diakibatkan
sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang tetap,faktor lingkungan
yang diakibatkan pergaulan dalam lingkungan yang tidak sehat dan buruk baik
sebelum keluar dalam masa hukuman maupun setelah selsai menjalani hukuman
dan kembali lagi dalam lingkungan masyarakat, dan faktor stigmatisasi sosial. Dan
upaya penanggulangan kejahatan pencurian yang ada di kota Metro yaitu upaya
preventif dan upaya represif yang dilakukan dari pihak kepolisian kota Metro
maupun pihak-pihak terkait lainnya.Desi Anisa Putri
Saran dari penelitian ini adalah memberikan lapangan pekerjaan bagi para
narapidana untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sehari- hari, serta
dukungan dari semua pihak yang terkait. Dan mengenai upaya penganggulangan
kejahatan pencurian sepeda motor di Kota Metro baik yang dilakukan oleh pihak
kepolisian maupun pihak-pihak terkait yaitu upaya preventif dan represif lebih
dimaksimalkan guna meminimalisir terjadinya kejahatan pencurian sepeda motor.
Kata Kunci : Analisis Kriminologis, Pencurian, Residivis , Sepeda MotorAnisa Putri Desi 19120110062023-08-04T07:10:37Z2023-08-04T07:10:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74098This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740982023-08-04T07:10:37ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MODUS HIPNOTIS
(Studi Kasus Putusan Nomor 1513/Pid.B/2019/PN Jkt.Utr)Studi kasus yang akan dilakukan dalam skripsi ini adalah analisis terhadap putusan
Pengadilan Negeri Nomor: 1513/Pid.B/2019/PN Jkt.Utr yang melibatkan terdakwa
bernama Jefri Wardani bin Hamdani dalam kasus tindak pidana penggelapan. yang
telah melakukan penggelapan secara bersama-sama dengan pelaku lainnya, dalam
pelaksanaan penggelapan satu unit mobil Avanza tersebut ada campur tangan teman
terdakwa yang melakukan tipu muslihat. Tetapi dalam kasus ini terdakwa diadili
secara sendiri terlebih dahulu dikarenakan pelaku lainnya masih dalam pencarian
sehingga menjadi suatu isu hukum dimana terdakwa termasuk pelaku tindak pidana
Penggelapan atau tindak pidana Penipuan Berdasarkan hal tersebut maka perlu
dilakukan penelitian dengan permasalahan : Bagaimanakah pertimbangan majelis
hakim dalam memutus perkara tindak pidana penggelapan dengan modus hipnotis
dan apakah pertimbangan majelis hakim terhadap Kasus Putusan Nomor
1513/Pid.B/2019/PN Jakarta Utara sudah memenuhi rasa keadilan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang melibatkan analisis
terhadap perundang-undangan dan literatur terkait. Selain itu, metode yuridis
empiris juga digunakan dengan melakukan wawancara kepada narasumber yang
relevan. Narasumber yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri Kelas 1A Jakarta Utara dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pendekatan ini didukung oleh
pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan yang dilakukan secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian analisis pertimbangan hakim dalam putusan tindak
pidana penggelapan dengan modus hipnotis yang diatur dalam Pasal 372 KUHP
pada studi putusan PN Jakarta Utara No. 1513/Pid.B/2019/PN.Jkt.Utr dinilai telah
ideal dan memenuhi teori pertimbangan hakim baik pertimbangan yuridis dan
pertimbangan sosiologis karena unsur-unsur dari Pasal 372 KUHP terpenuhi.
Dalam kasus ini juga sudah memenuhi keadialn substrantif Hakim, sebagaiperwakilan tangan Tuhan, memberikan putusan kepada para terdakwa setelah
melalui proses musyawarah yang ditentukan dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya
Berdasarkan penjabaran di atas, saran yang dapat diberikan penulis dalam
penelitian ini adalah Kepada majelis hakim hendaknya dalam menangani perkara
tindak pidana penggelapan dengan modus hipnotis seharusnya tindak menjuto kan
William Paskah Yehezkiel
pasal 55 Tentang keikutsertaan kepada terdakwa dikarenakan para majelis hakim
sudah menggunakan sistem splitsing sehingga terdakwa seharusnya dikenakan
pasal 372 Tentang Penggelapan saja tanpa adanya junto kan dan juga hakim
seharusnya menambahkan pasal 408 KUHP Tentang Penadahan dilihat dari harga
jual mobil yang tidak masuk akal. Majelis Hakim seharusnya memberikan putusan
dengan mempertimbangkan secara maksimal agar putusan yang diberikan tidak
terlalu ringan. Hal ini penting mengingat ancaman pidana dalam Pasal 372 KUHP
tentang Penggelapan mencapai setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, sedangkan
putusan yang diberikan hanya 2 (dua) tahun karena yang dilakukan terdakwa sangat
kejam dimana penggelapan ini sudah diniatkan dan sudah direcnakan terlebih
dahulu.
Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Penggelapan, Hipnotis,YEHEZKIEL WILLIAMS PASKAH 19120113402023-08-04T01:32:16Z2023-08-04T01:32:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74050This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740502023-08-04T01:32:16ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENAMBANGAN BATU ANDESIT TANPA
IZIN USAHA (Studi Putusan Nomor: 547/
Pid.Sus/2022/PN.Tjk)
Setiap kegiatan usaha penambangan harus memiliki Izin sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UndangUndang
Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada
kenyataannya terdapat pelaku usaha yang melakukan penambangan batu andesit
tanpa izin usaha. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) apakah yang
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana penambangan batu andesit tanpa izin usaha dalam Putusan Nomor:
547/Pid.Sus/2022/PN.Tjk? (2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim pelaku tindak
pidana penambangan batu andesit tanpa izin usaha telah memenuhi aspek keadilan
substantif
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp.
1.000.000, 00 (satu juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan terhadap pelaku
tindak pidana penambangan batu andesit tanpa izin usaha dalam Putusan Nomor:
547/Pid.Sus/2022/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis, filosofis dan
sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu perbuatan terdakwa terbukti melanggar
Pasal 185 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UndangUndang
Nomor
4
Tahun
2009
Pertambangan
Mineral
dan
Batubara.
Pertimbangan
filosofis
yaitu hakim menilai bahwa pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk
menimbulkan efek jera pada pelakunya tetapi sebagai upaya pemidanaan terhadap
terdakwa agar terdakwa tidak mengulangi tindak pidana. Pertimbangan sosiologis
yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan
terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pengelolaan sumber daya
mineral dan batu bara, selain itu terdakwa juga telah menikmati hasil tindak pidana
Muhammad Andika Sentosa
yang dilakukannya, hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa bersikap sopan,
mengakui dan berterus terang di persidangan. Selain itu hakim mempertimbangkan
bahwa pidana yang dijatuhkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. (2)
Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana penambangan batu
andesit tanpa izin usaha belum memenuhi unsur keadilan, karena pidana pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000, 00 (satu juta
rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa
masih belum maksimal. Selain itu terdakwa cara terdakwa melakukan usaha
penambangan ilegal tersebut sudah cukup besar, yaitu dengan menyewa dua alat
berat jenis excavator, dengan nilai sewa sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah). penambangan tersebut menggunakan 2 (dua) alat berat yaitu Eksavator.
Selain itu batu andesit yang diperoleh dari penambangan ilegal tersebut mencapai
kurang lebih 50 M3/hari yang akan dijual kepada pembeli seharga Rp.80.000,00
sampai dengan Rp.85.000,00 per kubik. Kegiatan penambangan tanpa izin dapat
merusak lingkungan karena pelakunya dalam hal ini semata-mata hanya mencari
keuntungan tanpa mempedulikan kelestarian lingkungan, sehingga pidana yang
dijatuhkan idealnya lebih maksimal.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Majelis hakim yang yang menangani perkara
tindak pidana penambangan batu andesit tanpa izin usaha di masa yang akan datang,
agar dapat menjatuhkan pidana secara lebih maksimal, karena tindak pidana ini
selain berdampak pada kerugian negara/pemerintah akibat tidak adanya izin, juga
berdampak pada potensi terjadinya kerusakan lingkungan. (2) Kepada masyarakat
disarankan untuk melakukan kegiatan penambangan batu andesit secara legal
dengan melakukan izin usaha kepada pihak terkait. Hal ini penting untuk dilakukan
agar kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat dapat dilaksanakan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan dan tetap berada di dalam pengawasan dan
pembinaan pemerintah.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penambangan Batu Andesit, Izin Usaha
SENTOSA MUHAMMAD ANDIKA1952011049 2023-08-03T03:53:50Z2023-08-03T03:53:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74037This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740372023-08-03T03:53:50ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PEROMPAKAN
TERHADAP ORANG DAN BARANG DI ATAS KAPAL
DI WILAYAH PERAIRAN LAMPUNG
(Studi pada Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung)
Kejahatan perompakan merupakan kejahatan yang sangat meresahkan
masyarakat, khususnya para nelayan dan pelaku usaha di bidang perikanan atau
kelautan yang melintasi wilayah perairan, termasuk di wilayah perairan Provinsi
Lampung. Sehubungan dengan hal tersebut maka Direktorat Kepolisian Perairan
Polda Lampung melakukan upaya penanggulangan kejahatan perompakan
terhadap orang dan barang di atas kapal di wilayah perairan. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah upaya Direktorat Kepolisian Perairan Polda
Lampung dalam penanggulangan kejahatan perompakan terhadap orang dan
barang di atas kapal di wilayah perairan? Apakah faktor penghambat upaya
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung dalam penanggulangan kejahatan
perompakan terhadap orang dan barang di atas kapal di wilayah perairan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris di
Direktorat Polair Polda Lampung. Narasumber penelitian ini adalah Penyidik
Direktorat Polair Polda Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan upaya penanggulangan kejahatan perompakan
terhadap orang dan barang di atas kapal di wilayah perairan dilakukan oleh
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung melalui sarana non penal dan
penal. Upaya non penal dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi atau
penyuluhan kepada para nelayan agar tidak melakukan kejahatan perompakan
terhadap orang dan barang di atas kapal di wilayah perairan dan melakukan patroli
menggunakan sarana berupa kapal patroli yang berukuran kecil (Tipe C3) dalam
rangka mencegah terjadinya kejahatan perompakan terhadap orang dan barang di
atas kapal di wilayah perairan. Petugas dalam patroli ini segera melakukan
tindakan terhadap pelaku kejahatan perompakan terhadap orang dan barang di atas
kapal di wilayah perairan jika menemukan adanya dugaan kejahatan. Upaya penal
dilaksanakan dengan penyelidikan dan penyidikan, yaitu upaya penyidik
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat
M. Nalom Syah Alam
terang tentang kejahatan perompakan terhadap orang dan barang di atas kapal di
wilayah perairan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Faktor
penghambat upaya penanggulangan kejahatan perompakan terhadap orang dan
barang di atas kapal di wilayah perairan adalah faktor penegak hukum, yaitu
secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas masih
belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan. Faktor sarana dan prasarana,
yaitu kapal-kapal patroli yang dimiliki masuk dalam kategori kapal kecil (Tipe
C3), yang dikhususkan untuk sungai. Faktor masyarakat yaitu ketakutan dan
keengganan masyarakat dalam melaporkan kejahatan perompakan terhadap orang
dan barang di atas kapal di wilayah perairan kepada aparat penegak hukum.
Faktor paling dominan yang menjadi penghambat adalah faktor penegak hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah: Hendaknya upaya penanggulangan kejahatan
perompakan dioptimalkan oleh Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung
melalui sosialisasi kepada masyarakat dan nelayan serta meningkatkan patroli di
wilayah perairan. Hendaknya sarana dan prasarana penunjang penanggulangan
kejahatan perompakan ditingkatkan dengan pengadaan kapal-kapal patroli
berukuran sedang Tipe C2 dan kapal besar Tipe C1.
Kata Kunci: Penanggulangan, Kejahatan, Perompakan, Perairan.
SYAH ALAM M. NALOM1852011073 2023-08-02T08:25:55Z2023-08-02T08:25:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74028This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740282023-08-02T08:25:55ZUPAYA PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN PENCURIAN MOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK UPAYA PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN PENCURIAN MOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Pada Kepolisian Sektor Jabung Lampung Timur) Pencurian adalah pengambilan atau penyitaan dengan sengaja atas sesuatu untuk digunakan sendiri atau sekelompok orang, baik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Melihat beberapa kasus mengenai tindak pidana pencurian motor yang dilakukan oleh anak belum terlihat adanya peran maksimal yang dilakukan oleh penyidik sebagai aparat hukum dalam menanggulangi kejahatan pencurian motor. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah upaya penyidik dalam penanggulangan pencurian motor yang dilakukan oleh anak?, Apakah faktor yang menjadi penghambat upaya penyidik dalam penanggulangan pencurian motor yang dilakukan oleh anak? Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris narasumber pada penelitian ini terdiri dari Penyidik Polsek Jabung Lampung Timur, Kepala kecamatan Jabung Lampung Timur dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: upaya penyidik Polsek Jabung Lampung Timur dalam melakukan upaya penanggulangan pencurian motor yang dilakukan oleh anak yaitu dengan upaya non penal yang dilakukan oleh penyidik adalah dengan melakukan sosialisasi kepada anak, patroli berkeliling di daerah-daerah yang rawan terjadi pencurian sepeda motor, memberikan bimbingan kepada orang tua guna menumbuhkan kesadaran tentang pencurian motor yang dilakukan oleh anak, operasi penertiban kelengkapan kendaraan bermotor dan meningkatkan sistem keamanan lingkungan. Upaya penal yang dilakukan oleh penyidik adalah memberlakukan sanksi atau menindak pelaku yaitu anak yang melakukan tindak pidana pencurian motor di wilayah Polsek Jabung Lampung Timur sesuai dengan perbuatannya serta dengan usaha Yuli Susilowati untuk menekankan jumlah kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan dengan jalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan agar dikemudian hari tidak mengulangi kesalahan yang sama. Penghambat penyidik Polsek Jabung Timur dalam upaya penanggulangan pencurian motor yang dilakukan oleh anak adalah adalah kurangnya personil dalam melakukan kegiatan patroli, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga keamanan lingkungan seperti mendirikan pos siskamling dan melakukan kegiatan ronda secara rutin. Faktor penghambat yang paling dominan yaitu faktor masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat memiliki pengaruh yang kuat terhadap penegakan hukum tersebut. Saran dalam penelitian ini adalah penyidik hendaknya lebih mengoptimalkan upaya non penal dalam penanggulangan pencurian kendaraan bermotor di Lampung Timur karena pencegahan lebih baik daripada pemberantasan. Kepada pemerintah sebaiknya dapat memperbaiki sarana dan fasilitas penunjang dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, dengan memberikan dukungan dengan adanya prioritas pendidikan kepada anak sehingga dapat menjadi langkah awal untuk pencegahan terjadinya pencurian motor yang dilakukan oleh anak. Masyarakat hendaknya lebih meningkatkan kerjasama dengan pihak kepolisian agar dapat mengungkap kasus pencurian motor yang sering terjadi di wilayah hukum Polsek Jabung Lampung Timur. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan cara mengajak masyarakat untuk menggalakkan ronda malam atau siskamling, sehingga hal itu dapat membantu kinerja kepolisian dalam menjaga keamanan.Kata Kunci : Penanggulangan, Pencurian motor, Anak SUSILOWATI YULI 1942011030 2023-08-02T08:06:22Z2023-08-02T08:06:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/74013This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/740132023-08-02T08:06:22ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENYELUNDUPAN NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi di Lapas Kelas 1 Bandar Lampung)Tidak dapat dipungkiri bahwa peredaran narkotika masih belum dapat diatasi baik yang terjadi di luar Lembaga Pemasyarakatan maupun di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kecendrungan terus meningkatnya kejahatan khusus narkotika berbanding lurus pula dengan semakin meningkatnya narapidana kasus narkotika di dalam Lapas. Penyelundupan narkotika adalah perbuatan membawa barang atau orang secara illegal dan tersembunyi, seperti keluar dari sebuah bangunan, ke dalam penjara dan perdagangan illegal, seperti narkotika. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah faktor penyebab terjadinya kejahatan penyelundupan narkotika ke dalam lembaga pemasyarakatan dan Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap kejahatan penyelundupan narkotika ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Petugas Lapas kelas I Bandar Lampung, Narapidana Lapas kelas I Bandar Lampung, dosen Fisip Kriminologi Universitas Lampung dan dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Faktor penyebab yang dapat dikatakan sebagai “pemicu” seseorang dalam menyelundupkan narkotika. Faktor lingkungan didalam pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahgunaan atau pengedar gelap narkotika. Faktor ekonomi merupakan suatu faktor yang besar yang dapat memicu seseorang melakukan suatu tindak pidana bahwa kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, kejahatan yang besar tidak diperbuat jika untuk memperoleh kemewahan. Jika ekonomi baik maka masyarakat dapat memenuhi kehidupannya dengan mudah, dan sebaliknya. Faktor Keluarga, kurangnya perhatian dari keluarga dan masalah yang timbul dalam rumah tangga dapat menyebabkan seseorang menggunakan narkotika sebagai pelarian untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Faktor pendidikan merupakan faktor dimana dapat memicu seseorang melakukan kejahatan, akibat rendahnya pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pelaku kejahatan penyelundupan narkotika ke dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak hanya secara preventif, upaya penanggulangan kejahatan pelaku kejahatan penyelundupan narkotika ke dalam Lembaga Pemasyarakatan juga secara represif dengan sanksi penegakan hukum ditindak langsung peredaran gelap didalam Lapas penanggulangan ini dilakukan secara penal dan non-penal.
Adapun saran yang diberikan penulis aparat penegak hukum melakukan upaya ketat dengan berkordinasi langsung dengan Lembaga Pemasyarakatan dilakukan secara preventif oleh Badan Narkotika Provinsi Lampung seperti konseling dan tes urine secara berkala dan pemeriksaan penggeledahan setiap barang-barang yang masuk di dalam Lapas Narkotika paling tidak satu bulan sekali. Adanya penyuluhan narkotika bagi masyarakat agar masyarakat mengerti dan memahami bagaimana proses penyalahgunaan dapat terjadi dan berbagai narkotika jenis baru sehingga lebih peka terhadap penyalahgunaan narkotika.
Kata kunci: Penanggulangan Kejahatan, Penyelundupan Narkotika, Lembaga Pemasyarakatan
Hidayatulloh Putra18120110382023-08-01T03:03:01Z2023-08-01T03:03:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73949This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/739492023-08-01T03:03:01ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PIDANA BERAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN PEKERJA ANAK
(Studi Putusan Nomor: 953/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)Anak idealnya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan usianya serta
memperoleh perlindungan dari orang dewasa, pada kenyataannya terdapat pekerja anak
menjadi korban persetubuhan, seperti dalam Putusan Nomor: 953/ Pid.Sus/2021/
PN.Tjk. Hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan pidana berat, mengingat
persetubuhan merupakan tindak pidana berat dengan ancaman pidana penjara maksimal
yaitu 15 tahun. Permasalahan: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam
penjatuhan pidana berat bagi pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak
dan mengapa terdapat faktor-faktor penghambat dalam penjatuhan pidana berat bagi
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang
diperoleh lalu dianalisis secara kualitatif, untuk selanjutnya diambil kesimpulan secara
deduktif ke induktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan
pidana berat pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak terdiri dari
pertimbangan yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu perbuatan
terdakwa terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Pertimbangan filosofis yaitu pemidanaan bertujuan sebagai upaya pemidanaan terhadap
terdakwa. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan pidana bagi terdakwa. Faktor-faktor penghambat dalam
penjatuhan pidana berat bagi pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap pekerja anak
adalah hakim dihadapkan pada hambatan pada saat pembuktian tindak pidana
sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum, karena baik terdakwa maupun saksi
mencabut keterangan. Hambatan lainnya adalah adanya penasihat hukum yang
mempengaruhi terdakwa untuk mencabut kembali keterangannya dan adanya saksi
yang juga mencabut kembali keterangannya pada berita acara pemeriksaan.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya majelis hakim yang menangani perkara
tindak pidana persetubuhan terhadap anak di masa yang akan datang, secara konsisten
menjatuhkan pidana berat kepada pelaku tindak pidana. Masyarakat dan orang tua
hendaknya secara meningkatkan pengawasan terhadap lingkungan pergaulan dan
perilaku anak agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif dimanfaatkan oleh pelaku
tindak pidana untuk diekspolitasi secara seksual.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Pidana Berat, Persetubuhan, Anak2122011040 Desi Andriani Putrishinta.rixtha@yahoo.com2023-07-27T01:23:26Z2023-07-27T01:23:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73765This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/737652023-07-27T01:23:26ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KELALAIAN
DALAM BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Putusan Nomor: 832/Pid.Sus/2022/PN Tjk)Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban luka berat umumnya terjadi karena kelalaian atau terjadi tanpa kesengajaan. Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan mengatur bahwa tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat dapat dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda sepuluh juta rupiah. Permasalahan dalam penelitian ini Bagaimana dasar pertimbangan hakim tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat dan penerapan pidana terhadap tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat . Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan studi dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun terhadap pelaku tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat dari aspek yuridis yaitu telah sesuai ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP dan semua unsur terpenuhi serta perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar serta memenuhi unsur-unsur Pasal 310 Ayat (3) UU Lalu Lintas Angkutan Jalan, aspek filosofis yaitu tindak pidana yang dilakukan terdakwa merupakan kelalaian bukan kesengajaan, serta aspek sosiologis yaitu hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana terhadap terdakwa. Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat didasarkan bukan atas kesalahan melainkan karena adanya unsur kelalaian dengan menerapkan teori relatif yang mengutamakan manfaat untuk melindungi masyarakat dan mencapai kesejahteraan.
Saran dalam penlitian ini Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tidak serta merta berdasar pada tuntutan Jaksa dalam menjatuhkan pidana, melainkan pada dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim dan hakim memutus perkara. Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan luka berat hendaknya benar-benar didasarkan pada terpenuhinya unsur kesalahan agar dapat memenuhi keadilan dan kepastian hukum bagi berbagai pelaku, koban serta masyarakat.
1912011096 Syahrani Dwi Lestarisyahrani.dwi109619@students.unila.ac.id2023-07-26T07:32:52Z2023-07-26T07:32:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73749This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/737492023-07-26T07:32:52ZIMPLEMENTASI PEMENUHAN HAK ASI EKSLUSIF BAGI ANAK PADA
IBU YANG TERPIDANASetiap anak memiliki hak yang dilindungi orang tuanya, masyarakat dan negara. Salah
satu hak anak/bayi adalah hak untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai
dengan usia enam bulan. Tujuan penelitian ini dikarenakan banyaknya ibu yang tidak
memberikan ASI Eksklusif pada bayi dengan alasan berbagai faktor internal maupun
eksternal. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana implementasi
pemenuhan asi ekslusif bagi ibu yang terpidana dan apakah faktor penghambat
implementasi pemenuhan hak asi ekslusif bagi anak yang ibunya terpidana pada Lapas
Way Huwi?
Skripsi ini merupakan penelitian yang dilakukan secara empiris, data penelitian
diperoleh dari hasil interview kepada responden. Data penelitian dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dengan, petugas lapas, Dinas Pelindungan Perempuan dan
Anak dan dosen bagian hukum pidana. Selain itu, studi data penelitian juga
dikumpulkan melalui studi kepustakaan memperoleh informasi yang komprehensif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemenuhan hak atas ASI Eksklusif bagi
bayi pada ibu yang terpidana di Lapas Wayhuwi Bandar Lampung sudah terlaksana
dengan baik namun belum sepenuhnya maksimal. Pemerintah Kota Bandar Lampung
telah menerapkan Peraturan Daerah tentang Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Hal tersebut
merupakan suatu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan
kewajibannya dalam pemenuhan hak bagi ibu dan anak.
Berdasarkan hal tersebut, mengingat pentingnya pemberian ASI pada bayi, seharusnya
Pemerintah harus lebih maksimal lagi dalam pengupayaan pemenuhan hak bagi semua
bayi tanpa terkecuali dan dibantu oleh petugas Lapas agar memperhatikan mekanisme
Pemberian ASI pada bayi yang harus secara langsung dilakukan oleh ibu tanpa
menggunakan perantara alat menyusui apapun.
Kata Kunci: Pemenuhan ASI Eksklusif, Anak, Ibu yang TerpidanaPitaloka Frannika 18420110382023-07-26T01:23:59Z2023-07-26T01:23:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73654This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/736542023-07-26T01:23:59ZPROBLEMATIKA PENGAJUAN PERMOHONAN JUSTICE
COLLABORATOR OLEH TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
ABSTRAK
PROBLEMATIKA PENGAJUAN PERMOHONAN JUSTICE
COLLABORATOR OLEH TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
Peran justice collaborator berguna untuk membongkar kejahatan terorganisasi
dan memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas
suatu tindak pidana korupsi untuk meringkus pelaku utama. Peran kunci yang
dimiliki oleh justice collaborator tidak hanya dapat mengungkap suatu tindak
pidana korupsi melainkan juga dalam pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, serta memberikan kesaksian dalam proses peradilan. Namun, penerapan
justice collaborator ini dalam praktiknya masih memiliki tantangan. Tidak semua
pengajuan permohonan justice collaborator diterima oleh aparat penegak hukum.
Penelitian ini membahas tentang problematika pengajuan permohonan justice
collaborator oleh terdakwa tindak pidana korupsi dan faktor penghambat
pengajuan permohonan justice collaborator oleh terdakwa tindak pidana korupsi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data diperoleh
melalui studi kepustakaan dan melalui wawancara menggunakan pedoman tertulis
terhadap narasumber yang telah ditentukan. Narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan bahwa peran penting dari
seorang justice collaborator untuk melengkapi sistem peradilan pidana juga
dilengkapi dengan perturan bersama aparatur penegak hukum bersama LPSK
yang pada pokoknya bertujuan mewujudkan kerjasama dan sinergitas antara
penegak hukum dalam menangani tindak pidana terorganisir, khususnya tindak
pidana korupsi melalui upaya menggali keterangan dan kesaksian dari seorang
saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Syarat menjadi justice
collaborator tertuang dalam Angka 9 huruf (a) SEMA No. 4 Tahun 2011 namun,
dalam SEMA tersebut tidak ditemukan ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria-
kriteria menjadi justice collaborator. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam
menentukan syarat untuk memenuhi kriteria sebagai “Pelaku Utama” dalam suatu
tindak pidana. Faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat dan faktor
kebudayaan menjadi faktor penghambat dalam pengajuan permohonan justice
Rohani Sianturi
collaborator. Faktor hukum belum adanya pengaturan hukum yang khusus
mengenai justice collaborator. Faktor penegak hukum posisi justice collaborator
bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Faktor masyarakat
ketidakinginan masyarakat untuk membantu dalam membuka atau membongkar
kasus kejahatan seperti korupsi. Faktor yang paling menonjol diantara faktorfaktor
lainnya adalah faktor hukum dan faktor penegak hukum yang dimana
terdapat ketidakjelasan pada pelaksanan dalam permohonan justice collabolator
meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perlindung an Saksi Dan Korban ,SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dan peraturan
bersama masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, terkadang
posisi justice collabolator di pandang berbeda oleh penegak hukum. Faktor
aparat penegak hukum disharmonisasi pemahaman antara para penegak hukum
yang menciptakan ketidaktentuan hukum bagi saksi pelaku yang hendak
bekerjasama menguak sebuah delik/kejahatan.
Saran dari adanya penelitian ini adalah pemerintah harus segara memberikan
batasan dan kriteria “pelaku utama” agar pedoman justice collaborator dapat
dijalankan tanpa permasalahan. Dan dari sekian banyak peraturan yang mengatur
mengenai justice collaborator perlu dibuat suatu peraturan khusus mengenai
perlakuan terhadap justice collaborator di dalam kasus tindak pidana korupsi, hal
ini dilakukan agar tidak ada perbedaan cara pandang Penyidik, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, dan Hakim.
Kata Kunci : Problematika, Justice Collaborator , KorupsiSianturi Rohani 19120110072023-07-26T01:11:25Z2023-07-26T01:11:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73650This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/736502023-07-26T01:11:25ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENYERTAAN KORUPSI DI PERGURUAN TINGGIANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENYERTAAN KORUPSI DI PERGURUAN TINGGI
Tindak pidana korupsi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri
sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena telah
merugikan bangsa dan negara, pertanggungjawaban pidana oleh pelaku tindak
pidana korupsi yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama merupakan hal yang
sangat penting untuk memberantas tindak pidana korupsi dan memberikan efek jera
kepada pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan tindak
pidana yang luar biasa, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris
kemudian disesuaikan dengan pendekatan yuridis normatif. Narasumber dalam
penelitian ini terdiri dari Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung, Hakim Pengadilan
Negeri Lampung, dan Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan
studi lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa korupsi
yang dilakukan oleh lebih dari satu orang atau sekelompok orang maka dapat di
pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang melakukan tindak pidana korupsi
tersebut. Hal tersebut karena setiap masing-masing pelaku mempunyai bentuk
kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, dan perbuatan tersebut bersifat tindak
pidana melawan hukum serta menimbulkan kerugian negara. Faktor-faktor
penghambat dalam mempertanggungjawabkan pelaku penyertaan korupsi di
perguruan tinggi terdapat beberapa faktor antara lain, faktor penegakan hukum
masih kurang optimalnya aparat penegak hukum dalam mengatasi persoalan 1942011019 Karina Nada Rhamadinikarinanada5@gmail.com2023-07-13T02:03:14Z2023-07-13T02:03:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73446This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/734462023-07-13T02:03:14ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI
KERUGIAN PADA PERKARA TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN
(Studi Putusan 171/Pid.B/2017/PN.Met)
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI
KERUGIAN PADA PERKARA TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN
(Studi Putusan 171/Pid.B/2017/PN.Met)
Dasar pertimbangan hakim dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
harus tunduk sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu hukum pidana pada perkara
tindak pidana penggelapan dan hukum perdata pada perkara gugatan ganti kerugian.
Hakim harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan
perbuatan yang telah didakwakan kepada dirinya dan hakim harus
mempertimbangkan apakah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana
telah memenuhi unsur sebab akibat. Pertimbangan-pertimbangan itu harus dimiliki
oleh seorang Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan sesuai dengan Pasal 183
KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:1) Apakah yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan terhadap penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian pada perkara tindak pidana penggelapan. 2) Apakah
yang menjadi faktor-faktor yang menghambat dalam penjatuhan putusan terhadap
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara tindak pidana
penggelapan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif
dan pendekatan empiris. Prosedur pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan
studi lapangan. Narasumber penelitian ini yaitu Hakim Pengadilan Negeri Metro,
Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung dan Advokat Kantor Hukum Tobroni and Partners di Kota Bandar
Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini dapat disimpulkan: 1) Dasar
pertimbangan hukum Hakim dalam penjatuhan putusan terhadap penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian pada perkara tindak pidana penggelapan dapat
dilihat dalam tiga aspek pertimbangan yaitu pertama pertimbangan yuridis Hakim
dalam menjatuhkan putusannya tidak terlepas melihat dari Pasal 98 sampai Pasal
101 KUHAP. Pertimbangan sosiologis hakim mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa serta peristiwa yang melatarbelakangi
suatu perbuatan pidana. Pertimbangan filosofis hakim mempertimbangkan keadilan dilihat dari sisi terdakwa maupun dari sisi korban 2) Faktor yang menghambat
dalam penjatuhan putusan terhadap penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
pada perkara tindak pidana penggelapan adalah faktor hukumnya sendiri (undangundang)
yakni berdasarkan Pasal 99 Ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa
hanya kerugian materiil saja yang dapat dituntut oleh korban.
Saran dalam penelitian ini adalah Hakim hendaknya mempertimbangkan rasa
keadilan kepada pelaku tindak pidana dan korban. Selain itu, pihak korban atau
penggugat harus lebih detail dalam merinci kerugian materiil yang diderita di dalam
posita maupun petitum gugatan sesuai dengan Pasal 99 Ayat (2) KUHAP untuk
menghindari gugatan NO/niet ontvankelijke verklaard.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Penggabungan Perkara Gugatan
Ganti Kerugian , Tindak Pidana Penggelapan. Dzaky Aziz Gigih 17520110812023-07-12T06:50:37Z2023-07-12T06:50:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73441This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/734412023-07-12T06:50:37ZPENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP HAKIM YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
GOLONGAN 1 DALAM BENTUK
BUKAN TANAMAN
(Studi Putusan Nomor:111/Pid.Sus/2019/PN TJK)Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan
dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat
menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat
kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus
menerus karena sebab-sebab emosional. Penyalahgunaan narkotika ini bukan saja
merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia,
melainkan juga bagi dunia Internasional. Permasalahan penelitian adalah
bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap hakim yang melakukan tindak
pidana narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman dan apakah faktor
pendukung dan penghambat penerapan sanksi pidana terhadap hakim yang
melakukan tindak pidana narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari
Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penerapan sanksi pidana terhadap hakim
yang melakukan tindak pidana narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman
berdasarkan Putusan Nomor: 111/Pid.Sus/2019/PN Tjk menyatakan kasus berawal
saat Polresta Bandar Lampung pidana penjara selama 7 (tujuh) Tahun dan 6 (enam)
bulan dan denda sejumlah Rp.800. 000. 000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa, maka diganti dengan
pidana penjara selama 2 (dua) bulan. (2) Faktor pendukung dan penghambat
penerapan sanksi pidana terhadap hakim yang melakukan tindak pidana narkotika
golongan I dalam bentuk bukan tanaman adalah faktor sarana atau fasilitas terkait
masalah masalah sarana dan prasarana yang kurang memadai dan keterbatasan
dukungan anggaran. Faktor masyarakat serta kurang perdulinya masyarakat untuk
melapor kepihak berwajib membuat penegak hukum sulit memberantas tindak
pidana narkotika. Dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika masyarakat3
harus berperan aktif, masyarakat harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum
dan melaporkan tindak pidana narkotika agar dapat segera dapat ditindak lanjuti oleh
aparat penegak hukum.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran aparat penegak hukum
khususnya hakim seharusnya lebih mengedepankan pemberian hak rehabilitasi baik
medis maupun sosial dibanding putusan pidana penjara karena rehabilitasi lebih
dibutuhkan bagi penyalahguna narkotika. Hakim seharusnya lebih menggali secara
dalam penyalahgunaan narkotika tersebut. Sehingga hakim menjadi living
interpretator yang cermat menangkap semangat tujuan hukum kepastian,
kemanfaatan dan keadilan. Hakim seharusnya lebih cermat dalam memutus
penyalahgunaan narkotika, yang penggunaan narkotika karena dibujuk dengan
adanya ajakan dari orang lain yang semestinya pidana bersyarat dan mendapatkan
rehabilitasi.
Kata Kunci: Penerapan, Sanksi Pidana, Hakim, Tindak Pidana, Narkotika
Golongan ISETIANA BAGUS 16120111492023-07-12T03:37:00Z2023-07-12T03:37:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73437This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/734372023-07-12T03:37:00ZANALISIS KRIMINOLOGIS ANAK PELAKU KEJAHATAN
PENGEDARAN NARKOTIKAPerkembangan teknologi memiliki peran utama dalam meningkatnya pengedaran
narkoba di Indonesia. Pelaku pengedaran narkoba saat ini tidak hanya dilakukan
oleh orang dewasa namun juga dilakukan oleh anak-anak. Berdasarkan kasus yang
penulis teliti, terdapat pelajar di bawah umur yang melakukan pengedaran
narkotika kurang lebih sebanyak 19 kali. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah faktor yang menyebabkan anak menjadi pelaku kejahatan
pengedaran narkotika dan bagaimana upaya penanggulangan terhadap anak
pelaku kejahatan pengedaran narkotika.
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah empiris dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah empiris dengan sumber
data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
wawancara terpimpin. Pengolahan data dilakukan dengan pemeriksaan data,
editing data, klasifikasi data, sistematisasi data, kemudian data dianalisis secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan faktor penyebab anak menjadi
pelaku kejahatan pengedaran narkotika adalah faktor internal yaitu mental yang
labil dan jauh dari nilai agama, dan faktor eksternal yaitu keluarga, lingkungan,
serta kesulitan ekonomi. Upaya penanggulangan dilakukan dengan upaya preemtif yaitu pembinaan kesadaran beragama serta bimbingan pekerjaan, dan upaya
preventif berupa pelaksanaan salam pemasyarakatan dan penempatan ke ruang
perenungan. Polres Pesawaran melakukan upaya preventif berupa penyuluhan
bahaya narkotika ke sekolah maupun desa, dan upaya represif berupa
penangkapan anak pelaku kejahatan pengedaran narkotika.iii
Muhammad Dzaki Akbar
Saran yang penulis dapat sampaikan adalah anak harus diawasi dan diberikan
didikan baik, orang tua anak pengedar narkotika diharapkan memindahkan lokasi
tempat tinggal atau memindahkan anak ketempat jauh dari lingkungan buruk.
Pemerintah diharapkan menambah jumlah lapas khusus anak dan membuat Bapas.
Aparat kepolisian hendaknya meningkatkan patroli dan razia di daerah zona
merah untuk kasus narkotika.
Kata Kunci: Anak, Pelaku Kejahatan, Narkotika. AKBAR MUHAMMAD DZAKI 19120112462023-07-12T03:08:17Z2023-07-12T03:08:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73432This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/734322023-07-12T03:08:17ZUPAYA SATUAN OPERASIONAL KEPATUHAN INTERNAL (SATOPS PATNAL) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN NARKOTIKA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PERMASYARAKATAN GUNUNG SUGIHPenyalahgunaan dan Peredaran narkotika di Lapas merupakan masalah serius dan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Lapas. Selain dengan Undang-Undang Narkotika aparat penegak hukum di harapkan dapat bekerjasama untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut khususnya di Lapas. Permasalahan penelitian adalah bagaimana upaya Satuan Operasional Kepatuhan Internal (Satops Patnal) dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sugih dan apa faktor penghambat upaya Satuan Operasional Kepatuhan Internal (Satops Patnal) dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sugih
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Satops Patnal Lapas Gunung Sugih dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Upaya Satuan Operasional Kepatuhan Internal (Satops Patnal) dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sugih adalah petugas secara rutin melakukan inspeksi mendadakan (sidak) dan sweeping ke blok-blok hunian maupun areal Lapas secara rutin dua kali dalam seminggu, namun jika dibutuhkan petugas akan melakukannya setiap hari. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan barang bukti berupa narkotika, maka narapidana beserta barang tersebut akan diinterogasi kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Namun terkadang ditemukan narkotika tanpa penguasaan seseorang, seperti ditemukan tergeletak di samping tempat sampah atau halaman tertentu sehingga petugas kesulitan untuk melacak siapa pelakunya. Upaya preventif lain yang dilakukan untuk menanggulangi masuknya narkotika yaitu dengan memperketat penjagaan dan pengamanan di pintu masuk (portal) Lapas, serta memeriksa secara saksama setiap barang akan dibawa masuk ke dalam Lapas. (2) Faktor penghambat upaya Satuan Operasional Kepatuhan Internal (Satops Patnal) dalam penanggulangan tindak pidana penyelundupan narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sugih adalah keadaan Lapas Kelas II B Gunung Sugih yang mengalami over kapasitas, rumitnya birokrasi untuk pengadaaan sarana dan prasarana, kurangnya mutu SDM Petugas Lembaga Pemasyarakatan dan lemahnya pengawasan terhadap petugas lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran kepada Lapas, diharapkan agar terus berpartisipasi aktif dan bekerjasama dalam penanggulangan tindak pidana narkotika mengingat modus penyelundupan narkotika saat ini yang semakin canggih. Di samping itu, penambahan personel petugas keamanan di Lapas diharapkan relevan dengan jumlah tahanan dan narapidana, sehingga dapat mengoptimalkan pengawasan di dalam Lapas. Kepada Pemerintah, diharapkan agar selalu mengupayakan strategi untuk mencari solusi atas permasalahan over capacity di Lapas dan Rutan, karena persoalan over capacity secara tidak langsung akan menimbulkan dampak negatif yang akan mengganggu pelaksanaan program pembinaan kepada narapidana. Ketersediaan alat- alat yang dapat mendeteksi keberadaan narkotika, seperti detektor narkotika dan X-Ray juga sangat diperlukan untuk mencegah masuknya narkotika ke dalam Lapas.
Kata Kunci: Satuan Operasional Kepatuhan Internal, Tindak Pidana, Penyelundupan Narkotika Lembaga Pemasyarakatan.
RAFI AFIF ABDUR 16120112172023-07-10T07:38:11Z2023-07-10T07:38:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73403This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/734032023-07-10T07:38:11ZDASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP RESIDIVIS
PERANTARA JUAL BELI NARKOTIKA
(Studi Kasus Putusan Nomor 811/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL)
Penelitian lini lmengangkat lisu lhukum lbahwa lhakim ltidak lmengindahkan
Pasal l144 lAyat l(2) lUndang-Undang lNomor l35 lTahun l2009 ltentang
Narkotika ldan ldilakukan luntuk lmengetahui ldasar lpertimbangan lhukum lhakim
kepada lresidivis lkasus ltindak lpidana lnarkotika lyang ldilakukan loleh lperantara
sebagai lmana lkasus lputusan lNomor l811/Pid.Sus/2021/PN lJKT.SEL. lTujuan
dari lpenelitian lini ladalah lmengetahui ldasar lpertimbangan lhukum lhakim
dalam lmenjatuhkan lputusan lserta lmengetahui lkesesuaian lfakta-fakta
persidangan ldalam lputusan lhakim lNomor l811/Pid.Sus/2021/PN lJKT.SEL
terhadap lresidivis ltindak lpidana lnarkotika loleh lperantara. lDalam lmelakukan
analisa lhukum, lpeneliti lmenggunakan lteori ldasar lpertimbangan lhukum lhakim
dan lteori lputusan lhakim.
Penelitian lini lmerupakan ljenis lpenelitian lhukum lyuridis lempiris ldengan lcara
meneliti ldan lmengumpulkan ldata lprimer lyang ldiperoleh lsecara llangsung.
Sumber ldan ljenis ldata lterdiri ldari ldata lprimer ldan ldata lsekunder. lPihak
yang lmenjadi lnarasumber lyaitu lHakim lpada lPengadilan lNegeri lJakarta
Selatan, lJaksa lpada lKejaksaan lNegeri lManggarai, lDosen lBagian lHukum
Pidana lFakultas lHukum lUniversitas lLampung. lMetode lpengumpulan ldata
melalui lstudi lkepustakaan, lidentifikasi ldata lsekunder, linvestrasi ldata lyang
relevan ldengan lrumusan lmasalah, ldan lpengkajian ldata. lAnalisis ldata lyang
digunakan ladalah lanalisis lkualitatif.
Hasil lpenelitian lmenunjukkan lbahwa lpertimbangan lhakim lpada lPutusan
Nomor l811/Pid.Sus/2021/PN lJKT.SEL ldidasari latas lpertimbangan lyuridis,
yaitu lterpenuhinya lUnsur lPasal l114 lAyat l(2) lUndang-Undang lNomor l35
Tahun l2009 lserta lpenulis lmenemukan lfakta ldalam lpersidangan lbahwa
terdakwa lpernah ldipidana lselama l4 ltahun l6 lbulan lberkaitan ltindak lpidana
yang ltelah ldilakukan lterdakwa lsehingga lterjadinya lkekeliruan ldalam
menetapkan lpasal. lPertimbangan lsosiologis, lyaitu ldidasari loleh lhal-hal lyang
memberatkan latau lmeringankan lterdakwa, lyaitu lterdakwa lpernah ldipidana
Syahrul lArfah.
terkait ldengan lkasus lyang lsama. lPertimbangan lfilosofis ldi lmana lpemidanaan
kepada lterdakwa lsebagai lupaya ldalam lmemenuhi lrasa lkeadilan lkepada
korban ldan lmasyarakat.
Selain litu, ldari lhasil lanalisa ladanya lketerangan lsaksi, lketerangan lterdakwa,
serta lalat-alat lbukti lmenyatakan lbahwa lbenar lterdakwa lmelakukan
pengulangan ltindak lpidana lbisa lmenjadi lproses lpembuktian, lsehingga ltidak
menjadi lsatu-satunya lpertimbangan lhakim. lDalam lperkara lPutusan lNomor
811/Pid.Sus/2021/PN lJKT.SEL lpenerapan lpasal lkurang ltepat lsehingga
terjadinya lkekeliruan lpada lputusan lyang ldibuat loleh lMajelis lHakim ldalam
menjatuhkan lpidana lterhadap lterdakwa, lsehingga lmenurut lpenulis lnilai-nilai
keadilan lbelum lterwujud ldan lbelum lsesuai ldengan lfakta-fakta lpada
persidangan.
Adapun lsaran lyang ldiberikan ldalam lpenelitian lini lyaitu lsebaiknya lhakim
lebih ltegas ldalam lmenegakkan lhukum ldan ldalam lmenerapkan lputusan
memberikan lsanksi lyang lberat ldan ltepat lsehingga lterdakwa, lkorban, ldan
juga lmasyarakat ltidak lakan lmelakukan ltindak lpidana ltersebut lkarena
merasakan lefek ljera ldan lmenimbulkan lrasa lkeadilan lbagi lterdakwa, lkorban,
serta lmasyarakat. lSelain litu, lsebaiknya lhukuman lkepada lterdakwa lyang
melakukan lpengulangan ltindak lpidana latau lterdakwa lyang lsebelumnya
pernah ldipidana ldalam ljangka lwaktu ltak lterbatas, lhukumannya ltetap lpidana
maksimum lditambah ldengan l1/3 l(sepertiga) lagar llebih ljera lsehingga ltidak
akan lmengulangi lkembali ltindak lpidana ltersebut.
Kata kunci: Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, Tindak Pidana Narkotika,
Residivis, Perantara
Arfah Syahrul18120112972023-07-03T07:46:05Z2023-07-03T07:46:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73306This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/733062023-07-03T07:46:05ZPenegakan Hukum Pidana Terhadap Pemalsuan Pita Cukai Rokok (Studi Kasus Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Sumatera Bagian Barat)Tindak pidana dibidang Cukai dalam hal ini adalah yang erat kaitannya dengan pemalsuan pita cukai rokok akan memberikan dampak kepada dua sisi yaitu mempengaruhi pendapatan negara dan merusak sistem masyarakat. Tindak Pidana dibidang cukai seperti pemalsuan pita cukai rokok akan memberi dampak, yaitu merugikan penghasilan negara. Permasalahan ini adalah bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemalsuan pita cukai rokok dan apa saja faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap pemalsuan pita cukai rokok.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer, data sekunder dan data tersier. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah PPNS bidang Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kantor Wilayah Sumatera Bagian Barat, Penyidik bagian Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Lampung, Dosen bagian Pidana FH Unila. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara seleksi data, klasifikasi data dan sistematisasi data.Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap pemalsuan pita cukai dalam tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan teori kebijakan hukum pidana yang terdiri dari tiga tahap. Pertama, tahap formulasi yaitu regulasi mengenai pemalsuan pita cukai dapat dikaitkan dengan Pasal 54 UU Cukai, Pasal 55 UU Cukai, Pasal 56 UU Cukai. Sedangkan pada tahap aplikasi aparat penegak hukum menerapkan dakwaan berbentuk alternatif pertama yakni Pasal 54 UU Cukai. Pada tahap eksekusi berdasarkan Putusan Nomor 1248/Pid.B/2018/PN.Tjk menghukum terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun 8 bulan dan denda Rp283.655.920. Faktor – faktor yang menghambat instansi Bea dan Cukai yaitu, pertama faktor masyarakat yang secara umum memiliki rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pemalsuan pita cukai sehingga semakin sulit melaksanakan penegakan hukum yang baik. Kedua, faktor kebudayaan yang dimana adanya budaya keserakahan pada masyarakat dengan meraup keuntung materi yang siginifikan.1912011345 Adhiesty Ayu Ramadhaniadhiestyayu@yahoo.com2023-07-03T03:59:20Z2023-07-03T03:59:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73284This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/732842023-07-03T03:59:20ZANALISIS DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA
MANIPULASI INFORMASI ELEKTRONIK BERBASIS AKUN PALSU
DI MEDIA SOSIAL
(Studi Putusan No. 1739/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt)
Perbuatan oknum tidak bertanggungjawab yang menggunakan identitas orang lain
untuk menciptakan akun palsu di media sosial seolah-olah akun tersebut merupakan
akun otentik, dapat diancam dengan Pasal 35 jo. Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adanya regulasi pada UU ITE untuk melarang adanya pembuatan akun palsu di
media sosial seolah-olah akun tersebut merupakan akun asli, kenyataannya ada
pelaku yang membuat akun palsu dengan mengatas namakan orang lain, sehingga
menyalahi Pasal 35 jo. Pasal 51 UU ITE. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
standar membuat surat dakwaan oleh penuntut umum terhadap tindak pidana
manipulasi informasi elektronik berbasis akun palsu di media sosial dan idealnya
bentuk dakwaan yang diterapkan pada kasus tindak pidana manipulasi informasi
elektronik berbentuk akun palsu di media sosial pada putusan Nomor
1739/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari
Dosen Pidana Fakultas Hukum Univeritas Lampung dan Jaksa Penuntut Umum
Kejari Jakarta Barat. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Standar membuat surat dakwaan oleh
penuntut umum terhadap tindak pidana manipulasi informasi elektronik berbasis
akun palsu di media sosial harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Surat
dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) KUHAP. Adapun yang menjadi syarat formil
sebuah surat dakwaan, yaitu: Surat dakwaan harus mencantumkan tanggal dan tanda
tangan penuntut umum yang membuat surat dakwaan. Serta surat dakwaan harus
memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi: nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka. (2) Bentuk dakwaan yang diterapkan pada kasus tindak pidana
manipulasi informasi elektronik berbentuk akun palsu di media sosial pada putusan
Nomor 1739/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt tidak tepat, karena bentuk dakwaan dalam
Putusan Nomor 1739/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt tidak tepat dikarenakan penuntut
umum menggunakan bentuk dakwaan alternatif yang di mana idealnya penuntut
umum menggunakan dakwaan kumulatif karena terdakwa melakukan perbarengan
pidana concursus realis.
Saran dalam skripsi ini adalah pada kasus ini, penuntut umum menggunakan
dakwaan kumulatif dan terdakwa dipidana dengan Pasal 28 dan juga Pasal 35 UU
ITE, maka Putusan Nomor 1739/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt dapat menjadi salah satu
yurisprudensi bahwa perbuatan manipulasi informasi elektronik berupa akun palsu
di media sosial dapat diancam pidana, mengingat banyaknya kasus serupa yang
terjadi di media sosial. Para penegak hukum diharapkan untuk melaksanakan
penegakan hukum sesuai dengan pertanggungjawaban yang telah diatur oleh teori
pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apabila terdapat kasus
serupa dalam hal kasus manipulasi informasi elektronik di media sosial berbentuk
akun palsu, diharapkan penegak hukum dapat mengetahui bahwa akun palsu di
media sosial yang mengatasnamakan orang lain merupakan tindakan yang
memenuhi unsur-unsur Pasal 35 UU ITE, sehingga apabila adanya kasus serupa,
penegak hukum tidak mengalami keraguan untuk menggunakan bentuk dakwaan
kumulatif.
Kata Kunci: Dakwaan, Manipulasi Informasi Elektronik, Media Sosial.
Kabul Akbar
AKBAR KABUL1912011250 2023-07-03T03:15:06Z2023-07-03T03:15:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73278This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/732782023-07-03T03:15:06ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA
PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEKARANTINAAN
KESEHATAN DAN KUHP
(Studi Putusan Nomor: 110/Pid.Sus/2021/PN Sdn)
Salah satu tindak pidana tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
di masa pendemi Covid-19 adalah pada Putusan Nomor: 110/Pid.Sus/2021/PN Sdn
mengadili: menyatakan Terdakwa Sumarno Bin Romo Rejo telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tidak mematuhi perintah yang
diberikan oleh Pejabat yang sah. Permasalahan penelitian adalah apakah dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam perkara
pelanggaran Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan berdasarkan Putusan
Nomor: 110/Pid.Sus/2021/PN Sdn dan bagaimanakah penerapan sanksi pidana
terhadap pelaku dalam perkara pelanggaran Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan berdasarkan Putusan Nomor: 110/Pid.Sus/2021/PN Sdn.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari
Hakim Pengadilan Negeri Sukadana, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung Timur
dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Univeritas Lampung. Analisis data yang
digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam perkara pelanggaran Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan berdasarkan Putusan Nomor: 110/Pid.Sus/2021/PN Sdn
adalah Pasal 216 Ayat (1) KUHP yang menyatakan barangsiapa dengan sengaja
tidak menurut perintah atau tuntutan, yang dilakukan menurut peraturan undangundang
oleh
pegawai
negeri
yang
diwajibkan
mengawas-awasi
pegawai
negeri
yang
diwajibkan
atau
yang
dikuasakan
untuk
menyelidiki
atau
memeriksa
perbuatan
yang
dapat
dihukum, demikian juga barangsiapa dengan sengaja mencegah; merintangi
atau menggagalkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai
negeri itu, dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undang, dihukum penjara
selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda setinggi-tingginya Rp. 9.000,
dikarenakan Indonesia tidak menerapkan Karantina Kesehatan ketika terjadinya
Covid 19. (2) Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku dalam perkara pelanggaran
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan berdasarkan Putusan Nomor:
110/Pid.Sus/2021/PN Sdn adalah dakwaan alternatif yaitu sesuai ketentuan
pelanggaran Pasal 216 Ayat (1) KUHP dan diterapkan sanksi Pidana Denda sebesar
Rp 5.000.000, dalam hal ini Hakim memilih untuk menetapkan Pidana Denda dan
bukan Pidana Penjara karena Tersangka Sumarno bin Romo Rejo sudah mengakui
kesalahannya serta menurut hakim kasus ini lebih tepat untuk menggunakan pidana
denda bukan kurungan penjara.
Saran dalam skripsi ini adalah diharapkan bagi setiap penegak hukum untuk
menegakkan dan menerapkan setiap ketentuan-ketentuan yang ada didalam
peraturan perundang-undangan terkait sesuai dengan kualifikasi atau jenis tindak
pidana yang dilakukan. Dalam penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana
Kekarantinaan Kesehatan, Hakim harus mampu bukan saja memberikan efek jera
bagi terdakwa agar tidak mengulangi kembali perbuatannya, tetapi juga bertanggung
jawab terhadap perbuatannya.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Perkara, Kekarantinaan Kesehatan.
Earyl Pebrian Simorangkir
SIMORANGKIR EARYL PEBRIAN1852011016 2023-06-27T06:33:16Z2023-06-27T06:33:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73180This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/731802023-06-27T06:33:16ZPERAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BENGKULU DALAM MELAKUKAN REHABILITASI PELAKU TINDAK
PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA
Tindak pidana penyalahguna narkotika masih saja terjadi di Provinsi Bengkulu. Dari data jumlah klien rehabilitasi BNN di Provinsi Bengkulu tahun 2019 sampai dengan tahun 2022 mengalami peningkatan, dengan jumlah keseluruhan korban penyalahgunan narkotika 1.093 orang klien rehabilitasi. Sehingga peran Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu dalam melakukan rehabilitasi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika belum maksimal.
Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan peneletian data primer di lapangan. Sumber data yang digunakan adalah data primer berupa data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dan data sekunder, bahan hukum yang bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa buku-buku literatur ilmu hukum, dan makalah-makalah yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Hasil dari penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa Peran Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu dalam melakukan rehabilitasi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika yaitu; Peranan normatif, Badan Narkotika Nasional selaku instansi pemerintah yang menyelenggarakan rehabilitasi berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Dan Peraturan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Pada Lembaga Rehabilitasi di Lingkungan Badan Narkotika Nasional. Peranan ideal, yaitu tindakan kerja sama Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu dengan pihak-pihak terkait seperti Tim Asesmen Terpadu. Peranan factual role, Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu dalam melakukan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika baik pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika menjalani beberapa tahapan rehabilitasi sampai mereka benar-benar sembuh dan kembali kemasyarakat. Hambatan Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu dalam melakukan rehabilitasi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika. Minimnya sarana dan juga prasarana dalam melakukan untuk pelaksanaan rehabilitasi
Muhammad Irfan Fadillah
Faktor aparat penegak hukum, Pembiayaan Rehabilitasi dan Pembiayaan Rehabilitasi, Kurangnya kesadaran diri pelaku Penyalahgunaan narkotika. Saran dari penulis kepada Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu lebih meningkatkan perannya agar mereka yang menjalani rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu benar-benar sembuh dan tidak mengulang kembali menggunakan narkotika. Dan Perlunya peningkatan sarana dan prasarana, aparat penegak hukum perlu ditambah dan lebih profesional, pembiayaan rehabilitasi diminimalisir, serta memberikan sosialisai tentang bahayaa narkotika kepada masyarakat di Provinsi Bengkulu.
Kata kunci: Peran, Badan Narkotika Nasional, Rehabilitasi.
Narcotics abuse crimes still occur in Bengkulu Province. From data on the number of BNN rehabilitation clients in Bengkulu Province from 2019 to 2022 there has been an increase, with a total number of victims of narcotics abuse 1,093 rehabilitation clients. So that the role of the Bengkulu Province National Narcotics Agency in carrying out the rehabilitation of perpetrators of criminal acts of narcotics abusers has not been maximized.
The problem approach used by the author in this study is an empirical juridical approach, which is an approach that examines secondary data first and then proceeds with conducting primary data research in the field. The data sources used are primary data in the form of data obtained directly from research subjects and secondary data, legal materials that provide an explanation of primary legal materials, namely in the form of legal science literature books, and papers related to the subject matter.
The results of the research and discussion can be concluded that the role of the Bengkulu Province National Narcotics Agency in carrying out the rehabilitation of narcotics abusers is; Normative role, the National Narcotics Agency as a government agency that organizes rehabilitation based on the provisions of Article 56 paragraph (2) and Article 58 of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, and Regulation of the National Narcotics Agency of the Republic of Indonesia Number 1 of 2019 concerning the Implementation of Rehabilitation Services at Institutions Rehabilitation within the National Narcotics Agency. The ideal role, namely the collaborative action of the Bengkulu Province National Narcotics Agency with related parties such as the Integrated Assessment Team. The role of factual role, the National Narcotics Agency of Bengkulu Province in conducting rehabilitation for perpetrators of criminal acts of narcotics abusers, both addicts and victims of narcotics abuse, undergo several stages of rehabilitation until they are completely cured and return to society. The lack of facilities and infrastructure
Muhammad Irfan Fadillah
for the implementation of rehabilitation, Factors of law enforcement officials, Rehabilitation Funding and Rehabilitation Funding, Lack of self-awareness of perpetrators of narcotics abuse. Suggestions from the author to the Bengkulu Province National Narcotics Agency further enhance its role so that those undergoing rehabilitation at the Bengkulu Province National Narcotics Agency are truly cured and do not repeat using narcotics again. And the need to improve facilities and infrastructure, law enforcement officers need to be added and more professional, rehabilitation costs are minimized, and provide socialization about the dangers of narcotics to the people in Bengkulu Province.
Keywords: Role, National Narcotics Agency, Rehabilitation.
Irfan Fadillah Muhammad 19120113032023-06-27T03:43:50Z2023-06-27T03:43:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73170This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/731702023-06-27T03:43:50ZANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
DENGAN KORBAN ANAK DISABILITAS
(Studi Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kot)
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
DENGAN KORBAN ANAK DISABILITAS
(Studi Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kot)
Oleh :
Allia Shafira
Kasus Anak menjadi salah satu isu hukum yang tidak pernah lepas dari kacamata
hukum di Indonesia, Dalam kasus tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh
anak, dan hakim menjatuhkan pidana penjara 9 (Sembilan) tahun dan Pelatihan Kerja 6
(enam) bulan. Penulis merasa putusan tersebut terlalu berat bagi pelaku anak yang
dapat mengakibatkan dehumanisasi dan stigmatisasi. Permasalahan yang dikaji dalam
Penelitian ini adalah: Pertimbangan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana
pelecehan seksual; Kedua, apa saja faktor penghambat penegak hukum pidana dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku anak tindak pidana pelecehan seksual. Penelitian
ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer didapat
melalui narasumber yang diwawancarai. Hasil dari penelitian ini ialah Pertimbangan
hakim menjatuhkan pidana selama 9 (Sembilan) bulan dan Pelatihan Kerja selama 6
(enam) bulan, hakim anak mempertimbangkan dari aspek yuridis, dan non yuridis,
penjatuhan pidana terhadap anak dinilai bentuk dari upaya terakhir/ ultimum remedium
dalam proses pemidanaan terhadap anak dan Menurut hakim faktor penghambat
penjatuhan pidana terhadap anak yaitu adanya faktor hukum, faktor penegak hukum,
faktor kebudayaan, faktor masyarakat, faktor sarana atau fasilitas. Faktor penghambat
dari penegakan hukum pidana ialah bisa dari orangtua atau keluarga dalam hal ini
banyak orangtua atau keluarga yang enggan melaporkan anaknya ke pihak berwajib
karena dirasa bahwa peristiwa ini ialah aib, dalam pandangan mereka bahwasanya
dengan melaporkan bisa merugikan dari segi sisi pelakunya lalu kurangnya.
Disarankan hendaknya hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak juga bukan
hanya mempertimbangkan dari kondisi korban, namun bagaimana dampak negatif jika
anak berada terlalu lama di penjara, dan perlu adanya sosialisasi dari aparat penegak
hukum apabila melihat adanya sebuah tindak pidana maka akan ada sanksi hukum yang
akan diberikan
Kata kunci : Pertimbangan Hakim Anak, Pelaku Pelecehan Seksual, Korban
Anak Disabilitas
iii
Abstract
ANALYSIS OF JUDGES CONSIDERATIONS FOR CHILD
PERPETRATORS OF SEXUAL ABUSE CRIMES WITH
VICTIMS OF CHILDREN WITH DISABILITIES
(Study of Decision Number 15/Pid.Sus-Anak/2019/PN. Kot)
The case of children is one of the legal issues that has never been separated from the
legal perspective in Indonesia, in the case of sexual abuse committed by children, and
the judge sentenced him to 9 (nine) years imprisonment and 6 (six) months job training.
The author feels the verdict is too heavy for child perpetrators which can result in
dehumanization and stigmatization. The problems studied in this study are: The judge's
weighing on children perpetrators of sexual abuse crimes; Second, what are the
inhibiting factors for criminal law enforcement in sentencing child perpetrators of
sexual abuse crimes. Thisresearch uses normative juridical and empirical juridical
methods. Primary data was obtained through interviewees. The results of this study are
the judge's consideration of imposing a sentence for 9 (nine) months and job training for
6 (six) months, the juvenile judge considers from a juridical, and non-juridical aspect,
the imposition of a crime against a child is assessed as a form of last resort / ultimum
remedium in the process of sentencing children and according to Judges inhibiting
factors for criminal convictions of children are legal factors, law enforcement factors,
cultural factors, community factors, facilities or facilities factors. The inhibiting factor
of criminal law enforcement can be from parents or families, in this case many parents or
families are reluctant to report their children to the authorities because they feel that
this incident is a disgrace, in their view that reporting can be detrimental in terms of
the perpetrator and then the lack. It is recommended that judges in imposing crimes
against children should also not only consider the condition of the victim, but what are
the negative impacts if the child is in prison for too long, and there needs to be
socialization from law enforcement officials if they see a criminal act, there will be
legal sanctions that will be given
Keyword :Consideration of Child Judges, Perpetrators of Sexual Abuse,
Victims of Children with Disabilities
2122011046 Allia Shafiraalliashafiraa@gmail.com2023-06-23T03:20:42Z2023-06-23T03:20:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73087This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/730872023-06-23T03:20:42ZPERAN PENUNTUT UMUM DALAM MEWUJUDKAN ASAS
PERADILAN CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN
BERDASARKAN RESTORATIVE JUSTICE
( Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung )
Kejaksaan khususnya Jaksa Penuntut Umum memiliki peran yang penting untuk terwujudnya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta dengan adanya terobosan Restorative Justice yang sedang digaungkan oleh Jaksa Agung sebagai alternatif penanganan tindak pidana yang mengedepankan pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban serta mengakomodir nilai-nilai dasar yang terkandung dalam keadilan restorative.
Kenyataan nya tidak semua perkara dapat disetujui untuk dilakukan restorative justice sehingga dibutuhkan peran penuntut umum dalam memaksimalkan penyelesaian perkara berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dengan tetap mengedepankan semangat restorative justice. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana Peran Penuntut Umum dalam mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice dan Mengapa terjadi hambatan dalam memaksimalkan implementasi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, peran yang dilakukan oleh penuntut umum dalam mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berdasarkan restorative justice adalah melakukan penyelesaian terhadap perkara yang telah dilaksanakan secara restorative justice namun tidak mendapatkan persetujuan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan mengimplementasikan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dengan mengunakan instrument pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat sebagaimana yang diatur didalam Pasal 203 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Saran yang disampaikan oleh penulis agar sebaiknya penyelesaian perkara berdasarkan restorative justice prosesnya lebih disederhanakan dan terhadap perkara yang tidak disetujui restorative justice agar dilimpahkan kepengadilan dengan acara pemeriksaan singkat guna penyelesaian perkara berjalan dengan cepat demi mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kata kunci: Peran, Penuntut Umum, Restorative Justice, peradilan cepat sederhana biaya ringan.
Mardasari Tri Buana 21220110392023-06-22T07:33:05Z2023-06-22T07:33:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/73003This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/730032023-06-22T07:33:05ZKEBIJAKAN PEMBERIAN RESTITUSI TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUALLatar belakang penelitian ini adalah minimnya permohonan restitusi yang diajukan oleh anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala meskipun restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual telah diamanatkan dalam Pasal 71D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 serta adanya perbedaan pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala. Rumusan permasalahan meliputi kebijakan pemberian restitusi dan faktor penghambat kebijakan pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual di PN Menggala.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dari data lapangan dan kepustakaan dengan menggunakan data primer melalui wawancara, data sekunder dari 6 (enam) putusan PN Menggala dan peraturan perundang-undangan serta data tersier berupa artikel majalah dan lain-lain.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan pemberian restitusi oleh hakim PN Menggala sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi terkendala pada tidak adanya bukti kerugian formil serta ketidakjelasan komponen ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana yang termasuk dalam pertimbangan yuridis. Selain pertimbangan yuridis, hakim dalam mengabulkan atau tidaknya permohonan restitusi juga mendasarkan pada pertimbangan filosofis yaitu dampak yang dialami anak korban tindak pidana kekerasan seksual serta pertimbangan sosilogis yaitu manfaat restitusi terhadap anak korban, pelaku dan masyarakat. Kebijakan pemberian restitusi oleh hakim PN Menggala telah dilaksanakan namun belum maksimal karena adanya faktor penghambat yang berasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 salah satunya tidak ada ketentuan upaya paksa restitusi, faktor penghambat yang berasal dari aparat penegak hukum, yang berasal dari sarana dan fasilitas hukum dan faktor penghambat yang berasal dari anak korban dan keluarganya.
Perlu adanya pembaruan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan restitusi terhadap anak korban terkait kejelasan komponen ganti kerugian sebagai akibat tindak pidana dan tolak ukur perhitungan restitusi. Selain itu perlu dilakukan pembaruan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan restitusi terhadap anak korban sebagai bagian pemidanaan dan upaya paksa restitusi berupa penitipan uang jaminan restitusi di pengadilan dan sita jaminan restitusi.
KATA KUNCI: pemberian restitusi, anak korban, kekerasan seksual
Siagian Marlina20220110582023-06-22T07:22:53Z2023-06-22T07:22:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72998This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/729982023-06-22T07:22:53ZANALISIS PUTUSAN HAKIM DI LUAR DAKWAAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn)Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dibatasi oleh KUHAP. Pembatasan itu menyakatan hakim memutus berdasarkan dakwaan. Namun di sisi lain jika memutus hanya berdasarkan dakwaan dan jaksa tidak teliti dalam membuat dakwaan ataupun menggunakan pasal keliru meskipun memang kejahatan seksualnya terjadi, maka nilai keadilan bagi korban tidak terbentuk. Sehingga sejauh mana kewenangan hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual terhadap anak, dasar pertimbangan hakim dalam memutus di luar dakwaan tersebut, serta menganalisis suatu putusan.
Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Penggunaan metode ini, penulis menganalisa beberapa putusan di luar dakwaan dalam perkara tersebut dan membandingkan dengan putusan lainnya, sistem hukum, dan aturan-aturan yang berlaku. Kemudian dianalisa dengan metode induktif untuk menjawab masalah yang ada.
Kewenangan hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual dengan korban anak terdapat dua aliran pendapat yaitu menolak dapatnya diputus di luar dakwaan dan memperbolehkan hakim dapat memutus di luar dakwaan. Pada dasarnya Hakim diberikan kewenangan untuk menggali nilai-nilai dan memutus suatu perkara berdasarkan apa yang ditemukan dalam persidangan, mengingat fungsi hakim untuk memberikan keadilan dalam putusannya sebagaimana dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan tersebut dilihat berdasarkan sistem hukum, kode etik hakim, pandangan hakim terhadap asas legalitas dan aturan yang berlaku. Pertimbangan Hakim dalam memutus di luar dakwaan perkara kekerasan seksual terhadap anak dengan melihat aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Pertimbangan hakim tersebut lebih condong kepada aspek filosofis yaitu keadilan untuk korban dan sosiologis yaitu maanfaat putusan dengan memperhatikan dampak yang dialami korban dan keadaan Terdakwa.
Banyaknya praktek hakim memutus di luar dakwaan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak ini maka perlu dibuat Surat Edaran Mahkamah Agung seperti pada kasus narkotika. Selain itu juga perlu untuk diatur dan dibahas dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana. Praktek ini pun juga harus didasari dengan sikap professional, tanggung jawab dan keberanian hakim dalam memutus.
Kata Kunci: putusan, luar dakwaan, kekerasan seksual, anak korbanAMRITA LAKSMI20220110302023-06-22T03:56:00Z2023-06-22T03:56:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72935This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/729352023-06-22T03:56:00ZANALISIS PENERAPAN PIDANA KEBIRI KIMIAWI UNTUK MEWUJUDKAN ASAS CULPAE POENA PAR ESTO
Studi Putusan (Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn)
Pidana kebiri kimiawi diatur dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 namun pelaksanaannya belum terlaksana. Sudah beberapa putusan yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak. sampai saat ini realisasi terhadap eksekusi putusan tersebut belum pernah dilakukan. Berdasrkan latar belakang tersebut, timbul permasalahan mengenai penerapan kebiri kimiawi untuk mewujudkan asas culpae poena par esto serta mengenai faktor penghambatnya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil studi pustaka. Adapun narasumber yang telah diwawancara yaitu Hakim Pengadilan negeri Sukadana, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Sukadana dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Penerapan kasus tindak Kebiri kimiawi merupakan sanksi yang diatur di dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 pasal 81 ayat 2 sampai dengan ayat 3. tindakan kebiri kimia itu sendiri memberikan obat-obatan khusus untuk menurunkan libido dan aktivitas seksual dengan cara mengurangi kadar testosteron dalam tubuh sehingga dorongan seksual akan berkurang dan diharapkan dapat memberikan efek jera bagi terpidana yang dikenai tindakan kebiri kimia agar tidak mengulangi lagi perbuatannya dikemudian hari. Mengenai asas culpae poena par esto pandangan yang sama bahwa para penegak hukum selaku aparat penegak hukum selama proses penuntutan sampai dengan putusan selalu berusaha melakukan penuntutan dan memberikan putusan yang adil bagi para terdakwa termasuk terdakwa persetubuhan terhadap anak dibawah umur, dan dalam prosesnya kami selalu berpedoman pada Undang-Undang dan (KUHP).
Muhammad Thareq Afif
Faktor penghambat penerapan pidana kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur antara lain yaitu adanya kekosongan hukum pada Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 yang belum mengatur secara rinci syarat dan ketentuan mengenai pelaku yang dapat dikenakan tindakan kebiri kimia, Pro dan kontra mengenai hak asasi manusia pada penerapan tindakan kebiri kimia, Kurangnya edukasi / penyuluhan mengenai pengaplikasian Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 kepada aparat penegak hukum.
Saran penelitian ini adalah Sebaiknya sebelum menerapkan hukuman kebiri kimia ini seharusnya pemerintah melakukan pengkajian terlebih dahulu apakah sudah tepat jika diterapkan serta mempertimbangkan efek pasca atau setelah dilakukan penyuntikan zat kimia tersebut. Sebaiknya pemerintah lebih memfokuskan pada upaya pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual terhadap anak dan untuk sanksi pidana seharusnya pemerintah lebih memfokuskan pada pemberatan pidana penjara maksimal terlebih dahulu dan mengkaji hukum kebiri tersebut apakah sudah tepat jika diterapkan di Indonesia.
Kata Kunci: Penerapan Pidana, Kebiri Kimiawi, Culpae Poena Par Esto
THAREQ AFIF MUHAMMAD 19420110202023-06-22T02:45:49Z2023-06-22T02:45:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72890This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/728902023-06-22T02:45:49ZPERSPEKTIF PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DENGAN MENGGUNAKAN RESTORATIVE JUSTICE
ABSTRAK
PERSPEKTIF PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DENGAN MENGGUNAKAN RESTORATIVE JUSTICE
Keadilan restoratif memberikan dialog yang tepat, langsung maupun tidak
langsung antara korban dan pelaku kejahatan dalam bentuk mediasi antara korban
dan pelaku. Persoalannya adalah dapatkah tindak pidana narkotika, khususnya
bagi pecandu dan penyalahguna narkotika yang merupakan kejahatan tanpa
korban (victimless crime), diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah
praktik penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan
menggunakan pendekatan restorative justice; kedua, bagaimanakah kekuatan
hukum penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan
menggunakan pendekatan restorative justice; ketiga, bagaimana model
penghentian penuntutan perkara tindak pidana narkotika dengan menggunakan
pendekatan restorative justice.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau dikenal juga
dengan penelitian hukum doktrinal (Doctrinal Reasearch). Data-data diperoleh
dari data kepustakaan.
Dari penelitian diperoleh informasi bahwa Proses penghentian penuntutan tindak
pidana narkotika dilakukan dengan tahapan yaitu: Kesatu Berdasarkan kronologi
perkara Penuntut umum menilai apakah terdakwa merupakan pengguna terkhir
(end user); Kedua Berdasarkan hasil asesmen terpadu dan barang bukti penuntut
umum menilai apakah terdakwa dikualifikasikan sebagai penyalahguna, korban
penyalahguna atau pecandu narkotika; Ketiga, Penuntut umum melakukan
profiling terhadap terdakwa dengan menggunakan metode know your suspect;
Keempat, Ada kesediaan dari orangtua atau wali terdakwa untuk melakukan
reahabilitasi terhadap terdakwa. Penghentian penuntutan ini mengharuskan
terdakwa menjalani rehabilitasi dengan syarat yang tetap sesuai dengan peraturan
bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan berdasarkan asas oportunitas dan
asas dominus litis jaksa penuntut umum berwenang untuk melimpahkan atau
menghentikan suatu perkara. Pendekatan penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif ini mengacu kepada daad dader strafecht atau yang disebut
model keseimbangan kepentingan. Model tersebut ideal untuk sistem peradilan
pidana di Indonesia saat ini.
Disarankan sebaiknya Jaksa dalam menetapkan penghentian penuntutan dapat
transparan sehingga masyarakat dapat mengawasi perkara yang dihentikan
penuntutannya. Sebaiknya model keseimbangan kepentingan yang di terapkan
diimbangi dengan control dan pengawasan.
Kata kunci: Penghentian Penuntutan, Tindak Pidana Narkotika, Keadilan
restoratif.
iii
Abstract
THE PERSPECTIVE OF TERMINATION OF CRIMINAL PROSECUTION
OF NARCOTICS USING RESTORATIVE JUSTICE
By:
Dita F. Karlinda
estorative justice provides appropriate dialogue, directly or indirectly between
victims and perpetrators of crimes in the form of mediation between victims and
perpetrators. The problem is can narcotics crimes, especially for addicts and
narcotics abusers, which are victimless crimes, be resolved with a restorative
justice approach. The problems studied in this study are: first, how is the practice
of stopping the prosecution of narcotics crime cases using a restorative justice
approach; second, what is the legal power of stopping the prosecution of
narcotics crime cases using a restorative justice approach; third, what is the
model for stopping the prosecution of narcotics crime cases using a restorative
justice approach.
This research uses the method of normative legal research or also known as
doctrinal legal research (Doctrinal Research). The data obtained from library
data.
From the research, information was obtained that the process of stopping the
prosecution of narcotics crimes was carried out in stages, namely: First, based on
the chronology of the case, the public prosecutor assessed whether the defendant
was the end user; Second, based on the results of an integrated assessment and
evidence, the public prosecutor assesses whether the accused qualifies as a
abuser, victim of abuse, or a narcotics addict; Third, the public prosecutor
profiled the accused using the know your suspect method; Fourth, there is a
willingness on the part of the defendant's parents or guardians to rehabilitate the
accused. Termination of this prosecution requires the defendant to undergo
rehabilitation with conditions that remain in accordance with the joint regulations
concerning the Handling of Narcotics Addicts and Victims of Narcotics Abuse in
Rehabilitation Institutions and based on the principle of opportunity and the
principle of dominus litis, the public prosecutor has the authority to transfer or
terminate a case. This approach to stopping prosecution based on restorative
justice refers to daad dader strafecht or what is called the balance of interests
model. This model is ideal for Indonesia's current criminal justice system.
It is suggested that the Prosecutor should be transparent in determining the
termination of prosecution so that the public can monitor cases that have been
discontinued. We recommend that the balance of interests model that is applied is
balanced with control and supervision
Keywords: Termination of Prosecution, Narcotics Crime, Restorative Justice.
2122011048 Dita F. Karlindadita211893@gmail.com2023-06-21T08:47:36Z2023-06-21T08:47:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72824This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/728242023-06-21T08:47:36ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PADA
PERKARA PENGANIAYAAN TENAGA KESEHATAN
(Studi Putusan Nomor 1067/Pid.B/2021/PN.Tjk)
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PADA
PERKARA PENGANIAYAAN TENAGA KESEHATAN
(Studi Putusan Nomor 1067/Pid.B/2021/PN.Tjk)
Tenaga kesehatan kurang mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi terutama pada masa pandemi Covid-19 salah
satu bentuk perlindungan hukum adalah melalui penegakan hukum, pada perkara
Nomor 1067/Pid.B/2021/PN.TJK yang terjadi pada tanggal 4 Juli 2021, terdapat
peristiwa penganiayaan kepada tenaga kesehatan oleh keluarga pasien. Dimana
salah satu pelaku tindak pidana penganiayaan tersebut ialah dari pihak kepolisian.
Akan tetapi, putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim menjatuhkan pidana
kepada tiga terdakwa, masing-masing hanya dengan hukuman satu bulan penjara
saja. Permasalahan dalam penelitian adalah penegakan hukum tindak pidana pada
perkara penganiayaan tenaga kesehatan pada Putusan Perkara Nomor
1067/Pid.B/2021/PN.Tjk dan faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana perkara penganiayaan tenaga kesehatan pada Putusan Pengadilan
Perkara Nomor 1067/Pid.B/2021/PN.Tjk.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris
kemudian di sesuaikan dengan pendekatan yuridis normatif. Narasumber dalam
penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan Akademisi Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana
penganiayaan kepada tenaga kesehatan secara total enforcement yaitu penegakan
hukum menjadi perhatian kendati jaksa mempunyai kewenangan sebagaimana
mestinya, pihaknya masih belum optimal dalam merumuskan surat dakwaan
khususnya terkait pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana
penganiayaan kepada tenaga kesehatan, full enforcement yaitu, keterbatasan aparat
penegak hukum dalam mengatasi persoalan kasus perkara tindak pidana
penganiayaan kepada tenaga kesehatan juga dipicu oleh faktor pandemi Covid-19
yang tentu berdampak pada penanganan kasus-kasus tindak pidana, dan actual
enforcement yaitu baru dapat berjalan apabila sudah ada bukti-bukti cukup, dengan
Gistiana Afifah Susilo
kata lain harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau alat bukti yang
lain, serta pasal yang dilanggar. Serta faktor pengambat antara lain, faktor
penegakan hukum, faktor kebudayaan, dan faktor sarana dan fasilitas.
Saran dari penelitian ini adalah penegak hukum melaksanakan kewenangannya
sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan secara optimal melalui upaya
seperti faktor penegak hukum yang dapat lebih meningkatkan kinerjanya dan lebih
tanggap dalam mengatasi suatu perkara, kendati situasi sedang mengalami pandemi
Covid-19 namun tetap harus mengikuti aturan, faktor kebudayaan penegak hukum
dapat meminimalisir stigma yang beredar terkait fenomena "no viral no justice"
dengan tidak melakukan suatu tindakan secara berbeda terhadap masyarakat yang
ingin memperoleh keadilan dan faktor sarana dan fasilitas digunakan dalam proses
persidangan di pengadilan dapat lebih dicermati secara efisien penggunaannya,
sebab hal tersebut sangat mempengaruhi penegak hukum dalam memberikan suatu
pertimbangan hukum.
Kata kunci: Penegakan Hukum, Penganiayaan, Tenaga Kesehatan 1942011009 Gistiana Afifah Susilogistiana.afifah100919@students.unila.ac.id2023-06-21T06:41:43Z2023-06-21T06:41:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72749This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/727492023-06-21T06:41:43ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA
(Studi Putusan Nomor: 375/Pid.Sus/2022/PN. Tjk) Peningkatan jumlah pekerja migran Indonesia secara tidak langsung menunjukkan
bahwa Negara Republik Indonesia belum mampu mencukupi lapangan pekerjaan
bagi warga negaranya. Faktor keterbatasan lapangan pekerjaan, daya saing yang
tinggi dan penghasilan yang lebih layak merupakan alasan yang membuat tenaga
kerja yang mencari lowongan pekerjaan di dalam negeri merubah pencariannya ke
luar negeri sehingga tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadi PMI di luar
negeri. Sebagian besar pekerja migran ini umumnya terdorong oleh upah yang
relatif lebih tinggi ditempat negara tujuannya dibanding upah yang diterima di
negara asalnya.Tindak pidana Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri
tanpa melalui pelaksanaan penempatan adalah suatu perbuatan tindak pidana yang
merupakan keadaan yang dibuat oleh seseorang untuk, membuat, dan menempatkan
seseorang tanpa melalui sesuatu agar tampak seperti yang asli seolah-olah keterangan yang
dimuat di dalamnya itu benar sehinggga dapat digunakan untuk kepentingan tertentu yang
akan menyebabkan kerugian materil. Permasalahan yang akan dibahas yaitu
bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana percobaan
penempatan pekerja migran Indonesia dan dasar pertimbangan hukum hakim
terhadap pelaku tindak pidana percobaan penempatan pekerja migran Indonesia.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder.
Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa
kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, analisis data menggunakan metode yuridis
kualitatif.
Ilham akbar
Berdasarkan hasil penelitian pembahasan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pelaku Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang dilakukan secara bersama
didasarkan pada unsur-unsur pertanggungjawaban pidana seperti adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan melanggar undang-undang, terdapat unsur
kesalahan berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, adanya pembuat yang
mampu bertanggung jawab, dan tidak ada alasan pemaaf. Dan Pertimbangan
hukum yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku Penempatan Pekerja Migran
Indonesia dalam Putusan Nomor: 375/Pid.Sus/2022/PN.Tjk sudah sesuai dengan
pertimbangan hakim bersifat yuridis, filofofis dan sosiologis. Maka diketahui
bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan alternatif Jaksa Penuntut Umum; bahwa oleh karena
semua unsur Pasal 83 jo. Pasal 68 UU RI nomor 18 tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 53
ayat (1) KUHP telah terpenuhi, maka para Terdakwa haruslah dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam
dakwaan alternatif kesatu.
Saran dari penulis hendaknya bentuk pertangungjawaban pidana berupa pidana
penjara bagi terdakwa digantikan dengan bentuk pidana lain kalaupun itu bukan
masuk kedalam UUPPMI sebagai pelaku tindak pidana penempatan pekerja
migran Indonesia, dengan kata lain apparat penegak hukum dapat membedakan
unsur tindak pidananya antara Undang-Undang perdagangan orang dengan
Undang-Undang PPMI dan aparat penegak hukum dapat mempertimbangkan dan
menggunakan suatu pedoman pemidanaan sebagai dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Penempatan Pekerja Migran
Indonesia
AKBAR ILHAM 1952011059 2023-06-21T04:56:37Z2023-06-21T04:56:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72726This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/727262023-06-21T04:56:37ZANALISIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
(Studi Putusan Nomor: 814/Pid.B/2022/PN.Tjk)
ABSTRAK
ANALISIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
(Studi Putusan Nomor: 814/Pid.B/2022/PN.Tjk)
Proses penyidikan suatu tindak pidana penganiayaan perlu adanya alat-alat bukti
untuk membuktikan tindak pidana tersebut telah dilakukan. Salah satu alat bukti
yang dimaksud diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah
Keterangan Ahli dalam bentuk tertulis, dalam hal ini adalah Visum et Repertum.
Visum et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Dokter atau ahli
Forensik lainnya yang berisi apa yang mereka temukan pada tubuh korban.
Namun, Visum et Repertum biasanya memiliki perbedaan dengan apa yang
sebenarnya terjadi dan juga dengan keterangan terdakwa yang telah dibuat
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini
adalah bagaimanakah Visum et Repertum dibuktikan kekuatannya sebagai alat
bukti dalam pembuktian tindak pidana penganiayaan dan bagaimanakah
pembuktian tindak pidana penganiayaan dengan menggunakan Visum et Repertum
yang memiliki perbedaan dengan keterangan terdakwa (Studi Putusan Nomor:
814/Pid.B/2022/PN.Tjk).
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari penelitian di lokasi
penelitian lapangan dengan melakukan wawancara dengan narasumber,
sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian
kepustakaan. Selanjutnya data yang diperoleh secara deskriptif kualitatif dan
ditarik kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa Visum et
Repertum merupakan alat bukti surat dan memiliki kekuatan pembuktian yang
cukup kuat karena mampu membuktikan unsur penganiyaan. Visum et Repertum
sangat berguna dan bermanfaat untuk memperkuat pembuktian tindak pidana
penganiayaan. Akan tetapi diperlukan alat bukti lain sesuai Pasal 183 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada tersangka kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
Taufik Riyadi
bukti yang sah, diatur pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Pembuktian tindak pidana penganiayaan dengan menggunakan Visum et
Repertum apabila yang memiliki perbedaan dengan keterangan terdakwa,
keterangan dari terdakwa dapat ditolak jika hakim mengetahui bahwa itu adalah
keterangan palsu atau tidak sesuai dengan alat bukti lainnya. Sementara, Visum et
Repertum dapat diganti atau diteliti ulang jika hasil yang diterima tidak
memberikan informasi yang cukup kepada hakim.
Saran dalam penelitian yang dapat disampaikan adalah meskipun tidak mutlak
harus ada Visum et Repertum dalam pembuktian perkara pidana, akan tetapi untuk
memperkuat keyakinan hakim, maka sebaiknya Visum et Repertum itu tetap harus
ada, khusnya tindak pidana yang objeknya adalah tubuh manusia. Terkait adanya
perbedaan hasil Visum et Repertum dengan keterangan terdakwa, pemeriksaan
yang dilakukan oleh pihal-pihak atau instansi yang berwenang agar harus dapat
lebih teliti dan akurat.
Kata Kunci: Penganiayaan, alat bukti, Visum et Repertum
ABSTRAK
ANALISIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
(Studi Putusan Nomor: 814/Pid.B/2022/PN.Tjk)
By
Taufik Riyadi
The process of investigating a crime of persecution requires evidence to prove that
the crime has been committed. One of the means of evidence referred to is
regulated in Law no. 8 of 1981 is Expert Statement in written form, in this case it
is Visum et Repertum. Visum et Repertum is a written report made by a doctor or
other forensic expert that contains what they found on the victim's body.
However, Visum et Repertum usually differs from what actually happened and
also from the testimony of the accused that was previously made. This study aims
to find out how Visum et Repertum is proven as a means of evidence for the crime
of persecution and how to prove the crime of persecution using Visum et
Repertum which has differences with the defendant's statement (Decision Study
No: 814/Pid.B/2022/PN.Tjk).
This study uses a normative juridical problem approach and an empirical juridical
approach. Source of data used in the form of primary data and secondary data.
Primary data is data obtained from research at field research locations by
conducting interviews with informants, while secondary data is data obtained
from library research results. Furthermore, the data obtained was descriptive
qualitative and conclusions were drawn.
Based on the results of the research and discussion, it is concluded that Visum et
Repertum is a documentary evidence and has sufficiently strong evidentiary
power because it is capable of proving elements of persecution. Visum et
Repertum is very useful and beneficial to strengthen evidence of the crime of
persecution. However, other evidence is needed in accordance with Article 183 of
the Criminal Procedure Code that judges may not impose a sentence on a suspect
unless with at least two valid pieces of evidence, regulated in Article 184 of the
Criminal Procedure Code. Proof of the crime of persecution by using Visum et
Repertum if there is a difference with the defendant's statement, the statement
from the defendant can be rejected if the judge knows that it is a false statement or
does not match other evidence. Meanwhile, Visum et Repertum can be replaced or
re-examined if the results received do not provide sufficient information to the
judge.
Taufik Riyadi
Suggestions in the research that can be conveyed are that even though it is not
absolute, there must be a visum et revertum in proving a criminal case, but to
strengthen the judge's conviction, it is better if the visum et revertum must still
exist, especially criminal acts whose object is the human body. Regarding the
difference in the results of the Visum et Repertum with the statement of the
accused, the examinations carried out by authorized parties or agencies must be
more thorough and accurate.
Keywords: Persecution, Evidence, Visum et Repertum
RIYADI TAUFIK 1952011051 2023-06-21T04:54:02Z2023-06-21T04:54:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72725This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/727252023-06-21T04:54:02ZANALISIS KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN
ILMU HITAM DALAM PASAL 252 KUHP NASIONAL ABSTRAK
ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN
ILMU HITAM DALAM PASAL 252 KUHP NASIONAL
Kebijakan Kriminalisasi terkait Perbuatan Ilmu Hitam dalam Pasal 252 KUHP
Nasional dirasa sudah maksimal dalam menantisipasi kasus yang marak karena
Ilmu Hitam di Indonesia. Guna mencegah tindakan main hakim sendiri maka
disahkannnya undang-undang tersebut. Sehingga menimbulkan Pro dan Kontra
terhadap aturan tersebut. Dalam undang-undang tersebut memuat aturan yang
mana seseorang yang mengaku sebagai ahli Ilmu Hitam saja sudah dapat
dilaporkan dan dipidana. Dan hukuman bertambah jika Ilmu Hitam tadi dijadikan
alternatif ladang pekerjaan bagi mereka yang disebut dukun atau Pelaku Ilmu
Hitam.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Dengan menekankan pada kajian hukumnya
dan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber penelitian
terdiri ada Dosen Hukum Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
dan Dosen Bagian Kriminologi dan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung serta Beberapa Pakar dan Ahli Hukum Pidana.
Hasil penelitian ini menunjukan ada alasan mengapa adanya tindak kejahatan
Ilmu Hitam dan disalahgunakan yang awalnya Ilmu kesaktian tersebut adalah
sebuat adat yang turun temurun. Namun karena masalah ekonomi mampu
menjadikan seseorang untuk gelap mata menjadikan Ilmu Hitam sebagai ladang
uang dan juga sebagai alat untuk menyakiti seseorang bahkan membunuh
seseorang karena dendam yang ingin dibayarkan. Akibatnya banyak masyarakat
was-was dan bahkan terjadi aksi saling tuduh yang menyebabkan tindakan main
hakim sendiri hal ini menjadikan kerugian bagi pihak yang tertuduh dan mirisnya
Ajeng Yuni Astari
tak sedikit mereka tewas karena diamuk massa akibat aksi tuduh tersebut. Aturan
terkait Ilmu Hitam baru disahkan tahun 2022 dimuat pada Pasal 252 Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) berisi yang mana dengan Setiap Orang
yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib memberitahukan,
memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang
lain bahwa perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau
penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau atau pidana denda paling banyak kategori
IV. Dan jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). Hal ini
sudah bisa karena dengan Pelaku mempromosikan diri memiliki kekuatan Gaib
saja sudah mampu menjadikan pelaku tersebut menjadi tersangka. Maka dari itu
terkait tindakan Ilmu Hitam sendiri adalah dengan cara mengaku saja sudah bisa
dilaporkan kepada pihak yang berwajib akan tindakan Ilmu Hitam.
Pemerintah hendaknya cermat untuk setiap masyarakat diberikan edukasi yang
tepat terkait ilmu hitam bagaimana cara penangannya dan bagaimanan cara
menyikapinya. Seharusnya banyak kegiatan sosial yang berada di lingkungan
yang mampu menjadikan warganya aktif dan menghindari tindak kriminal.
Banyak mengadakan pengajian agar mereka menajamkan rasa kerohanian kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi aliran sesat. Kebanyakan dari mereka yang
jauh dari Tuhan itu yang salah mengartikan ilmu hitam.
Kata Kunci: Kriminalisasi, Ilmu Hitam, KUHP Nasional YUNI ASTARI AJENG 19120110492023-06-21T03:09:54Z2023-06-21T03:09:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72680This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/726802023-06-21T03:09:54ZIMPLEMENTASI HUKUM GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
ATAS PERKARA ERROR IN PERSONA
Di Indonesia peristiwa yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana ialah
terjadinya salah tangkap atau yang disebut error in persona, dimana sebuah
kekeliruan atas pihak tertentu dalam lingkup peradilan seperti keliru dalam proses
penyidikan. Tindakan ini justru sangat merugikan bagi korban yang mengalami
kesalahan penangkapan. Korban yang mengalami peristiwa salah tangkap berhak
mendapatkan perlindungan hukum berupa ganti kerugian dan rehabilitasi.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: bagaimakah
implementasi hukum ganti kerugian dan rehabilitasi atas perkara error in persona
dan apakah faktor penghambat impelementasi hukum ganti kerugian dan
rehabilitasi atas perkara error in persona.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data menggunakan metode
studi pustaka yang didukung dengan wawancara langsung terhadap narasumber.
Pada penelitian ini terdiri dari Penyidik Polda Daerah Lampung, Hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan
analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
impelementasi hukum ganti kerugian dan rehabilitasi atas perkara error in
persona telah terlaksana dalam Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 95 dan Undang – Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman namun dalam
pelaksanaannya belum berjalan secara maksimal mengingat baru terdapat satu
gugatan yang masuk mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi di Pengadilan
Negeri Tanjung Karang selain itu masih adanya buta hukum di masyarakat yang
belum mengetahui mengenai hak-hak mereka.
Anindya Permata Rahmadini
Sedangkan faktor penghambat implementasi hukum ganti kerugian dan
rehabilitasi atas perkara error in persona faktor struktur hukum yang kurang
memberikan pemahaman dan informasi terkait adanya hak tersebut, selain itu
faktor budaya hukum yang dimana adanya pemikiran di masyarakat mengenai
prosedur yang berbelit – belit dan memakan waktu yang lama sehingga
masyarakat tidak ingin mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Berdasarkan kesimpulan, maka penulis menyarankan dalam hal implementasi
masyarakat dinilai kurang mengetahui akan hak mereka oleh karena itu perlu
adanya koordinasi antar aparat penegak hukum agar dapat memberikan
memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai hak ganti
kerugian dan rehabilitasi jika terjadi kesalahan penangkapan dan korban yang
pernah mengalami tindakan upaya paksa seharusnya lebih berani untuk
menggunakan hak-hak mereka jika telah terjadi kesalahan penangkapan karena
dalam hal ini negara sudah mengaturnya di dalam undang – undang.
Kata Kunci: Implementasi Hukum, Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, Error
In Persona ANINDYA PERMATA RAHMADINI19120111622023-06-21T02:11:28Z2023-06-21T02:11:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72641This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/726412023-06-21T02:11:28ZANALISIS YURIDIS TERHADAP KETERANGAN ANAK DALAM
PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN ANAK
(Studi Putusan: Perkara Nomor 124/Pid.Sus/2021/PN.Kot)
Witness testimony is one of the most important evidence in criminal cases. The
degree of evidence of witness testimony in order to be considered valid as
evidence that has evidentiary power must be met with formal and material
requirements referring to Article 1 Number 27 of the Code of Criminal Procedure
and Article 185 Paragraph (1) of the Code of Criminal Procedure. If a person who
gives testimony as a witness is an adult according to law and has fulfilled the
requirements for the validity of a witness statement as valid evidence as stipulated
in Article 184 of the Code of Criminal Procedure, then there will be no question
about the strength of the testimony given. The problem in this study is how to
protect child witnesses according to Law Number 11 of 2012 and how the
position of children's statements in child violence trials.
This study used a normative juridical approach. The data used are primary data
obtained by direct interviews with judges at the Kota Agung District Court,
prosecutors at the Tanggamus District Attorney's Office, Head of the Child
Protection Section at the Women and Children Empowerment Office and
secondary data obtained through literature studies. Data analysis is carried out on
a regular basis.
The position of the testimony of the Child Witness presented in the trial of case
number 124/Pid.Sus/2021/PN. Kot that cannot stand alone, this child's testimony
has no strength value in proof so it cannot be used as evidence. Therefore, the
value of information given without oath from the child witness must be in
accordance with valid evidence and the testimony of other witnesses. Not having
evidentiary power does not mean that it cannot be considered, but the information
can be used in addition to refining the strength of valid evidence, for example it
can strengthen the judge's conviction or be used as a guide. Legal protection for
minors as witnesses to a crime is good enough and supports a revamp of mind to
provide opportunities and confidence for children to testify in court. Preventive
child witness protection involves all parties related to child protection regarding
the rights of child witnesses which are clearly regulated in Law number 11 of
2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. Psal 89 and Article 90
Asa Hinjia
provide safety guarantees, both physical, mental, and social, as well as ease in
obtaining information about the development of cases. The suggestion in this
study is that judges should pay more attention to the protection of child witnesses
by regulating electronic recording and / or by presenting children in court online
is witness services to reduce the trauma of the child so as not to meet directly with
the perpetrator of the crime.Thus, the child as a witness in giving testimony will
be more free and free besides they are also accompanied by parents / guardians,
social workers and correctional guidance officers (bapas) children so that legal
facts can be created in accordance with the events seen and felt by the child
himself. Especially in the past 2 years, if we look at the trial in the network, it has
been implemented effectively.
Keywords : Position, Child Statement, Conference
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang yang paling utama dalam
perkara pidana. Kekuatan dari pembuktian (degree of evidence) keterangan saksi
agar dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan
pembuktian harus dipenuhi dengan syarat formil dan syarat materiil yang
mengacu pada Pasal 1 Angka 27 KUHAP dan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP. Jika
seseorang orang yang memberikan keterangan sebagai saksi adalah orang dewasa
menurut hukum dan telah memenuhi persyaratan untuk sahnya suatu keterangan
saksi sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,
maka hal ini tidak akan perlu dipertanyakan tentang kekuatan kesaksian yang
diberikan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perlindungan
hukum terhadap saksi anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan
bagaimana kedudukan keterangan anak dalam persidangan kekerasan anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan
adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara langsung hakim pada
Pengadilan Negeri Kota Agung, jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanggamus, Kepala
Bagian Perlindungan Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta
data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Analisis data dilakukan
secara.
Kedudukan dari keterangan Anak Saksi yang dihadirkan dalam persidangan
perkara nomor 124/Pid.Sus/2021/PN.Kot yang tidak bisa berdiri sendiri,
keterangan anak ini tidak memiliki nilai kekuatan dalam pembuktian sehingga
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, nilai informasi yang
diberikan tanpa sumpah dari anak saksi harus sesuai dengan alat bukti yang sah
serta keterangan saksi lain. Tidak memiliki kekuatan pembuktian bukan berarti
tidak dapat dipertimbangkan, namun informasi tersebut dapat digunakan selain
untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian bukti yang sah, misalnya dapat
memperkuat keyakinan hakim atau digunakan sebagai panduan. Perlindungan
hukum bagi anak di bawah umur sebagai saksi suatu tindak pidana cukup baik dan
mendukung perombakan pemikiran untuk memberikan kesempatan dan
Asa Hinjia
kepercayaan diri bagi anak untuk dapat bersaksi di pengadilan. Perlindungan saksi
anak secara preventif melibatkan semua pihak yang terkait dengan perlindungan
anak mengenai hak-hak saksi anak yang diatur secara jelas dalam UndangUndang
nomor
11
tahun
2012
tentang
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak.
Dalam
Psal
89
dan Pasal 90 memberikan jaminan keselamatan, baik fisik mental, maupun
sosial serta kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.
Saran dalam penelitian ini sebaiknya hakim lebih memperhatikan terkaitt
perlindungan terhadap saksi anak dengan adanya pengaturan mengenai perekaman
elektronik dan/atau dengan cara menghadirkan anak dalam persidangan secara
dalam jaringan merupakan pelayanan saksi untuk mengurangi rasa trauma si
anak agar tidak bertemu langsung dengan pelaku kejahatan. Dengan demikian, si
anak sebagai saksi dalam memberikan keterangan akan lebih bebas dan leluasa
disamping mereka juga didampingi oleh orang tua/wali, pekerja sosial maupun
petugas pembimbing pemasyarakatan (bapas) anak sehingga dapat tercipta fakta
hukum sesuai dengan kejadian yang dilihat maupun dirasakan sendiri oleh anak.
Apalagi pada 2 tahun kebelakang jika kita lihat persidangan secara dalam jaringan
sudah diterapkan dengan efektif.
Kata Kunci : Kedudukan, Keterangan Anak, Persidangan
Hinjia Asa 1952011032 2023-06-20T04:30:17Z2023-06-20T04:30:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72549This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/725492023-06-20T04:30:17ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PENGHINAAN DAN
PENCEMARAN NAMA BAIK PEJABAT NEGARA
MELALUI JEJARING SOSIAL
Perkembangan teknologi yang sangat pesat di dalam masyarakat membawa
perubahan dalam berkomunikasi. Dalam penggunaan teknologi dan informasi ini
menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif dari kemajuan
teknologi ialah dapat mempermudah dari segala bidang yang dimana melalui alatalat
elektronik masyarakat dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui
jejaring sosial. Sedangkan terdapat pula dampak negatifnya, misalnya kejahatan
manipulasi data, sabotase, penghinaan dan pencemaran nama baik, maupun
berbagai macam hal lainnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
faktor penyebab kejahatan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik
pejabat negara melalui jejaring sosial, dan bagaimanakah upaya penanggulangan
penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat negara melalui jejaring sosial.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum
normatif-empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang berasal
dari buku, literatur hukum, peraturan perundang-undangan, wawancara serta
bahan-bahan lainnya. Sedangkan analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa faktor penyebab kejahatan
terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat negara melalui jejaring
sosial meliputi: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor
psikologis, berupa adanya gangguan kejiwaan dari seseorang atau keadaan dalam
diri pelaku kejahatan penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat negara
melalui jejaring sosial yang dapat dilihat dari kepribadian dan kontrol emosi dari
seseorang untuk melakukan kejahatan. Selanjutnya faktor eksternal merupakan
faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang dapat meliputi faktor lingkungan
yang negatif sehingga membentuk seseorang untuk berbuat kejahatan. Serta faktor
ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang mengatur tentang penghinaan dan
pencemaran nama baik serta batasan-batasan yang dilakukan dalam bermedia
sosial sehingga mengakibatkan pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik
tersebut
Sharfina Ramadhani
melakukannya hanya untuk kepuasan dirinya dan tanpa memikirkan sanksi yang
timbul akibat tindakannya tersebut Upaya penanggulangan terhadap kejahatan
penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat negara melalui jejaring sosial
dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal dan non penal. Sarana penal
dilakukan dengan cara upaya hukum dan proses hukum berdasarkan UndangUndang
yang berlaku. Sarana penal merupakan pemberantasan setelah terjadinya
kejahatan dengan dilakukannya penyidikan oleh penyidik kepolisian kepada
pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik guna selanjutnya diproses melalui
pengadilan dan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan
sarana non penal dilakukan dengan upaya diluar hukum pidana. Sarana ini
menitikberatkan pada sifat preventif, berupa tindakan-tindakan pencegahan
terjadinya tindak kejahatan penghinaan atau pencemaran nama baik, misalnya
dengan melakukan sosialisasi hukum mengenai peraturan yang mengatur
penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat negara melalui jejaring sosial
yang terdapat pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
pemahaman kepada masyarakat mengenai penggunaan jejaring sosial yang baik
dan bijak guna mengatasi masalah-masalah sosial maupun kesehatan jiwa
masyarakat yang dapat menimbulkan kejahatan penghinaan dan pencemaran nama
baik pejabat negara melalui jejaring sosial.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya masyarakat memiliki kontrol emosi
yang baik agar kedepannya dapat mengendalikan emosinya untuk tidak
berkomentar negatif dan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik serta
memiliki rasa kesadaran hukum yang baik dan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai aturan-aturan yang berlaku, dan sebaiknya aparat penegak
hukum dan pemerintah terus melakukan kerjasama berupa sosialisasi dan
kampanye mengenai penggunaan jejaring sosial yang baik.
Kata Kunci: Kriminologis, Pencemaran Nama Baik, Pejabat Negara,
Jejaring Sosial
The rapid development of technology in society brings changes in
communication. In the use of technology and information this has both positive
and negative impacts. The positive impact of technological progress is that it can
facilitate from all fields where through electronic devices people can enter the
world that seems real through social networks. Meanwhile, there are also negative
impacts, such as data manipulation crimes, sabotage, insults and defamation, and
various other things. The problem in this study is whether the factors that cause
crimes against insult and defamation of state officials through social networks,
and how to overcome insults and defamation of state officials through social
networks.
The approach used in this study is a normative-empirical legal approach that uses
primary data and secondary data derived from books, legal literature, laws and
regulations, interviews and other materials. While data analysis uses qualitative
analysis.
Based on the results of the study, it was found that the factors causing crimes
against insults and defamation of state officials through social networks include:
internal and external factors. Internal factors include psychological factors, in the
form of psychiatric disorders from a person or circumstances in the perpetrator of
crimes, insults and defamation of state officials through social networks that can
be seen from the personality and emotional control of a person to commit crimes.
Furthermore, external factors are factors that come from outside oneself which
can include negative environmental factors that shape someone to commit crimes.
As well as the factor of public ignorance of the regulations governing insult and
defamation as well as the restrictions carried out in social media resulting in the
perpetrators of insult and defamation
Sharfina Ramadhani
do so only for his own satisfaction and without thinking about the sanctions
arising from his actions Countermeasures against the crime of insult and
defamation of state officials through social networks can be carried out using
penal and non-penal means. Penal means are carried out by means of legal
remedies and legal processes based on applicable laws. Penal means are
eradication after a crime occurs by conducting an investigation by police
investigators into perpetrators of insult and defamation to be subsequently
processed through the court and sanctioned in accordance with applicable
regulations. Sedkan sarana non penal is done with efforts outside the criminal
law. This facility focuses on preventive nature, in the form of preventive measures
for the occurrence of criminal acts of insult or defamation, for example by
disseminating laws regarding regulations governing insult and defamation of state
officials through social networks contained in the Electronic Information and
Transaction Law and understanding to the public about the use of social networks
properly and wisely To overcome social and mental health problems that can lead
to crimes of insult and defamation of state officials through social networks.
The advice in this study is that people should have good emotional control so that
in the future they can control their emotions not to comment negatively and
commit insults and defamation and have a good sense of legal awareness and have
knowledge and understanding of applicable rules, and law enforcement officials
and the government should continue to cooperate in the form of socialization and
campaigns on the use of good social networks.
Keywords: Criminologist, Defamation, State Official, Social Network.
RAMADHANI SHARFINA 1912011011 2023-06-20T01:16:17Z2023-06-20T01:16:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72516This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/725162023-06-20T01:16:17ZANALISIS KEKELIRUAN JAKSA DALAM MEMBUAT REQUISITOIR PADA TINDAK PIDANA ASAL USUL PERKAWINAN
(Studi Putusan Nomor 503/Pid.B/2018/PN. Tjk)
Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan. Jaksa Penuntut Umum dalam tugas, fungsi, dan wewenangnya melakukan penemuan hukum sebagaimana mestinya. Penemuan hukum dirangkai dalam bentuk dakwaan. Kerangka dakwaaan menjadi senjata utama dalam proses peradilan pidana. Hal ini dikarenakan dakwaan merupakan tumpuan dalam pemeriksaaan dan pembuktiaan perbuataan pidana akan pelaku. Keberhasilan dalam pembuatan dakwaan, menjadi tolak ukur keberhasilan tugas penututan. Kontruksi hukum yang dibuat jaksa dengan mengutamakan profesionalitas dalam penuntutan, agar menghindari dari kekeliruan dalam pertimbangan menuntut pada surat tuntutan (requistoir). Merujuk kepada suatu putusan hakim yang tidak dapat diberikanan apabila diluar dari tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum. Menjadi suatu hal yang krusial akan kinerja Jaksa Penuntut Umum akan putusan dari hakim. Maka dengan itu peneliti melihat akan dari kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menemukan penemuan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah dasar pertimbangan jaksa dalam membuat surat tuntutan (requisitoir) dalam tindak pidana asal usul perkawinan pada Putusan 503/Pib.B/2018/PN Tjk dan Bagaimanakah pertanggungjawaban jaksa dalam hal kekeliruan jaksa penutut umum pada pembuatan surat tuntutan (requisitoir).
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan normatif dan empiris. Data yang digunakan dalam peneliian adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini adalah, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandarlampung, Kejaksaan Tinggi Lampung, Akademisi Fakultas Ilmu Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan adalah dasar pertimbangan jaksa dalam membuat surat tuntutan (requistoir) dalam tindak pidana asal usul perkawinan. Putusan
503/Pib.B/2018/PN Tjk, didasari pada dakwaan yang disusun. Dakwaan ini menjadikan
dasar pertimbangan jaksa dalam membuat surat tuntutan dengan secara objektif dan subjektif. Surat tuntutan yang merupakan tindak lanjut dari dakwaan yang diberikan akan terdakwa, jaksa tidak mampu menemukan penemuan hukumnya. Putusan hakim yang berangkat dari hasil pemeriksaan dan pembuktian pada prosess peradilan yang dituangkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan. Dengan itu peranan surat dakwaan akan suuatu penuntutan yang akan menjadi putusan hakim dalam proses peradilan pidana sangat krusial. Maka dari itu pertanggungjawaban jaksa dalam hal kekeliruan jaksa penutut umum pada pembuatan surat tuntutan (requisitoir) harus dilakukan pemeriksaan akan berkas perkara
3
Steven Hutahaean melalui eksaminasi dan inspeksi kasus yang merujuk pada pedoman serta kode perilaku jaksa, setelah pemeriksaan dilakukan pertanggungjawaban dapat dimintai melalui ketentuan yang ada.
Saran dari penelitian ini yaitu jaksa penuntut umum dalam menyusun surat tuntutan dengan dakwaan yang memiliki kontruksi hukum yang dibuat dengan jelas dan tepat. Dengan mengutamakan profesionalitas dalam penuntutan, agar menghindari dari kekeliruan dalam pertimbangan menuntut pada surat tuntutan (requistoir). Serta jaksa memiliki pengaturan yang disertai sanksi berlanjut akan ketidakprofesionalitasan jaksa dalam membuat surat tuntutan mengenai kesalahan maupun kekeliruan terhadap pembuatan kontruksi hukum yang tidak tepat
Kata Kunci: Tindak Pidana, Asal Usul Perkawinan, Kekeliruan Jaksa, Surat
Tuntutan
Hutahaean Steven 19120112022023-06-19T04:57:38Z2023-06-19T04:57:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72429This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/724292023-06-19T04:57:38ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENEBANGAN POHON
SECARA ILLEGAL ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENEBANGAN POHON
SECARA ILLEGAL
Penebangan hutan secara liar merupakan semua kegiatan pemanfaatan hasil kayu
secara tidak sah yang terorganisasi, penebangan hutan secara liar akan
mengakibatkan terjadinya perusakan hutan. Permasalahan penelitian adalah
bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap penebangan pohon secara
illegal dan Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap
penebangan pohon secara illegal.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Penyidik PPNS Dinas Kehutanan
Provinsi Lampung dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Univeritas Lampung.
Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penegakan hukum pidana terhadap
penebangan pohon secara illegal terdiri dari 3 tahap yaitu tahap formulasi, tahap
aplikasi dan tahap eksekusi. Pada tahap formulasi, penegakan hukum berdasarkan
Pasal 83 Ayat (1) huruf a Jo. Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Jo. Pasal 55 Ayat
(1) ke 1 KUHP serta Pasal 82 Ayat (1) huruf c Jo Pasal 12 huruf c Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Pada tahap aplikasi Kepolisian
melakukan penyelidikan dan penyidikan, sedangkan Pihak Kejaksaan melakukan
penuntutan. Pada tahap eksekusi Pihak Pengadilan melakukan pemeriksaan di
persidangan. (2) Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap
penebangan pohon secara illegal adalah faktor hukumnya jelas namun belum
diterapkan dengan baik, faktor penegak hukum belum melaksanakan tugas dan
kewenangannya secara responsif terhadap laporan-laporan yang masuk mengenai
tindak pidana penebangan liar, faktor sarana atau fasilitas pendukung yang belum
memadai, faktor pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Provinsi Lampung
mengenai penebangan liar masih sangat rendah serta faktor kebudayaan yang
kurang memegang teguh adat dan istiadat terkait dengan hutan. Dari kelima faktor
tersebut faktor dominan penghambat penegakan hukum pidana terhadap
penebangan pohon secara illegal adalah adalah faktor masyarakat.
Saran dalam skripsi ini adalah kepada penegak hukum dalam hal ini Polisi dan
Dinas Kehutanan hendaknya dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana
penebangan liar di Provinsi Lampung, perlu peningkatkan koordinasi dan
kerjasama positif antara sesama aparatur penegak hukum dan hindari tumpang
tindih kewenangan antar penegak hukum, agar koordinasi antara aparat penegak
hukum tetap kondusif dan alur proses penegakan hukumnya berjalan sesuai
prosedur. Kepada Dinas Kehutanan Provinsi Lampung untuk menanggulangi
terjadinya tindak pidana penebangan liar yang terjadi saat ini diharapkan
pemerintah memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparatur pemerintahan
Provinsi Lampung sehingga dapat mempersiapkan aparatur yang memiliki
kuantitas dan kualitas yang baik dalam hal menghadapi dan menegakkan hukum
terhadap tindak pidana penebangan liar khususnya di Provinsi Lampung. Selain
itu masyarakat diharapkan ikut berperan aktif dalam mencegah terjadinya tindak
pidana penebangan liar dengan melakukan pengawasan dan perlindungan
terhadap hutan dan hasil hutan, serta melaporkan setiap kejadian yang
mencurigakan kepada pihak yang berwajib.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penebangan Pohon, Illegal.
FEBBIYOLA RYKHA 19520110182023-06-19T04:32:15Z2023-06-19T04:32:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72426This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/724262023-06-19T04:32:15ZANALISIS DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU SKIZOFRENIA
PARANOID (Studi Putusan No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn dan Putusan No.
288/Pid.B/2020/PN.Pms)
Putusan No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn dan No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms merupakan
putusan atas tindak pidana Pasal 338 KUHP yaitu melakukan pembunuhan dan kedua
terdakwa didiagnosa pengidap penyakit skizofrenia paranoid, namun dalam hal ini
terdapat perbedaan penjatuhan pidana, yang mana perkara No.
2353/Pid.B/2018/PN.Mdn hakim memerintah untuk terdakwa dirawat di rumah sakit
jiwa, sedangkan perkara No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms dijatuhi pidana penjara selama
13 (tiga belas) tahun. Perbedaan penjatuhan pidana penjara tersebut menimbulkan
terjadinya disparitas pidana. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah
pertimbangan hakim tentang disparitas pada perkara No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn
dan No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms dan faktor yang menyebabkan adanya dispaitas
pidana pada putusan perkara No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn dan No.
288/Pid.B/2020/PN.Pms.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data
menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur Kelas 1A dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Advokat pada RHS & Partners. Analisis
data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar pertimbangan hakim pada putusan perkara
Nomor 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn dan putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN.Pms
didasari atas pertimbangan yuridis yaitu bahwa terpenuhinya unsur Pasal 338 KUHP
pada kedua putusan tersebut, serta pada putusan Nomor 288/Pid.B/2020/PN.Pms
hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak mengidap gangguan kejiwaan skizofrenia
paranoid yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf sehingga Hakim menjatuhi
pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun, hal tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta
persidangan yang telah disampaikan oleh Hakim serta didasari oleh hal-hal yang
meringankan atau memberatkan terdakwa dimana terdakwa telah membunuh nyawa
orang lain. Selain hal tersebut adanya penyebab disparitas pada kedua putusan tersebut
yaitu adanya perbedaan pemidanaan dengan satu tindak pidana yang sama yaitu samasama
mengidap
penyakit
skizofrenia
paranoid
dan
melakukan
pembunuhan,
penyebab
terjadinya
disparitas
antara
kedua
putusan
tersebut
didasari
dengan
adanya
perbedaan
pertimbangan
hakim
sehingga
timbul
disparitas
pemidanaan.
Saran
dalam penelitian ini adalah hendaknya hakim dalam mengatur alasan pemaaf
terhadap pelaku tindak pidana yang mengidap penyakit kejiwaan pada kedua putusan
tersebut tidak hanya dapat memikirkan keadilan semata masyarakat saja akan tetapi
mempertimbangkan kejiwaan terdakwa dimana terdakwa membutuhkan perawatan
kejiwaan yang lebih layak di rumah sakit jiwa sehingga terdakwa dapat sembuh dan
gangguan yang diderita terdakwa tidak akan kambuh lagi dan dapat mencegah
terdakwa mengulangi perbuatannya kembali.
Kata kunci: Disparitas Pidana, Skizofrenia Paranoid, Pertimbangan Hakim
ABSTRACT
CRIMINAL DISPARITY ANALYSIS OF PARANOID SCHIZOPHRENIA
(Study of Court Decision Number 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn and Number
288/Pid.B/2020/PN.Pms)
By
Inriana Angela
Study of Court Decision No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn and No.
288/Pid.B/2020/PN.Pms is a decision on the crime of Article 338 of the Criminal Code,
namely committing murder and the two defendants were diagnosed with paranoid
schizophrenia, but in this case there is a difference in sentencing, in which case No.
2353/Pid.B/2018/PN.Mdn the judge ordered the defendant to be treated in a mental
hospital, while case No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms was sentenced to thirteen years in
prison. The difference in the sentence of imprisonment has led to a disparity in
sentences. The problems examined in this study are analyzing the judge's
considerations about the disparity in case No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn and No.
288/Pid.B/2020/PN.Pms and factors that lead to criminal disparities in the decision on
case No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn and No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms.
The research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Types of data
using secondary data and primary data. Research sources consisted of judges at the East
Jakarta District Court Class 1A and Lecturers in the Criminal Law Department at the
Law Faculty of the University of Lampung and Advocates at RHS & Partners. Data
analysis used is qualitative analysis.
The results of the study show that the basis for the judge's considerations in the decision
of case No. 2353/Pid.B/2018/PN.Mdn and decision No. 288/Pid.B/2020/PN.Pms is
based on juridical considerations namely that the elements of Article 338 of the
Criminal Code are fulfilled in both decisions mentioned, as well as in decision Number
288/Pid.B/2020/PN.Pms the judge was of the opinion that the defendant did not suffer
from paranoid schizophrenia psychiatric disorder which could be used as an excuse so
that the Judge sentenced him to imprisonment for thirteen years, this can
be seen from facts trials that have been delivered by the judge and are based on
mitigating or aggravating circumstances for the defendant where the defendant has
Inriana Angela
killed another person's life. In addition to this, there is a cause for the disparity in the
two decisions, namely the difference in sentencing for the same crime, namely both
suffering from paranoid schizophrenia and committing murder.
The suggestion in this study is that the judge should, in setting the reason for forgiving
the perpetrator of a crime who has a mental illness in the two decisions, not only think
about justice for the community alone, but also consider the psychology of the
defendant where the defendant needs more proper psychiatric care in a mental hospital
so that the defendant can be cured and the disturbance suffered by the defendant will
not recur and can prevent the defendant from repeating his actions again.
Keywords: Criminal Disparity, Paranoid Schizophrenia, Judge’s Consideration
ANGELA INRIANA1912011283 2023-06-14T08:06:22Z2023-06-14T08:06:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72233This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/722332023-06-14T08:06:22ZPERAN PENYIDIK DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA
ABORSI OLEH ANAK
(Studi di Polda Lampung)
Kasus aborsi pada anak sering terjadi dikarenakan pergaulan yang terlalu bebas dan
tidak ada Batasan. Ditambah dengan teknologi yang sudah sangat canggih dan maju
dimana kita bbisa mengakses apapun itu termasuk hal negatif seperti pornografi,
yang mengawali rasa penasaran yang ada pada anak untuk mecoba hal tersebut
tanpa mengetahui apa yang akan diakibatkannya. Disini peranan polisi dalam
menanggulangi kasus aborsi yang dilakukan oleh anak ini sangatlah penting.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Peran
Penyidik Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Aborsi Yang Dilakukan Oleh Anak
dan Apasajakah Faktor Faktor Penghambat Penyidik Dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Aborsi Yang Dilakukan Oleh Anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan
yuridis normative juga yuridis empiris. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari
Penyidik Kepolisian Derah Lampung dan dosen hukum pidana Fakultas Hukum
UNILA. Pengumpulan data dengan studi Pustaka. Analisis data yang dilakukan
menggunakan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
terdapatnya kasus aborsi yang ada pada anak layak untuk diperhatikan. Peranan
penyidik dalam menanggulangi kasus tindak pidana aborsi ini yaitu dengan
melaksanakan proses penyidikan sesuai dengan ketentuan penyidikan yang ada,
dimana proses penyidikan kasus ini hampir sama dengan penyidikan kasus lainnya
yaitu berawal dari laporan masyarakat, mendatangi tkp, otopsi pada janin,
pengumpulan barang bukti untuk menemukan tersangka, melakukan penangkapan
dan melakukan rekontruksi ulang. Selain melaksanakan proses penyidik tetapi juga
melakukan tindakan penanggulangan lainnya seperti mengantisipasi agar tidak
terjadi kasus selanjutnya. Salah satunya yaitu dengan melakukan sosialisasi dengan
Dea Amanda Kesuma
bekerja sama dengan pihak sekolah mengenai bahaya narkoba dan juga seks bebas.
Faktor penghambat bagi penyidik dalam menjalankan perannya untuk
menanggulangi tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak yaitu, dalam proses
penyidikan sulitnya menemukan barang bukti menganai kasus tersebut,
Tertutupnya komunikasi dari sang anak, dan tidak kooperatifnya keluarga disaat
menangani kasus, sehingga sulit mendapatkan informasi.
Saran dalam penelitian ini adalah dibutuhkan terdapatnya aturan hukum yang
memiliki ketegasan sanksi hukuman terhadap pelaku tindak pidana aborsi dalam
aturan yang ada pada aparatur penegak hukum agar dapat lebih memanfaatkan
aturan hukum yang ada untuk menanggulangi kasus ini. Adanya
pertanggungjawaban yang jelas untuk memberikan efek jera kepada pelaku aborsi
dengan tegas, melaksanakan sosialisasi atau penyuluhan oleh badan penegak
hukum yang berkaitan tentang kesehatan reproduksi maupun perempuan dan anak
anak, dikalangan sekolah SD, SMP, dan SMA, lingkungan perkuliahan, juga
masyarakat umum lainnya, pelatihan kepada tenaga medis yang berkompeten
terhadap bidangnya, agar tidak melaksanakan aborsi di luar peraturan hukum yang
ada, dan menghadirkan aparatur wanita dalam hal ini dimana biasanya anak
tersendiri akan lebih bisa terbuka dan tidak malu saat ditangani oleh aparatur wanita
untuk kasus ini.
Kata Kunci: Peran Penyidik, Menanggulangi Tindak Pidana, Aborsi, Anak
Amanda Kesuma Dea19120111562023-06-14T03:06:46Z2023-06-14T03:06:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72091This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/720912023-06-14T03:06:46ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERUSAKAN
HUTAN DIKAWASAN HUTAN KONSERVASI
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting bagi manusia,
termasuk sebagai sumber daya kayu dan juga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari lingkungan. Hasil hutan berupa kayu merupakan sumber daya
alam yang sering menjadi incaran sebagian masyarakat untuk mengambil hasil
hutannya tanpa izin. Rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah
Bagaimanakah Penegakan Hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan? dan
Apakah penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan oleh hakim
sudah dapat menimbulkan detterant effect bagi pelaku?
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data melalui
penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
Analisis data yang digunakan adalah deskriptif
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa 1). Penegakan
Hukum terhadap Tindak Pidana Perusakan Hutan dirasa masih belum optimal hal
ini dapat dilihat dari pelaku yang melakukan tindakannya secara berulang. Ini
membuktikan bahwa Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan
belum optimal walaupun sudah memenuhi unsur dalam penegakan hukum yaitu
unsur kepastian hukum ( rechtzekerheid ), unsur kemanfaatan (doelmatigheid), dan
unsur keadilan (gerichtheid). 2). Penegakan Hukum dalam menjatuhkan putusan
No.1300/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk oleh hakim dirasa masih kurang optimal dalam
menimbulkan Detterant Effect. Dalam menjatuhkan putusan ini hakim perlu
menimbang beberapa unsur sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 83 ayat
1 Undang – Undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan yaitu Unsur Setiap Orang, Unsur dengan sengaja Memuat,
Membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai dan/atau memiliki hasil
penebangan dikawasan hutan tanpa izin. Serta unsur Yang Melakukan, Yang
Menyuruh Melakukan atau Yang Turut Serta Melakukan. Dalam menjatuhkan
hukuman hakim juga perlu memberikan sanksi yang sesuai dengan Pasal 10
KUHP, sanksi tersebut bersifat kumulatif antara sanksi Pidana Badan dan Sanksi
Pidana Denda.
Muhammad Rajasa Mangku Negara
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis menyarankan perlu adanya upaya
yang sungguh-sungguh, tidak hanya dari aparat pemerintah dan penegak hukum
saja, tetapi masyarakat juga dihimbau untuk memiliki kesadaran hukum dan saling
bahu membahu agar dapat terciptanya ketertiban, ketentraman dan masyarakat yang
taat terhadap hukum. Serta upaya pengoptimalan dalam hal sarana dan prasaran
sehingga dapat memudahkan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi
pengawasan serta penjagaan. Adapun dengan pengoptimalan dalam menjatuhkan
hukuman kepada para pelaku penebangan hutan tanpa izin dengan memberikan
pidana tambahan selain dari pidana penjara dan pidana denda, yaitu dengan suaru
hukuman bertanggung jawab dalam menanam kembali (reboisasi) dan bertanggung
jawab dalam pemeliharaan pohon tersebut.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perusakan Hutan, Putusan
Rajasa Mangku Negara Muhammad 19420110172023-06-13T08:34:21Z2023-06-13T08:34:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/72079This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/720792023-06-13T08:34:21ZPERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMERASAN
DALAM JABATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
OLEH ANGGOTA DPRD DAN KEPALA DESA (Studi Pada Kepolisian Resor Lampung Timur)
The role of the Police in investigating criminal acts of extortion in office is
regulated in Law Number 2 of 2002 concerning the Indonesian National Police,
the investigative task is contained in Article 14 letter g. The Indonesian National
Police has authority in terms of investigations, but in the process of investigating
criminal acts of extortion in office it is a criminal act of corruption that is
complicated and difficult, there are often obstacles so that the law enforcement
process tends to deviate from the principles of a fast, simple, low-cost and honest
trial. The problem in this study is the role of the Indonesian National Police in
investigating the criminal act of extortion in office which is carried out jointly by
members of the DPRD and the Village Head and the inhibiting factors in the
process of investigating the criminal act of extortion in office which are carried
out jointly by Members of the DPRD and the Village Head.
This research uses normative juridical as well as empirical juridical approaches.
The resource persons consisted of investigators at the East Lampung Resort Police
and Lecturers in the Criminal Section at the Faculty of Law, University of
Lampung. Data collection by library research and field studies. Data analysis was
carried out qualitatively.
The results of the research and discussion show that the role of the Police in
investigating criminal acts of extortion in office which is carried out jointly by
members of the DPRD and the Village Head includes a normative role, namely
the role carried out by the Police in relation to their duties, functions and
authorities as regulated in Articles 13 and 14 letters g Law Number 2 of 2002
concerning the Indonesian National Police and Article 1 paragraph (2) of Law
Number 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code. The factual role of
the Police in this case was carried out by carrying out investigations and
investigations of cases up to the delegation to the Tanjung Karang District Court.
The role of the Police in the investigation of this case until the delegation to the
Tanjung Karang District Court.
Septi Nadila Utami
The role of the Police in investigating this case with a complete dossier referred to
as P-21 then carried out coercive measures against the perpetrators starting from
the investigation and investigation, arrest, detention, search and examination of
the suspect and witnesses up to the handing over of this case at the Tanjung
Karang District Court. However, the ideal role of the Police in this case has not
been carried out optimally by the East Lampung Police, namely regarding the
statement of the complete file (P-21) which was delayed from the time it should
have been determined. The inhibiting factors in carrying out this role include law
enforcement officers because not all law enforcement officers for the East
Lampung Police can be used as investigators in handling cases of corruption,
inadequate facilities and infrastructure can hinder a crime being uncovered and the
legal culture of enforcement officers. unresponsive law and do not have the same
view of a case.
Suggestions in this study are that law enforcement officials, especially the East
Lampung Resort Police, must increase the professionalism of the police as law
enforcement officers in eradicating criminal acts of extortion in office, in the
investigation process investigators must be selected from people who do have
quality in carrying out their duties to carry out investigations, so that as much as
possible in carrying out the investigation process with the added support of
sophisticated tools from the relevant agencies so as to expedite the investigative
process.
ABSTRAK
Peran Polri dalam penyidikan tindak pidana pemerasan dalam jabatan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, tugas penyidikan terdapat pada Pasal 14 huruf g. polri mempunyai
kewenangan dalam hal penyidikan, namun dalam proses penyidikan tindak pidana
pemerasan dalam jabatan merupakan tindak pidana korupsi yang bersifat rumit
dan sulit, seringkali terdapat kendala-kendala sehingga proses penegakan
hukumnya cenderung menyimpangi asas peradilan yang cepat, sederhana, biaya
ringan serta jujur. Permasalahan dalam penelitian ini adalah peran polri dalam
penyidikan tindak pidana pemerasan dalam jabatan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh Anggota DPRD dan Kepala Desa dan faktor penghambat
dalam proses penyidikan tindak pidana pemerasan dalam jabatan yang dilakukan
secara bersama-sama oleh Anggota DPRD dan Kepala Desa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan juga yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Penyidik pada Kepolisian Resor Lampung Timur dan
Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data
dengan studi Pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Peran Polri dalam
penyidikan tindak pidana pemerasan dalam jabatan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh anggota DPRD dan Kepala Desa meliputi peran normatif yaitu
peranan yang dilakukan oleh Polri terkait tugas, fungsi dan wewenangnya yang
diatur dalam Pasal 13 dan 14 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Peran faktual Polri pada perkara
ini dilakukan dengan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan perkara sampai
pelimpahan ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Peran Polri dalam penyidikan
perkara ini
Septi Nadila Utami
sampai pelimpahan ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Peran Polri dalam
penyidikan perkara ini dengan pernyataan berkas lengkap yang disebut sebagai P21
kemudian
melakukan
upaya paksa terhadap pelaku mulai dari penyidikan dan
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pemeriksaan
tersangka dan para saksi sampai pada pelimpahan perkara ini di Pengadilan
Negeri Tanjung Karang. Namun peran ideal Polri pada perkara ini belum dapat
dilakukan dengan maksimal oleh Kepolisian Resor Lampung Timur yaitu terkait
pernyataan berkas lengkap (P-21) yang mundur dari waktu yang seharusnya telah
ditentukan. Adapun faktor penghambat dari pelaksanaan peran ini meliputi aparat
penegak hukum karena tidak semua aparat penegak hukum Kepolisian Resor
Lampung Timur bisa dijadikan penyidik dalam menangani kasus tindak pidana
korupsi, sarana dan prasarana yang kurang memadai bisa menjadi terhambat suatu
tindak pidana terungkap dan budaya hukum dari aparat penegak hukum yang
tidak responsif dan tidak mempunyai pandangan yang sama terhadap suatu
perkara.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya para aparat penegak hukum
khususnya Kepolisian Resor Lampung Timur harus meningkatkan
profesionalisme kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana pemerasan dalam jabatan, dalam proses penyidikan
penyidik harus dipilih dari orang-orang yang memang memiliki kualitas dalam
melakukan tugasnya untuk melakukan penyidikan, sehingga dapat semaksimal
mungkin dalam melakukan proses penyidikan dengan ditambah dukungan alat
yang canggih dari instansi terkait sehingga dapat memperlancar proses penyidik.
Nadila Utami Septi19420110022023-06-13T01:45:35Z2023-06-13T01:45:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71941This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/719412023-06-13T01:45:35ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA LAMPU STROBO DAN ROTATOR SIRINE PADA MOBIL PRIBADI BERDASARKAN PASAL 134 UU No. 22 TAHUN 2009 TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
(Studi Wilayah Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Lampung)Penggunaan lampu strobo yang digunakan masyarakat telah menyimpang dari maksud dan kepentingan tertentu yang diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Para pengemudi tersebut menggunakan lampu strobo dengan maksud agar memiliki hak utama yaitu kendaraan yang dikemudikannya mendapat prioritas dan didahulukan dari pengguna jalan lain. Sedangkan hak utama itu hanya diberikan untuk kendaraan yang mempunyai kepentingan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU LLAJ. Permasalahan dalam tulisan ilmiah ini berupa bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan lampu strobo dan rotator sirine pada mobil pribadi dan faktor penghambat dalam proses penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan sirine dan lampu strobo pada kendaraan pribadi di Bandar Lampung.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
Penegakan hukum pada tindak pidana pelanggaran pengguanaan lampu strobo dan rotator sirine berdasarkan hasil penelitian penulis, berada pada tahap formulasi dan tahap aplikasi. Tahap formulasinya yaitu adanya Undang- Undang yang mengatur pelanggaran pengguanaan lampu strobo dan rotator sirine pada mobil pribadi yang seharusnya menjadikan ketertiban lalu lintas semakin terjaga, seperti Undang- Undang yang sudah tertera mengatur adanya pelanggaran pengguanaan lampu strobo dan rotator sirine pada mobil pribadi, yaitu pada Pasal 58 UU No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Pasal 279 UU No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan sanksi dari pelanggaran tersebut. Sedangkan pada tahap aplikasinya yaitu penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisisan Ditlantas Polda Lampung dengan cara persuasif seperti melakukan himbauan dan teguran kepada
pengguna lampu strobo dan rotator sirine, dan tidak ada penegakan hukum secara represif, dimana pihak kepolisian tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melaksanakan proses hukum selanjutnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan para pengendara mobil pribadi yang melakukan pelanggaran pengguanaan lampu strobo dan rotator sirine tersebut sudah patuh ketika pihak kepolisian melakukan penindakan secara persuasif.
Faktor yang menghambat Polisi Lalu Lintas dalam melaksanakan penegakan hukum untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran penggunaan lampu strobo dan rotator sirine, faktor yang paling dominan yaitu faktor masyarakat dimana kurang meratanya pemahaman hukum oleh masyarakat dalam memahami peraturan perundang- undangan yang mengatur teknis dalam berkendara yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelanggaran pengguanaan lampu strobo dan rotator sirine pada mobil pribadi. Faktor lainnya adalah faktor sarana dan prasarana, penegakan hukum akan berjalan dengan baik jika didukung oleh sarana, fasilitas yang lengkap dan memadai demi kepentingan tegaknya hukum agar dapat terlaksana secara efektif.
Saran dari penelitian ini adalah Polantas perlu melakukan pembenahan guna meningkatkan kinerja dalam menanggulangi suatu pelanggaran lalu lintas, sanksi pada undang-undang yang mengatur mengenai pelanggaran penggunaan lampu strobo dan rotator sirine perlu ditegakan guna memberi efek jera kepada pelanggar.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Pengguna, Lampu Strobo, Rotator Sirine
Arif Maulana Rayhan 19120112822023-06-12T10:31:00Z2023-06-12T10:31:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71909This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/719092023-06-12T10:31:00ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM
(Studi Putusan No.190/Pid.Sus/2018/PN.Skt)
Putusan batal demi hukum terhadap surat dakwaan adalah putusan hakim yang
menyatakan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum tidak berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Surat dakwaan menjadi satu unsur yang terpenting yang
digunakan hakim dalam memeriksa perkara di pengadilan. Ketentuan mengenai
pembuatan surat dakwaan diatur dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP.
Mengenai ketentuan tersebut mengatur mengenai syarat materiil meliputi, uraian
secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam penelitian
ini, penjatuhan putusan hakim batal demi hukum. Permasalahan dalam penelitian
ini, yaitu (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan batal demi hukum dalam Putusan Nomor 190/Pid.Sus/2018/PN.Skt. (2)
Bagaimanakah akibat dan upaya hukum terhadap putusan hakim yang menjatuhkan
putusan batal demi hukum.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber
penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Jaksa
Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Analisis dasar pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan putusan batal demi hukum dalam Putusan Nomor
190/Pid.sus/2018/PN.Skt adalah didasari atas pertimbangan yuridis, yaitu
kekeliruan penuntut umum dalam menentukan golongan usia terdakwa dalam
membuat surat dakwaan dan kesalahan penuntut umum dalam menentukan pasal
dalam dakwaan kedua yang tidak sesuai berdasarkan Pasal 143 Ayat (2) huruf b.
Pertimbangan filosofis hakim mempertimbangkan putusan yang dijatuhkan sebagai
bentuk pembelajaran jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan. Secara
sosiologis hakim mempertimbangkan penjatuhan putusan dakwaan batal demi
hukum terhadap masyarakat. (2) Akibat dan upaya hukum terhadap penjatuhan putu
David Bastian
san hakim yang menjatuhkan putusan batal demi hukum. terdapat akibat putusan
batal demi hukum dinyatakan bukan putusan nebis in idem, akibat terdakwa
dikeluarkan dari tahanan, dan barang bukti yang dikembalikan dalam perkara ini.
Upaya hukum yang dapat ditempuh penuntut umum ataupun korban, yaitu upaya
tingkat banding, upaya tingkat kasasi dan pengajuan berkas kembali ke pengadilan
negeri.
Saran dalam penelitian ini adalah (1) Agar jaksa penuntut umum dalam membuat
dan menyusun surat dakwaan lebih cermat, jelas, dan lengkap. Hendaknya jaksa
penuntut umum dapat menyesuaikan delik perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
dengan pasal yang didakwakan dan lebih tepat dalam menggolongkan usia
terdakwa yang dibuat dalam surat dakwaan. (2) Agar hakim dalam proses peradilan
hukum pidana bersifat lebih aktif. Hendaknya hakim pada surat dakwaan yang tidak
memenuh persyaratan menjatuhkan putusan sela, supaya dalam penjatuhan putusan
sela jaksa penuntut umum dapat memperbaiki surat dakwaan, sehingga hakim
dalam mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan dapat mewujudkan keadilan
dan kepastian hukum.
Kata Kunci: Pertimbangan, Putusan Hakim, Batal Demi Hukum.
Bastian David 19520110262023-06-12T07:33:12Z2023-06-12T07:33:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71910This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/719102023-06-12T07:33:12ZURGENSI DIVERSI BAGI PELAKU ANAK PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA DALAM UPAYA PEMBERIAN REHABILITASI
OLEH HAKIMBerdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menegaskan pengguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial, Namun penerapan rehabilitasi terhadap pengguna
penyalahguna narkotika sering terjadi permasalahan yang membuat kebijakan
rehabilitasi sulit untuk diterapkan. Permasalahan penelitian ini adalah Bagaimana
urgensi diversi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika dalam upaya pemberian
rehabilitasi oleh hakim dan Apakah faktor penghambat penerapan diversi bagi
pelaku penyalahgunaan narkotika dalam upaya pemberian rehabilitasi oleh hakim.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan
pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun
Narasumber dari penelitian ini terdiri dari Hakim pada Pengdilan Negeri Tanjung
Karang Kelas IA dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan urgensi pelaksanaan diversi
bagi pelaku anak penyalahgunaan narkotika dalam upaya pemberian rehabilitasi
oleh hakim bahwa penerapannya belum maksimal. Belum ada peraturan khusus
bahwa diversi dapat diterapkan untuk pelaku dewasa karena hukum positif diversi
hanya dapat diterapkan untuk pelaku anak sebagaimana diatur secara khusus
penerapan diversi hanya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu, untuk menjadikan formulasi
terbaik dalam keberhasilan urgensi dari penerapan diversi bagi pelaku anak
penyalahgunaan narkotika supaya mendapat sanksi tindakan berupa rehabilitasi
medis dan sosial yaitu perlu adanya kesepahaman antara aparat penegak hukum
yang terdiri dari penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat serta organ-organ
pendukungnya seperti pembimbing kemasyarakatan, tenaga kerja sosial, dan tokoh masyarakat. Faktor yang menjadi penghambat penerapan diversi bagi
pelaku penyalahgunaan narkotika dalam upaya pemberian rehabilitasi oleh hakim
yang menyebabkan pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik dan lancar yaitu
Faktor kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam pelaksanaan diversi
yang belum mempedomani syarat-syarat diversi, pelimpahan berkas perkara di
pengadilan tidak diberikan informasi yang utuh, dan pertimbangan penelitian
kemasyarakatan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Saran dalam skripsi ini adalah Hakim wajib meningkatkan pendidikan dan selalu
mengikuti seminar tentang perkembangan undang-undang yang baru serta
perlunya pemahaman mengenai diversi disemua tingkatan peradilan maupun
masyarakat dengan melalui penyuluhan tentang diversi, agar masyarakat
memahami penerapan diversi bagi pelaku anak penyalahgunaan narkotika dan
Diharapkan kepada aparat penegak hukum khususnya Hakim di pengadilan
meningkatkan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya perlindungan
anak melalui proses diversi (menyelesaikan masalah secara non litigasi), apa yang
menjadi tujuan dari diversi, agar masyarakat tersebut dapat menghilangkan sifat
pembalasan (retributif) dalam menyelesaiakan suatu tindak pidana melakukan
musyawarah terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum.
Kata kunci: Urgensi, Diversi, Narkotika, RehabilitasiRIZKY AKBAR . MUHAMMAD 1912011216 2023-06-09T08:26:21Z2023-06-09T09:28:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71866This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/718662023-06-09T08:26:21ZAnalisis Disparitas Pidana Terhadap Penyalah Guna Narkotika
(Studi Putusan Perkara Nomor 156/Pid.Sus/2021/PN.Met, Nomor
39/Pid.Sus/2020/PN.Met dan Nomor 134/Pid.Sus/2021/PN.Met)Terpidana penyalah guna narkotika setelah di pidana penjara memperbandingkan penjatuhan pidana dengan terpidana lain akan merasa bahwa masa tahanannya jauh lebih lama dibandingkan dengan terpidana lain walaupun dengan persamaan tindak pidana. Permasalahan ini disebut dengan disparitas pidana yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Berdasarkan isu hukum tersebut maka permasalahan yang akan dibahas adalah faktor penyebab terjadinya disparitas dalam putusan hakim terhadap penyalah guna narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang berbeda terhadap penyalah guna narkotika berdasarkan Putusan Nomor 156/Pid.Sus/2021/PN.Met, Putusan Nomor 39/Pid.Sus/2020/PN.Met dan Putusan Nomor 134/Pid.Sus/2021.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan didukung wawancara dengan narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Metro Kelas IB, Advokat Peradi Kota Metro, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya disparitas yaitu faktor hukum dan faktor hakim, faktor hukum disebabkan tidak diaturnya mengenai asas atau pedoman bagi hakim dalam memutus tindak pidana penyalah guna narkotika kemudian faktor hakim disebabkan hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas sehingga memberi keleluasaan hakim untuk menjatuhkan pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang berbeda terhadap terdakwa penyalah guna narkotika berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Metro No. 156/Pid.Sus/2021/PN.Met, Putusan No. 39/Pid.Sus/2020/PN.Met dan Putusan No. 134/Pid.Sus/2021/PN.Met yaitu pertimbangan yuridis dan non yuridis, secara yuridis yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di dalam Persidangan, sedangkan non yuridis yaitu penilaian hakim diluar dari fakta-fakta hukum yang terungkap.
Bimantara Suherly Putra
Adapun saran dalam penelitian ini, adalah diharapkan Mahkamah Agung untuk dapat merumuskan sebuah pedoman pemidanaan bagi penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Dan diharapkan agar hakim dalam membuat pertimbangan hukum harus dapat mengeksplisit putusan dan dalam pertimbangan hakim diharapkan agar hakim dapat mengupayakan penyalah guna narkotika untuk direhabilitasi dan dapat memanusiakan manusia.
Kata Kunci : Disparitas, Narkotika, Penyalah Guna, Hakim.
Criminal disparity is the application of punishments that are not the same or for criminal acts whose dangerous nature can be compared without a clear basis for giving a decision. This problem raises public distrust of the judiciary. Factors that affect criminal disparity are legal factors and judge factors, while criminal disparity occurs is influenced by judges' considerations both juridically and non-juridically.
The method used in this study is a normative and empirical juridical approach that uses secondary data. The data collection method used the literature study method and was supported by interviews with informants in this study consisting of Judges at the Metro Class IB District Court, Peradi Advocates of Metro City, and Lecturers of the Criminal Law Department at the Faculty of Law, University of Lampung. Qualitative data analysis.
Based on the results of the research and discussion, it can be seen that the factors that cause disparity are legal factors and judge factors. judge to sentence. The basis for the judge's consideration in passing a different decision against the defendant who abuses narcotics is based on the Decision of the Metro District Court No.
156/Pid.Sus/2021/PN.Met, Decision No. 39/Pid.Sus/2020/PN.Met and Decision No. 134/Pid.Sus/2021/PN.Met, namely juridical and non-juridical considerations, juridically, namely the judge's consideration based on legal facts revealed in the trial, while non-juridical, namely the judge's judgment outside of the revealed legal.
Suggestions from the authors in this study in terms of legal factors and judge factors. Legal factors, it is hoped that a criminal guideline for narcotics abusers will be made for themselves. The judge factor, it is expected that the judge in making legal considerations must be able to make the decision explicit. Judicial of judges, it is hoped that narcotics abusers will be rehabilitated. Non-juridical of judges, it is expected that judges in making legal considerations must be able to humanize humans.
Keywords: Disparity, Narcotics, Abuse, Judge.
Suherly Putra Bimantara 1952011024 2023-06-07T08:48:41Z2023-06-07T08:48:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71746This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/717462023-06-07T08:48:41ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN BULLYING YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK MELALUI SARANA NON PENALPerbuatan negatif tersebut ialah sebagai wujud dari bullying, perilaku yang sudah
lama terjadi dan mengancam anak saat disekolah, rumah, serta lingkungan.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, terbukti dengan
terjadinya peristiwa bullying pada pelajar saat ini, tetapi tidak mendapatkan
perhatian. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah upaya
penanggulangan kejahatan bullying yang dilakukan olehanak menggunakan sarana
non penal dan Apakah faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan
Bullying yangdilakukan oleh anak melalui sarana non penal.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder.
Narasumber: Staf Lembaga Perlindungan Anak Kota Bandar Lampung, Ketua RT
05 Sukabumi Indah PUSKUD, Korban Bullying, Pelaku Bullying dan Akademisi
Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Upaya Penanggulangan
Kejahatan Bullying yang Dilakukan Oleh Anak Menggunakan Sarana Non Penal
adalah dengan cara memberikan informasi kepada anak didik tentang bullying,
upaya pengendalian emosi anak didik, pemberian layanan konseling bagi para
anak didik di sekolah, adanya sosialisasi,pemberian penyuluhan tentang hukum,
norma agama, penanaman ahklak yang baik oleh pihak terkait seperti guru,
ustad/pembimbing rohani, polisi, Departemen Hukum dan HAM serta LSM serta
menyiapkan anak didik yang bebas dari aksi bullying, baik sebagai pelaku
maupun sebagai korban bullying, menumbuhkan empati anak didik. Namun upaya
penanggulangan bullying tidak semuanya menggunakan sarana penal (hukum
pidana), proses akademis atau sanksi akademis juga digunakan untuk
menanggulangi bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Faktor Penghambat
Upaya Penanggulangan Kejahatan Bullying yang Dilakukan Oleh Anak Melalui
Sarana Non Penal adalah faktor bullying ditinjau dari segi pelaku disebabkan
karena adanya perbedaan ras agama dan budaya, munculnya simbol senioritas,
terkadang pelaku bullying merasa bahwa memiliki kelebihan yang lebih daripada
korban, terjadinya brokenhome (masalah dalam keluarga), bullying dilakukan3
untuk dijadikan sasaran hiburan, bullying dilakukan untuk meningkatkan ke
popularitas diantara siswa, dan adanya perbedaan ekonomi. Dan faktor tindak
kekerasan bullying yang timbul dari segi korban disebabkan karena orang yang
menjadi korban bullying lebih lemah dari pelaku, korban lebih banyak berdiam
diri atau menyendiri, merupakan orang yang baru dalam lingkungannya, dan anak
yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan mayoritas dengan anak lain.
Saran dalam penelitian ini adalah bahwa seharusnya setiap pihak berperan aktif
dalam pencegahan tindak kekerasan bullying yang terjadi baik di lingkungan
sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Perlu adanya peraturan khusus
mengenai tindak kekerasan bullying baik secara fisik maupun verbal. Karena
tanpa aturan khusus bullying hanya dianggap sebagai perlakuan yang wajar atau
bahkan dapat menjadi budaya dalam masyarakat.
Kata Kunci: Upaya Penanggulangan, Bullying Anak, Sarana Non Penal.ANAM KHOIRUL 17120111992023-06-05T06:57:22Z2023-06-05T06:57:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71637This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/716372023-06-05T06:57:22ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENJADI
JUSTICE COLLABORATOR
(PUTUSAN 41/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk)
Mengungkapkan sebuah perkara dalam suatu tindak pidana adalah persoalan sulit,
mengapa demikian dikarenakan sulit mencari saksi yang bersikap kooperatif
dalam setiap pemeriksaan. Persoalan Justice collaborator merupakan persoalan
yang menarik sekaligus pelik didalam konsepsi dan dimensi legalisasi dan
regulasinya. Karena sangat diperlukan dalam pengungkapan delik tertentu yang
bersifat serious crime dan scandal crime. Adapun yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah pengaturan pengaturan hukum
terhadap Justice collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia dan
Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak
pidana korupsi bagi justice collabotrator dalam putusan Nomor 41/Pid.SusTPK/2018/PN
Tjk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan empiris. Penelitian
normative dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum,
sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataannya baik berupa penilaian perilaku dalam perspektif Hakim, Jaksa dan
Akademisi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diketahui bahwa Indonesia
saat ini belum ada pengaturan secara jelas mengenai Justice collaborator,
berdasarkan hal tersebut maka sangat mendesak perlu adanya suatu peraturan
khusus yang mengatur tentang Justice collaborator secara rinci beserta
perlindungannya dan penghargaannya untuk memberikan jaminan rasa aman
kepada Justice collaborator serta kriteria yang lebih jelas agar tidak terjadi
perbedaan pandangan lagi diantara aparat penegak hukum. Dengan demikian
aturan-aturan mengenai tindak tanduk serta perlakuan terhadap Justice
collaborator perlu diperhatikan lebih dalam lagi, sehingga seseorang yang terlibat
baik Whistleblower maupun Justice collaborator bahkan aparat kepolisian dapat
lebih leluansa serta lebih baik bekerja dalam membongkar suatu kejahatan
terorganisir.
Putri Ayu Lestari
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi saran penulis diharapkan kepada
masyrakat yang mengetahui tindak pidana berkenaan dengan tindak pidana
korupsi agar mau menjadi saksi yang bekerjasama, hal tersebut guna membantu
aparat penegak hukum dalam memaksimalkan upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi dan bagi pemerintah dan instansi yang berwenang yang terkait,
diharapkan dapat meningkatkan upaya-upaya terealisasikan hak-haknya sampai
proses pemeriksaan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tersebut terakhir.
Dan segera membentuk lembaga khusus yang menaungi disetiap daerah Di
Indonesia agar terakomodirnya perlindungan saksi dan korban tersebut.
Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Justice collaborator, Tindak Pidana
Korupsi
Disclosing a case in a criminal act is a difficult problem, why is because it is
difficult to find witnesses who are cooperative in every examination. The issue of
Justice collaborators is interesting and complicated in terms of its conception and
legalization and regulatory dimensions. Because it is very necessary for the
disclosure of certain offenses that are serious crimes and scandalous crimes. The
problems in this writing are: How are the legal arrangements for Justice
collaborators in criminal acts of corruption in Indonesia and What is the basis for
judges' considerations in passing decisions on criminal acts of corruption for
justice collaborators in decision Number 41/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk.
This study uses a normative and empirical juridical approach. Normative
research is carried out on matters that are theoretical on legal principles, while
the empirical approach is carried out to study law in reality either in the form of
behavioral assessment from the perspective of judges, prosecutors, and
academics.
Based on the results of the research and discussion, it is known that Indonesia
currently has no clear arrangements regarding Justice collaborators. Based on
this, there must be a need for a special regulation that regulates Justice
collaborators in detail along with their protection and rewards to guarantee a
sense of security for Justice collaborators as well as clearer criteria so that there
will be no more differences of opinion among law enforcement officials. Thus, the
rules regarding behavior and treatment of Justice collaborators need to be
considered more deeply, so that those involved, both Whistleblowers and Justice
collaborators, and even the police, can have more freedom and work better in
dismantling an organized crime.
Putri Ayu Lestari
Based on the description above, the author suggests that people who know about
criminal acts related to corruption are willing to become witnesses who
cooperate, this is to assist law enforcement officials in maximizing efforts to
eradicate corruption and for the government and related authorities. It is hoped
that this will increase efforts to realize their rights until the process of examining
the corruption case is final. And immediately form a special institution that
oversees every region in Indonesia so that the protection of witnesses and victims
is accommodated.
Keywords: Consideration of Judges, Justice collaborators, Crime of Corruption
Ayu Lestari Putri19120110282023-06-05T02:35:56Z2023-06-05T02:35:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71621This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/716212023-06-05T02:35:56ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PETUGAS
KEAMANAN PERUSAHAAN SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PENCURIAN DI PERUSAHAAN PT. SENTRAPROFEED
BANDAR LAMPUNG
(Studi Putusan Nomor 310/Pid.B/2021/PN Tjk)
Pencurian merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 362. Adapun beberapa kategori pencurian yang
diatur dalam KUHP, diantaranya tindak pidana pencurian biasa, pencurian dengan
kekerasan, pencurian kendaraan bermotor sampai pencurian dengan pemberatan.
Tindak pidana pencurian dengan pemberatan di atur dalam Pasal 363 KUHP dengan
ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Salah satu peristiwa pencurian
dengan pemberatan yaitu terdapat pada Putusan Nomor 310/Pid.B/2021/PN Tjk,
seorang petugas keamanan perusahaan PT. Sentraprofeed bernama Ridwan Bin
Subra yang meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan
pemberatan dan di putus 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara. Permasalahan dalam
penelitian adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap petugas
keamanan perusahaan sebagai pelaku tindak pidana pencurian di perusahaan PT.
Sentraprofeed Bandar Lampung dan apakah dasar pertimbangan hakim terhadap
petugas keamanan perusahaan sebagai pelaku tindak pidana pencurian di
perusahaan PT. Sentraprofeed Bandar Lampung.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah
secara normatif dan empiris. Sumber data yang digunakan data primer dan skunder.
Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan, kemudian
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Petugas Keamanan Perusahaan sebagai pelaku tindak pidana pencurian di
perusahaan PT. Sentraprofeed Bandar Lampung bahwa terdakwa Ridwan Bin
Subra didalam persidangan pengadilan negeri tanjung karang telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan cara
menduplikat kunci dan memberikan kepada temannya Bernama Muchtar, Syamsul
dan Mad Yusuf sehingga teman terdakwa dapat mengambil 4 (empat) unit mesin
motor gear motor dengan cara merusak. Perbuatannya tersebut
Ardiansyah Ma’arif
termasuk dalam pencurian dengan pemberatan” sebagaimana diatur dan diancam
pidana berdasarkan Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke-5 KUHP. (2) Pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Ridwan Bin Subra yaitu
pertimbangan yuridis dan non yuridis, keadaan dan latar belakang keluarga
terdakwa, serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, seperti barang bukti, keterangan saksi dan pertimbangan
hakim terhadap keadaan yang memberatkan dan keadaan yang meringankan.
Saran majelis hakim hendaknya dalam memutuskan tindak pidana pencurian
seharusnya melihat total kerugian korban, memperhatikan tujuan pemidanaan, dan
harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang memberikan rasa
keadilan, baik bagi korban, terdakwa, maupun masyarakat sehingga dapat tercipta
suatu kepastian hukum.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pidana, Pencurian dan Pemberatan
MA’ARIF ARDIANSYAH 19420110232023-05-31T08:43:17Z2023-05-31T08:43:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71609This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/716092023-05-31T08:43:17ZPENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENIPUAN SIBER DENGAN
MODUS OPERANDI BUSINESS EMAIL COMPROMISE
(Studi Putusan Nomor: 351/Pid.Sus/2021/PT.DKI)
Penipuan dengan modus Business Email Compromise merupakan tindak pidana
penipuan siber dimana pelaku menyamarkan alamat email nya sebagai rekan bisnis
perusahaan si korban untuk kemudian mengirimkan email berisi permintaan kepada
korban. Tindak pidana penipuan siber dengan modus operandi Business Email
Compromise pernah terjadi pada tahun 2021 dimana para pelaku yang merupakan
Warga Negara Indonesia (WNI) berhasil menipu dan menyebabkan sejumlah
kerugian kepada perusahaan asing asal Taiwan dan Korea Selatan. Berdasarkan
latar belakang tersebut, timbul permasalahan dalam penelitian ini yakni
bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana penipuan siber dengan modus
operandi Business Email Compromise serta apa sajakah yang menjadi faktor
penghambat penegakan hukum tindak pidana penipuan siber dengan modus
operandi Business Email Compromise.
Metodenpenelitian yangndigunakan adalahnpenelitian hukumnnormatifnempiris
dengan cara menganalisis peraturannperundang-undangan serta bahan hukum
sekunder atau bahan pustaka dengan menggunakan pendekatannkualitatif, yang
merupakannmetode analisis penelitiannyang menghasilkanndatandeskriptif analitis
dengan cara mengumpulkan data di lapangan dan mengkajinya dengan asas-asas,
doktrin, norma hukum yangnberkaitan dengannpenegakannhukum tindak pidana
penipuan siber dengannmodus Business Email Compromise.
Hasilnpenelitian menunjukkannbahwa penegakan hukum tindaknpidananpenipuan
siber denganfmodus BEC dilakukan dengan menggunakan teori penegakan hukum
yakni secara in abstracto dan in concreto. Pada penegekan hukum pidana in
abstracto, penipuan Business Email Compromise dapat dikaitkan dengan Pasal 45A
Ayat (1) Jo. Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, Pasal 85 UU Transfer Dana dan Pasal 3 UU
TPPU. Kemudian secara in concreto, Jaksa Penuntut Umum yang memberikan
dakwaan kumulatif yakni Kesatu: Pasal 85 UU Transfer Dana Jo. Pasal 55 Ayat 1
ke 1 KUHP; Kedua, Pasal 3 UU TPPU Jo. Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Majelis
Hakim melalui putusan pengadilan Nomor: 728/Pid.Sus/2021/PN.JKT.SEL
Muhammad Fadhil Firdaus
sependapat dengan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yaitu Kesatu: Pasal 85 UU
Transfer Dana Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, Kedua: Pasal 3 UU TPPU Jo. Pasal
55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Lalu melalui banding dengan Putusan Nomor:
351/Pid.Sus/2021/PT.DKI menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan saudari Lusi di eksekusi pidana penjara selama tiga tahun dengan dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah Terdakwa
tetap ditahan dan denda sebesar lima puluh juta rupiah serta penyerahan sejumlah
barang bukti berupa buku tabungan kepada White Wood House Food CO, Ltd.
Sedangkan Faktor penghambat pada penegakan hukum tindak pidana penipuan
BEC adalah karena masyarakat yang kurang berhati-hati dalam menggunakan
email, kebudayaan masyarakat yang jarang melapor ketika terjadi kejahatan
penipuan siber serta masih sulitnya menangkap pelaku yang sering berada di luar
negeri.
Saran dari penulis mengenai penegakan hukum tindak pidana siber dengan modus
operandi Business Email Compromise adalah pertama, perlunya sosialisasi kepada
masyarakat khususnya dalam menggunakan email sebagai sarana dalam melakukan
aktivitas bisnis agar dapat lebih berhati-hati dan mengetahui berbagai macam
modus operandi penipuan siber serta aparat penegak hukum yang harus lebih aktif
dalam melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait terutama Interpol
mengingat Selain itu koordinasi dengan Interpol juga diperlukan untuk dapat
menangkap pelaku BEC yang seringkali berada di luar negara Indonesia.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penipuan, Siber, Modus, Business.
Fraud with the Business Email Compromise mode is a cyber fraud where the
perpetrator disguises his email address as a business partner of the victim's
company and then sends an email containing a request to the victim. The crime of
cyber fraud with the Business Email Compromise occurred in 2021 where
perpetrators who were Indonesian Citizens (WNI) succeeded in defrauding and
causing a number of losses to foreign companies from Taiwan and South Korea.
Based on this background, a problem arises in this research, namely how to enforce
the law on cyber fraud with the Business Email Compromise and what are the
inhibiting factors for cyber fraud criminal law enforcement using the Business
Email Compromise.
The research method used is empirical normative legal research by analyzing laws
and regulations as well as secondary legal materials or library materials using a
qualitative approach, which is a research analysis method that produces analytical
descriptive data by collecting data in the field and studying it on the principles,
doctrine, legal norms related to law enforcement of criminal acts of cyber fraud
with the Business Email Compromise mode.
The results of the study show that law enforcement for cyber fraud crimes with the
BEC mode is carried out using law enforcement theory, namely in abstracto and in
concreto. In the enforcement of criminal law in abstracto, Business Email
Compromise fraud can be linked to Article 45A Paragraph (1) Jo. Article 28
Paragraph (1) of the ITE Law, Article 85 of the Funds Transfer Law and Article 3
of the TPPU Law. Then in concreto, the Public Prosecutor who gave the cumulative
indictment, namely First: Article 85 of the Fund Transfer Law Jo. Article 55
Paragraph 1 to 1 of the Criminal Code; Second, Article 3 of the TPPU Law Jo.
Article 55 Paragraph 1 to 1 of the Criminal Code. The Panel of Judges through
court decision Number: 728/Pid.Sus/2021/PN.JKT.SEL agrees with the indictment
Muhammad Fadhil Firdaus
of the Public Prosecutor, namely First: Article 85 of the Fund Transfer Law Jo.
Article 55 paragraph 1 to 1 of the Criminal Code, Second: Article 3 of the Money
Laundering Law Jo. Article 55 Paragraph 1 to 1 of the Criminal Code. Then
through an appeal with Decision Number: 351/Pid.Sus/2021/PT.DKI upheld the
South Jakarta District Court's Decision with Lusi being executed for three years in
prison with reduced while the Defendant was in temporary detention and with an
order the Defendant remained detained and fined fifty million rupiahs and
submission of a number of evidence in the form of savings books to White Wood
House Food CO, Ltd. While the inhibiting factors in law enforcement for BEC fraud
are due to people who are not careful in using e-mail, a culture of people who rarely
report when cyber fraud crimes occur and it is still difficult to catch perpetrators
who are often abroad.
Suggestions from the author regarding cyber crime law enforcement with the
Business Email Compromise are first, the need for socialization to the public,
especially in using email as a means of carrying out business activities so that they
can be more careful and know the various types of cyber fraud modus operandi and
law enforcement officials who must be more active in coordinating with related
parties, especially Interpol considering that besides that coordination with Interpol
is also needed to be able to catch BEC perpetrators who are often outside the
country of Indonesia.
Keywords: Law Enforcement, Fraud, Cyber, Method, Business.
Muhammad Fadhil Firdaus19120113382023-05-31T08:29:12Z2023-05-31T08:29:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71600This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/716002023-05-31T08:29:12ZUPAYA DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS POLDA LAMPUNG DALAM MENANGANI KASUS PERTAMBANGAN TANPA IZIN (ILLEGAL MINING) DI BUKIT CAMPANG RAYA
Pertambangan merupakan salah satu sumber daya alam yang penguasaan serta pemanfaatannya menjadi kewenangan negara. Praktik penambangan ilegal belakangan ini semakin marak terjadi di Bandar Lampung salah satunya praktik penambangan yang terjadi di Bukit Campang raya, Sukabumi, Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh perseorangan. Kepolisian dalam hal ini sangat berperan penting guna menjaga ketertiban dan keamanan agar pengelolaan pertambangan dapat dikelola lebih efektif. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah, apakah upaya yang dilakukan Ditreskrimsus Polda Lampung serta faktor apa sajakah yang menjadi hambatan Ditreskrimsus Polda Lampung dalam menangani kasus pertambangan tanpa izin (illegal mining) di bukit Campang Raya.
Metode penelitian dilakukan secara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berasal dari data lapangan dan kepustakaan, sedangkan jenis data terdiri atas Data Primer dan Data Sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan terhadap tindak pidana penambangan ilegal dapat diupayakan secara maksimal oleh kepolisian melalui pendekatan secara penal dan non-penal, dengan langkah preemtif, preventif dan represif. Dalam upaya preventif kepolisian melakukan tindakan pengawasan dan monitoring terhadap kegiatan pertambangan, melakukan usaha dengan menanamkan nilai-nilai dan norma- norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam setiap diri seseorang. Langkah represif yaitu dengan memberikan penindakan hukum yang tegas dan profesional oleh kepolisian dan PPNS Minerba. Faktor yang menghambat kepolisian dalam upaya menanggulangi tindak pidana pertambangan ilegal antara lain disebabkan oleh adanya perizinan lain yang dipegang oleh pemilik kawasan, kurangnya personel dan masih adanya penyidik yang kurang memahami terhadap tindakan penyelidikan tindak pidana illegal mining, kurangnya pemahaman serta partisipasi masyarakat dalam hal
Toto Agung Laksono penanggulangan tindak pidana pertambangan ilegal, serta kurangnya koordinasi antara kepolisian dengan instansi terkait.
Saran yang dapat penulis berikan adalah kepolisian agar dapat meningkatkan pengawasan dan monitoring terhadap kegiatan pertambangan, selanjutnya terkait dengan persoalan minimnya kuantitas dan kualitas personil pengawasan pertambangan agar dapat diselesaikan. Upaya penegakan hukum illegal mining harus diupayakan dengan cara membenahi berbagai faktor, termasuk faktor hukumnya, penegak hukumnya, sarana prasarananya, masyarakatnya, serta faktor kebudayaannya.
Kata Kunci: Pertambangan Ilegal, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana, kepolisian.
Agung Laksono Toto 17120112582023-05-26T03:30:10Z2023-05-26T03:30:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71471This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/714712023-05-26T03:30:10ZIMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM TINDAK PIDANA HUMAN TRAFFICKING
(Studi pada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)
Perlindungan hukum terhadap anak khususnya terhadap anak sebagai korban tindak pidana eksploitasi seksual harus ditegakan demi untuk kepentingan anak. Penelitian ini untuk mengetahui faktor penyebab anak sebagai korban eksploitasi seksual, untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh penegak hukum dalam mengurangi kejahatan eksploitasi seksual, serta untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual dengan permasalahan : Bagaimana bentuk implementasi perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak sebagai perkerja seks komersial dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) pada Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung ? Apa saja faktor penghambat yang dihadapi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam menangani dan mendampingi anak sebagai pekera seks komersial dalam Tindak Pidana Human Trafficking pada Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung?
Pendekatan masalah yang digunakan peneliti adalah pendekatan secara normatif- empiris, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primier dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh peneliti dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah yaitu dengan indentifikasi data, klasifikasi data, penyusunan data. Data yang diolah dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk selanjutnya ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini dapat dinyatakan bahwa a) Bentuk implementasi perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak sebagai pekerja seks komersial dalam tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) adalah melalui upaya-upaya rehabilitasi, upaya perlindungan dari
Ayu Evi Sylvana pemberitaan identitas melalui media masa dan untuk menghidari labeliasi, pemberian jaminan keselamatan, mendapat pendampingan atau advokasi selama proses perkara dan setelahnya, serta pemberian aksesbilitas untuk dapat mendapat informasi perkembangan perkara. Upaya penanggulangan terhadap Anak sebagai Pekerja Seks Komersial dalam Tindak Pidana Human Trafficking oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Bandar Lampung sebagai Upaya preventif yang dilakukan oleh Unit PPA adalah dengan sosialisasi dan penyuluhan pada masyarakat tentang perlindungan anak terhindar dari kejahatan, dan bekerjasama dengan instansi-instansi terkait dengan perlindungan anak. b) Faktor penghambat Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polrestas Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak antara lain: kurangnya kesadaran masyarakat sering dikaitkan dengan berperannya masyarakat sebagai saksi. b) jumlah atau kuantitas personil wanita (polwan) yang belum memadai, sehingga perlu peningkatan terhadap jumlah polwan agar mendekati rasio ideal.
Sesuai dengan kesimpulan diatas peneliti menyarankan : a) Diperlukan Penambahan wawasan anggota Unit PPA dalam memberikan informasi penyuluhan bagaimana baiknya memberikan informasi kepada masyarakat agar masyarakat atau anak terhindar dari kejahatan dengan berkordinasi dan bekerja sama dengan instansi-instansi terkait dengan perlindungan anak. b) Berkaitan dengan faktor penghambat upaya unit PPA dalam penanggulangan tindak pidana kekerasaan terhadap anak perlunya penambahan personil Polisi Wanita (Polwan) dan melengkapi sarana dan prasarana agar anak yang menjadi korban maupun pelaku merasa aman dan nyaman selama dimintai keterangan oleh penyidik.
Kata kunci : Implementasi, Perlindungan Hukum, Anak Korban Pekerja
Seks Komersial.
Evi Sylvana Ayu 19120111972023-05-25T04:02:18Z2023-05-25T04:02:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71440This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/714402023-05-25T04:02:18ZPENERAPAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAKAnak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa yang memerlukan bimbingan, pembinaan hingga perlindungan dalam perkembangannya. Anak wajib dilindungi ketika berhadapan dengan hukum dan harus diberikan pendampingan dari tahap non-litigasi hingga tahap litigasi. Dewasa ini keterlibatan anak sebagai kurir dalam tindak pidana narkotika yang merupakan rangkaian pemufakatan jahat dalam melancarkan peredaran narkotika secara ilegal menjadi hal serius yang perlu diperhatikan, penggunaan hingga pendistribusian narkotika tak lagi memandang usia dari orang dewasa, orang tua hingga anak-anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam sistem peradilan pidana anak dan apakah faktor penghambat penerapan hukum terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam sistem peradilan pidana anak.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulaan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini adalah Penyidik Badan Nasional Narkotika Provinsi Lampung, Kasubag Minops Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam sistem peradilan pidana anak diterapkan dan diberikan pada tiap proses peradilan mulai dari tahap kepolisian, tahap kejaksaan, tahap pengadilan dan tahap di lembaga pemasyarakatan, baik perlindungan hukum preventif serta perlindungan hukum represif. Faktor penghambat dalam penerapan
Puteri Adella Khalisha perlindungan hukum terhadap anak sebagai kurir narkotika meliputi faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Faktor yang mendominasi ialah faktor hukum yang menitikberatkan bahwa perlunya pengaturan hukum yang lebih khusus dalam menangani anak sebagai kurir narkotika dan faktor masyarakat yang menitikberatkan pada pandangan masyarakat bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah mendapat hukuman, tak terkecuali anak.
Saran dari penelitian ini yaitu dalam menjamin perlindungan terhadap hak-hak anak yang menjadi kurir narkotika, perlu regulasi yang secara eksplisit menyebutkan mengenai sanksi anak sebagai kurir narkotika dalam undang- undang. Dan lembaga penegak hukum diharapkan dapat bekerjasama secara sinkron, serempak dan selaras agar pemenuhan hak-hak anak dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak dapat diberikan secara optimal.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Anak, Kurir Narkotika
Khalisha Puteri Adella19120111962023-05-12T04:38:27Z2023-05-12T04:38:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71270This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712702023-05-12T04:38:27ZANALISIS KRIMINOLOGIS PEMBAKARAN KANTOR KEPOLISIAN
OLEH OKNUM MASYARAKAT (Studi Pada Polsek Candipuro Kabupaten Lampung Selatan)
Peristiwa pembakaran Polsek Candipuro Kabupaten Lampung Selatan, para
tersangka dijerat dengan pasal terkait pengerusakan fasilitas umum sebagaimana
termaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyematan
pasal tersebut masih dapat dikembangkan hingga saat ini sudah putusan (incraht).
Pasal yang disangkakan adalah Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170
KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tentang menyerang SARA serta Pasal 14
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang berita bohong. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
1) Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembakaran Polsek
Candipuro Kabupaten Lampung Selatan oleh oknum masyarakat, dan 2)
bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap pembakaran Polsek Candipuro
Kabupaten Lampung Selatan oleh oknum masyarakat.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif, yuridis empiris dan
kriminologis. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi
yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber
pada penelitian ini terdiri dari Kasat Reskrim Polres Lampung Selatan,
Bhabinkamtibmas Kecamatan Candipuro Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Univeritas Lamung. Analisis data
yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor-faktor penyebab terjadinya
pembakaran Polsek Candipuro Kabupaten Lampung Selatan oleh oknum
masyarakat adalah fakfor internal yaitu diduga akibat kekesalan terhadap
pelayanan dan aduan masyarakat yang tidak kunjung ditangani, Polsek Candipuro
dinilai kurang maksimal melayani laporan warga. Sedangkan faktor eksternalnya
adalah adanya ajakan atau hasutan yang dilakukan oleh oknum warga untuk
membakar Polsek Candipuro. (2) Upaya penanggulangan terhadap pembakaran
Polsek Candipuro Kabupaten Lampung Selatan oleh oknum masyarakat
dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu upaya penal dan upaya non penal. Upaya
penal dilakukan dengan para pelakunya harus bertanggungjawab dan diproses
pidana yaitu diselesaikan di tingkat pengadilan sesuai dengan Pasal 160 KUHP
dan Pasal 170 KUHP untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu
perlu ditelusuri apa yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan tersebut.
Sedangkan upaya non penal dilakukan dengan memberikan sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat mengenai main hakim sendiri merupakan tindak
kejahatan serta pihak Polsek Candipuro Kabupaten Lampung Selatan telah
bersinergi dengan masyarakat di wilayah hukumnya supaya mencegah
pembakaran tidak terjadi kembali.
Saran dalam penelitian ini adalah untuk mencegah terjadinya kasus pembakaran
kantor Polisi oleh oknum masyarakat, maka penulis menyarankan agar aparat
kepolisian hendaknya memahami fungsi sebagai mengayom masyarakat sehingga
cepat merespon segala permasalahan yang ada di masyarakat dan disiagakan
diberbagai tempat yang dianggap rawan untuk tidak terjadinya kerusuhan yang
berujung pada pembakaran kantor polisi oleh oknum masyarakat. Aparat penegak
hukum hendaknya memberikan sanksi tegas terhadap pelaku pembakaran Polsek
Candipuro Lampung Selatan dan lebih menekankan sosialisasi tentang sanksi
hukum terhadap pelaku tindak kejahatan pembakaran kantor Polisi agar tidak
terjadi lagi tindak kejahatan pembakaran kantor polisi oleh oknum masyarakat.
Kata Kunci: Analisis, Kriminologis, Pembakaran, Kantor Kepolisian.
Fadel M. Idrus
M. Idrus Fadel18420110012023-05-10T07:32:47Z2023-05-10T07:32:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71252This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712522023-05-10T07:32:47ZIMPLEMENTASI ASAS RESTORATIVE JUSTICE MELALUI DIVERSI
TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA PADA ANAK
DI BANDAR LAMPUNGKasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan
fenomena yang berbeda dengan pelaku tindak pidana dewasa. Anak sebagai
pelaku tindak pidana yang diajtuhi pidana untuk dibina dalam lembaga
permasyarakatan Anak, perlu mendapat penanganan khusus dalam menjalani
masa pidanannya. Kasus tindak pidananya yang melibatkan anak-anak, salah
satunya adalah penyalahgunaan narkotika Masalah penyalahgunaan narkotika ini
telah menjadi masalah nasional maupun masalah internasional yang tiada henti
dibicarakan. Hampir setiap hari terdapat berita mengenai masalah penyalahgunaan
narkoba. Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental,
emosi maupun sikap dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi bahwa
narkotika telah mengancam masa depan anak. Penyalahgunaan narkotika yang
dilakukan anak merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan
melanggar hukum. Salah satu contoh dari kasus tindak pidana penyalahgunaan
narkotika pada anak yang terjadi di Bandar Lampung pada Tanggal 14 Januari
2019. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah implementasi asas
restorativejustice melalui diversi dalam tindak pidana narkotika pada anak di
Bandar Lampung dan faktor penghambat berlakunya asas restorative justice
melalui diversi dalam tindak pidana narkotika pada anak di Bandar Lampung.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder.
Narasumber terdiri dari Pegawai Bapas Bandar Lampung, BNN Provinsi
Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung, analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa berkaitan dengan penanganan anak
penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang ditimbulkan dari proses
peradilan pidana anak atau suatu putusan pidana adalah Stigma yang melekat pada
terpidana penyalahgunaan narkotika setelah selesai proses peradilan pidana.
Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak,
Kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan
fenomena yang berbeda dengan pelaku tindak pidana dewasa. Anak sebagai
pelaku tindak pidana yang diajtuhi pidana untuk dibina dalam lembaga
permasyarakatan Anak, perlu mendapat penanganan khusus dalam menjalani
masa pidanannya. Kasus tindak pidananya yang melibatkan anak-anak, salah
satunya adalah penyalahgunaan narkotika Masalah penyalahgunaan narkotika ini
telah menjadi masalah nasional maupun masalah internasional yang tiada henti
dibicarakan. Hampir setiap hari terdapat berita mengenai masalah penyalahgunaan
narkoba. Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental,
emosi maupun sikap dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi bahwa
narkotika telah mengancam masa depan anak. Penyalahgunaan narkotika yang
dilakukan anak merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan
melanggar hukum. Salah satu contoh dari kasus tindak pidana penyalahgunaan
narkotika pada anak yang terjadi di Bandar Lampung pada Tanggal 14 Januari
2019. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah implementasi asas
restorativejustice melalui diversi dalam tindak pidana narkotika pada anak di
Bandar Lampung dan faktor penghambat berlakunya asas restorative justice
melalui diversi dalam tindak pidana narkotika pada anak di Bandar Lampung.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder.
Narasumber terdiri dari Pegawai Bapas Bandar Lampung, BNN Provinsi
Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung, analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa berkaitan dengan penanganan anak
penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang ditimbulkan dari proses
peradilan pidana anak atau suatu putusan pidana adalah Stigma yang melekat pada
terpidana penyalahgunaan narkotika setelah selesai proses peradilan pidana.
Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak,IRFANSYAH MUHAMMAD NUR16120110812023-05-04T08:29:45Z2023-05-04T08:29:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71212This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712122023-05-04T08:29:45ZKEBIJAKAN HUKUM PIDANA UNTUK MENGURANGI OVERCROWDED
PENGHUNI LEMBAGA PEMASYARAKATANOvercrowded lembaga pemasyarakatan merupakan persoalan yang serius dalam
mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana. Tesis ini mengkaji dua permasalahan
yakni bagaimanakah kebijakan hukum pidana untuk mengurangi overcrowded
penghuni lembaga pemasyarakatan? dan mengapa terdapat faktor penghambat
dalam kebijakan hukum pidana untuk mengurangi overcrowded penghuni
lembaga pemasyarakatan?
Guna menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian yuridis
normatif dan yuridis empiris dengan pendekatan undang-undang, pendekatan
konseptual, pendekatan kasus (fakta empirik) dan pendekatan filosofis. Data yang
digunakan merupakan data primer dan data sekunder yang dianalisis secara
kualitatif untuk memperoleh kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan hukum pidana untuk mengurangi
overcrowded penghuni lembaga pemasyarakatan terdiri dari kebijakan penal dan
non penal. Kebijakan penal melalui individualisasi pidana dan penerapan pidana
denda harian (day fine). Sedangkan kebijakan non penal melalui program
pembinaan good time allowance dan optimalisasi penyelesaian tindak pidana
berdasarkan keadilan restoratif. Dari keempat bentuk kebijakan tersebut, selama
ini hanya penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang telah
dilakukan. Namun, penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif
belum merata karena belum menyentuh semua jenis tindak pidana, sehingga perlu
dioptimalkan. Hambatan mengatasi overcrowded lembaga pemasyarakatan
disebabkan oleh over kriminalisasi dalam hukum pidana materiil, longgarnya
persyaratan penahanan dan masa tahanan yang lama, pembatasan pemberian
remisi, penambahan kapasitas lembaga pemasyarakatan memerlukan penambahan
anggaran, pemahaman negatif masyarakat terhadap mantan narapidana sehingga
mantan narapidana akan kembali melakukan tindak pidana dan masuk lagi ke
lembaga pemasyarakatan.
Guna mengatasi overcrowded penghuni lembaga pemasyarakatan, diperlukan
upaya memperkuat program pembinaan dan mempercepat reintegrasi narapidana
serta reformasi perundang-undangan hukum pidana melalui dekriminalisasi untuk
jenis tindak pidana tertentu yang berkontribusi besar terjadinya overcrowded
lembaga pemasyarakatan.
Kata kunci: Overcrowded Lapas, Kebijakan Hukum Pidana, Penghuni Lapas
ABSTRACT
Correctional overcrowding is a serious problem in realizing the goals of the
criminal justice system. This thesis examines two problems, namely how is the
criminal law policy to reduce overcrowded prison inmates? and why are there
inhibiting factors in criminal law policies to reduce overcrowding of penitentiary
inmates?
To answer these problems, normative juridical and empirical juridical research
methods are used with statutory approaches, conceptual approaches, case
approaches (empirical facts) and philosophical approaches. The data used are
primary and secondary data, which are analyzed qualitatively to conclude.
The results of the study show that criminal law policies to reduce overcrowding of
penal inmates consist of penal and non-penal policies. The penal policy is through
criminal individualization and the application of day fines. While the non-penal
policy is through a good time allowance coaching program and optimizing the
settlement of crimes based on restorative justice. Of the four forms of this policy,
only the settlement of criminal cases through restorative justice has been done so
far. However, the settlement of criminal cases based on restorative justice is not
evenly distributed because it has not touched all types of criminal acts, so it needs
to be optimized. Barriers to overcrowding of penitentiaries are caused by overcriminalization
in material criminal law, lax terms of detention and long prison
terms, restrictions on granting remissions, increasing the capacity of correctional
institutions requiring additional budgets, negative public understanding of exconvicts
so that ex-convicts will commit crimes again and re-enter the
penitentiary.
To overcome the overcrowding of prison inmates, efforts are needed to strengthen
coaching programs and accelerate the reintegration of convicts, as well as reform
criminal law legislation through decriminalization for certain types of crimes that
contribute significantly to the overcrowding of prisons.
Keywords: Prison Over-crowded, Criminal Law Policy, Prison InhabitantsAndika Reza 21220111272023-05-04T04:08:37Z2023-05-04T04:08:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71208This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712082023-05-04T04:08:37ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN TIDAK
MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika membutuhkan
peran serta masyarakat, khususnya dalam melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Pada kenyataanya terdapat masyarakat yang tidak mau melaporkan dalam hal
mengetahui adanya tindak pidana narkotika. Permasalahan penelitian ini adalah apakah
faktor penyebab terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan terhadap kejahatan tidak
melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur
pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber terdiri dari
Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjung Karang, Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila dan
Akademisi Kriminologi FISIP Unila. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika terdiri dari:
masyarakat tidak mau berurusan dengan masalah hukum karena dianggap akan
merepotkan dirinya sendiri, masyarakat takut terhadap pelaku dan sindikatnya yang
berpotensi mengancam keselamatan jiwanya apabila diketahui melaporkan tindak
pidana narkotika dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai perlindungan
hukum apabila melaporkan adanya tindak pidana narkotika kepada penegak hukum.
Upaya penanggulangan kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
secara non penal adalah dengan melakukan penyuluhan mengenai kesadaran hukum
kepada masyarakat agar masyarakat bersedia menjadi pelapor tindak pidana narkotika
dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan pelapor. Upaya penal dilakukan
dengan penyelidikan dan penyidikan. Penyidik melakukan tindakan dalam hal dan
menurut cara yang diatur undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya penegak hukum mengatasi faktor
penyebab terjadinya kejahatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika
dengan meningkatkan penyuluhan mengenai perlindungan hukum terhadap
masyarakat. Selain itu agar menerapkan sistem aplikasi pelaporan tindak pidana demi
menjaga kerahasiaan dan keamanan pelapor. Hendaknya penegak hukum
mengoptimalkan upaya penanggulangan kejahatan tidak melaporkan adanya tindak
pidana narkotika baik melalui sarana non penal maupun penal.
Kata Kunci: Kriminologis, Kejahatan, Melaporkan, Narkotika.
ABSTRACT
Efforts to overcome and eradicate narcotics crimes require community participation,
especially in reporting narcotics crimes. In fact, there are people who do not want to
report knowing that there is a narcotic crime. The problem of this research is whether
the factors that cause crime do not report the existence of narcotics crime and how are
efforts to deal with crime against crime not reporting narcotics crime?
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. Data
collection procedures with literature studies and field studies. The resource persons
consisted of investigators from the Bandar Lampung Police Narcotics Research Unit,
Class IA Tanjung Karang District Court Judges, Unila Faculty of Law Criminal Law
Academics and Unila FISIP Criminology Academics. Data were analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that: Factors that lead to crimes not
reporting narcotics crimes consist of: the public does not want to deal with legal issues
because they are considered to be a hassle for themselves, the community is afraid of
the perpetrators and their syndicates which have the potential to threaten their life
safety if they are found to report acts narcotics crime and the lack of public
understanding regarding legal protection when reporting narcotics crimes to law
enforcement. Efforts to deal with crime by not reporting the existence of narcotics
crimes in a non-penalistic way is by conducting outreach regarding legal awareness to
the public so that people are willing to become reporters of narcotics crimes and
provide guarantees for the security and safety of reporters. Penal efforts are carried
out by investigation and investigation. Investigators take action in matters and
according to the manner stipulated by law to seek and collect evidence with that
evidence to shed light on the crime that occurred and to find suspects who have not
reported a narcotics crime.
The suggestion in this study is that law enforcers should overcome the factors that
cause crime by not reporting narcotics crimes by increasing counseling regarding legal
protection for the community. In addition, to implement a criminal action reporting
application system in order to maintain the confidentiality and security of the reporter.
Law enforcers should optimize their crime prevention efforts by not reporting narcotics
crimes either through non-penal or penal means.
Keywords: Criminologist, Crime, Reporting, Narcotics. AGUNG PERKASA MUHAMMAD MERPI 21220110922023-05-04T03:45:01Z2023-05-04T03:45:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71207This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712072023-05-04T03:45:01ZUPAYA PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KEJAHATAN PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK JALANAN (PUNK)
(Studi di Wilayah Polresta Bandar Lampung)
Terdapat banyaknya anak jalanan (punk) yang masih dibiarkan melakukan aktivitas dilokasi-lokasi umum dan mengganggu aktivitas dan kenyamanan masyarakat, selain dari penampilan dan perilaku anak jalanan (punk) yang meresahkan seperti mengamen dan memaksa meminta uang dari masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menanggulangi permasalahan tersebut dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan. Saat ini peraturan daerah mengenai gelandangan, pengemis, dan anak jalanan yang berlaku adalah Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan. Adanya gelandangan, pengemis, dan anak jalanan dianggap mengganggu masyarakat dan lingkungan serta menjadi salah satu penyebab peningkatan
kriminalitas di Kota Bandar Lampung.
Permasalahan: Bagaimanakah upaya penyidik kepolisian dalam kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak jalanan (punk)?. Apakah yang menjadi faktor penyebab kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak jalanan (punk)?.
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif, dimana penulis akan memaparkan secara lengkap permasalahan yang terjadi berkatan upaya penyidik kepolisian dalam kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak jalanan (punk) di wilayah Polresta Bandar Lampung. Dalam penelitian ini penulis akan lebih banyak menggunakan data sekunder, Sedangkan data primer akan digunakan sebagai pelengkap untuk mendukung data sekunder berupa wawancara langsung dengan pihak terkait.
Hasil Penelitian: Upaya penyidik kepolisian dalam kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak jalanan (punk) dapat dilakukan melalui upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan melalui upaya pembinaan kepada mereka pada lembaga-lembaga social dengan memberikan pelatihan-pelatihan atau kursuskursus agar mereka nanti tidak lagi kembali ke jalan dan dapat memanfaatkan keahlian mereka yang selama ini mereka dapatkan dari kegiatan pelatihan dan kursus selama berada di lembaga-lembaga sosial. Faktor penyebab kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak jalanan (punk) disebakan oleh gaya hidup mereka dijalanan yang biasa penuh dengan kekerasan. Ditambah dengan kehidupan mereka yang terbiasa mengkonsumsi minuman keras, menghirup lem, bahkan sampai pada penggunaan narkotika membuat mereka lebih berani untuk melakukan pemalakan terhadap masyarakat hingga timbul perkalihan dan penganiayaan.
Saran: Hendaknya bagi pihak yang terkait/berwenang, hendaknya meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluhan dan operasi-operasi penyakit masyarakat dan pemberlakuan tindakan represif terhadap anak jalanan (punk). Perlunya penegak hukum dalam memproses hukum pelaku tindak penganiyan yang dilakukan anak jalanan (punk) agar memperhatikan kondisi/hak-hak anak dan dititikberatkan pada pembinaan terhadap anak.
Kata Kunci: Upaya, Penyidik Kepolisian, Penganiayaan, Anak Jalanan Punk.RAHMADI SATER ALFONSIUS16520112652023-05-04T03:17:48Z2023-05-04T03:18:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71205This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/712052023-05-04T03:17:48ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Studi Putusan Nomor: 5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu)
Kejahatan pencabulan merupakan bagian dari kejahatan kesusilaan. Perbuatan cabul
tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak di bawah
umur. Anak-anak yang menjadi korban pencabulan baik langsung maupun tidak langsung
akan mengalami berbagai gangguan baik itu fisik maupun non-fisik yang ditimbulkan dari
peristiwa pencabulan yang dialami. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pemidanaan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan berdasarkan Putusan Nomor:
5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu dan salah satu alasan mengapa hakim menjatuhkan
pemidanaan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif dan
yuridis empiris, narasumber dalam penelitian adalah Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi,
Jaksa Kejaksaan Negeri Lampung Utara, Advokad dan Akademisi Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana pencabulan berdasarkan Putusan Nomor: 5/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Kbu tidak tepat
karena putusan hakim dianggap masih belum sesuai dengan isi Pasal 81 Undang - Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan bahwa untuk perkara
pidana pencabulan diancam dengan hukuman penjara minimal selama 5 (lima) tahun dan
jika terpidana adalah anak maka anak dipidana paling lama ½ (satu per dua) dari ancaman
maksimum yang dijatuhkan terhadap orang dewasa, tetapi praktiknya menjatuhkan pidana
hanya perawatan/rehabilitasi selama 6 (enam), selain itu hakim tidak memperhatikan
kondisi korban anak yang mengalami trauma berat. Hakim juga menjatuhkan pemidanaan
lebih rendah dikarenakan hakim mempertimbangkan putusan kesatu dan kedua serta hanya
menggunakan undang-undang yang bersifat khusus selain itu hakim mempertimbangkan
aspek sosiologis serta pertimbangan dampak psikologis terdakwa anak.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Putusan hakim hendaknya
mempertimbangkan aspek kerugian yang dialami oleh korban agar dapat memberikan efek
jera bagi pelaku selain itu hakim tidak mengesampingkan faktor memberatkan sehingga
putusan yang dikeluarkan memenuhi rasa keadilan, oleh karena itu dalam memberikan
putusan seharusnya hakim benar-benar melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan hukum, agar keadilan sebenar-benarnya dapat tercapai serta hak
ganti rugi juga seharusnya dijatuhkan oleh hakim pengadilan kepada pelaku meskipun tidak
dimohonkan dalam dakwaan penuntut umum. (2) Pelaku anak dan korban anak yang samasama
di bawah umur, keduanya harus dilihat sebagai orang yang sakit secara psikis
sehingga keduanya butuh perawatan secara berimbang.
Kata Kunci: Pemidanaan, Anak Pelaku, Tindak Pidana Pencabulan
The crime of obscenity is part of the crime of decency. These obscene acts are not
only committed by adults but also committed by minors. Children who are victims
of sexual abuse either directly or indirectly will experience various disorders, both
physical and non-physical, arising from the abuse event experienced. The problem
in this study is the punishment of children as perpetrators of criminal acts of
obscenity based on Decision Number: 5 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN. Kbu and why
the judge imposed a sentence lower than the Public Prosecutor's charge.
The problem approach that will be used in this study is juridically normative and
empirically juridical, the resource persons in the study are the Kotabumi District
Court Judge, the North Lampung District Attorney's Prosecutor, the Advocate and
Academician of the Faculty of Law, University of Lampung.
The results showed that the conviction of children as perpetrators of sexual abuse
based on Decision Number: 5 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN. Kbu is not appropriate
because the judge's decision is considered still not in accordance with the contents
of Article 81 of Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection, which
explains that for criminal cases of obscenity is threatened with a minimum prison
sentence of 5 (five) years and if the convicted person is a child, the child is
sentenced to a maximum of 1/2 (one half) of the maximum threat imposed on adults,
However, the practice is to impose a crime of only treatment/rehabilitation for 6
(six), besides that the judge does not pay attention to the condition of child victims
who have suffered severe trauma. The judge also imposed a lower sentence because
the judge considered the first and second verdicts and only used specific laws in
addition to the judge considering sociological aspects and considering the
psychological impact of child defendants.
The suggestions in this study are as follows, among others: (1) The judge's decision
should consider aspects of losses suffered by victims in order to provide a deterrent
effect for the perpetrator besides that the judge does not rule out aggravating
factors so that the verdict issued meets the sense of justice, therefore in giving a
decision the judge should really look at all aspects based on legal certainty,
expediency and legal justice, so that true justice can be achieved and the right to
compensation should also be imposed by the judge trial to the perpetrator although
not pleaded in the public prosecutor's indictment. (2) Child perpetrators and child
victims who are both minors, both should be seen as psychologically ill and
therefore both need balanced treatment.
Keywords: Conviction, Child of the Perpetrator, Criminal Acts of ObscenityZULFIANA SITI YUNITA 20220110242023-04-28T05:22:09Z2023-04-28T05:22:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71176This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/711762023-04-28T05:22:09ZANALISIS PENETAPAN TERSANGKA OLEH KEPOLISIAN DALAM
KASUS PROSTITUSI YANG MELIBATKAN ARTIS VERNITA
SYABILA
(Studi Pada Kepolisian Daerah Lampung)Polisi kembali mengungkap adanya kasus prostitusi yang melibatkan artis Vernita
Syabilla (VS) , kali ini polisi menggrebek praktik prostitusi itu di Bandar Lampung.
Selain perempuan tersebut, dua perantara sebagai muncikari yang diamankan
petugas. Permasalahannya ialah bagaimanakah penetapan tersangka oleh kepolisian
dalam kasus prostitusi yang melibatkan artis VS di Lampung dan faktor apakah
yang menjadi penghambat penetapan tersangka dalam kasus dugaan prostitusi yang
melibatkan artis VS.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari hasil
studi Pustaka. Adapun narasumber yang telah di wawancara yaitu Penyidik Polda
Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung, penelitian ini dianalisis dan diolah dengan cara kualitatif deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwasanya
penetapan tersangka pada kasus yang melibatkan Vernita Syabilla, ialah Maila dan
Meilianita yang berperan sebagai mucikari telah ditetapkan sebagai tersangka
tindak pidana perdagangan orang. Sementara Vernita hanya berstatus sebagai saksi,
dimana alat bukti sesuai dengan Pasal 184 Ayat 1 KUHAP yang ditetapkan berupa
keterangan saksi-saksi dan surat ajakan datang ke hotel, disertai dengan barang
bukti yang telah disita berupa uang Rp. 15 juta, bukti transfer Rp. 15 juta, bukti transfer bank 1 juta, nota booking satu kamar hotel, dan satu kotak alat kontrasepsi
dan 3 buah Hand Phone. Bahwasanya terdapat faktor penghambat prostitusi online
di antaranya faktor hambatan pada kasus yang melibatkan Vernita Syabila (VS)
dilihat dari faktor hukumnya, peraturan untuk menetapkan tersangka VS belum
adanya alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka VS sesuai dengan Pasal
184 Ayat 1 KUHAP. Faktor hambatan dari penegak hukum, yakni Kepolisian tidak
menemukan barang bukti terlibatnya VS pada tindak pidana prostitusi online, dan
dari pengakuan kasus yang melibatkan VS juga merasa dijebak sama oknumoknum. Faktor hambatan sarana dan prasarana, masih terbatasnya sumber daya
manusia dari aparat kepolisian, yang kurang bisa menguasai teknologi informasi.
Faktor hambatan dari segi masyarakat, masih banyak masyarakat di era modern
sekarang yang menganggap prostitusi online menjadi sesuatu yang biasa, terlihat
banyaknya penjualan jasa seksual pada aplikasi-aplikasi di jaringan internet agar
bisa mendapatkan uang. Faktor hambatan dari segi kebudayaan, yakni sebagian
masyarakat menganggap bahwasanya prostitusi sudah ada sejak dahulu dan
bertahan sampai sekarang dengan gaya hidup yang dipengaruhi oleh tayangan di
media sosial.
Saran dari penulis, Kepolisian perlu meningkatkan anggotanya dengan mempelajari
teknologi berbasis internet untuk mencegah terjadinya kejahatan prostitusi online
yang semakin hari semakin canggih. Selain itu hendaknya Kepolisian Daerah
Lampung diharapkan untuk dapat mensosialisasikan kasus-kasus tindak pidana
prostitusi online seperti pada kasus yang melibatkan VS, sebagai bentuk
pencegahan dini kepada masyarakat Lampung.
Kata Kunci: Kepolisian, Penetapan Tersangka ProstitusiANDINY MSY FANNI 18120113202023-04-27T07:39:07Z2023-04-27T07:39:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71156This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/711562023-04-27T07:39:07ZANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN UNSUR MENYEBABKAN
LUKA BERAT DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
(Studi Putusan Nomor 96/Pid.B/2022/PN.Liw)
ABSTRAK
Penganiayaan adalah semua tindakan melawan hukum dan tindakan seseorang
kepada orang yang membahayakan atau mendatangkan rasa sakit pada badan atau
anggota badan manusia yang mana luka yang diderita oleh korban. Menurut
doktrin, penganiayaan mempunyai beberapa unsur yaitu adanya kesengajaan,
perbuatan, akibat perbuatan (yang dituju). Unsur-unsur inilah yang akan
membedakan jenis penganiayaan apa yang dilakukan. Jenis-jenis tindak pidana
yaitu penganiayaan biasa, ringan, berencana, berat, berat berencana, penganiayaan
terhadap orang-orang berkualitas tertentu atau dengan cara tertentu memberatkan.
Dalam praktiknya, cukup sulit membedakan antara penganiayaan biasa dengan
penganiayaan. Pasalnya, dalam hal pembuktian yang digunakan hanya meliputi
alat bukti berupa Visum et Repertum dari Saksi Korban dan keterangan dari para
Saksi. Berdasarkan Putusan Nomor 96/Pid.B/2022/PN.Liw, Majelis Hakim
memutus suatu perkara yang melibatkan Terdakwa Roni Setiawan sebagai tindak
pidana penganiayaan biasa. Namun, hal tersebut sangat bertentangan dengan Jaksa
Penuntut Umum yang berpendapat bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana
penganiayaan berat dengan bukti yang berupa akibat yang dialami oleh Saksi
Korban Tiara Agustina.
Pokok permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah penerapan
hukum materiil terhadap tindak pidana penganiayaan pada Putusan Nomor
96/Pid.B/2022/PN.Liw serta apa yang membedakan antara penganiayaan biasa
dengan penganiayaan yang menyebabkan luka berat sesuai dengan sistem hukum
pidana di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data yang berasal dari ketentuan perundang-undangan dan dokumen hukum serta wawancara. Adapun
bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder yang
teknik pengolahannya menggunakan analisis kualitatif normatif.
Hasil penelitian ini bahwa pembuktian unsur luka berat dalam tindak pidana
penganiayaan pada Putusan Nomor 96/Pid.B/2022/PN.Liw tidak terpenuhi
berdasarkan hasil Visum et Repertum Saksi Korban yang diperkuat dengan
keterangan para Saksi serta fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan yang
meyakinkan Majelis Hakim bahwa unsur luka berat dalam perkara tersebut tidak
terpenuhi, serta hal yang dapat membedakan antara tindak pidana penganiayaan
biasa dengan penganiayaan yang menyebabkan luka berat dapat dilihat
berdasarkan unsur-unsurnya terpenuhi atau tidak dan diperkuat dengan alat bukti
surat yaitu Visum et Repertum.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembuktian unsur luka berat dalam tindak
pidana penganiayaan pada Putusan Nomor 96/Pid.B/2022/PN.Liw tidak terpenuhi
dan didasarkan dengan alat bukti yang sah, baik berupa surat maupun keterangan
Saksi, serta hal yang dapat membedakan antara tindak pidana penganiayaan biasa
dengan penganiayaan yang menyebabkan luka berat dilihat dan ditinjau dari
unsur-unsur mana yang terpenuhi.
Kata Kunci: Pembuktian Unsur, Luka Berat, Penganiayaan .
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSIS OF EVIDENCE OF CAUSING SERIOUS
INJURY IN THE CRIMINAL ACTION OF PERSECUTION
(Study of Decision Number 96/Pid.B/2022/PN.Liw)
By
Natanael Alexander
Persecution is all unlawful acts and actions of a person against a person that
endangers or causes pain to the body or limbs of the human body in which the
victim suffers injuries. According to the doctrine, persecution has several
elements, namely the existence of intentional, actions, consequences of actions
(targeted). These elements will determine what type of persecution is carried out.
The types of crimes are ordinary, light, premeditated, serious, aggravated
maltreatment, maltreatment against people of certain qualities or in a certain
aggravating way. In practice, it is quite difficult to distinguish between ordinary
persecution and persecution. This is because in terms of the evidence used only
includes evidence in the form of Visum et Repertum from witness victims and
statements from witnesses. Based on Decision Number 96/Pid.B/2022/PN.Liw,
the Panel of Judges decided a case involving the Defendant Roni Setiawan as a
crime of simple maltreatment. However, this is in stark contrast to the Public
Prosecutor who is of the opinion that the Defendant committed the crime of
serious maltreatment with evidence in the form of the consequences experienced
by the Witness Victim Tiara Agustina.
The main issues to be discussed in this study are the application of material law to
the crime of maltreatment in Decision Number 96/Pid.B/2022/PN.Liw and what
distinguishes between ordinary maltreatment and maltreatment that causes serious
injury in accordance with the criminal law system in Indonesia .
The research method used by the authors in this research is normative legal
research using data sources derived from statutory provisions and legal documents
as well as interviews. The legal materials used are primary and secondary legal
materials whose processing techniques use normative qualitative analysis. The results of this study show that the evidence of serious injury in the crime of
persecution in Decision Number 96/Pid.B/2022/PN.Liw was not fulfilled based on
the results of the Visum et Repertum of the Victim Witness which
wasstrengthened by the statements of the Witnesses and the facts that occurred in
the trial that took place convinced the Panel of Judges that the element of serious
injury in the case was not fulfilled, and the things that could distinguish between
the crime of simple maltreatment and persecution that caused serious injury could
be seen based on whether the elements were fulfilled or not and strengthened by
documentary evidence, namely Visum et Repertum.
The conclusion of this study is that the evidence of serious injury in the crime of
persecution in Decision Number 96/Pid.B/2022/PN.Liw is not fulfilled and is
based on valid evidence, both in the form of letters and statements of witnesses, as
well as things that can distinguish between The crime of simple maltreatment with
maltreatment causing serious injury is seen and reviewed from which elements are
fulfilled.
Keywords: Elemental Evidence, Serious Injury, Persecution Alexander Natanael 18120112842023-04-18T01:55:31Z2023-04-18T01:55:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71036This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/710362023-04-18T01:55:31ZANALISIS YURIDIS TERHADAP KEABSAHAN PEMBUKTIAN PIDANA
DALAM PENGGUNAAN FOTOKOPI SEBAGAI ALAT BUKTI
(Studi Putusan 2/Pid.Pra/2021/PN Kot)Hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus dipedomani
hakim dalam peroses peridangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan.
Permasalahan dalam skripsi ini yaitu dasar hukum apa yang menetapkan dokumen
fotokopi sebagai alat bukti dan dapatkahhakim praperadilan memeriksa sah atau
tidaknya alat bukti surat berupa fotokopi.
Pendekatan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris dan data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yakni analisis data
adalah menguraikan data dalam bentuk yang tersusun secara sistematis, jelas dan
terperinci untuk memperoleh suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, Bukti fotokopi surat dapat diterima di
persidangan apabila dicocokan dengan surat aslinya dan kekuatan pembuktian fotokopi
tersebut sama seperti surat aslinya. Bukti fotokopi yang tidak dapat dicocokkan dengan
surat aslinya dapat diterima jika bersesuaian atau dikuatkan dengan alat bukti lain,
berupa (a) pengakuan atau tidak dibantah pihak lawan, dan/atau (b) bersesuaian dengan
keterangan saksi dan/atau didukung dengan bukti surat lainnya, atau (c) dikuatkan
dengan alat bukti sumpah, apabila para pihak tidak dapat mengajukan alat bukti untuk
membuktikan dalil atau bantahan mereka. bukti fotokopi akta otentik yang tidak dapat
dicocokkan dengan aslinya tidak dapat diterima meskipun telah dikuatkan dengan alat
bukti lain. Kekuatan pembuktian terhadap bukti fotokopi surat yang tidak dapat
dicocokan dengan surat aslinya akan tetapi dikuatkan dengan alat bukti lain diserahkan
kepada penilaian hakim. Terkait dengan dapatkah hakim praperadilan memeriksa sah
atau tidaknya alat bukti fotokopi, hakim praperadilan hanya memeriksa hal-hal yang
bersifat formil yakni apakah terdapat dua alat bukti, bukan sah atau tidaknya alat buktiakan tetapi hakim praperadilan dapat memeriksa sah atau tidaknya alat bukti
berdasarkan cara memperolehnya bukan isinya.
Adapun saran dari penulis yakni, (1) Pentingnya dasar hukum atau landasan hukum
yang jelas terhadap suatu perkara pidana, dalam hal ini terkait dengan penggunaan alat
bukti berupa dokumen fotokopi dalam peradilan pidana, hal ini ditujukan kepada unsur
pembentukan peraturan perundang-undangan dan aturan pelaksana agar dapat
membuat ketentuan legalisasi bukti fotokopi dalam peradilan pidana. (2) didalam
persidangan apabila para pihak yang berperkara mengajukan fotokopi surat yang tidak
disertai aslinya, hakim sebaiknya tidak langusng menolak alat bukti tersebut , ada
baiknya mempertimbangkan alat bukti lain yang diajukan oleh para pihak apabila alat
bukti tersebut bersesuaian dengan alat bukti lain, maka bukti fotokopi tersebut dapat
diterima dan memiliki kekuatan pembuktian bebas atau penilaiannya diserahkan
kepada hakim. (3) sudah sepatutnya yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 112
k/Pdt/1996 yang memungkinkan diterimanya bukti fotokopi yang tidak disertai aslinya
akan tetapi didukung alat bukti lain menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu
perkara demi tercapainnya kepastian hukum dan keadilan hukum. (4) hakim dalam
mengambil suatu keputusan sebaiknya tidak hanya melihat kepada aspek yuridis, tetapi
juga melihat aspek kemanfaatan dan kegunaan, serta aspek keadilan karena terkait
dengan penggunaan bukti fotokopi keyakinan hakim sangat lah penting apakah hakim
memandang dokumen fotokopi tersebut sebagai alat bukti yang kuat. Jadi hakim harus
melihat aspek kemanfaatannya juga sama hal nya dengan praperadilan yang harus
memberikan manfaat terlebih lagi praperadilan harus memberikan keadilan.
Kata kunci: Fotokopi, kekuatan pembuktian, perkara pidana, PraperadilanGHAZALI RAJNA AKHMAD 18120112552023-04-18T01:19:24Z2023-04-18T01:19:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/71004This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/710042023-04-18T01:19:24ZDISPARITAS PEMIDANAAN PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PERKARA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk)
ABSTRAK
Hakim dalam memutuskan perkara sering terjadi disparitas pidana, disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim, terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapat dikatakan bahwa pertimbangan Hakim dalam hal timbulnya disparitas pidana sangat menentukan. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas Putusan tetapi pada akhirnya hakim yang paling menentukan terjadinya disparitas. Seperti halnya dalam kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak pada kasus persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa dengan Register Perkara Nomor 8/Pid.Sus.Anak/2022/PnTjk dan Nomor
7/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan permasalahan: Apa yang menjadi pertimbangan hakim terhadap disparitas pemidanaan terdakwa pencabulan anak dengan Putusan Nomor
7/Pid.Sus-Anak/2022/PN Tjk dan apakah putusan hakim terhadap terdakwa pencabulan anak sudah memenuhi rasa keadilan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian mengenai permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, diperoleh kesimpulan bahwa Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pertimbangan yang bersifat yuridis Terdakwa I oknum AAF, TerdakwaII oknum RD, Terdakwa, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana atas Pasal
81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI
M Akmaldho B Indrajaya
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan proses peradilan semestinya tidak hanya mengacu pada ketentuan hukum secara formal, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan pelaku, korban, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Keadilan dalam perkara persetubuhan anak dibawah umur ini adalah perlakuan yang adil, tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana persetubuhan atau pencabulan anak dibawah umur seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang sekalipun dia masih dibawah umur.
Adapun saran yang diberikan dalam menjatuhkan putusan tindak pidana persetubuhan anak dibawah umur yang korbannya anak dibawah umur mengingat, mempertimbangkan, memerhatikan tujuan pemidanaan, yang bukan hanya sebagai pembalasan, melainkan juga guna mendidik dan memperbaiki perilaku untuk kembali kepada masyarakat serta pemidanaan tersebut memenuhi rasa keadilan baik bagi terpidana, korban maupun masyarakat luas. Serta harus berpedoman pada aturan tentang Pelaksanaan restitusi bagi Anak yang mempertimbangkan kerugian yang dialami pada anak korban.
Kata Kunci: Disparitas Pemidanaan, Pengadilan, Pencabulan, Anak
1912011294 M. Akmaldho B IndrajayaAkhmadbanni@gmail.com2023-04-17T04:05:45Z2023-04-17T04:05:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70939This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/709392023-04-17T04:05:45ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBERIAN
LAPORAN PALSU PADA KEPOLISIAN
Salah satu tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah
memberikan laporan palsu atau pengaduan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal
220 KUHP. Contoh kasusnya adalah dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang Nomor: 1166/Pid.B/2021/PN Tjk. Terdakwa melaporkan telah terjadi
tindak pidana pencurian sepeda motor padahal peristiwa tersebut tidak ada.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah dasar pertimbangan hakim
dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemberian laporan palsu
pada Kepolisian dalam Putusan Nomor: 1166/Pid.B/2021/PN.Tjk? Apakah
penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemberian laporan palsu pada
Kepolisian telah memenuhi rasa keadilan substantif?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris.
Narasumber penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung
Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Prosedur pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh lalu
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 6 (enam) bulan
terhadap pelaku tindak pidana pemberian laporan palsu kepada Kepolisian dalam
Putusan Nomor: 1166/Pid.B/2021/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis,
filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu perbuatan terdakwa terbukti
melanggar Pasal 220 KUHP. Pertimbangan filosofis yaitu hakim menilai bahwa
pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya
tetapi sebagai upaya pemidanaan terhadap terdakwa agar terdakwa tidak
mengulangi tindak pidana. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim
mempertimbangkan latar belakang terdakwa yang belum pernah dihukum, hal-hal
yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian pada pihak
lain, hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa bersikap sopan, mengakui dan
berterus terang di persidangan. Selain itu hakim mempertimbangkan bahwa pidana
yang dijatuhkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Putusan yang
dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana pemberian laporan palsu kepada Kepolisian belum memenuhi unsur keadilan, karena pidana 6 (enam) bulan penjara
yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa masih belum maksimal, dibandingkan
dengan ancaman pidana Pasal 220 KUHP yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 4 (empat) bulan. Selain itu terdakwa selain memberikan laporan palsu kepada
pihak Kepolisian juga melakukan tindak penggelapan 1 unit sepeda motor yang
statusnya masih dalam proses kredit pada Pihak Leasing. Hal ini menunjukkan
bahwa selain melakukan tindak pidana pemberian laporan palsu kepada Kepolisian,
pelaku juga melakukan perbarengan tindak pidana, yaitu tindak pidana penggelapan
dan tindak pidana fidusia, sehingga idealnya pidana yang dijatuhkan dapat lebih
maksimal.
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada Majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas
IA Tanjung Karang yang menangani tindak pidana pelaku membuat laporan palsu
kepada Kepolisian di masa yang akan datang, disarankan untuk mempertimbangkan
segala aspek dalam menjatuhkan putusan. Kepada masyarakat disarankan untuk
tidak melakukan tindak pidana membuat laporan palsu kepada pihak Kepolisian
dengan alasan apapun.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penjatuhan Pidana. Tindak Pidana,
Laporan Palsu, Kepolisian.
PUTRI S. SHANANDRA EVELY 19520110822023-04-17T02:40:48Z2023-04-17T02:40:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70903This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/709032023-04-17T02:40:48ZANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI
BATAS (NOODWEER EXCES) OLEH PELAKU
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
(Studi Putusan Nomor 103/Pid.B/2021/Pn.Gdt)Tindak pidana tidak selalu dapat dijatuhi sanksi pidana, sebagaimana KUHP pada
Pasal 49 mengatur terkait alasan penghapus pidana yang terdiri dari alasan pemaaf
dan alasan pembenar. Salah satu bentuk alasan pemaaf yaitu pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer exces). Contoh perkara tentang noodweer exces
yaitu perkara tindak pidana penganiayaan yang terjadi di Kabupaten Pesawaran.
Perkara ini bermula dari terjadinya adu mulut antara Nuryadin dan Branhar,
kemudian terjadi pertikaian menggunakan senjata tajam yang mengakibatkan
Branhar meninggal dunia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah pertimbangan hakim terhadap putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dalam tindak pidana penganiayaan karena noodweer exces berdasarkan
Putusan Nomor 103/Pid.B/2021/PN.Gdt dan apakah putusan lepas dari segala
tuntutan hukum terkait tindak pidana penganiayaan karena pembelaan terpaksa
yang melampaui batas berdasarkan putusan tersebut sudah sesuai dengan faktafakta hukum di persidangan.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris,
dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan ditunjang dengan
pendekatan lapangan berupa perolehan tambahan informasi serta opini penegak
hukum terkait.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara Putusan Nomor
103/Pid.B/2021/Pn.Gdt yaitu terhadap tiga aspek yang terdiri dari aspek yuridis,
aspek sosiologis dan aspek filosofis. Pertimbangan hakim dalam perkara ini yaitu
terkait fakta-fakta yuridis dalam persidangan yang terdiri dari dakwaan penuntut
umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, serta pasal-pasal
yang didakwakan. Selain pada pasal yang didakwkan, hakim juga
mempertimbangkan pledoi terdakwa yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa
ialah suatu pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang diatur dalam Pasal 49
KUHP. Hakim juga melihat alasan dan latar belakang terdakwa melakukan
perbuatannya tersebut, hal-hal tersebut kemudian digunakan hakim untuk
membangun keyakinannnya dalam mennjatuhkan putusan. Selain itu, Hakim jugamempertimbangkan tujuan dari dijatuhkannya putusan tersebut serta akibat dan
manfaat putusan tersebut bagi terdakwa dan masayarakat sebelum menjatuhkan
putusannya. Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, dimana hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa ialah
perbuatan pembelaan terpaksa melampaui batas terhadap dirinya sendiri hal ini
berdasarkan atas fakta-fakta persidangan. Selanjutnya, putusan yang dijatuhkan
oleh majelis hakim telah terpenuhi dan sesuai dengan fakta-fakta persidangannya
sebagaimana didasarkan pada Pasal 183 dan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, dimana
terkait alat bukti dan barang bukti sudah dibuktian dalam proses persdiangan.
Saran dari penelitian ini ialah hakim dalam merumuskan putusannya seharusnnya
juga melihat dan mempertimbangkan latar belakang korban, selain itu perkara ini
berkaitan dengan pembelaan terpaksa yang melampui batas akibat adanya
goncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu ada baiknya dalam persidangan
dihadirkan ahli jiwa atau psikolog untuk memberikan penilaiannya pada kondisi
kejiwaan terdakwa pada saat itu.
Kata kunci: Noodweer Exces, Tindak pidana, PenganiayaanMeta Zulfia Sukma 19120111692023-04-17T01:36:00Z2023-04-17T01:36:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70894This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/708942023-04-17T01:36:00ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA
PENANGKAPAN IKAN TANPA SURAT IZIN
USAHA PERIKANAN
(Studi Putusan Nomor: 32/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk)Setiap kegiatan penangkapan ikan harus memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP) sebagai dasar legalitas usahanya. Tanpa SIUP maka kegiatan tersebut
adalah ilegal atau tindak pidana. Contoh kasus tindak pidana tersebut adalah
dalam Putusan Nomor: 32/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk Permasalahan dalam penelitian
ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku usaha penangkapan ikan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan
dalam Putusan Nomor: 32/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk? (2) Apakah pidana yang
dijatuhkan hakim terhadap pelaku usaha penangkapan ikan tanpa Surat Izin Usaha
Perikanan telah memenuhi aspek keadilan substantif?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan, Narasumber terdiri
atas Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 15 (lima belas) hari dan denda
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan
terhadap pelaku tindak pidana penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan tanpa SIUP dalam Putusan Nomor: 32/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk secara
yuridis yaitu perbuatan terdakwa terbukti melanggar Pasal 92 Undang-Undang
Perikanan. Pertimbangan filosofis yaitu hakim menilai bahwa pemidanaan tidak
hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya tetapi sebagai
upaya pemidanaan terhadap terdakwa. Pertimbangan sosiologis yaitu adanya halhal
yang memberatkan dan meringan pidana bagi terdakwa, serta pidana yang
dijatuhkan hakim telah memberikan manfaat kepada masyarakat. (2) Putusan yang
dijatuhkan hakim tersebut belum memenuhi unsur keadilan, karena pidana
penjara yang dijatuhkan masih belum maksimal dibandingkan dengan ancaman
pidananya, sehingga kurang memberikan efek jera kepada pelaku.
Saran penelitian ini adalah: (1) Majelis hakim yang menangani tindak pidana
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan tanpa SIUP di masa yang
akan datang hendaknya lebih optimal dalam menjatuhkan pidana. (2) Nelayan
disarankan untuk tidak melakukan penangkapan ikan tanpa SIUP.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penangkapan Ikan, SIUPakrabi Rinaldi 18120110782023-04-17T01:23:40Z2023-04-17T01:23:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70879This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/708792023-04-17T01:23:40ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP AFFILIATOR BINARY OPTION
DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(Studi Putusan Nomor: 117/Pid.Sus/2022/PT.Btn)
Binary option menjadi semakin akrab bagi publik dengan keberadaan promosi
online yang dilakukan diberbagai sosial media oleh affiliator. Akhir-akhir ini
pembicaraan situs Binomo semakin marak, contohnya ialah kasus yang menimpa
Indra Kesuma atau yang dikenal sebagai Indra Kenz. Indra Kenz ialah affiliator
dalam aplikasi Binomo. Kaitannya antara affiliator binary option dengan tindak
pidana pencucian uang ialah seperti yang kita ketahui bahwa uang hasil dari
promosi binary option merupakan uang illegal atau hasil kejahatan dikarenakan
sudah ada regulasi yang mengatur bahwa binary option merupakan investasi
illegal. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
penegakan hukum terhadap affiliator binary option dalam tindak pidana
pencucian uang dan apa saja faktor-faktor yang memengaruhi penegakan hukum
terhadap affiliator binary option dalam tindak pidana pencucian uang.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data
primer, data sekunder dan data tersier. Adapun narasumber dalam penelitian ini
adalah Penyidik pada direktorat tindak pidana ekonomi khusus, trader
cryptocurrency di Bandar Lampung, Dosen bagian pidana dan perdata FH Unila.
Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara seleksi data, klasifikasi
data dan sistematisasi data. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara
kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa penegakan hukum terhadap affiliator binary option dalam tindak pidana
pencucian uang dengan menggunakan teori kebijakan hukum pidana yang terdiri
dari tiga tahap. Dengan mengambil contoh kasus pada Indra Kenz menggunakan
teori kebijakan hukum pidana, yaitu pertama pada kebijakan hukum pidana yakni
formulasi mengenai binary option dapat dikaitkan dengan Pasal 378 KUHP, Pasal
303 Ayat (1) KUHP, Pasal 45A Ayat (1) Jo. Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, Pasal 3
UU TPPU. Sedangkan Pada penerapan aparat penegak hukum yaitu Jaksa
Penuntut Umum pada kasus Indra Kenz menggunakan dakwaan dengan berbentuk
alternatif kumulatif yakni Kesatu: Pertama Pasal 45 Ayat (2) Jo Pasal 27 Ayat (2)
UU ITE;
Pada putusan pengadilan berdasarkan kasus Indra Kenz di pengadilan tingkat
pertama dengan Putusan Nomor:1240/Pid.Sus/2022 PN.Tng, Majelis Hakim
sependapat dengan dakwaan dari jaksa penuntut umum yaitu dakwaan kesatu
kedua yaitu Pasal 45A (1) Jo. Pasal 28 Ayat (1) UU ITE dan dakwaan kedua
pertama Penuntut Umum yaitu Pasal 3 UU TPPU. Lalu, melalui banding dengan
Putusan Nomor: 117/Pid.Sus/2022/PT.Btn Hakim Pengadilan Tinggi Banten
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang dengan Indra Kenz di eksekusi
pidana penjara 10 Tahun dan denda Rp 5 Miliar dan barang bukti yang disita dari
Indra Kenz dikembalikan untuk mengganti kerugian para korban. Sedangkan pada
faktor-faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum mengenai afiiliator
binary option dalam tindak pidana pencucian uang yaitu pertama tentang faktor
hukumnya itu sendiri bahwa regulasi tentang binary option masih belum jelas dan
aparat penegak hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengerti dengan kejahatan
siber padahal pada sarana dan fasilitas mempunyai alat yang mumpuni tetapi tidak
ada orang yang dapat mengoperasikan alat tersebut. Masyarakat Indonesia mudah
terjebak oleh affiliator binary option ini dikarenakan masyarakat Indonesia ingin
sesuatu yang instan. Kemudian pada masyarakat Indonesia sendiri budaya hukum
tidak terasah dengan baik, budaya pemahaman akan berinvestasi juga belum
terasah dengan baik.
Saran dari penulis kepada aparat penegak hukum mengenai penegakan hukum
terhadap affiliator binary option dalam tindak pidana pencucian uang ialah
platform trading yang masih illegal untuk segera diberantas karena dapat
mengakibatkan korban korban baru yang terjebak dalam dunia yang dapat
dikatakan dengan perjudian online, dengan adanya pencegahan dan himbauan
kepada masyarakat untuk lebih memperhatikan sistem trading yang terdaftar jika
ingin melakukan trading. Pada faktor penghambat penegakan hukum mengenai
affiiliator binary option dalam tindak pidana pencucian uang, mungkin mulai saat
ini dapat dipenuhi semua kekurangan dari semua faktor tersebut.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Affiliator, Binary Option, Pencucian Uang
ABSTRACT
LAW ENFORCEMENT AGAINST BINARY OPTION AFFILIATORS
IN THE CRIME OF MONEY LAUNDERING
(Decision Study Number: 117/Pid.Sus/2022/PT.Btn)
By:
Dava Prawira Wibowo
Binary options are becoming increasingly familiar to the public with the existence
of online promotions carried out on various social media by affiliates. Lately, the
discussion on the Binomo site has been getting busier, an example is the case that
happened to Indra Kesuma, also known as Indra Kenz. Indra Kenz is an affiliate
in the Binomo application. The link between binary option affiliates and money
laundering crimes is as we know that money generated from binary option
promotions is illegal money or proceeds of crime because there are already
regulations governing that binary options are illegal investments. The problem in
this study is how is law enforcement against binary option affiliates involved in
money laundering crimes and what are the factors that influence law enforcement
against binary option affiliates in money laundering crimes.
The problem approach in this study uses a normative juridical approach and an
empirical juridical approach. The data used are primary data, secondary data and
tertiary data. The sources in this study were investigators at the directorate of
special economic crimes, cryptocurrency traders in Bandar Lampung, lecturers in
the criminal and civil divisions of FH Unila. While processing the data obtained
by means of data selection, data classification and data systematization. The
processed data were analyzed qualitatively and conclusions were drawn using the
inductive method.
Based on the results of the research and discussion, a conclusion can be drawn
that law enforcement against binary option affiliators in money laundering crimes
uses the theory of criminal law policy which consists of three stages. By taking
the example of the case in Indra Kenz using the theory of criminal law policy,
namely first on criminal law policy namely formulation regarding binary options
can be linked to Article 378 of the Criminal Code, Article 303 Paragraph (1) of
the Criminal Code, Article 45A Paragraph (1) Jo. Article 28 Paragraph (1) of the
ITE Law, Article 3 of the TPPU Law. Whereas in the application of law
enforcement officials, namely the Public Prosecutor in the Indra Kenz case, using
charges in the form of cumulative alternatives, namely First: First Article 45
Paragraph (2) Jo Article 27 Paragraph (2) of the ITE Law; Or Second, Article 45A
Paragraph (1) Jo.
DAVA PRAWIRA WIBOWO
Article 28 Paragraph (1) of the ITE Law; Or Third Article 378 of the Criminal
Code;
And Second First, Article 3 of the TPPU Law; Or Second, Article 4 of the Money
Laundering Law In the court decision based on the Indra Kenz case at the first
level court with Decision Number: 1240/Pid.Sus/2022 PN.Tng, the Panel of
Judges agreed with the indictment of the public prosecutor, namely the second
indictment, namely Article 45A ( 1) Jo. Article 28 Paragraph (1) of the ITE Law
and the second indictment of the Public Prosecutor, namely Article 3 of the TPPU
Law. Then, through an appeal with Decision Number: 117/Pid.Sus/2022/PT.Btn
The Banten High Court Judge upheld the Tangerang District Court's Decision
with Indra Kenz being sentenced to 10 years in prison and a fine of IDR 5 billion
and evidence confiscated from Indra Kenz returned to compensate the victims.
Whereas the factors that become obstacles to law enforcement regarding binary
option affiliators in money laundering crimes, namely, firstly, regarding the legal
factor itself, that the regulations regarding binary options are still unclear and law
enforcement officials in Indonesia do not fully understand cybercrime even
though the means and facilities have qualified tools but no one who can operate
the tools. Indonesian people are easily trapped by these binary option affiliates
because Indonesian people want something instant. Then in the Indonesian people
themselves the legal culture is not well honed, the culture of understanding that
investing is also not well honed.
Suggestions from the author to law enforcement officials regarding law
enforcement against binary option affiliates in money laundering crimes are
trading platforms that are still illegal to eradicate immediately because they can
result in new victims trapped in a world that can be said with online gambling,
with prevention and appeals to the public to pay more attention to the registered
trading system if you want to trade. Regarding the inhibiting factors for law
enforcement regarding binary option affiiliators in money laundering crimes,
perhaps from now on all the deficiencies of all of these factors can be fulfilled.
Keywords: Law Enforcement, Affiliators, Binary Options, Money
Laundering
Prawira Wibowo Dava19120113322023-04-14T06:47:17Z2023-04-14T06:47:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70864This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/708642023-04-14T06:47:17ZPENERAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN
KEADILAN RESTORATIF OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
KASUS TINDAK PIDANA PENGANCAMAN
(Studi Kasus Perkara Nomor: PDM-69/K.Bumi/06/2022)
Tujuan restorative justice adalah untuk mencari keadilan berdasarkan hati nurani.
Karena selama ini masyarakat beranggapan keadilan itu dengan dipenjarakan.
Padahal dari beberapa ketentuan dan peraturan juga ada (perkara) yang bisa
diselesaikan di luar persidangan. Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana nantinya
diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan pelaku tindak
pidana di pengadilan dalam penjatuhan sanksi pidananya oleh hakim/majelis hakim.
Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah penerapan penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif oleh penuntut umum dalam kasus tindak pidana
pengancaman di Kejaksaan Negeri Lampung Utara dan apakah faktor pendukung
penerapan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh penuntut
umum dalam kasus tindak pidana pengancaman di Kejaksaan Negeri Lampung
Utara.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan
pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data
primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun
narasumber pada penelitian ini terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung
Utara, Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung serta pelaku dan
korban. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penerapan penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif oleh penuntut umum dalam kasus tindak pidana
pengancaman di Kejaksaan Negeri Lampung Utara berdasarkan Peraturan kejaksaan
Nomor 15 Tahun 2020 sudah diterapkan, dimana dalam penerapan ini kejaksaan
lebih mengedepankan upaya pemulihan (restorative) dalam kasus pengancaman
yang dilakukan oleh tersangka Adi Rahmat bin Ratu Maskur. Pada prosesnya,
penerapan penghentian penuntutan pada tindak pidana pengancaman ini telah sesuai
dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif, karena dalam kasus tersebut telah memenuhi
syarat-syarat untuk dapat dihentikannya penuntutan seperti yang termuat dalam
Pasal 5 Ayat (1), yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak
pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara
tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang
bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari
Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), serta telah adanya kesepakatan
perdamaian antara korban dan tersangka sehingga penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif dalam kasus tindak pidana pengancaman ini dapat
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. (2) Faktor
pendukung penerapan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh
penuntut umum dalam kasus tindak pidana pengancaman di Kejaksaan Negeri
Lampung Utara adalah faktor hukumnya sendiri, dimana peraturan hukum positif
yang akan diterapkan di lapangan yang berkaitan dengan kepentingan tugas. Faktor
penegak hukum, dimana Jaksa dalam menerapkan restorative justice berarti
memberikan keputusan yang berakibat besar kepada para pihak yang berperkara serta
kepada institusi kejaksaan itu sendiri. Faktor sarana atau fasilitas, dalam rangka
penghentian penuntutan oleh kejaksaan terdapat rumah restorative justice. Faktor
masyarakat masyarakat mendukung karena penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara perdamaian, karena hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, yakni hukum adat yang mengutamakan musyawarah
untuk mufakat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Serta faktor
kebudayaan, dimana budaya hukum yang ada di masyarakat yakni sifat memaafkan
dimana dalam menyelesaikan suatu masalah, masyarakat melakukan musyarawah
untuk mencapai mufakat serta mencari penyelesaian secara kekeluargaan.
Saran dalam skripsi ini adalah diharapkan kepada aparat penegakan hukum seperti
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri untuk dapat mengaplikasikan suatu
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui restorative justice yang
dapat memberikan keputusan yang dibangun oleh para pihak sendiri melalui
perdamaian yang lebih mencerminkan rasa keadilan. Penegak Hukum diharapkan
dengan diterbitkannya PERJA No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif Tanggal 22 Juli 2020 diharapkan lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus
mampu mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.
Penyelesaian perkara tindak pidana dapat dilakukan dengan mengedepankan
keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan
keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang
tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat
dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan
penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.
Kata Kunci: Penerapan, Keadilan Restoratif, Pengancaman.
Renaldi Raihan Zaky RAIHAN ZAKY RENALDI 1812011287 2023-04-14T06:30:53Z2023-04-14T06:30:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70857This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/708572023-04-14T06:30:53ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADPA PELAKU TINDAK PIDANA JUAL BELI BIBIT LOBSTER SECARA ILEGAL
(Studi Putusan Nomor 124/Pid.Sus/2019/PN.Liw)
Tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum serta putusan pidana yang dijatuhi oleh hakim pada perkara Nomor124/Pid.Sus/2019/PN masih terlalu ringan. Pidana yang dijatuhi tersebut dirasa kurang cukup memberikan efek jera bagi para terdakwa. Hal ini terlihat dengan masih maraknya pengambilan serta jual beli bibit lobster secara ilegal yang terjadi di Kabupaten Pesisir Barat. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku jual beli bibit lobster secara ilegal berdasarkan putusan hakim Nomor124/Pid.Sus/2019/PN.Liw., dan apakah penjatuhan pidana pada pelaku jual beli bibit lobster (benur) secara ilegal pada putusan hakim Nomor
124/Pid.Sus/2019/PN.Liw telah memenuhi asas cita hukum.
Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Sumber data pada penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun Narasumber pada penelitian ini terdiri atas satu orang Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa, satu orang Jaksa pada Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui, dan satu orang Akademisi Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku jual beli bibit lobster (benur) secara ilegal berdasarkan putusan hakim No. 124/Pid.Sus/2019/PN.Liw dari aspek yuridis pada putusan ini terlihat dari dakwaan oleh jaksa penuntut umum serta adanya alat bukti sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus. Dari aspek filosofis dapat dilihat dengan adanya penjatuhan pidana pada perkara ini dapat memberikan
Sri Cahyani Saudah Jaya Ningrat
keadilan bagi para terdakwa dan juga bagi masyarakat. Aspek sosiologis dari putusan ini memberikan edukasi bagi masyarakat luas terkait dengan larangan penangkapan dan atau penjualan bibit lobster. Pemenuhan asas cita hukum dalam putusan hakim No. 124/Pid.Sus/2019/PN.Liw. Dari sudut keadilan bahwa putusan ini memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Dari sudut kemanfaatan hukum putusan ini memberikan dampak terhadap tindak pidana perikanan. Dari sudut kepastian hukum putusan ini memberikan kepastian bagi para terdakwa dengan dijatuhinya pidana sebagai hukuman bagi para terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah bahwa hakim diharapkan mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian terhadap tindak pidana jual beli bibit lobster sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku serta tetap memperhatikan pemenuhan cita hukum dari putusannya. Serta dalam penjatuhan pidana bagi terdakwa diharapkan hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat agar pelaku mendapatkan efek jera. Serta agar dapat dilakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait perlindungan bibit lobster sehingga masyarakat dapat bijak dalam memanfaatkan hasil lautnya.
Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Asas Cita Hukum, Tindak Pidana
Jual Beli Bibit Lobster
CAHYANI SAUDAH JAYA NINGRAT SRI18120110502023-04-14T03:01:21Z2023-04-14T03:01:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70815This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/708152023-04-14T03:01:21ZANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS PADA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 381/Pid.Sus/2020/PN Rgt)Tindak pidana Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah berat di Indonesia yang harus segera di atasi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan mengenai pengedar dan pengguna narkotika. Ketentuan sanksi pada tindak pidana narkotika telah diatur di dalam Bab XV Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sanksi bagi para pelaku tindak pidana narkotika adalah penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal seumur hidup, denda minimal Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Hakim dalam memberikan putusan suatu kasus, akan mempertimbangkan secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 381/Pid.Sus/2020/PN Rgt menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah dan diputus bebas (vrijspraak). Permasalahan yang dapat diangkat adalah (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim dalam memberikan putusan bebas pada perkara penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 381/Pid.Sus/2020/PN Rgt ? (2) Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Pelaku pada Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 381/Pid.Sus/2020/PN Rgt ?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah data kepustakaan. Data kepustakaan yang digunakan adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek atau lokasi yang dijadikan tempat penelitian, tetapi melalui sumber kepustakaan.Narasumber dari penelitian ini terdiri dari Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung berjumlah dua orang.
Dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan putusan bebas pada kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini adalah pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta yuridis yang tampak dalam persidangan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagaimana dakwaan oleh penuntut umum, karena setelah menghubungkan antara barang bukti, alat bukti dan perumusan unsur pasal, Terdakwa tidak memenuhi unsur minimal 2 unsur pasal yang didakwakan, sehingga hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh karena pelaku tidak adanya unsur kesalahan.
Saran penelitian ini Hakim hendaknya mempertimbangkan faktor yuridis dan non-yuridis, serta faktor filosofis dan sosiologis, agar tercipta putusan yang konsisten bila terdapat kesamaan kasus dalam sidang yang akan datang. Hakim dalam memutus kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika, agar memperhatikan kapasitas dari terdakwa, apakah terdakwa berpotensi menjadi pengedar, atau menjadi pemakai, sehingga bisa diputus sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.Maulana Rizky18120110422023-04-14T01:29:38Z2023-04-14T01:29:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70783This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/707832023-04-14T01:29:38ZPERAN PENYIDIK TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (STUDI PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)Penganiayaan adalah penggunaan kekuatan fisik, baik dalam kondisi terancam atau tidak pada seseorang, kelompok, atau komunitas yang dapat menyebabkan trauma, kematian, trauma psikologis, gangguan perkembangan, dan kerugian yang melanggar hak asasi manusia. Pada dasarnya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah peran penyidik terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan Apakah faktor- faktor penghambat peran penyidik terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Penyidik Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung. Secara mendasar sudah memenuhi aspek peranan faktual. Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam hukum acara pidana yang pada pelaksanaanya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam persangkaan kadangkadang wajib untuk dilakukan. Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, Faktor-faktor penghambat peran penyidik terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah terdiri dari beberapa faktor yaitu faktor substansi hokum, faktor aparat penegak hokum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Faktor masyarakat yang menghambat adalah masyarakat seharusnya mengerti bahwa kehidupan masyarakat memerlukan eksistensi hukum, bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, kententraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Penganiayaan sudah secara baku diatur (sebagai implementasi dari asas legalitas) dalam aturan hukum pidana. Perlu dicermati bahwa Penganiayaan berbeda dengan Pembunuhan. Walaupun keduanya merupakan tindak pidana yang menyerang tubuh seseorang namun perbedaan tetap harus diperhatikan karena perbedaan inilah yang akan dijadikan dasar untuk Aparat Penegak Hukum dalam mengkualifikasi tindakan tersebut dan nantinya Hakim akan dapat memberikan putusan yang tepat.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam lebih menitikberatkan pada peran dan fungsi para aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Karena penganiayaan yang menyebabkan kematian merupakan salah satu tindak pidana ataupun suatu kriminalitas yang sering terjadi di dalam masyarakat, yang tidak akan pernah tahu kapan terjadinya. Bahwa sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harus mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana. Masyarakat sebagai media informasi harus lebih peka dan berperan aktif terhadap upaya penanggulangan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Informasi sekecil apapun sangat membantu kinerja dari pihak Kepolisian.
Persecution is the use of physical force, whether under threat or not, against a person, group, or community that can cause trauma, death, psychological trauma, developmental delays, and harm that violates human rights. Basically the Indonesian National Police as referred to in Law no. 2 of 2002 concerning the National Police of the Republic of Indonesia in Article 4 aims to ensure order and upholding of the law and fostering public peace in order to realize security and public order in the context of maintaining domestic security, carrying out the function of state defense and security, and achieving national goals by upholding human rights. man. The problem in this thesis is: What is the role of the investigator in the crime of maltreatment resulting in death and what are the inhibiting factors for the investigator's role in the crime of persecution resulting in death.
The problem approach used in this study are normative juridical and empirical juridical approaches. Data source: Primary Data and Secondary Data. Sources: Investigators at the Bandar Lampung City Resort Police and Academics from the Faculty of Law in the Criminal Law Section at the University of Lampung.
The results of the research and discussion shows that: The role of investigators against crimes of persecution resulting in death is that arrangements regarding persecution always refer to human rights because people want protection for their rights. Human rights are basic rights that are naturally attached to human beings, are universal and direct. This includes the rights that must be obtained by victims of abuse. The role played by the Bandar Lampung Police Criminal Investigation Unit SAT has basically fulfilled the aspect of the factual role. Investigation as the most important part of criminal procedural law, which in its implementation often has to offend the dignity of individuals, is sometimes required to be carried out. The series of investigative actions are all actions in the name of law carried out by Polri investigators, starting from summons, examination, arrest, detention, confiscation and other actions regulated in legal provisions, applicable laws and regulations until the investigation process is declared complete. With the existence of the law it is intended to create harmony in social life. The inhibiting factors for the role of investigators in the crime of persecution resulting in death consist of several factors, namely legal substance factors, law enforcement officials factors, facilities and infrastructure factors, community factors and cultural factors. The inhibiting community factor is that people should understand that people's lives require the existence of law, not only to be a parameter for justice, order, peace and order, but also to guarantee legal certainty.
Suggestions in this study are expected to focus more on the roles and functions of law enforcement officials to seek material truth and realize justice and social welfare. Because persecution that causes death is a crime or a crime that often occurs in society, you will never know when it will happen. That as law enforcement officers in the criminal justice system, they must consider settlements of criminal acts committed by perpetrators of criminal acts in accordance with the provisions of criminal law. The community as an information medium must be more sensitive and play an active role in efforts to deal with persecution that causes death. Even the slightest information is very helpful for the performance of the Police.Raflenchyo MuhammadNPM16120113572023-04-13T05:20:26Z2023-04-13T05:20:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70723This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/707232023-04-13T05:20:26ZANALISIS TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA MELALUI KEADILAN RESTORATIF BAGI PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERJA NO. 18 TAHUN 2021
Konsep Keadilan Restoratif yang marak digaungkan sebagai solusi penyelesaian bagi tindak pidana ringan mendorong menjadikan hal tersebut sebagai upaya penanggulangan penyalahgunaa narkotika dalam hal penegakan hukum. Upaya yang dimaksud ialah adanya kemunculan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 18 tahun 2021 mengenai penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Keadilan Restoratif yang dimana pertimbangan dikeluarkan kebijakan tersebut disebabkan adanya kapasitas berlebih didalam lapas yang salah satunya termasuk ialah pelaku penyalahgunaan narkotika. Alasan lainnya karna penegakan hukum bagi pelaku penyalahgunaan narkotika selalu berfokus pada Pasal 127 ayat
1 dan menghiraukan Pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 sehingga upaya pemulihan bagi pecandu dinilai masih minim. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah kebijakan Perja No.18 tahun 2021 sudah menjadi kebijakan yang rasional dalam menanggulangi kejahatan penyalahgunaan narkotika dan Apakah yang menjadi urgensi diterbitkannya Perja No.18 Tahun 2021 terhadap upaya penanggulangan pelaku penyalahguna narkotika.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil dari penelitian ini ialah bentuk rasionalitas dari Keadilan Restoratif Terhadap Pecandu Narkotika Berdasarkan Kebijakan Perja No. 18 tahun 2021 dapat berupa penghentian penuntutan perkara oleh pihak Kejaksaan terhadap tersangka pecandu narkotika. Sebagai langkah upaya pemulihan berupa pemberian Keadilan Restoratif dengan persyaratan dan ketentuan yang telah tertuang dalam Perja No. 18 tahun 2021 yang dalam prosesnya dibentuk Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari 3 instansi yaitu Kejaksaan, Kepolisian, BNN
Muhammad Cyrill Ramadhan
dan Tugas dari masing-masing tim asesmen tersebut adalah : Tim medis bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi Penyalahguna Narkotika Tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan Peredaran gelap narkotika dan Prekusor Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika berkordinasi dengan Penyidik yang menangani perkara. Kordinasi yang dilakukan oleh 3 instansi tersebut melahirkan hasik kelayakan tersangka pecandu narkotika. Untuk memperoleh keadilan restoratif yang selanjutnya pihak yang mengeluarkan keputusan ialah pihak Kejaksaan sejatinya sebagai pelaksana domitus litis Sedangkan urgensi yang muncul berkenaan dengan hal undang-undang, penegak hukum, masyarakat serta sarana dan prasarana.
Saran dari penelitian ini adalah Penerapan Perja No.18 tahun 2021 berupa pemberian keadilan restoratif bagi pecandu narkotika harus diterapkan secepatnya secara menyeluruh disetiap wilayah Kejaksaan di Indonesia dan perlu diberikan sanksi bagi pihak yang dinilai lambat dalam menerapkan kebijakan yang baru. Peran Kejaksaan harus terus ditingkatkan dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum guna membangun kepercayaan masyarakat.
Kata Kunci : Perja, Keadilan Restoratif, Pecandu
ABSTRACT
ANALYSIS OF CASE SETTLEMENT THROUGH RESTORATIVE JUSTICE FOR NARCOTIC ADDICTIVES BASED ON PERJA NO. 18
YEAR 2021
By
Muhammad Cyrill Ramadhan
The concept of Restorative Justice which is widely echoed as a settlement solution for minor crimes encourages this to be made as an effort to tackle narcotics abuse in terms of law enforcement. The effort in question is the emergence of the Attorney General Regulation (Perja) No. 18 of 2021 regarding the settlement of narcotics abuse cases through the Restorative Justice approach where consideration was issued for the policy due to excess capacity in prisons, one of which includes perpetrators of narcotics abuse. Another reason is because law enforcement for perpetrators of narcotics abuse always focuses on Pasal 127 paragraph 1 and ignores Pasal 54 of Law no. 35 of 2009 so that recovery efforts for addicts are still considered minimal. The problem in this research is whether the Perja No.18 of 2021 policy has become a rational policy in tackling narcotic s abuse crimes and what is the urgency of issuing Perja No.18 of 2021 for efforts to deal with narcotics abusers.
The approach method used in this research is normative juridical and empirical juridical approaches. The data used in this study are primary data and secondary data with the data collection process carried out through library research and field studies.
The result of this study is a form of rationality of restorative justice for narcotics addicts based on Perja No. 18 of 2021 can be in the form of stopping the prosecution of cases by the Attorney against suspected narcotics addicts. As a step for recovery efforts in the form of providing Restorative Justice with the terms and conditions set out in Perja No. 18 of 2021 which in the process formed an Integrated Assessment Team consisting of 3 agencies namely the Prosecutor's Office, Police, BNN, and The duties of each of assessment team are
Muhammad Cyrill Ramadhan
The medical team is tasked with conducting medical, psychosocial assessments and analysis and recommending therapy and rehabilitation plans for Narcotics Abuse The legal team is tasked with conducting analysis in relation to Narcotics illicit traffic and Narcotics Precursor and Narcotics Abuse in coordination with the Investigators who handle case. The coordination carried out by the 3 agencies resulted in the feasibility of a narcotics addict suspect. In order to obtain restorative justice, the party issuing the decision is the Prosecutor's Office, who is actually the executor of domitus litis.
The suggestion from this research is that the implementation of Perja No. 18 of
2021 in the form of providing restorative justice for narcotics addicts must be implemented as soon as possible as a whole in every area of the Prosecutor's Office in Indonesia and it is necessary to give sanctions to those who are considered slow in implementing the new policy. The role of the Attorney General's Office must continue to be enhanced by prioritizing the values of justice, benefit and legal certainty in order to build public trust.
Keywords : Perja, Restorative Justice, Addicts
Cyrill Ramadhan Muhammad 19120110332023-04-13T03:39:51Z2023-04-13T03:39:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70687This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/706872023-04-13T03:39:51ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENGANIAYAAN YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN DALAM ORGANISASI
PENCINTA ALAM
ABSTRAK
Kejahatan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam organisasi pencinta
alam diwilayah hukum pesawaran merupakan kejahatan atas dasar kelalaian
dimana adanya subkultur kekerasan atau budaya kekerasan yang dianggap sebagai
mekanisme atau cara yang digunakan organisasi tersebut guna mencapai tujuan
dari organisasi pencinta alam tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini yang
pertama adalah untuk mengetahui faktor penyebab kejahatan penganiayaan dalam
organisasi pencinta alam yang menyebabkan kematian pada wilayah hukum
Pesawaran dan permasalahan yang kedua mengetahui upaya penanggulangan
kejahatan penganiayaan yang menyebabkan penganiayaan dalam organisasi
pencinta alam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis empiris dan yuridis
normatif. Data yang digunakan merupakan data primer dan data skunder
metodelogi pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Narasumber pada penelitian
ini terdiri dari Penyidik Kepolisian Satreskrim pesawaran, Pelaku Penganiayaan
Organisasi Pencinta Alam di Rutan Kelas I Bandar Lampung, Dosen Akademisi
Fisip Unila, Dosen Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diketahui faktor yang
menyebabkan terjadinya kejahatan penganiayaan dalam organisasi pencinta alam
pada wilayah hukum pesawaran faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri individu yang meliputi keadaan sikap
emosional, relasi kekuasaan, loyalitas bersama. Sedangkan faktor eksternal
meliputi faktor konflik kebudayaan, lingkungan yaitu adanya subkultur kekerasan
dimana peningkatan fisik para anggota pencinta alam tersebut cendrung pada
penggunaan kekerasan, budaya tersebut identik dengan kekerasan dianggap
sebagai salah satu cara atau mekanisme dalam mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan upaya penanggulangan kejahatan penganiayaan dalam organisasi
pencinta alam dapat dilakukan upaya penal dan non penal. Upaya penal oleh
aparat penegak hukum yaitu Pemberian hukuman (sanksi) kepada pelaku,
bertujuan untuk memberikan efek jera yang sesuai dengan undang-undang yangmengaturnya. Sedangkan Upaya Non penal yang dapat dilakukan penyuluhan
hukum atau sosialisasi hukum dari Babinkabtibmas kepada badan instansi dan
lembaga-lembaga pendidikan terkait untuk memberikan cara pembinaan fisik
yang baik terhadap para mahasiswa dalam berorganisasi agar dapat meminimalisir
kekerasan, Pemasangan banner sebagai peringatan antisipasi terjadi kekerasan.,
Menganjurkan pada setiap organisasi kampus agar dapat melakukan pengawasan
yang diperketat ketika kegiatan berlangsung. Penulis menyarankan dalam
penelitian ini terkait penanggulangan kejahatan penganiayaan pada organisasi
pencinta alam adalah kepolisian hendaknya mengadakan kerjasama dengan
instansi maupun lembaga-lembaga terkait untuk melakukan sosialisasi atau
penyuluhan hukum, memberikan sanksi dan pembinaa kepada mahasiswa dalam
organisasi agar lebih mengerti dan memahami hukum, serta instansi maupum
lembaga-lembaga pendidikan dalam organisasi juga dapat memberikan arahan
serta memperketat pengawasan dalam pembinaan diksar (pendidikan dasar) dan
kegiatan-kegiatan lainnya.
Kata Kunci : Kriminologi, Kejahatan, Penganiayaan Organisasi Pencinta
Alam
Anggraini Desi Dwi 19120110292023-04-12T04:14:14Z2023-04-12T04:14:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70590This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705902023-04-12T04:14:14ZCOVER
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH
(Studi Putusan Nomor: 13/PID/2019/PT.Tjk)
Tindak pidana penyerobotan tanah yang dilakukan oleh terdakwa dalam putusan
nomor: 13/Pid/2019/PT.Tjk dituntut pidana oleh penuntut umum dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dengan perintah terdakwa selanjutnya untuk ditahan.
Kemudian perkara di teruskan ke pengadilan tinggi lampung dan terdakwa dijatuhi
hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun oleh hakim pengadilan tinggi
lampung. Permasalahan dalam penelitian ini 1) Bagaimanakah penegakan hukum
terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Nomor:
13/PID/2019/PT.Tjk. 2) Apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyerobotan tanah pada putusan Nomor: 13/PID/2019/PT.Tjk.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan
penelitian empiris. Sumber data didukung dengan data premier dan data sekunder.
Penelitian ini melibatkan responden Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang,
Kejaksaan Tinggi Lampung, dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung. Data
akan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan 1) penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah dalam putusan Nomor: 13/PID/2019/PT.Tjk diselesaikan
melalui tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Pada tahap formulasi,
terpenuhinya unsur berikutnya yaitu adanya obyek perbuatan kepada terdakwa.
Sepertihalnya perkara pada penelitian ini, yang dimaksud secara materiil adalah
benda tak bergerak yaitu tanah seluas 19.620 m
2
. Pada tahap aplikasi, pasal yang
dikenakan terhadap pelaku penyerobotan tanah dalam studi Putusan Nomor:
13/Pid/2019/PT.Tjk dapat ditekankan pada Pasal 385 Ayat (1) KUHPidana, ada
penegasan kata “tanpa hak” dalam penguasaan tanah yang dilakukan pelaku,
sehingga menunjukkan adanya pihak lain yang memiliki hak atas tanah, dengan
ancaman hukuman 4 (empat) tahun penjara. Pada tahap eksekusi, Berdasarkan
fakta-fakta hukum, terdakwa telah memenuhi keseluruhan unsur-unsur perbuatan
Wandri Desmon
tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pada pasal 385 Ayat (1) KUHP.
Keputusan Majelis Hakim pada studi Putusan Nomor 13/PID/2019/PT.Tjk, Majelis
Hakim memutuskan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun. 2) Faktor yang menjadi penghambat dalam
penegakan hukum tindak pidana penyerobotan tanah setidaknya terlihat dalam 3
hal. Pertama, faktor-faktor penegakan hukum itu sendiri. Kedua, logika hukum dari
pasal-pasalnya yang tidak konsisten satu sama lain. Ketiga, ancaman pasal dari
tindak pidana yang bersangkutan sangat rendah dan nyaris tidak masuk akal.
Penulis menyarankan 1) Penegakan hukum memerlukan tahap yang sistematis,
penegakan hukum harus dilihat secara menyeluruh mulai dari tahap formulasi
sampai dengan tahap eksekusi. Pada tahap formulasi penulis merasa legislatif dan
pemerintah perlu mengkaji ulang terkait dengan kebijakan yang mengatur tindak
pidana penyerobotan tanah. Pada tahap aplikasi aparat penegak hukum harus lebih
cermat dan tegas agar aturan-aturan yang ada terkait dengan tindak pidana
penyerobotan tanah dapat dijalankan dengan baik. Pada tahap eksekusi aparat
penegak hukum harus lebih memperhatikan substansi hukum dalam pasal 385 Ayat
(1) dan aturan lain yang berkaitan dengan tindak pidana penyerobotan tanah
termaksud dalam hal ini PERMA No.1 Tahun 2016 tentang mediasi perlu
dijalankan. 2) penyelesaian kasus tindak pidana penyerobotan tanah selayaknya
dapat melakukan upaya mediasi terlebih dahulu sesuai ketentuan PERMA No.1
Tahun 2016 tentang mediasi.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penyerobotan Tanah.
DESMON WANDRI 19520110082023-04-11T04:26:09Z2023-04-11T04:26:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70526This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705262023-04-11T04:26:09ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN MEMINDAHKAN
ATAU MENTRANSFER INFORMASI ELEKTRONIK DAN ATAU
DOKUMEN ELEKTRONIK
(Studi Putusan Nomor: 527/Pid.Sus/2020/PN Smn)
Salah satu bentuk kejahatan berbasis internet (cyber crime) adalah kejahatan
memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan atau dokumen elektronik
yang termuat dalam Putusan Nomor:527/Pid.Sus/2020/PN Smn, terdakwa bernama
Agus Dwi Cahyo dalam hal ini telah melakukan akses illegal terhadap beberapa
website milik beberapa instansi pemerintah yang dipergunakkan untuk layanan
publik. Kejahatan yang dilakukan oleh hacker ini telah menimbulkan keresahan dan
rasa tidak aman bagi masyarakat terutama pada website yang diperuntukkan
sebagaimana layanan publik tersebut, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya yang
lebih maksimal oleh setiap pihak dalam menanggulangi kejahatan ini.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah, apakah faktor penyebab terjadinya
kejahatan memindahkan atau mentransfer Informasi elektronik dan atau dokumen
elektronik dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan memindahkan atau
mentransfer informasi elektronik dan atau dokumen elektronik.
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris . Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari pihak Kepolisian pada
Ditreskrimsus Siber Polda Lampung, pihak Dinas Kominfo Kota Bandar Lampung,
Dosen Sosiologi Kriminologi Bagian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung, serta analisis pengumpulan data dengan studi pustaka dan
studi lapangan yang dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa adapun faktor yang mempengaruhi pelaku
melakukan kejahatan tersebut yakni adalah faktor ekonomi, serta karena adanya
ketersediaan target yang sesuai, yang mana dengan adanya kerentanan atau
kelemahan website pada server atau database yang di retas oleh pelaku membuat pelaku dengan mudahnya untuk melakukan kejahatan tersebut, serta karena tidak
adanya pengawal atau pengawas, jadi dengan tidak dimilikinya early warning
system atau sistem peringatan dini yang mana hendak terjadinya peretasan atau
pembobolan suatu website. Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu:
Upaya Penal, yang menitikberatkan pada pelaku agar penegak hukum dapat
memberikan hukuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.Upaya
Non Penal, upaya dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan berupa
pendekatan teknologi dengan meningkatkan pengamanan dan keamanan dengan
melakukan penguatan sistem, yang dalam hal sistem keamanan masing-masing
agar lebih diperkuat dan di upgrade dengan cara berkala dan rutin,serta pendekatan
edukatif berupa penyuluhan atau pembinaan kepada masyarakat agar tidak menjadi
korban atau pelaku kejahatan .
Saran pada penelitian ini yaitu agar masyarakat serta aparatur penegak hukum yang
terikat dapat mencegah terjadinya kejahatan serupa dikemudian hari serta
Hendaknya agar seluruh elemen masyarakat serta pihak-pihak yang terkait
diharapkan agar lebih meningkatkan kerjasama dalam penanggulangan dan
penindakan tindak kejahatan ini serta menutup celah terjadinya kejahatan.
Kata Kunci: Kriminologis, Kejahatan Memindahkan/mentransfer
informasi/dokumen elektronik, Penanggulangan Kejahatan.BANCIN LOIS LAMINOLA 19120110262023-04-10T07:51:56Z2023-04-10T07:51:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70530This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705302023-04-10T07:51:56ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN
SEKSUAL PADA PEREMPUAN DISABILITAS MENTAL
(Studi Pada Kepolisian Sektor Tanjung Karang Barat)ABSTRAK
Hak seseorang penyandang Disabilitas Mental sering terabaikan, baik secara
personal maupun secara hukum. Fokus terhadap penderita Disabilitas Mental
dalam lingkup hukum dan perlindungan korban menjadi menjadi hal yang tabu
dimasyarakat, karena pada kehidupan bermasyarakat banyak sekali oknum yang
tidak bertanggung jawab dan menyampingkan hak Disabilitas Mental sehingga
dapat menjadi korban kekerasan seksual yang tidak lain dilakukan oleh masyarakat
itu sendiri. Salah satu contoh kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas
mental terjadi di Bandar Lampung, dua orang pria tidak dikenal melakukan
pemerkosaan terhadap seorang wanita yang diduga mengalami gangguan
kejiwaan, yang aksinya tersebut terekam kamera pantau ETLE, namun dalam
kenyataanya setelah berjalan satu bulan sejak kejadian tersebut pihak berwajib
belum menemukan titik temu, walaupun fakta di lapangan menunjukan adanya
saksi dalam kejadian tersebut. Permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah
penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual pada perempuan
Disabilitas Mental dan apakah faktor yang menjadi penghambat penegakan
hukum pidana pada perempuan Disabilitas Mental.
Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis
data yang digunakan antara lain terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak
yang menjadi Narasumber yaitu Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial
Provinsi Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Bhabinkamtibmas Kelurahan Sukadanaham Kecamatan Tanjung
Karang Barat, Penyidik pada Kepolisian Sektor Tanjung Karang Barat. Metode
pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data
yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan penegakan hukum bagi
perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Konvensi-konvensi
Internasional yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. Perlindungan
perempuan penyandang disabilitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
litigasi dan non-litigasi. Perlakuan aparat penegak hukum dalam menagani kasus
kekerasan perempuan penyandang disabilitas mental lebih cenderung positivistik
hanya berpatokan pada peraturan yang ada tanpa memahami aspek-aspek lain
sebagai penunjang kebutuhan perempuan penyandang disabilitas mental sebagai
korban kekerasan. Implemantasi Penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam
penelitian ini, secara umum hanya sampai pada tahap Kepolisian dikarenakan
terdapat beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi proses penegakan
hukum tersebut yaitu faktor sarana dan prasarana dan tidak adanya saksi dan
kurangnya alat bukti dikarenakan adanya ketidak sempurnaan akal sehingga
mempersulit mendapat keterangan dalam penyidikan atau dimeja persidangan.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini yaitu perempuan
penyandang disabilitas mental sebagai korban kekerasan seksual juga
membutuhkan perlindungan secara non-litigasi. Dalam hal ini peran lembaga
bantuan hukum atau organisasi disabilitas sangat penting untuk mendampingi
korban dan dapat membantu dalam hal pemulihan trauma psikis. Diharapkan
adanya perbaikan regulasi penegakan hukum dan sarana prasaran bagi
penyandang disabilitas terutama disabilitas mental. Serta dilakukannya upaya
penyuluhan hukum mengenai penangan hukum terhadap perempuan disabilitas
mental yang mengalami kekerasan seksual, hal ini tidak hanya untuk masyarakat
melaikan aparatur negara yang bertugas menegakan keadilan, terutama bagi para
perempuan penyandang disabilitas mental.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perempuaan, dan Disabilitas Mental.Ihza At Thoriq M. Ryas 18120110762023-04-10T03:56:54Z2023-04-10T03:56:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70507This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/705072023-04-10T03:56:54ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TERPIDANA YANG MENOLAK MEMBAYAR RESTITUSI KEPADA KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANGBentuk perlindungan hukum bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang salah satunya adalah dengan mendapatkan restitusi. Setiap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berhak mendapat perlindungan hukum, salah satunya yaitu berhak memperoleh restitusi. Aturan perundang-undangan yang mencantumkan mengenai restitusi adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi tidak semua kasus TPPO harus mengajukan hak restitusi. Ketidaksanggupan tersangka untuk melakukan pembayaran restitusi dalam jangka waktu yang diberikan yaitu
14 hari akan diberi peringatan terlebih dahulu oleh Jaksa Penuntut Hukum, apabila setelah 14 hari restitusi belum dibayarkan pengadilan diharuskan untuk memberikan peringatan kepada terpidana sekaligus memerintahkan kejaksaan untuk menyita harta kekayaan terpidana. Setelah diberikannya peringatan tetapi tetap tidak dibayarkan maka digantikan dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap terpidana yang menolak membayar restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang dan Apakah faktor penghambat pada pelaksanaan pembayaran restitusi korban perdagangan orang.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan “apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun, terhadap terpidana yang menolak membayar restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang. Pengajuan permohonan restitusi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah adanya penghitungan nilai kerugian yang diminta korban secara keseluruhan oleh LPSK yang akan dimuat dalam tuntutan. Kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pelaksanaan pemberian restitusi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam waktu 14 hari. Apabila setelah 14 hari berlalu, restitusi belum dibayarkan, pengadilan diharuskan untuk memberikan peringatan kepada terpidana sekaligus memerintahkan
kejaksaan untuk menyita harta kekayaan terpidana. (2) Faktor yang paling domiman yang menghambat pelaksanaan pembayaran restitusi korban perdagangan orang adalah faktor masyarakat, yaitu ketidaktahuan dari korban mengenai hak-hak yang didapat untuk perlindungannya sebagai korban tindak pidana, ketidaktahuan dari pelaku mengenai hukuman pembayaran resitusi dan pelaku tidak memiliki itikad baik untuk membayar restitusi, lebih memilih hukuman kurungan pengganti.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran bahwa perlindungan hukum kepada korban tindak pidana dapat lebih ditegakkan dan hak-hak korban yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan dapat dipenuhi sebagaimana semestinya. Selain resitusi yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana, harusnya juga dalam Peraturan Perundang-Undangan juga mengatur mengenai kompensasi yang diberikan kepada korban tindak pidana sebagai akibat dari ketidakmampuan pelaku dalam membayar jumlah restitusi sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Negara ikut turut bertanggungjawab dan melindungi korban tindak pidana dengan memberikan kompensasi, tidak hanya mengandalkan restitusi dalam putusan pengadilan saja.
GADING WIRABUANA MUHAMMAD ANWAR17520110842023-04-10T03:41:13Z2023-04-10T03:41:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70491This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/704912023-04-10T03:41:13ZOPTIMALISASI PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK
(Studi pada Resor Kepolisian Kota Bandar Lampung)
kekerasan seksual terhadap anak sering terjadi karena anak dianggap pihak yang lemah tidak bisa memberikan perlawanan sehingga sangat potensial dan rentan menjadi korban. Banyaknya aksi kekerasan seksual terhadap anak yang dapat menimbulkan keprihatinan dan masalah di dalam masyarakat, karena pihak kepolisian masih kurang memberi pengetahuan tentang bahayanya kekerasan seksual. Salah satu hal yang kerap terjadi adalah Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat seperti ayah, paman, maupun kakak kandungnya sendiri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dan didukung dengan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka (library research) dan studi lapangan (field research) dengan melakukan wawancara kepada Polisi bagian Reskim Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Dosen bagian hukum pidana Universitas Lampung. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan tentang optimalisasi peran kepolisian dalam penegakan hukum terhadap kekerasan seksual pada anak memiliki 2 (dua) pembahasan yaitu peran kepolisian dan faktor yang menghambat. Peran Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam melakukan penyidikan untuk menyelesaikan kasus tindak pindana kekerasan seksual terdiri dari peran normatif, ideal dan faktual. Peran normatif dilakukan berdasarkan dengan peraturan perundang undangan yang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan wewenang yang harus dijalankan para pihak kepolisian, peraturan perundang undangan yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peran Idealnya merupakan peran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan sesuai norma norma yang berlaku. Undang- Undang untuk mempermudah memecahkan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik agar korban kejahatan tindak pidana bisa mendapatkan haknya dan pelaku tindak pidana harus mendapatkan sanksi sesuai apa yang diperbuatnya. Dan peran faktual dilaksanan sesuai dengan kenyataan lemabaga atau pihak kepolisian dengan melakukan perlindungan yang dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan,Sedangkan faktor yang mempengaruhi pihak Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dari segi faktor penegakan hukum yaitu masih menjadi kendala yang dapat dilihat dari cara pihak kepolsian memberikan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual tidak sesuai dengan perbuatan pelaku, dari segi masyrakat yaitu rasa enggan masyarakat untuk melaporkan suatu tindak pidana kekerasan seksual pada anak, dari segi faktor budaya yaitu sikap masyarakat yang masih toleran terhadap tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan terdapat penyelesaian tindak pidana yang dianut masyarakat.
Saran dalam penelitian ini yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung diminta lebih tegas dalam menentukan hukuman bagi para pelaku agar memberikan efek jera dan melindungi pihak korban agar hal tersebut tidak terjadi lagi, para Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), harus memiliki pengetahuan yang luas tentang Undang-Undang yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis hal ini guna untuk mempermudah pihak penyidik untuk mengumpulkan setiap barang bukti yang ada, Jumlah penyidik yang disediakan harus sesuai untuk melakukan penyelidikan agar lebih efektif dalam mendapatkan barang bukti yang sah sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, untuk masyarakat diminta lebih tegas, jujur dan juga peduli terhadap setiap tindak kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat
AGIL MUHAMMAD IRVAN17520110902023-04-10T03:13:40Z2023-04-10T03:13:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70483This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/704832023-04-10T03:13:40ZANALISIS KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI CLOSED CIRCUIT
TELEVISION (CCTV) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
PELANGGARAN KESUSILAAN EKSIBISIONIS
(STUDI DI POLRESTA BANDAR LAMPUNG)
Kasus tindak pidana kesusilaan yang seringkali terjadi di Bandar Lampung ialah
eksibisionis. Salah satu kasus eksibisionis ini terjadi di kawasan Bukit Kemiling
Permai Bandar Lampung. Sang pelaku melancarkan aksinya di depan butik milik
warga dan dengan sengaja melakukan aksi tidak senonoh yaitu mengeluarkan alat
vitalnya dan memperlihatkan kesejumlah perempuan yang berada didalam butik
tersebut. Kejadian ini terekam oleh CCTV dan telah dilaporkan ke pihak kepolisian
Polresta Bandar Lampung. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini
adalah bagaimana kekuatan hukum closed circuit televisison (CCTV) sebagai alat
bukti tindak pidana pelanggaran kesusilaan eksibisionis dan apakah faktor
penghambat pembuktian tindak pidana pelanggaran kesusilaan eksibisionis melalui
closed circuit television.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang penelitian ini. Data yang digunakan
adalah data primer, data sekunder, data tersier. Sedangkan pengolahan data yang
diperoleh dengan cara editing, evaluasi, klasifikasi, dan sistematika data. Data hasil
pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif, kualitatif dengan menggunakan
metode induktif
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa (1) CCTV memiliki kekuatan
hukum sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian perkara tindak pidana
eksibisionis mengacu kepada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (2) Terdapat beberapa faktor
penghambat dalam dijadikannya CCTV sebagai alat bukti elektronik. Berdasarkan
hasil wawancara dengan narasumber, terdapat 2 faktor penghambat paling dominan
dalam pembuktian tindak pidana pelanggaran kesusilaan eksibisionis melalui alat
bukti CCTV yaitu faktor sarana dan prasarana dan faktor masyarakat. Dalam faktor
sarana dan prasarana seringkali terdapat resolusi yang rendah pada hasil rekaman
CCTV yang ada sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk dapat melihat
dengan jelas pelaku tindak pidana tersebut, serta belum lengkapnya fasilitas CCTV
yang terdapat di ruang-ruang publik. Sedangkan faktor masyarakat yang menjadi
penghambat dalam pembuktian ini ialah kurangnya kesadaran hukum masyarakat
untuk lebih peduli dengan tindak pidana pelanggaran kesusilaan yang terjadi
disekitarnya. Masyarakat seringkali enggan untuk melaporkan terjadinya tindak
pidana pelanggaran kesusilaan serta tidak ingin bersaksi di persidangan.
Saran dalam penelitian ini adalah: Diharapkan pemerintah dapat bekerjasama
dengan kepolisian untuk dapat memfasilitasi kamera CCTV di wilayah rawan
terjadi kejahatan serta ruang-ruang public yang dapat diakses langsung oleh
kepolisian setempat. Selain itu Korban maupun saksi lain yang terlibat dengan
terjadinya tindak pidana pelanggaran kesusilaan eksisbisionis hendaknya sesegera
mungkin untuk dapat melaporkan kejadian tersebut kepihak berwajib dengan
menyertakan alat bukti pendukung seperti rekaman CCTV maupun keterangan
saksi lainnya.
Kata Kunci : Kekuatan Hukum, Alat Bukti, Closed Circuit Television (CCTV),
Eksibisionis
NUR SHAFANA ADELLA19120111892023-04-06T07:55:14Z2023-04-06T07:55:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70459This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/704592023-04-06T07:55:14Z
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KELALAIAN LALU
LINTAS MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL
(Studi Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2021/PN Tjk)
Tindak pidana kelalaian sering terjadi dalam kasus kecelakaan lalu lintas, meskipun
terjadi karena kelalaian pelaku tetap saja harus mempertanggungjawabkan
perbuatan tersebut. Apalagi kelalaian tersebut mengakibatkan orang lain meninggal
dunia semestinya diberikan hukuman yang berat. Permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan
pidana terhadap pelaku tindak pidana kelalaian berkemudi mengaibatkan orang lain
meninggal dan apakah putusan hakim dalam perkara kelalaian berkemudi yang
mengakibatkan orang lain meninggal telah memenuhi aspek cita hukum.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan narasumber dalam penelitian ini terdiri dari jaksa pada Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan
dosen hukum pidana Fakultas Hukum UNILA. Pengumpulan data dengan studi
pustaka. Analisis data yang dilakukan dengan mengunakan analisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
dalam Putusan Nomor: 27/Pid.Sus/2021 PNTJK terdakwa secara sah terbukti
melakukan tindak pidana kelalaian berkemudi yang mengakibatkan orang lain
meninggal, hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa Dani Afriana Bin
Darmono selama 5 (lima) bulan penjara. Hakim dalam memutuskan perkara tindak
pidana kelalaian lalu lintas menggunakan Pasal 310 Ayat 4 Undang-Undang No.22
Tahun 2009 tentang LLAJ yang seusuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan pidana akan mempertimbangkan hal yang
memberatkan dan meringankan kepada terdakwa. Hal yang memberatkan terdakwa
Aurel Thessalonica Saragih
adalah terdakwa menyebabkan 2 (dua) orang meninggal dunia. Sedangkan hal yang
meringankan terdakwa belum pernah dihukum, mengakui kesalahannya, menyesali
perbuatannya, dan terdakwa telah berdamai dengan keluarga korban. Selain itu
terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yang harus dinafkahi. Hakim juga
dalam memberikan putusan harus menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis
dan non-yuridis. Aspek yuridis yang berdasarkan dari surat dakwaan jaksa penuntut
umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, arang bukti, dan alat bukti surat.
Aspek non-yuridis terdiri dari aspek filosofis yang berdasarkan dari suatu
kebenaran yang terjadi dan aspek sosiologi yang berdasarkan dari latar belakang
terdakwa, akibat perbuatan terdakwa dan kondisi terdakwa. Putusan tersebut telah
memenuhi kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum karena putusan telah sesuai
dengan Undang-Undang yang berlaku, hakim telah memberikan hukuman yang
seadil-adilnya, dan kedua unsur tersebut tercapai maka terciptalah kemanfaatan
hukum untuk menciptakan kebahagian.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan hakim dalam mempertimbangkan
putusan secara teliti dan bijak agar hukuman yang diberikan untuk terdakwa
sebanding dengan perbuatannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan
sebagai pembelajaran kepada orang lain agar lebih berhati-hati dalam berkendara.
Diharapkan hakim dalam memberikan putusan harus memenuhi kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Penjatuhan Pidana, Kelalaian, Lalu
Lintas, Meninggalnya Orang Lain
THESSALONICA SARAGIH AUREL19120111612023-03-31T01:11:05Z2023-03-31T01:11:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70298This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702982023-03-31T01:11:05ZKAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP VICTIM PRECIPITATION (PERAN KORBAN) DALAM PENJATUHAN PIDANA
(Studi Putusan Nomor: 265/Pid.B/2022/PN Tjk)
ABSTRAK
Victim Precipitation atau yang kerap disebut dengan peran korban, secara sederhana merupakan bentuk kontribusi kesalahan korban yang memicu, mempercepat dan menyebabkan terjadinya tindak pidana. Pemicu peran serta korban dalam tindak pidana dapat terjadi karena kelalaian korban atau provokasi korban yang memungkinkan seseorang melakukan tindak pidana karena memiliki kesempatan atau karena emosi sesaat akibat perlakuan korban, victim precipitation seharusnya dapat berpengaruh dalam penjatuhan pidana, karena perkara pidana tidak hanya lahir karena murni kesengajaan pelaku tindak pidana. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kajian viktimologi terhadap victim precipitation dalam penjatuhan pidana. dan apakah kajian victim precipitation dalam penjatuhan pidana memenuhi nilai keadilan.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dari sumber bahan hukum primer dan sekunder, merangkum beberapa catatan terhadap buku-buku peraturan perundang-undangan serta literatur lainnya dilakukan untuk mengumpulkan data, dan analisis bahan hukum dengan deskriptif kualitatif dengan menggunakan argumentasi hukum melalui wawancara secara langsung terhadap narasumber dalam penelitian ini yang terdiri dari hakim pengadilan negeri tanjung karang, dosen kriminologi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas lampung, dosen bagian hukum pidana fakultas hukum universitas lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan bahwa terhadap victim precipitation atau peran serta korban dalam terjadinya tindak pidana sangat perlu diperhatikan dalam penjatuhan pidana, korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, selama ini yang kita ketahui bahwa pelaku harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah dia lakukan, dalam sistem peradilan pidana korban sering hanya dijadikan sebagai objek pembukti yang perannya hanya sebagai pemberi salah satu alat bukti saja, yaitu alat bukti saksi. Selanjutnya pada Putusan Nomor 265/Pid.B/2022/PN Tjk. Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana melihat keterangan saksi dan bukti yang ada dan memang
Nanda Trisua Hardianto
benar terdakwa telah melakukan penganiayaan majelis hakim menjatuhkan pidana 6 (enam) bulan penjara, yang mana dalam perspektif hakim putusan tersebut sudah memenuhi “Nilai Keadilan” Karena secara yuridis sudah sesuai dengan yang diatur pada Pasal 351 ayat (1) KUHP, namun dalam prakteknya hakim dapat memberikan keringanan dengan memperhatikan pertimbangan bahwa ada Peran korban yang turut serta memprovokasi terdakwa. Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar.
Saran Penelitian ini yaitu, kajian viktimologi terhadap victim precipitation (peran korban) dalam penjatuhan pidana diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai peranan korban dalam penjatuhan pidana secara luas dan mendalam agar aspek victim precipitation dalam terjadinya tindak pidana dapat dipakai sebagai alasan yang dapat meringankan pidana bagi terdakwa. Victim precipitation seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana dan dipakai sebagai aspek yang meringankan bagi pemidanaan terdakwa, serta dapat dikualifikasikan sebagai pertimbangan yuridis. Hakim tidak boleh hanya berpikir normatif, sehingga putusan yang tertulis hanya menitikberatkan pada pembuktian unsurnya saja namun mempertimbangkan aspek substantif seperti “peran korban”. Hal ini demi mendapatkan putusan yang memenuhi nilai keadilan.
Kata Kunci : Viktimologi, Peran Korban, Penjatuhan Pidana
1912011263 Nanda Trisua HardiantoNanda.hardianto23@gmail.com2023-03-30T07:21:30Z2023-03-30T07:21:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70285This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702852023-03-30T07:21:30ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)
ABSTRAK
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat proses pembinaan narapidana. Perlakuan kasar yang dialami terpidana tidak jarang menyebabkan terpidana itu bukan mendekatkan diri pada usaha perbaikan atau kesadaran, tetapi justru sebaliknya yiatu meningkatkan kualitas kejahatannya. Kerap terjadi tindakan pelanggaran hingga kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan yang dapat berupa, kekerasan, penganiayaan, pengedaran narkotika, bahkan pembunuhan. Masih banyaknya perbuatan pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan akan menceridai proses hukum yang berlangsung bagi narapidana tersebut dan telah melanggar hak-hak yang melekat pada diri narapidana. Penelitian ini akan mengkaji apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan yang dilakukan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.dan mengetahui bagaimana upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan dengan kualitatif.
Hasil dari penelitian dan pembahasan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung adalah Faktor individu dan kapasitas kamar yang tidak memadai. Serta untuk upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dilakukannya pengamanan dan pengawasan terhadap Warga Binaan. Bentuk pencegahan terjadinya pelanggaran adalah edngan melakukan proses pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandiriaan.
Kata Kunci: Kejahatan, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana
KURNIANSYAH RIZKI 19120111342023-03-30T07:19:19Z2023-03-30T07:19:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70281This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702812023-03-30T07:19:19ZPERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PENGANTAR MAKANAN ONLINE TERHADAP KEJAHATAN ORDERAN FIKTIF YANG DILAKUKAN PENGGUNA APLIKASI PENGANTAR MAKANANABSTRAK
Perkembangan teknologi kini menyediakan layanan pengantar makanan melalui aplikasi yang menjadikan rentannya akan kejahatan orderan fiktif dimana sering kali menimpa pengantar makanan online sehingga memberikan kerugian baik secara materiil maupun immateriil. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah Bagaimanakah perlindungan hukum kepada pengantar makanan online terhadap kejahatan orderan fiktif yang dilakukan pengguna aplikasi pengantar makanan dan Apakah yang menjadi faktor penghambat perlindungan hukum kepada pengantar makanan online terhadap kejahatan orderan fiktif yang dilakukan pengguna aplikasi pengantar makanan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Narasumber pada penelitian ini adalah dari kepolisian, perusahaan pengantar makanan online, dosen bagian hukum pidana, dan dosen bagian hukum perdata fakultas hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan yaitu belum adanya aturan secara khusus mengenai perlindungan hukum kepada pengantar makanan online. Sejauh ini perlindungan hukum kepada pengantar makanan online masih berpedoman pada penganturan yang sudah ada baik itu secara hukum pidana yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ataupun hukum perdata dimana termasuk ke dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH). hubungan hukum yang terbentuk antara pengantar makanan online dan perusahaan merupakan hubungan hukum kemitraan. Hubungan hukum kemitraan ini diawali dengan adanya perjanjian baku elektronik yang seharusnya mengandung adanya hubungan kesetaraan dan saling menguntungkan.
Hana’a Qothrunnada
Hal ini mengakibatkan perlindungan terhadap pengantar makanan online yang diberikan oleh hukum tidak dapat dilakukan secara optimal. Terdapat 5 faktor penghambat penegakan hukum yakni faktor peraturan hukumnya sendiri, faktor penegak hukum dimana masih kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, faktor fasilitas yang mana masih kurangnya peralatan yang memadai dan juga sistem aplikasi pengantar makanan yang masih kurang, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Dari kelima faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor masyarakat dan budaya dimana masih banyak masyarakat yang memliki pola pikir untuk lebih baik tidak berurusan dengan kepolisian kemudian perilaku masyarakat yang sulit untuk diatur akibat dari rendahnya pengetahuan terhadap hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dapat dibuatkannya aturan yang tegas dan jelas dalam memberikan perlindungan hukum kepada pengantar makana online. Pihak perusahaan diharapkan untuk terus memperbaiki dan memperbaharui sistem aplikasi dan dapat menciptakan sebuah sistem untuk memonitoring kejahatan orderan fiktif guna meminimalisir adanya kejahatan orderan fiktif yang mengakibatkan kerugian kepada pengantar makanan online. Selain itu, diharapkan juga kepada pihak perusahaan mendorong pengguna aplikasi untuk beralih menggunakan metode pembayaran secara elektronik dengan menggunakan e-money seperti Go-Pay, Dana, ShopeePay, OVO, dan uang elektonik lainnya dan terakhir diharapkan bahwa masyarakat dapat meningkatkan kepedulian dan pemahaman terhadap hukum dengan meningkatkan kesadaran dari diri masing-masing guna memerangi adanya kejahatan orderan fiktif.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pengantar Makanan Online, Kejahatan
Orderan Fiktif.
1912011060 Hana’a Qothrunnadahanaaqothrunnada@gmail.com2023-03-30T06:27:45Z2023-03-30T06:27:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70275This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702752023-03-30T06:27:45ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA MODIFIKASI KNALPOT SEPEDA MOTOR
(Studi di Polresta Bandar Lampung)Melakukan modifikasi knalpot sepeda motor melanggar ketentuan dalam UndangUndang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana modifikasi
knalpot sepeda motor di Bandar Lampung dan apakah faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana modifikasi
knalpot sepeda motor di Bandar Lampung. Pendekatan yang digunakan adalah
yuridis normatif dan yuridis empiris dengan sumber data primer dan sumber data
sekunder. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi lapangan.
Berdasarkan penelitian, proses penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
modifikasi knalpot sepeda motor saat ini dilakukan secara terus menerus baik
dilakukan secara aktif maupun secara pasif. Penegakan hukum pidana secara aktif
dilakukan melalui proses razia dan patroli rutin oleh Satlantas. Penegakan hukum
pidana secara pasif dilakukan dengan menggunakan media tilang elektronik.
Faktor dominan yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana modifikasi knalpot adalah faktor penegak hukum dan faktor masyarakat.
Faktor penegak hukum karena kurangnya disiplin yang dimiliki oleh Satlantas
dalam melakukan patroli rutin dan proses penegakan hukum yang dilakukan tidak
merata. Faktor masyarakat karena kurangnya kesadaran hukum masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah agar Satlantas Polresta Bandar Lampung
memaksimalkan penegakan hukum secara aktif dan secara pasif. Penegakan
hukum secara aktif misalnya melakukan patroli yang rutin dan penegakan hukum
secara pasif misalnya dengan memanfaatkan media tilang elektronik. Selain itu,
supaya aparat penegak hukum meningkatkan kualitas kerja dan pengetahuan
hukum masyarakat agar dapat ditingkatkan untuk menghindari tindak pidana lalu
lintas.
Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Modifikasi Knalpot.TOGATOROP JOSE PERNANDES 18120111582023-03-30T06:08:40Z2023-03-30T06:08:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70271This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702712023-03-30T06:08:40ZANALISIS PEMBINAAN NARAPIDANA PENGIDAP GANGGUAN JIWA
DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBINAAN WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)Narapidana pengidap gangguan jiwa adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan yang menderita suatu penyakit berupa
ketidak seimbangan jiwa yang mengakibatkan terjadinya ketidakhormatan sikap dan
tingkah laku. Pembinaan terhadap narapidana pengidap gangguan jiwa di lembaga
pemasyarakatan tentunya menimbulkan berbagai masalah. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah Bagaimanakah pembinaan narapidana pengidap gangguan jiwa
dalam pelaksanaan program pembinaan warga binaan di lembaga pemasyarakatan
dan Apakah faktor yang menghambat pembinaan narapidana pengidap gangguan jiwa
dalam pelaksanaan program pembinaan warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yaitu
pendekatan yang berdasarkan pada perundang-undangan, teori dan konsep yang
berhubungan dengan penulisan penelitian berupa asas-asas, nilai-nilai, dan dilakukan
dengan penelitian lapangan. Sumber data dalam penelitian ini adalah data yang terdiri
dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data yang meliputi data primer dan
data sekunder yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan, pembinaan terhadap narapidana pengidap gangguan
jiwa di lembaga pemasyarakatan masih belum efektif. Narapidana pengidap0
MATTHEW MARCHEL ARIOS
gangguan jiwa seharusnya tidak dicampur dengan narapidana yang sehat kejiwaannya
guna memudahkan pembinaan, penerapan sanksi tindakan dan memudahkan
pemantauan kesehatan terhadap narapidana tersebut. Tidak adanya tenaga Psikiater di
lembaga pemasyarakatan menjadi masalah serius dalam pelaksanaan pembinaan
terhadap narapidana pengidap gangguan jiwa.
Saran dalam penelitian ini adalah sudah seharusnya dilakukan pemisahan narapidana
pengidap gangguan jiwa dan narapidana yang sehat kejiwaannya. Pembuatan ruang
isolasi khusus dan pemindahan ke Rumah Sakit Jiwa terhadap narapidana pengidap
gangguan jiwa akan berdampak positif terhadap program pembinaan warga binaan
pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan. Pemindahan atau rujukan ke rumah
sakit jiwa sudah seharusnya dilakukan bagi warga binaan pemasyarakatan pengidap
gangguan jiwa ringan maupun berat.
Kata Kunci : Pembinaan, Narapidana, Pengidap Gangguan Jiwa, Sistem
Pemasyarakatan, Lembaga PemasyarakatanMARCHEL ARIOS MATTHEW 18120111762023-03-29T07:06:36Z2023-03-29T07:06:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70247This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702472023-03-29T07:06:36ZANALISIS TINDAKAN EXTRA JUDICIAL KILLING OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP PELAKU YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANAABSTRAK
Penembakan oleh aparat kepolisian sejatinya diatur sebagai upaya terakhir dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Tindakan kepolisian harus mempertimbangkan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas. Kendati demikian, pada praktiknya kerap kali terjadi penyimpangan prosedur oleh aparat kepolisian sehingga menyebabkan kematian terhadap tersangka di luar proses pengadilan. Penembakan sebagai upaya terakhir kerap kali dilakukan tanpa prinsip proporsionalitas. Tindakan yang demikian disebut sebagai extra judicial killing. Permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini meliputi : (1) Bagaimanakah keabsahan tindakan extra judicial killing oleh aparat kepolisian terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana, dan (2) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindakan extra judicial killing oleh aparat kepolisian kepada pelaku yang diduga melakukan tindak pidana.
Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini merupakan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan memperlihatkan kesimpulan bahwa penembakan oleh aparat kepolisian ialah tindakan yang absah sepanjang dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas serta dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang. Mengenai penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan extra judicial killing, dikarenakan tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan menghilangkan hanya orang lain, aparat kepolisian yang berbuat akan melalui serangkaian penindakan berupa sidang disipliner, sidang kode etik, hingga sidang pada peradilan umum untuk membuktikan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya.
Adapun saran yang penulis sampaikan dalam penelitian ini yakni diperlukan aturan yang mengatur secara jelas mengenai batasan serta tolak ukur diskresi kepolisian guna menakar wewenang penindakan aparat kepolisian serta sebagai bentuk kepastian hukum terhadap tersangka.
Kata Kunci: Aparat Kepolisian, Penembakan, Tindak Pidana, Extra Judicial Killing.Herawati Nani19120111392023-03-28T07:44:17Z2023-03-28T07:44:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70224This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/702242023-03-28T07:44:17ZANALISIS DISPARITAS PIDANA PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK
PIDANA PENADAHAN TELEPON GENGGAM
(Studi Putusan No: 1011/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim dan Putusan No:
321/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim) ABSTRAK
Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang berbeda atau tidak sama terhadap
pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana yang sama atau sejenis. Dalam
penelitian ini, disparitas pidana dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri
terhadap tindak pidana yang sama yaitu penadahan telepon genggam. Hakim dalam
Putusan Nomor 1011/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim menjatuhkan pidana penjara selama
5 bulan dan Putusan Nomor 321/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim menjatuhkan pidana
penjara selama 1 tahun. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Apakah dasar
pertimbangan hakim yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana antara
Putusan No.1011/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim dan Putusan No.321/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim
tentang tindak pidana penadahan telepon genggam? (2) Apakah Putusan
No.1011/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim dan Putusan No.321/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim
sudah memenuhi rasa keadilan substantif?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber
penelitian ini terdiri dari Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan: (1) Disparitas pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana pada Putusan No.1011/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim dan
Putusan No.321/Pid,B/2020/PN.Jkt.Tim dalam tindak pidana penadahan telepon
genggam adalah didasari atas pertimbangan yuridis yaitu kedua terdakwa dalam
melakukan tindak pidana memenuhi unsur pasal 480 KUHP pertimbangan filosofis
hakim mempertimbangkan pidana yang dijatuhkan sebagai bentuk pemidanaan
terhadap terdakwa dan latar belakang terdakwa melakukan tindak pidana tersebut,
secara sosiologis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan juga
meringankan terdakwa yaitu hakim mempertimbangkan faktor-faktor non
Raenaldy Andreas C.S.
yuridis seperti faktor sosial, ekonomi, dan umur, yang mana salah satunya pelaku
tindak pidana yang memiliki umur lebih dewasa dijatuhi pidana lebih ringan
dibandingkan dengan pelaku tindak pidana yang memiliki umur lebih muda. (2)
Penjatuhan pidana yang berbeda oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
penadahan pada kedua putusan tersebut menunjukkan keempat indikator penentu
keadilan substantif (Objektivitas, kejujuran, imparsialitas, dan rasionalitas),
Berbeda dengan analisis penulis, namun kedua putusan tersebut kurang memenuhi
keadilan substantif karena memiliki rentang waktu hukuman yang terlalu jauh dan
tidak adil bagi Putusan Nomor 321/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim atas nama Syahrul Alias
Acil bin Wakin.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hendaknya hakim dalam membuat putusan
berdasarkan pada tujuan dan pedoman pemidanaan. Selain itu dalam menjatuhkan
pidana dalam perkara tindak pidana penadahan agar lebih mempertimbangkan
aspek kerugian korban, tidak hanya kerugian secara ekonomi, tetapi kerugian
berupa kehilangan waktu, tenaga dan menyita pikiran karena menjadi korban tindak
pidana penadahan. (2) Hendaknya hakim dan jaksa dalam memutus dan menuntut
suatu perkara di pengadilan, tidak hanya melihat dan berpedoman kepada teori-teori
dan pendapat para ahli mengenai keadilan substantif. Hakim juga harus melihat
kembali kepada putusan putusan dengan tindak pidana yang sama dan tingkat
bahaya yang sama.
Kata Kunci: Disparitas, Putusan Hakim, Penadahan Telepon Genggam
Christopher S. Raenaldy Andreas19120113472023-03-24T06:48:43Z2023-03-24T06:48:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70172This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/701722023-03-24T06:48:43ZANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN
PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI
YANG TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR
ABSTRAK
Izin edar merupakan bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di
wilayah indonesia, untuk itu mengedarkan sediaan farmasi khususnya obat tanpa
izin edar dapat dikenakan pidana. Disparitas adalah penerapan pidana yang tidak
sama terhadap tindak pidana yang sama (same offience) atau tindak-tindak pidana
yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comprable seriousness)
tanpa dasar pembenaran yang jelas. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Apakah yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana antara putusan Nomor.
453/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim dan 686/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim tentang tindak
pidana pengedaran obat tanpa izin edar dan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memberikan putusan yang lebih berat dalam putusan
Nomor. 453/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim dibandingkan dengan putusan Nomor.
686/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, dengan
narasumber hakim, Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada kantor Balai Besar POM,
dan dosen bagian hukum pidana Universitas Lampung. Selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa adanya disparitas
pidana pada putusan Nomor. 453/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim dan
686/Pid.Sus/2020/PN dengan perbedaan pemidanaan yang cukup jauh. Dalam
penelitian ini adanya disparitas pidana dikarenakan adanya indepedensi hakim,
fakta dalam persidangan, pertimbangan hukum oleh hakim, dan keyakinan hakim.
Faktor lainnya adalah berdasar Pasal 197 ayat (1) huruf F KUHAP mengenai
keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Heldy Elfariana
Pemidanaan pada putusan Nomor. 453/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim lebih berat
dikarenakan jenis sediaan farmasi yang diedarkan jauh lebih membayakan,
berdasar Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021
tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan, Dan Kategori Obat, dikarenakan
obat keras yang diedarkan termasuk obat yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan yang belum termasuk dalam Golongan
Psikotropika.
Saran yang dapat disampaikan berdasar penelitian ini adalah hakim dalam
menjatuhkan pidana harus mempertimbangkan bukti, fakta-fakta yang
disampaikan dalam persidangan selanjutnya dihubungkan dengan dasar hukum
yang jelas dan sesuai. Hendaknya hakim juga memperhatikan aspek yang
meringankan dan memberatkan, serta jeli dalam melihat kondisi pelaku
mengenai penyebab timbulnya tindak pidana yang dilakukan.
Kata Kunci: Disparitas Pidana, Tindak Pidana Pengedaran Farmasi, Izin
Edar
ELFARIANA HELDY 19120112002023-03-17T01:44:57Z2023-03-17T01:44:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70127This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/701272023-03-17T01:44:57ZANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG
MENJADI PERANTARA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
NARKOTIKA GOLONGAN I
(Studi Putusan Nomor: 21/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk)
ABSTRAK
Norma yang melindungi anak sebagai pelaku atau korban pada dasarnya telah
lengkap yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Hakim melakukan penafsiran masing-masing dalam menjatuhkan vonis terhadap
anak pelaku yang harusnya diberikan perlindungan, di sisi lain aturan
perlindungan anak sangat menekankan bahwa anak tidak boleh dikurangi apalagi
dirampas kemerdekaan hidupnya. Permasalahan penelitian adalah (1)
bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap anak yang menjadi perantara
dalam transaksi jual beli narkotika golongan I dan (2) apakah dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang menjadi perantara
dalam transaksi jual beli narkotika golongan I berdasarkan Putusan Nomor:
21/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Adapun narasumber pada penelitian ini
terdiri dari Penyidik Polda Lampung, Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Tanjung
Karang, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, BNN Provinsi Lampung dan
Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang
digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penerapan sanksi pidana terhadap anak
yang menjadi perantara dalam transaksi jual beli narkotika golongan I adalah
menjatuhkan pidana terhadap terhadap Anak I dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 30 (tiga puluh) hari di
LPKS Insan Berguna Pesawaran, sedangkan Anak II dengan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun di LPKA Masgar Pesawaran dan pelatihan kerja selama 30
(tiga puluh) hari di LPKS Insan Berguna Pesawaran. (2) Pertimbangan yuridis
adalah berdasarkan Pasal 114 Ayat (2) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Pertimbangan secara sosiologis
sebagaimana dapat diketahui dari alasan penjatuhan pidana dengan melihat latar
belakang anak menjadi perantara dalam transaksi jual beli narkotika golongan I
yaitu keadaan ekonomi keluarga anak yang kurang, lingkungan anak yang
mendukung terjadinya tindak pidana narkotika dan keadaan pelaku sebagai anak
serta perbuatan para anak tidak mendukung program pemerintah dalam
pemberantasan Narkoba dan dapat merusak mental diri anak sendiri serta generasi
muda bangsa. Pertimbangan filosofis, Hakim mempertimbangkan bahwa
pembinaan terhadap terpidana anak setelah terpidana keluar hari di LPKA Masgar
akan dapat memperbaiki dirinya dan tidak melakukan kejahatan lagi.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran penegak hukum
diharapkan untuk mencermati dan memperhatikan penanganan yang terlibat
dengan narkotika serta perlunya regulasi khusus yang menyangkut anak sebagai
perantara jual-beli narkotika karena semakin berkembangnya kasus nakotika di
Indonesia membuat para pelaku tidak habis akal untuk memanfaatkan jasa anak.
Penegak hukum diharapkan untuk mempertimbangkan hak-hak anak, maka
sebaiknya pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang menyalahgunakan
narkotika dititikberatkan pada bentuk rehabilitasi. Mengingat dalam hal ini,
rehabilitasi juga dapat dipandang sebagai upaya atau cara memberikan
perlindungan hukum terhadap anak.
Kata Kunci: Sanksi Pidana, Anak, Perantara Narkotika.
Ikhsan Abrori ABRORI IKHSAN 18120112722023-03-16T01:48:18Z2023-03-16T01:48:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70111This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/701112023-03-16T01:48:18ZTINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERENCANA DI LAMPUNG TENGAH
(Studi Kasus Putusan Nomor: 172/Pid.B/2020/PN Gns)Hukum pidana mengatur mengenai perbuatan yang dilarang salah satunya adalah
pembunuhan. Pembunuhan dibagi menjadi dua dalam hukum pidana. Pertama
adalah tindak pidana pembunuhan dan Kedua adalah tindak pidana pembunuhan
berencana. Tindak pidana pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 338 KUHP
sedangkan pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Permasalahan
dalam penelitian ini mengacu pada kasus tindak pidana pembunuhan yang
tercantum dalam Putusan Nomor: 172/Pid.B/2020/PN.Gns. Kasus ini mendapatkan
keringanan dari majelis hakim dalam vonisnya. Majelis hakim tidak satu pandangan
dengan penuntut umum dalam perkara ini. Maka dari itu penulis ingin mengangkat
permasalahan ini dalam tulisan ini berkenaan dengan putusan tersebut. Terkhusus
pada aspek penentuan unsur yang dilakukan oleh penuntut umum dalam putusan
tersebut dan mengenai pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara ini.
Pendekatan penelitian ini menggunakan yuridis normatif. Sumber data yang
digunakan berfokus pada data sekunder. Prosedur pengumpulan data penulis
menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Serta analisis data yang
digunakan menggunakan analisis data secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini yang pertama, Penerapan unsur-unsur pidana pembunuhan
berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP dalam Putusan Nomor
172/Pid.B/2020/PN.Gns sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana. Fakta-
fakta hukum dan barang bukti yang ada telah menunjukan adanya pembunuhan
berencana yang dilakukan oleh Mulyadi kepada korban. Terdapat tiga penerapan
unsur dalam Pasal 340 yaitu mengenai Unsur Barang Siapa, Unsur Dengan Sengaja
Dengan Rencana Terlebih Dahulu Merampas Nyawa Orang Lain, Ketiga unsur
Diancam Karena Pembunuhan dengan Rencana. Kedua, Pertimbangan majelis
hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana dalam perkara putusan nomor 172/Pid.B/2020/PN.Gns didapatkan
bahwa mejelis mempertimbangkan bahwa secara meyakinkan pelaku secara jelas
melakukan tindak pidana pembunuhan dengan rencana. Kedua, majelis
mempertimbangkan bahwa pembelaan yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat
diterima karena tidak didukung dengan alat bukti yang ada. Ketiga majelis hakim
mempertimbangan mengenai hukuman yang akan diberikan, majelis hakim tidak
sepandangan dengan dakwaan penuntut umum yang mengajukan hukuman seumur
hidup dan memutuskan hukuman pidana selama 20 tahun penjara. Alasannya
pertama karena pelaku menunjukan sikap kooperatif dalam proses penegakan
hukum dan pelaku menunjukan rasa penyesalan telah melakukan tindak pidana
tersebut.
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis, Tindak Pidana, Pembunuhan Berencana.
Criminal law regulates prohibited acts, one of which is murder. Murder is divided
into two in criminal law. The first is the crime of murder and the second is the crime
of premeditated murder. Ordinary murder is regulated in Article 338 of the Criminal
Code, while premeditated murder is regulated in Article 340 of the Criminal Code.
The problem in this study refers to the case of a criminal act of murder listed in
Decision Number: 172/Pid.B/2020/PN.Gns. This case received leniency from the
panel of judges in their verdict. The panel of judges disagreed with the public
prosecutor in this case. Therefore, the author wants to raise this issue in this paper
regarding this decision. Especially in the aspect of determining the elements carried
out by the public prosecutor in the decision and regarding the considerations of the
panel of judges in deciding this case.
This research approach uses normative juridical. The data source used focuses on
secondary data. The author's data collection procedure uses library research and
field studies. And the data analysis used was descriptive qualitative data analysis.
The results of this study are first, the application of the criminal elements of
premeditated murder based on Article 340 of the Criminal Code in Decision
Number 172/Pid.B/2020/PN.Gns is in accordance with the principles of criminal
law. The legal facts and available evidence have shown that there was a
premeditated murder committed by Mulyadi to the victim. There are three
implementations of the elements in Article 340, namely regarding the Whoever
Element, the Element Deliberately With a Premeditated Plan to Take the Life of
Another Person, and the three elements are Threatened for Premeditated Murder.
Second, the consideration of the panel of judges in imposing a crime against the
perpetrators of the crime of premeditated murder in the case of decision number
172/Pid.B/2020/PN.Gns it was found that the panel considered that convincingly
the perpetrators had clearly committed the crime of premeditated murder. Second,
the panel considered that the defense made by the perpetrator was unacceptable
because it was not supported by the existing evidence. The three panel of judges
considered the sentence to be given, the panel of judges did not agree with the
indictment of the public prosecutor who proposed a life sentence and decided a
criminal sentence of 20 years in prison. The first reason is because the perpetrator
shows a cooperative attitude in the law enforcement process and the perpetrator
shows a sense of remorse for committing the crime.
Keywords: Juridical Review, Crime, Premeditated Murder
Tonang Budi Satrio Ari 16120111122023-03-10T01:28:53Z2023-03-10T01:28:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70072This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/700722023-03-10T01:28:53ZANALISIS PEMENUHAN HAK RESTITUSI TERHADAP ANAK KORBAN
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL
(Studi Putusan Nomor: 133/Pid/2021/PT Tjk)
ABSTRAK
Anak seringkali menjadi korban dari suatu tindak pidana, terutama tindak pidana
kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan dampak
yang sangat panjang. Dampak tersebut meliputi masalah kesehatan di kemudian hari,
masalah trauma yang berkepanjangan bahkan sampai anak tersebut sudah dewasa.
Secara psikis anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus disembuhkan dan
diperhatikan, karena dapat menimbulkan luka fisik maupun trauma bahkan
pelampiasan dendam. Bentuk perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban
dengan memberikan restitusi terhadap anak sebagai tanggung jawab pelaku untuk
memenuhi hak anak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana kekerasan seksual.
Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 133/Pid/2021/PT Tjk, pada amar
putusannya menghukum terdakwa pidana penjara 6 (enam) tahun dan membayar
restitusi sebesar Rp.8.575.000 dari jumlah permohonan restitusi sebesar
Rp.17.575.000 yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini menunjukan bahwa
sistem peradilan pidana di Indonesia masih hanya fokus pada pemberian hukum
kepada pelaku pidana saja sehingga pemenuhan hak korban tidak dapat dipenuhi
secara optimal, padahal anak korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan
pihak yang paling menderita.
Pendekatan masalah yang digunakan pada skripsi ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer
dan sekunder. Para pihak yang terlibat sebagai narasumber diantaranya, Hakim
Tinggi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi
Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan
Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa peraturan tentang restitusi
sudah ada namun belum sesuai dalam menjamin pemenuhan terhadap hak-hak anak
sebagai korban dikarenakan peraturan tersebut masih belum terlalu jelas dalam
memberikan mekanisme tentang pelaksanaan restitusi. Salah satu hambatan
dikarenakan aparat penegak hukum masih fokus terhadap hukuman pokoknya saja
dibandingkan hak-hak daripada korban kekerasan seksual, selanjutnya walaupun
restitusi sudah diterapkan masih belum adanya daya paksa dan aturan yang mengatur
jika pelaku tidak dapat membayarkan restitusi tersebut.
Secara garis besar terdapat saran dalam penelitian skripsi ini adalah pemerintah perlu
merevisi peraturan tentang restitusi sehingga mekanisme pelaksanaannya menjadi
lebih jelas. Peran pemerintah sangat dibutuhkan terkait pemberian kompensasi
kepada korban tindak pidana kekerasan seksual jika pelaku tidak dapat membayarkan
restitusi, sehingga anak korban tindak pidana kekerasan seksual tetap mendapatkan
hak-haknya.
Kata Kunci: Restitusi, Perlindungan Anak, Kekerasan Seksual.
Mohammad Reza Khatami
ABSTRACT
ANALYSIS OF FULFILLMENT OF THE RIGHT TO RESTITUTION OF
CHILD VICTIMS OF CRIMINAL ACTS OF SEXUAL VIOLENCE
(Study of Court Decision Number 133/Pid/2021/PT Tjk)
By
MOHAMMAD REZA KHATAMI
Children are often victims of a crime, especially sexual violence. Sexual violence
against children will have a very long impact. These impacts include health problems
later in life, prolonged trauma problems even when the child is an adult.
Psychologically, children who are victims of sexual violence must be cured and cared
for, because it can cause physical injury or trauma and even revenge. Forms of legal
protection for children who become victims by providing restitution to children as the
perpetrator's responsibility to fulfill the rights of children who are victims of a crime
of sexual violence. Tanjung Karang High Court Decision Number 133/Pid/2021/PT
Tjk, in its decision sentenced the defendant to 6 (six) years imprisonment and to pay
restitution of Rp.8,575,000 of the total request for restitution of Rp.17,575,000
submitted by the Prosecutor Public Prosecutor. This shows that the criminal justice
system in Indonesia is still only focused on giving law to criminals so that the
fulfillment of victims' rights cannot be fulfilled optimally, even though child victims
of sexual violence are the ones who suffer the most.
The approach to the problem used in this thesis uses normative and empirical
juridical approaches. The data sources used are primary and secondary data. The
parties involved as resource persons included High Judges at the Tanjung Karang
High Court, Prosecutors at the High Prosecutor 's Office, Lecturers in the Criminal
Law Department, Faculty of Law, University of Lampung, and Lecturers in the
Constitutional Law Section, Faculty of Law, University of Lampung.
The results of the research and discussion show that regulations regarding restitution
already exist but are not yet appropriate in guaranteeing the fulfillment of the rights
of children as victims because these regulations are still not very clear in providing a
mechanism for implementing restitution. One of the obstacles is that law enforcement
officials are still focused on the main punishment compared to the rights of victims of
sexual violence. Furthermore, even though restitution has been implemented, there is
still no coercive power and rules governing if the perpetrator cannot pay the
restitution.
In general, there is a suggestion in this thesis research that the government needs to
revise regulations regarding restitution so that the implementation mechanism
becomes clearer. The government's role is urgently needed in terms of providing
compensation to victims of sexual violence if the perpetrators cannot pay restitution,
so that child victims of sexual violence continue to get their rights.
Keywords: Restitution, Child Protection, Sexual Violence.
Mohammad Reza Khatami Reza Khatami Mohammad19120112932023-03-10T01:12:19Z2023-03-10T01:12:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70065This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/700652023-03-10T01:12:19ZAnalisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perbankan Yang Melarikan Diri Keluar Negeri
Analysis of Criminal Law Enforcement Against Perpetrators
of Banking Crimes Who Flew AbroadPenipuan, pemalsuan hingga korupsi bekedok produk perbankan marak menjadi masalah dalam menghadapi kemajuan teknologi perbankan. Sistem pidana Indonesia yang masih kurang memadai, menyebabkan pelaku tindak pidana perbankan yang banyak disebut sebagai “Penjahat Kerah Putih” masih bisa menghirup udara bebas, bahkan hingga melarikan diri keluar negeri. Sistem pidana Indonesia, terutama terkait, ekstradisi, Mutual Legal Assistance bahkan hingga pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana yang melarikan diri keluar negeri, masih minim dibandingkan dengan sistem pidana secara internasional. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan yang lari keluar negeri dan mengapa terdapat hambatan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan yang lari keluar negeri.
Penelitian ini menggunakan metode hukum normative empiris dengan pendekatan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Sumber dan jenis data menggunakan data primer, sekunder, tersier dan hasil wawancara terhadap narasumber yang dikumpulkan dan dioleh menggunakan studi kepustakaan secara sistematis. Setelah itu data akan dianalisis sejauh mana penegakan hukum pidana dilakukan, upaya Indonesia serta pengaruh kerjasama dalam melakukan proses ekstradisi para pelaku tindak pidana perbankan yang melarikan diri keluar negeri.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan yang lari keluar negeri memerlukan penanganan yang sinergis antara pemerintah, baik nasional maupun internasional. Ketika para pelaku tindak pidana perbankan ini melarikan diri kelua negeri, upaya yang dapat digunakan adalah menggunakan perjanjian ekstradisi dan bantual timbal balik (mutual legal assistance). Sedangkan hambatan yang timbul dalam proses penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perbankan yang lari keluar negeri terjadi karena adanya perbedaan hukum dan sistem hukum antar negara, perkembangan hukum, kepentingan nasional masing-masing negara, proses ekstradisi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 yang terlalu berbelit-belit sehingga memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, kurangnya pemahaman aparat dalam pelaksaan ekstradisi, ketiadaan perjanjian ekstradisi antar negara, tidak adanya pengaturan dalam UU Ekstradisi No. 1 tahun 1979 mengenai tata cara pengajuan permintaan penangkapan dan penahanan kepada suatu negara dan adanya kendala dalam proses pengembalian pelaku kejahatan ke Indonesia.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana Perbankan, Melarikan Diri Keluar Negeri, Ekstradisi, Mutual Legal Assistance
Fraud, counterfeiting, and corruption under the guise of banking products are rife as a problem in dealing with advances in banking technology. Indonesia's penal system is still inadequate, causing perpetrators of banking crimes widely referred to as “White Collar Criminals” to be still able to breathe free air, even to the point of fleeing abroad. Indonesia's criminal system, particularly in extradition, Mutual Legal Assistance, and even the imposition of sanctions for perpetrators of criminal acts who have fled abroad, is still minimal compared to the international criminal system. Therefore, the research aims to examine how criminal law enforcement against perpetrators of banking crimes who flee abroad and why there are obstacles to enforcing criminal law against perpetrators of banking crimes who flee abroad.
This study uses empirical normative legal methods with an approach to legal principles, legal systematics, level of legal synchronization, legal history, and comparative law. Sources and types of data used primary, secondary, and tertiary data, and the results of interviews with informants were collected and processed using a systematic literature study. After that, the data will be analyzed to what extent criminal law enforcement has been carried out, Indonesia's efforts and the influence of cooperation in carrying out the extradition process for perpetrators of banking crimes who have fled abroad.
The research results show that criminal law enforcement against perpetrators of banking crimes who flee abroad requires synergistic handling between the national and international governments. When the perpetrators of this banking crime flee abroad, the effort that can be used is to use extradition agreements and mutual legal assistance. While the obstacles that arise in the process of law enforcement criminal acts against perpetrators of banking crimes who flee abroad occur due to differences in laws and legal systems between countries, legal developments, the national interests of each country, extradition process in Law no. 1 of 1979 which is too convoluted so that it takes a long time and costs a lot, the lack of understanding of the apparatus in carrying out extradition, the absence of extradition treaties between countries, the absence of provisions in Extradition Law No. 1 of 1979 concerning procedures for submitting requests for arrest and detention to a country and the existence of obstacles in the process of returning criminals to Indonesia.
Keywords: Law Enforcement, Banking Crime, Escape Abroad, Extradition, Mutual Legal AssistanceERMELIA PUTRI DHEKA19220110712023-03-08T00:45:01Z2023-03-08T00:45:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70037This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/700372023-03-08T00:45:01ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG (ANALISIS NARKOTIKA JENIS BARU YANG TERDAFTAR DALAM NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES)Sepanjang tahun 2022 terjadi penambahan new psychoactive substances yaitu sebanyak 91 jenis new psychoactive substances serta terdapat 10 jenis new psychoactive substances yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun walaupun belum diatur dalam hukum positif Indonesia penyalahguhnaan narkotika jenis baru seperti dalam perkara Raffi Ahmad yang menggunakan methylone yang pada saat itu belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tetapi tetap mendapatkan hukuman yaitu rehabilitasi. Penulis mengkaji Bagaimanakah peran jaksa dalam penegakan hukum pidana pada Kejaksaan Tinggi Lampung dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika, Bagaimanakah peran Badan Narkotika Nasional dalam mencegah penyalahgunaan narkotika yang sudah terdaftar dalam new psychoactive substances, Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika jenis baru yang terdaftar dalam new psychoactive substances. Tulisan ini menggunakan metode penulisan hukum yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dengan narasumber Jaksa pada Kejaksaan Tinggi dan Badan Narkotika Nasional dan data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian maka penulis mengambil kesimpulan bahwa jaksa memiliki peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana dalam perkara tindak pidana narkotika, penyalahgunaan narkotika jenis baru yang terdaftar dalam new psychoactive substances tidak dapat dilakukan tindakan hukum karena bertentangan dengan asas legalitas, dan Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung memiliki 3 program pokok untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yaitu advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan Komunikasi, edukasi, dan informasi.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Tindak Pidana Narkotika, New Psychoactive Substances.
Throughout 2022 there will be the addition of new psychoactive substances, namely as many as 91 types of new psychoactive substances and there are 10 types of new psychoactive substances which have not been regulated in laws and regulations in Indonesia. However, even though it had not been regulated in Indonesian positive law, the abuse of new types of narcotics, such as in the case of Raffi Ahmad who used methylone, which at that time had not been regulated in Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, still received punishment, namely rehabilitation. The author examines what is the role of the prosecutor in enforcing criminal law at the Lampung High Court in Narcotics Crime Cases, what is the role of the National Narcotics Agency in preventing the abuse of narcotics that have been registered as new psychoactive substances, how is the enforcement of criminal law against the abuse of new types of narcotics that are registered in the new psychoactive substances. This paper uses the method of writing normative juridical law and empirical juridical. The data sources used in this study are primary data with prosecutors at the High Court and the National Narcotics Agency and secondary data.
Based on the results of the research, the authors conclude that prosecutors have a very important role in enforcing criminal law in narcotics crime cases, new types of narcotics abuse registered in new psychoactive substances cannot be taken legal action because it is contrary to the principle of legality, and the Provincial National Narcotics Agency Lampung has 3 main programs to make efforts to prevent and eradicate drug abuse and illicit traffic, namely advocacy, community empowerment, and communication, education, and information.
Keywords: Criminal law enforcement, narcotic crime, new psychoactive substances.
Abadi Agung19120111372023-03-06T01:58:43Z2023-03-06T01:58:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70036This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/700362023-03-06T01:58:43ZANALISIS YURIDIS KEKUATAN ALAT BUKTI DALAMMEMBERIKAN
PERKEMBANGAN HASIL PENYELIDIKAN BELUM DAPAT
DI TINDAK LANJUTI KE TINGKAT PENYIDIKAN
(Studi Polresta Tanjung Karang)
ABSTRAK
Pada perkembangan proses penyidikan di Polresta Tanjung Karang yang
sedang berlangsung, pihak pelapor dapat mengajukan permohonan untuk dapat
diberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan hasil Pendidikan SP2HP kepada
pihak kepolisian terkait, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 11
Ayat (1) huruf a Perkap No. 21 Tahun 2011 juncto Pasal 12 huruf c Perkap No.
16 tahun 2010 Setiap penerbitan dan penyampaian SP2HP, maka Penyidik
wajib menandatangani dan menyampaikan tembusan kepada atasannya.
didalam proses penyelidikannya semua saksi-saksi sudah dipanggil dan diperiksa
semua baik saksi pelapor maupun saksi terlapor, bahkan alat bukti surat
petunjuk dan lainnya sudah lengkap dan terpenuhi sebagai bukti permulaaan
cukup untuk dijadikan keterangan yang dapat di tingkatkan ketingkat
penyidikan, akan tetapi proses penyelidikan dihentikaan karena dianggap
kurang alat bukti. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian
dengan permasalahan Bagaiamanakah Kekuatan alat Bukti Dalam
Memberikan Perkembangan Hasil Penyelidikan Belum Dapat ditindaklanjuti
Ke Tingkat Penyidikan (Surat A2) dan Apa sajakah yang menjadi hambatan
dalam pembuktian dengan mengunakan 2 (dua) alat bukti dalam proses
penyelidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari,
Kepolisian Resor Kota Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung
Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian mengenai permasalahan
yang diajukan dalam skripsi ini, diperoleh kesimpulan bahwa kekuatan barang
bukti dikaitkan dengan alat-alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
i
M. Hadi Anandito
184 KUHAP perlu dipertanyakan. Benda atau barang bukti tidak boleh
dipersamakan dengan alat bukt i petunjuk, undang-undang sendiri tidak memberi
penjelasan tidak selayaknya demikian, karena barang bukti pun dalaml ini
tertentu sangat menolong untuk memperoleh petunjuk dalam menungkap suatu
perkara pidana. Posisi kasusnya yang terjadi semua saksi-saksi sudah dipanggil
oleh penyidik dan alat bukti berupa surat-surat juga sudah di tahan oleh penyidik
akan tetapi semua alat bukti pendukung itu dianggap kurang dan tidak menjadi
bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang telah ditentukan didalam
KUHAP, sehingga diberhentikan sementara sampai dengan alat bukti surat atau
ada bukti petunjuk lainnya. Faktor Penghambat dalam pembuktian dengan 2
(dua) alat bukti dalam proses penyelidikan sejauh ini memang masih mengalami
berbagai hambatan. Hambatan-hambatan tersebut disebabkan oleh berbagai
faktor baik internal maupun eksternal, diantaranya faktor substansi hukum,
penegak hukum, sarana dan fasilitas pendukung, masyarakat dan budaya hukum.
Adapun saran yang diberikan penulis Pasal 184 Ayat (1) menyebutkan alat
bukti yang sah meliputi: bagi pihak kepolisian khususnya penyidik dapat
memahami bahwa undang-undang menentukan 5 jenis alat bukti yang sah selain
5 jenis ini tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. “Kekuatan
Pembuktian” atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal
184 KUHAP. Serta pihak kepolisian lebih mengintensifkan kerja mereka seperti
meningkatkan koordinasi dengan saling tukar informasi dari semua pihak yang
bekerjasama mengenai kegiatan dan hasilnya termasuk masalah-masalah yang
dihadapi masing-masing, serta membuat kesepakatan dan kesatuan pengertian
mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama yaitu
penanggulangan tindak pidana penipuan atau penggelapan yang makin marak di
Bandar Lampung.
Kata Kunci: Kekuatan, Alat Bukti, Penyidikan, Surat A2.
ii
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSIS OF THE STRENGTH OF EVIDENCE IN
PROVIDED DEVELOPMENT OF INVESTIGATION RESULTS HAS NOT
BEEN ABLE TO IN FOLLOW UP TO THE LEVEL OF INVESTIGATION
(Tanjung Karang Police Study)
By
M. HADI ANANDITO
In the development of the ongoing investigation process at the Tanjung Karang
Police, the reporting party can submit an application to be granted SP2HP to the
relevant police, as stipulated in the provisions of Article 11 Paragraph (1) letter a
Perkap No. 21 of 2011 juncto Article 12 letter c Perkap No. 16 of 2010 Every
issuance and submission of Letter of Notification of the Development of
Encryption Result SP2HP, the Investigator must sign and submit a copy to his
superior. During the investigation process, all witnesses have been summoned
and examined, both reporting witnesses and reported witnesses, even evidence,
instructions and others are complete and fulfilled as initial evidence, sufficient to
be used as information that can be increased to the level of investigation,
however, the investigation process was stopped because considered insufficient
evidence. Based on this, it is necessary to conduct research with the problem of
how the strength of evidence in providing developments in investigation results
cannot yet be followed up to the level of investigation (Letter A2) and what are the
obstacles in proving by using 2 (two) pieces of evidence in the investigation
process.
This research uses normative juridical and empirical juridical approaches. The
type of data consists of primary and secondary data. The resource persons
consisted of the Tanjung Karang City Police, Tanjung Karang District Court
Judges and Lecturers in the Criminal Law Department at the Faculty of Law,
University of Lampung. Data analysis using qualitative analysis.
Based on the discussion of the research results regarding the problems raised in
this thesis, it is concluded that the strength of the evidence associated with the
evidence as stated in Article 184 of the Criminal Procedure Code needs to be
questioned. Objects or evidence may not be equated with evidence, the law itself
does not provide an inappropriate explanation for this, because even evidence in
iii
M. Hadi Anandito
these matters is certain. very helpful for obtaining clues in uncovering a criminal
case. The position of the case that occurred was that all the witnesses had been
summoned by the investigator and the evidence in the form of letters had also
been detained by the investigator, but all the supporting evidence was considered
insufficient and did not constitute sufficient initial evidence as specified in the
Criminal Procedure Code, so it was dismissed. while up to documentary evidence
or other evidence. The inhibiting factors in proving with 2 (two) pieces of
evidence in the investigation process so far are still experiencing various
obstacles. These obstacles are caused by various factors, both internal and
external, including factors of legal substance, law enforcers, supporting facilities
and infrastructure, society and legal culture.
The advice given by the author of Article 184 Paragraph (1) states that valid
evidence includes: for the police, especially investigators, to understand that the
law determines 5 types of legal evidence other than these 5 types cannot be used
as legal evidence. "Strength of Proof" or bewijskracht of each piece of evidence
referred to in Article 184 of the Criminal Procedure Code. As well as the police
intensifying their work such as increasing coordination by exchanging
information from all collaborating parties regarding activities and results
including the problems faced by each, as well as making agreements and a unified
understanding of the goals that must be achieved as the direction of joint
activities, namely countermeasures criminal acts of fraud or embezzlement which
are increasingly prevalent in Bandar Lampung.
Keywords: Strength, Evidence, Investigation, Letter A2.1852011066 M. HADI ANANDITOanandito.hadi@gmail.com2023-03-06T01:19:38Z2023-03-06T01:19:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/70024This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/700242023-03-06T01:19:38ZKAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ARTIS YANG TERLIBAT KASUS PROSTITUSI ONLINESaat ini seseorang dapat memilih untuk memenuhi kebutuhan dan minat mereka dengan berbagai cara, dari pekerjaan yang termasuk dalam kategori kerja kasar hingga pekerjaan yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Hal ini tentu saja disebabkan oleh hadirnya dan semakin canggihnya teknologi yang mendukung aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari, serta yang dapat memberikan dampak positif untuk kehidupan bermasyarakat. Sayangnya keberadaan dan perkembangan teknologi pada bidang informasi ibarat dua sisi mata uang yang sama: jika digunakan untuk kebaikan akan memberikan dampak positif, tetapi jika digunakan untuk keburukan maka akan memberikan dampak negatif. Seiring dengan penggunaan teknologi informasi, media dan komunikasi yang telah mengubah perilaku masyarakat global dan peradaban manusia, mengakibatkan pertumbuhan tingkat kejahatan melalui internet, atau dengan kata lain disebut sebagai prostitusi online. Sehingga penulisan skripsi ini akan meneliti tentang pandangan dan teori hukum pidana terhadap pertanggungjawaban pidana artis yang terlibat kasus prostitusi online.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris, yang menggunakan sumber data berupa data primer yang diperoleh dari proses diskusi dan wawancara dengan praktisi hukum dan akademisi yang relevan dalam pembahasan prostitusi online, data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen resmi yang terkait. Data akan dianalisa dengan metode studi kepustakaan dan studi lapangan, serta landasan teori yang digunakan adalah teori pertanggungjawaban pidana dan teori viktimologi.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa artis yang terlibat dalam kasus prostitusi online dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya apabila terdapat perilaku menyimpang berupa prostitusi atau layanan seksual yang diiklankan secara langsung atau tidak langsung, atau dianggap melanggar ketentuan pornografi. Sehingga kegiatan prostitusi yang tidak diiklankan, tidak memenuhi syarat sebagai pornografi dan tidak dapat didakwa sebagai kejahatan. Artinya, hal ini akan menyebabkan seluruh kegiatan prostitusi yang melibatkan mucikari sebagai pihak ketiga antara pekerja seks komersial dan klien ‘selalu’ berada pada posisi yang bertanggung jawab sekalipun tidak terdapat paksaan pada pekerja seks komersial tersebut. Berdasarkan analisa tersebut, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan prostitusi online semakin meluas adalah dengan menciptakan regulasi yang dapat diberlakukan secara nasional apabila telah disepakati jika prostitusi, baik itu prostitusi secara konvensional maupun prostitusi online, merupakan sebuah tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan oleh setiap pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan seksual.
Saran dalam penulisan skripsi ini berupa diharapkan adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi pidana bagi orang-orang yang terlibat dalam tindakan prostitusi, sehingga pihak yang bertanggung jawab tidak hanya dititikberatkan pada satu pihak saja, dalam hal ini mucikari atau pihak ketiga yang menghubungkan antara klien dan pekerja seks komersial.Hendrajudy Claudia Novandrea Dewinida Putri17120112482023-02-28T04:01:45Z2023-02-28T04:01:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69996This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/699962023-02-28T04:01:45ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCETAKAN E-KTP PALSU
(Studi Putusan Nomor : 194/Pid.B/2022/PN.Tjk)ABSTRAK
E-KTP adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan/
pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan
berbasis pada database kependudukan nasional, meskipun dikatakan sudah
canggih, kartu tanda penduduk elektronik masih bisa dipalsukan. Tindak pidana
pencetakan e-KTP palsu diatur dalam Pasal 96A Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencetakan
e-KTP palsu dan apa saja faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana pencetakan e-KTP palsu pada Putusan Nomor:
194/Pid.B/2022/PN.Tjk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
diperoleh melalui studi kepustakaan dan melalui wawancara narasumber yang
telah ditentukan. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, dan Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa, penegakan hukum pidana
terhadap tindak pidana pencetakan e-KTP palsu dilakukan melalui tahap formulasi
terkait pelanggarannya terdapat dalam Pasal 96A Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Tahap aplikasi, seluruh unsur
tindak pidana terpenuhi sehingga pada tahap penyidikan dan penuntutan terdapat
ancaman pidana kepada pelaku. Tahap ketiga adalah tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana,
disebut juga tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Majelis hakim
menjatuhkan pidana penjara masing-masing kepada Terdakwa I dan II selama 1
Tahun 4 Bulan dan denda sejumlah Rp50.000.000,00 dan Terdakwa III selama 1
Tahun 10 Bulan dan denda sejumlah Rp50.000.000,00 apabila denda tersebut
tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 1 Bulan Penjara. Faktor
penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencetakan e-KTP
palsu yang paling dominan ialah faktor masyarakat, yaitu rendahnya pengetahuan
dan rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat, sehingga semakin sulit
untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Kemudian adanya faktor
budaya yang menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparatur yang bekerja
dibawah pemerintahan untuk meraup keuntungan materi dan lemahnya
pengawasan dari pimpinan dalam menjalankan tugas sebagai aparatur.
Saran dalam penelitian ini adalah agar masyarakat khususnya para pelaku tindak
pidana tidak mengulangi perbuatan pencetakan e-KTP palsu serta menghilangkan
adanya budaya yang menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparatur.
Hendaknya kepada pemerintah meningkatkan kualitas dan pengawasan terhadap
kinerja aparatur. Hendaknya kepada para instansi terkait untuk melakukan
koordinasi untuk melakukan penyuluhan terkait pencetakan e-KTP palsu agar
masyarakat memiliki kepahaman serta kesadaran hukum, khususnya mengenai
pencetakan e-KTP palsu.
Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Tindak Pidana, Pencetakan E-KTP
Palsu Adit Bintang Hartahta Muhammad19520110782023-02-23T04:10:36Z2023-02-23T04:10:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69939This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/699392023-02-23T04:10:36ZUPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN
TRAFFICKING) DI KOTA BANDAR LAMPUNGMerebaknya kasus perdagangan orang di Kota Bandar Lampung merefleksikan
bahwa diperlukannya suatu upaya penanggulangan dengan perdagangan orang.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya penanggulangan
perdagangan orang (human trafficking) dan apakah yang menjadi faktor
penghambat dalam menanggulangi perdagangan orang (human trafficking) di
Kota Bandar Lampung?
Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara mendalam bagaimana upaya
penanggulangan perdagangan orang (human trafficking) di Kota Bandar
Lampung, oleh karena itu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah pendekatan yuridis empiris kemudian disesuaikan dengan pendekatan
yuridis normatif. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Direktorat
Kriminal Umum (Ditkrimum Polda Lampung) dan Akademisi Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa upaya
penanggulangan perdagangan orang (human trafficking) di Kota Bandar
Lampung dapat dilakukan dengan upaya secara penal dan non-penal. Upaya
penal atau represif ialah dengan adanya aparat penegak hukum seperti,
Ditreskrimum Polda Lampung melalui tugas-tugas penyelidikan, penyidikan,
dan sebagainya. Sementara, upaya non-penal atau preventif ialah dengan
melakukan pemetaan perdagangan orang, peningkatan pendidikan masyarakat,
memberikan jaminan aksesbilitas untuk memperoleh pelatihan, dan
sebagainya. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan
perdagangan orang (human trafficking) di Kota Bandar Lampung antara lain,
faktor hukumnya sendiri, faktor sarana dan fasilitas, faktor kebudayaan, faktor
penegak hukum, dan faktor masyarat.HARDIAN SYAPUTRA RIZQY 19420110362023-02-23T04:02:46Z2023-02-23T04:02:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69938This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/699382023-02-23T04:02:46ZANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
(Studi Putusan Nomor X/Pid.Sus-Anak/2022/PN Liw)
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
(Studi Putusan Nomor X/Pid.Sus-Anak/2022/PN Liw)
Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak pula bagian yang tidak terpisah dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Jenis kejahatan yang meresahkan segenap lapisan masyarakat adalah tindak pidana pencurian bahkan dengan unsur memberatkan atau pencurian kualifikasi yang diatur dalam Pasal 363 KUHP pelaku tindak pidana pencurian-pun dapat dilakukan oleh seorang anak penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum dapat dislesaikan dengan prinsip utama Restorative Justice yakni suatu adanya partisipasi korban dan pelaku,sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat demi mewujudkan nilai-nilai keharmonisan dalam masyarakat perlu adanya solusi dalam penyelesaian tindak pidana ringan sebagai instrumen pemulihan seperti lembaga pidana bersyarat yang mana telah diatur dalam Pasal 14(a) sampai dengan Pasal 14(f) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan menggunakan perspektif restorative justice
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, di mana hukum dikonsepkan sebagai apa yang dituliskan oleh peraturan perundang- undangan dan penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau tertulis. Sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder yang diperoleh melalui bahan kepustakaan yaitu seperti peraturan perundang-undangan, dokumen, buku, laporan hasil penelitian terdahulu dan dituangkan dalam bentuk analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam studi putusan nomor X/Pid.Sus Anak/2022/PN Liw telah terbukti menurut hukum. Penelitian hukum ini bertujuan mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pemidanaan bersyarat yang dilakukan oleh anak dengan perspektif keadilan restoratif.
Kesimpulan penerapan konsep restorative justice Hakim Dalam perkara Nomor X/Pid.Sus-Anak/2022/PN Liw dalam sistem peradilan pidana anak merupakan bagian dari implementasi restorative justice. Pengaturan restorative justice sudah dirumuskan dalam Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan telah sesuai dengan konsep penerapannya.
Saran dengan adanya penelitian ini diharapkan hakim dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan konsep restorative justice hakim dalam memutus perkara terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang dijatuhkan dengan pidana penjara hendaknya perlu mempertimbangkan hal tersebut karena pidana penjara bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara anak yang bermasalah dengan hukum.
Kata Kunci: Anak Yang Berhadapan Hukum, Pencurian, Anak, Restorative Justice, Pertimbangan Hakim
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSIS OF CONVICTIONS CRIMINAL OF CHILDREN IN THE PERSPECTIVE OF RESTORATIVE JUSTICE
(Study of Decision Number X/Pid.Sus-Anak/2022/PN Liw)
By
LUCKY SETIYAWAN
Child is defined as someone who is not yet 18 (eighteen) years old, including children who are still in the womb. Children are also an integral part of human survival and the survival of a nation and state. The type of crime that worries all levels of society is the crime of theft even with aggravating elements or theft qualifications regulated in Article 363 of the Criminal Code, the perpetrator of the crime of theft can also be committed by a child . the participation of victims and perpetrators, so that there is a guarantee that children or perpetrators will no longer disturb the harmony that has been created in society in order to realize the values of harmony in society, there needs to be a solution in the settlement of minor crimes as an instrument of recovery such as a conditional criminal institution which has been regulated in Article 14(a) to Article 14(f) of the Criminal Code using a restorative justice
The method used in this study is normative juridical, in which law is conceptualized as what is written by statutory regulations and research on legal systematics can be carried out on certain or written statutory regulations. The nature of the descriptive research uses primary and secondary data sources obtained through library materials, namely laws and regulations, documents, books, reports on the results of previous research and outlined in the form of qualitative analysis.
Based on the results of this study, it shows that in the study the decision number X/Pid.Sus Anak/2022/PN Liw has been proven according to law. This legal research aims to find out the basic considerations of judges in passing decisions on conditional punishment crimes committed by children with a restorative justice perspective.
The conclusion of the application of the concept of restorative justice in the case of Judge Number X/Pid.Sus-Anak/2022/PN Liw in the juvenile justice system is part of the implementation of restorative justice.arrangements Restorative justice have been formulated in the Law Concerning the Juvenile Criminal Justice System and are in accordance with the concept of its application.
Suggestions with this research are that it is hoped that judges in handling cases of children who are in conflict with the law with a restorative justice judges in deciding cases against children who commit criminal acts imposed with imprisonment should need to consider this because imprisonment is not the right solution to resolve cases children in trouble with the law.
Keywords: Children in conflict with the law, theft, children, restorative justice, judge's consideration
1812011094 LUCKY SETIYAWANsetiyawanlucky@gmail.com2023-02-23T03:37:08Z2023-02-23T03:37:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69932This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/699322023-02-23T03:37:08ZTinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Dengan Kekerasan
Berbuat Cabul Terhadap Anak Di Bawah Umur
(Studi Kasus Putusan Nomor 1562/Pid.Sus/2019/PN Tjk)
Pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak merupakan salah satu kejahatan yang sering terjadi di Indonesia. Salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi di Lampung ialah kasus pada putusan Nomor 1562/Pid.Sus/2019/PN Tjk dalam kasus ini terdakwa MY melakukan tindak kejahatan dengan kekerasan berbuat cabul kepada anak di bawah umur yang dilakukan kepada dua orang yang menjadi korban dari tindak kejahatan tersebut.
Pada penelitian ini metode pendekatan yang digunakan ialah yuridis empiris dan yuridis normatif. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa hasil dari membaca memahami dan menganalisa doktrin, asas-asas hukum, norma-norma, peraturan perundang-undang Negara Republik Indonesia, serta bahan hukum lainnya. Metode pengumpulan data pada penelitian ini ialah studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan nomor 1562/Pid.Sus/2019/PN Tjk telah sesuai dengan teori Pertanggungjawaban pidana yakni bahwasannya terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan juga pada terdakwa tidak dimiliki diagnosis gangguan secara mental maupun jiwa sebagaimana yang diatur pada pasal 44 KUHP. Perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan kekerasan berbuat cabul terhadap anak di bawah umur yang dilakukan pada dua korban sebagaimana yang tercantum pada putusan Nomor 1562/Pid.Sus/2019/PN Tjk telah memenuhi unsur delik yang termuat pada pasal Pasal 82 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Nasution Abdullah Habib19120112762023-02-22T03:15:40Z2023-02-22T03:15:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69796This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/697962023-02-22T03:15:40ZPENERAPAN SEJA (SURAT EDARAN JAKSA AGUNG MUDA)
TERKAIT PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG
MENGHAPUSKAN TINDAK PIDANA KORUPSIABSTRAK
PENERAPAN SEJA (SURAT EDARAN JAKSA AGUNG MUDA)
TERKAIT PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG
MENGHAPUSKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Perkembangan pemberantasan korupsi saat ini telah difokuskan pada tiga isu
pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak hanya terletak
pada upaya pencegahan serta pemberantasan dalam hal pemidanaan pelaku saja
tetapi juga meliputi upaya pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana
korupsi. Permasalahan dalam skripsi ini Bagaimanakah penerapan Seja dalam
pelaksanaan untuk menghentikan tindak pidana korupsi,bagaimanakah faktor
penghambat dalam Seja untuk menghentikan kasus kerugian keuangan negara
yang menghapuskan tindak pidana korupsi.
Metode Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Data yang digunakan menggunakan data primer dan data
sekunder. Narasumber penelitian ini terdiri dari Tim Penyidik Kejaksaan Negeri
Musi Banyuasin dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara
studi kepustakaan dan lapangan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa penerapan Surat edaran jaksa
agung dalam pelaksanaan untuk menghentikan tindak pidana korupsi adalah
Surat edaran Jaksa Agung Nomor : B1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang prioritas dan
pencapaian dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berisikan
himbauan mengenai prioritas penanganan perkara yang masuk kategori big fish
dan lebih mengedepankan untuk pengembalian kerugian keuangan negara, dimana
surat ini dijadikan bahan utama untuk penanganan kasus yang berskala kecil,
karena jika kasus ini dilanjutkan dirasa akan memakan banyak biaya anggaran
penanganan perkara korupsi terlebih lagi bila kasus korupsi dengan kerugian
negara kecil tersebut terjadi di lokasi yang jauh dari ibukota provinsi.Faktor
penghambat dalam surat edaran Jaksa Agung terkait pengembalian kerugian
keuangan negara yang menghapuskan tindak pidana korupsi adalah, tidak adanya
kewajiban jika pelaku harus mengembalikan kerugian negara hanya jika pelaku
secara insisiatif mau dan masih memiliki uang atau harta untuk melakukan
pengembalian kerugian negara. Pelaku yang tertuduh tidak kooperatif dapat
memperhambat proses pengembalian kerugian keuangan negara jika kejahatan
pelaku tidak diketahui dan pelaku tidak sanggup mengembalikan nominal uang yang dikorupsikan maka surat edaran Jaksa Agung
Muda tentang prioritas dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tidak
dapat diberlakukan.
Saran yang penulis berikan pada penelitian ini adalah: Untuk mengatasi hambatan
dalam penerapan seja adalah dengan memberikan kejelasan kepastian hukum
terhadap pelaku jika sudah sanggup mengembalikan kerugian keuangan negara
dari hasil tindak pidana korupsi, Agar tidak adanya hambatan dalam penerapan
surat edaran Jaksa Agung Perlu ditingkatkannya pengawasan oleh aparat penegak
hukum terkait hal seperti pembangunan dan lainnya yang berdampak pada
masyarakat agar tidak terjadi kasus yang serupa, dan perlu dilakukannya sanksi
sosial terhadap pelaku walaupun sudah melakukan pengembalian kerugian,agar
dapat membuat efek jera.
Kata Kunci: Pengembalian, Kerugian Negara, Tindak pidana korupsi, Surat
Edaran Jaksa Agung.1812011092 Ni Wayan Meilenia Syaputri2023-02-21T07:59:50Z2023-02-21T07:59:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69759This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/697592023-02-21T07:59:50ZPenerapan Restorative Justice Oleh Hakim Dalam Memutus Perkara Kasus Pembunuhan Anak Di Bawah Umur Yang Dikaitkan Dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang -undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan AnakAnak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan masa depan sebuah bangsa. Dalam konstitusi lndonesia, anak memiliki peran
strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan dalam kerangka pembinaan dan perlindungan terhadap anak. Buku ini mengkaji tentang bagaimana hukum positif Indonesia melakukan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan suatu kasus hukum. Pedoman undang- undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Buku ini membahas tentang hak dan kewajiban anak, anak yang berhadapan dengan hukum, proses penyelesaian perkara pidana anak, lembaga pembinaan dan advokasi bantuan hukum bagi anak, serta berbagai hal
penting lainnya yang belum diatur dalam perundang-undangan sebelumnya. Sebagai suatu bentuk kajian dari pemberlakuan suatu peraturan terbaru, maka tentu saja buku ini memiliki nilai lebih sehingga diharapkan dapat menambah wawasan baru dan pengetahuan pembaca mengenai bentuk-bentuk pembinaan dan
perlindungan anak yang tersangkut masalah hukum. Oleh karena itu, buku ini perlu dimiliki oleh para akademisi, mahasiswa hukum, praktisi hukum, maupun masyarakat umum yang keluarga/anaknya sedang mengalami kasus hukum.
Sistem peradilan pidana memiliki tujuan dimana tercapainya suatu keadilan,namun pada kenyataan dalam pelaksanaanya sering kali tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut tidak membuahkan keadilan sama sekali, oleh karena itu banyak alternative yang ditempuh oleh masyarakat untuk
pencapaian keadilan tersebut. Penyelesaian suatu perkara yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan retributive justice yang masih tidak dapat memberikan efek jera bahkan pengulangan tindak pidana bisa saja dengan mudah dilakukan tanpa memberikan keuntungan sama sekali terhadap korban
yang kebutuhannya seharusnya lebih diperhatikan. Untuk itu lahirlah alternative penyelesaian yang disebut dengan restorative justice yakni penyelesaian tindak pidana tanpa melalui sistem peradilan pidana yang menitikberatkan kepada pemulihan korban, pengantian kerugian oleh pelaku serta
perbaikan hubungan antara korban dan pelaku.
Masalah pokok dalam penelitian ini adalah Irnplementasi restorative justice sebagai alternative penyelesaian tindak pidana penipuan dan penggelapan, serta hal yang menjadi hambatan penerapan restorative justice sebagai alternative penyelesaian tindak pidana di Pengadilan Negeri Liwa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian langsung dengan cara survai yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara. Sedangkan bila ditinjau dari sifatnya penelitian ini bersifat deskriptif, yang artinya
menggambarkan kenyataan yang diteliti tentang implementasi restorative justice sebagai laternatif penyelesaian tindak pidana penipuan dan penggelapan serta hambatan dalam penerapan restorative justice tersebut di Pengadilan Negeri Liwa.
Dari hasil penelitian penulis, implementasi restorative justice sebagai alternative penyelesaian tindak pidana pembunuhan di Pengadilan Negeri Liwa dilakukan dengan kesepakatan yang terjadi terlebih dahulu antara keduabelah
pihak yakni korban dan pelaku tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Kata Kunci: Sistem Peradilan Pidana Anak, Restorative Justice, Keadilan
SIHOMBING JOSUA RIVALDO HAMONANGAN18120111212023-02-21T07:55:58Z2023-02-21T07:55:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69757This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/697572023-02-21T07:55:58ZEFEKTIVITAS PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA
(Studi di Wilayah Hukum Polres Metro, Lampung)
Tindak pidana pencurian merupakan kejahatan yang ditujukan terhadap harta benda dan seringkali terjadi di dalam masyarakat. Pencurian kendaraan bermotor dengan pembertan (curat) adalah istilah terhadap pelaku kejahatan yang melakukan aksi kejahatan dengan cara merusak, membongkar, dan memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 363 KUHP. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah mencapai efektivitas penanganan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua?. Bagaimanakah faktor yang menghambat penegakan hukum dalam mencapai efektivitas penanganan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua?.
Pendekatan masalah penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Yuridis Empiris dengan lebih memfokuskan pada Pendekatan Yuridis Enpiris. Pendekatan secara Yuridis Normatif dilakukan terhadap hal yang berkaitan dengan asas hukum, perundang-undangan, sinkronisasi perundang-undangan dan yang berkaitan dengan penelitian. Secara operasional pendekatan ini dengan studi kepustakaan atau studi literature.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan bahwa: (1) Efektivitas penanganan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua di Kota Metro kurang efektif yakni pada tahun 2020 terdapat 158 kasus dengan penyelesaian 21 kasus. Tahun 2021 terdapat 149 kasus dengan penyelesaian 46 kasus. Dan pada tahun 2022 dari blan Januari sampai pada bulan Oktober terdapat 119 kasus dengan penyelesaian 12 kasus. Dengan ini, tindak pidana penyelesaian yang dilakukan kepolisian dalam mencapai efektivitas penanganan tindak pidana pencurian kurang efektif dikarenakan penyelesaian tindak pidana tidak sesuai dengan tujuan dari efektif. (2) Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum di Kota Metro yakni pelaku yang melakukan tindak pidana kejahatan minoritas penduduk luar Kota Metro melainkan pelaku berasal dari wilayah luar Metro. Akan tetapi, faktor yang menjadi penghamabatan adalah penegak hukum yang dimana kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjalankan tugasnya.
Aldhira Erlitsya Maharani
Saran penulis dari permasalahan yang tejadi adalah (1) Dibutuhkan kerja sama semua elemen masyarakat dalam membantu pihak kepolisian dalam menjalankan perannya sebagai pengamanan masyarakat, khususnya penanganan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan pemberatan (curat) di Kota Metro. (2) Sebaiknya lebih baik kepolisian juga bekerja sama dengan masyarakat dengan adanya upaya penyuluhan, patrol, dan razia. Hal ini bertujuan untuk kinerja kepolisian lebih efektif dan efesien dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencurian dengan pemberatan (curat) di Kota Metro.
Kata Kunci: Efektivitas, Penanganan, Pencurian Kendaraan Bermotor
Erlitsya Maharani Aldhira19120113122023-02-21T01:57:43Z2023-02-21T01:57:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69681This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/696812023-02-21T01:57:43Z
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENJATUHAN
PIDANA BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA GOLONGAN I
(Studi Putusan Nomor 86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt)
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENJATUHAN
PIDANA BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA GOLONGAN I
(Studi Putusan Nomor 86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt)
Pertimbangan hakim menjadi suatu hal yang urgen dalam perwujudan parameter
mencapai keadilan subtantif atas putusan hakim, yaitu aspek kemanfaatan dan
kepastian hukum dengan dengan disikapi secara cermat, baik, dan teliti agar
implementasinya dapat menjadi sarana pencegahan terulang kembali perbuatan
pidana. Terkhusus pada tindak pidana narkotika, bahwa dalam memberikan
pertimbangan yang tercantum dalam putusan hakim menjadi harapan bagi para
pihak untuk dapat memberikan nuansa positif, terutama terhadap pelaku narkotika
melalui upaya rehabilitasi. Rehabiltitasi menjadi salah satu upaya pemberian
bentuk pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana narkotika dengan
tujuan memulihkan atau mengobati diri pelaku agar tidak mengkonsumsi obatobatan
terlarang. Namun demikian dalam fakta di lapangan bahwa hakim justru
seringkali memberikan vonis penjatuhan pidana penjara dan denda kepada pelaku
tindak pidana narkotika tanpa disertai adanya rehabilitasi, padahal dalam putusan
hakikatnya diperbolehkan adanya sanksi semacam itu. Sehingga dalam hal ini
problematika yang dianalisis adalah bagaimanakah persyaratan yang harus
dilengkapi dalam berkas perkara agar Hakim dapat mempertimbangkan untuk
menjatuhkan pidana rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika golongan I, dan
bagaimanakah dasar pertimbangan hakim tidak memberikan rehabilitasi terhadap
penyalahguna narkotika dalam perkara (Nomor 86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt).
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif disertai
dengan empiris melalui pengumpulan data di lapangan. Penelitian menggunakan
data primer berupa wawancara di Pengadilan Negeri Gedong Tataan dan putusan
mengenai tindak pidana narkotika beserta studi kepustakaan yaitu buku, jurnal,
dan literatur lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam meninjau
kembali pertimbangan hakim dalam merujuk pada pembuktian tindak pidana yang
dilakukan terdakwa, bahwa perbuatan yang dilakukan unsur-unsur yang
terkandung dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika telah terpenuhi. Berdasarkan putusan perkara Nomor
86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt di Pengadilan Negeri Gedong Tataan Kelas II Khusus
berlandaskan dari adanya unsur-unsur yang telah tercapai dari perbuatan pidana
iii
yang dilakukan, hal ini juga disertai dengan alat bukti yang sah dengan fakta-fakta
yang telah terungkap selama keberjalanan persidangan. Dapat dilihat bahwa
terdakwa memperoleh penjatuhan pidana penjara dan denda dan tidak disertai
adanya pemberian rehabilitasi medis dikarenakan pelaku ternyata tidak terbukti
secara sah menkonsumsi narkotika atau pengguna maupun korban yang
menyalahgunakan narkotika tersebut. Syarat yang perlu dipenuhi pada berkas
perkara untuk nantinya hakim dalam menjatuhkan suatu pertimbangan dan
penjatuhan terkait tindak pidana yang dilakukan untuk memberikan rehabiltiasi
terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika pada jenis golongan 1 adalah
dilengkapinya berkas yang berisikan persyaratan dengan bentuk format adalah
Berita Acara Penyerahan Rekomendasi Hasil Asesmen Badan Narkotika Nasional
(BNN) yang mana telah ada suatu permohonan yang diajukan sebelumnya kepada
terdakwa melalui Jaksa Penuntut Umum dan Tim Assesmen Terpadu BNN
sebagai bentuk rekomendasi terhadap Majelis Hakim yang menangani perkata
untuk melihat bukti berkas yang ada.
Penulis memberikan saran bahwa peran masyarakat perlu ditingkatkan kembali
sebagai bagian dari pencegahan adanya peredaran atau penyalahgunaan narkoba,
seperti halnya orangtua dalam keluarga yang dapat memberikan suatu pembinaan
untuk dapat memberikan jalan hidup yang baik kepada anaknya agar dapat
terbentuk masa depan yang akan datang dari perihal mental yang begitu stabil dan
juga kepastian mengenai tujuan hidup ang baik dan bebas dari adanya penggunaan
narkoba. Teruntuk Majelis hakim kedepannya agar dapat lebih mencermati dalam
menjatuhkan sanksi atas tindak pidana, terkhusus pada pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika agar nantinya dapat memberikan keadilan yang
didasari atas ketentuan peraturan perundang-undangan. Hakim menjadi bagian
dari penegak hukum memiliki suatu kewenangan mengadili pada perkara untuk
mencapai keadilan subtantif di masyarakat.
Kata Kunci: Pertimbangan hakim, penyalahguna narkotika, narkotika
golongan.I
iii
ABSTRACT
ANALYSIS OF JUDGES' CONSIDERATIONS OF SENTENCING FOR
CLASS I NARCOTICS ABUSERS
(Study of Decision Number 86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt)
By
DIMAS DIDI DARMAWAN
The judge's consideration is an important aspect in determining the realization of
the value of a judge's decision which contains justice (ex aequo et bono), certainty
and benefit so that it must be addressed carefully, precisely and carefully so that
its implementation is able to prevent crimes from happening again. In cases of
narcotics crimes, the judge's decision in his considerations is expected to have a
positive impact on the perpetrators. Rehabilitation is a form of punishment for
perpetrators of narcotics crimes with the aim of recovery or treatment. However,
in practice, judges often prefer to impose prison sentences and fines for narcotics
offenders, while on the one hand, narcotics offenders can also be sent to
rehabilitation. Therefore, the problems that will be examined in this study include:
(1) What are the conditions must be completed in the case file so that the Judge
can consider imposing a rehabilitation sentence for class I narcotics abusers, and
(2) What are the judge's considerations for not providing rehabilitation for
narcotics abusers in case Number 86/Pid.Sus/2022/PN.Gdt. This research is an
empirical normative legal research, with data sources through primary data and
secondary data, with data collection techniques through library research and field
studies. The results of this study indicate that the judge's consideration (decision
ratio) in proving the defendant's actions is proven to fulfill the elements of Article
127 paragraph (1) letter a of Law no. Dimas Didi Darmawan 35 of 2009
concerning Narcotics (Narcotics Law). According to one example, the decision in
a narcotics crime case at the Special Gedong Tataan Class II District Court was
based on the fulfillment of the elements of each of these crimes as well as the
presence of correct evidence and legal facts at trial. It was said to be appropriate
because the defendants who were sentenced to prison terms and fines did not
undergo medical and/or social rehabilitation because they were not proven to be
iv
Dimas Didi Darmawan
can consider imposing a rehabilitation sentence for class I narcotics abusers are
completing the required documents in the form of Minutes of Submission of
Recommendations on the Results of the National Narcotics Agency's (BNN)
Assessment. ) who previously submitted a request for rehabilitation by the
defendant to the Public Prosecutor through the BNN Integrated Assessment Team
to be recommended to the Panel of Judges examining the case for examination.
Suggestions from the author are Society is expected to be a segment that is
protected from drug abuse and illicit trafficking. This can be prevented through
the big role of parents. Parents become mentors to provide life skills to their
children so that their mentality improves stable and have definite life goals to
achieve goals in a good way free from drug abuse. and To the Panel of Judges to
be more careful in adjudicating a case, especially in cases of narcotics abusers.
Must give priority to legal considerations. Because judges as law enforcers are
given the authority to try a case in order to create a sense of justice in society.
Keywords: Judge's Considerations, Narcotics Abuse, Narcotics Category I
iv 1952011040 DIMAS DIDI DARMAWAN dimasdidi50@gmail.com2023-02-20T07:57:43Z2023-02-20T07:57:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69633This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/696332023-02-20T07:57:43ZPERAN INTELIJEN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN TERHADAP PENGAWASAN BAGI WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IDENTITAS
(Studi Pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Bandarlampung )
ABSTRAK
PERAN INTELIJEN DAN PENINDAKAN KEIMIGRASIAN TERHADAP PENGAWASAN BAGI WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN IDENTITAS
(Studi Pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Bandarlampung ) Oleh:
SHESHILIA REGINA SALIM
Masyarakat Indonesia yang akan melaksanakan perjalanan harus memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku, hal tersebut diatur Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Masalah pemalsuan identitas diri pemohon paspor semakin marak terjadi di Indonesia tidaklepas dari perilaku pemohon paspor, serta kelembagaan pemerintahan mulai dari proses pengurusan identitas diri pemohon hingga pada penerbitan paspor. Keimigrasian memiliki peran yang sangat besar yaitu mempunyai fungsi yang sangat signifikan untuk meminimalisir akibat negatif dari mobilitas masyarakat negara asing, pihak imigrasi memiliki fungsi dalam politik hukum keimigrasian yang memiliki sifat selektif.
Metode pada penelitian ini menggunakan normatif empiris. Metode normatif empiris merupakan penelitian yang mengkaji tentang pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sumber data yang digunakan adalah data primer berupa data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dan data sekunder berupa peraturan perundang – undangan, buku, dan jurnal.
Hasil pada penelitian ini adalah mengulas peran ideal (ideal role) intelijen dan penindakan Keimigrasian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil dalam mencegah dan mengungkap dokumen palsu yang digunakan untuk melakukan permohonan paspor Republik Indonesia di Kantor Imigrasi Kelas I Bandar Lampung dilakukan dengan cara yang bersifat preventif maupun represif. Upaya Preventif dalam menghadapi tindak pidana keimigrasian dalam pembuatan dokumen perjalanan dengan menggunakan dokumen palsu yaitu pelatihan Document Fraud yaitu pelatihan dokumen yang diperuntukan sebagai bekal keahlian untuk pihak imigrasi dalam mendetesi pemalsuan dokumen perjalanan. Pelatihan ini merupakan pelatihan wajib yang dilaksanakan kantor imigrasi terhadap calon pegawainya sebelum ditugaskan, Memiliki sistem Interpol yang
Sheshilia Regina Salim
sudah terkoneksi sehingga memudahkan dalam pencarian DPO (Daftrar Pencarian Orang) Interpol. Memiliki sistem BCM (Border Control Management) di TPI (Tempat Pemeriksaan Imigrasi). Upaya represif adalah tindakan yang dilakukan aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana. Serta mengetahui hambatan – hambatan apa saja yang dialami oleh Intelejen dan Penindakan Keimigrasian dalam menghadapi pengawasan bagi Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana keimigrasian. Hambatan yang dialami oleh pihak Intelejen dan Penindakan Keimigrasian (INTELDAKIM) ada berbagai macam terutama dalam pelaksanaan pengawasan, secara umum hambatan yang ada pada sumber daya manusia dan sarana/prasarana. Keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang menjadi faktor terhambatnya proses penegakan hukum bagi Warga Negara Asing (WNA) maupun Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana keimigrasian. Jumlah pegawai Intelejen dan Penindakan Keimigrasian (INTELDAKIM) serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sedikit merupakan pemicu pengawasan tidak dapat dilakukan secara serentak.
Melalui hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peran dari Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (INTELDAKIM) dalam melakukan pengawasan terhadap WNA yang melakukan tindak pidana pemalsuan identitas. Peran Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (INTELDAKIM) Kantor Imigrasi Kelas I Bandar Lampung belum sepenuhnya memenuhi standar peran itu sendiri yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yaitu peran ideal (ideal role) yang dimana Kantor Imigrasi memiliki kendala dan kurangnya sumber daya manusia yang memiliki daya integritas yang tinggi dalam melakukan selektif ketat dalam membiarkan warga negara asing yang masuk ke dalam wilayah Indonesia.
Saran dari penulis kepada lembaga hukum yang berwenang untuk dapat terus menegakkan tiang hukum dalam menghadapi tindak pidana keimigrasian khususnya dalam melakukan tindak pidana pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA). Melakukan selektif ketat dalam pemilihan Sumber Daya Manusia yang memiliki integritas dan kualitas yang tinggi sehingga peran ideal dan peran sebenarnya sesuai dengan norma hukum yang berlaku dapat berjalan dengan lancar.
Kata kunci: Keimigrasian, Tindak pidana, Pemalsuan identitas
ABSTRACT
THE ROLE OF THE INTELLIGENCE AND IMMIGRATION ACTION SECTION ON THE SUPERVISION OF FOREIGNERS WHO PERMIT THE CRIMINAL ACTS OF IDENTITY FAKETING
(Study at Immigration Office Class I TPI Bandarlampung) By:
SHESHILIA REGINA SALIM
Indonesian people who will travel must have valid and valid travel documents, this is regulated in Law Number 6 of 2011 concerning Immigration. The problem of counterfeiting passport applicants' identities is increasingly prevalent in Indonesia, which cannot be separated from the behavior of passport applicants, as well as government institutions, starting from the process of managing the applicant's identity to issuing passports. Immigration has a very large role, namely it has a very significant function to minimize the negative consequences of the mobility of foreign citizens, immigration has a function in the politics of immigration law which has a selective nature.
The method in this study uses empirical normative. Empirical normative method is research that examines the implementation or implementation of positive legal provisions (legislation) and contracts in fact in every particular legal event that occurs in society in order to achieve predetermined goals. The data sources used are primary data in the form of data obtained directly from research subjects and secondary data in the form of laws and regulations, books and journals.
The results of this study are to review the ideal role of intelligence and Immigration enforcement carried out by Civil Servants in preventing and uncovering fake documents used to apply for a Republic of Indonesia passport at the Immigration Office Class I Bandar Lampung carried out in a preventive or fraudulent manner. repressive. Preventive efforts in dealing with immigration crimes in making travel documents using fake documents, namely Document Fraud training, namely document training intended as a provision of expertise for immigration authorities in detecting forgery of travel documents. This training is mandatory training carried out by the immigration office for prospective employees before being assigned. It has an Interpol system that is already connected to make it easier to search for Interpol DPOs (Person Wanted List). Have a BCM (Border Control Management) system at TPI (Immigration Checkpoints). This system supports e-office spread throughout
Sheshilia Regina Salim
Immigration Office and embassies. Repressive efforts are actions taken by law enforcement officials after a crime or crime has occurred. As well as knowing what obstacles are experienced by Intelligence and Immigration Enforcement in facing surveillance for Foreign Nationals who commit immigration crimes. There are various kinds of obstacles experienced by Intelligence and Immigration Enforcement, especially in the implementation of supervision, in general the obstacles that exist in human resources and facilities/infrastructure. The limited number of human resources is a factor in hampering the law enforcement process for Foreign Citizens and Indonesian Citizens (WNI) who commit immigration crimes. The small number of Immigration Intelligence and Enforcement employees as well as Civil Servant Investigators (PPNS) is a small trigger for oversight not to be carried out simultaneously.
Through the results of the research and discussion a conclusion can be drawn that the role of the Immigration Intelligence and Enforcement Section is in supervising foreign nationals who commit identity fraud crimes. The role of the Immigration Intelligence and Enforcement Section of the Class I Immigration Office in Bandar Lampung has not fully met the standard role itself put forward by Soerjono Soekanto, namely the ideal role in which the Immigration Office has constraints and a lack of human resources with high integrity. high in carrying out strict selective in letting foreign nationals into the territory of Indonesia Suggestions from the author to authorized legal institutions to be able to continue to uphold the pillars of law in dealing with immigration crimes, especially in committing identity fraud crimes committed by foreign nationals (WNA). Carry out strict selectiveness in selecting Human Resources who have high integrity and quality so that their ideal and actual roles in accordance with applicable legal norms can run smoothly.
Keywords: Immigration, Crime, Identity fraud
1912011078 Sheshilia Regina Salimsheshiliareginas@gmail.com2023-02-17T08:54:35Z2023-02-17T08:54:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69546This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/695462023-02-17T08:54:35ZANALISIS DISPARITAS PIDANA PUTUSAN HAKIM TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK ABSTRAK
ANALISIS DISPARITAS PIDANA PUTUSAN HAKIM TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK
Oleh
M REVI YANG SAKTI
Disparitas pemidanaan memiliki makna adanya perbedaan besaran hukuman yang
dijatuhkan pengadilan dalam perkara-perkara yang memiliki karakteristik yang
sama. Pada perkara pemerkosaan terhadap anak berdasarkan putusan nomor
2/Pid.Sus/An/2021/PN Bbu dan putusan nomor 19/Pid.Sus/An/2020PN Bbu,
terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada putusan hakim. Sehingga
menimbulkan adanya disparitas hukuman pidana. Oleh sebab itu permasalahan
dalam penelitian ini adalah, apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam
putusan nomor 2/Pid.Sus/An/2021/PN Bbu terhadap tindak pidana pemerkosaan
anak sebagai pelaku, dan bagaimana disparitas putusan nomor
2/Pid.Sus/An/2021/PN Bbu terhadap tindak pidana pemerkosaan pada putusan
momor 19/Pid.Sus/An/2020/PN Bbu yang dilakukan anak sesuai dengan tujuan
pemidanaan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahan data primer, bahan
data sekunder dan bahan data tersier. Sumber data dilapangan diperoleh penulis
dari hasil wawancara Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu,
Kepolisian Resor Way Kanan dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Universitas
Lampung. Setelah data terkumpul penulis menganalisis dengan data kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara Nomor 2/Pid.Sus/An/2021/PN Bbu, pemerkosaan kepada pelaku dalam
suatu perkara sudah tepat, dan pada aspek dasar pertimbangan yuris hakim jugu
melihat pelaku telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga pertimbangan hakim ini
merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam memutuskan suatu perkara
sangat dibutuhkan pertimbangan yang konkrit supaya dapat terwujud yang
namanya putusan yang seadil-adilnya. Disparitas putusan hakim pada Putusan
Nomor 2/Pid.Sus/An/2021/PN Bbu, berbeda dengan putusan Nomor
19/Pid.Sus/An/2020/PNBbu, yang menimbulkan adanya disparitas vonis hakim,
M REVI YANG SAKTI
padahal Pertimbangan hakim tersebut secara langsung akan berpengaruh besar
terhadap diktum atau amar putusan-putusan yang lainnya.
Rekomendasi dari peneliian ini adalah hendaknya majelis hakim dalam memgadili
pelaku tindak pidana pemerkosaan pada anak untuk dapat memberikan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga dapat
menimbulkan efek jera kepada pelaku. Rekomendasi selanjutnya negara
hendaknya memberi hukuman kepada pelaku lebih mementingkan perlindungan
kepada korban.
Kata Kunci: Anak, Disparitas Pidana, Pertimbangan Hakim. 1712011305 Muhammad Revi Yang Sakti 2023-02-17T04:01:33Z2023-02-17T04:01:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69507This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/695072023-02-17T04:01:33ZANALISIS YURIDIS TERHADAP KONSEP PEMAAFAN HAKIM (RECHTERLIJK PARDON) PADA KASUS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN (Studi Kasus Putusan Nomor 59/Pid.Sus-Anak/2021/PN Tjk)
Kenakalan remaja di tengah masyarakat menimbulkan keresahan sebab cenderung merunut pada segi kriminal secara yuridis yang melanggar ketentuan hukum pidana. Perbedaan pemahaman dan pandangan umum sebagian masyarakat terkait Sistem Peradilan Pidana Anak khususnya terhadap proses penanganan perkara anak melahirkan berbagai pemikiran bahkan kekeliruan bahwa penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana sama dengan proses perkara orang dewasa. Pemaafan Hakim adalah sebuah bentuk pengampunan oleh Hakim dari kesalahan yang dilakukan seseorang bersalah atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan keadilan. Aturan terkait konsep Pemaafan Hakim tidak dipaparkan eksplisit dan lebih lanjut dalam UU SPPA dan KUHP saat ini. Ketidakpastian ini menjadi bentuk permasalahan yang bertentangan dengan nilai dasar hukum kepastian hukum dan menimbulkan kekosongan hukum.
Metode yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari Hakim Anak Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa Putusan Nomor 59/Pid.Sus Anak/2021/PN Tjk bukanlah cerminan dari konsep Pemaafan Hakim kendati merupakan salah satu bentuk keadilan restoratif. Keadilan restoratif dalam UU SPPA merupakan wadah ekstensif yang mewadahi konsep Pemaafan Hakim. Konsep Pemaafan Hakim diharapkan dapat menjadi alternatif pemidanaan yang bentuk atas asas kepastian hukumnya bersifat kaku menjadi asas kepastian yang elastis.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian adalah hendaknya bagi Hakim dalam menangani perkara anak dapat melaksanakan ketentuan yang diamanatkan dalam UU SPPA dengan baik juga mengambil peran melakukan penemuan hukum guna mengisi kekosongan hukum melalui berbagai putusannya yang progresif dan Pemerintah agar mengindahkan KUHP terbaru saat ini dengan menciptakan sistem hukum pidana Indonesia yang integral, humanis, progress dan nasionalis.
Kata Kunci: Anak, Pemaafan Hakim, Pencurian.
Ridha Hidayat Yustia 19520110812023-02-17T03:30:30Z2023-02-17T03:30:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69488This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/694882023-02-17T03:30:30ZANALISIS PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi pada Kepolisian Daerah Lampung)
ABSTRAK
ANALISIS PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi pada Kepolisian Daerah Lampung)
Oleh
Nediyan Fania Rahma
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan asas yang menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai orang yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap. Aparat penegak hukum dalam hal ini adalah polisi yang memiliki kewenangan dalam tindakan tembak di tempat harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan yang ada sehingga tidak mengorbankan kedua kepentingan yang dilindungi hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan asas praduga tak bersalah dalam tindakan tembak di tempat oleh aparat kepolisian terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan apakah faktor-faktor penghambat dalam penerapan asas praduga tak bersalah dalam tindakan tembak di tempat oleh aparat kepolisian terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif didukung dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara mendalam dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Anggota Penyidik Kepolisian Subdit Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Di mana data yang digunakan adalah data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang masing-masing bersumber atau diperoleh dari lapangan dan kepustakaan serta analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukan bahwa penerapan asas praduga tak bersalah dalam tindakan tembak di tempat dalam tahap aplikasinya, aparat kepolisian Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung belum diterapkan secara optimal. Hal ini ditunjukan dengan ditemukannya beberapa kasus salah tembak yang dilakukan oleh aparat kepolisian Polda Lampung bahkan sampai mengakibatkan kematian yang disebabkan karena kelalaian dan minimnya keterampilan yang dimiliki oleh aparat kepolisian. Pada dasarnya, dalam kasus tindak pidana narkotika diperlukan tindakan tembak di tempat sesuai dengan
Nediyan Fania Rahma
Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Dalam tahap aplikasi faktor yang menghambat penerapan asas praduga tak bersalah dalam tindakan tembak di tempat oleh aparat kepolisian terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah faktor hukum, faktanya belum ada aturan secara khusus dibuat terkait pemidanaan anggota kepolisian terhadap korban salah tembak, faktor penegak hukum yang mana aparat kepolisian masih kurang terampil atau mahir dalam melakukan tindakan tembak di tempat, faktor masyarakat yang masih takut untuk melaporkan pelaku tindak pidana narkotika, faktor sarana dan prasarana Polda Lampung yang masih perlu dilengkapi lagi dalam menunjang aparat kepolisian untuk menangkap pelaku tindak pidana narkotika, faktor budaya masyarakat belum sepenuhnya sadar terhadap urgensi narkotika saat ini. Berdasarkan 5 faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan tindakan tembak di tempat oleh aparat kepolisian terhadap pelaku tindak pidana narkotika, faktor penegak hukum merupakan faktor yang paling dominan dalam penerapannya.
Adapun saran dari penelitian ini adalah aparat kepolisian dalam menerapkan asas praduga tak bersalah dalam tindakan di tempat terhadap pelaku tindak pidana narkotika harus lebih berhati-hati untuk meminimalisir terjadinya korban salah tembak. Setiap aparat kepolisian harus secara khusus diperhatikan dalam hal keterampilan menembak yaitu dengan diberikan pemahaman dan proses pembelajaran yang lebih mendalam mengenai prosedur tindakan tembak di tempat sehingga institusi Polri lebih ketat dalam memberikan izin kepemilikan senjata api kepada setiap anggotanya. Hal ini tentu bertujuan agar penerapan tindakan tembak di tempat dapat diwujudkan dengan tepat dan optimal.
Kata Kunci : Asas praduga tak bersalah, tembak di tempat, narkotika
1912011062 Nediyan Fania Rahmanediyanfania@gmail.com2023-02-17T01:07:01Z2023-02-17T01:07:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69434This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/694342023-02-17T01:07:01ZTinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan
(Studi Putusan Nomor 231/Pid.B/2021/PN.Gdt)
ABSTRAK
Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan
(Studi Putusan Nomor 231/Pid.B/2021/PN.Gdt)
Oleh ALFHARIAL
Penggelapan berdasarkan pada Pasal 374 Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) merupakan Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya akan barang itu disebabkan karena adanya suatu hubungan kerja atau karena mata pencarian atau mendapat upah. Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk menganalisis serta menjelaskan Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan (Studi Putusan Nomor 231/Pid.B/2021/PN.Gdt). Adapun permasalahan yang terdapat pada skripsi ini yaitu untuk mengetahui penerapan hukum pidana materill terhadap tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan juga untuk mengetahui serta memahami pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman dalam Putusan Nomor 231/Pid.B/2021/PN.Gdt, Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data pada penelitian ini diantarnya yaitu data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim yang memutus perkara yang telah diteliti pada Pengadilan Negeri Gedong Tataan.
Hasil dari penelitian dan pembahasan tersebut adalah: Didalam Penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku penggelapan tugas jabatan oleh majelis hakim. Terdakwa secara sah serta meyakinkan telah melakukan tindakan penggelapan yang diatur pada pasal 374 KUHP sudah tepat. Hal tersebut telah sesuai dengan fakta, bukti dan keterangan saksi di pengadilan. Terdakwa dalam keadaan baik jasmani dan rohani sehingga terdakwa dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan dan Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil putusan dalam Perkara No. 231/Pid.B/2021/PN.Gdt telah sesuai berdasarkan pertimbangan normatif dan sosiologis, yaitu dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah.
Kata kunci: Penggelapan, Tinjauan Yuridis, Hakim, Putus
ABSTRACT
Juridical Review of the Crime of Embezzlement in Office
(Study of Decision Number 231/Pid.B/2021/PN.Gdt)
By ALFHARIAL
According to Article 374 of the Criminal Code (KUHP), embezzlement is embezzlement committed by a person whose control of goods is due to a work relationship or livelihood or wages. The purpose of this research is to analyze and explain the Juridical Review of the Crime of Embezzlement in Office Study of Decision Number 231/Pid.B/2021/PN.Gdt). The problems in this thesis are knowing the application of material criminal law to the crime of embezzlement in office and finding out the legal considerations of the Panel of Judges in imposing punishment in Decision Number 231/Pid.B/2021/PN.Gdt, The problems in this thesis are to find out the application of material criminal law to the crime of embezzlement in office and also to know and understand the considerations of the Panel of Judges in imposing sentences in Decision Number 231/Pid.B/2021/PN.Gdt, Approach to the problem used in this study, namely normative juridical and empirical juridical approaches. Sources of data in this study include primary data and secondary data. The resource persons in this study were judges who decided cases that had been investigated at the Gedong Tataan District Court.
The results of the research and discussion are: In applying material criminal law against perpetrators of embezzlement of office assignments by a panel of judges. The defendant legally and convincingly committed the act of embezzlement as regulated in Article 374 of the Criminal Code. This is following the facts, evidence and testimony of witnesses in court. The defendant is in good physical and mental condition so that the mistake is considered capable of being responsible for the actions that have been committed what are the considerations of the judge in making a decision in Case No.231/Pid.B/2021/PN.Gdt based on normative and sociological considerations, namely by paying attention to tools valid evidence.
Keywords: Embezzlement, Juridical Review, Judge, Decision1952011038 ALFHARIAL2023-02-16T08:50:56Z2023-02-16T08:50:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69421This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/694212023-02-16T08:50:56ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN KAPAL BERBENDERA ASING DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN KAPAL BERBENDERA ASING DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG
Oleh
MARSUDI ANSYAH
Masyarakat internasional saat ini sedang menghadapi masalah yang paling serius dari kejahatan perompakan di laut. Saat ini, perampokan telah menghancurkan dan mengganggu proses pengiriman industri seluruh dunia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perampokan kapal berbendera Asing di wilayah hukum Polda Lampung dan faktor apa saja yang penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perampokan kapal berbendera Asing di wilayah hukum Polda Lampung.
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif dan yuridis empiris, narasumber dalam penelitian adalah Komandan TNI AL (Lanal) Lampung, Direktorat Polisi Polairud Polda Lampung dan Akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perampokan kapal berbendera Asing di wilayah hukum Polda Lampung sudah sesuai dengan peraturan mulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi tahap eksekusi semua sudah dilaksanakan dengan baik dan tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Faktor yang cukup dominan menghambat penegakan hukum pidana perompakan kapal berbendera asing di wilayah hukum Polda Lampung adalah faktor sarana dan fasilitas serta faktor aparat penegak hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan. (2) Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengamanan di sekitar perairan perbatasan di laut Indonesia dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak aparat negara-negara yang ada di perbatasan. (3) Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana perompakan ini lebih di tingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.
ABSTRACT
CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST THE CRIMINAL ACT OF ROBBERY OF FOREIGN-FLAGGED VESSELS IN THE JURISDICTION OF THE LAMPUNG
REGIONAL POLICE
By
MARSUDI ANSYAH
The international community is currently facing the most serious problem of the crime of piracy at sea. At present, the robbery has destroyed and disrupted the shipping process of the entire world industry. The problem in this study is how is the enforcement of criminal law against the criminal act of robbery of foreign- flagged vessels in the jurisdiction of the Lampung Regional Police and what factors hinder the enforcement of criminal law against the criminal act of robbery of foreign-flagged vessels in the jurisdiction of the Lampung Regional Police.
The problem approach that will be used in this study is juridically normative and empirically juridical, the resource persons in the study are the Commander of the Indonesian Navy (Lanal) Lampung, the Polairud Police Directorate of the Lampung Regional Police and Academics at the Faculty of Law, University of Lampung.
The results showed that criminal law enforcement against the criminal act of robbery of foreign-flagged ships in the jurisdiction of the Lampung Regional Police was in accordance with regulations starting from the formulation stage, the application stage of the excesses stage has all been carried out properly and precisely in accordance with existing laws and regulations. The dominant factor hindering the enforcement of the criminal law on the pumping of foreign-flagged vessels in the jurisdiction of the Lampung Regional Police is the facilities and facilities factor as well as the law enforcement officer.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan. (2) Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengamanan di sekitar perairan perbtaasan di laut Indoonesia dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak aparat negara-negara yang ada di perbatasan. (3) Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana perompakan ini lebih di tingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.
1952011014 Marsudi Ansyahansyahmarsudi.@gmail.com2023-02-15T02:09:08Z2023-02-15T02:09:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69264This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692642023-02-15T02:09:08ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA EKSIBISIONISME OLEH GURU
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Singkawang
Nomor:40/Pid.Sus/2021/PN SKW)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan
hakim dalam kasus tindak pidana eksibisionisme yang dilakukan oleh guru
sebagaimana putusan Nomor 40/Pid.Sus/2021/PN Skw. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan serta
mengetahui aspek keadilan substantif dalam putusan hakim Nomor
40/Pid.Sus/2021/PN Skw terhadap tindak pidana eksibisionisme oleh guru. Dalam
melakukan analisa hukum, peneliti menggunakan teori dasar pertimbangan hakim
dan teori keadilan substantif.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis empiris dengan cara
meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung. Sumber
dan jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak yang menjadi
narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode
pengumpulan data melalui studi kepustakaan, identifikasi data sekunder,
inventrasi data yang relevan dengan rumusan masalah, dan pengkajian data.
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim pada putusan Nomor
40/Pid.Sus/2021/PN Skw didasari atas pertimbangan yuridis, yaitu terpenuhinya
unsur Pasal 36 jo. Pasal 10 UU Nomor 44 Tahun 2008 serta tidak terdapat alasan
pemaaf. Pertimbangan sosiologis, yaitu didasari oleh hal-hal yang meringankan
atau memberatkan terdakwa, yang mana salah satunya adalah terdakwa berprofesi
sebagai guru serta terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Pertimbangan
filosofis di mana pemidanaan kepada terdakwa sebagai upaya dalam memenuhi
rasa keadilan kepada korban dan masyarakat. Selain itu, dari hasil analisa
menunjukkan bahwa keempat indikator penentu keadilan substantif menunjukan
hasil yang positif maka keadilan substantif telah terpenuhi atau terlukis dalam
putusan tersebut. Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini yaitu sanksi
tindakan dengan cara memberikan pemulihan, rehabilitasi medis kejiwaan
seharusnya juga diberikan kepada terdakwa mengingat terdakwa mengalami
gangguan perilaku parafilia yaitu exibisionisme fetishisme. Selain itu,
terpenuhinya
Kata
kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Eksibisionisme,
Oleh Guru
M.YUDHA BHAKTI K18120112642023-02-14T03:19:22Z2023-02-14T03:19:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69248This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692482023-02-14T03:19:22ZIMPLEMENTASI KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBERIAN TUNTUTAN REHABILITASI TERHADAP PELANGGAR PASAL 127 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKATindakan yang paling penting terhadap pelanggar Pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika atau bisa disebut
sebagai penyalahguna narkotika adalah dengan menjatuhkan sanksi rehabilitasi.Penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana Narkotika.
Pemberian sanksi berupa rehabilitasi agar bisa terlaksana sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang narkotika maka kuncinya adalah di Jaksa penuntut umum. Dalam hal ini Jaksa selaku penuntut umum dapat memberikan tuntutan berupa rehabilitasi terhadap pelanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan catatan bahwa tersangka merupakan korban penyalahguna narkotika dan juga pecandu namun dalam pelaksanaanya apakah dalam pemberian tuntutan terhadap pecandu ataupun korban penyalahguna narkotika sudah sesuai, semua itu tergantung dalam pelaksanaan tiap tahapan sistematis yang sesuai pula dengan proses peradilan pidana. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana.pelaksanaan kewenangan Jaksa dalam pemberian tuntutan berupa rehabilitasi terhadap pelanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan memahami apa saja faktor penghambat dalam pelaksanaan tuntutan berupa rehabilitasi yang dilakukan oleh Jaksa terhadap pelanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tujuan diharapkan dengan memahami faktor penghambat tersebut maka generasi yang akan datang dapat membenahinya. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan narasumber Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Jaksa Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Jaksa selaku penuntut umum sebelum memberikan tuntutan rehabilitasi kepada pecandu narkotika ataupun korban penyalahguna narkotika akan dibentuk sebuah tim yang disebut tim asesmen terpadu yang beranggotakan Jaksa selaku tim hukum kemudian Dokter selaku tim medis yang bertujuan untuk memeriksa kebenaran apakah tersangka yang akan
dituntut benar merupakan pecandu maupun korban penyalahguna narkotika. Namun dalam pelaksanaannya sering kali hasil asesmen diragukan, hal tersebut disebabkan hasil asesmen yang keluar dalam waktu singkat.
Faktor-faktor penghambat dalam melakukan tuntutan rehabilitasi salah satunya seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hasil asesmen untuk bisa diberikan tuntutan rehabilitasi terhadap pecandu atau korban penyalahguna narkotika dapat dikeluarkan dalam waktu singkat. Hal tersebut menjadi penghambat sebab keakuratannya dalam pembuktian untuk menyatakan bahwa tersangka benar merupakan pecandu narkotika ataupun korban penyalahguna narkotika. untuk membuktikan apakah seseorang benar pecandu narkotika perlu diawasi dan dipantau yang mana hal tersebut tidak mungkin
dapat dilakukan dalam waktu singkat sehungga apabila dalam waktu singkat telah keluar hasil asesmen maka hasil tersebut tingkat kebenarannya masih perlu diuji kembali atau dipertanyakan.Saran dalam penelitian ini adalah agar tuntutan Jaksa dalam memberikan sanksi berupa rehabilitasi terhadap pecandu ataupun korban penyalahgunaan narkotika diterima oleh Hakim dan terlaksana dengan baik maka perbaiki dari melakukan asesmen. Pemantauan yang dilakukan untuk bisa membuktikan seorang tersangka merupakan pecandu atau korban penyalahguna narkotika tidak cukup dilakukan dalam waktu satu minggu sehingga diperlukannya waktu setidaknya satu bulan untuk memeriksa apakah benar tersangka tersebut merasa ketergantungan dan sejauh mana tingkat ketergantungannya akan dinilai oleh Tim Dokter sehingga hasil asesmen akan akurat, dengan begitu argumen Jaksa akan kuat dan tidak akan ditolak oleh Hakim serta pelaksanaan rehabilitasi bagi korban penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika dapat terlaksana dengan baik.
Kata Kunci:Implementasi, Jaksa, Narkotika, Rehabilitasi.
Cinthya Mauly Debby 19120111572023-02-14T02:15:48Z2023-02-14T02:15:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69212This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692122023-02-14T02:15:48ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
RINGAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
(Studi Putusan PN Nomor: 327/Pid.Sus/2019 PNTJK) ABSTRAK
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA
RINGAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
(Studi Putusan PN Nomor 327/PID.SUS/2019 PNTJK)
Oleh
DWI FEBRIANI
Putusan PN Nomor: 327/Pid.Sus/2019 PNTJK menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dengan denda sebanyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang. Terdakwa telah mengeksploitasi secara seksual terhadap rekannya
(korban) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri. Kesenjangan yang terjadi
dalam putusan tersebut adalah hakim memberi sanksi yang lebih ringan dari tuntutan
yang diajukan oleh jaksa. Jaksa memberikan tuntutan kepada pelaku yaitu pidana
penjara 5 (lima) tahun dengan denda sebanyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dengan subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Permasalahan penelitian yaitu:
Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana ringan terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang pada putusan tersebut, Apakah putusan
tersebut sudah sesuai dengan keadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris dengan sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Narasumber
penelitian adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana pada putusan PN Nomor 327/Pid.Sus/2019 PNTJK secara yuridis adalah
perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Secara filosofis
mempertimbangkan agar putusan yang dijatuhkan dapat membina terdakwa agar
menjadi pribadi yang lebih baik serta hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan di
masyarakat. Secara sosiologis mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan
memberatkan bagi terdakwa.
Dwi Febriani
Dalam memutus perkara tersebut memiliki alasan yang kuat yaitu hakim
mempertimbangkan peran pelaku dalam tindak pidana tersebut sehingga hakim telah
menjatuhkan pidana seadil-adilnya terhadap terdakwa berdasarkan rasa keadilan,
prinsip Ketuhanan Yang Mahasa Esa, dan telah sesuai dengan ketentuan UndangUndang
yang
berlaku.
Saran dalam penelitian ini adalah: Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat
ringannya pidana sehingga dalam putusan tersebut diharapkan mempertimbangkan
faktor-faktor yang dapat memberikan dampak jera terhadap terdakwa karena
penjatuhan pidana ringan tidak dapat menjamin terdakwa atau masyarakat menyesal
atau perbuatannya. Diharapkan sanksi yang telah ditetapkan oleh hakim pada putusan
tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi terdakwa maupun masyarakat. Serta hakim
wajib untuk selalu melihat nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat agar
putusan yang ditetapkan memberi rasa keadilan bagi setiap pihak.
Kata kunci : Pertimbangan, Penjatuhan, Pelaku, Perdagangan.
ABSTRACT
BASIC CONSIDERATIONS OF JUDGES IN CRIMINAL IMMEDIATES
BRIGHT AGAINST THE CRIMINAL
TRAFFICKING IN PEOPLE
(Review of PN Decision Number 327/PID.SUS/PNTJK of 2019)
Written by:
DWI FEBRIANI
District Court Decision Number: 327/Pid.Sus/2019 PNTJK imposed a prison sentence
of 3 (three) years and 6 (six) months with a fine of Rp120,000,000.00 (one hundred and
twenty million rupiah) with the provision that if the fine is not paid imprisonment for 1
(one) month against the perpetrators of the crime of trafficking in persons. The
defendant has sexually exploited his partner (victim) with the intention of benefiting
himself. The discrepancy that occurred in the decision was that the judge gave a lighter
sanction than the demands put forward by the prosecutor. The prosecutor charged the
perpetrator with imprisonment for 5 (five) years and a fine of Rp120,000,000.00 (one
hundred and twenty million rupiah) with a subsidiary of 1 (one) month in prison. The
research problem is: What is the basis for the judge's consideration in imposing a light
sentence on the perpetrator of the crime of trafficking in persons in the decision, is the
decision in accordance with justice.
The research method used is a normative juridical and empirical juridical approach
with primary, secondary and tertiary legal sources. The research sources were
Tanjung Karang District Court Judges, Bandar Lampung District Prosecutors, and
Lecturers in the Criminal Law Department of the Faculty of Law, University of
Lampung.
The results of the study show that the basis for the judge's consideration in imposing a
sentence on the PN decision No. 327/Pid.Sus/2019 PNTJK juridically is that the
defendant's actions are legally and convincingly proven to have committed a crime as
stipulated in Article 2 Paragraph (1) of Law Number 21 2007 concerning the
Eradication of the Crime of Trafficking in Persons. Philosophically considering that
the decision handed down can foster the accused to become a better person and the
judge must explore the values of justice in society. Sociologically consider mitigating
and aggravating circumstances for the defendant.
Dwi Febriani
In deciding the case, there are strong reasons, namely the judge considers the role of
the perpetrator in the crime so that the judge has sentenced the defendant in the fairest
way possible based on a sense of justice, the principle of Belief in One Almighty God,
and in accordance with the provisions of the applicable law.
Suggestions in this study are: The judge has the freedom to determine the severity of
the sentence so that the decision is expected to consider factors that can have a
deterrent effect on the defendant because the imposition of a light sentence cannot
guarantee that the defendant or the public will regret their actions. It is hoped that the
sanctions that have been determined by the judge in the decision can be a lesson for
the defendant and the community. And the judge is obliged to always see the values
that grow and develop in society so that the decisions made give a sense of justice for
each party.
Keywords: Judgment, Drop, Actor, Trade.
Febriani Dwi 19120111872023-02-14T02:10:49Z2023-02-14T02:10:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69210This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692102023-02-14T02:10:49ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERUNDUNGAN
DI DUNIA MAYA (CYBERBULLYING)
(Studi di Kepolisian Daerah Lampung)
ABSTRAK
UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERUNDUNGAN
DI DUNIA MAYA (CYBERBULLYING)
Oleh
ROSA DAMAYANTI
Cyberbullying atau perundungan di dunia maya merupakan tindak
intimidasi, mempermalukan, penghinaan, atau pelecehan yang disengaja melalui
internet. Dampak dari cyberbullying serupa dengan rundungan (penindasan)
langsung. Bahkan, efeknya bisa lebih berat bila aksi ini dilakukan terus-menerus
oleh banyak orang dari berbagai latar belakang. Maka dari itu diperlukan
penanggulangan kejahatan baik secara penal maupun non-penal untuk
menanggulangi kejahatan cyberbullying ini.
Metode penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris dengan tipe
penelitian deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh dengan cara wawancara dan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang selanjutnya
dianalisis secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini ialah pada kejahatan cyberbullying, upaya penal
yang dilakukan ialah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice.
Pada upaya-non penal, kepolisian menggunakan pendekatan ilmiah dan
pendekatan pendidikan moral melalui sosialisasi ke lembaga-lembaga pendidikan
mengenai cyberbullying dan etika dalam bersosial media.
Dalam melaksanakan upaya penal, pihak kepolisian wajib memperhatikan
semua data dan bukti pada kasus yang ada. Sehingga kepolisian dapat melakukan
langkah yang tepat dalam memproses kejahatan cyberbullying yang telah terjadi.
Selain itu, pihak kepolisian, dinas-dinas terkait, termasuk di dalamnya seluruh
masyarakat sebaiknya menjadikan isu cyberbullying menjadi isu bersama untuk
ditanggulangi dan diperangi secara bersama-sama, sehingga muncullah inisiatif
dan kegiatan pencegahan cyberbullying di Provinsi Lampung.
Kata kunci: Cyberbullying, Penanggulangan Kejahatan, Penal dan Non-Penal
ABSTRACT
CRIME PREVENTION OF CYBERBULLYING
Written by:
ROSA DAMAYANTI
Cyberbullying is intentional intimidation, humiliation, humiliation, or
harassment via the internet. The impact of cyberbullying is similar to direct
bullying. In fact, the effect can be even more severe if this action is carried out
continuously by many people from various backgrounds. Therefore it is necessary
to overcome crime both penal and non-penal to tackle this cyberbullying crime.
This research method is normative-empirical research with descriptive
research type. The data used in this study are primary data obtained by means of
interviews and secondary data consisting of primary legal materials, secondary
legal materials, and tertiary legal materials which are then analyzed qualitatively.
The result of this research is on the crime of cyberbullying, penal efforts
are carried out based on Law Number 11 of 2008 concerning Information and
Electronic Transactions (UU ITE) and the Criminal Code (KUHP) using a
Restorative Justice approach. In non-penal efforts, the police use a scientific
approach and a moral education approach through outreach to educational
institutions regarding cyberbullying and ethics in social media.
In carrying out penal efforts, the police must pay attention to all data and
evidence in existing cases. So that the police can take the right steps in processing
cyberbullying crimes that have occurred. In addition, the police, related agencies,
including the entire community, should make the issue of cyberbullying a common
issue to be tackled and fought together, so that cyberbullying prevention
initiatives and activities emerge in Lampung Province.
Kata kunci: Cyberbullying, Crime Prevention, Penal and Non-Penal. Damayanti Rosa 18120110832023-02-14T02:08:15Z2023-02-14T02:08:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69209This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692092023-02-14T02:08:15ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERJUDIAN YANG DILAKUKAN SECARA
BERSAMA-SAMA MELALUI MEDIA GAME
(Studi Putusan Nomor : 7/Pid.B/2022/PN. Tjk)Terlihat pada putusan Nomor : 7/Pid.B/2022/PN. Tjk, bahwa terdapat para terdakwa
melakukan tindak pidana perjudian melalui media game. Permasalahan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana perjudian yang dilakukan secara bersama-sama melalui
media game dan Apakah putusan PN Tanjung Karang Nomor. 7/Pid.B/2022/PN. Tjk
terhadap pelaku tindak pidana perjudian telah memenuhi keadilan substantif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Kemudian data
tersebut dipelajari dan dianalisis yang kemudian disebut sebagai bahan hukum. Data
yang telah diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dengan
penentuan narasumber yaitu Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen
Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam putusan perkara Nomor :
7/Pid.B/2022/PN. Tjk yaitu bahwa Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana perjudian yang dilakukan secara bersama-sama melalui media game
telah memenuhi pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan actus reus dan
mens rea dan telah memenuhi rasa keadilan, dikarenakan Majelis Hakim sudah
mempertimbangan dan mengukur secara seksama dalam menimbang putusan ini.
Menurut beberapa pakar, hakim merupakan perwakilan tangan tuhan, maka tiap-tiap
putusan yang dijatuhkan hakim kepada para terdakwa merupakan hasil musyawarah
yang ditentukan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
Adapun saran dalam penulisan ini jika dilihat dari segi masyarakat, hendaknya
masyarakat lebih bijak dalam menggunakan media game dengan tidak
menyalahgunakan game sebagai media untuk melakukan tindak pidana perjudian dan dapat melaporkan apabila terdapat tindak pidana perjudian kepada aparat penegak
hukum, serta dilihat dari segi pihak Kepolisian, Jaksa, Hakim serta Advokat sebagai
bahan masukan dalam penegakan hukum tindak pidana perjudian, agar
memaksimalkan potensi perundang-undangan dan fasilitas yang ada untuk dapat
menegakkan hukum, terutama terhadap tindak pidana perjudian.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban pidana, Perjudian, Media Game.Verian Kasmara Jeffry 19520110622023-02-14T01:55:13Z2023-02-14T01:55:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69205This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692052023-02-14T01:55:13ZIMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
RAHMA DINI
Peran Whistle Blower sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. Namun resiko yang mereka hadapi juga besar ketika mengungkap kejahatan, mulai dari ancaman keamanan hingga dikeluarkan dari instansi tempat mereka bekerja. Sehingga pelapor penting untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara. Dalam kasus belakangan ini banyak saksi pelapor yang menarik laporan atau kesaksiannya karena adanya ancaman dan intimidasi dari pihak terlapor.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris, Data diperoleh melalui studi kepustakaan dan melalui wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap narasumber yang telah ditentukan. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian menggunakan metode analisis kualitatif.
Dari hasil analisis masalah dapat disimpulkan pertama, Perlindungan hukum terhadap Whistle Blower di Kota Bandar Lampung sudah di implementasikan dengan sangat baik, Pihak Inspektorat, Polda dan LPSK telah bersinergi dalam melakukan perlindungan hukum terhadap para pelaku Whistle Blower. Banyak kerja nyata yang telah dilakukan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi Whistle Blower salah satunya ialah dengan menghadirkan Whistle Blower System yang membuat para Whistle Blower dapat dengan leluasa melakukan pengaduan tanpa rasa takut serta Identitas merekapun sudah dipastikan terjaga. Pihak Polda dan LPSK pun bersinerja dengan baik dalam melakukan tugasnya untuk melindungi para Whistle Blower sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku. Hambatan dalam implementasi perlindungan hukum terhadap Whistle Blower di kota Bandar Lampung ialah perihal kesadaran masyarakat dan kurang pahamnya mereka terkait perlindungan hukum terhadap Whistle Blower, dan kurangnya cabang LPSK ke daerah juga menjadi faktor penghambat dalam pemberian perlindungan
Rahma Dini
hukum terhadap para Whistle Blower hal ini menyebabkan pengawasan menjadi lambat dan tidak efisien.
Saran dalam penelitian ini adalah perlu dilakukannya sosialisasi mengenai perlindungan hukum bagi saksi dan korban kepada khalayak ramai sehingga mereka tidak merasa takut atau tertekan lagi dalam mengungkap suatu kasus yang mereka ketahui.
Kata kunci: Implementasi, Perlindungan Hukum, Whistleblower
1912011369 RAHMA DINIrahma.dini136919@students.unila.ac.id2023-02-14T01:47:10Z2023-02-14T01:47:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69203This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/692032023-02-14T01:47:10ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN INVESTASI ONLINE BINOMOPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana investasi bodong. Investasi bodong merupakan suatu bentuk kejahatan yang dimana akan diminta sejumlah uang untuk menanamkan modal dalam produk atau bisnis, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah upaya perlindungan hukum terhadap korban investasi online melalui binomo apabila ditinjau dalam hukum posiif di negara Indonesia dan faktor penghambat dalam memberikan perlindungan hukum kepada korba investasi online.
Metode penelitian untuk pendekatan masalah menggunakan yuridis normative dan yuridis empiris dengan di bantu dengan data primer dan data sekunder. Narasumber penelitian terdiri dari kepala unit II subdit cyrber crime ditreskrimsus polda lampung, kepala bagian pengawasan bank otoritas jasa keuangan, satu ketua Yayasan lembaga perlindungan konsumen lampung, dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi Pustaka dan studi lapangan serta pengolahan data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan mengenai perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana investasi online menjadi dua macam yaitu; Perlindungan hukum preventif yaitu pihak dari kepolisian, otoritas jasa keuangan dan yayasan lembaga perlindungan konsumen lebih mengedepankan proses pencegahan sebelum tindak pidana tersebut terjadi, yaitu dapat berbentuk penyuluhan hukum terkait investasi bodong, dan perlindungan hukum represif yaitu dengan melakukan proses hukum acara pidana yang berlaku demi mewujudkan cita-cita hukum sendiri. Peraturan mengenai investasi online secara umum terdapat dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Faktor yang menghambat dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban investasi online melalui binomo, berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis yaitu Faktor masyarakat karena dalam kalangan masyarakat masih kurangnya tentang pemahaman investasi, Faktor sarana dan fasilitas masih terdapat kekurangan dari segi sistem dan teknologi yang digunakan dalam mencari pelaku dan aliran dana berkenaan dengan investasi bodong, Faktor hukum karena sampai saat ini belum ada yang mengatur secara khusus mengenai investasi online, Faktor aparat penegak hukum dilihat dari dua variable yaitu kualitatif masih sedikit sdm penegak hukum yang mengerti dalam bidang ITE dan kuantitatif jumlah aparat penegak hukum yang berkaitan dengan ITE jumlahnya belum sesuai dengan daftar susunan personel atau bisa di bilang masih kurang, Faktor budaya di dalam faktor ini masih banyak masyarakat yang ingin kaya dengan instan atau tamak tetapi tidak melihat resikonya tinggi.
Rekomendasi peneltian ini adalah untuk lembaga yang menangani masalah investasi bodong ini antara lain Kepolisia Daerah Lampung, Otoritas Jasa keuangan dan Yayasan lembaga Konsumen Indonesia agar dapat memaksimalkan upaya perlindungan hukum preventif dan represif dan meminimalisasikan faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum dalam penegakan hukum, serta memperjelas pengaturan atau regulasi mengenai tindak pidana investasi online dan upaya hukum yang diaturnya. Sehingga aparat penegak hukum dapat meningkatkan perannya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Investasi online
IQBAL MUHAMMAD19520111012023-02-14T01:37:53Z2023-02-14T01:37:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69196This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691962023-02-14T01:37:53ZURGENSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LELAKI DEWASA SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI ASAS PERSAMAAN KEDUDUKAN DI DALAM HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan asas persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) terhadap lelaki dewasa sebagai korban tindak pidana perkosaan serta perlindungan hukum terhadap lelaki dewasa yang menjadi korban perkosaan. Dalam melakukan analisa hukum, peneliti menggunakan teori asas persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan teori perlindungan hukum.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data antara lain terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak yang menjadi narasumber yaitu Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa asas persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 terhadap lelaki dewasa sebagai korban tindak pidana perkosaan belum terimplementasi di dalam Pasal 285 KUHP sebagaimana pasal tersebut merupakan dasar pengaturan perkosaan di Indonesia. Selanjutnya, merumuskan pasal pemerkosaan netral gender menjadi upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada lelaki dewasa korban tindak pidana perkosaan.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah diharapkan agar para pembentuk peraturan perundang-undangan dalam merumuskan kebijakan, khususnya merumuskan pasal tindak pidana pemerkosaan memperhatikan asas persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law) serta hendaknya segera mengesahkan pasal pemerkosaan netral gender sebagaimana pada Bagian III Pasal 473 ayat (1) RUU KUHP selaku ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan di masa mendatang dengan harapan ketika rancangan tersebut disahkan sebagai ius constitutum atau hukum yang telah ditetapkan (hukum positif) dapat melindungi lelaki dewasa sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, baik secara preventif maupun represif.
Kata Kunci: Urgensi, Perlindungan Hukum, Lelaki Dewasa Korban PerkosaanCesariskia Fasya Annisa 19120112882023-02-13T07:30:50Z2023-02-13T07:30:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69154This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691542023-02-13T07:30:50ZANALISIS PERAN HAKIM ANAK DALAM DIVERSI PADA KASUS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)
ABSTRAK
ANALISIS PERAN HAKIM ANAK DALAM DIVERSI PADA KASUS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)
Oleh
Fairuz Adhytia Salsabila
Perkara anak telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menghadirkan konsep diversi dan Restorative Justice yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi untuk menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak dalam sistem peradilan pidana. Namun pada faktanya, diversi yang pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA tidak semua kasus anak penyalahguna narkotika dilaksanakan upaya diversi oleh hakim anak, masih terdapat banyak hambatan dalam proses pelaksanaannya. Hambatan yang hadir menyebabkan upaya diversi belum dapat dioptimalisasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah peran hakim anak dalam penerapan diversi serta apakah faktor penghambat peran hakim anak dalam memberikan upaya diversi pada kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak.
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Adapun sumber data yang digunakan adalah hasil dari wawancara dengan informan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, serta data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan lainnya dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran hakim anak dalam penerapan diversi meliputi peran normatif yaitu peranan yang dilakukan oleh hakim anak terkait dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Fairuz Adhytia Salsabila Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, PERMA Nomor 4 Tahun 2014, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Peran Faktual yaitu peranan hakim anak dalam mengupayakan pemberian diversi tidak hanya dilihat dari peran normatifnya saja atau adanya undang- undang, melainkan hakim anak juga mengupayakan diversi berdasarkan kesepakatan yang terjadi antara pihak korban maupun pelaku dengan melakukan musyawarah bersama pihak-pihak terkait agar terjadi kesepakatan diversi, dan peran ideal seorang hakim anak dalam melaksanakan upaya diversi pada kasus tindak pidana anak tetap harus berdasar pada undang-undang yang ada tetapi disamping itu hakim juga harus tetap melihat fakta yang ada mengenai bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara anak.
Faktor penghambat pelaksanaan peran hakim anak dalam diversi terletak pada faktor penegak hukumnya yaitu adanya perbedaan persepsi antara penegak hukum mengenai aturan dalam Pasal 7 UU SPPA dan Pasal 3 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA. Selain itu, kurangnya sarana dan fasilitas ruang konferensi khusus pelaksanaan diversi yang menunjang suasana kekeluargaan, minimnya jumlah hakim anak, juga kurangnya sarana ruang tunggu yang ramah anak. Selanjutnya dari faktor masyarakat, yaitu adanya respon negatif dari masyarakat terkait upaya penyelesaian perkara anak melalui jalur diversi oleh aparat penegak hukum karena masih melekatnya paradigma yang mengharuskan bahwa setiap perbuatan pidana yang timbul harus dijatuhi hukuman pidana. Faktor penghambat terakhir yakni faktor kebudayaan, masyarakat yang ada cenderung memiliki budaya kurang baik mengenai anggapan kasus perkara pidana anak hanya bisa diselesaikan apabila adanya sejumlah uang atau berupa sogokan.
Kata Kunci: Diversi, Peran Hakim Anak, Narkotika.
1912011080 Fairuz Adhytia Salsabilaadhytiasalsabila15@gmail.com2023-02-13T06:47:39Z2023-02-13T06:47:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69177This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691772023-02-13T06:47:39ZKAJIAN KRIMINOLOGI KEJAHATAN PENYEBARAN DATA PRIBADI (DOXING) MELALUI MEDIA SOSIALABSTRAK
KAJIAN KRIMINOLOGI KEJAHATAN PENYEBARAN DATA PRIBADI (DOXING) MELALUI MEDIA SOSIAL
Oleh
Cindi Novita Putri
Salah satu bentuk kejahatan berbasis internet (cyber crime) adalah penyebaran data pribadii (doxing). Doxing didefinisikan sebagai sebuah tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi dan data pribadi secara publik terhadap seseorang individu atau organisasi. Regulasi mengenai pelanggaran privasi seperti kejahatan doxing dibahas dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksasi Elektronik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kajian kriminologi kejahatan penyebaran data pribadi (doxing) melalui media sosial dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan penyebaran data pribadi (doxing) melalui media sosial.
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan empiris dan normatif. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Narasumber dalam penelitian ini adalah Penyidik Unit Cyber Crime Polda Lampung, Akademisi Fakultas Hukum dan Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa kajian kriminologi terdiri dari: kejahatan doxing yang merupakan kejahatan yang melanggar hukum pidana karna telah diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Pelaku kejahatan doxing juga memiliki beberapa motif, yaitu antara lain motif kompetitif, motif balas dendam, motif keadilan, dan motif politik. Objek kriminologi yang terakhir yaitu reaksi masyarakat terhadap kejahatan doxing yang dapat bersifat formal, informal dan nonformal. Upaya penanggulangan kejahatan doxing meliputi upaya penal (represif) yang menitikberatkan pada pelaku doxing untuk dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan juga terdapat upaya nonpenal (preventif) yang dilakukan dengan cara membina masyarakat agar tidak menjadi pelaku ataupun korban doxing.
Cindi Novita Putri
Saran dari penelitian ini agar kajian kriminologi kejahatan doxing dapat memberikan pemahaman mengenai gejala kejahatan doxing seluas-luasnya dan lebih mendalam agar dapat menekan angka kejahatan doxing yang marak terjadi dan dalam upaya penanggulangan kejahatan khususnya melalui upaya penal (represif) diharapkan dapat dilaksanakan kriminalisasi mengenai kejahatan doxing. Sedangkan, upaya penanggulangan kejahatan doxing melalui sarana non penal (preventif) diharapkan agar aparat penegak hukum dapat bekerja sama dengan seluruh pihak terkait dalam melakukan pencegahan atau pemberantasan kejahatan doxing.
Kata Kunci : Kriminologi, Doxing, Media.
1912011179 Cindi Novita Putricindynovitaputri@gmail.com2023-02-13T04:22:41Z2023-02-13T04:22:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69144This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691442023-02-13T04:22:41Z
SEKSUAL CONSENT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DAN URGENSINYA DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
ABSTRAK
SEKSUAL CONSENT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DAN URGENSINYA DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
Oleh
Dea Karisna
Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu usaha untuk melakukan reorientasi serta reformasi hukum sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofi, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Pemerintah di Indonesia sedang gencar melakukan pembaharuan hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual. Salah satunya dengan memasukan consent kedalam tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Seksual consent sendiri merupakan salah satu isu yang relatif baru dan banyak menuai polemik. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan pembahasan secara khusus mengenai pembaharuan hukum pidana terkait seksual consent dalam tindak pidana kekerasan seksual dan urgensinya di lingkungan perguruan tinggi, yang dimana isu tersebut penulis angkat menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk memaknai eksistensi seksual consent dalam pembaharuan hukum pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual dan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual terkait seksual consent terkhusus di lingkungan perguruan tinggi.
Peneliti di dalam skripsi ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif didukung dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara mendalam dengan narasumber, yang terdiri atas dosen bagian hukum pidana, penyidik kepolisian, dan tim penyusun peraturan rektor. Dimana data yang digunakan adalah data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang masing-masing diperoleh dari lapangan dan kepustakaan, serta analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa eksistensi seksual consent dalam pembaharuan hukum pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia telah ada dan mengambil peran sebagai bagian dari kebijakan kriminal serta kebijakan sosial terutama di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia, yang dimana pada dasarnya pembaharuan hukum pidana memiliki tujuan sebagai
Dea Karisna
bagian dari usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan sosial serta memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan merupakan bagian dari usaha memperbaharui substansi hukum dengan tujuan mengefektifkan sistem penegakan hukum yang ada. Dengan memasukan consent ke dalam regulasi terkait tindak pidana kekerasan seksual, seperti dalam KUHP baru dan Permendikbudristekdikti Nomor 30 Tahun 2021 menimbulkan pembaharuan hukum pidana dari segi kebijakan kriminal. Peraturan yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia yaitu berupa permendikbud dan peraturan rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual telah mengakomodir persoalan mengenai consent atau persetujuan seksual tersebut. Sementara itu implementasi dari regulasi yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual telah mengakomodir perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual terkait seksual consent yang berupa perlindungan hukum represif maupun preventif dimana salah satunya berupa pembentukan satuan tugas yang ditujukan untuk menjadi garda terdepan dalam mengawasi dan mengantisipasi atau mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian skripsi ini adalah perlu adanya peran dari pemerintah untuk dapat lebih mengoptimalkan terkait kinerjanya dalam hal membentuk dan merumuskan suatu kebijakan pembaharuan hukum agar dapat lebih memperhatikan frasa yang dapat memicu multitafsir, hal tersebut ditujukan agar tidak terjadi kerancuan dalam pemahaman dan penafsiran. Selain dari itu perlu adanya peran dari aparat yang berwenang dan masyarakat luas untuk dapat bekerjasama dalam mengoptimalkan suatu kebijakan agar bisa berlaku dan berjalan sesuai seperti yang dicita-citakan.
Kata Kunci: Seksual consent, kekerasan seksual, pembaharuan hukum pidana
1912011265 Dea Karisnakarisnadea@yahoo.com2023-02-13T02:26:47Z2023-02-13T02:26:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69129This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691292023-02-13T02:26:47ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYEBARAN BERITA TIDAK LENGKAP YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN KEONARAN MELALUI MEDIA SOSIAL (Studi Putusan Nomor: 2/Pid.Sus/2021/PN Jkt Sel)Pengaturan mengenai tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) telah diatur dalam KUHP dan UU ITE. Pada perkara ini Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim masih menggunakan KUHP walaupun terdapat asas “Lex Specialis Derogat Legi Generali” serta menjatuhkan pidana lebih ringan yakni 10 (sepuluh) bulan bila dibandingkan dengan ancaman pidananya yakni 2 (dua) tahun. Permasalahan dalam skripsi ini yaitu apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyebaran berita tidak lengkap yang berpotensi menimbulkan keonaran melalui media sosial pada putusan Nomor: 2/Pid.Sus/2021/PN Jtk Sel dan apakah penjatuhan pidana terhadap tindak pidana penyebaran berita tidak lengkap yang berpotensi menimbulkan keonaran melalui media sosial dalam putusan Nomor: 2/Pid.Sus/2021/PN Jtk Sel sudah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada narasumber yang berhubungan dengan penelitian. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menyatakan bahwa dasar pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor: 2/Pid.Sus/2021/PN Jkt Sel terdiri dari pertimbangan yuridis memenuhi semua unsur Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana mengacu pada Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP yaitu minimal 2 (dua) alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa serta dikuatkan dengan barang bukti. Pertimbangan filosofis yaitu dalam menjatuhkan putusan berupa pidana penjara 10 (sepuluh) bulan mengharapkan terdakwa dapat memperbaiki perilaku dan tidak mengulangi perbuatannya kembali, namun seharusnya pasca operasi terdakwa tetap ditahan dan dilanjutkan kembali pidananya bukan meringankan hukumannya serta pertimbangan sosiologis yaitu hakim melihat latar belakang sosial terdakwa yang masih berada dalam perawatan dokter pasca operasi dan mempunyai tanggungan keluarga dan melihat bahwa putusannya memiliki manfaat bagi masyarakat untuk tidak mencontoh perbuatan terdakwa. Putusan yang dijatuhkan hakim pada Putusan Nomor: 2/Pid.Sus/2021/PN Jkt Sel sudah sesuai dengan fakta-fakta persidangan karena telah memenuhi syarat seseorang dapat dipidana sesuai Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP yaitu terdapat 2 (dua) alat bukti berupa 1 (satu) unit HP Samsung J5 warna biru, 1 (satu) buah flashdisk merk Toshiba berisi salinan akun twitter terdakwa. Dalam fakta-fakta persidangan terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana penyebaran berita tidak lengkap di akun twitternya @jumhurhidayat yang berpotensi menimbulkan keonaran di kalangan rakyat melalui media sosial.
Saran dalam penelitian ini hakim hendaknya menjatuhkan putusan secara maksimal karena putusan yang diberikan lebih ringan yakni 10 (sepuluh) bulan bila dibandingkan dengan ancaman pidana dalam Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yakni 2 (dua) tahun dan untuk seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diharapkan tidak dengan mudah membuat dan menyebarkan berita bohong (hoax), bisa lebih selektif dalam memilih berita yang ada di media sosial serta lebih berhati-hati terhadap berita yang bersifat provoaktif.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Berita Tidak Lengkap, Media Sosial.Diska Nabila Annisa 19120112972023-02-10T08:24:40Z2023-02-10T08:24:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69115This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691152023-02-10T08:24:40ZUPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN III YANG TERDAPAT PADA OBAT KOMIX
DI KALANGAN REMAJA
(Studi Kasus di Wilayah Polda Lampung)
ABSTRAK
UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN III YANG TERDAPAT PADA OBAT KOMIX
DI KALANGAN REMAJA
(Studi Kasus di Wilayah Polda Lampung)
Oleh
Balqis Amelia Mayangsari
Maraknya penyalahgunaan obat batuk Komix, dapat dilihat dari banyak ditemukannya bungkusan obat batuk tersebut ditempat yang biasa dijadikan tempat berkumpulnya remaja, ratusan bungkus obat batuk Komix saset ditemukan dalam bentuk kemasan. Obat batuk Komix digunakan dengan tujuan mabuk dan biasanya pada saat malam minggu, perayaan pesta pernikahan atau perayaan pesta lainnya. Narkotika Golongan III yang terdapat pada Pasal 122 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika golongan III yang terdapat pada obat Komix di kalangan remaja di wilayah Polda Lampung. Dan apakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika golongan III yang terdapat pada obat Komix di kalangan remaja di wilayah Polda Lampung.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Sekunder. Narasumber: Polisi pada Kepolisian Daerah Lampung, Kepala Bidang penyelidik, Pemberantsan, dan Rehabilitasi Narkotika BNN Provinsi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika golongan III yang terdapat pada obat Komix di kalangan remaja di wilayah Polda Lampung adalah dilakukan dengan beberapa upaya antara lain: Pre-emtif, merupakan langkah awal untuk pencegahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan mengadakan sosialisasi dan penyuluhan. Preventif, merupakan pencegahan secara nyata pun dilakukan oleh Kepolisian berupa razia kendaraan di daerah rentan tempat penyaluran dan peredaran gelap Narkotika. Upaya yang terakhir ialah Refresif, yang telah lalukan melalui beberapa tahapan yaitu penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, penahanan dan pemberkasan. Faktor penghambat upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika golongan III yang terdapat pada obat Komix di kalangan remaja di wilayah Polda Lampung adalah faktor masyarakat
Balqis Amelia Mayangsari
dan faktor keluarga yang dimana kurangnya pemahaman masyarakat terutama remaja, tentang bahaya narkoba serta faktor pergaulan dan lingkungan pertemanan.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dari pihak kepolisian dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas anggotanya agar dapat mengisi setiap ruang-ruang kosong yang berindikasi menjadi tempat peredaran barang haram tersebut melalui upaya penanggulangan tindak pidana dengan upaya represif. Selain itu, dalam upaya penanggulangan tindak pidana melalui upaya pre-emtif dan preventif dapat meningkatkan kerjasama dengan instansi keagamaan guna penguatan iman untuk seluruh lapisan masyarakat serta dapat lebih memperketat pengawasan, meningkatkan intensitas patroli secara konsisten serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Para remaja dihimbau untuk tidak menyalahgunakan obat komix karena menimbulkan dampak negatif. Kepada pemerintah setempat, masyarakat, serta orang tua dan pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintah dapat mengontrol para remaja yang menyalahgunakan obat komix di kalangan remaja dan disarankan agar menggunakan resep dokter pada saat mengkonsumsi obat tersebut. Serta Untuk menanggulangi tindak pidana narkotika, BNN mengutamakan pencegahan disemua lingkungan baik di instansi pemerintah, masyarakat, keluarga maupun organisasi, dan hampir disemua lingkungan tersebut sudah diberi pelatihan tentang bahaya narkotika.
Kata Kunci: Penanggulangan penyalahgunaan Narkotika, Obat Komix, Remaja.
1852011081 Balqis Amelia Mayangsaribalqisameliaa11@yahoo.com2023-02-10T06:59:28Z2023-02-10T06:59:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69102This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/691022023-02-10T06:59:28ZANALISIS KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA KEPOLISIAN DALAM MEMBANGUN KESIGAPAN MERESPON LAPORAN MASYARAKAT TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
(Studi di Kepolisian Sektor Pesisir Tengah Polres Lampung Barat)
ABSTRAK
ANALISIS KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA KEPOLISIAN DALAM MEMBANGUN KESIGAPAN MERESPON LAPORAN MASYARAKAT TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
(Studi di Kepolisian Sektor Pesisir Tengah Polres Lampung Barat)
Oleh
Rakhmad Wahyudi
Salah satu kejahatan adalah tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Pada umumnya tindak pidana curanmor ini pelakunya dikenakan pada Pasal 363 KUHP yakni pada pasal pencurian dengan pemberatan. Hal tersebut disebabkan karena para pelaku curanmor menggunakan alat bantu tambahan dalam melaksanakan aksinya dengan kunci T. Oleh karena itu, apabila hal ini terjadi segera melaporkan tindak pidana tersebut ke polisi. Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana kepolisian dalam membangun kesigapan merespon laporan masyarakat terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dan apakah faktor penghambat kebijakan penegakan hukum pidana kepolisian dalam membangun kesigapan merespon laporan masyarakat terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor.
Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode pendekatan normatif empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan proses pengumpulannya melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan penegakan hukum pidana kepolisian dilakukan melalui penegakan preventif dan represif yaitu kegiatan rutin yang ditingkatkan, patroli rutin, ronda malam dengan peran bhabinkamtibmas, memasang spanduk dan melakukan sosialisasi, merespon cepat laporan yang masuk, melakukan olah tempat kejadian perkara, memeriksa saksi, dan melakukan penangkapan. Namun tidak hanya itu kebijakan penegakan hukum pidana kepolisian dalam membangun kesigapan merespon laporan masyarakat terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor harus berpedoman terhadap undang – undang mengenai tugas, fungsi, dan wewenang dari kepolisian. Dalam hal tersebut polisi harus sigap dalam menerima laporan pengaduan dari
Rakhmad Wahyudi
masyarakat mengenai tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, mengetahui dengan sendiri sedang terjadi tindak pidana pada saat melakukan patroli rutin, dan peran serta masyarakat. Adapun dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut telah dilaksanakan secara rutin dan terjadwal dalam hal untuk menekan tindak pidana di wilayah hukum Polsek Pesisir Tengah. Sedangkan faktor penghambat kebijakan kepolisian meliputi kurangnya personel, kurangnya kemampuan personel, terlambatnya laporan, enggannya masyarakat melapor, barang hasil pencurian dijual terpisah, tidak meresponnya masyarakat, tidak bersedia masyarakat menjadi saksi, serta terkait dengan medan dan cuaca yang sulit. Berdasarkan hal tersebut memang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang sering dihadapi aparat kepolisian dilapangan.
Saran dalam penelitian ini adalah dengan kepolisian diharapkan membangun komunikasi dengan semua pihak kemasyarakatan dan kepolisian segera meningkatkan kemampuan personel serta melengkapi saranan fasilitas pendukung dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Kata Kunci : Kebijakan, Kesigapan, Pencurian Kendaraan Bermotor
1952011025 Rakhmad Wahyudirakhmad.w06@gmail.com2023-02-10T06:55:27Z2023-02-10T06:55:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69090This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690902023-02-10T06:55:27Z
KEPASTIAN HUKUM DAN KEJELASAN MASA TUNGGU WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
ABSTRAK
KEPASTIAN HUKUM DAN KEJELASAN MASA TUNGGU WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Oleh:
Adiansyah Surya Yudhistira
Terpidana mati yang telah melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan telah ditolak permohonan grasi, maka putusan mengenai pidana mati tidak dapat berubah kembali. Pada saat itu terpidana mati telah memenuhi persyaratan untuk segera dieksekusi demi mewujudkan kepastian hukum dari suatu proses penegakan hukum, namun dalam praktiknya terpidana mati harus dihadapkan pada persoalan masa tunggu eksekusi yang tidak jelas dan tidak mencerminkan kepastian hukum. Permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai kepastian hukum dan kejelasan masa tunggu waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia dan penanganan masa tunggu waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis normatif yang menggunakan data sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan didukung wawancara dengan narasumber pada penelitian ini terdiri dari Kepala Seksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi pada Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Lampung, Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, dan dua Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa kepastian hukum dan kejelasan masa tunggu waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan bahwa pidana mati menjadi pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati juga dapat dijatuhkan oleh Hakim dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun. Eksekusi pidana mati dapat dilaksanakan apabila permohonan grasi telah ditolak oleh Presiden. Lapas tidak
Adiansyah Surya Yudhistira
mewajibkan segala kegiatan-kegiatan yang ada di dalam Lapas bagi terpidana mati, walaupun pegawai Lapas tetap mengajak terpidana mati untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di dalam Lapas, apabila terpidana mati menolak, maka tidak ada paksaan bagi pegawai Lapas untuk mengajak terpidana mati melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan dalam mewujudkan kepastian hukum dan kejelasan masa tunggu waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia, negara Indonesia diharapkan mampu membuat peraturan yang jelas dan tegas mengenai batas waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Dan bagi para seluruh aparat penegak hukum, khususnya pegawai Lapas diharapkan benar dalam menjalankan tugasnya melakukan penanganan masa tunggu waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia, yakni dengan cara membina dan mengayomi terpidana mati sebagaimana mereka membina dan mengayomi narapidana biasa di dalam Lapas.
Kata Kunci : Kepastian Hukum, Masa Tunggu, Eksekusi, Pidana Mati
ABSTRACT
LEGAL CERTAINTY AND CLARITY WAITING PERIOD FOR DEATH CRIMINAL EXECUTIONS IN THE FRAMEWORK OF CRIMINAL LAW REFORM IN INDONESIA
By:
Adiansyah Surya Yudhistira
Death row convicts who have made extraordinary legal efforts for review and have been refused clemency, the decision regarding death penalty cannot be changed again. At that time, death row convicts had met the requirements to be executed immediately in order to create legal certainty from a law enforcement process, but in practice death row convicts had to be faced with the issue of waiting periods for execution which were unclear and did not reflect legal certainty. The problem in this thesis is regarding legal certainty and the clarity of the waiting period for the implementation of death penalty executions in the context of renewing criminal law in Indonesia and handling the waiting period for the implementation of death penalty executions in Indonesia.
The method used in this study is a normative juridical approach that uses secondary data. The data collection method used the literature study method and was supported by interviews with informants in this study consisting of the Head of the Section for Legal Efforts for Execution and Examination in the Special Crimes Division of the Lampung High Prosecutor's Office, Head of the Class I Penitentiary Development Division in Bandar Lampung, and two Lecturers of the Criminal Law Department at the Faculty of Law Lampung University. Data analysis was performed using qualitative analysis.
Based on the results of the research and discussion, it can be seen that legal certainty and clarity of the waiting period for the execution of capital punishment in the context of reforming criminal law in Indonesia is stipulated in Law Number 1 of
2023 concerning the Indonesian Criminal Code stipulates that capital punishment is a criminal offense are special and always threatened alternatively. Death penalty can also be imposed by a Judge with a probationary period of 10 (ten) years. Death penalty executions can be carried out if the President's application for clemency has been rejected. Correctional Institutions do not require death row convicts to carry out all activities in prison, even though prison staff still invite death row convicts to participate in activities in prison, if the death row convict refuses, then there is
Adiansyah Surya Yudhistira
no coercion for prison staff to invite death row convicts to carry out activities these activities.
Based on the results of the research and discussion, it is suggested that in realizing legal certainty and clarity of the waiting period for the implementation of death penalty executions in the context of renewing criminal law in Indonesia, the Indonesian state is expected to be able to make clear and firm regulations regarding the time limit for the execution of death penalty in Indonesia. And for all law enforcement officials, especially prison staff, it is hoped that they are right in carrying out their duties in handling the waiting period for the execution of death sentences in Indonesia, namely by fostering and protecting death row convicts as they foster and protect ordinary convicts in prisons.
Keywords: Legal Certainty, Waiting Period, Execution, Death Penalty
1952011019 Adiansyah Surya YudhistiraAdiansyahsuryay280701@gmail.com2023-02-10T04:24:11Z2023-02-10T04:24:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69086This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690862023-02-10T04:24:11ZPERANAN POLISI LALU LINTAS DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA OVER DIMENSION PADA KENDARAAN BERMUATAN BARANG
(Studi Wilayah Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Lampung)
ABSTRAK
PERANAN POLISI LALU LINTAS DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA OVER DIMENSION PADA KENDARAAN BERMUATAN BARANG
(Studi Wilayah Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Lampung)
Oleh
Oktri Sasmita Yudha
Tindak pidana Over Dimension adalah tindakan memodifikasi dimensi suatu kendaraan menjadi lebih besar dan melampaui ketentuan yang telah ditentukan. Meskipun sudah jelas dilarang oleh undang-undang, namun hingga saat ini masih kerap kali terlihat kendaraan Over Dimension berkeliaran bebas di jalanan sehingga perlu ditinjau lebih dalam mengenai sejauh mana peranan Polisi Lalu Lintas dalam berupaya menanggulangi tindak pidana Over Dimension. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peranan Polisi Lalu Lintas dalam penanggulangan tindak pidana Over Dimension pada kendaraan bermuatan barang dan apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan peranan Polisi Lalu Lintas dalam menanggulangi tindak pidana Over Dimension pada kendaraan bermuatan barang.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan proses pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Peranan yang dilakukan oleh Polisi Lalu Lintas meliputi peranan normatif, ideal, dan faktual. Peranan normatif adalah peranan Polisi Lalu Lintas yang terikat dengan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang terkait yaitu melakukan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas, melaksanakan operasi dan patroli lalu lintas untuk menjamin keamanan dan kelancaran lalu lintas, serta melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor terkait dengan fisik kendaraan. Peranan faktual dari Polisi Lalu Lintas yang terjadi di lapangan dapat dikatakan sudah sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam undang-undang namun belum sepenuhnya berjalan dengan semestinya karena pada faktanya Polisi Lalu Lintas memang sudah melakukan upaya-upaya penanggulangan seperti upaya represif dibuktikan dengan data dari Ditlantas Polda Lampung yang menunjukan sebanyak 157 kendaraan Over Dimension telah diberi sanksi tilang, serta upaya-upaya lain seperti upaya preventif
Oktri Sasmita Yudha
dan pre-emtif namun apabila dilihat dari peran normatifnya, masih ada beberapa kewajiban yang belum berjalan dengan semestinya seperti menentukan pelanggaran Over Dimension hanya berdasarkan pengelihatan secara kasat mata tanpa disertai pemeriksaan khusus terhadap fisik kendaraan. Peranan ideal dari Polisi Lalu Lintas diharapkan dapat dilakukan penyeimbangan antara upaya represif dengan preventif dan pre-emtif, tidak memberi izin jalan kepada pelanggar Over Dimension meski sudah mendapat sanksi tilang, dan lebih meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait. Faktor penghambat Polisi Lalu Lintas dalam meminimalisir pelanggaran Over Dimension meliputi sanksi yang terdapat dalam undang-undang dirasa kurang memberi efek jera kepada para pelanggar, kurangnya jumlah personil Kepolisian serta minimnya koordinasi dengan instansi terkait, kurangnya sarana/fasilitas dalam mendukung kinerja Polisi Lalu Lintas, kurangnya dukungan dari masyarakat serta minimnya pengetahuan masyarakat mengenai hukum, dan masyarakat serta Polisi Lalu Lintas itu sendiri cenderung memiliki kebiasaan yang kurang baik.
Saran dari penelitian ini adalah Polisi Lalu Lintas perlu melakukan pembenahan guna meningkatkan kinerja Polisi Lalu Lintas dalam menanggulangi suatu pelanggaran lalu lintas, sanksi pada undang-undang yang mengatur mengenai Over Dimension perlu dibuat lebih tegas guna memberi efek jera kepada pelanggar, sarana atau fasilitas pendukung perlu diperbaiki sebagai pendukung kinerja Polisi serta SDM dari masyarakat dan Polisi itu sendiri perlu lebih ditingkatkan.
Kata Kunci : Polisi Lalu Lintas, Over Dimension, Peranan
ABSTRACK
ROLE OF TRAFFIC POLICE IN COUNTING OVER DIMENSION CRIMINAL ACTION INVEHICLE LOADED WITH GOODS
(Study at Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Lampung)
By
Oktri Sasmita Yudha
Over Dimension crime is an act of modifying the dimensions of a vehicle to be bigger and beyond the specified conditions. Even though it is clearly prohibited by law, until now Over Dimensional vehicles are still often seen roaming freely on the streets so it needs to be examined more deeply about the extent of the role of the Traffic Police in trying to tackle Over Dimension crimes. The problem in this study is how is the role of the Traffic Police in overcoming the crime of Over Dimension in vehicles loaded with goods and what are the inhibiting factors in carrying out the role of the Traffic Police in tackling the crime of Over Dimension in vehicles loaded with goods.
The approach method used in this research is normative juridical and empirical juridical approaches. The data used in this study are primary data and secondary data with the data collection process carried out through library research and field studies.
The results of this study indicate that the role played by the Traffic Police includes normative, ideal and factual roles. The normative role is the role of the Traffic Police who are bound by their duties and authorities in accordance with relevant laws, namely taking action against traffic violations, carrying out traffic operations and patrols to ensure the safety and smoothness of traffic, and carrying out physical inspections of motorized vehicles. vehicle. The factual role of the Traffic Police that occurs in the field can be said to be in accordance with their duties, functions and authorities in the law but have not been fully implemented as they should because in fact the Traffic Police have indeed made countermeasures such as repressive efforts as evidenced by data from Lampung Regional Police Traffic Directorate, which shows that 157 Over Dimension vehicles have been given fines, as well as other efforts such as preventive and pre-emptive efforts but when viewed from their normative role, there are still several obligations that have not proceeded properly such as determining Over Dimension violations based solely on visible to
Oktri Sasmita Yudha
the naked eye without being accompanied by a special inspection of the physical vehicle. The ideal role of the Traffic Police is expected to be able to balance between repressive and preventive and pre-emptive efforts, not to give road permits to Over Dimension violators even though they have received fines, and to improve coordination with related agencies. The inhibiting factors for the Traffic Police in minimizing Over Dimension violations include the sanctions contained in the law which are deemed to have less of a deterrent effect on violators, the lack of number of Police personnel and the lack of coordination with related agencies, the lack of facilities/infrastructure to support the performance of the Traffic Police, the lack of support from the community and the lack of public knowledge about the law, and the community and the Traffic Police themselves tend to have bad habits.
Suggestions from this study are that the Traffic Police need to make improvements in order to improve the performance of the Traffic Police in tackling a traffic violation, sanctions on laws governing Over Dimension need to be made more stringent in order to give a deterrent effect to violators, supporting facilities or facilities need improved as a support for the performance of the police as well as human resources from the community and the police themselves need to be further improved.
Keywords : Traffic Police, Over Dimension, Role
1952011010 Oktri Sasmita Yudhaoktriisasmitaayudhaa@gmail.com2023-02-10T01:52:32Z2023-02-10T01:52:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69078This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690782023-02-10T01:52:32ZANALISIS PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
MELALUI KEADILAN RESTORATIF
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Lampung Selatan)
ABSTRAK
ANALISIS PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
MELALUI KEADILAN RESTORATIF
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Lampung Selatan)
Oleh
Nyoman Apriyanto
Penghentian penuntutan terhadap tindak pidana penganiayaan melalui keadilan restoratif merupakan kebijakan yang berdasarkan pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan ini dibuat untuk memberikan landasan bagi Penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif demi menggali nilai keadilan dalam masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan penghentian penuntutan oleh Penuntut Umum terhadap tindak pidana penganiayaan melalui keadilan restoratif dan apakah penghentian penuntutan oleh penuntut umum terhadap tindak pidana penganiayaan melalui keadilan restratif telah sesuai dengan pendekatan restorative justice.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa penghentian penuntutan oleh Penuntut Umum terhadap tindak pidana penganiayaan melalui keadilan restoratif telah terlaksana sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Penghentian Penuntutan sebelumnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 140 Ayat (2), namun tidak diatur secara jelas mengenai penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Dalam perkembangan hukum pidana maka dikeluarkanlah Kebijakan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Melalui kebijakan tersebut perkara pidana penganiayaan berhasil diselesaikan melalui proses upaya perdamaian dengan alasan telah memenuhi syarat-syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, yaitu, Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima tahun), dan kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut tidak
lebih dari Rp2.500.00,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), serta telah adanya kesepakatan antara pihak Tersangka dan Korban untuk melakukan perdamaian melalui musyawarah untuk mufakat tanpa adanya paksaan dan intimidasi dari pihak lain. Penghentian penuntutan oleh Penuntut Umum terhadap tindak pidana penganiayaan melalui keadilan restoratif pada Kejaksaan Negeri Lampung Selatan ini telah sesuai dengan pendekatan restorative justice, yaitu pada saat proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif telah melibatkan secara langsung Tersangka, Keluarga Tersangka, Korban, Keluarga Korban, Tokoh Masyarakat dan telah terjadi pemulihan kembali seperti pada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana ditandai dengan adanya kesepakatan untuk melakukan perdamaian antara Tersangka dan Korban, serta masyarakat merespon baik mengenai penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap tindak pidana penganiayaan tersebut.
Saran dari penelitian ini adalah pengaturan mengenai penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif perlu dicantumkan dalam ketentuan hukum pidana formil atau dapat dimasukan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) agar dasar hukum penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif lebih kuat dan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif menjadi terintegrasi antar aparat Penegak Hukum.
Kata Kunci: Penghentian Penuntutan, Keadilan Restoratif, Penganiayaan.
ABSTRACK
AN ANALYSIS OF THE TERMINATION OF PROSECTION BY THE PUBLIC PROSECUTOR OF THE CRIME OF PERSECUTION THROUGH RESTORATIVE JUSTICE
(Study at Kejaksaan Negeri Lampung Selatan) By
Nyoman Apriyanto
Termination of prosecution of criminal acts of persecution through restorative justice is a policy based on the Republic of Indonesia Prosecutor's Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice. This Prosecutor's Regulation was made to provide a basis for the Public Prosecutor in resolving criminal cases through restorative justice in order to explore the value of justice in society. The problem in this study is how is the implementation of the termination of prosecution by the Public Prosecutor of criminal acts of persecution through restorative justice and whether the termination of prosecution by public prosecutors of criminal acts of persecution through restrative justice is in accordance with the restorative justice approach.
The approach method used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach, emphasizing the study of the rule of law, and the data used are secondary data and primary data. Data collection was carried out by library research and field studies.
The results of the research and discussion show that the termination of prosecution by the Public Prosecutor of the crime of persecution through restorative justice has been carried out in accordance with the Republic of Indonesia Prosecutor's Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice. Termination of Prosecution was previously regulated in the Criminal Procedure Code in Article 140 Paragraph (2), but it is not clearly regulated regarding termination of prosecution based on restorative justice. In the development of criminal law, the Prosecutor's Office Regulation Policy Number 15 of 2020 was issued. Through this policy the criminal case of persecution was successfully resolved through a process of conciliation on the grounds that it had fulfilled the conditions for terminating prosecution based on restorative justice, that is, the suspect had committed a crime for the first time, crime is only punishable by a fine or imprisonment of not more than 5 (five years), and the losses incurred as a result of the crime are not more than IDR 2,500,00.00 (two million five hundred thousand rupiah), and there has
been an agreement between the Suspect and the Victim to make peace through deliberations to reach a consensus without any coercion and intimidation from other parties. Termination of prosecution by the Public Prosecutor against the crime of persecution through restorative justice at the South Lampung District Attorney is in accordance with the restorative justice approach, namely when the process of termination of prosecution based on restorative justice directly involved the suspect, the suspect's family, the victim, the victim's family, community leaders and there has been a restoration to its original state before the crime occurred, marked by an agreement to make peace between the suspect and the victim, and the community responded well to the termination of prosecution based on restorative justice for the crime of persecution.
The suggestion from this study is that arrangements regarding the termination of prosecution based on restorative justice need to be included in formal criminal law provisions or can be included in the Draft Criminal Procedure Code so that the legal basis for resolving criminal cases through restorative justice is stronger and settlement of cases through restorative justice becomes integrated among law enforcement officials.
Keywords: Termination of Prosecution, Restorative Justice, Persecution.
1912011213 Nyoman Apriyantonyomanapri965@gmail.com2023-02-10T00:21:01Z2023-02-10T00:21:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69064This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690642023-02-10T00:21:01ZPENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-Anak/2021/PN Mgl)Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualias dan masa depannya. Anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam undang-undang khusus. Dalam sistem peradilan pidana anak keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Akan tetapi, dalam sistem peradilan pidana anak terdapat restorative justice yang merupakan perubahan regulasi dalam sistem peradilan pidana anak dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pengaturan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di dalam hukum postif di Indonesia dan bagaimanakah pendekatan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam (Studi Putusan Nomor:18/Pid.Sus-Anak/2021/PN Mgl).
Metode penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan fokus pendekatan Normatif Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Menggala, dengan mempelajari data-data yang diperoleh dari kajian kepustakaan, Putusan Pengadilan buku-buku, dokumen, serta peraturan perundang- undangan yang terkait dengan masalah yang akan dibahas. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian data tersebut disusun dan dianalisa dengan metode deskriptif. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Hasil Penelitian dan Pembahasan menunjukkan bahwa pengaturan Pendekatan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam hukum positif di Indonesia menjelaskan regulasi pengaturan Diversi sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentag Sistem Peradilan pidana Anak. Pasal 8 dan pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Perdilan Pidana Anak,di tingkat kepolisian yang mana diversi dapat dilakukan dengan ketentuan hukuman pidana tidak menyentuh angka 7 tahun namun pada putusan ini diversi tidak dapat dilakukan karena ancaman pidana melebihi 7 tahun. Diversi melalui pendekatan restoratif ditingkat kejaksaan harus melihat syarat-syarat penerapan Restoratif Justice oleh Kejaksaan, merujuk kepada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dimana pelaku dan korban jika ingin dilakukan restorative justice harus melakukan pedamaian dan hukuman tidak lebih dari 5 tahun penjara, sementara pada putusan ini tidak dapat di tetapkan restorative justice karena ancaman lebih dari 5 tahun dan pada saat itu belum ada perdamaian,sehingga tidak dapat dilakukan restorative justice kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak telah terbukti dan hakim tidak menemukan alasan pemaaf untuk melepaskan anak, sehingga anak dijatuhkan hukuman pemidanaan dengan pendekatan restoratif justice, hakim menilai bahwa diversi tidak dapat dilakukan karna tidak sesuai dengan ketentuan diversi, sehingga anak tetap untuk di jatuhi pidana 6 bulan dan pelatihan kerja di balai pemasyarakatan selama 3 bulan namun pidana tersebut tidak perlu di jalani tetapi ditambah syarat khusus berupa membersihkan salah satu masjid Selama 1 tahun yang di laksanakan 2 kali setiap bulannya, yang mana hakim menjatuhkan putusan ini dengan pendekatan restorative justice yang mengutamakan keadilan bagi seluruh pihak sehingga dalam menjatuhkan hukuman hakim menilai harus mempertimbangkan asas kepentingan bagi anak dan hukuman penjara sebagai hukuan terakhir (ultinum remedium).
Saran dalam penelitian ini kedepannya pihak kejaksaan bis lebih mendalami lagi konsep-konsep dari undang-udang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, dan lebih menguatkan atau mengutamakan konsep Restoratif justice apa lagi kasus yang menyangkut anak yang berhadapan dengan hukum, terlebih indoneisa telah meratifikasi hukum internasional yang tertuang pada aricle 37 convenstion on te righ of the child. Agar anak yang belum dewasa dapat diperlakukan selayaknya anak yang di jamin oleh peraturan perundang-undangan untu tidak di penjara.Sari Diana18120110032023-02-09T08:55:44Z2023-02-09T08:55:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69054This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690542023-02-09T08:55:44ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA KORBAN PORNOGRAFI BALAS DENDAM (REVENGE PORN)ABSTRAK
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA KORBAN PORNOGRAFI BALAS DENDAM (REVENGE PORN)
Oleh
EVINA DWI MAIYANTI
Kemajuan teknologi membawa suatu perubahan dan perkembangan terhadap kehidupan bermasyarakat. Perkembangan tersebut memicu berkembangnya jenis kejahatan baru, salah satunya yaitu Revenge Porn. Revenge Porn adalah tindakan yang mengarah pada pendistribusian secara online atas foto atau video yang terdapat unsur seksualitas tanpa izin atau persetujuan korban sebagai bentuk balas dendam guna mengancam dan mempermalukan korban. Berdasarkan hal tersebut sangat penting adanya suatu perlindungan terhadap korban revenge porn ini. Perlindungan hukum yang diperoleh terhadap wanita korban pornografi balas dendam (revenge porn) sudah sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Provinsi Lampung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan berupa wawancara. Data dioleah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan secara kualitatif.
Bentuk perlindungan terhadap korban revenge porn diantaranya yaitu dalam bentuk pelayanan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan hukum dan/atau bantuan hukum, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan medicolegal, pelayanan psikologis, pelayanan pendampingan. Bentuk perlindungan hukum ini dalam pelaksanaannya sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan baik, namun juga terdapat beberapa faktor yang menghambat proses perlindungan hukum terhadap korban meliputi faktor penegak hukum, dimana masih ditemukan adanya oknum penyidik yang melakukan penyimpangan terhadap hak korban. Faktor sarana atau fasilitas, minimnya fasilitas penunjang alat bukti elektronik, yang mana tidak semua wilayah
Evina Dwi Maiyanti kepolisian memiliki fasilitas penunjang tersebut. Faktor masyarakat, kurangnya kepedulian masyarakat terhadap korban kesusilaan juga menjadi hambatan dalam proses perlindungan hukumnya. Faktor kebudayaan, seperti budaya malu yang masih melekat dijiwa masyarakat untuk melaporkan tindak pidana kesusilaan juga menjadi penghambat dalam proses memberikan perlindungan hukum terhadap korban.
Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu perlu adanya sosialisasi maupun pendekatan kepada seluruh perempuan untuk selalu berhati-hati dan berani bertindak untuk melapor kepada aparat penegak hukum ataupun keluarga jika menemukan/merasakan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi pada diri sendiri maupun orang lain. Dibutuhkan kerjasama yang baik antar semua pihak untuk dapat mengatasi kasus pornografi balas dendam (revenge porn). Sehingga diharapkan kasus pornografi balas dendam (revenge porn) ini dapat diminimalisirkan.
Kata Kunci: Perlindungan hukum, Korban, Pornografi Balas Dendam,
Revenge Porn.
1912011018 EVINA DWI MAIYANTIevinadwimaiyanti@gmail.com2023-02-09T08:52:34Z2023-02-09T08:52:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69053This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690532023-02-09T08:52:34ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN SESAMA JENIS DIBAWAH UMUR OLEH WANITA DEWASA BERPENAMPILAN PRIA
ABSTRAK
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN SESAMA JENIS DIBAWAH UMUR OLEH WANITA DEWASA BERPENAMPILAN PRIA
Oleh
Ayu Nadila
Pencabulan merupakan salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satunya adalah pencabulan sesama jenis terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa. pencabulan (ontustige handeligen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah penegakan hukum oleh kepolisian terhadap pelaku pencabulan sesama jenis dibawah umur oleh Wanita dewasa berpenampilan pria (2) apa sajakah faktor penghambat penegakan hukum oleh kepolisian terhadap pelaku pencabulan sesama jenis dibawah umur oleh Wanita dewasa berpenampilan pria
Penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Menggala, Penyidik Polsek Banjar Agung, Pejabat di Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Bandar Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penegakan hukum oleh kepolisian terhadap tindak pidana pencabulan sesama jenis dibawah umur oleh Wanita dewasa berpenampilan pria yaitu: ada dua tahap inti dari penegakan hukum yang dilakukan Kepolisian Sektor Banjar Agung terhadap tindak pidana pencabulan sesama jenis terhadap anak yaitu tahap in abstracto (tahap formulasi) dan tahap in concreto (tahap aplikasi dan eksekusi).
Ayu Nadila
Pada tahap in abstracto (tahap formulasi) Kepolisian melakukan pemeriksaan dan pelaku pencabulan sesama jenis dikenakan Pasal 82 Ayat (1) Jo. Pasal 76E UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 292 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Pada tahap in concreto (tahap aplikasi), Kepolisian melakukan penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, serta penyitaan. Tahap eksekusi, pada tahap ini Kepolisian menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut umum sebagai tanda bahwa penyidikan telah selesai. Permasalahan kedua yaitu, faktor penghambat penegakan hukum oleh kepolisian yaitu pertama, faktor hukumnya sendiri yaitu undang-undang yang belum mengakomidir kejahatan seksual modern. Kedua faktor penegak hukum, yaitu dari isegi ijumlah aparatikepolisian iyang iada idi iKepolisian iSektor iBanjar iAgung imasih ilebih sedikit idibandingkan idengan ijumlah imasyarakat isehingga iaparat ikepolisian isulit untuk imelakukan ipatroli di setiap wilayah. Ketiga, faktor sarana dan fasilitas, yaitu kurangnya ifasilitas iseperti ikendaraan iyang iada idi iKepolisian iSektor iBanjar Agung iuntuk imenjemput ianak ikorban idari iSumatera iSelatan imenuju iPengadilan Negeri iMenggala iuntuk imenjalani iproses iperadilan. Terakhir faktor masyarakat, yaitu kesadaran hukum masyarakat yang rendah sehingga tidak langsung melaporkan adanya kasus pencabulan sesama jenis ke kepolisian.
Saran dari penulis dalam penelitian ini adalah: (1) orang tua serta masyarakat memberikan kontrol yang lebih ketat pada anak-anak yang beranjak dewasa agar menghindari anak menjadi korban tindak pidana pencabulan. Maka dari itu dibutuhkan kesadaran dan peran dari masyarakat, orang tua, dan aparat hukum. (2) diharapkan pemerintah dapat segera membuat peraturan perundang-undangan baru yang dapat mengakomodir kejahatan seksual modern, seperti pencabulan sesama jenis terhadap anak. Pemerintah juga diharapkan agar menyelenggarakan sosialisasi terkait apa itu pencabulan terhadap anak. pihak kepolisian juga diharapkan lebih tanggap lagi dalam menindaklanjuti laporan masyarakat akan adanya tindak pidana pencabulan terhadap anak.
Kata Kunci: Kepolisian, Pencabulan Sesama Jenis, Anak
1912011013 Ayu Nadilaayunadila210201@gmail.com2023-02-09T08:41:51Z2023-02-09T08:41:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69046This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690462023-02-09T08:41:51ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMBANTU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN OLEH KARYAWAN PT. GITA
OMEGA DISTRINDO
(Studi Putusan Nomor 1352/Pid.B/2021/PN.TJK)
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMBANTU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN OLEH KARYAWAN PT. GITA
OMEGA DISTRINDO
(Studi Putusan Nomor 1352/Pid.B/2021/PN.TJK)
Oleh
Erika Henidar Utami
Pelaku tindak pidana penggelapan dalam Putusan Nomor: 1352/Pid.B/2021/PN.Tjk. hakim mengadili dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan sesuai dengan pasal 374 KUHP Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP. Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pembantu tindak pidana penggelapan oleh karyawan PT. Gita Omega Distrindo (Studi Putusan Nomor 1352/Pid.B/2021/PN.TJK). (2) Apakah putusan terhadap pelaku pembantu dalam perkara Nomor: 1352/Pid.B/2021/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan substantif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan empiris. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Narasumber dari penelitian ini adalah (1) Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang, (2) Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, (3) Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kemudian data tersebut diperoleh dan dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan bahwa tindak pidana penggelapan sebagaimana dalam putusan 1352/Pid.B/2021/PN.Tjk. Pelaku Stevanus Jansen dalam kasus ini melakukan tindak pidana penggelapan sebagai pelaku pembantu telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dan bertentangan dengan hukum atau unsur perbuatan jahat (actus reus) dan unsur niat jahat (mens rea) telah terpenuhi. Dalam kasus penggelapan ini perbuatan terdakwa Stevanus Jansen adalah pembantuan aktif. Saat mewujudkan keadilan yang substantif dalam pengadilan yang dikursuskan pada konsep keadilan (justice).
Erika Henidar Utami
Saran dalam penelitian ini hendaknya Majelis Hakim dalam memberikan putusan terhadap pelaku pembantuan melihat merujuk pada terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam putusan dan pertimbangan hakim terkait pembantuan sesuai dengan Pasal 57 KUHP. Perusahaan harus memiliki kontrol yang lebih ketat untuk mengawasi karyawannya. Agar menghindari terjadinya tindak pidana penggelapan dalam perusahaan.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku Pembantu, Tindak Pidana Penggelapan, Karyawan.
1942011022 ERIKA HENIDAR UTAMIerikahenidar27@gmail.com2023-02-09T08:11:07Z2023-02-09T08:11:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69032This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690322023-02-09T08:11:07ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYALAH GUNA
NARKOTIKA
(Studi di Wilayah Hukum Polres Lampung Utara)Tindak Pidana Narkotika diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum. Permasalahan dalam penulisan ini adalah
bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak penyalah guna narkotika dan
apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak penyalah guna
narkotika.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Data yang digunakan meliputi data primer yaitu dengan
melakukan wawancara dengan responden yang terkait dengan permasalahan pada
skripsi ini. Data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan. Pengelolaan
data dilakukan dengan cara seleksi data kemudian dilakukan klasifikasi data dan
sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif
berdasarkan hasil analisis kemudian ditarik kesimpulan melalui metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
pengakan hukum diversi dalam kasus ini sudah tepat yaitu sesuai Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pradilan pidana Anak. Terkait dengan
penegakan hukum terhadap anak penyalah guna narkotika di mana dengan
penegakan hukum melalui diversi diharapkan dapat menjauhi anak dari stigma
buruk serta demi kepentingan terbaik bagi anak dan demi masa depannya
dikemudian hari. Proses diversi pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari
proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada
dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia (hukum adat), untuk
menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Adapun faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak yang melakukan
tindak pidana penyalah guna narkotika yaitu faktor masyakat, dimana peran
masarakat sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum terhadap anak penyalah
guna nakotika, masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab seperti halnya yang
tercantum dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Serta keterangan masyarakat baik sebagai saksi, menasehati
dan mengarahkan sangat dibutuhkan, terlebih dari keluarga anak itu sendiri.
Saran yang diberikan penulis adalah Polres lampung utara untuk kedepannya
diharapkan dapat memberi tahu atau mengonfirmasikan ke Pengadilan Negeri
terhadap kasus yang telah diselesaikan melalui proses diversi di Polres lampung
utara, agar Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan diversi atau penghentian
penyidikan (berakhirnya kasus) penegakan hukum terhadap anak penyalah guna
narkotika sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1-5) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pemerintah,
masyarakat serta orang tua, diharapkan memberikan perhatian yang lebih intensif
terhadap anak terutama dalam mengajarkan ilmu, moral dan akhlak yang baik
serta mudah dipahami sejak dini kepada anak-anak, sehingga anak dapat
membedakan hal positif maupun negatif terutama akan bahayanya narkotika
sehingga, dapat mencegah terjadinya penyalah guna narkotika yang dapat
membahayakan dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penyalah Guna, NarkotikaAZIZ ZA AZIZA 17120113012023-02-09T02:27:01Z2023-02-09T02:27:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/69017This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/690172023-02-09T02:27:01ZPERSPEKTIF HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PELECEHAN
SEKSUAL SECARA VERBAL (CATCALLING) DI INDONESIA
ABSTRAK
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PELECEHAN
SEKSUAL SECARA VERBAL (CATCALLING) DI INDONESIA
Oleh
Tiara Rolensia Purba
Perbuatan pelecehan seksual verbal (catcalling) bukanlah suatu hal yang wajar,
namun merupakan suatu permasalahan global yang merugikan orang lain yang
dapat menimbulkan gangguan psikologi.Catcalling merupakan suatu tindak
pidana yang terjadi di ruang publik, seperti di jalan, pasar, angkutan umum, dan
lain-lain.. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana catcalling harus
dilaksanakan secara tegas berdasarkan keadila untuk mewujudkan kepastian
hukum. Berdasarkan latarbelakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam
penelitian adalah Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya terhadap
pelecehan seksual secara verbal di Indonesia (catcalling) di Indonesia? Dan
Bagaimanakah perspektif hukum pidana terhadap pelaku pelecehan seksual secara
verbal (catcalling) di Indonesia?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Data yang
digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan studi kepustakaan dengan
meninjau pengaturan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengolahan data
yang diperoleh dengan cara identifikasi, editing, klasifikasi dan penyusunan data,
serta penarikan kesimpulan. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara
deskriptif dan kualitatif yaitu menguraikan data secara bermuta dalam bentuk
kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehungga memudahkan interpretasi dan
pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada.
Faktor penyebab terjadi catcalling disebabkan oleh doronagn seksual pelaku, rasa
penasaean dan minimnya sex education , adanya budaya patriarki yang
merendahkan perempuan, rasa trauma dan dendam serta kurangnya social
controlCatcalling Catcalling merupakan perbuatan pelecehan verbal berkaitan
dengan tindak pidana yang melanggar kesusilaan. Pengaturan tentang catcalling
diatut dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Pelecehan
Seksual dan Peraturan Mentri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan dan Kementerian Agama.
Adapun sanksi yang dapat diberikan pada pelaku catcalling yaitu dipidana
penjara paling lama (sembilan) bulan dan /atau pidana denda paling banyak
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah. Selanjutnya dalam Pasal 281 Ayat (1)
KUHP, Pasal 8, Pasal 34, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi yang juga menatur tentang kesusilaan..
Lahirnya pengaturan khusus terhadap perbuatan tindak pidana pelecehan seksual
secara verbal kiranya dapat meminimalisir pelecehan seksual secara verbal di
Indonesia.
Kata Kunci: Perspektif Catcalling. Pertanggungjawaban pidana .
ABSTRACT
CRIMINAL LAW PERSPECTIVE ON VERBAL SEX HARASSMENT
(CATCALLING) IN INDONESIA
By
Tiara Rolensia Purba
Acts of verbal sexual harassment (catcalling) are not a natural thing, but a global
problem that harms other people which can cause psychological disorders.
Catcalling is a crime that occurs in public spaces, such as on roads, markets,
public transportation, and so on. others.. Law enforcement against the
perpetrators of the crime of catcalling must be implemented strictly based on
justice to create legal certainty. Based on this background, the problem in this
research is What are the causative factors for verbal sexual harassment in
Indonesia (catcalling) in Indonesia? And what is the perspective of criminal law
against perpetrators of verbal sexual harassment (catcalling) in Indonesia?
The problem approach in this research is normative juridical. The data used are
primary data obtained from a literature study by reviewing statutory regulations.
While processing the data obtained by means of identification, editing,
classification and compilation of data, as well as drawing conclusions. The
processed data were analyzed descriptively and qualitatively, namely describing
the data sequentially in the form of regular, logical, and effective sentences so as
to facilitate interpretation and understanding of the results of the analysis in
order to answer existing problems.
Factors causing catcalling are caused by the perpetrator's sexual drive, sense of
compassion and lack of sex education, the existence of a patriarchal culture that
demeans women, feelings of trauma and resentment and lack of social control.
Catcalling Catcalling is an act of verbal abuse related to a crime that violates
decency. Regulations regarding catcalling are regulated in Article 5 of Law no.
12 of 2022 concerning the Crime of Sexual Harassment and Minister of Religion
Regulation No. 73 of 2022 concerning Prevention and Handling of Sexual
Violence in Education Units and the Ministry of Religion. The sanctions that can
be given to catcalling perpetrators are imprisonment for a maximum (nine)
months and/or a maximum fine of Rp. 10,000,000.00 (ten million rupiahs).
Furthermore, in Article 281 Paragraph (1) of the Criminal Code, Article 8,
Article 34, Article 35 of Law Number 44 of 2008 concerning Pornography which
also regulates decency.
The birth of special arrangements for acts of criminal acts of verbal sexual
harassment presumably can minimize verbal sexual harassment in Indonesia.
Keywords: Catcalling Perspective. Criminal liability.
TIARA ROLENSIA PURBA19120110412023-02-08T02:24:35Z2023-02-08T02:24:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68927This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/689272023-02-08T02:24:35ZIMPLEMENTASI PERAMPASAN HARTA HASIL KORUPSI SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
(Studi di Kejaksaan Negeri Kabupaten Lampung Barat)
Korupsi pada saat ini merupakan permasalahan yang sedang marak di Indonesia dan secara masif terjadi serta menjadi sorotan tesendiri bagi masyarakat Indonesia. Korupsi merupakan salah satu kejahatan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa karena kejahatan tersebut merugikan negara, membahayakan stabilitas ekonomi dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial dan politik, dan juga dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas yang selama ini dianut oleh Negara Indonesia. Karena lambat laun perbuatan korupsi ini seakan-akan menjadi sebuah budaya. Korupsi sekarang ini sudah menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu adil dan makmur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Jaksa dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasannya berupa : Perampasan harta hasil korupsi yang merugikan keuangan negara berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 46 KUHAP yang mengatur tentang pengembalian harta hasil korupsi kepada yang berhak menerimanya. Rangkaian awal dalam kegiatan pemulihan aset yakni pihak kejaksaan mengupayakan dua cara untuk melakukan pengembalian kerugian keuangan negara melalui litigasi dan non litigas. Dalam melakukan upaya litigasi dilakukan penelusuran aset (asset tracing) yang bersifat secara tertutup, seefektif dan seefisien mungkin, langsung ke lokasi target (on the spot) dengan profilling dan pemetaan terhadap target/aset untuk memperoleh bukti-bukti kepemilikan, keterangan saksi dan dokumentasi, kegiatan tersebut menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap aset yang menjadi target. Kemudian pihak kejaksaan mengeluarkan form sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Saran dalam penelitian ini adalah : Perlunya kesadaran dan profesionalitas aparat penegak hukum bahwa kejahatan korupsi harus diberantas karena hak masyarakat atas kesejahteraan menjadi taruhannya dan sudah pasti merugikan negara sehingga diharapkan dapat mengurangi tindakan korupsi-korupsi lainnya terjadi.
Kata Kunci : Korupsi, Perampasan Harta Hasil Korupsi, Kerugian Keuangan Negara
Pratama Ronaldo Galang18520110112023-02-08T01:14:35Z2023-02-08T01:14:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68873This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688732023-02-08T01:14:35ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) (Studi di Polda Lampung) ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) (Studi di Polda Lampung)
(Studi di Polda Lampung)
Oleh VERNANDYA VINNY SHANGGITA WIBOWO
Penyelundupan manusia merupakan salah satu bentuk tindak pidana transnasional yang sering kali dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang memiliki potensi besar terjadinya kejahatan transnasional ini karena letak geografisnya yang memudahkan para imigran gelap untuk melakukan transit di Negara Indonesia sebelum akhirnya dilakukan penyelundupan ke Negara lain. Skripsi ini akan fokus membahas tentang seperti apa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia. Permasalahan penelitian bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyelundupan manusia? Dan apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyelundupan manusia? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Polisi dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum. pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan berupa penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyelundupan manusia secara formulasi telah tertuang dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam penerapannya pengenaan sanksi administratif tidak diberikan kepada korban penyelundupan manusia serta pelaku percobaan dikenai sanksi pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana penyelundupan manusia. Pada proses eksekusi, imigran gelap yang melakukan tindak pidana justru menjadi korban dalam tindak pidana penyelundupan manusia. Faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana pada tindak pidana penyelundupan manusia diantaranya yakni, peraturan perundang-undang yang tidak memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana, aparat penegak hukum masih sulit untuk membedakan korban dan pelaku
Vernandya Vinny Shanggita Wibowo yang mengkoordinir kejahatan tersebut karena mereka saling menutupi satu sama lain sehingga penyidik kepolisian harus teliti dalam menentukan siapa yang menjadi pelaku tindak pidana penyelundupan manusia. Selain itu, karena luasnya wilayah Indonesia yang memiliki ribuan pulau dan keterbatasan aparat penegak hukum manjadi satu faktor penghambat dalam melakukan pengawasan yang dapat menjadi sasaran bagi imigran gelap dalam melakukan tindak kejahatan penyelundupan manusia. Serta penghambat dari masyarakat karena tidak adanya sosialisasi atau penyuluhan terkait bahaya tindak pidana penyekundupan manusia menyebabkan masyarakat tidak tahu akan tindak pidana tersebut. Dan kebudayaan yang beragam serta bahasa yang berbeda dengan negara asing menghambat proses penyidikan di kepolisian. Saran dalam penelitian ini adalah Lembaga legislatif sebagai salah satu lembaga penegak hukum perlu membentuk kebijakan formulasi secara khusus terkait tindak pidana penyelundupan manusia. Serta meningkatkan kualitas aparat penegak hukum sebgai pelaksana penegakan hukum tindak pidana penyelundupan manusia dapat diberantas secara maksimal. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan wilayah perbatasan Negara dengan memperketat keamanan serta menyamaratakan penyebaran aparat penegak hukum untuk mengawasi masuknya imigran gelap ke Indonesia. Perlu diadakan sosialisasi kepada masyarakat khususnya yang berada di wilayah perbatasan Indonesia terkait dampak atau bahaya dari adanya imigran gelap yang masuk ke Indonesia serta bagaimana cara masyarakat dalam menyikapi tindak kejahatan penyelundupan manusia.
Kata Kunci: Penegakan, Penyelundupan, Imigran 1852011060 Vernandya Vinny Shanggita Wibowo vernandyavinny08@gmail.com2023-02-08T00:52:15Z2023-02-08T00:52:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68869This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688692023-02-08T00:52:15ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP TINDAK PIDANA DUMPING OLEH KORPORASI TRANSPORTER LIMBAH MEDIS
(Studi Pada Putusan PN Tanjung Karang No. 991/Pid.B/LH/2021/PN Tjk)
Identifikasi Teori, Stricht Liability Teori, dan Vicarious Liability merupakan teori korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atau dengan kata lain korporasi sebagai subjek hukum. Stricht Liability Teori adalah Teori yang mendukung korporasi dapat betanggungjawab ketika korporasi tersebut melakukan Tindak Pidana Lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Lingkungan yang dilakukan oleh perorangan maupun korporasi.
Teori Pemidanaan secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan sudah seharusnya memerhatikan teori pemidanaan secara relatif yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar yang terkena dampak dari kejahatan tersebut. Tidaklah cukup jika hanya yang diperhatikan hanya secara absolut saja dikarenakan kejahatan lingkungan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat merugikan masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, dalam skripsi ini mengangkat permasalahan yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan Tindak Pidana dumping
dan Apakah pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan Tindak Pidana dumping tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi serta bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan Tindak Pidana Dumping Limbah Medis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan cara menggunakan pendekatan Undang-Undang dan Pendekatan Kasus. Bahan hukum yang digunakan pada penelitian ini yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum dianalisis secara kualitatif, dengan mempelajari data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan menunjukkan kesimpulan bahwa pada Perkara Putusan Nomor 991/Pid.B/LH/2021/PN Tjk pertanggungjawaban yang dibebankan kepada korporasi yakni PT. BIUTEKNIKA BINA PRIMA sudah sesuai dengan teori stricht liability. Pasal yang didakwakan yaitu Pasal 116 Jo. Pasal 104 UUPPLH mengandung ketentuan bahwa pengurus yang menjadi otak Tindak Pidana dan korporasi dapat dikenakan pidana. Namun, dalam tuntutan yang dilayangkan oleh Jaksa Penuntut Umum menurut penulis sangat minim sekali yaitu hanya Pidana Denda sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Hal tersebut menyebabkan tujuan pemidanaan secara relatif tidak terpenuhi.
Saran yang penulis sampaikan dalam penelitian ini yaitu pemidanaan terhadap korporasi seharusnya Jaksa dalam mendakwa serta menuntut sudah seharusnya melihat kerugian yang dihasilkan dari kejahatan yang ditimbulkan. Ada faktor-faktor penting yang harus diperhatikan seperti kesejahteraan masyarakat yang sesuai dengan tujuan pemidanaan secara relatif, agar Majelis Hakim dengan hati nuraninya dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi Terdakwa maupun bagi korban dari kejahatan yang ditimbulkan oleh Korporasi.
Kata Kunci : Dumping Lingkungan Hidup, Korporasi, Pertanggungjawaban Korporasi, Pemidanaan Korporasi
Naufal Rizqi Wahyu19120111742023-02-07T06:17:03Z2023-02-07T06:17:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68808This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688082023-02-07T06:17:03ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIMBUNAN MINYAK GORENG
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIMBUNAN MINYAK GORENG
Oleh
NABILA KHOIRUNNISA
Minyak goreng sebagai salah satu barang kebutuhan pokok dibutuhkan setiap rumah tangga menjadikan tidak sedikit pelaku usaha memanfaatkan situasi untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara menimbun minyak goreng. Yuridis normative dan yuridis empiris adalah pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka (Library Research) dan wawancara narasumber menggunakan pedoman tertulis. Permasalahan dari penelitian ini yakni bagaimana penegakan hukum pidana terhadap penimbunan minyak goreng dan apa saja faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap penimbunan minyak goreng.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penimbunan minyak goreng dilakukan melalui tahap formulasi yang dilaksanakan oleh badan pembuat undang-undang, yang disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif. Kemudian berlanjut pada tahap aplikasi proses peradilan pidana meliputi tahap penyidikan serta penuntutan. Lalu yang terakhir, tahap eksekusi merupakan tahapan yang dilakukan oleh aparat pelaksana pidana terkait pelaksanaan hukuman pidana secara konkret. Faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana penimbunan minyak goreng yang paling dominan ialah faktor masyarakat, masyarakat secara umum belum memahami mengenai sanksi yang dapat menjerat kejahatan penimbunan minyak goreng. Kemudian faktor budaya, adanya suatu budaya keserakahan pada masyarakat dengan meraup keuntungan dengan besar.
Saran dalam penelitian ini adalah agar masyarakat khususnya pelaku usaha tidak mengulangi perbuatan penimbunan minyak goreng pada saat wabah Covid-19 belum seutuhnya pulih. Serta menghilangkan budaya keserakahan yang ada di masyarakat. Kepada pihak kepolisian selaku penegak hukum diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi terkait sanksi penimbunan minyak goreng dengan harapan masyatakat memiliki pemahaman serta kesadaran hkum, khususnya mengenai penimbunan minyak goreng.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Penimbunan Minyak
Goreng
1912011244 NABILA KHOIRUNNISAnabilakhoirunisa3@gmail.com2023-02-07T03:31:42Z2023-02-07T03:31:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68804This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/688042023-02-07T03:31:42ZFUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN
PERATURAN DAERAH NO 05 TAHUN 2015 TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
( Studi Pada Dinas lingkungan Hidup Bandar Lampung)
Pemerintah Kota Bandar Lampung membentuk suatu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2015 Pengelolaan Sampah yang didalamnya termuat hukum pidana, penulisan skripsi
ini membahas terkait dengan fungsionalisasi sanksi pidana. Fungsionalisasi hukum
pidana pada hakekatnya adalah agar hukum pidana itu dapat berfungsi sesuai dengan
apa yang diinginkan dan dapat dilaksanakan. Adapun pembahasan nya adalah
Bagaimanakah Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Pelaku Pelanggaran Terhadap
Peraturan Daerah No 05 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah di Bandar Lampung,
Apakah faktor-Faktor Penghambat Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Pelaku
Pelanggaran Peraturan Daerah No 05 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah di
Bandar Lampung.
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menelaah
objek kajiannya yaitu substansi Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 05
Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah, dan pendekatan empirisnya melakukan
observasi langsung dengan teknis wawancara yang dilakukan bersama Narasumber.
Berdasarkan hasil penelitian fungsionalisasi hukum pidana dalam Perda No 5 Tahun
Tentang Pengelolaan Sampah ada pada Pasal 58 ayat (4) menyatakan: sanksi pidana
sebagaimana yang dimaskud pada ayat 1 huruf c: Kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah) bagi pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 8 ayat (2) apabila berkaitan dengan fungsinya maka sanski pidana
dikenakan pada pelaku dengan unsur melawan hukum terhadap orang yang tidak
mengolah sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga untuk
mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Pasal 9
Ayat (3) menyatakan: Setiap Pengendara Kendaraan bermotor roda empat wajib untuk
menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan setiap
pengendara roda 4 (empat) wajib menyediakan tempat/ wadah sampah pada
kendaraannya. Pasal 12 Huruf b menyatakan: menghasilkan produk dengan
menggunakan kemasan yang mudah di urai oleh proses alam dan yang menimbulkan
sampah sedikit mungkin. Sanksi yang telah di atur dalam Pasal 58 Perda pengelolaan
sampah kota Bandar Lampung, Peraturan ini hanyalah sebatas muatan materi yang ada
dalam kertas tidak dalam pelaksanaan penegakan hukum sehingga terkesan tidak
terfungsionalisasikan dengan baik. Penegakan hukum pidana dalam permasalahan
Davani Gusyaros
lingkungan hidup yaitu dengan tetap memperhatikan asas Ultimatum Remedium sebagai
upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dan hukum perdata
sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan dan pemberlakuan hukum pidana diterapkan
sesuai pada UU NO.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Kemudian faktor-faktor yang menghambat fungsionalisasi hukum pidana yang
ada dalam Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah ini
dilihat dari beberapa aspek yaitu Faktor undang-undang, Faktor penegak hukum, Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegekan hukum, Faktor masyarakat, Faktor
budaya, dalam pengamatan penulis hal yang sangat disoroti adalah faktor penegak
hukumnya, dalam Peraturan daerah kewenangan menyelidiki dimiliki oleh Satuan polisi
Pamong Praja disebut dengan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil), namun proses
penyelidikan atau laporan penyelidikan tidak pernah sampai ke tahap penyidikan polisi
sehingga mengakibatkan terhambatnya fungsionalisasi sanksi pidana dalam Peraturan
Daerah.
Saran kepada pemerintah Kota Bandar Lampung beserta penegak hukumnya melakukan
pengamatan juga dilakukan penyuluhan sebagai bentuk upaya preventif kepada
masyarakat Kota Bandar Lampung mengenai Peraturan daerah tentang pengelolaan
sampah ini. Kemudian dalam memfasilitasi sarana dan prasarana dalam pengelolaan
sampah harus kembali diamati dengan baik karena masih ada keluhan masyarakat
terkait dengan sarana pengangkutan sampah. Hal tersebut supaya menciptakan
lingkungan dan keadaan yang sehat. Penegak hukum satuan Polisi Pamong Praja
merupakan aktor penegak hukum formil dalam Peraturan Daerah yang seharusnya
apabila ada perbuatan pidana dalam hal tindak pidana pengelolaan sampah laporan
penyelidikan segera di berikan kepada polisi sebagai penyidik. Sehingga apabila hukum
tersebut telah terakomodir dan terlaksana maka permasalahan sampah di Kota Bandar
Lampung dapat segera berkurang
Kata Kunci: Fungsionalisasi, Hukum pidana, Pengelolaan Sampah
Bandar Lampung City Government established a Regional Regulation Number 5 of
2015 Waste Management which contains criminal sanctions, the writing of this thesis
discusses the functionalization of criminal sanctions. The functionalization of criminal
law is essentially so that the criminal law can function in accordance with what is
desired and can be implemented. The discussion is How is the Functionalization of
Criminal Law Against Perpetrators of Violations of Regional Regulation No. 05 of 2015
concerning Waste Management in Bandar Lampung, What are the Inhibiting Factors in
the Functionalization of Criminal Law Against Perpetrators of Violation of Regional
Regulation No. 05 of 2015 concerning Waste Management in Bandar Lampung.
The method used by the author in writing this thesis is a normative juridical and
empirical juridical approach, the normative juridical approach is carried out by
examining the object of study, namely the substance of the Bandarlampung City
Regulation Number 05 of 2015 concerning Waste Management, and the empirical
approach is to make direct observations with technical interviews conducted together
Source person.
Based on the results of the research on the functionalization of criminal law in the
regional regulation No. 5 Year Concerning Waste Management, Article 58 paragraph
(4) states: criminal sanctions as referred to in paragraph 1 letter c: Imprisonment for a
maximum of 1 (one) month or a fine of a maximum of Rp. 2,000,000,- (Two million
Rupiah) for violation of the provisions of Article 8 paragraph (2) if it is related to its
function, criminal sanctions are imposed on perpetrators with unlawful elements
against people who do not process household waste and waste similar to household
waste to reduce and handle waste in an environmentally sound manner. Article 9
Paragraph (3) states: Every driver of a four-wheeled motorized vehicle is obliged to
maintain cleanliness by not littering and every 4 (four)-wheeled driver is obliged to
provide a place/container for garbage in his vehicle. Article 12 Letter b states: produce
products by using packaging that is easily decomposed by natural processes and which
creates as little waste as possible. Sanctions that have been regulated in Article 58 of
the Regional Regulation on waste management in the city of Bandar Lampung, this
Davani Gusyaros
2
regulation is only limited to the content of the material contained in the paper, not in
the implementation of law enforcement so that it seems that it is not functioning
properly. Enforcement of criminal law in environmental matters, namely by still paying
attention to the Ultimatum Remedium principle as a last resort after the application of
administrative law and civil law is no longer feasible to defend and the application of
criminal law is carried out in accordance with Law NO.32 of 2009 concerning
Environmental Protection and Management. Then the inhibiting factors the
functionalization of criminal sanctions in the Regional Regulation Number 05 of 2015
concerning Waste Management is seen from several aspects, namely legal factors, law
enforcement factors, facilities or facilities that support law enforcement, community
factors, cultural factors, in the author's observation the things that What is highly
highlighted is the law enforcement factor, in the regional regulation the authority to
investigate is owned by the Civil Service Police Unit called PPNS (civil servant
investigators), but the investigation process or investigation report has never reached
the police investigation stage, resulting in delays in the functionalization of criminal
sanctions in Regional Regulations.
Suggestions to the city government of Bandar Lampung and its law enforcers make
observations as well as conduct counseling as a form of preventive effort to the people
of Bandar Lampung City regarding this regional regulation on waste management.
Then in facilitating the facilities and infrastructure in waste management, it must return
observed properly because there are still public complaints related to the means of
transporting waste. This is to create a healthy environment and condition. Law
enforcers of the Civil Service Police Unit are formal law enforcement actors in
Regional Regulations which should if there is a criminal act in the case of a criminal
act of waste management an investigation report is immediately given to the police as
an investigator. So that if the law has been accommodated and implemented, the waste
problem in Bandar Lampung City can be reduced immediately.
Keywords: Functionalization, Criminal law, Waste Management DAVANI GUSYAROS 18120111482023-02-06T03:28:12Z2023-02-06T03:28:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68763This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687632023-02-06T03:28:12ZANALISIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA DAN DENDA TERHADAP PERANTARA TINDAK PIDANA JUAL BELI NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/2022/PN.Tjk) ANALISIS PENJATUHAN PIDANA PENJARA DAN DENDA TERHADAP PERANTARA TINDAK PIDANA JUAL BELI NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/2022/PN.Tjk)
Oleh RIDHO BAGAS FARHAN NADA
Perantara tindak pidana jual beli narkotika merupakan pihak yang berperan penting dalam peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu ancaman pidana bagi pelakunya maksimal, pada kenyataannya dalam Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/ 2022/PN.Tjk terdakwa dijatuhi pidana yang mendekati ancaman pidana minimal. Permasalahan: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara dan denda terhadap perantara tindak pidana jual beli narkotika dalam Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/2022/PN.Tjk? (2) Apakah penjatuhan pidana penjara dan denda terhadap perantara tindak pidana jual beli narkotika dalam Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/2022/PN.Tjk telah memenuhi rasa keadilan? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perantara tindak pidana jual beli narkotika dalam Putusan Nomor: 476/Pid.Sus/2022/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu perbuatan terdakwa terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pertimbangan filosofis yaitu hakim menilai bahwa pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya tetapi lebih penting lagi adalah sebagai upaya pemidanaan terhadap terdakwa. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana bagi terdakwa. (2) Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap perantara tindak pidana jual beli narkotika belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, hal ini disebabkan penjatuhan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan 6 (enam) bulan terhadap terdakwa cenderung lebih dekat pada ancaman pidana penjara minimal sebagaimana diatur Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Narkotika, yaitu 6 (enam) tahun penjara. Selain itu majelis hakim menjatuhkan pidana denda sejumlah Rp 2.415.000.000, 00 (dua milyar empat ratus lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Majelis hakim idealnya dapat menjatuhkan pidana penjara yang lebih maksimal terhadap terdakwa, mengingat perantara jual beli narkotika merupakan perbuatan yang menentukan terjadinya peredaran gelap narkotika dalam kehidupan masyarakat, serta berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat, khususnya generasi muda. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hendaknya hakim yang menangani perkara tindak pidana perantara tindak pidana jual beli narkotika dapat menjatuhkan pidana yang maksimal terhadap pelaku, mengingat peran pelaku sebagai perantara cukup penting dalam mendukung terjadinya tindak pidana peredaran gelap narkotika yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. (2) Hendaknya masyarakat dapat membantu tugas-tugas aparat penegak hukum, khususnya dalam hal memberikan informasi apabila mengetahui adanya tindak pidana peredaran gelap narkotika, karena pada hakikatnya upaya pemberantasan tindak pidana narkotika memerlukan peran serta masyarakat.
Kata Kunci: Penjatuhan Pidana, Penjara, Denda, Perantara, Narkotika
Bagas Farhan Nada Ridho 16420110332023-02-06T03:24:06Z2023-02-06T03:24:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68761This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687612023-02-06T03:24:06ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
PEMIDANAAN PELAKU PENCABULAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor 58/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Tjk)
ABSTRAK
ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
PEMIDANAAN PELAKU PENCABULAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor 58/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Tjk)
OLEH
DAUD MARUSONI SIMANJUNTAK
Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa pada putusan pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 58/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Tjk dengan Pasal 81 Ayat (2)
Undang-Undang RI No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan terdakwa
dipenjara selama 1 (satu) Tahun 9 (sembilan) bulan di Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Anak (LPKA) sedangkan dalam sistem peradilan anak seharusnya
mengedapankan prinsip keadilan restoratif. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah : Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan perkara pelaku pencabulan oleh anak? dan Apakah putusan hakim pada
kasus Nomor 58/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Tjk telah memenuhi prinsip keadilan?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim di Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Komisi Perlindungan Anak di Bandar Lampung dan Dosen
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Prosedur pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dari penelitian ini bahwa Dasar pertimbangan hakim dalam
mengajukan pidana terhadap pelaku anak yang divonis pidana selama 1 (satu)
Tahun 9 (Sembilan) bulan adalah terpenuhinya seluruh unsur-unsur pasal yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu unsur-unsur dari Pasal 81 Ayat 2.
Unsur-unsur tersebut adalah (a) Setiap orang; (b) Dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak korban melakukan
persetubuhan.Namun dalam kasus ini yang menjadi pelaku merupakan anak
berhadapan dengan hukum untuk itu perlu diterapkan Undang-undang Peradilan
Anak yang mengedepankan diversi berasas restorative justice.Prinsip Keadilan
menurut aristoteles dalam Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Nomor :
58/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Tjk belum terpenuhi.
Saran dari penelitian ini adalah: (1) Hakim dalam pertimbangannya diharapkan
lebih cermat dan teliti dalam menjatuhkan pidana. Penjatuhan pidana penjara
oleh Hakim sebagai perampasan kemerdekaan anak, penjatuhan putusan ini
seharusnya memberikan keadilan bagi anak. Hakim juga perlu memperhatikan
alternatif lain yang dapat digunakan untuk memberikan hukuman kepada anak
selain penjara. Karena hukuman terbaik bagi anak adalah hukuman yang bersifat
edukatif, agar setiap anak yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum
dapat kembali ke masyarakat dengan keadaan normal, seperti semula, dan
diharapkan bisa berprilaku baik. (2) Orang tua dan masyarakat hendaknya
semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap anak sebagai bentuk
pencegahan anak dari perilaku seksual yang menyimpang dan bahaya pornografi
yang dapat dengan mudah diakses oleh anak melalui berbagai media.
Kata kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Pencabulan, Peradilan Anak Marusoni Simanjuntak Daud 1812011008 2023-02-06T01:37:39Z2023-02-06T01:37:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68723This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687232023-02-06T01:37:39ZPERBANDINGAN HUKUM METODE DEFERRED PROSECUTION AGREEMENT (DPA) DALAM MENGEMBALIKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSIDeferred Prosecution Agreement (DPA) adalah upaya untuk menunda penuntutan dengan membuat kesepakatan antara jaksa dan korporasi yang melakukan kejahatan. Sistem ini telah digunakan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law seperti Inggris dan Amerika. Keberadaan DPA merupakan salah satu solusi dari permasalahan dalam proses penyelesaian korupsi. Namun, perbedaan sistem hukum menjadi kendala dalam penerapannya di Indonesia. Sehingga perlu pendekatan untuk bisa menentukan model yang sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia tanpa perlu menghilangkan kebiasaan atau budaya yang ada. Permasalahan dalam penlisan ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana penerapan metode deferred prosecution agreement (DPA) di Negara Amerika, Inggris dan Indonesia berorientasi pada paradigma restorative justice? (2) Apa yang menjadi faktor penghambat metode deferred prosecution agreement (DPA) jika diterapkan di Indonesia?.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa pada Negara Amerika Serikat, DPA dapat dilakukan apabila adanya pengakuan korporasi atas fakta tindak pidana, kesepakatan untuk bekerja sama, suatu jangka waktu yang ditentukan khusus untuk kesepakatan itu dan suatu kesepakatan atas sejumlah pembayaran uang sebagai syaratnya.
Di Negara Inggris DPA merupakan pidana percobaan bagi korporasi dengan proses negotiation, Approval, dan Enforcement. Pranata hukum yang memiliki karakteristik yang serupa dengan DPA, yakni: diversi, restorative Justice, asas oportunitas milik jaksa berupa penghentian penyedikan maupun penuntutan, pembayaran denda dan model MSAA/MRNIA yang diterapkan kepada perbankan yang tidak menggunakan bantuan likuiditas dengan seharusnya.
Sistem hukum civil law yang dianut oleh negara Indonesia menjadi salah satu hambatan jika DPA diterapkan di Indonesia, selain itu adanya ketentuan Undang-Undang yang betentangan dengan DPA dan juga belum efektifnya penerapan sistem restorative justice maupun MSAA/MRNIA perlu dipertimbangkan apakah konsep DPA bisa diterapkan di Indonesia dengan hambatan penerapan DPA tersebut, perlu formulasi yang disusun sedemikian rupa sesuai dengan kultur hukum di Indonesia dan perlu penelitian para ahli serta hukuman yang memberikan efek jera.
Kata Kunci: Deferred Prosecution Agreement, Korupsi, Korporasi.
Pratama Ilham Nur19120111812023-02-03T08:33:23Z2023-02-03T08:33:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68721This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687212023-02-03T08:33:23ZANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KEJAHATAN PENGANIAYAAN OLEH MASYARAKAT KEPADA POLISI (Studi kasus di Polres Lampung Tengah)
Kejahatan penganiayaan oleh masyarakat akhir-akhir ini sering terjadi dan disebabkan oleh beragam faktor. Kejahatan penganiayaan dapat berdampak negatif dan merugikan berbagai pihak. Dalam penulisan ini dibahas beberapa permasalahan, yakni: apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan oleh masyarakat terhadap polisi, dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan penganiayaan oleh masyarakat terhadap polisi.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Adapun data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan oleh masyarakat terhadap polisi antara lain: Faktor perilaku aparat penegak hukum, reaksi masyarakat terhadap upaya kekerasan, Kurangnya kesadaran masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan penganiayaan oleh masyarakat terhadap polisi dapat dilakukan melalui upaya nonpenal (preventif) dan upaya penal (Represif. Upaya penal (Preventif) yaitu mengadakan sosialisasi serta memberikan pemahaman kepada masyarakat, sedangkan upaya penal (Represif) yaitu memberikan sanksi pidana berdasarkan Pasal 358 ke-2 KUHP.
Saran yang diajukan sebagai hasil penelitian sebaiknya masyarakat lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak mengulangi tindakan main hakim agar tidak terjadi peristiwa yang merugikan berbagai pihak dan juga aparat penegak hukum diharapkan dapat memberikan penyuluhan terkait tindak pidana penganiayaan dan memperketat pengawasan dan pengamanan di lingkungan yang rawan kejahatan sehingga kejahatan ini dapat diminimalisir dengan baik.
Kata Kunci: Kriminologi, Penganiayaan, Masyarakat.
Recently, the crime of persecution by society has occurred frequently and is caused by various factors. The crime of persecution can have a negative impact and harm various parties. In this paper, several problems are discussed, namely: what are the factors that cause the crime of mistreatment by the community against the police, and how are efforts being made to deal with the crime of mistreatment by the community against the police.
The research method in this thesis uses an empirical juridical approach. The data used are primary data and secondary data. Data collection procedures were carried out by means of literature studies and field studies. The data analysis in this study used qualitative analysis.
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded that the factors causing the crime of persecution by the community against the police include factors in the behavior of law enforcement officials, community reactions to attempts at violence, and a lack of public awareness. Efforts to deal with the crime of persecution by the community against the police can be carried out in non- penal (preventive) and penal (repressive) ways. Penal efforts (preventive) include holding outreach and providing understanding to the public, while penal efforts (repressive) include providing criminal sanctions based on Article 358.2 of the Criminal Code.
As a result of the research, suggestions were put forward that the community should be more able to control their emotions and not repeat vigilante actions so that events that are detrimental to various parties do not occur and that law enforcement officials are expected to be able to provide counseling related to criminal acts of persecution and tighten supervision and security in crime-prone environments so that this crime can be minimized properly
Keywords: Criminology, Persecution, Society.
NILA KRISTI VILLI 16120111952023-02-03T07:25:29Z2023-02-03T07:25:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68716This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/687162023-02-03T07:25:29ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT RAPID TEST ANTIGEN
(Studi Putusan Nomor: 1129/Pid.B/2021/PN.Tjk)
Meningkatnya kebutuhan dan pemakaian surat rapid test antigen membuat beberapa orang yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan melalui perbuatan pidana pemalsuan surat rapid test antigen. Salah satu tindak pidana pemalsuan surat yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah Studi Putusan Nomor: 1129/Pid.B/ 2021/PN.Tjk dengan terdakwa bernama I Putu Bagus dan Rizki Syahrul. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat rapid test antigen dalam Putusan Nomor: 1129/Pid.B/2021/PN.Tjk? (2) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana pemalsuan surat rapid test antigen dalam Putusan Nomor: 1129/Pid.B/2021/PN.Tjk?
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji perundang-undangan dan literatur terkait yang dilanjutkan dengan metode yuridis empiris dengan mewawancarai narasumber terkait. Narasumber terdiri dari Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan, serta analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa majelis hakim telah mempertimbangkan dasar pertimbangan hakim dari teori Mackenzie, yaitu prinsip keseimbangan, pendekatan seni dan intuisi, pendekatan keilmuan, pendekatan pengalaman, teori ratio decidendi, dan teori kebijaksanaan. Sehingga dalam Putusan Nomor: 1129/Pid.B/2021/PN.Tjk hakim menggunakan teori ratio decidendi dan pendekatan keilmuan dalam menjatuhkan putusan selama 1 (satu) tahun dan 6 (bulan) terhadap para terdakwa I Putu Bagus dan Rizki Syahrul.
Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan surat rapid test antigen Studi Putusan Nomor: 1129/Pid.B/2021/PN.Tjk, telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana didasarkan pada adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya kesengajaan dan kealpaan, serta tidak ada alasan pemaaf dan pembenar yang dapat menghapus unsur perbuatan pidana pemalsuan surat rapid test antigen oleh terdakwa. Ketiga unsur pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi dan membuktikan adanya tindak pidana pemalsuan surat rapid test antigen. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan majelis hakim mempertimbangkan segala aspek dalam penjatuhan putusan pidana penjara yang diberikan kepada terdakwa, agar dapat menimbulkan efek jera kepada terdakwa pemalsuan surat rapid test antigen atau orang lain yang memiliki pemikiran untuk melakukan pemalsuan surat rapid test antigen dan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana harus merujuk pada terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan Surat, Rapid Test
VANIA FITRI SALSABILA19520110362023-02-02T08:20:44Z2023-02-02T08:20:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68679This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686792023-02-02T08:20:44ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA PENJARA KEPADA PENYALAHGUNA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 1161/Pid.Sus/2020/PN.Tjk)
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang rawan dengan narkotika, salah satu kasusnya terjadi di Desa Ulangan Jaya Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran. Sesuai Putusan Nomor 1161/Pid.Sus/2020/PN Tjk. Terdakwa atas nama Dwi Alvian memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I yang tidak ada ijin yang sah, sehingga melanggar hukum pidana dalam pemakaian obat-obat terlarang. Permasalahan yang menjadi suatu topik dalam penelitian ini adalah, apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus pidana penjara kepada penyalahguna narkotika pada Putusan Nomor
1161/Pid.Sus/2020/PN Tjk, dan apakah faktor yang menjadi penghambat dalam merumuskan pertimbangan hakim dalam memutus pidana penjara bagi penyalahguna narkotika pada Putusan Nomor 1161/Pid.Sus/2020/PN Tjk.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka. Adapun narasumber yang telah di wawancara yaitu Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan bahwa pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana penjara narkotika berdasarkan putusan nomor 1161/Pid.Sus/2020/PN Tjk, secara filosofis, dimana hakim menghukum penjara terdakwa atas nama Dwi Alvian sebagai penyalahguna narkotika untuk memperbaiki perilakunya. Secara yuridis Dwi Alvian telah melanggar Pasal 112 Ayat (1)Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan hukuman 5 tahun 6 bulan dengan disertai denda Rp.800.000.000,- Secara sosiologis terdakwa atas nama Dwi Alvian tidak mempunyai ijin untuk menyimpan narkotika.Faktor penghambat dari undang- undang, peraturan perundang-undangan masih menganggap bahwa penyalahguna narkotika tidak diberikan syarat mutlak untuk di rehabilitasi.Faktor penghambat dari penegak hukum, berupa kelalaian para aparat penegak hukum yang tidak tepat menerapkan hukum acara pidana Faktor penghambat pada sarana atau fasilitas, masih tergantung dari pihak Pengadilan Negeri dalam menunjang hakim sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Ratna Atiqah Salsabila
Faktor hambatan masyarakatnya sebagai pelaku, dimana masyarakat berbohong sehingga menyulitkan hakim untuk mendalami kasusnya dan membuat hakim kebingungan. Faktor penghambat budaya, sulit terlaksananya tujuan adanya putusan hakim tersebut dimana pelaku penyalahguna narkotika, dapat menyadari kesalahannya untuk ke depannya tidak mengulangi lagi. Faktor penghambat paling dominan ialah faktor masyarakat sebagai pelaku penyalahguna narkotika yang terus berbohong atau saat persidangan, sehingga menyulitkan hakim untuk mendalami kasus nya dan membuat hakim kebingungan dalam pertimbangan hakim memutus pidana penjara.
Saran dari penulis kepada hakim dalam melakukan pertimbangannya perlu untuk menggunakan bisa menggunakan proporsionalitas yang tepat, penyalahguna narkotika untuk di rehabilitasi mengingat hanya penjara fisik dan tidak memperbaiki terdakwa sebagai pecandu nantinya.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penjatuhan Pidana, Penyalahguna Narkotika
ATIQAH SALSABILA RATNA 19520110042023-02-02T08:18:04Z2023-02-02T08:18:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68677This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686772023-02-02T08:18:04ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGGALIAN TANAH TANPA MEMILIKI IZIN USAHA PERTAMBANGAN (Studi Putusan Nomor: 1096/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk)
Pada Putusan Nomor: 1096/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk. telah terjadi penggalian tanah dengan cara pemerataan lokasi perbukitan menggunakan excavator tanpa memiliki Surat Izin Usaha Pertambangan (IUP). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum terhadap penggalian tanah tanpa memiliki Izin Usaha Pertambangan dan apakah faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap penggalian tanah tanpa memiliki Izin Usaha Pertambangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur Pengumpulan data yaitu dengan Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Narasumber dalam penelitian ini adalah: Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data untuk skripsi ini dilakukan secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian adalah penegakan hukum terhadap penggalian tanah tanpa memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dapat dilihat dari penegakan hukum administrasi dan penegakan hukum pidana, namun dalam Putusan Nomor:
1096/Pid.B/LH/2021/PN.Tjk. tidak ada penegakan hukum administrasi dan lebih kepada penegakan hukum pidana. Kemudian ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat serta kebudayaan. Namun ada dua faktor yang sangat dominan menjadi penghambat dalam penegakan hukum, yaitu faktor penegak hukum, karena aparat penegak hukum tidak memahami aturan hukum yang ada, dan faktor masyarakat, karena kesadaran hukum masyarakat di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka didapatkan saran agar aparat penegak hukum sebaiknya lebih memperketat pengawasan terhadap pertambangan ilegal dan masyarakat serta pihak yang terkait, wajib berperan aktif untuk menjaga lingkungan di sekitarnya salah satunya dengan cara meningkatkan kesadaran hukum.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penggalian Tanah, Izin Usaha
Pertambangan.
PUTRI SHANDYANA JULLIA 19120110202023-02-02T08:13:47Z2023-02-02T08:13:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68676This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686762023-02-02T08:13:47ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN SENGAJA MELAKUKAN TIPU MUSLIHAT DAN SERANGKAIAN KEBOHONGAN
(Studi Putusan Nomor 57/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Tjk)
Tindak pidana persetubuhan merupakan suatu bagian dari tindak pidana kesusilaan. Persetubuhan terhadap anak di bawah umur telah ditetapkan di dalam Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak ini menata secara umum perbuatan yang dilakukan pelaku persetubuhan terhadap anak dengan menerangkan perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan atau ancaman kekeresan dengan cara-cara seperti siasat tipu muslihat, kebohongan atau dengan menggunakan bujukan rayu untuk melakukan atau membiarkan anak melakukan persetubuhan. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi apakah dasar yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak pada Putusan Pengadilan Nomor 57/Pid.Sus-Anak/PN.Tjk dan apakah pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara Nomor 57/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Tjk telah sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu berdasarkan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta perundangan-undangan yang sesuai dengan penelitian. Prosedur pengumpulan data yaitu dengan studi pustaka (library research) serta wawancara yang mendalam (interview). Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data untuk skripsi ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dan menarik hasil kesimpulan secara indukatif.
Berdasarkan hasil yang diperoleh penulis setelah melakukan penelitian ini adalah Majelis Hakim dalam perkara ini menggunakan dasar pertimbangan hakim bersifat yuridis dan non yuridis dalam pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan. Terdakwa telah melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 10 (sepuluh) bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Masgar dan Pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan. Pemidanaan terhadap terdakwa dalam putusan ini menggunakan teori tujuan/relatif, menurut teori ini tujuan pemidanaan itu sendiri ialah untuk mencapai pemanfaatanya, dengan kata lain pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa bukan untuk membalas dendam kejahatanya, melainkan untuk mendidik masyarakat menjadi orang-orang yang tabiatnya lebih baik serta menegakan hukum demi pengayoman masyarakat dan untuk mencegah adanya suatu kejahatan yang sama terulang kembali.
Berdasarkan hasil yang penulis dapatkan setelah melakukan penelitian, maka penulis mengajukan saran yaitu, diharapkan kepada para penegak hukum agar lebih memerphatikan duduk perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan terlebih jika yang menjadi korban adalah anak. Anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan harus mendapatkan perhatian khusus yang lebih dari orang tua dan orang-orang di lingkungan sekitarnya agar anak tersebut dapat berkembang lebih baik. Pasal 5 Ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mempertimbangkan kerugiaan dan dampak dari korban yang mengalami kejahatan seksual.
Kata Kunci : Persetubuhan, Dasar Pertimbangan Hakim, Pemidanaan.
ADINDA PUTRI SARAH 19120110302023-02-02T07:35:53Z2023-02-02T07:35:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68668This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/686682023-02-02T07:35:53ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
PERMUFAKATAN JAHAT MENYEDIAKAN NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 12/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk)
Permufakatan jahat menyediakan narkotika yang dilakukan anak dalam Putusan Nomor: 12/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk dituntut pidana oleh penuntut umum dengan pidana penjara terhadap anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Selanjutnya hakim anak menjatuhkan pidana dengan syarat pengawasan kepada anak selama 1 (satu tahun). Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pengawasan terhadap anak pelaku tindak pidana permufakatan jahat menyediakan narkotika dalam Putusan Nomor:
12/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk (2) Bagaimanakah relevansi pidana pengawasan yang dijatuhkan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana permufakatan jahat menyediakan narkotika dengan tujuan pemidanaan.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim Anak Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini adalah: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pengawasan terhadap anak pelaku tindak pidana permufakatan jahat menyediakan narkotika dalam Putusan Nomor: 12/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tjk secara yuridis adalah perbuatan anak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 111 Ayat (1) Jo. Pasal
132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Secara filosofis mempertimbangkan pengawasan terhadap anak untuk membina anak agar menjadi pribadi yang lebih baik dan anak dijatuhi pidana pengawasan berdasarkan Pasal 71 Ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara sosiologis, mempertimbangkan hal- hal yang memberatkan dan meringankan pidana bagi anak. (2) Pidana pengawasan
Rivaldo Ragana Rizal yang dijatuhkan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana permufakatan jahat menyediakan narkotika relevan dengan tujuan pemidanaan untuk pembinaan anak yang pernah melakukan tindak pidana agar menjadi anak yang taat pada hukum, menyadari kesalahannya dan menunjukkan perkembangan yang baik selama masa pengawasan diharapkan tidak kembali lagi melakukan tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum. Tujuan pidana pengawasan terhadap anak adalah dalam rangka memperbaiki perilaku anak tumbuh agar menjadi pribadi yang baik di masa mendatang.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim yang menangani perkara anak hendaknya secara konsisten memutuskan perkara anak dengan berorientasi pada upaya mewujudkan pembinaan terhadap anak. Salah satunya adalah pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga dengan adanya pengawasan tersebut anak akan menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. (2) Agar semua hakim anak di Indonesia dalam memutus perkara anak yang diajukan kepadanya tetap mengacu kepada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Pidana Pengawasan, Anak, Narkotika.
RAGANA RIZAL RIVALDO 19520110132023-01-31T01:48:44Z2023-01-31T01:48:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68581This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685812023-01-31T01:48:44ZEFEKTIVITAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI TAHAP PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF (Studi di Kejaksaan Negeri Pringsewu)
Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus tetap mengutamakan prinsip-prinsip hak anak oleh karena itu perlu pendekatan keadilan restorative selalu di kedepankan. Keadilan restorative merupakan konsep penyelesaian perkara yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan pembalasan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efektivitas penyelesaian tindak pidana anak di tingkat penuntutan berdasarkan keadilan restorative yang dilaksanakan oleh KejaksaanNegeri Pringsewu, apa saja yang menjadi hambatan dalam penyelesaian tindak pidana anakdengan pendekatan keadilan restorative dalam tingkat penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu serta bagaimanakah model penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative yang efektif.
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini secara yuridis normatif dan yuridis empiris, narasumber dalam penelitian adalah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Jaksa Kejaksaan Negeri Pringsewu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penyelesaian tindak pidana anak di tingkat penuntutan berdasarkan keadilan restorative yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu sudah sesuai dengan peraturan yang ada, tetapi pada pelaksanaannya pendekatan keadilan restorative pada kasus tindak pidana anak masih jauh dari kata efektif. Hambatan dalam penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative dalam tingkat penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Pringsewu adalah faktor penegak hukum, Faktor Masyarakat, Faktor Kebudayaan serta Faktor sarana atau fasilitas. Rencana penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan keadilan restorative yang efektif adalah dengan melakukan upaya dialog Bersama keluarga korban di rumah korban atau lebih dikenal dengan familly group conferencing.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut antara lain: (1) Menjadikan pendekatan keadilan restorative sebagai dasar penerapan hukum atau criminal justice system terutama pada peradilan anak. (2) Perlunya penguatan dalam struktur hukum. (3) Membentuk aturan khusus terkait dengan pengawasan terhadap pelaksanaan d pendekatan keadilan restorative pada peradilan anak
Kata Kunci: Efektivitas, Perkara Pidana, Anak, Restoratif
Ramadhan Aulia 20220110282023-01-27T04:38:20Z2023-01-27T04:38:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68535This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/685352023-01-27T04:38:20Z
PERAN PENYIDIK DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN ANAK.
( Studi Kasus di Polda Lampung )
Tindak Pidana Persetubuhan anak saat sekarang ini semakin meningkat khususnya
terjadi dikalangan keluarga yang dilakukan oleh anggota keluarga itu sendiri atau
temen dekat korban. Untuk menangani tindak pidana persetubuhan anak
kepolisian Republik Indonesia memiliki peran melalui penyidik untuk bertugas
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta melakukan penegakan
hukum demi terciptanya ketertiban, mengingat hukum sebagai pedoman bagi
manusia untuk membatasi tingkah laku dan perbuatan yang dapat merugikan serta
sebagai pemberi efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual. Permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah bagaimana peran penyidik dalam menangani tindak
pidana persetubuhan anak dan mengapa terjadi faktor-faktor yang menghambat
peran kepolisian dalam upaya menangani tindak pidana persetubuhan anak?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu dilakukan
wawancara dengan nara sumber atau aparat penegak hukum, kemudian penelitian
ini mendeskripsikan dan menganalisa peran penyidik kepolisian, prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dan data
yang diperoleh selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif agar mudah dipahami.
Hasil penelitian yang diperoleh terhadap tindak pidana persetubuhan anak di
Polda Lampung adalah bahwa peran penyidik dalam menangani persetubuhan
anak terdiri dari tiga peran yaitu peran normatif, peran ideal dan peran faktual.
Peran yang dilaksanakan oleh penyidik kepolisian adalah peran normatif yaitu
peran dilakukan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. dan Peran faktual yaitu peran
yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang didasarkan pada kenyataan secara
kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata berdasarkan
tugas dan wewenangnya. Sedangkan peran ideal yang dijalankan oleh penyidik
kepolisian yang berdasarkan nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan kedudukan di dalam suatu sistem belum dapat dijalankan
mengingat adanya beberapa hambatan dan kekurangan. Faktor-faktor penghambat
yang dihadapi oleh penyidik adalah faktor substansi hukum, fakor penegak
hukum, faktor sarana prasarana, dan faktor masyarakat serta faktor budaya.
Saran yang disampaikan oleh penulis agar sebaiknya jumlah penyidik yang
mempunyai kompetensi di bidang penanganan anak ditambah, dan perlu
dilengkapi sarana prasarana berupa ruang khusus pemeriksaan anak, kendaraan
dinas dan ahli psikiater untuk mendampingi korban agar proses penyidikan
berjalan dengan cepat.
Kata kunci: Peran Penyidik, Tindak Pidana Persetubuhan, Anak
The crime of child sexual intercourse is currently increasing, especially among
families and carried out by the victim's family or close friends of the victim. The
police have a role through investigators to protect, protect and serve the
community and carry out law enforcement for the sake of creating order. The
problem in writing this thesis is what is the role of investigators in dealing with
criminal acts of child sexual intercourse and what are the factors that hinder the
role of the police in dealing with criminal acts of child sexual intercourse?
This study uses a normative juridical and empirical juridical approach.
Normative research is carried out on theoretical matters of legal principles, while
the empirical approach is carried out to study the law in reality in the form of
legal opinions, attitudes and behavior.
The results of the research obtained on the crime of child sexual intercourse at the
Lampung Regional Police are that in 2019 it reached 95 cases, in 2020 it reached
100 cases, and in 2021 it reached 125 cases. This case occurs because children
are very weak people so that the perpetrators are free to have intercourse,
especially when accompanied by threats and persuasion, so that the perpetrators
feel safe in having intercourse with children. The role of the investigator is to
maintain public security and order, enforce the law, and provide protection,
protection and service to the community. carry out functions such as providing
police services to the public in the form of receiving and handling reports or
complaints, requests for assistance or assistance, making arrests, detentions,
searches, investigations and investigations of suspects.
The suggestion submitted by the author should be that the number of investigators
and investigators who have competence is increased and needs to be equipped
with equipment in the form of forensic laboratories in each regional police, so
that the investigation process runs quickly.
Keywords: The Role of Investigators, Handling Sexual Intercourse, Children
E.J Situmorang Jhon21220111022023-01-26T07:31:49Z2023-01-26T07:31:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68499This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/684992023-01-26T07:31:49ZANALISIS PELAKSANAAN PERADILAN IN ABSENTIA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Hukum pidana formil Indonesia menganut sistem penjatuhan pidana secara in absentia yaitu dengan sistem penjatuhan pidana dengan tidak hadirnya Terdakwa. Kehadiran Terdakwa di persidangan adalah sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan Penuntut Umum. Akan tetapi sebaliknya, Terdakwa telah melarikan diri sebelum dilakukan penangkapan atau pemeriksaan dan ketidakhadiran Terdakwa di pemeriksaan tanpa alasan yang sah mengakibatkan kebuntuan proses pemeriksaan. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan peradilan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka Pengadilan terhadap Tersangka in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah pertimbangan Majelis Hakim yang memutus tindak pidana korupsi secara in absentia.
Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan peneletian data primer di lapangan. Sumber data yang digunakan adalah data primer berupa data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan Pengadilan, dan buku serta jurnal.
Hasil dari penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahap penyidikan Jaksa Penyidik melakukan 3 kali pemanggilan terhadap Tersangka khususnya pada pelaksanaan peradilan in absentia perkara tindak pidana korupsi diantaranya melalui media massa lokal dan nasional. Pada tahap penuntutan dilakukan seperti pada perkara umumnya yaitu melampirkan P-33 (Tanda terima surat pelimpahan perkara) hanya saja tidak diiringi dengan Berita Acara Penahanan dan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka. Pada tahap pemeriksaan di muka Pengadilan Majelis Hakim akan melakukan pemeriksaan mengenai tindak pidana yang dilaporkan. Majelis Hakim di sini akan berwenang dalam memberi putusan peradilan. Majelis Hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi secara in absentia pada putusan Nomor: 8/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TJK dan putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2022/PN.TJK Terdakwa terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut memperhatikan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Saran dari penulis kepada lembaga penegak hukum yang berwenang perlu segera merancang undang-undang khusus mengenai peradilan in absentia khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka Pengadilan merupakan bagian dari suatu sistem peradilan pidana dan Jaksa Penyidik harus melakukan penahanan atas diri Tersangka sedini mungkin hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya peradilan in absentia dan dalam prakteknya Majelis Hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara secara in absentia benar-benar harus ditelaah lebih baik lagi agar terbentuk putusan atau penjatuhan pidana yang adil bagi semua pihak.
Kata kunci: In Absentia, Tindak Pidana, Korupsi
Indonesian criminal law adheres to the criminal conviction system in absentia, namely with the criminal conviction system in the absence of the Defendant. The Defendant's presence at trial was as an attempt to make a fight or objection to the public prosecutor's indictment. On the contrary, however, the Defendant had fled before the arrest or examination and the Defendant's absence at the inquest without a valid reason resulted in a stalemate in the examination process. The problem of this research is how the implementation of justice at the stage of investigation, prosecution, and examination before the Court against Suspects in absentia in corruption cases and how is the consideration of the Panel of Judges who decide corruption crimes in absentia.
The problem approach used by the author in this study is an empirical juridical approach method, which is an approach that examines secondary data first and then continues by conducting primary data research in the field. The data sources used are primary data in the form of data obtained directly from the research subject and secondary data in the form of laws and regulations, court decisions, and books and journals.
The results of the research and discussion can be concluded that at the investigation stage the Investigating Attorney conducted 3 summonses against Suspects, especially in the implementation of justice in absentia corruption cases including through local and national mass media. At the prosecution stage, it is carried out as in general cases, namely attaching P-33 (Receipt of the case transfer letter) only not accompanied by the Minutes of Detention and Minutes of Examination of Suspects. At the examination stage before the Court, the Panel of Judges will conduct an examination regarding the reported criminal acts. The Panel of Judges here will have the authority to render judicial decisions. Panel of Judges in deciding corruption cases in absentia on the verdict Number: 8/Pid.Sus-TPK/2022/PN. TJK and verdict Number: 9/Pid.Sus-TPK/2022/PN. TJK The Defendant was validly proven and guilty of committing the crime of corruption. The Panel of Judges in deciding the case pays attention to juridical, sociological, and philosophical considerations.
The author's advice to the competent law enforcement agencies needs to immediately draft a special law regarding justice in absentia, especially in cases of corruption crimes. Given that the stage of investigation, prosecution, and examination before the Court is part of a criminal justice system and The Investigating Prosecutor must detain the suspect as early as possible this is aimed at preventing the occurrence of justice in absentia and in practice the Panel of Judges in considering and deciding cases in absentia really must be reviewed better so that a fair verdict or criminal conviction is formed for all parties.
Keywords: In Absentia, Criminal Acts, CorruptionAlief Ramadhan Muhamad 19520110352023-01-12T04:11:30Z2023-01-12T04:11:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68240This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/682402023-01-12T04:11:30ZPENCABUTAN HAK ASIMILASI TERHADAP NARAPIDANA
YANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)Asimilasi merupakan hak yang harus diberikan kepada setiap narapidana, namun
demikian terdapat pengeculian pemberian asimilasi terhadap narapidana yang
menggunakan narkotika di saat program asimilasi di rumah berlangsung, yaitu
asimilasi terhadap narapidana dapat dicabut. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah: (1) Bagaimanakah pelaksanaan pencabutan hak asimilasi terhadap
narapidana yang menggunakan narkotika selama program asimilasi di rumah? (2)
Apakah pencabutan hak asimilasi terhadap narapidana yang menggunakan
narkotika selama program asimilasi sesuai dengan tujuan pemidanaan?
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan
narasumber yaitu pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara
kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Pencabutan asimilasi terhadap narapidana
yang menggunakan narkotika selama masa asimilasi di rumah sebagai bentuk
pembinaan terhadap narapidana yang seharusnya menjadi pribadi yang lebih baik
ketika menjalani masa hukuman tetapi justru kembali melakukan tindak pidana.
Prosedurnya adalah Kepala Bapas berdasarkan sidang tim pengamat
pemasyarakatan menyampaikan rekomendasi pencabutan kepada Kepala
Lapas/LPKA. Kepala Lapas/LPKA berdasarkan sidang tim pengamat
pemasyarakatan Lapas/LPKA menetapkan keputusan pencabutan. Lalu, Kepala
Lapas/LPKA menyampaikan keputusan pencabutan kepada Klien melalui Kepala
Bapas dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Direktur Jenderal,
selanjutnya dilakukan Penetapan Pencabutan Asimilasi kepada Narapidana
dilaksanakan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri. (2)
Pencabutan asimilasi terhadap narapidana yang menggunakan narkotika selama
masa asimilasi di rumah sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk mencapai
Alfan Tri Permana
perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan. Pemidanaan dimaksudkan
untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan
itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan
perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan
masyarakat, dan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pencabutan Asimilasi terhadap narapidana
yang melakukan tindak pidana saat melakukan progra asimilasi perlu tetap
dilaksanakan, namun demikian perlu juga ditingkatkan kualitas pembinaan serta
pemeriksaan terhadap narapidana dari aspek kualitas dan kuantitasnya agar
program dan jenis-jenis pembinaan yang telah ditetapkan akan dapat terlaksana
secara optimal. (2) Upaya untuk meningkatkan pembinaan terhadap narapidana di
dalam Lapas dan pembinaan di luar Lapas saat berjalannya suatu program asimilasi
perlu didukung oleh sarana dan prasarana pembinaan, khususnya sarana yang
berkaitan dengan pembinaan kesadaran beragama dan pembinaan kesadaran
berbangsa dan bernegara, pembinaan kesadaran hukum dan pembinaan kemampuan
intelektual serta pembinaan pembinaan kemandirian, sehingga para narapidana
dapat memanfaat berbagai fasilitas tersebut dengan sebaik-baiknya dalam rangka
perbaikan diri untuk memperoleh pribadi yang lebih berkualitas.
Kata Kunci: Pencabutan Asimilasi, Narapidana, Narkotika, Lembaga
Pemasyarakatan.
1712011093 ALFAN TRI PERMANAalfantripermana@gmail.com2023-01-11T03:33:52Z2023-01-11T03:33:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68227This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/682272023-01-11T03:33:52ZFUNGSI ILMU KRIMINALISTIK DALAM PEMBERIAN BANTUAN
PENGUNGKAPAN PERKARA PEMBUNUHAN
DENGAN PEMBERATAN
(Studi Putusan Nomor:19/Pid.B/2018/PN.Tjk)Kriminalistik merupakan ilmu bantu yang digunakan penyidik untuk
menyelidiki/mengungkap kejahatan dalam arti seluas-luasnya berdasarkan bukti-
bukti dan keterangan-keterangan dengan mempergunakan hasil yang ditemukan
oleh ilmu pengetahuan lainnya. Fungsi kriminalistik sangat penting dalam
membantu mengungkap suatu perkara, dalam kriminalistik dikenal dengan ilmu
kedokteran forensik. Ilmu kedokteran forensik inilah yang digunakan penyidik
untuk mengungkap suatu perkara yaitu dengan dilakukannya otopsi terhadap
tubuh mayat korban, hasil dari otopsi tersebut disebut Visum Et Repertum. Visum
et repertum merupakan alat bukti yang sah yang digunakan dalam proses
peradilan sebagai dasar dalam pertimbangan putusan hakim, yang dibahas dalam
penelitian ini yaitu: Bagaimana fungsi ilmu kriminalistik dalam membantu
pengungkapan perkara pembunuhan dengan pemberatan. Apakah faktor
penghambat fungsi ilmu kriminalistik dalam pemberian bantuan pengungkapan
perkara pembunuhan dengan pemberatan.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa fungsi kriminalistik dalam
membantu pengungkapan perkara pembunuhan dengan pemberatan adalah dengan
dilakukannya otopsi terhadap tubuh mayat korban yang diajukan oleh penyidik
kepada ahli kedokteran kehakiman untuk membuat visum et repertum. Hasil
visum et repertum akan menjadi alat bukti yang sah apabila di yakini oleh hakim
sebagai keterangan ahli sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Hambatan-hambatan
yang dihadapi kriminalistik diantaranya, kelengkapan sarana dan prasarana yang
belum memadai, kurangnya pengaturan mengenai kriminalistik dalam KUHAP,
masih banyak masyarakat yang enggan untuk dijadikan saksi apabila ada salah
Indonesia Mayumi Azra
satu anggota keluarga mereka yang terkena musibah, pihak keluarga enggan untuk
dilakukannya pemeriksaan terhadap mayat keluarga mereka. Faktor penghambat
paling dominan adalah sarana prasarana yang dimiliki rumah sakit belum lengkap,
belum tersedia laboratorium forensik di provinsi Lampung, sehingga apabila
diperlukan uji laboratorium forensik, maka penyidik harus mengirimkannya ke
laboratorium forensik POLDA Sumatera Selatan.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah: mengingat
laboratorium forensik yang belum tersedia di Lampung, maka hendaknya
leboratorium harusnya sudah ada di Lampung. Hal ini menghindarkan barang
bukti agar cepat diperiksa dan tidak mudah rusak, perlu ditingkatkan kerjasama
antar masyarakat, kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya sehingga proses
pengungkapan suatu tindak perkara segera cepat terungkap.
Kata Kunci: Fungsi Kriminalistik, Pengungkapan, Pembunuhan1742011038 Indonesia Mayumi Azraindonesiamayumiazra@gmail.com2023-01-09T00:51:24Z2023-01-09T00:51:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68124This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/681242023-01-09T00:51:24ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERBURUAN
BERUANG MADU DI KABUPATEN PESISIR BARAT
(Studi pada Resor Lampung Barat)Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alam terutama sumber
daya alam hayatinya, baik berupa jenis tumbuh-tumbuhan maupun satwa-satwa yang
ada di dalamnya. Kekayaan alam tersebut merupakan aset yang tak ternilai harganya,
oleh karena itu perlu adanya suatu pengaturan perlindungan hukum berbagai jenis
tumbuhan dan satwa tersebut terutama satwa yang dilindungi di Indonesia.
Pengaturan perlindungan hukum terhadap tindak pidana perburuan satwa yang
dilindungi di Indonesia dirumuskan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah: (1) penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan
beruang madu di Kabupaten Pesisir Barat (2) faktor-faktor yang menghambat
penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan beruang madu di Kabupaten
Pesisir Barat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris.
Narasumber terdiri dari Kasatreskrim Polres Lampung Barat, pengadilan negeri liwa
lampung barat dan dosen bagian hukum pidana fakultas hukum unila. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: penegakan hukum oleh Polres
lampung barat terhadap tindak pidana perburuan hewan sesuai dengan tahap aplikasi
dalam penegakan hukum pidana. Tahap aplikasi ini dilaksanakan oleh penyidik
Polres Lampung Barat dengan penyidikan yang dituangkan ke dalam berita acara
secara tertulis untuk selanjutnya dibuat dalam satu bendel kertas yang bersampul
berkas perkara lengkap dengan daftar isi, daftar saksi, daftar tersangka dan daftar
barang bukti. Setelah berkas perkara tersebut diterima dan dinyatakan lengkap oleh
kejaksaan, maka akan diproses secara hukum oleh kepolisian telah selesai dan
selanjutnya diproses secara hukum oleh pihak kejaksaan dan pengadilan. Faktor-
faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan hewan adalah
subtansi hukum yang rendahnya ancaman terhadap pelaku tindak pidana perburuan
hewan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
iii
Aswita
Faktor aparat penegak hukum kurangnya personil penyidik Polres Lampung Barat
yang khusus melakukan penyidikan tindak pidana perburuan hewan, faktor sarana
dan prasarana, yaitu tidak adanya klinik khusus hewan di Kabupaten Lampung Barat,
yang berguna untuk memastikan bahwa telah terjadi perburuan hewan. Faktor
masyarakat yaitu minimnya partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum terhadap
pelaku perburuan hewan. Masyarakat dalam hal ini menganggap bahwa bukan
sebagai tindak pidana. Faktor budaya, yaitu masyarakat masih memilih kompromi
dalam menyelesaikan perkara pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: Aparat penegak hukum disarankan untuk
menjatuhkan pidana yang berat dan berdenda yang sangat besar terhadap pelaku
tindak pidana perburuan hewan, hal ini penting dilakukan dalam rangka memberikan
efek jera dan sebagai upaya untuk meminimalisasi tindak pidana yang serupa di
masa-masa yang akan datang. Pengawasan terhadap kegiatan masyarakat yang
berpotensi pada terjadinya tindak pidana perburuan hewan hendaknya dioptimalkan
dalam rangka menjaga kelestarian hewan dari kepunahan apabila terus menerus
dijadikan sebagai sasaran berburu oleh masyarakat.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Perburuan Beruang Madu
The Indonesian nation is a nation that is rich in natural resources, especially
biological natural resources, both in the form of plants and animals in it. This natural
wealth is an invaluable asset, therefore it is necessary to have a legal protection
arrangement for various types of plants and animals, especially protected animals in
Indonesia. The regulation of legal protection against the crime of poaching protected
animals in Indonesia is formulated through Law Number 5 of 1990 concerning
Conservation of Biological Natural Resources and Their Ecosystems. The problems
in this study are: (1) law enforcement against the crime of hunting sun bears in Pesisir
Barat Regency (2) the factors that hinder law enforcement against the crime of
hunting sun bears in Pesisir Barat Regency.
This study uses a normative juridical approach and an empirical approach. The
resource persons consisted of the Head of Criminal Investigation Unit of the West
Lampung Police, the West Lampung Liwa District Court and a lecturer in the
Criminal Law Department at the Unila Law Faculty. Data was collected by means of
a literature study and field study, then the data was analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show: law enforcement by the West
Lampung Police against the crime of animal hunting in accordance with the
application stage in criminal law enforcement. This application stage is carried out by
West Lampung Police investigators with the investigation poured into a written report
to be further made in a bundle of paper with a cover for the case file complete with a
table of contents, list of witnesses, list of suspects and list of evidence. After the case
file is received and declared complete by the prosecutor, it will be processed legally
by the police and has been completed and then processed legally by the prosecutor
and the court. The inhibiting factors in law enforcement against the crime of animal
hunting is the legal substance that has a low threat to the perpetrators of the crime of
hunting animals as regulated in Article 21 Paragraph (2) of Law Number 5 of 1990
concerning Conservation of Biological Natural Resources and Their Ecosystems.
The factor of law enforcement officials is the lack of investigators from the West
Lampung Police who specifically conduct investigations into criminal acts of animal
hunting, the facilities and infrastructure factors, namely the absence of a special
animal clinic in West Lampung Regency, which is useful for ensuring that animal
v
hunting has occurred. The community factor is the lack of community participation in
law enforcement against animal poachers. Society in this case considers that not as a
crime. Cultural factors, namely the community still chooses to compromise in
resolving criminal cases.
Suggestions in this study are: Law enforcement officers are advised to impose heavy
penalties and very large fines on perpetrators of the crime of animal hunting, this is
important to do in order to provide a deterrent effect and as an effort to minimize
similar crimes in the future. will come. Supervision of community activities that have
the potential for criminal acts of animal hunting should be optimized in order to
preserve animals from extinction if they are continuously used as hunting targets by
the community.
Keywords: Law Enforcement, Crime, Sun Bear Hunting1512011323 ASWITAaswita.fh15@gmail.com2023-01-09T00:45:57Z2023-01-09T00:45:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68121This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/681212023-01-09T00:45:57ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
JUAL BELI NARKOTIKA JENIS TEMBAKAU GORILA
MELALUI MEDIA ONLINE OLEH PIHAK
KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNGMedia online selain digunakan sebagai hal-hal yang positif media online juga
dapat disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Antara lain adalah sarana untuk
jual beli narkotika. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah,
bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana jual beli
narkotika jenis tembakau gorila melalui media online, apakah faktor-faktor yang
menjadi penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana jual beli
narkotika jenis tembakau gorila melalui media online.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian secara yuridis normatif dan
yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data yang bersumber dari bahan
hukum primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis kualitatif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Jual beli Narkotika Jenis Tembakau Gorila Melalui Media Online Yakni
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Faktor-
Faktor Yang menjadi penghambat aparat penegakan hukum dalam hal ini
mengenai tindak pidana jual beli narkotika jenis tembakau gorila melalui media
online: Faktor Sarana atau Fasilitas dan Faktor Aparat Penegak Hukum.
Penulis memberikan saran agar aparat penegak hukum dalam hal ini diharapkan
tidak hanya menggunakan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
namun menggunakan Jo Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dan memberikan subsider berlapis agar tindak pidana
dalam kasus ini mendapatkan sanksi yang berat, meningkatkan sarana fasilitas
untuk menangani kejahatan Cyber,
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Kepolisian, Narkotika, Online.1612011306 ROYNALDI Z.Nroynaldi08111998@gmail.com2022-12-28T04:12:11Z2022-12-28T04:12:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68083This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/680832022-12-28T04:12:11ZPERANAN UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK (PPA) DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA KEKERASAN
SEKSUAL PADA ANAK
(Studi Kepolisian Resor Way Kanan)
Kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Way Kanan masih banyak terjadi dan perlu penanganan yang tegas oleh pihak Kepolisian Resor Way Kanan. Peranan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual pada anak ini sangatlah diperlukan guna membantu, mendampingi serta menyelesaikan kasus tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Kabupaten Way Kanan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah peranan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Way Kanan dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan 2) Apakah faktor-faktor penghambat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Way Kanan dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak.
Metode penelitian menggunakan pendekatan normatif empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Dua anggota Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Unit PPA Kepolisian Resor Way Kanan dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peranan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Way Kanan dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak termasuk ke dalam peranan normatif dan faktual. Tetapi dalam menjalankan peranannya, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Way Kanan belum menjalankan peranannya secara keseluruhan maka Unit PPA tidak dapat menjalankan peranannya secara ideal. Selanjutnya faktor penghambat peranan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Way Kanan dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual pada anak yang paling dominan adalah faktor sarana dan prasarana serta faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas anggota yang kurang memadai serta kurangnya kerjasama pihak kepolisian dengan pemerintah daerah atau instansi terkait dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Saran dalam penelitian ini adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Way Kanan hendaknya melaksanakan peranannya dengan sebaik-baiknya dan secara bertanggung jawab serta Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Way Kanan dapat meningkatkan kerjasama terhadap pemerintah maupun masyarakat agar dalam menangangi maupun menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan secara optimal dan menyeluruh ke setiap daerah di Kabupaten Way Kanan.
Kata Kunci: Peranan Unit PPA, Kekerasan Seksual, Kab. WayKanan
1812011279 NURULLISA AMIYATI2022-12-23T04:21:05Z2022-12-23T04:21:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/68035This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/680352022-12-23T04:21:05ZAnalisis Kriminologis Terhadap Pelaku Pemalsuan Surat Rapid Test Antigen (Studi Kasus Pada Wilayah Polres Lampung Selatan)Pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang nampak dari luar seolah-olah benar adanya,padahalsesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Pemalsuan surat rapid test antigen ini sudah sering kali terjadi di Provinsi Lampung. Segala upaya guna mengatasi hal ini telah dilakukan pihak kepolisian. Melihat banyaknya kasus ternyata sosialisasi terkait undang-undang yang mengatur pemalsuan surat tapid test antigen belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dan penegakan hukum yang
dilakukan belum mampu memberi efek jera kepada masyarakat yang tidak bertanggungjawab, sehingga dalam perspektif kriminologi Permasalahan yang diangkat pada penelitian kali ini adalah Apakah faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan surat keterangan rapid test antigen? Bagaimanakah upaya penanggulangan pemalsuan surat keterangan rapid test antigen?
Pada penelitian kali ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang meliput data primer dan skunder, dimana masing-masing data diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Narasumber penelitian ini terdiri dari Pelaku Kejahatan Pemalsuan Surat Keterangan Rapid Test Antigen, Penyidik pada Reskrim Polres Lampung Selatan, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Ahli Kriminologi Fakultas ISIP Universitas Lampung. Dengan analisis data yang dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa kajian kriminologi terhadap pelaku pemalsuan surat keterangan rapid test antigen yaitu: Faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan surat keterangan rapid test antigen yaitu meliputi faktor kemerosotan moral, faktor daya emosional, faktor ekonomi, faktor penyimpangan budaya dan lingkungan sosial dan ikatan sosial masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan pemalsuan surat keterangan rapid test antigen di Lampung Selatan yaitu melalui upaya penal melalui penerapan sanksi pidana dan upaya non-penal dengan melakukan penyuluhan, menyediakan sarana dan prasarana serta memerlukan tiga rangkaian yang berkesinambungan yaitu, penyelidikan, penindakan, dan koordinasi dengan pihak Dinas Perhubungan dan dinas terkait agar bekerja sama dalam hal pengawasan dan pertukaran informasi terkait adanya kejahatan pemalsuan surat keterangan rapid test antigen.
Saran dari penelitian ini adalah (1) Setiap pihak bukan hanya kepolisian haruslah konsistensi dan saling berkoordinasi dalam melaksanakan tugas pengawasan agar
lebih efektif. (2) Peran kepolisian sebagai mitra masyarakat dalam konteks pencegahan dan pemberantasan masyarakat harus senantiasa ditingkatkan dengan program-program yang langsung terjun ke dalam masyarakat, khususnya menjalin suatu kesinambungan kerjasama yang humoris demi mencapai keamanan,
ketertiban dan kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.
Kata Kunci: Kriminologi, Pemalsuan, Rapid Test Antigen1812011122 Vilda Aslinda2022-12-12T06:52:35Z2022-12-12T06:52:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67521This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/675212022-12-12T06:52:35ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN
PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PENCURIAN DENGAN
PEMBERATAN
(Studi Putusan Nomor: 457/Pid.B/2021/PN.Kla.)Tindak pidana pencurian dengan pemberatan termasuk kedalam pencurian
istimewa, maksudnya suatu pencurian yang dilakukan dengan cara tertentu dan
dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan diancam dengan
hukuman yang lebih tinggi. Contohnya seperti putusan Hakim pada Nomor:
457/Pid.B/2021/PN.Kla terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan
yang diberikan pemidanaan 1 Tahun 4 bulan sedangkan hukuman maksimalnya 7
tahun, pelaku setelah melakukan tindak pidana sempat pergi keluar kota dan
pelaku pernah dihukum (Residivis). Permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pemidanaan
terhadap pelaku pencurian dengan pemberatan dan Apakah putusan Hakim
pengadilan Negeri Kalianda terhadap pelaku pencurian dengan pemberatan telah
memenuhi fakta-fakta persidangan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian secara normatif dan yuridis
empiris. Data yang digunakan adalah data yang bersumber dari bahan Hukum
primer dan skunder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif. Narasumber penelitian ini adalah Jaksa Penuntut Umum
Lampung Selatan, Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam
Penjatuhan Pemidanaan Terhadap Pelaku Pencurian Dengan Pemberatan
Memperhatikan tiga aspek yaitu : yuridis, filosofis, dan sosiologis. Berdasarkan
aspek yuridis dalam kasus ini terdakwa Ra Gusti Panji terbukti secara sah
melanggar Pasal 363 Ayat(1) ke-3 dan ke-5 KUHP. Dalam hal ini Hakim
seharusnya lebih memperhatikan kembali hukuman terhadap terdakwa yang mana
dalam kasus ini terdakwa pernah dihukum (Residivis) dan menjadi DPO selama 1
tahun, seharusnya hukuman yang diberikan terhadap terdakwa lebih maksimal.
Secara filosofis Hakim menilai bahwa pemidanaan yang diberikan terhadap
terdakwa dengan pemidanaan 1 tahun 4 bulan adalah hukuman yang harus
ditangguhkan terhadap terdakwa. Berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya,
hukuman yang seharusnya ditanggguhkan lebih berat dari hukuman yang
diberikan oleh Hakim agar dapat memberikan efek jera terhadap terdakwa.Hernando Mulia Dharma
Secara sosiologis Hakim mempertimbangkan latar belakang social terdakwa serta
memperhatikan hal-hal yang memberatkan, dan meringankan. Menurut pendapat
saya seharusnya di dalam hal yang memberatkan lebih diperhatikan kembali yang
mana terdakwa melarikan diri keluar kota dan dijadikan DPO tetapi tidak
dijadikan alasan pemberat terhadap terdakwa seharusnya terdakwa menerima
hukuman yang maksimal agar terdakwa tidak menggulanginya. Putusan Hakim
pengadilan Negeri Kalianda terhadap pelaku pencurian dengan pemberatan telah
memenuhi fakta-fakta persidangan, terdakwa telah memenuhi secara sah
berdasarkan pembuktian. Berdasarkan keterangan saksi yang menjelaskan
kebenarannya korban telah kehilangan 1 unit sepeda motor Honda beat warna
merah putih Nopol BE 5059 OC dan 1 unit HP merek Nokia C3 Warna
Hitam, serta berdarkan keterangan terdakwa pada saat persidangan yang
mengakui Perbuatan terdakwa yang mana telah mencuri 1 unit sepeda motor
Honda beat Nopol BE 5059 OC dan 1 unit HP merek Nokia C3 yang telah
dijual dengan harga Rp 2.000.000 rupiah. Menurut pendapat saya lebih
diperhatikan kembali Fakta-fakta persidangan yang mana dapat
memaksimalkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan bukti-bukti yang
ada serta bukti pendukung agar dapat meminimalisir pelaku yang akan
melakukan tindak pidana serupa.
Penulis memberikan saran agar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan dalam suatu tindak pidana lebih di perhatikan kembali hal-hal yang dapat
memaksimalkan hukuman terhadap terdakwa serta agar dapat meminimalisir
tindak pidana serupa. Saran terhadap para penegak hukum hendaknya dalam
pembuktian lebih diperhatikan kembali bukti-bukti yang ada serta bukti-bukti
pendukung sehingga dapat dijadikan dasar dalam menghukum terdakwa dan dapat
memberikan hukuman yang maksimal agar terdakwa dapat merasa jera.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Tindak Pidana, Pencurian Dengan Pemberatan1842011008 Hernando Mulia Dharma2022-12-12T03:53:42Z2022-12-12T03:53:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67501This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/675012022-12-12T03:53:42ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN OLEH ANAK
YANG TERGABUNG DALAM GANGSTER
(Studi di Wilayah Polrestro Depok)Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar
norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja
atau transisi masa anak-anak ke dewasa, kian marak kenakalan remaja di Kota
Depok yang tidak jarang berujung menjadi tindak pidana atau kejahatan yang
merugikan masyarakat banyak khususnya di Kota Depok. Usia remaja yang masih
labil secara psikis menyebabkan mereka terbawa arus pergaulan negatif yaitu
membentuk kelompok gangster. Sehubungan dengan maraknya kasus tersebut,
menjadi alasan penulis untuk membahas mengenai faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan oleh anak yang tergabung dalam gangster serta upaya
penanggulangan kejahatan oleh kepolisian yang dilakukan oleh gangster.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan
pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Pihak Kepolisian,
Anggota Gangster dan Dosen bagian hukum pidana Universitas Lampung,
selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan tentang faktor-faktor penyebab
Terjadinya Kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang tergabung
dalam gangster, terdapat dua faktor yang pertama adalah faktor internal yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri pelaku terdiri dari faktor intelegentia, faktor
usia, faktor jenis kelamin, dan faktor kedudukan anak dalam keluarga. Kedua,
faktor eksternal yaitu faktor yang beraal dari dorongan yang datang dari luar diri
pelaku, terdiri dari faktor keluarga, faktor pendidikan anak dan sekolah, faktor
pergaulan anak, dan pengaruh media massa. Upaya Kepolisian dalam
penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang
tergabung dalam (gangster), ada tiga yaitu yang pertama tindakan preventif
membentuk BIMAS (Bimbingan Masyarakat). Yang kedua tindakan represif
pihak Kepolisian Resort Kota Depok membentuk Tim Khusus yang diberi nama
Tim Jaguar, fungsinya untuk berpatroli menjaga keamanan serta ketertiban dan
menindak setiap kejahatan yang dijumpai. Yang ketiga tindakan kuratif, dilakukan
oleh aparatur eksekusi pidana, para pejabat lembaga pemasyarakatan atau pejabat
dari BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak) serta
mengedepankan upaya diversi bagi anak berhadapan dengan hukum.
Achmad Reza Alfaizi
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain, orangtua harus mampu memantau
anak-anak mereka dengan baik. Kepolisian Resort Kota Depok, Pemerintah Kota
Depok, dan seluruh lapisan masyarakat Kota Depok dapat bersinergi untuk
menciptakan perbaikan dan pengembangan lingkungan ramah anak untuk
menunjukkan bakat atau kreatifitasnya serta adanya upaya-upaya pemberdayaan
yang baik bagi anak serta menindak tegas berbagai tindak pidana yang dilakukan
oleh para anggota gangster.
Kata Kunci : Anak, Gangster, Kejahatan, Kriminologis.1612011021 Achmad Reza Alfaiziachmadrezaalf@gmail.com2022-12-12T02:41:19Z2022-12-12T02:41:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67490This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/674902022-12-12T02:41:19ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU PENYERTAAN DALAM TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(Studi Putusan Nomor: 1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk)
Permasalahan perdagangan manusia meski merupakan permasalahan yang sangat
kompleks tetap harus diberantas tuntas dengan tegas. Segala bentuk tindak pidana
yang mengarah pada tindak pidana perdagangan orang untuk lebih diberi
perhatian dalam penyelidikannya, agar pemberantasan perdagangan orang di
lakukan tidak dengan setengah-setengah, sehingga jumlah perdagangan orang
khususnya perempuan dan anak dapat berkurang. Permasalahan dalam skripsi ini
adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyertaan
dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang dan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan orang.
Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data menggunakan Data Skunder.
Narasumber Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Advokat Kantor
Advokat LBH Bandar Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Bagian Hukum
Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
pidana penyertaan dalam tindak pidana perdagangan orang (Studi Putusan Nomor:
1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk) adalah dalam hal terdapat dalam Pasal 55 KUHP,
dalam tindak pidana perdagangan orang dipersoalkan tuntutan hukum serta sanksi
hukum yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak
pidana perdagangan orang itu sebagaimana peran masing-masing dan melihat
pertanggungjawabannya atasperan/bantuan itu. Dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
orang (Studi Putusan Nomor: 1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk) adalah hakim harus
mempertimbangkan, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan
nilai-nilai sosiologis karena perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan
perbuatan Terdakwa tidak mengindahkan program Pemerintah dalam
memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang, aspek filosofis Majelis Hakim
tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana,
ii
baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, sehingga Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan yuridis dengan didasarkan pada
alat bukti, keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan berdasarkan faktafakta persidangan dan juga mempertimbangkan alasan-alasan yang memberatkan
dan yang meringankan dari diri terdakwa, dan dengan keyakinan Hakim maka
putusan yang dijatuhkan adalah menyatakan Terdakwa Siti Hasnawati Alias Mila
Binti Suhandi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “perdagangan orang”.
Saran dalam penelitian ini adalah disarankan kepada pihak penyidik dalam
penanganan kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang kiranya disidik,
dijadikan tersangka dan dituntut sesuai peran masing-masing sesuai ajaran
deelneming. Dalam melakukan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan
diharapkan Hakim mempertimbangkan semua yangdihadirkan dalam persidangan
selain pertimbangan yuridis Hakim juga diharapkan melakukan pertimbangan non
yuridis. Dan seharusnya putusan tersebut lebih tepat jika tentang Prostitusi bukan
tentang Perdagangan orang. Dan dalam menjatuhkan putusan dirasa kurang tepat
karena menurut penulis bahwa penggunaan pasal dapat di akomodir, dikarenakan
tidak ada unsur paksaan lebih tepat lagi kasus tersebut di putus dengan
menggunakan pasal prostitusi online dengan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE
dikarenakan tidak adanya unsur paksaan dalam kasus tersebut.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku Penyertaan, Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sofia Anita Ayu Lestari
iii
ABSTRACT
ANALYSIS OF CRIMINAL LIABILITY AGAINST PARTICIPANT IN
ACTION TRAFFICKING OF PEOPLE
(Study of Decision Number: 1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk)
By
Sofia Anita Ayu Lestari
The problem of human trafficking, although it is a very complex problem, must be
eradicated firmly. All forms of criminal acts that lead to criminal acts of
trafficking in persons should be given more attention in their investigations, so
that the eradication of trafficking in persons is carried out not half-heartedly, so
that the number of trafficking in persons, especially women and children, can be
reduced. The problem in this thesis is how is the criminal responsibility for the
perpetrators of participation in the Crime of Trafficking in and what is the basis
for the judge's legal considerations in making criminal decisions against the
perpetrators of the crime of trafficking. people.
The problem approach used in this study is a normative juridical approach and
an empirical juridical approach. The data source uses Secondary Data. Judges at
the Tanjung Karang District Court, Advocates at the LBH Bandar Lampung
Advocate Office and Academics from the Faculty of Law, Criminal Law Division
at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that the criminal liability of
participation in the criminal act of trafficking in persons (Decision Study
Number: 1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk) is contained in Article 55 of the Criminal
Code, in the criminal act of trafficking in persons, lawsuits and sanctions are
questioned. the law that must be imposed on each participant in the
implementation of the criminal act of trafficking in persons according to their
respective roles and seeing their accountability for that role/assistance.
Participation is regulated and explained clearly in Article 55 of the Criminal
Code for punishment or criminal sanctions for people who help commit criminal
acts. The basis for the judge's legal considerations in passing a criminal decision
against the perpetrator of the criminal act of trafficking in persons (Judgment
Study Number: 1045/Pid.Sus/2020/PN.Tjk) is that the judge must consider other
aspects besides the juridical aspect, so that the judge's decision completely
reflects the value -sociological value because the defendant's actions disturbed
the community and the defendant's actions did not heed the Government's
program in eradicating the Crime of Trafficking in Persons, the philosophical
aspect of the Panel of Judges did not find things that could eliminate criminal
liability, both as justification reasons and or excuses, so that the defendant must
iv
be held accountable his actions and juridically based on evidence, testimony of
witnesses, testimony of the defendant and based on the facts of the trial and also
considering the aggravating and mitigating reasons for the defendant, and with
the conviction of the judge, the verdict handed down is stating that the defendant
was convicted. akwa Siti Hasnawati Alias Mila Binti Suhandi was proven legally
and convincingly guilty of committing the crime of “trafficking in persons”.
Suggestions in this study are suggested to the investigators in handling cases of
criminal acts of trafficking in persons to be investigated, made suspects and
prosecuted according to their respective roles according to the teachings of
deelneming. In making considerations to make a decision, the judge is expected to
consider everything presented in the trial in addition to juridical considerations.
Judges are also expected to carry out non-juridical considerations. And the
decision should be more appropriate if it is about prostitution not about human
trafficking. And in making a decision, it is deemed inappropriate because
according to the author, the use of articles can be accommodated, because there
is no element of coercion. the.
Keywords: Criminal Liability, Participating Actors, Trafficking in Persons
(TPPO).
Sofia Anita Ayu Lestari18120110532022-12-12T01:58:15Z2022-12-12T01:58:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67479This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/674792022-12-12T01:58:15ZANALISIS KRIMINOLOGIS PERJUDIAN DENGAN MODUS BALAP
LIAR DI KAWASAN PUSAT KEBUDAYAAN DAN OLAHRAGA
WAY HALIM
(Studi Kasus pada Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Sukarame)Perjudian sudah menjadi penyakit yang tidak asing lagi bagi masyarakat baik dari
kalangan remaja sampai anak di bawah umur bisa melakukan perjudian. Salah
satu pengembangan dari tindak pidana perjudian adalah dengan ditemukannya
tindak pidana perjudian dengan modus baru, yaitu tindak pidana perjudian dengan
modus balap liar. Adanya modus perjudian dengan modus baru inilah yang
menjadi alasan penulis untuk membahas tentang faktor penyebab terjadinya
perjudian dengan modus balap liar serta bagaimanakah upaya kepolisian dalam
penanggulangan perjudian dengan modus balap liar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan
pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Faktor penyebab terjadinya
perjudian dengan modus balapan liar di kawasan PKOR Way Halim, terdapat dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang mana faktor internal adalah
faktor yang mempengaruhi pelaku melakukan perjudian dengan modus balapan
liar yang terdapat dari dalam diri pelaku sendiri yaitu faktor penyaluran bakat,
faktor krisis identitas, faktor lemahnya kontrol diri dan kurangnya iman,
sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar diri pelaku yaitu faktor
rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor keuangan, faktor keluarga, dan faktor
lingkungan sosial.. Sedangkan Upaya penanggulangan perjudian dengan modus
balapan liar d kawasan PKOR Way Halim dilakukan dengan upaya penal dan non
penal. Upaya penal dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain, penerimaan
laporan, penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penyitaan dan pemeriksaan.
Adapun saran yang dapat diberikan adalah Diharapkan masyarakat meningkatkan
mentalitas, moralitas, serta keimanan dan ketaqwaan yang bertujuan untuk
pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan
sesuatu yang tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat menghindari pikiran
dan niat yang kurang baik di dalam hati serta pikirannya. Serta pihak kepolisian
dalam usahanya mencegah terjadinya perjudian dengan modus balapan liar di
kawasan PKOR Way Halim diharapkan dapat lebih intensif guna menekan atau
mengurangi angka tindakan balapan liar. Selain itu pihak kepolisian juga
diharapkan menjalin kerjasama dengan instansi keagamaan dalam hal sosialisasi
supaya terciptanya manusia yang berketuhanan dalam segala aspek kehidupan
Kata Kunci : Kriminologis, Perjudian, Balap Liar1652011070 PUTU ADITYA SUDJANAPutuadityasudjana@gmail.com2022-12-09T07:00:39Z2022-12-09T07:00:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67453This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/674532022-12-09T07:00:39ZANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PERMAAFAN HAKIM (RECHTERLIJK PARDON) DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA MENURUT RUU-KUHPKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda yang berlaku saat ini penyusunannya lebih berorientasi pada pelaku tindak pidana dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai serta semangat kebangsaan Indonesia, sehingga perlu dilakukan pembaharuan. Salah satu ide pembaharuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah permaafan hakim (rechterlijk pardon) yang diatur pada Bab III paragraf 2 Pasal 54 Ayat 2
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) 2019. Permasalahan yang akan dibahas ialah: Bagaimanakah kebijakan formulasi pemaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam perspektif pembaharuan hukum pidana menurut RUU KUHP?, serta apakah yang melatarbelakangi perlunya
kebijakan formulasi pemafaan hakim (rechterlijk pardon) dalam konsep pembaharuan hukum pidana menurut RUU KUHP?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan dan studi lapangan, serta analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Advokat Sopian Sitepu & Partners, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini menunjukan bahwa kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai konsepsi pemaafan hakim (rechterlijk pardon). Sehingga dilakukan pembaharuan hukum pidana yang salah satu ide pembaharuan ialah dengan adanya konsepsi pemaafan hakim (rechterlijk pardon) yang diatur pada Bab III paragraf 2 Pasal 54 Ayat 2 sudah mencerminkan adanya nilai-nilai Pancasila, karena pemaafan hakim (rechterlijk pardon) merupakan suatu putusan yang diberikan oleh hakim dengan mempertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan formulasi permaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam konsep pembaharuan hukum pidana menurut RUU KUHP
Indonesia antara lain yaitu secara historis, secara sosiologis, secara filosofis dan secara yuridis.
Penulis menyarankan agar Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) segera disahkan. Mengingat bahwa kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku saat ini masih menggunakan asas pembalasan,
sehingga pidana penjara dijadikan solusi utama untuk menanggulangi suatu kejahatan. Sedangkan populasi Rutan dan Lembaga Pemasyarakatan sudah over kapasitas. Oleh karena itu perlu mencari alternatif pidana, salah satunya adalah konsepsi pemaafan hakim (rechterlijk pardon) yang lebih berkemanusian dan berkeadilan.
Kata Kunci: Kebijakan, Permaafan Hakim, RUU-KUHP1812011082 Lespiana Br Sitanggang2022-12-01T00:52:55Z2022-12-01T00:52:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67273This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/672732022-12-01T00:52:55ZPENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN MEDIASI PENAL TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN KELALAIAN TERHADAP SENJATA APIPengemban profesi kepolisian haruslah bersikap dan berperilaku sesuai kode etik yang mengikat mereka, khususnya dalam menggunakan senjata api. Penulis mengambil salah satu kasus kelalaian aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api terjadi pada tahun 2019, yakni 2 (dua) anggota Polres Lampung Selatan, Brigpol Patiko Jayadi dan Bripka Duansyah. Permasalahan dalam penulisan ini adalah: (1) Bagaimanakah penyelesaian pidana dengan jalan mediasi terhadap anggota kepolisian yang melakukan kelalaian terhadap senjata api (2) Bagaimanakah konsep ideal mediasi dalam perkara tindak pidana yang melibatkan anggota kepolisian sebagai pelaku tindak pidana untuk mewujudkan Keadilan Restoratif
Penelitian ini penulis menggunakan dua metode pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data menggunakan data primer dan data sekunder. Narasumber terdiri dari Kepala Urusan Penegakan Hukum (Kaur Gakum) Kepolisian Daerah (Polda) Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan penarikan simpulan dilakukan dengan metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: Penyelesaian pidana dalam kasus kelalaiaan aparat kepolisian dalam penggunaan senjata api sebenarnya dapat dilakukan dengan adanya perdamaian antara pelaku dan korban yang saling memaafkan. Walaupun begitu proses hukum tetap berjalan melalui sidang Komisi Etik dengan adanya sanksi disipilin/etik bagi aparat kepolisian yang bersalah tersebut sebagaimana dalam Perkapolri 14/2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, serta jika ditemukan unsur pidana dapat dilimpahkan ke Bidang Ditreskrimum untuk proses penyidikan lebih lanjut. Mediasi dalam perkara tindak pidana itu dapat menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif berdasarkan Perkapolri 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai dasar hukum dalam penyelesaian suatu tindak pidana. Aturan ini juga dapat diberlakukan bagi aparat kepolisian sendiri apabila terjerat kasus pidana seperti kelalaian penggunaan senjata api.
Saran dalam penulisan ini adalah sebaiknya semua pihak terutama dari elemen aparat penegak hukum tidak antipati dan tidak tabu terhadap jalur mediasi dalam penyelesaian pidana. Kemudian, baik atasan dan/atau pihak lain yang juga bertanggung jawab dalam pengawasan terhadap penggunaan senjata api di lingkungan instansi kepolisian, serta agar pihak kepolisian lebih terbuka dalam memberikan informasi mengenai penjatuhan hukuman bagi anggotanya yang melakukan pelanggaran terutama kelalaian dan/atau penyalahgunaan senjata api.
Kata Kunci: Kepolisian, Kelalaian Senjata Api, Mediasi Penal
1652011186 Rizqiaranti Salsabila 2022-12-01T00:49:02Z2022-12-01T00:49:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67271This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/672712022-12-01T00:49:02ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN AKSI PERAMPASAN KENDARAAN KONSUMEN DI JALAN (Studi Putusan Nomor: 1281/Pid.B/2019/PN. Tjk)Penarikan atau perampasan motor kreditan tidak hanya terjadi di rumah-rumah
nasabah. dan tidak jarang Debt collector bertindak sebagai pelaku kejahatan
laksana “begal” yang merampas kendaraan kredit saat dikendarai nasabah di
jalanan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan
hukum terhadap debt collector yang melakukan aksi perampasan kendaraan
konsumen di jalan? dan apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap
debt collector yang melakukan aksi perampasan kendaraan konsumen di jalan?
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris, data
yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan
dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, analisis data yang digunakan adalah
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap
debt collector yang melakukan aksi perampasan kendaraan konsumen di jalan
adalah masyarakat sebagai debitur dapat melaporkan segala bentuk tindak pidana
yang dilakukan oleh debt collector kepada pihak Kepolisian jika dirasa tindakan
debt collector dalam melakukan penagihan hutang menimbulkan kerugian
terhadap debitur, adapun tindak pidana yang dapat terjadi meliputi Pasal 369,
Pasal 378 dan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Faktor
penghambat penegakan hukum terhadap debt collector yang melakukan aksi
perampasan kendaraan konsumen di jalan dapat berupa faktor hukum dimana
keberadaan debt collector yang tidak diatur secara khusus dalam peraturan
perundang-undangan menjadikan tindakan debt collector sulit untuk diproses
secara hukum, faktor penegak hukum atau aparat Kepolisian yang lemah dalam
menyikapi tindak pidana yang dilaporkan oleh debitur yang dirugikan juga
menjadi salah satu kendala dalam penegakan hukum tersebut karena pihak
Kepolisian pada umumnya hanya menerima setiap laporan dari tindak kejahatan
tersebut tetapi tidak melakukan proses hukum karena para pihak lebih memilih
jalan damai yang dapat menghindarinya dari kerugian lainnya.
iii
Berdasarkan simpulan di atas, tidak adanya peraturan secara spesifik mengenai tata
cara penarikan kendaraan oleh pihak ketiga atau debt collector maka sebaiknya
dalam perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang yang sah perlu disepakati
terlebih dahulu mengenai siapa dan bagaimana tata cara penagihan hutang itu
nantinya agar tidak terjadi hal-hal yang nantinya akan merugikan kedua belah
pihak.
Saran, sebaiknya aparat penegak hukum dalam memproses penyelesaian tindakan
penarikan unit kendaraan yang mendapat pengaduan dari debitur akibat tindakan
kekerasan ataupun ancaman kekerasan oleh debt collector. Perusahaan
pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa
kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan
sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan
berdasarkan Pasal 23 POJK 29 Tahun 2014.Terdapat juga Putusan MK Nomor
18/PUU-XVII/2019 yang menginterpretasikan bahwa wanprestasi tidak boleh
ditetapkan sepihak oleh kreditur.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Debt Collector, Perampasan, Kendaraan.
Merari Ricky Dwiputra
1612011203 Merari Ricky Dwiputra 2022-11-25T06:53:41Z2022-11-25T06:53:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/67143This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/671432022-11-25T06:53:41ZANALISIS KEBIJAKAN PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN SURAT EDARAN KAPOLRI BERNOMOR: SE/2/II/2021
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penyelesaian tindak pidana
di bidang informasi dan transaksi elektornik yang mengandung muatan
pencemaran nama baik melalui restorative justice, telah memberlakukan Surat
Edaran No: SE/2/II/2021tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan
Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Permasalahan
penelitian ini adalah: Bagaimanakah kebijakan penyelesaian tindak pidana
pencemaran nama baik melalui pendekatan restorative justice berdasarkan Surat
Edaran Kapolri Bernomor: SE/2/11/2021? Apakah penyelesaian tindak pidana
pencemaran nama baik melalui pendekatan restorative justice dilihat dari sudut
pandang kebijakan hukum pidana?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Narasumber penelitian terdiri atas Penyidik Direktorat Reserses Kriminal Khusus
Polda Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Kebijakan penyelesaian tindak pidana
pencemaran nama baik melalui pendekatan restorative justice berdasarkan Surat
Edaran Kapolri Bernomor: SE/2/11/2021 dilaksanakan oleh Kepolisian dengan
menjadi mediator antara pihak pelaku dan korban dalam tindak pidana tersebut.
Kepolisian memediasi para pihak yang menyepakati adanya perdamaian dengan
adanya pemahaman bahwa penyelesaian perkara pidana tidak harus dengan
pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana. Penggunaan pendekatan restorative
justice juga sesuai dengan adanya kewenangan diskresi yang dimiliki oleh
Kepolisian, sehingga Kepolisian berwenang untuk menempuh upaya penyelesaian
perkara di luar pengadilan demi kepentingan para pihak dan masyarakat pada
umumnya. Landasan yuridisnya adalah adanya peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum restorative justice. Landasan filosofisnya sesuai
dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yang mengutamakan kekeluargaan
dan landasan sosiologisnya adalah adanya penyesuaian hukum dengan dinamika
iii
Gandaningrum Sekar Jayantri
kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat. Penyelesaian tindak pidana
pencemaran nama baik melalui pendekatan restorative justice dilihat dari sudut
pandang kebijakan hukum pidana merupakan kebijakan yang ditempuh
Kepolisian dalam pembaharuan hukum yang mengacu pada nilai - nilai dan
norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang memilih untuk
menempuh jalan perdamaian dalam menyelesaian permasalahan hukum yang
terjadi. Penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif ini dipandang lebih
efektif dalam penyelesaian perkara pidana dari pada melalui proses peradilan.
Saran dari penelitian ini adalah Kepolisian agar dapat lebih memaksimalkan
dalam mengklasifikasikan tindak pidana pencemaran nama baik yang dapat
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice. Kepolisian dalam proses
mediasi agar secara proporsional menempatkan diri sebagai pihak yang netral dan
mejadi penengah antara kedua belah pihak.
Kata Kunci: Kebijakan, Pencemaran Nama Baik, Restorative Justice
1842011026 Gadingrum Sekar Jayantri2022-11-18T08:20:47Z2022-11-18T08:20:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66974This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/669742022-11-18T08:20:47ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGGUNA MOTOR
MODIFIKASI YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG
(Studi pada Polresta Bandar Lampung)Pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar undang-
undang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sehubungan dengan
adanya pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar
undang-undang maka pihak Kepolisian sebagai pembina lalu lintas dan angkutan
jalan dapat melaksanakan penegakan hukum. Permasalahan penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna
motor modifikasi yang melanggar undang-undang? Apakah faktor penghambat
penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor
modifikasi yang melanggar undang-undang?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, data
dianalisis secara kualitatif guna memperoleh kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas
Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang
melanggar undang-undang dilaksanakan sebagai perwujudan tugas, fungsi dan
wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tahapan preventif yang dilakukan adalah sosialisasi mengenai keselamatan dan
ketertiban lalu lintas kepada pelajar dan masyarakat, melaksanakan patroli dan
pengawasan lalu lintas dan penyidikan terhadap pelaku pengguna motor modifikasi
yang melanggar undang-undang, terutama terhadap perkara lalu lintas yang
mengakibatkan timbulnya kerugian baik fisik maupun non fisik kepada korbannya.
(2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas
Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang
melanggar undang-undang di Polresta Bandar Lampung terdiri dari faktor penegak
hukum, yaitu terbatasnya jumlah personil Satuan Lalu Lintas pada Polresta Bandar
iii
Fikri Hadyan Luthfi
Lampung, faktor sarana dan prasarana yaitu masih terbatasnya sarana sosialisasi
ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada pelajar, faktor masyarakat yaitu
adanya orang tua/wali murid yang bersikap permisif kepada anak untuk
mengendarai sepeda motor dan faktor budaya yaitu berkembangnya budaya
individualisme pada masyarakat yang bersikap tidak peduli terhadap anak
pengendara sepeda motor.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Agar jumlah personil Unit Dikyasa Lantas
Polresta Bandar Lampung ditambah guna mengoptimalkan penyuluhan/sosialisasi
mengenai ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada masyarakat dan pelajar (2)
Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung hendaknya meningkatkan razia kepada
pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Motor Modifikasi, Melanggar Undang-Undang
1412011153 FIKRI HADYAN LUTHFIluthfifikrihadyan@gmail.com2022-11-18T08:16:42Z2022-11-18T08:16:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66986This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/669862022-11-18T08:16:42ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU MEMBAWA SENJATA
TAJAM DIKAJI DARI KEARIFAN LOKAL ADAT LAMPUNGPenyelesaian kasus terhadap pelaku membawa senjata tajam yang dikaitkan
dengan kearifan lokal adat Lampung pada daerah yang masih kental dengan adat
istiadat nya, sehingga dalam menyelesaikan permasalahan ini bagaimanakah cara
penegak hukum menyelesaikan kasus melalui kearifan lokal adat Lampung?
Apakah faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku membawa
senjata tajam dikaji dari kearifan lokal adat Lampung?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa penegak hukum memiliki
fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam menegakan hukum. Tetapi hal
ini belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, dikarenakan
aparat penegak hukum dan tokoh adat tidak dapat berkordinasi dan berkaloborasi
demi menciptakan hukum yang seimbang dan tertata dengan baik. Tidak
melakukan sosialisasi secara berkala kepada masyarakat, sehingga masyarakat
tidak sadar hukum karna ketidaktahuan terhadap hukum itu sendiri.Saran dalam penelitian ini adalah kepada aparat penegak hukum dapat melakukan
sosialisasi kepada masyarakat dari semua golongan dengan serentak dilakukan di
berbagai daerah untuk mewujudkan Lampung yang aman yang sadar akan hukum
dan taat hukum, serta melibatkan peran tokoh adat di sekitar untuk melestarikan
kebudayaan dengan mengadakan program-program tentang kebudayaan adat
Lampung, memperkenalkan senjata tradisional dan kebudayaan pada adat
Lampung, serta dampak yang dilakukan oleh pelaku yang melanggar aturan
hukum, agar tetap berjalan antara kebudayaan dan undang-undang yang dibuat.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Senjata Tajam, Kearifan Lokal.
1612011345 Ronna Indah Arfahronnaindaharfah070497@gmail.com2022-11-18T08:10:10Z2022-11-18T08:10:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66996This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/669962022-11-18T08:10:10ZIMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP PEMASYARAKATAN PADA
LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN
(Studi Pada Lapas Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung)Pelaksanaan pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan
agar narapidana menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pembinaan
berdasarkan pernyataan umum pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
implementasi prinsip-prinsip pemasyarakatan narapidana perempuan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung? Apa faktor penghambat
implementasi prinsip-prinsip pemasyarakatan perempuan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Metro, Hakim pada
Pengadilan Negeri Metro dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan.Analisis data
dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: Pemberian
prinsip-prinsip pembinaan pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
perempuan telah terlaksana dengan 10 prinsip pembinaan dan di dukung dengan
program yang ada. Faktor penghambat berjalannya prinsip-prinsip pembinaan
narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Perempuan bersumber pada faktor
hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan
faktor kebudayaan.
Saran dalam penelitian ini adalah : Penulis berharap LP Perempuan Klas II A
lebih meningkatkan kualitas SDM bagi para petugas LP. Diharapkan pemerintah
pusat memberikan perhatian khusus untuk memfasilitasi sarana prasarana yang
ada di Lembaga Pemasyarakatan khususnya Lembaga Pemasyarajatan Perempuan
Kelas IIA Bandar Lampung, sebab meskipun narapidana wanita pernah
melakukan kesalahan berupa kejahatan, mereka tetap generasi penerus yang harus
tetap dibina dan diperhatikan pertumbuhannya
Kata Kunci : Implementasi, Prinsip-Prinsip Pembinaan, Lapas Perempuan1652011136 AGUS SIBLIE GUMANTARAagussibliegumantara@gmail.com2022-11-16T07:30:58Z2022-11-16T07:30:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66928This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/669282022-11-16T07:30:58ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBERIKAN KETERANGAN YANG MENYESATKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999
TENTANG JAMINAN FIDUSIA (Studi Putusan Nomor: 119/Pid.Sus/2021/PN.Met)
Tindak pidana fidusia merupakan perbuatan kejahatan dengan sengaja mamalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Metro dalam menjatuhkan putusan nomor: 119/Pid.Sus/2021/PN.Met terhadap pelaku tindak pidana fidusia, dan (2) Apakah putusan nomor: 119/Pid.Sus/2021/PN.Met yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Metro terhadap pelaku tindak pidana telah memenuhi fakta-fakta persidangan.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Metro, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Metro, Advokat di Kota Metro dan Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung dengan analisis data menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa : (1) Dasar pertimbangan hakim pada perkara tindak pidana dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan dalam Putusan Nomor: 119/Pid.Sus/2021/PN.Met secara yuridis adalah pelaku terbukti secara sah menyakinkan melakukan tindak pidana. Secara filosofis hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa melalui proses pemidanaan.Secara sosiologis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan
terdakwa merugikan orang lain dan yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dijatuhi pidana dan besikap sopan dipersidangan. (2) Fakta-fakta dipersidangan dan sesuai dengan posisi kasus, alat bukti yang sah dan telah ditemukan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa seluruh unsur-unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum telah terpenuhi. Sehingga dengan demikian putusan atau kesimpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan dalam Putusan Nomor: 119/Pid.Sus/2021/PN Met sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menurut analisa penulis sudah tepat.
Saran dalam penelitian ini yaitu: (1) Hakim yang menangani tindak pidana dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimasa mendatang disarankan untuk mempertimbangkan besarnya kerugian korban yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Semakin besar kerugian korban maka semakin berat pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku. (2) Pihak perusahaan disarankan untuk lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap setiap barang yang keluar dari perusahaan, mekanisme penagihan,, pelaporannya kepada perusahaan, dan pengawasan serta menyeleksi untuk calon nasabah perusahaan dapat diperketat dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana serupa.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Memberikan Keterangan yang Menyesatkan, Jaminan Fidusia.1842011021 Dimas Burhanudin2022-10-14T02:17:00Z2022-10-14T02:17:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66838This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/668382022-10-14T02:17:00ZDEKRIMINALISASI OLEH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
ABSTRAK
DEKRIMINALISASI OLEH PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TERHADAP PEMERIKSAAN PERKARA
PIDANA
Oleh:
Bagas Pardana Siregar
Kewenangan constitutional review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi
memberikan dampak kepada penegakan hukum pidana. Hakim pada peradilan
pidana memiliki peran penting dalam memastikan penerapan putusan Mahkamah
Konstitusi dapat diberlakukan secara surut atau sebaliknya. Pada satu sisi
terdakwa menuntut dilepaskan dari tuntutan hukum berdasarkan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mengandung asas transitoir, di lain sisi putusan
Mahkamah Konstitusi mulai berlaku mengikat sejak tanggal dibacakannya
putusan (non retro active).
Metode yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, beserta data tambahan
hasil wawancara dengan pakar hukum tata negara untuk mendukung data
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat,
menelaah dan menginterpretasi hal-hal yang bersifat teoritis menyangkut asasasas
hukum melalui penelusuran kepustakaan yang terkait secara langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan
putusan Mahkamah Konstitusi termasuk kedalam perubahan undang-undang
menurut Teori Materiil Terbatas. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat
diberlakukan berdasarkan asas transitoir jika dilakukan dalam rangka
mengedepankan aspek kemanusiaan dan kepastian hukum bagi terdakwa,
namun ketika putusan peradilan pidana lebih dahulu lahir daripada putusan
Mahkamah Konstitusi, maka penggunaannya berdasarkan asas non retro
active.
Faktor hukum, penegak hukum, serta sarana dan fasilitas adalah 3 (tiga) faktor
utama yang mempengaruhi penerapan putusan Mahkamah Konstitusi. Tidak
terdapatnya ancaman sanksi pada amar putusan Mahkamah Konstitusi adalah
jawaban dari sudut pandang faktor hukum. Dalam sudut pandang faktor
penegak hukum, perbedaan aliran hukum diantara hakim Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung turut menjadi penghambat. Terakhir,
rendahnya kapabilitas jaringan sosial dan modal sosial antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan faktor penghambat dari sudut
pandang sarana dan fasilitas.
Saran dari penulis kepada hakim Mahkamah Konstitusi adalah hendaknya
dalam memeriksa perkara terlebih dahulu mempelajari pertimbanganpertimbangan
hakim pada peradilan pidana atas norma hukum pidana yang
diujikan, dan meningkatkan kolaborasi lembaga negara. Kemudian Dewan
Perwakilan Rakyat juga hendaknya memperluas unsur contempt of court
dalam Pasal 217 KUHP.
Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Transitoir, Non Retro Active.
ABSTRACT
DECRIMINALIZATION BY THE DECISION OF THE
CONSTITUTIONALCOURT ON THE AUDIT OF CRIMINAL
CASES
By:
Bagas Pardana Siregar
The constitutional review authority of the Constitutional Court has an
impact on law enforcement criminals. Judges in criminal justice have an
important role in ensuring that the application of the decisions of the
Constitutional Court can be applied retroactively or vice versa. On the one
hand, the defendant demands to be released from lawsuits based on the
provisions of Article 1 paragraph (2) of the Criminal Code which contains
the principle of transitory, on the other hand, the decision of the
Constitutional Court becomes binding on the date of the reading of the
decision (non-retroactive).
The method used by the author in compiling this thesis is to use a normative
juridical approach, along with additional data from the results of interviews
with constitutional law experts to support normative juridical data. The
normative juridical approach is carried out by observing, analyzing, and
interpreting theoretical matters concerning legal principles through
literature searches that are directly or indirectly related to the writing of
this thesis.
Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the
decicion of the Constitutional Court is included in the amendment to the
law according to the Limited Material Theory. The decision of the
Constitutional Courtcan be enforced on the basis of transitory principle if
it is carried out in the context of prioritizing the humanitarian aspect and
legal certainty for the defendant, however, when the decision of the criminal
court comes before the decision of the Constitutional Court, then its use is
based on the non- retroactive principle.
Legal factors, law enforcement, as well as facilities are the 3 (three) main
factors that influence the implementation of the Constitutional Court’s
decision. The absence of the threat of sanctions in the decision of the
Constitutional Court is the answer from the point of view of legal factor.
From the point of view of law enforcement factors, the difference in the flow
of lawbetween the judges of the Constitutional Court and the Supreme Court
is also an obstacle. Lastly, the low capability of social networks and social
capital between the Constitutional Court and the Supreme Court is an
inhibiting factor from the point of view of facilities.
Suggestions from the author to the judges of the Constitutional Court is that
in examining cases, first study the considerations of judges in criminal
justice on the norms of criminal law being tested, and increase collaboration
between state institutions. Then the House of Representatives should also
expand the element of contempt of court in Article 217 of the Criminal Code.
Keywords: Constitutional Court, Transitoir, Non-Retro Active. 1812011091 Bagas Pardana Siregar2022-10-12T08:25:34Z2022-10-12T08:25:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66816This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/668162022-10-12T08:25:34ZANALISIS IMPLEMENTASI HAK-HAK TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN PIDANA SECARA ELEKTRONIK (Studi di Pengadilan Negeri Purworejo)Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman menyadari perlu dibentuknya suatu inovasi untuk perkembangan dunia peradilan di Indonesia. Sebagai realisasi dari kesadaran tersebut maka terwujudlah peradilan secara elektronik sekaligus sebagai bentuk adaptasi berlangsungnya revolusi industri 4.0. Namun persidangan yang dilakukan secara elektronik masih banyak menyisakan masalah, seperti salah satunya adalah terjadinya pelanggaran hak terdakwa. Kasus pelanggaran terhadap Hak Terdakwa dalam persidangan secara elektronik contohnya terjadi pada Jumhur Hidayat dan Habib Rizieq Shihab. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi pemenuhan hak-hak terdakwa dalam persidangan pidana secara elektronik di Pengadilan Negeri Purworejo dan apakah faktor yang menjadi penghambat dalam implementasi pemenuhan hak-hak terdakwa dalam persidangan pidana secara elektronik di Pengadilan Negeri Purworejo.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data antara lain terdiri dari data primer dan data sekunder. Pihak yang menjadi Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Purworejo, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Purworejo, Penasihat Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum ADIL Purworejo, Dosen Bagian Ilmu Hukum Fakultas Sosial Universitas Muhammadiyah Purworejo, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa implementasi hak-hak terdakwa dalam persidangan pidana secara elektronik di Pengadilan Negeri Purworejo sudah terimplementasi dengan baik serta sudah berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, dengan catatan bahwa dalam pelaksanaannya masih membutuhkan perbaikan, dengan adanya pandemic membuat setiap rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan tempat terdakwa ditahan membatasi Terdakwa untuk berhubungan dengan pihak dari luar yang menjadikan proses implementasi hak-hak terdakwa menjadi terkendala. Sehingga peran aktif dari Penegak Hukum sangat menentukan terpenuhi atau tidaknya hak-hak terdakwa. Para penegak Hukum harus bekerja secara ekstra, proaktif pada saat di pengadilan dan pada saat proses pendampingan untuk mencari fakta-fakta guna menyiapkan pembelaan. Selanjutnya, Faktor-faktor yang menghambat dalam mengimplementasikan hak-hak terdakwa dalam persidangan pidana secara elektronik adalah kebijakan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan tempat terdakwa ditahan yang membatasi terdakwa untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan Terdakwa. Alasan lain yang dapat menghambat penegak hukum untuk mengimplementasi hak-hak terdakwa dalam persidangan secara elektronik adalah sarana dan fasilitas dari setiap tempat persidangan berlangsung. Salah satunya adalah masih terjadi kondisi kualitas sinyal di setiap tempat berbeda membuat persidangan terganggu.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah diharapkan agar kedepannya diundangkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata beracara persidangan pidana secara elektronik, serta penegak hukum atau instansi yang berkaitan dengan persidangan secara elektronik agar menyediakan fasilitas dan prasarana pendukung demi kelancaran persidangan pidana secara elektronik, serta Lembaga penegak hukum yang berperan dalam terpenuhinya hak-hak terdakwa dalam persidangan pidana secara elektronik diharapkan untuk bisa lebih aktif dalam upaya pemenuhan hak terdakwa.
Kata kunci: Implementasi, Hak Terdakwa, Persidangan Elektronik1812011245 Sukma Khoirul Yusuf2022-10-12T07:49:34Z2022-10-12T07:49:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66811This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/668112022-10-12T07:49:34ZPERAN KEJAKSAAN DALAM TAHAP PENUNTUTAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN Undang-undang 11 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengubah sebanyak 39 ketentuan dari Undang- undang Kejaksaan yang lama. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang. Kejaksaan dapat ditugaskan aparatur sipil negara, prajurit Tentara Nasional Indonesia, atau pejabat lain yang tidak menduduki jabatan Jaksa, serta diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal anak yang melakukan tindak pidana, walaupun secara kualitas dan kuantitas dapat saja melakukan perbuatan melanggar hukum seperti halnya yang dilakukan oleh orang dewasa, tetapi penanganan yang diberikan tidak harus sama dengan penanganan bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan. Kejaksaan sebagai pihak yang berwenang dalam tahap penuntutan, diharapkan dalam membuat dakwaan dapat memberikan efek jera pada pelaku dengan tetap memenuhi hak-hak pelaku.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana profil regulasi yang mengatur tentang kedudukan dan peran Kejaksaan dalam tahap penuntutan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan bagaimana peran Kejaksaan dalam tahap penuntutan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada norma-norma hukum tertulis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang bersumber pada norma hukum positif dan doktrin. Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Tinggi Lampung, dengan mempelajari data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dari kajian kepustakaan, buku-buku, dokumen, serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang akan dibahas. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian data tersebut disusun dan dianalisa dengan metode deskriptif. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini yaitu Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung.
Sebagai Negara Hukum, Indonesia telah menuangkan peraturan mengenai tindak pidana kekerasan dalam bentuk peraturan tertulis baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang khusus. Sebelum melihat aturan yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan, terlebih dahulu Penulis menerangkan pengertian kekerasan di dalam KUHP tidak diberikan pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan, namun dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa “Yang disamakan melakukan kekerasan itu artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya”. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah : membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya (lemah).
Bedasarkan dari hasil penelitian maka penulis mengambil kesimpulan bahwa telah ada kesinkronan antara perundang-undangan dengan penerapannya dan Kejaksaan Tinggi Lampung sudah melaksanakan perannya sesuai dengan Undang-Undang.
Law 11 of 2021 concerning amendments to Law 16 of 2004 concerning the Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia amends 39 provisions of the old Prosecutor Law. The Prosecutor's Office is a government institution whose functions are related to judicial power that carries out state power in the field of prosecution and other authorities based on the law. The Prosecutor's Office may be assigned to the state civil apparatus, soldiers of the Indonesian National Army, or other officials who do not hold the position of the Prosecutor, and are appointed and dismissed by the Attorney General in accordance with the provisions of the legislation. In the case of a child who commits a crime, although in terms of quality and quantity they may commit acts that violate the law as is done by adults, the treatment given does not have to be the same as the treatment for adults who commit crimes. The Prosecutor's Office as the authorized party in the prosecution stage, is expected to make indictments to have a deterrent effect on the perpetrators while still fulfilling the rights of the perpetrators.Key words:Prosecution, Child, Crime and Public Attorney.
The problem in this study is how the profile of the regulations governing the position and role of the Prosecutor's Office in the prosecution stage of children who commit crimes and how the role of the Prosecutor's Office in the prosecution stage of children who commit crimes. This research is a normative juridical research, namely research that emphasizes written legal norms contained in laws and regulations that are sourced from positive legal norms and doctrines. This research was conducted at the Lampung High Court, by studying the data obtained from interviews and from literature studies, books, documents, and laws and regulations related to the issues to be discussed. The next step is to classify according to the problems studied, then the data is compiled and analyzed using descriptive methods. Sources of data used in this study are primary data and secondary data. The resource persons in this study were the Prosecutors at the Lampung High Prosecutor's Office.
As a state of law, Indonesia has laid down regulations regarding violent crimes in the form of written regulations, both in the Criminal Code (KUHP) and in special laws. Before looking at the rules governing violent criminal acts, the author first explains the notion of violence in the Criminal Code which does not give a specific understanding of what is meant by violence, but Article 89 of the Criminal Code states that "What is equated with committing violence means using physical force or strength not illegally, for example hitting with the hands or with all kinds of weapons, kicking, kicking, and so on”. What is equated with committing violence according to this article is: making people faint or helpless (weak).
Based on the results of the study, the authors conclude that there has been synchronization between the legislation and its implementation and the Lampung High Court has carried out its role in accordance with the Act.1842011028 Muhammad Alif Rifaldi alifjabrik16@gmail.com2022-10-11T04:13:36Z2022-10-11T04:13:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66771This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/667712022-10-11T04:13:36ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERASAN MELALUI PENYEBARAN VIDEO
PORNO DI MEDIA SOSIAL
(Studi Putusan Nomor :128/Pid.Sus/2020/PN Kbu)
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERASAN MELALUI PENYEBARAN VIDEO
PORNO DI MEDIA SOSIAL
(Studi Putusan Nomor: 128/Pid.Sus/2020/PN Kbu)
Oleh:
M. Aldino Gusanda
Tindak pidana pemerasan dengan cara penyebaran video porno di media sosial sudah marak terjadi di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung. Berdasarkan kasus yang ada di Provinsi lampung terdapat lima (5) kasus dan salah satu nya terdapat di daerah Lampung Utara, Kota Bumi yang menyatakan bahwa terdakwa yang bernama Kadek Agus bin Putu Suwike terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemerasan dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan dan penyebaran video porno di media sosial Pada Putusan Nomor :128/Pid.Sus/2020/PN Kbu dan apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan melalui penyebaran video porno di media sosial Pada Putusan Nomor :128/Pid.Sus/2020/PN Kbu.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Kejaksaan Negeri Lampung Utara, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan dan penyebaran video porno di media sosial Pada Putusan Nomor: 128/Pid.Sus/2020/PN Kbu adalah dengan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun 11 (sebelas) bulan dan denda sejumlah Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) Bulan. (2) Faktor penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan melalui penyebaran video porno di media sosial Pada Putusan Nomor :128/Pid.Sus/2020/PN Kbu adalah belum sempurnanya perangkat hukum, masih rendahnya integritas moral aparat penegak hukum, penegakan hukum yang kurang professional, masih rendahnya tingkat kesadaran hukum, kurangnya sarana dan prasana serta terjadinya campur tangan pemerintah dalam proses peradilan.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran diharapkan pemerintah dan pembuat undang-undang mampu menciptakan suatu komposisi peraturan hukum yang mampu dan dapat mengakomodir perbuatan tindak pidana penyebar video porno di media sosial yang kian dinamis pergerakannya. Diharapkan melalui hal tersebut dapat diciptakan suatu kebijakan yang memiliki esensi dalam memberlakukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang dapat diberlakukan secara limitatif yakni sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat dan bangsa-bangsa. Sebaiknya dalam pelaksanaan tugas masing-masing aparat penegak hukum diadakannya Koordinasi dan kerjasama baik pemreintah maupun masyarakat dalam melaksanakan kegiatan, untuk tercapainya penegakkan hukum yang baik sehingga tidak terjadi hambatan-hambatan dalam mengatasi masalah peredaran video porno.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana Pemerasan, Video Porno, Media Sosial.
1852011054 M. Aldino GusandaAldinogusanda24@gmail.com2022-10-03T08:35:43Z2022-10-03T08:35:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66513This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/665132022-10-03T08:35:43ZANALISIS PERBEDAAN SANKSI PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PUTUSAN HAKIM NO:238/Pid.Sus/2020/PN Kot dan PUTUSAN NO: 112/PID/2020/PT TJK Perbedaan sanksi pidana yang terdapat pada penjatuhan putusan dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Jalan Perempatan Pekon Kelaten Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu pada tingkat pertama dan tingkat bandingnya terdapat perbedaan yang mencolok. Dimana pada tingkat pertama Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kota Agung memutus kedua pelaku dengan Pasal dan pidana penjara yang berbeda, perlaku 1 dikenakan Pasal 114 Ayat (1) Jo. Pasal 132 Ayat (1) huruf a dengan pidana penjara selama 6 (enam) Tahun dan pelaku 2 dikenakan Pasal 127 Ayat (1) huruf a dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 10 (sepuluh) Bulan, sedangkan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang memutus kedua pelaku dengan Pasal 114 Ayat (1) Jo. Pasal 132 Ayat (1) dan pidana penjara selama 6 (enam) Tahun dengan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah). Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah Mengapakah terjadi Perbedaan Sanksi Pidana dalam Pekara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Putusan Nomor : 238/Pid.Sus/2020/PN Kot dan Putusan Nomor : 112/PID/2020/PT TJK ? Apakah Faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Berbeda Terhadap Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan No.: 238/Pid.Sus/2020/PN Kot dan Putusan No.: 112/PID/2020/PT TJK ? Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, namun ditunjang dengan menggunakan data primer dan sekunder yang didapat melalui wawancara, studi pustaka, dan studi lapangan. Pengolahan data dengan cara editing dan sistematis data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterprestasikan untuk dianalisis secaa kualitatif dan penarikan kesimpulan secara induktif. Hasil penelitian dan pembahsan skripsi ini bahwa dalam memberikan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika terdakwa 1 telah terbukti secara sah melawan hukum melanggar ketentuan Pasal 114 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) dan terdakwa 2 dikenakan Pasal 127 Ayat (1), Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kota Agung hanya mempertimbangkan pendapatnya sendiri dan tidak mempertimbangkan dengan matang fakta persidangan yang ada sehingga memiliki hasil putusan dan sanksi pidana yang berbeda. Sedangkan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang telah melihat dan mempertimbangan dengan sangat matang fakta persidangan serta kronologis yang sebenarnya. Hakim Tinggi akhirnya mengenakan Pasal 114 Ayat (1) Jo. Pasal 132 Ayat (1) dan menjatuhkan putusan pidana penjara selama 6 (enam) Tahun serta denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah) untuk kedua pelaku. Bahwa faktor mempengaruhi pertimbangan hakim yaitu karena hakim pada Pengadilan Negeri Kota Agung berpendapat bahwa berdasarkan fakta persidangan terdakwa 2 lebih condong kearah penyalahgunaan narkotika bukan permufakatan jahat sehingga menimbulkan putusan yang berbeda dan memberikan sanksi yang berbeda dengan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Sedangkan Hakim Tinggi berpendapat melihat dari fakta persidangan dan kronologi yang ada pendapat Hakim tingkat pertama tidak sesuai dengan fakta persidangan dan tidak memenuhi asas keadilan karena dalam fakta persidangan terdakwa 1 dan 2 telah bersama melalukan tindak pidana permufakatan jahat. Saran dalam putusan ini adalah agar penegak hukum dalam melakukank penegakan hukum, terutama hakim, dalam memutus perkara harus memperhatikan keadilan bagi para pihak. . Agar citra buruk tentang peradilan yang disebut mafia peradilan dapat berhenti dan tidak makin tersebar di masyarakat luas. Kemudian dalam memutus perkara sebaiknya memperhatikan 4 (empat) kepentingan hukum, anatara lain : (1) kepentingan negara, (2) kepentingan masyarakat, (3) kepentingan hukum, dan (4) kepentingan pelaku.1812011326 Radha Aulia Putri Decky2022-09-22T01:00:51Z2022-09-22T01:00:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66206This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/662062022-09-22T01:00:51ZIMPLEMENTASI PASAL 34 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 99
TAHUN 2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN
HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN TERHADAP ANAK PIDANAPP.99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP.32/1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan
merupakan sebuah regulasi yang mengatur syarat maupun tata cara pelaksanaan
hak warga binaan untuk mendapatkan sebuah remisi.
Isu Hukum yang dibahas dalam penelitian ini adalah implementasi atas Pasal 34
PP.99/2012 dan juga hambatan penegak hukum terhadap implementasi
pelaksanaan Pasal 34 PP.99/2012, Penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis empiris dan di dukung dengan pendekatan yuridis normatif.
Pengumpulan data dilakukan ndengan menggunakan metode studi kepustakaan
dan studi lapangan dengan melakukan wawancara pada kepala Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung serta Dosen bagian hukum
pidana Universitas Lampung. Selanjutnya data dianalisis dengan metode
kualitatif.
Hasil penelitian mengenai rumusan masalah yaitu Implementasi Pasal 34
PP.99/2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Anak
Pemasyarakatan adalah suatu penghormatan terhadap hak-hak sebagaimana telah
melekat pada narapidana anak melalui pemberian remisi terhadap narapidana
anak yang memenuhi kriteria persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal
34 PP.99/2012 seperti berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih
dari 6 bulan, dan Faktor-faktor penghambat penegak hukum dalam hal
implementasi Pasal 34 PP.99/2012 antara lain adalah faktor hukum, faktor
penegak hukum, faktor masyarakat.
Saran yang dapat diberikan antara lain melakukan peningkatan sumber daya
manusia yang ada melalui peningkatan kapasitas petugas lembaga
pemasyarakatan agar keterampilan yang diberikan terhadap narapidana menjadi
meningkat, dan perlunya peningkatan sarana dan prasarana yang ada dalam lembaga pemasyarakatan, demi mencapai tujuan yang diinginkan mendukung
para penegak hukum yang ada dalam lembaga pemasyarakatan menjalankan
tugas dan fungsinya sesuai dengan perundang-undangan.
Kata Kunci: Implementasi, PP.99/2012, Remisi, Narapidana Anak.1652011216 Abdul Hafidz Kurniawan2022-09-19T03:17:19Z2022-09-19T03:17:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/66130This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/661302022-09-19T03:17:19ZDASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PELEDAK (Studi Putusan Nomor: 681/Pid.B/LH/2019/PN Tjk)Provinsi Lampung yang merupakan sebuah daerah yang memiliki areal perairan laut dalam wilayahnya, dan memiliki kandungan sumberdaya ikan yang sangat besar, sudah tentu wajib menjaga dan melestarikan sumberdaya tersebut untuk tetap lestari dan berkelanjutan. Penanganan dan pemanfaatannya merupakan kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut sebatas wilayahnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak? dan (2) Apakah putusan No. 681/Pid.B/LH/2019PN.Tjk tersebut sudah memenuhi rasa keadilan dan menimbulkan efek jera?.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (Studi Putusan Nomor: 681/Pid.B/LH/2019/PN Tjk) yaitu: (1) Dasar pertimbangan hakim menggunakan Undang-Undang Darurat didasarkan pada pertimbangan yuridis
M. Arif Ihsani dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak adalah belum adanya ada Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, sedangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,dan memutus suatu perkara yang diajukan, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itu guna mengatasi kekosongan instrumen hukum tersebut Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. (2) Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana terhadap pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dalam Putusan No: 681/Pid.B/LH/2019/PN.Tjk dapat memberikan efek jera karena berdasarkan teori gabungan dan teori keadilan, karena hakim dalam menjatuhkan keputusan tidak hanya semata-mata kepada pidana, akan tetapi melihat kepada pelaku yang masih dapat bisa dibina sehingga memberika efek jera, dan hakim juga dalam menjatuhkan putusannya sudah berdasarkan pada penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Diharapkan dalam menangani perkara tindak pidana perikanan dengan menggunakan Undang- Undang Darurat. Pertimbangan filosofis adalah pidana penjara selama 2 (dua tahun) terhadap terdakwa merupakan bentuk pembinaan terhadap terdakwa. Pertimbangan sosiologis adalah hakim mempertimbangkan latar belakang sosial (pekerjaan terdakwa sebagai nelayan) serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. (2) Hakim yang menangani tindak pidana perikanan disarankan untuk menerapkan pasal tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perikanan, mengingat tindak pidana ini merupakan tindak pidana khusus, sehingga penegak hukum dan proses peradilan pidana hendaknya tidak menggunakan tindak pidana umum.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Penangkapan ikan, Bahan Peledak.
1612011123 M. Arif Ihsani2022-09-05T01:00:32Z2022-09-05T01:00:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65965This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/659652022-09-05T01:00:32Z
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN AIR TANPA IZIN DAN KEALPAAN YANG MENYEBABKAN PENGUNJUNG MENGALAMI
LUKA BERAT
(Studi Putusan Nomor: 48/PID.B/2021/PN GDT)
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN AIR TANPA IZIN DAN KEALPAAN YANG MENYEBABKAN PENGUNJUNG MENGALAMI
LUKA BERAT
(Studi Putusan Nomor: 48/PID.B/2021/PN GDT)
Oleh:
Arzangga Anugrah Hasyadinata
Salah satu bentuk tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat adalah pada Putusan Nomor: 48/Pid.B/2021/PN Gdt yang menyatakan bahwa terdakwa Saukani bin Mad Liyas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat yang melanggar Pasal 360 KUHP (dakwaan primair) dan melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air tanpa izin dari Pemerintah yang melanggar Pasal 15 Ayat (1) huruf B jo. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan (dakwaan subsidair). Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat berdasarkan Putusan Nomor: 48/Pid.B/2021/PN Gdt dan 2) Bagaimanakah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat berdasarkan Putusan Nomor: 48/Pid.B/2021/PN Gdt.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Jaksa Kejaksaan Negeri Pesawaran, Hakim Pengadilan Negeri Gedong Tataan dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat berdasarkan Putusan Nomor: 48/Pid.B/2021/PN Gdt adalah terdakwa Saukani bin Mad Liyas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat yang melanggar Pasal 360 KUHP (dakwaan primair) dan melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air tanpa izin dari Pemerintah yang melanggar Pasal 15 Ayat (1) huruf B jo. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan (dakwaan subsidair). Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1
Arzangga Anugrah Hasyadinata
(satu) tahun dan 2 (dua) bulan. (2) Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat berdasarkan Putusan Nomor: 48/Pid.B/2021/PN Gdt secara yuridis, artinya Hakim terlebih dahulu menguraikan unsur-unsur tindak pidana pencurian air tanpa izin dan kealpaan yang menyebabkan pengunjung mengalami luka berat. Dalam perkara tersebut, dipertimbangkan dakwaannya melanggar diatur dan diancam pidana dalam Pasal 360 KUHP dan Pasal 15 Ayat (1) huruf B Jo. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Unsur-unsurnya yakni (a) barang siapa; (b) secara melawan hukum; (c) memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; (d) yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu. Selain itu Hakim juga menggunakan Pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologi dalam memutus suatu perkara. Hal ini sesuai dengan teori menurut Sudarto putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran Kepada pihak berwenang bisa lebih memperhatikan undang-undang yang ada apabila memang harus dispesifikan ataupun harus ada pembaharuan alangkah baiknya dilakukan pembaharuan sehingga dalam hal ini kelalaian dapat ditindak sesuai dengan undang-undang yang ada dan alangkah baiknya pembangunan wisata air harus berizin, sehingga tempat wisata tersebut layak dan aman sehingga menurunkan risiko menyebabkan pengunjung mengalami luka berat.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Pelaku, Kealpaan, Pencurian Air.
1852011022 Arzangga Anugrah HasyadinataArzangga05@gmail.com2022-09-01T00:52:36Z2022-09-01T00:52:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65909This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/659092022-09-01T00:52:36ZUPAYA PENANGGULANGAN PEREDARAN KOSMETIK PALSU
(Studi di Polresta Bandar Lampung dan BBPOM Bandar Lampung)Beragam produk kecantikan yang beredar di Indonesia menjadi peluang bagi para
pelaku usaha untuk memperjualbelikan kosmetik dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Hal ini didorong oleh kebutuhan masyarakat yang meningkat
terhadap penggunaan kosmetik, sehingga menjadikan kosmetik sebagai bahan
kebutuhan primer bagi masyarakat. Saat ini sering terjadi pemalsuan terhadap
kosmetik, baik kosmetik terkenal maupun tidak terkenal. Dimana hal ini
merupakan suatu kejahatan. Permasalahanya adalah bagaimanakah upaya
penanggulangan peredaran kosmetik palsu dilihat dari sarana non penal dan
bagaimanakah upaya penanggulangan peredaran kosmetik palsu dilihat dari
sarana penal.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan upaya penanggulangan peredaran
kosmetik palsu dilihat dari sarana Non Penal dilakukan oleh Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Provinsi Lampung dengan melakukan
pengawasan hampir setiap harinya, melakukan razia gabungan atau inspeksi
mendadak dengan tujuan memberikan efek jera serta himbauan atau penyuluhan
berupa memberikan informasi, arahan dan masukan kepada masyarakat sesuai
dengan tugas 3 program nasional serta melakukan pembinaan kepada masyarakat
dan juga tokoh-tokoh yang berperan dalam suatu wilayah yang ada di Bandar
Lampung seperti lurah, tokoh adat, tokoh agama, karang taruna dan tokoh lainya
yang bersangkutan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah masingmasing. Sedangkan dilihat dari sarana penal dilakukan oleh Kepolisian yaitu
dengan memberikan peringatan dan pembinaan terhadap pelaku usaha yang
memiliki toko atau gudang yang diketahui mengedarkan kosmetik palsu yang3
Dina Aulia
tidak semata-mata langsung dilakukan penyegelan dengan maksud pelaku usaha
masih diberikan kebebasan untuk menjual barang legal. Selanjutnya dalam hal
penindakan, Kepolisian mengambil tindakan hukum berupa penangkapan,
penahanan terhadap Pelaku serta diadakan penyelidikan seperti kasus peredaran
kosmetik palsu yang terjadi di Kedamaian Bandar Lampung yang pada saat ini
sudah sampai penyidikan. Apabila telah selesai pada proses tersebut maka akan
dilakukan penuntutan untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan untuk
menjalani masa pidananya, kemudian diadakan pembinaan yang dilakukan oleh
lembaga pemasayarakatan. Hal ini merupakan upaya agar pelaku tidak melakukan
kejahatan lagi dikemudian hari.
Saran yang didapat perlunya kerjasama serta peran aktif dari seluruh lapisan
masyarakat dan lembaga terkait untuk mendukung penuh pelaksanaan
penanggulangan peredaran kosmetik palsu sehingga peredaran kosmetik palsu
dapat segera di atasi karena dapat kita sadari bersama bahwa peredaran kosmetik
palsu tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele sehingga masyarakat harus lebih
sadar bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggungjawab bersama. Perlu
juga diadakannya sosialisasi secara berkala oleh kepolisian dan lembaga terkait
kepada masyarakat dan pelaku usaha agar kesadaran terhadap hukum dalam hidup
bermasyarakat meningkat dan masyarakat mendapat pengetahuan dari bahaya
penggunaan kosmetik palsu.
Kata Kunci : Upaya, Penanggulangan, Kosmetik Palsu1812011061 DINA AULIAauliadina869@gmail.com2022-08-29T02:28:24Z2022-08-29T02:28:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65821This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658212022-08-29T02:28:24ZANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
MENTRANSMISIKAN INFORMASI ELEKTRONIK YANG
BERMUATAN PENCEMARAN NAMA BAIK
(Studi Putusan Nomor: 179/Pid.Sus/2020/PN.Tjk)
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
MENTRANSMISIKAN INFORMASI ELEKTRONIK YANG
BERMUATAN PENCEMARAN NAMA BAIK
(Studi Putusan Nomor: 179/Pid.Sus/2020/PN.Tjk)
Oleh
M.R. RAGA RAHMAN
Salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarkat adalah
mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan diatur
Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 Ayat (3) UU
ITE yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan
informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik dalam Putusan
Nomor: 179/Pid.Sus/2020/ PN.Tjk (2) Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang
bermuatan pencemaran nama baik telah sesuai dengan keadilan bagi korban dan
masyarakat.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris, dengan sumber data primer yang dikumpulkan melalui studi lapangan
dan sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Narasumber penelitian
adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana
Fakulas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana pidana penjara terhadap selama 6 (enam) bulan dan
denda sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 1 (bulan) bulan
kurungan terhadap pelaku tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik
yang bermuatan pencemaran nama baik dalam Putusan Nomor:
179/Pid.Sus/2020/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis, sosiologis dan
filosofis. Secara yuridis yaitu perbuatan terdakwa Pasal 45 Ayat (1) Jo. Pasal 27
Ayat (3) UU ITE . Secara sosiologis yaitu hakim mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan dalam penjatuhan pidana. Secara filosofis hakim menilai bahwa pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera
pada pelakunya tetapi lebih penting lagi adalah sebagai upaya pemidanaan
terhadap terdakwa. (2) Putusan hakim yang menjatuhkan pidana pidana penjara
terhadap selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta
rupiah) subsidair 1 (bulan) bulan kurungan terhadap pelaku tindak pidana
mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik
belum sesuai dengan keadilan substantif, karena hakim kurang
mempertimbangkan kerugian moril yang diderita korban akibat penghinaan dan
pencemaran nama baik yang dilakukan terdakwa. Selain itu pidana tersebut
kurang memberikan efek jera kepada pelaku dan tidak berfungsi memberikan
pembelajaran kepada pelaku lainnya.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim yang menangani tindak pidana
mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik
pada masa mendatang disarankan untuk dapat menjatuhkan pidana secara tepat,
sehingga dapat memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain
untuk tidak melakukan tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang
bermuatan pencemaran nama baik. (2) Agar hakim mempertimbangkan keadilan
bagi korban tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki
muatan penghinaan, sebagai upaya penegakan hukum pidana khususnya setelah
diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Informasi Elektronik, Pencemaran Nama Baik
1712011080 M Ramadhan Raga R2022-08-29T01:24:26Z2022-08-29T01:24:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65809This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658092022-08-29T01:24:26ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENGANCAMAN
TERHADAP NASABAH PINJAMAN ONLINEABSTRAK
ANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENGANCAMAN TERHADAP NASABAH PINJAMAN ONLINE
(Studi Pada Wilayah Kepolisian Daerah Lampung)
Oleh:
M DEVIN APRILIAN WN
Tindak pidana intimidasi atau pengancaman adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kata intimidasi terkandung makna secara memaksa, menggertak atau mengancam, hal ini dijelaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada buku II Pasal 368 Ayat (1) dan 369 Ayat (1) KUHP. Namun bagi pelaku tindak pidana intimidasi di bidang Financial technology (fintech) masih belum maksimal. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah faktor penyebab pelaku melakukan pengancaman terhadap nasabah, Apakah bentuk-bentuk cara penagihan pelaku pinjaman online (daring) ilegal dan Bagaimana cara upaya menanggulangi bagi pihak Kepolisian dalam cara-cara penagihan pinjaman online (daring) ilegal.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dar i Penyidik Kriminal Khusus Polda Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor penyebab pelaku melakukan pengancaman terhadap nasabah adalah lemahnya regulasi baik dari sistem pengawasan hingga penegakan hukum terhadap perusahaan yang curang. Di sisi lain, praktik itu juga dikarenakan kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19 dan juga perilaku masyarakat digital yang konsumtif. Oleh karena itu pinjol cukup mudah memberikan layanan pinjaman uang, dibandingkan sektor keuangan formal lainnya seperti bank, yang biasanya memiliki banyak persyaratan serta harus melakukan berbagai verifikasi dokumen, sehingga dalam penagihan juga akan dilakukan secara semena-mena. (2) Bentuk-bentuk cara penagihan pelaku pinjaman online (daring) ilegal berupa tindakan penagihan pinjol memakai ancaman kekerasan atau tindakan serupa lain dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUH Pidana. Kemudian, apabila tindakan “pengancaman” dilakukan melalui sarana elektronik, maka pelaku dapat ditindak menggunakan ketentuan pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam UU ITE.
(3) Cara upaya menanggulangi bagi pihak Kepolisian dalam cara-cara penagihan pinjaman online (daring) ilegal yaitu adanya sinergi kerja sama antara Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo), OJK dan kepolisian dalam mengawasi layanan pinjaman online, peningkatan literasi digital masyarakat, perlunya regulasi terkait perlindungan bagi konsumen layanan pinjaman online ilegal dan perlunya evaluasi mekanisme perizinan atau pendaftaran perusahaan layanan pinjaman online di OJK.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran perlu adanya koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan sosialisasi mengenai pinjaman online agar masyarakat dapat memahami perbedaan dari penyelenggara pinjaman online legal dan ilegal dari segi legalitas, suku bunga, metode penawaran dan sebagainya. Perlu adanya koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam menetapkan bentuk perjanjian atau dokumen pinjaman online agar isi klausula tidak merugikan pengguna layanan. Otoritas Jasa Keuangan perlu melakukan penyusunan Undang-Undang Financial technology sebagai dasar hukum dalam melakukan penindakan terhadap pinjaman online illegal yang merugikan masyarakat. DPR RI dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM perlu melakukan percepatan penetapan RUU Perlindungan Data Pribadi menjadi undang-undang. Dimana perlunya aturan lebih lanjut tentang entitas fintech illegal serta pengaturan tentang pentingnya keberadaan lembaga pengawas independent sebagai lembaga yang melakukan penindakan terhadap pelanggaran hak atas data pribadi pengguna layanan pinjaman online.
Kata Kunci: Analisis, Kriminologis, Kejahatan Pengancaman, Nasabah, Pinjaman Online.
ABSTRACT
CRIMINOLOGICAL ANALYSIS OF THREAT CRIMES AGAINST ONLINE (Study in the Lampung Regional Police Area)
By:
M DEVIN APRILIAN WN
The crime of intimidation or threats is an act that is prohibited by a rule of law accompanied by threats or sanctions in the form of certain crimes, for anyone who violates the prohibition. The word intimidation contains the meaning of coercing, bullying or threatening, this is explained in the Criminal Code (KUHP) in book II Article 368 Paragraph (1) and 369 Paragraph (1) of the Criminal Code. However, for perpetrators of criminal acts of intimidation in the field of financial technology (fintech) it is still not optimal. The problems in this study are What are the factors that cause perpetrators to threaten customers?, What are the forms of how to collect online illegal and What are the efforts to deal with the police in ways to collect loans illegal online?.
The research method uses an empirical juridical approach, the data used are secondary data and primary data. The study was carried out by means of a literature study and a field study. The resource persons in this study consisted of the Special Criminal Investigator of the Lampung Police and Lecturer of the Criminal Section of the Faculty of Law, University of Lampung. The data analysis used is qualitative.
The results of the study show that (1) The factors that cause perpetrators to threaten customers are weak regulations, both from the supervisory system to law enforcement against fraudulent companies. On the other hand, this practice is also due to the difficult economic conditions due to the Covid-19 pandemic and also the consumptive behavior of the digital community. Because of this, it is quite easy for borrowers to provide money loan services, compared to other formal financial sectors such as banks, which usually have many requirements and must carry out various document verifications, so that collections will also be carried out arbitrarily. (2) The forms of how to collect online illegal collection actions using threats of violence or other similar actions can be qualified as criminal acts as regulated in the Criminal Code. Then, if the act of "threatening" is carried out through electronic means, the perpetrator can be prosecuted using the provisions for criminal liability as regulated in the Transaction and Electronic Information Law. (3) Ways to deal with the police in ways to collect online , namely the synergy of cooperation between the Ministry of Communication and Information
(Kominfo), OJK and the police in supervising online loan services, increasing public digital literacy, the need for regulation related to protection for consumers of online and the need to evaluate the licensing mechanism or registration of online at the Financial Service Authority .
Based on the conclusions above, it can be suggested that there is a need for coordination between the Financial Services Authority and the Ministry of Communication and Information in conducting socialization about online so that people can understand the difference between online legal and illegal. There is a need for coordination between the Financial Services Authority and the Indonesian Consumers Foundation in determining the form of an agreement or online so that the contents of the clause do not harm service users.Act Financial technology as a legal basis for taking action against illegal online that are detrimental to the community. The Home of Representative RI and the Directorate General of Legislation at the Ministry of Law and Human Rights need to accelerate the stipulation of the Personal Data Protection Bill into law. Where is the need for further regulations regarding fintech supervisory independent agency as an institution that takes action against violations of the rights to personal data of online.
Keywords: Analysis, Criminology, Threatening Crime, Customers, Online
1852011021 M DEVIN APRILIAN WNdevinwarganegara@gmail.com2022-08-29T01:11:24Z2022-08-29T01:11:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65802This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658022022-08-29T01:11:24ZANALISIS SANKSI PIDANA TERHADAP LARANGAN MENERIMA PEMBAYARAN DARI PENERIMA BANTUAN HUKUM ATAU MASYARAKAT TIDAK MAMPU BERDASARKAN PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUMABSTRAK
ANALISIS SANKSI PIDANA TERHADAP LARANGAN MENERIMA PEMBAYARAN DARI PENERIMA BANTUAN HUKUM ATAU MASYARAKAT TIDAK MAMPU BERDASARKAN
PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN
2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
Oleh
FITRI DAMAYANTI AZZAHRA
Peranan dan fungsi LBH dalam imelakukan advokasi hukum yaitu dapat kita ketahui bahwa sebagian besar masyarakat kita tergolong tidak mampu untuk menggunakan dan membayar jasa advokat, maka lembaga bantuan hukum memberikan jasa-jasanya secara cuma-cuma bagi orang yang membutuhkan khususnya bagi orang miskin. Pemberian bantuan hukum selama ini dilakukan belum banyak menyentuh orang-orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses ikeadilan karena terhambati oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah tanggung jawab pemberi bantuan hukum yang terbukti secara sah menerimanya atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum yang terkait dengan perkara yang dibelanya. Dan Apa sajakah faktor yang menjadi penghambat ipemberian bantuan hukum terhadap masyarakat tidak mampu berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridisempiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Advokat BKBH Fakultas Hukum Universitas Lampung, Advokat Kantor Advokat YLBH Bandar Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Tanggungjawab Pemberi Bantuan Hukum yang Terbukti Secara Sah Menerimanya atau Meminta Pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum yang Terkait dengan Perkara yang dibelanya adalah pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum, enerima bantuan hukum yaitu orang atau kelompok orang miskin dan/ataupihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani pemberi bantuan hukum. Dan pemberlakuan sanksi pidana bagi pemberi bantuan hukum yang dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) Tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Faktor Penghambat Pemberian
Fitri Damayanti Azzahra
Bantuan Hukum Terhadap masyarakat tidak mampu berdasarkan Pasal 20
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah kerangka hukum normatif pemberian bantuan hukum yang tidak bekerja. Kurangnya
kesadaran hukum dalam rakyat miskin. akses menuju peradilan hanya bersifat formalitas. Diskriminasi dan prosedur yang rumit dalam pendanaan bantuan hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah Larangan bagi pemberi bantuan hukum dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum, dalam pelaksanaannya perlu diawasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah, karena pelaksanaan bantuan hukum telah disediakan anggaran dari Negara untuk melaksanakan bantuan hukum. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Bantuan Hukum (sistem pelaksanaan) harus memberikan kemudahan syarat dalam proses pelaksanaan bantuan hukum demi terwujudnya perlindungan dan keadilan hukum bagi masyarakat miskin.
Kata Kunci: Pembayaran, Bantuan Hukum, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
ABSTRACT
ANALYSIS OF CRIMINAL SANCTIONS ON THE PROHIBITION OF RECEIVING PAYMENT FROM LEGAL ASSISTANCE RECIPIENTS OR COMMUNITY CANNOT BASED
ON ARTICLE 20 OF LAW NUMBER 16 YEARS
2011 ABOUT LEGAL ASSISTANCE
By
FITRI DAMAYANTI AZZAHRA
The role and function of LBH in carrying out legal advocacy is that we can know that most of our society is classified as unable to use and pay for the services of an advocate, so legal aid agencies provide their services free of charge for people in need, especially for the poor. The provision of legal aid so far has not touched many people or groups of poor people, so that they find it difficult to access justice because they are hampered by their inability to realize their constitutional rights. The problems in this thesis are: What is the responsibility of the legal aid provider who is proven to have legally accepted or requested payment from the legal aid recipient related to the case he is defending. And what are the factors that hinder the provision of legal aid to underprivileged communities based on Article 20 of Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid.
The problem approach used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data. Resource persons: Advocates of the BKBH Faculty of Law, University of Lampung, Advocates for the Advocate Office of YLBH Bandar Lampung and Academics of the Faculty of Law in the Criminal Law Division at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that: The responsibility of Legal Aid Providers who are Proven to Legally Receive or Request Payment from Legal Aid Recipients Related to the Case they are defending is that the Legal Aid provider is prohibited from receiving or requesting payment from Legal Aid Recipients Legal Aid Recipients, namely individuals or groups of people. poor and/or other parties related to the case being handled by the Legal Aid Provider. And the imposition of criminal sanctions for legal aid providers who in the implementation of providing legal aid receive or request payments from Legal Aid Recipients and/or other parties related to the case being handled shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year or a maximum fine of Rp.
50,000,000.00 (fifty million rupiah). Factors Inhibiting the Provision of Legal Aid to Underprivileged Communities Based on Article 20 of Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid is the normative legal framework for providing legal aid that does not work. Lack of legal awareness among the poor. access to justice is only a formality. Discrimination and complicated procedures in the funding of legal aid.
Fitri Damayanti Azzahra
Suggestions in this study are the prohibition for legal aid providers in carrying out the provision of legal aid, in its implementation it needs to be supervised by the government and local governments, because the implementation of legal aid has provided a budget from the State to carry out legal aid. Implementing regulations of the Legal Aid Law (implementation system) must provide ease of conditions in the process of implementing legal aid in order to realize legal protection and justice for the poor.
Keywords: Payment, Legal Aid, Law Number 16 Year 2011 concerning Legal
Aid.
1812011236 FITRI DAMAYANTI AZZAHRA azzahrafitridamayanti@gmail.com2022-08-26T08:06:47Z2022-08-26T08:06:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65806This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658062022-08-26T08:06:47ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN
(Studi Putusan No. 84/Pid.B/2020/PN.Tjk.)Kasus tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang di lakukan oleh seorang oknum
dalam sebuah putusan Nomor 84/Pid.B/2020/PN.Tjk. yang terbukti secara sah
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dengan menguasai
barang itu karna ada hubungan kerja sebagai mana dalam dakwaan primer yang
mengakibatkan korban merasa dirugikan oleh Terdakwa yang diatur dalam Pasal 374
KUHP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Apakah dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam
jabatan dengan putusan Nomor 84/Pid.B/2020/PN.Tjk. dan 2) Apakah putusan Nomor
84/Pid.B/2020/PN.Tjk sudah sesuai dengan fakta- fakta dipersidangan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan data
sekunder dan primer. Studi dilakukan dengan studi kepustakaan dan lapangan.
Narasumber penelitian ini ialah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen
Fakultas Hukum Univeritas Malahayati dan Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan
dengan putusan Nomor 84/Pid.B/2020/PN.Tjk secara yuridis, artinya Hakim terlebih
dahulu menguraikan unsur-unsur dari Pasal 374 KUHPidana Undang Undang Nomor
8 Tahun 1981. Dalam perkara tersebut, dipertimbangkan dakwaannya melanggar Pasal
374 KUHPidana. Unsur-unsurnya yakni (a) barang siapa; (b) secara melawan hukum;
(c) memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; (d)
yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena
adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu. (2)
Putusan sudah sesuai dengan fakta-fakta di persidangan seperti hal yang meringankan
dan memberatkan terdakwa, sehingga dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan
benar-benar keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Putusan hakim sudah
sesuai dengan keadilan subtantif yang terkait dengan isi putusan hakim dalam kasus
tersebut dengan memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut berdasarkan pertimbangan yang yuridis, filosofis, dan sosiologis serta personal, objektif, jujur, tidak
memihak dan tanpa diskriminasi.
Berdasarkan simpulan di atas, hendaknya Hakim diharapkan dalam menjatuhkan
putusan harus mengingat 3 (tiga) hal yang menjadi tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Selain itu hakim juga harus memenuhi hak asasi dari
terdakwa agar suatu proses persidangan tidak memakan biaya dan waktu yang sangat
lama. Adanya berbagai penafsiran tentang lingkup penyalahgunaan jabatan membuat
kesulitan dalam penegakan hukum bagi hakim terhadap tindak pidana penyalahgunaan
jabatan yang berlaku sekarang ini, sehinggga perlu untuk memperjelas dalam
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini terhadap indak pidana penyalahgunaan
jabatan.
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain, hakim diharapkan dalam menjatuhkan
putusan harus mengingat 3 hal yang menjadi tujuan utamanya yakni keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Adanya penafsiran mengenai lingkup penyalahgunaan
jabatan yang bermacam - macam membuat kesulitan untuk menegakkan hukum bagi
hakim terhadap tindak pidana tersebut, sehingga perlu untuk diperjelas dalam undangundang yang berlaku mengenai ruang lingkup tindak pidana penyalahgunaan jabatan
ini.
Kata Kunci: Pertimbangan Hukum, Hakim, Putusan, Tindak Pidana,
Penggelapan Dalam Jabatan.1752011076 Rico Ghifari Putraricoghifariputraa27@gmail.com2022-08-26T07:50:10Z2022-08-26T07:50:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65807This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658072022-08-26T07:50:10ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENYEBAR ISU SARA YANG MENGIDAP GANGGUAN JIWA
PSIKOSIS (Studi Putusan No.8/Pid.Sus/2019/PN.Srg)Pada putusan No.8/Pid.Sus/2019/PN.Srg hakim memutus ancaman pidana penjara 5
bulan untuk terdakwa yang mempunyai gangguan jiwa yang tidak sesuai dengan
Pasal 44 KUHP. Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1)
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyebar isu sara yang mengidap
gangguan jiwa psikosis dalam putusan No.8/Pid.Sus/2019/PN.Srg. (2) Apakah
putusan hakim terhadap pelaku penyebar isu sara pengidap gangguan jiwa psikosis
dalam putusan No.8/Pid.Sus/2019/PN.Srg sudah sesuai dengan fakta yuridis di
persidangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu diperoleh dari
hasil wawancara yang dilakukan penulis dari narasumber dan data sekunder yaitu
diperoleh dengan jalan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku atau media
cetak yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam putusan perkara
No.8/Pid.Sus/2019/PN.Srg yaitu hakim memutus bahwa terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah dan diancam pidana dalam Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dengan pidana penjara
selama 5 bulan. Pertanggungjawaban pidana terdakwa dengan gangguan jiwa
diterangkan dalam Pasal 44 KUHP mengatur tentang apabila perbuatan tindak pidana
yang dilakukan pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, yang
disebabkan karena jiwanya yang cacat saat pertumbuhan atau mental disorder,
sehingga akalnya atau jiwanya terganggu karena penyakit seperti sakit jiwa, psikosis,
dan lainnya. Kondisi terdakwa yang seperti itu dapat dikatakan terdakwa belum
cakap hukum yang terdapat di dalam Pasal 32 UU No. 8 tahun 2016 tentang
disabilitas. Putusan yang sesuai dengan fakta yuridis dimaksudkan agar majelis
hakim dalam putusannya sesuai pada ketentuan peraturan perundang-undangan
secara formil. Hakim secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Saran dalam penelitian ini jika dilihat dari segi penegakan hukum pada kasus
terdakwa, hendaknya hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dapat lebih
tegas, adil dan bijaksana tanpa adanya suatu intervensi dari manapun dan hakim juga
seharusnya tidak menjatuhkan ancaman pidana selama 5 bulan dan kedepannya dapat
melihat benar-benar kondisi psikis atau psikolog terdakwa agar pada saat
menjatuhkan ancaman pidana tidak seberat itu. Hakim juga seharusnya lebih
meningkatkan pengetahuan serta kemampuan untuk bisa menyelesaikan perkara pada
kasus terdakwa tersebut dengan cara mencari sumber-sumber hukum yang berkaitan
dengan perkara terdakwa ini khususnya mengenai penyakit jiwa serta hendaknya
hakim bisa menggali lebih tentang kebenaran materil serta nilai-nilai dalam perkara
terdakwa ini dan saat memutus perkara hakim hendaknya bisa memberikan putusan
yang sesuai dengan fakta yuridis dalam persidangan.1752011127 Alexandra Florecita Adja Mossa2022-08-26T07:48:11Z2022-08-26T07:48:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65738This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/657382022-08-26T07:48:11ZUPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PELANGGARAN KEWAJIBAN REKLAMASI PASCA-TAMBANG OLEH PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
ABSTRAK
UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PELANGGARAN KEWAJIBAN REKLAMASI PASCA-TAMBANG OLEH PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Oleh
KEVIN BAGASKARA
Salah satu permasalahan kegiatan pertambangan terdapat dalam tahap kegiatan pasca-tambang. Banyak pengusaha pertambangan yang tidak melakukan kegiatan reklamasi pasca-tambang secara benar sehingga mengakibatkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan, Contohnya adalah kondisi yang terjadi di Desa Babakan Loa, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Pada tahun 2019 lalu masyarakat sekitar perusahaan pertambangan tersebut melakukan aksi unjuk rasa di kantor Gubernur Lampung. Warga mendesak Gubernur Lampung mencabut izin pertambangan karena melanggar Permen ESDM Nomor 26 Tahun
2018 Pasal 3 Ayat (3) mengenai pelaksanaan kaidah teknik pertambangan yang baik. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimana Upaya Penanggulangan Terhadap Pelanggaran Kewajiban Reklamasi Pasca-Tambang Oleh Pemegang IUP dan IUPK dan Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat Upaya Penanggulangan Terhadap Pelanggaran Kewajiban Reklamasi Pasca-Tambang Oleh Pemegang IUP dan IUPK.
Metode Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data : Data Primer dan Data Sekunder. Narasumber: Jaksa Pidum pada Kejaksaan Negeri Pesawaran, Penyidik Tipiter pada Kepolisian Resort Pesawaran, Kepala Bidang Minerba pada Dinas ESDM Provinsi Lampung, dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa upaya penanggulangan terhadap pelanggaran kewajiban reklamasi pasca-tambang oleh pemegang IUP dan IUPK yang dilakukan pemerintah daerah terkait penyelenggaraan reklamasi dan pasca-tambang di Pesawaran belum berjalan efektif, karena masih terdapat beberapa perusahaan yang lalai dalam melaksanakan kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap pelanggaran kewajiban reklamasi pasca-tambang oleh pemegang IUP dan IUPK yaitu masih banyaknya perusahaan pertambangan yang tidak membuat dan menyerahkan dokumen rencana reklamasi dan pasca-tambang. Selain itu, masih terdapat
beberapa perusahaan pertambangan yang tidak menutup dan mereklamasi lubang bekas tambang. Hal tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan dan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Meskipun perusahaan pertambangan telah meletakkan dana jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang, kewajiban untuk melaksanakan reklamasi dan pasca-tambang mutlak dimiliki oleh perusahaan.
Saran dalam penelitian ini adalah Pemerintah daerah sebaiknya lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan reklamasi dan pasca- tambang, serta mendorong perusahaan tambang yang belum melaksanakan reklamasi dan/atau pasca-tambang untuk segera melaksanakannya.
Kata Kunci: Penanggulangan, Pelangggaran, Kebijakan, Pertambangan,
Reklamasi, Pascatambang.
ABSTRACT
COUNTERMEASURES AGAINST VIOLATIONS OF POST-MINING RECLAMATION OBLIGATIONS BY
MINING BUSINESS LICENSE HOLDER AND SPECIAL MINING BUSINESS LICENSE
By
KEVIN BAGASKARA
One of the problems of mining activities is found in the post-mining stage. Many mining entrepreneurs do not carry out post-mining reclamation activities properly, resulting in pollution and environmental damage, for example the conditions that occur in Babakan Loa Village, Kedondong District, Pesawaran Regency. In 2019, the community around the mining company held a general meeting at the Lampung Governor's Office. Residents urged the governor of Lampung to revoke the mining business license for violating Permen ESDM number 26 of 2018 Article 3 Paragraph (3) on the application of good mining engineering rules. The problems in this final project are: how to overcome violations of post-mining reclamation obligations by IUP and IUPK holders and what are the inhibiting factors in overcoming violations of post-mining reclamation obligations by IUP and IUPK holders.
The research method used in this study is normative juridical approach and empirical juridical. Data sources: primary data and secondary data. Speakers: prosecutor Pidum in Pesawaran District Attorney, Tipiter investigator in Pesawaran Police, Head of Mineral and coal service in Lampung Province ESDM Service, and academician of the Faculty of Criminal Law, University of Lampung.
The results of the study and discussion showed that the countermeasures against violations of post-mining reclamation obligations by IUP and IUPK holders carried out by local governments related to the implementation of Reclamation and post-mining in Pesawaran have not been effective, because there are still some companies that are negligent in carrying out reclamation and post-mining activities. Inhibiting factors in efforts to overcome violations of post-mining reclamation obligations by IUP and IUPK holders are still many mining companies that do not make and submit reclamation documents and post-mining plans. In addition, there are still some mining companies that do not close and reclaim the former mine pit. This causes environmental damage and negatively affects the surrounding community. Although the mining company has established
a reclamation and post-mining guarantee fund, the obligation to carry out reclamation and post-mining is absolutely owned by the company.
The suggestion in this study is that local governments should be more stringent in monitoring the implementation of Reclamation and post-mining activities, and encourage mining companies that have not done reclamation and / or post-mining to immediately carry it out.
Keywords: Countermeasures, Violations, Policy, Mining, Reclamation, Post- Mining.
1652011218 KEVIN BAGASKARAkevinbagaskara37@gmail.com2022-08-26T07:47:10Z2022-08-26T07:47:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65805This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658052022-08-26T07:47:10ZUPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PEMBERIAN
KETERANGAN YANG TERCATAT PADA BANK
(Studi Pasal 40 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan)Salah satu contoh kasus tindak pidana upaya penanggulangan kejahatan pemberian
keterangan yang tercatat pada bank terjadi pada Bank Mandiri dalam penyewaan
mesin-mesin EDC kartu kredit kepada pihak bahana sysfo yang mana terdapat
oknum yang secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana upaya
penanggulangan kejahatan pemberian keterangan yang tercatat pada bank yang
diatur dalam pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang Undang Perbankan. Permasalahan
dalam penelitian ini yakni ialah 1) bagaimana upaya penanggulangan kejahatan
pemberian keterangan yang tercatat pada bank Dan 2) Bagaimanakah upaya
pencegahan dengan menggunakan sarana Non-Penal terhadap kejahatan keterangan
yang tercatat pada bank.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mempelajari,
melihat, dan menelaah mengenai beberapa teori yang menyangkut asas-asas
hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum, dan sistem
yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat. Kemudian yang kedua
menggunakan metode penlitian pendekatan yuridis emipiris, data yang digunakan
adalah data skunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan, adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari
Kanit 1 Subdit 2 Perbankan Krimsus Polda Lampung, Kepala Sub Bagian
Pengawasan Bank, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis data
yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Upaya penanggulangan kejahatan
pemberian yang tercatat pada bank melalui ketentuan rahasia bank diperlukan
karena perbankan harus lebih melindungi nasabahnya dan bank yang membocorkan
informasi yang dikategorikan rahasia bank layak dikenakan sanksi yang berat.
Meskipun tidak ada perjanjian antara bank dan nasabah, namun bank tetap saja
berkewajiban untuk mempertahankan kerahasiaan bank berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau konsep hukum lainnya, seperti konsep perbuatan
melawan hukum. (2) upaya pencegahan dengan menggunakan sarana Non-penal Terhadap kejahatan pemberian keterangan yang tercatat pada bank dilakukan
dengan memberikan pengawasan terhadap bank baik secara eksternal maupun
internal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di samping itu,
berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil resiko yang
berlebihan dan menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga
kegagalan bank yang disebabkan oleh kecurangan orang dalam menjadi lebih tinggi
maka dari itu kedua bentuk pengawasan eksternal dan internal harus berjalan
dengan efektif.
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain, bank diharapkan lebih dan secara
ekstra meningkatkan sistem pengawasan berupa pengawasan silang dari segala
pihak yang mereka miliki dan memperketat sistem tersebut tanpa adanya celah
untuk oknum dapat melakukan tindak pidana pemberian keterangan yang tercatat
pada bank.
Kata kunci : Penanggulangan Kejahatan, Keterangan Tercatat, Bank.1712011109 Farra Annisaa Sekar Putrifarraannisaa12@gmail.com2022-08-26T07:40:18Z2022-08-26T07:40:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65735This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/657352022-08-26T07:40:18ZPERAN TIM KHUSUS ANTI BANDIT (TEKAB) KEPOLISIAN DAERAH
LAMPUNG DALAM UPAYA PEMBERANTASAN BEGAL PELAKU ANAKTim Khusus Antibandit 308 Polda Lampung dapat menangani kasus-kasus
kejahatan, terkhususnya kejahatan yang dilakukan oleh anak yang masih dibawah
umur 18 tahun. Pelaku anak bisa di bilang kurang bisa mengontrol dirinya dan tidak
bisa menyaring setiap kebudayaan negatif dari lingkungan bermain. Sehingga akan
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan pada anak. Perlu Usaha dari tim
Tekab 308 dalam mengurangi kejahatan begal di masa penanganan pandemi Covid
19. Permasalahan yang menjadi topik dalam penelitian ini adalah, Bagaimanakah
Peran Tim Khusus Anti Bandit Kepolisian Daerah (Polda) Lampung Dalam Upaya
Penanggulangan Kejahatan Begal Pelaku Anak? Dan Bagimanakah Faktor-Faktor
penghambat Upaya penanggulangan Kejahatan Begal di Bandar Lampung?
Penelitian ini menggunakan Metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh
dari studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari hasil studi Pustaka.
Berdasarkan hasil penelitian dari data-data dan wawancara yang peneliti
kumpulkan, bahwa, Tim Khusus Anti Bandit adalah sebutan khusus penanganan
terhadap pelaku begal dalam hal ini anak di Lampung. Yang mana memiliki tugas
untuk melakukan penindakan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
yang diutamakan aksi kejahatan yang disebut dengan Curas, Curanmor dan Curat
(C3) atau Begal. Tekab 308 berperan sebagai tim yang dibentuk untuk menindak
tegas dan cepat dalam memberantas kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Polda
Lampung. Tujuannya, agar dapat memberikan efek jera kepada para pelaku
kejahatan salah satunya tindak pidana begal yang dilakukan oleh anak. Faktor
penghambat adanya begal di Lampung, yaitu ada masyarakat Lampung yang ada di menganggap begal itu seperti pekerjaan. Hambatan lainnya dari pihak penegak
hukum itu sendiri yang kadang-kadang menyimpang dari peraturan perundang-
undangan yang mengatur delik tindak pidana begal. Kendala berikutnya adalah
kurangnya sarana prasarana yang memadai untuk penyelidikan dan pengungkapan
dari tindak pidana pencurian yang disertai kekerasaan dengan menggunakan senjata
tajam di wilayah hukum Polda Lampung.
Saran penulis kedepan, usaha dan upaya yang dilakukan Polda Lampung terhadap
pelaku begal anak secara garis besar diupayakan melakukan koordinasi dengan
anggota reskrim di wilayah Polres dan Polsek dengan anggota Tekab 308.
Kata Kunci: Pemberantasan Anak Begal, Peran, Tekab.YULIA YAHYA17120113212022-08-26T07:38:32Z2022-08-26T07:38:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65816This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/658162022-08-26T07:38:32ZANALISIS FAKTOR PENYEBAB ANAK MELAKUKAN KEJAHATAN
PERUNDUNGAN DI DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
ABSTRACK
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB ANAK MELAKUKAN KEJAHATAN
PERUNDUNGAN DI DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
Oleh
Laksono M.A Gumelar
Perundungan atau juga bulliying yaitu suatu kekerasan baik secara fisik
maupun ferbal psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok
orang kepada seseorang yang tidak dapat mempertahankan keamanan dirinya
sendiri terhadap situasi tersebut, serta adanya pemikat seseorang yang merasa
depresi, takut dan tidak berdaya. Berdasarkan keterangan dari pihak korban
sudah 2 minggu masuk LPKA, korban yang berinisial DD mengalami
perunduangan oleh sesama tahanan yang berinisial F. Perundungan itu dimulai
dari tekanan mental hingga penganiayan fisik sehingga korban tidak tahan lagi
di bully, lantas korban meminum cairan racun pembasmi rumput hingga
keracunan dan dilarikan kerumah sakit.Faktor penyebab anak melakukan
kejahatan di dalam lembaga pembinaan khusus anak kelas II Bandar Lampung
diantaranya jumlah anak didik pemasyarakatan lebih banyak dibandingkan
dengan petugas sehingga beberapa anak yang melakukan perundungan ada
yang lolos dari pantauan.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Apakah faktor penyebab anak
melakukan kejahatan perundungan di dalam lembaga pembinaan khusus anak
dan Bagaimanakah penanggulangan terhadap anak didik yang melakukan
kejahatan perundungan di dalam lembaga pembinaan khusus anak. Penelitian
menggunakan metode pendekatan yuridis Normatif dan yuridis empiris yaitu
pendekatan yang didasarkan kepada perundang-undangan, teori-teori dan
konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian berupa asasasas,
nilai-nilai,
serta
tindakan
yang dilakukan dengan mengadakan penelitian
di lapangan. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Seksi Pengawasan
dan Penegakan Disiplin Lembaga pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar
Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Data diri dari data lapangan dan data kepustakaan. jenis data
meliputi data primer dan dat sekunder yang kemudian di analisis secara
kualitatif.
Laksono M.A Gumelar
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa faktor penyebab anak melakukan
kejahatan perundungan di dalam lembaga pembinaan khusus anak Lampung
termasuk kedalam Teori Diferential Assosiation/Assosiasi Diferensial,
dimana Seseorang menjadi delinkuen karena akses pola yang lebih melihat
aturan hukum sebagai pemberi peluang untuk melakukan kejahatan daripada
melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi,
sehingga pelaku leluasa melakukan perundungan yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Dan Uapaya penanggulangan terhadap anak yang melakukan kejahatan
perundungan di dalam lembaga pembinaan khusus anak tidak hanya sekedar
penanggulangan terhadap anak didik yang melakukan kesalahan atau
kejahatan yang dilakukan oleh anak binaan, namun penanggulangan ini guna
memberikan pembinaan yang bertujuan untuk memperbaiki sikap apabila
anak binaan melakukan kesalahan berupa kejahatan dan upaya pencegahan
agar tidak melakukan kejahatan dan mengulanginya di dalam lemabaga
pembinaan dengan meningkatkan kualitas ketaqwaan, intelektual, sikap dan
perilaku sehingga menjadi anak binaan yang lebih baik.
Saran dalam penelitian ini adalah pihak Lembaga Pembinaan Khusus anak
untuk melakukan pengawasan, pembinaan serta pembimbingan kepada anak
didik pemasyarakatan untuk lebih ditingkatatkan dan jumlah penjaga untuk
anak didik pemasyarakatan ditambah demi tercapainya keamanan dan anak
didik pemasyarakatan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
halnya perundungan.
Kata Kunci : Faktor Penyebab, Kejahatan Perundungan, Lembaga
Pembinaan Khusus Anak
ABSTRACT
FAKTORS ANALYSIS OF CAUSES OF CHILDREN TO BULLIYING
CRIME IN CHILD SPECIAL DEVELOPMENT INSTITUTIONS
By
Laksono M.A Gumelar
Bullying or also bullying is violence, both physically and verbally,
psychologically carried out by a person or group of people to someone who
cannot maintain their own security against the situation, as well as the presence
of a person who feels depressed, afraid and helpless. Based on information
from the victim, who had been in LPKA for 2 weeks, the victim with the initial
DD was bullied by a fellow detainee with the initial F. The abuse started from
mental pressure to physical abuse so that the victim could no longer stand
being bullied, then the victim drank weed killer poison and was poisoned. and
was rushed to the hospital.The factors that cause children to commit crimes in
special coaching institutions for grade II children in Bandar Lampung include
the number of correctional students more than officers so that some children
who do bullying have escaped monitoring.
The problems in this study are what are the factors that cause children to
commit bulliying crimes in special child development institutions and how to
deal with students who commit bulliying crimes in special child development
institutions.The research uses normative juridical and empirical juridical
approaches, namely approaches based on legislation, theories and concepts
related to research writing in the form of principles, values, and actions taken
by conducting research in the field. The resource persons in this study
consisted of Section Supervision and Discipline Enforcement Institution for
Special Class II Children in Bandar Lampung and Lecturer in Criminal Law,
Faculty of Law, University of Lampung. Personal data from field data and
library data. The types of data include primary data and secondary data which
are then analyzed qualitatively.
Laksono M.A Gumelar
The results show that the factors that cause children to commit bulliying crimes
in special development institutions for children in Lampung are included in the
Differential Association Theory, where a person becomes delinquent because
of access to patterns that see the rule of law as an opportunity to commit a
crime rather than seeing the law as something that must be considered and
obeyed, so that perpetrators are free to abuse that is not in accordance with
Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System.
Efforts to overcome children who commit bulliying crimes in special children's
development institutions are not only tackling students who make mistakes or
crimes committed by fostered children, but this prevention is to provide
guidance that aims to improve attitudes if the fostered children make mistakes
in the form of crimes and crimes. prevention efforts so as not to commit crimes
and repeat them in coaching institutions by improving the quality of piety,
intellectuality, attitudes and behavior so that they become better fostered
children.
Suggestions in this study are the Special Guidance for Children’s Institutions to
carry out supervision, guidance and guidance to correctional students to be
further improved and the number of guards for correctional students is
increased in order to achieve security and correctional students are protected
from unwanted things such as bullying.
Keywords : Causing Faktors, Bulliying Crime, Special Child Development
Institutions
1812011232 Laksono M.A Gumelar 2022-08-26T04:20:00Z2022-08-26T04:20:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65694This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/656942022-08-26T04:20:00ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMILIK TAMBANG EMAS TAK BERIZIN DI KABUPATEN WAY KANAN (Studi Pada Polres Way Kanan)Penambangan emas ilagal di Kabupaten Way Kanan masih banyak terjadi dan
perlu penanganan yang tegas oleh pihak Polres Way Kanan yang bertujuan untuk
menegakkan hukum di wilayah hukum Polres Way Kanan. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pemilik
tambang emas tak berizin di Kabupaten Way Kanan dan 2) Apakah faktor
penghambat dalam penegakan hukum terhadap pemilik tambang emas tak berizin
di Kabupaten Way Kanan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Penyidik Polres Way Kanan, Staf Dinas Lingkungan Hidup Kabupten Way
Kanan dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis
data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penegakan hukum terhadap pemilik
tambang emas tidak berizin di Kabupaten Way Kanan melalui 2 upaya, yaitu
upaya secara preventif yaitu Polres Way Kanan melaksanakan patroli, razia,
operasi keamanan yang dilakukan secara rutin dan memberikan sosialisasi kepada
masyarakat Way Kanan tentang pentingnya menciptakan keamanan serta cara
mengatasi penambangan emas ilegal serta Polres Way Kanan melakukan
pendekatan dengan warga sekitar melakukan rembuk pekon untuk tidak
melakukan kegiatan penambangan emas secara liar. Sedangkan upaya represif
yang dilakukan Polres Way Kanan adalah dengan mengoptimalkan upaya
penindakan serta menghimpun bukti-bukti guna menindak secara hukum pelaku
penambangan emas secara liar dengan pemberian sanksi tegas dan berefek jera
serta melalui mediasi terhadap para pihak yang berperkara sehingga pelaku tidak
perlu di proses melalui sanksi pidana. (2) Faktor penghambat dalam penegakan
hukum terhadap pemilik tambang emas tak berizin di Kabupaten Way Kanan
yaitu pertama adalah faktor undang-undang, dimana belum ada Peraturan Bupati
yang mengatur kegiatan pertambangan di Kabupaten Way Kanan. Kedua, faktor
Penegak Hukum seperti masih kurang maksimal dalam menjalankan programnya
contohnya program penyuluhan Polres Way Kanan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat sehingga mengakibatkan peningkatan penambangan emas
ilegal, selain itu pada permasalahan penambangan emas ilegal ini hingga saat ini masih dalam proses penyelidikan sehingga belum ada yang ditetapkan sebagai
tersangka dalam perkara ini. Ketiga, faktor sarana dan prasarana yang masih
terbatas seperti personil kepolisian (penyidik) untuk melakukan pencarian,
razia dan patroli. Keempat, faktor masyarakat yaitu antara masyarakat serta pihak
kepolisian tidak tercipta kerjasama yang bersinergi karena kurangnya pendekatan
yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran, diharapkan Polres Way
Kanan mengutamakan upaya preventif guna menekan angka pertumbuhan
kejahatan yaitu dengan meningkatkan razia, patroli dan pengawasan daerah
pertambangan, perbaikan sarana dan prasarana serta melakukan pendekatan
kepada masyarakat. Diharapkan Polres Way Kanan melakukan sosialisasi,
pendekatan dan pengarahan yang baik kepada seluruh lapisan masyarakat Way
Kanan yang dikemas dalam bentuk pertemuan yang bersifat kekeluargaan
sehingga mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bersama
bertanggung jawab atas keamanan lingkungan hidup mereka.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tambang Emas Tak Berizin, Kabupaten
Way Kanan1812011203 Agung Wiliantama2022-08-26T02:53:50Z2022-08-26T02:53:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65724This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/657242022-08-26T02:53:50ZUPAYA PENYIDIK TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL DI POLSEK TELUK BETUNG SELATANPerjudian togel dapat berdampak buruk bagi masyarakat, karena tindak pidana
perjudian merupakan salah satu tindak pidana yang merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat maupun norma hukum yang
berlaku. Kepolisian sebagai aparat negara yang menjalankan fungsi penegakan
hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat, Polisi bertugas untuk mencegah dan
menanggulangi tindak pidana perjudian togel tersebut. Namun kenyataan makin
maraknya perjudian togel yang terjadi di masyarakat, terutama di wilayah hukum
Polsek Teluk Betung Selatan sampai saat ini keberadaannya masih belum bisa
diberantas sampai ke akar-akarnya. Oleh karenanya dua permasalahan dalam
skripsi ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Pertama bagaimanakah upaya
yang dilakukan oleh penyidik dalam menanggulangi tindak pidana perjudian togel
di polsek teluk betung selatan? Kedua, apa saja faktor yang dihadapi kepolisian
dalam upaya menanggulangi tindak pidana perjudian togel di polsek teluk betung
selatan?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh
penyidik dalam menanggulangi tindak pidana perjudian togel di Polsek Teluk
Betung Selatan terdiri dari upaya preventif dan upaya represif. Faktor yang
dihadapi kepolisian dalam upaya menanggulangi tindak pidana perjudian togel di
Polsek Teluk Betung Selatan antara lain dapat dilihat dari substansi hukum, aparat
penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, dan budaya hukum.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah peneliti dapatkan di lapangan maka
beberapa saran yang telah dirumuskan oleh penulis yaitu olri sebaiknya lebih
mendekatkan diri dengan masyarakat supaya informasi yang disampaikan dapat diterima dan dapat terjalin kerjasama yang baik. Selanjutnya untuk masyarakat
khususnya warga Kecamatan Teluk Betung Selatan, sebaiknya tidak tertutup dan
lebih terbuka dalam memberikan informasi serta laporan kepada kepolisian terkait
tindak pidana perjudian togel yang terjadi disekitar lingkungannya.
Kata Kunci: Judi Togel, Penanggulangan Kejahatan, Teluk Betung Selatan1512011369 Ramanda Nicolas2022-08-26T01:02:28Z2022-08-26T01:02:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65667This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/656672022-08-26T01:02:28ZTINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KEBIRI KIMIA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA
(STUDI PUTUSAN 287/PID.SUS/2020/PN.SDN)Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak asasi anak. Dewasa
ini, dampak dari arus globalisasi yang kian berkembang begitu pesat, kasus kekerasan
terhadap anak lebih dari itu kasus eksploitasi seksual terhadap anak oleh orang dewasa
justru kian memanas dan merebak menjadi suatu penyakit dalam masyarakat yang obatnya
belum bisa ditemukan. Salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap anak adalah
kejahatan pedofilia. Pedofilia adalah manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual
menyimpang dengan anak-anak. Kata itu berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan
philia (cinta). Permasalahan : Apakah Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Putusan No: 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn. Apakah Putusan No: 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn
Sudah Memenuhi Keadilan Substantif. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris yaitu meliputi data primer dan sekunder, dimana masing–
masing data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan lapngan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: Dalam pertimbangannya hakim
menjatuhkan vonis kebiri kimia dengan beralaskan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh si terdakwa itu tidak hanya dilakukan sekali, tetapi dilakukan
berulang kali dan dikaitkan dengan pekerjaan terdakwa yang merupakan anggota
anggota P2TP2A dengan jabatan sebagai Anggota Divisi Pelayanan Hukum dan
Medis yang mendampingi anak korban Noviyani untuk memulihkan kondisi anak
korban Noviyani dalam perkara persetubuhan anak korban Noviyani dengan paman
anak korban Noviyani yang bernama Lukman, sehingga atas dasar itulah Majelis
Hakim yang mengadili perkara tersebut menjatuhi hukuman tambahan untuk
mengekang kecenderungan (hasrat) terdakwa untuk melakukan perbuatan yang
berkaitan dengan kejahatan seksual yaitu berupa sanksi kebiri kimia. Pertimbangan
Hakim yang lain adalah bahwa hakim menganggap dengan diberlakukannya vonis
kebiri kimia kepada terdakwa merupakan langkah yang optimal dan komprehensif
dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana tapi juga untuk
menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa
kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang lain seperti halnya
terdakwa. pelaksanaan hukuman kebiri kimia merupakan suatu penegasan hukum
yang tidak relevan dengan keadilan subtantif, sebab pelaksanaannya dilakukan
secara paksa.
Saran penelitian ini adalah: Hendaknya hakim mempertimbangkan lebih mendalam
dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa kebiri kimia, sebab dari dasar
pertimbanga hakim lah pemenuhan keadilan subtantif dapat tercapai. Perlunya
perbandingan hukum dengan negara-negara lain yang telah melaksanakan hukuman
kebiri kimia sebagai treatment atau rehabilitasi sebagai acuan atau pedoman dalam
penyempurnaan aturan hukum yang ada, sehingga pelaksanaan kebiri kimia layak
untuk digunakan di Indonesia.
Kata Kunci: Kebiri Kimia, Tindak Pidana, Pedofilia1712011108 Gandi Aristomi Rala2022-08-25T07:26:39Z2022-08-25T07:26:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65635This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/656352022-08-25T07:26:39ZANALISIS FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP
PENGGUNAAN JALAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI
(STUDI KASUS DI POLDA BANDAR LAMPUNG)Pelanggaran Penggunaan Jalan Untuk Kepentigan Pribadi merupakan suatu
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang mengakibatkan terganggunya
fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan yang di peruntukkan
untuk kepentingan umum. Tentunya pelanggaran ini membutuhkan suatu
penanganan khusus dari pihak Ditlantas Polda Lampung. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah Bagaimana Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap
Pelanggaran Penggunaan Jalan Untuk Kepentingan Pribadi di Kota Bandar
Lampung dan Apa faktor-faktor yang mempengaruhi Fungsionalisasi hukum
dalam penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi di Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan yaitu pendekatan yuridis
normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data ini akan diambil
dari wawancara kepada pihak Kepolisisan Polda Bandar Lampung dan pihak
Kapolsek Kedaton Bandar Lampung atau Dosen Bagian Hukum Pidana yang
berkenaan dengan masalah penelitiaan. Analisis data menggunakan analisis
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Fungsionalisasi hukum
pidana adalah upaya menjalankan atau memfungsikan hukum pidana dalam
menanggulangi tindak pidana. Fungsionalalisasi hukum pidana belum efektif di
terapkan oleh pihak Kepolisian sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam
keadaan tertentu dan penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas dan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sanksi yang di berikan tidak sesuai dengan peraturan yang belaku yaitu sanksi
administratif. Pihak kepolisian hanya memberikan sanksi teguran tertulis. Faktor -
faktor yang mempengaruhi Fungsionalisasi hukum dalam penggunaan jalan adalah
faktor Faktor Hukum (Peraturan perundang-undangan yang berlaku) Faktor Penegak Hukum, Faktor Masyarakat, Faktor Sarana/Fasilitas. Faktor –
faktor ini sangat berkaitan satu sama lain dalam upaya menjalankan fungsionalisasi
hukum pidana terhadap penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi.
Saran yang dapat penulis berikan (1) Polri diharapkan dapat bekerja lebih proaktif
dan lebih tegas dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan penggunaan
jalan selain untuk kegiatan lalu lintas. (2) mensosialisasikan aturan - aturan dan
prosedur untuk menggunakan jalan umum untuk kepentigan pribadi kepada
masyarakat dengan begitu maka tingkat kesadaran hukum masyarakat akan
pentingnya mentaati peraturan yang telah di buat semakin meningkat,dan tentunya
akan mengurangi tingkat pelanggaran penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi.
Kata Kunci: Fungsionalisasi Hukum, Penggunaan, Jalan, Kepentingan Pribadi1652011142 Rico Antonius Fauzi Siregar2022-08-24T13:59:56Z2022-08-24T13:59:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65682This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/656822022-08-24T13:59:56ZAnalisis Penetapan Kerugian Negara
Non BPK dalam SEMA No. 4 Tahun 2016
(Studi Kasus Putusan Nomor 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk)
ABSTRAK
Analisis Penetapan Kerugian Negara
Non BPK dalam SEMA No. 4 Tahun 2016
(Studi Kasus Putusan Nomor 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk)
Oleh :
PRASTIKA WULANDARI
Salah satu unsur pokok dalam Tindak Pidana Korupsi yang harus dibukttikan
adalah Kerugian Negara. Berdasarkan hal tersebut maka perhitungan dalam
kerugian negara sangat diperlukan guna dalam membuktikan ada atau tidak Tindak
Pidana Korupsi. Perhitungan kerugian keuangan negara kerap menjadi polemik
dalam sidang perkara korupsi. Permasalahan yang kerap muncul lembaga mana
yang sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara,
berdasarkan Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Hakim mempunyai wewenang untuk menemukan hukum, serta Mahkamah Agung
(MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2016.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah penetapan kerugian negara
dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimanakah pertimbangan majelis
hakim mengenai penetapan kerugian negara dalam perkara Putusan Nomor:
28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis
normatif yang menggunakan data sekunder. Metode pengumpulan data
menggunakan metode studi pustaka dan didukung dengan wawancara dengan
responden penelitian. Narasumber pada penelitian ini adalah Hakim, Jaksa Penuntut
Umum, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa lembaga yang
diberikan kewenangan untuk menetapkan kerugian keuangan negara di Indonesia
pada saat ini yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan lembaga lainnya. Majelis hakim dalam
perkara Putusan Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk., sebagaimana yang
terungkap dipersidangan, maka agar tercipta kepastian hukum berdasarkan
kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan kehakiman dan SEMA No. 4 Tahun 2016 menetapkan
sendiri mengenai besaran kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh terdakwa.
Saran yang dapat penulis berikan adalah Pembentuk undang-undang sebaiknya
melakukan upaya unifikasi terhadap ketentuan yang memberikan kewenangan
dalam penetapan kerugian keuangan negara dan Pengadilan melalui majelis hakim
sebagai lembaga yang berwenang memberikan keadilan bagi masyarakat.
Kata Kunci: Kerugian Negara, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.4 Tahun 2016, Kewenangan 1812011030 Prastika Wulandari2022-08-24T07:29:14Z2022-08-24T07:29:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65551This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/655512022-08-24T07:29:14ZANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDARAN PUPUK YANG TIDAK TERDAFTAR
DI KEMENTERIAN PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA
Salah satu bentuk tindak pidana pengedaran pupuk yang tidak terdaftar di Kementerian Pertanian Republik Indonesia adalah tindak pidana berdasarkan Putusan Nomor: 435/Pid.Sus/2020/PN.Tjk, dimana berdasarkan putusan tersebut menyatakan Terdakwa Ahmad Sucahyono bin Sariman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan Pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak berlabel. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana pengedaran pupuk yang tidak terdaftar di Kementerian Pertanian Republik Indonesia berdasarkan Putusan Nomor: 435/Pid.Sus/2020/PN.Tjk dan 2) Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pengedaran pupuk yang tidak terdaftar di Kementerian Pertanian Republik Indonesia berdasarkan Putusan Nomor:
435/Pid.Sus/2020/PN.Tjk.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri dari Kasubdit I Indagsi Ditreskrimsus Polda Lampung, JPU Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana pengedaran pupuk yang tidak terdaftar di Kementerian Pertanian Republik Indonesia berdasarkan Putusan Nomor: 435/Pid.Sus/2020/PN.Tjk adalah dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap terdakwa terdiri dari tiga pertimbangan, yaitu pertimbambangan subjektif atau keyakinan Hakim dengan dasar moral justice dan social justice, serta asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum. Pertimbangan substansi Hakim sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan yang tidak
menyebutkan minimum pemidanaan, oleh karena itu digunakannya minimal pemidanaan dalam KUHP yaitu pada Pasal 12 Ayat (2) KUHP yaitu pidana penjara
Rayhan Aulian Syaiful
selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Sedangkan pertimbangan ketiga adalah pertimbangan sosial dari efek penjualan pupuk yang tidak terdaftar yaitu berdampak pada kerusakan tanaman dan akan menimbulkan gagal panen pada masyarakat yang menggunakan pupuk yang tidak terdaftar tersebut. (2) Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengedaran pupuk yang tidak terdaftar di Kementerian Pertanian Republik Indonesia berdasar Putusan Nomor: 435/Pid.Sus/2020/PN.Tjk adalah dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Hal ini sesuai dengan teori pertangungjawaban pidana diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat..
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran kepada Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana ringan seharusnya mempertimbangkan lebih dahulu mengenai dampak jangka panjang jika itu terus menerus dilakukan oleh seorang produsen jika beredar pupuk dengan menggunakan label palsu yang belum tercantum izinnya di kementerian pertanian dapat membayakan tanaman dan bahkan bisa berdampak dengan apa yang dikonsumsi oleh manusia sendiri karena pupuk tersebut belum teruji klinis, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitas dan keamanannya digunakan oleh petani. Guna mengurangi dan bahkan meniadakan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha baik produsen dan distributor pupuk yaitu mengedarkan pupuk yang tidak terdaftar pada Kementerian Pertanian Republik Indonesia atau pupuk yang tidak berizin, diharapkan kepada pemerintah, dan aparat hukum agar lebih meningkatkan pengawasan dalam pemantauan peredaran pupuk di kalangan masyarakat sehingga tindak pidana ini tidak menerus terjadi lagi dan dengan diadakannya kegiatan sosialisasi di bidang hukum kepada produsen dan konsumen.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Pelaku, Tindak Pidana, Pupuk yang Tidak
Terdaftar.
Rayhan Aulian Syaiful rayhanaulian01@gmail.com18120111942022-08-23T00:41:40Z2022-08-23T00:41:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65391This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653912022-08-23T00:41:40ZANALISIS PERGESERAN PARADIGMA HUKUM DARI RETRIBUTIVE JUSTICE MENUJU RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA RINGAN (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana)Perkembangan hukum di Indonesia mulai progresif. Perkembangan ini menyebabkan pergeseran paradigma hukum pidana dari Retributive Justice menuju Restorative Justice. Penyelesaian melalui litigasi tidak selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan. Karena didalam metode litigasi saat ini justru menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, seperti menimbulkan penumpukan perkara, pola pemidanaan yang masih bersifat pembalasan, dan hak korban tidak diperhatikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dalam pengumpulan data lebih ditekankan pada sumber bahan primer, berupa peraturan perundang-undangan, menelaah kaidah-kaidah hukum maupun teori ilmu hukum dan norma yang tumbuh dimasyarakat dan dilanjutkan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris untuk mengumpulkan informasi lebih mendalam dengan mewawancarai Penyidik Polri dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pergeseran paradigma hukum dari Retributive Justice menuju Restorative Justice mulai di terapkan pada kasus tindak pidana ringan Tetapi dalam pelaksanaan pendekatan Restorative Justice terdapat faktor-faktor penghambat penegakan hukum yaitu penegak hukum masih rendah pemahamannya tentang pendekatan Restorative Justice untuk diusulkan kepada
M. Ilham Martadinata
pelaku tindak pidana ringan. Masyarakat masih rendah pemahamannya tentang Restorative Justice sehingga kurang bisa menerima. Budaya yang masih memandang pelaku kejahatan harus di hukum seberat-beratnya. Sarana dan prasarana pelaku kemungkinan tidak dapat mengembalikan kerugian korban.
Restorative Justice merupakan paradigma baru bagi hukum di Indonesia. Hal ini merupakan tugas bagi penegak hukum, polri, jaksa, hakim, serta partisipasi masyarakat untuk memahami dengan baik paradigma baru ini, agar pendekatan ini efektif dan tepat sasaran untuk tindak pidana ringan. Sehingga dapat terwujudnya tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Kata Kunci : Paradigma Hukum, Restorative Justice, Tindak Pidana Ringan
1712011306 M. Ilham Martadinata 2022-08-22T08:41:19Z2022-08-22T08:41:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65389This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653892022-08-22T08:41:19ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR LAUT YANG BERKONFLIK DENGAN MASYARAKAT DI PROVINSI LAMPUNG
Abstrak
Penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung menimbulkan banyak persoalan, kemudian dampak dari penerbitan izin pertambangan pasir laut juga menjadi tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan berpotensi menimbulkan konflik sosial yang tinggi serta kerusakan ekosistem lingkungan hidup sehingga menimbulkan bencana ekologis. Sehingga dengan demikian penulis merumuskan dua isu hukum di antaranya adalah: Bagaimanakah penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung? Mengapa terdapat faktor penghambat penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan pasir laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, Prosedur Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan Komisi 2 DPRD Provinsi Lampung, Penyidik pada Dit Polairud Polda Lampung, NGO WALHI Lampung, dan Akademisi Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk kemudian keseluruhan data tersebut dianalisis secara kualitatif guna memperoleh simpulan.
Hasil dari penelitian ini adalah Pertama, bahwa penegakan hukum penambangan pasir laut di Provinsi Lampung berkaitan erat dengan tahap penegakan hukum formulasi, aplikasi, dan eksekusi serta upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Selain itu Peraturan daerah Provinsi No 1 tahun 2018 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) harus dapat diimplementasikan dengan baik guna penegakan hukum karena sudah cukup mengakomodir kepentingan masyarakat. Kedua, Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum penambangan laut yang berkonflik dengan masyarakat di Provinsi Lampung yang paling dominan yaitu faktor perundang-undangan dan aparat penegak hukumnya itu sendiri yang tidak tegas dalam melakukan penegakan hukum penambangan pasir laut serta implementasi aturan hukum yang sudah ada kurang dijalankan dengan baik sehingga menimbulkan konflik dan tidak berjalannya pengawasan terhadap aktivitas penambangan pasir laut.
Saran dalam penelitian ini adalah mengimplementasikan Perda RZWP3K Provinsi Lampung, memperkuat pengawasan dan pemerintah harus bisa menjamin tidak ada lagi penerbitan izin tambang pasir laut yang tidak sesuai dan tumpang tindih peruntukan sehingga berpotensi menimbulkan konflik-konflik baru serta penguatan kapasitas terhadap aparat penegak hukum.
Kata Kunci: Penegakan, Penambangan Pasir Laut, Konflik, Masyarakat.
Abstract
Law enforcement against sea sand mining activities in conflict with communities in Lampung Province creates problems, then the impact of sea sand mining permits also overlaps the designation of coastal areas and small islands and may cause high social conflicts and damage to environmental ecosystems, causing disasters. ecological. Thus, the author formulates two legal issues including: the application of the law to sea sand mining in conflict with the community in Lampung Province? Why are there legal inhibiting factors for sea sand mining activities that are in conflict with the community in Lampung Province?
This research uses a normative juridical and empirical juridical approach. Data collection procedures are carried out by literature studies and field studies by conducting interviews with Commission 2 of the Lampung Provincial DPRD, Investigators at Dit Polairud Polda Lampung, NGO WALHI Lampung, and Law Academics at the Faculty of Law, Lampung University. Then all of the data were analyzed qualitatively in order to obtain conclusions.
The results of this study are First, that the law enforcement of sea sand mining in Lampung Province is closely related to the law enforcement stages of formulation, application, and prevention efforts in the context of controlling environmental impacts that need to be carried out by making maximum use of supervision and licensing instruments. In addition, Provincial Regulation No. 1 of 2018 Zoning Plan for Coastal Areas and Small Islands (RZWP3K) must be implemented properly for law enforcement because it is sufficient to accommodate the interests of the community. The most dominant inhibiting factors in law enforcement of marine mining in conflict with the community in Lampung Province are the second factor of the law and its own law enforcement officers who are not firm in enforcing the law on sea sand mining and the implementation of existing laws is not carried out properly. resulting in conflicts and the absence of supervision over sea sand mining activities.
Suggestions in this study are to implement Perda RZWP3K Lampung Province, strengthen supervision and the government must ensure that there are no more marine sand mining permits that are inappropriate and overlapping in designations so that it has the potential for new conflicts and increases the capacity of law enforcement officers.
Keywords: Enforcement, Sea Sand Mining, Conflict, Community.
2022011006 Refi Meidiantama2022-08-22T08:23:20Z2022-08-22T08:23:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65383This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653832022-08-22T08:23:20ZPenerapan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Dalam Proses Peradilan PidanaAnak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya sebagai tunas potensi dan generasi penerus cita cita perjuangan bangsa, untuk menjaga harkat dan martabatnya anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Dimana permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum masih menghiasi dunia hukum Indonesia dan semakin meningkat sehingga kesalahan penanganan dan pembinaan terhadap anak merupakan dosa masa depan yang akan dipikul dan dipertanggung jawabkan, maka untuk menjamin hak hak anak Indonesia dengan undang undang sistem peradilan pidana anak yang merupakan regulasi terakhir dalam perlindungan hukum mewujudkan peradilan yang benar benar menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan sistem peradilan pidaa anak menurut UU No 11 Tahun 2012 dan apakah faktor penghambat penerapan pelaksanaan sistem peradilan anak.
Metode yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan didukung oleh pendekatan yuridis empiris yang berupa dukungan dari para pakar hukum pidana dan para penegak hukum pidana untuk mendukung data yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilaukan dengan cara melihat, menelaah dan menginterpretasikan hak hak yang bersifat teoritis yang menyangkut asas asas hukum melalui penelusuran kepustakaan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini dan pendekatan yuridis empiris dilakukan guna mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta objektif dilapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan penerapan sistem peradilan pidana anak menurut UU No 11 Tahun 2012 sudah diterapkan dan semakin baik 80% dimulai dari tahap penyidikan, peran bapas hingga pengembalian anak, penuntutan, pengadilan dan pembinaan di lembaga pembinaan
Angelina Wanda Rini
khusus anak, hanya penerapan ketentuan penahanan, praktik pelaksanaan sidang, kewajiban diversi tiap tingkatan dan pemulihan keadaan semula belum dapat diterapkan karena terdapat berbagai faktor penghambat dalam tiap tingkatan seperti adanya pemahaman yang berbeda hingga kurangnya komitmen anatar komponen dan mempengaruhi aktualisasi nilai, adanya penghambat dari internal kondisi individu anak itu sendiri dimana banyak anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak tanpa wali yang menghambat diversi hingga hambatan dalam hal sarana dan fasilitas yang belum memadai pada tiap tingkatan hingga masyarakat yang masih memiliki sudut pandang dan nilai nilai kebiasaan sehingga menyebabkan sentiment negatif dan labelling pada anak.
Saran dari penulis seluruh penegak hukum dan masyarakat luas mengetahui kekhususan dari sistem peradilan pidana anak dengan kegiatan sosialisasi dan berkoordinasi anatar penegak hukum guna memberikan informasi dan pemahaman. Serta pemerintah diharapkan menjawab kebutuhan fasilitas sarana pemenuhan hak anak didalam menjalani proses peradilan pidana dan kiranya kita semua melakukan upaya pencegahan agar anak Indonesia dapat hidup dan tumbuh berkembang tanpa harus berkonflik dengan hukum.
Kata kunci: UUSPPA, Anak Pelaku, Perlindungan Hukum
1812011069 Angelina Wanda Rini2022-08-22T06:04:59Z2022-08-22T06:04:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65347This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653472022-08-22T06:04:59ZANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN TERHADAP BARANG DAN ORANG DI ATAS KAPAL NELAYAN PADA WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA
(Studi Putusan Nomor: 501/Pid.B/2021/PN.Tjk)
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN TERHADAP BARANG DAN ORANG DI ATAS KAPAL NELAYAN PADA WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA
(Studi Putusan Nomor: 501/Pid.B/2021/PN.Tjk)
Oleh
MUHAMMAD RAZA ARI PUTRA
Pembajakan terhadap barang dan orang di atas kapal pada wilayah perairan Indonesia merupakan tindak pidana yang meresahkan para nelayan, karena tidak hanya berdampak pada terjadinya kerugian secara materi tetapi juga mengancam keselamatan jiwa para korbannya. Para pelaku dalam melakukan kejahatannya juga mengintimidasi dan mengancam para korban dengan menggunakan senjata api. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pembajakan terhadap barang dan orang di atas kapal nelayan pada wilayah perairan Indonesia dan apakah pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana pembajakan terhadap barang dan orang di atas kapal nelayan pada wilayah perairan Indonesia telah memenuhi tujuan pemidanaan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber terdiri atas Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan: Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dan 7 bulan terhadap pelaku tindak pidana pembajakan terhadap barang dan orang di atas kapal nelayan pada wilayah perairan Indonesia dalam Putusan Nomor: 501/Pid.B/2021/PN.Tjk terdiri dari pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara yuridis yaitu perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 439 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Secara sosiologis, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa serta peristiwa yang melatarbelakangi perbuatan pidana tersebut. Secara filosofis, hakim mempertimbangkan pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera tetapi sebagai upaya pemidanaan terhadap terdakwa. Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana pembajakan terhadap barang dan orang di atas kapal nelayan pada wilayah perairan Indonesia telah sesuai dengan tujuan pemidanaan,
Muhammad Raza Ari Putra karena pada dasarnya pidana tersebut tidak hanya sebagai pembalasan dan memberikan efek jera kepada pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya, tetapi bertujuan sebagai pembinaan terhadap pelaku agar menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mengulangi tindak pidana setelah selesai menjalani masa pidananya.
Saran dalam penelitian ini adalah: Hakim yang menangani tindak pidana pembajakan pada masa mendatang disarankan untuk dapat menjatuhkan pidana secara tepat, sehingga tidak hanya memberikan efek jera kepada pelaku, tetapi menjadi pembelajaran bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana serupa. enjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pembajakan hendaknya dilakukan pemberatan pidana, karena pada praktiknya tindak pidana ini dilakukan dengan jenis tindak pidana lain, seperti kepemilikan senjata api ilegal, pencurian dengan pemberatan dan intimidasi/ancaman kepada korbannya.
Kata Kunci: Putusan Hakim, Pembajakan, Kapal, Nelayan
1852011015 Muhammad Raza Ari Putrarazaariputra1901@gmail.com2022-08-22T03:38:53Z2022-08-22T03:38:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65326This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653262022-08-22T03:38:53ZANALISIS PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PENETAPAN NOMOR 69/PID.SUS-ANAK/2019/PN.TJK)Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pelaku Tindak Pidana adalah mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat dipidana. Narkotika adalah zat atau obat baik yang bersifat alamiah, sintetis, maupun semi sintetis yang menimbulkan efek penurunan kesadaran, halusinasi, serta daya rangsang. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimana penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dan Apakah faktor – faktor penghambat penerapan diversi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara normatif dan pendekatan empiris, pengumpulan data menggunaka studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini adalah Pembimbing Kemasyarkatan, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Upaya penerapan analisis diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika pada anak sudah sangat sesuai dengan UUSPPA Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Salah satu dalam menyelesaikan kasus pada tindak pidana narkotika pada anak yaitu dengan adanya kesepakatan diversi yang sudah sesuai dengan undang – undang yang telah dibuat. Faktor – Faktor penghambat penerapan analisis diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yaitu pada umumnya tindak pidana narkotika pada anak yang dapat dikatakan merupakan tindak pidana yang tidak ada korbannya karena dalam praktiknya menyelesai kasus tindak pidana narkotika pada anak selalu dengan jalan damai maka dapat dikatakan tidak ada korbannya dan faktor penghambat selanjutnya yaitu adanya perbedaan pendapat dalam menjalankan musyawarah kesepakatan diversi bagi para pihak dengan penegak hukum ini menjadi faktor penghambat penerapan diversi dalam tindak pidana narkotika pada anak.
Saran dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagi penegak hukum, proses peradilan pelaku anak penyalahgunaan narkotika perlu diupayakan secara maksimal proses upaya diversi mengingat pelakunya anak dibawah umur. (2) Para orang tua juga diharapkan dapat berperan aktif untuk memberikan pengawasan dan pengertian kepada anak agar tidak melakukan perbuatan - perbuatan melanggar hukum yang dapat dijatuhi pidana.
1842011030 Jihansyah Marfianto Putra2022-08-22T02:53:40Z2022-08-22T02:53:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65306This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/653062022-08-22T02:53:40ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENCABULAN SESAMA JENIS TERHADAP ANAK (Studi Kasus Polresta Bandar Lampung)
Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya adalah pencabulan sesama jenis terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa . Pencabulan merupakan tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual dan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana pencabulan sesama jenis terhadap anak akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan sesama jenis terhadap anak tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas tindak pidana pencabulan sesama jenis terhadap anak secara tuntas karena pada dasarnya tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan pencabulan sesama jenis terhadap anak?, Bagaimanakah upaya penanggulangan kepolisian terhadap kejahatan pencabulan sesama jenis terhadap anak ?
Metode penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yurudis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari Kanit Penyidik PPA Polresta Bandar Lampung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Pelaku Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kalianda. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa analisis kriminologi terhadap anak sebagai korban pencabulan sesama jenis yaitu ; Faktor penyebab terjadinya pencabulan sesama jenis terhadap anak dibagi menjadi dua Faktor internal dan eksternal. Adapun faktor eksternal yang ada dalam diri pelaku; Adanya kelainan dalam diri pelaku yaitu pedofilia ,karena pelaku adalah orang yang telah dewasa dan korban adalah anak dibawah umur yang memiliki jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki, moral pelaku, Iman yang lemah yang ada dalam diri pelaku, Faktor Pendidikan. Faktor eksternal yang ada diluar pelaku yaitu ; tekhnologi, lingkungan, ekonomi,. Penanggulangan bagi pelaku pencabulan sesama jenis terhadap anak dengan memberikan upaya penanggulangan preventif seperti penyuluhan mengenai pendidikan seks ke masyarakat dan upaya penanggulangan represif seperti Kepolisian dalam menangani kasus anak memiliki unit khusus yaitu unit PPA (pelayanan dan perlindungan anak) dan untuk para pelaku diberikan sanksi pidana agar mencegah para pelaku tidak melakukan perbuatan tersebut dan tidak terjadi lagi di masyarakat.
Saran dari penelitian ini adalah : (1) Pihak kepolisian dalam usahanya mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan sesama jenis terhadap anak diharapkan lebih intensif guna menekan atau mengurangi angka kejahatan pencabulan sesama jenis terhadap anak yang ada di Kota Bandar Lampung (2) Masyarakat diharapkan dapat ikut andil melakukan pengawasan terhadap lingkungannya, menumbuhkan rasa perduli terhadap tetangga sekitar, serta berani melakukan tindakan apabila melihat terjadi pencabulan terhadap anak.
Kata kunci: Kriminologi, Pencabulan Sesama Jenis, Anak1812011085 Vira Kamila Azzahra2022-08-19T07:47:17Z2022-08-19T07:47:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65207This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/652072022-08-19T07:47:17ZPENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU
PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN PADA
MASA PANDEMI COVID-19
(Stadi kasus Polsek Pesisir Tengah)
Tindak pidana anak atau anak yang berhadapan dengan hukum dalam kasus ini
terjadi pada masa pandemi covid-19 yang diselesaikan menggunakan upaya
diversi yang tentunya terdapat perbedaan prosedur penyelesaiannya agar tidak
menambah penyebaran virus covid-19 berdasarkan SEMA Nomor 5 Tahun 2020,
Serta kebijakan PPKM yang mengharuskan masyarakat untuk tetap di rumah.
Upaya diversi merupakan sistem pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana keluar peradilan pidana sesuai yang terdapat dalam Pasal
1 Angka 7 UU No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun di
ancam dengan hukuman 7 tahun penjara anak belum berumur 12 tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, dengan demikian penyidik, pembimbing
kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang
tua/wali atau mengikut sertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada
instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
menangani bidang kesejateraan sosial, dalam kasus pencurian dengan pemberatan
diatur dalam Pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara, salah
satu syarat diversi yaitu ancaman hukuman tidak lebih dari 7 tahun meskipun
tidak memenuhi syarat pada Pasal 7 UU SPPA serta kasus ini terjadi dimasa
pandemi covid-19 proses diversi pada kasus ini dapat terlaksana dengan
mempertimbangkan berbagai hal
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya
penerapan diversi terhadap anak pelaku pencurian dengan pemberatan di masa
pandemi covid-19. Dan apakah faktor penghambat upaya diversi terhadap anak
pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan di masa pandemi covid-19.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan
dokumen terkait, serta data lapangan melalui wawancara. Pendekatan masalah
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris.
Hasil penelitian penunjukan bahwa pelaksanaan diversi di Wilayah Hukum Polsek
Pesisir Tengah belum sepenuhnya terlaksana secara optimal. Dari 21 kasus yang
melibatkan anak sebagai pelaku pada tahun 2019 dan tahun 2021, hanya 14 kasus
saja yang berhasil dilaksanakan diversi terdapat perbedaan pelaksanaan diversi di
masa pandemi covid-19 guna memenuhi protokol kesehatan serta terdapat
pengurangan beberapa pihak yang terkait seperti kepala desa dan pemangku adat
kemudian dalam kasus ini seharusnya diversi tidak dapat dilaksanakan karena
tidak memenuhi syarat diversi yang diatur di Pasal 7 UU SPPA karena di ancam
dengan hukuman 7 tahun penjara namun karena terdapat kesepakatan untuk ganti
rugi dari pihak korban dan pelaku sesuai kerugian ketentuan tersebut di
perbolehkan berdasarkan Pasal 9 UU SPPA serta kebijakan pada masa pandemi
covid-19 guna mencegah penularan virus covid-19. Dalam mengupayakan diversi
pada masa pandemi covid-19, Aparat Kepolisian Polsek Pesisir Tengah masih
mengalami beberapa hambatan yakni, kesulitan menghadirkan para pihak yang
terkait dikarenakan jarak tempuh yang cukup jauh serta ketakutan antar pihak
untuk bertemu langsung dikarenakan terjadi pada masa pandemi covid-19,
kurangnya fasilitas seperti ruang tahanan anak, terbatasnya jumlah penyidik anak
yang tersedia sehingga semua perkara yang melibatkan anak di tangani oleh pihak
polsek.
Saran dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan diversi pada masa pandemi covid-19
sebaiknya tidak mengurangi pihak yang terlibat seperti tokoh adat dan kepala desa
mengingat Kabupaten Pesisir Barat merupakan kabupaten yang masih kental
dengan adat, namun dapat dilaksanakan dengan menggunakan media elektronik
dengan tujuan untuk menghadirkan semua pihak tanpa mengurangi makna dan
tujuan dari diversi, penyidik sebaiknya melakukan pendekatan terhadap korban
dan pelaku dimana korban diharapkan mampu memaafkan pelaku dan pelaku
dapat rendah hati bersikap selayaknya orang yang mengakui kesalahannya dan
tidak mementingkan ego masing- masing.
Kata Kunci: Diversi, Anak, Pencurian.
Indah Damayanti
Indah Damayanti18120112132022-08-19T07:41:02Z2022-08-19T07:41:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65199This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/651992022-08-19T07:41:02ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENJUALAN SENJATA API DI BANDAR LAMPUNG
Beberapa peristiwa kejahatan dengan menggunakan senjata api, itu dilakukan dengan pengancaman maupun melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. dapat diduga beberapa kemungkinan tentang status kepemilikan senjata api, yaitu senjata api ilegal (hasil penyelundupan) ataupun senjata api rakitan atau dibuat sendiri, serta senjata organik yang dimiliki oleh instansi berwenang yang disalahgunakan. Peredaran senjata api di Indonesia mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat. Peredaran senjata api ilegal sampai kepada masyakat tentu tidak terjadi begitu saja, beberapa sumber penyebab terjadinya yang berkaitan dengan peredaran senjata api, antara lain: penyeludupan, Pasokan dari dalam negeri,
Metode yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan di dukung oleh pendekatan yuridis empiris yang berupa dukungan dari para pakar hukum pidana dan penegak hukum untuk mendukung data yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukandengan cara melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum melalui penelusuran kepustakaan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penulisan skripsi ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan Penegakan hukum terhadap pelaku kepemilikan senjata api ilegal oleh warga Pekon Ampai, Teluk Betung Timur Bandar Lampung telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum di Indonesia saat ini dengan menerapkan Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951 sesuai pasal1 ayat (1) dan telah diberikan vonis kepada pelaku untuk memberikan efek jera bagi para pemilik senjata api ilegal. kendala yang membuat sulit
Purnama Sari
terlaksananya suatu aturan atau penegakan dalam memberantas suatu perbuatan yang menyangkut kriminal, maupun secara umum, hambatan pula menjadi daya tarik agar lebih gesitnya penegak hukum dalam mengatasi hambatan dari proses penyelidikan, penyidikan hingga sampai seseorang dinyatakan bersalah, adapun kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penjualan senjata api di Bandar Lampung adalah: faktor masyarakat yang merasa puas diri karena memiliki senjata api, faktor kurangnya pengawasan oleh kepolisian terkait peredaran senjata api Ilegal, faktor sulitnya prosedur kepemilikan ijin senjata api berizin/legal, perdagangan senjata api gelap dengan harga jual yang murah dan proses yang mudah, kurangnya kebutuhan anggaran dana kepolisian yang belum sesuai dengan standard kebutuhan patroli.
Saran penulis kepada penegak hukum pidana harus tegas dan tidak pandang siapa yang melakukan dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan senjata api agar dapat memberikan efek jera dan menurunkan angka kejahatan serta meningkatkan kualitas dalam mengatasi faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana penjualan senjata api di Bandar Lampung.
Kata kunci: Penegakan Hukum , Penjualan Senjata Api.
Several crimes involving the use of firearms were carried out by threatening or injuring or even killing other people. It is possible to suspect several possibilities regarding the ownership status of firearms, namely illegal firearms (smuggled) or homemade or self-made firearms, as well as misused organic weapons owned by the competent authorities. The circulation of firearms in Indonesia has increased, this can be seen in the number of cases of misuse of firearms in the community. The circulation of illegal firearms to the community certainly does not just happen, several sources of causes are related to the circulation of firearms, including: smuggling, domestic supplies,
The method used by the author in compiling this thesis is to use a normative juridical approach and is supported by an empirical juridical approach in the form of support from criminal law experts and law enforcement to support normative juridical data. The normative juridical approach is carried out by observing, analyzing and interpreting theoretical matters concerning legal principles through literature searches that are directly or indirectly related to the writing of this thesis.
Based on the results of the research and discussion, a conclusion can be drawn. Law enforcement against perpetrators of illegal possession of firearms by residents of Pekon Ampai, Teluk Betung Timur Bandar Lampung has been carried out in accordance with legal procedures in Indonesia today by implementing
Purnama Sari
Emergency Law no. 12 of 1951 in accordance with article 1 paragraph (1) and has been given a verdict to the perpetrators to provide a deterrent effect for the owners of illegal firearms. obstacles that make it difficult implementation of a rule or enforcement in eradicating an act involving crime, as well as in general, obstacles are also an attraction so that law enforcers are more agile in overcoming obstacles from the investigation process, investigation until someone is found guilty, as for obstacles in enforcing criminal law against criminal acts sales of firearms in Bandar Lampung are: the factor of people who feel complacent because they have firearms, the factor of the lack of supervision by the police regarding the circulation of illegal firearms, the difficulty of the procedure for having a licensed/legal firearm permit, the trade in illegal firearms with cheap selling prices. and an easy process, the lack of budget needs for police funds that are not in accordance with the standards for patrol needs.
The author's advice to criminal law enforcers must be firm and regardless of who is doing it in providing criminal sanctions against the perpetrators of the crime of selling firearms in order to provide a deterrent effect and reduce crime rates and improve quality in overcoming the inhibiting factors in law enforcement of the sale of firearms. in Bandar Lampung.
Keywords: Law Enforcement, Sales of Firearms.
Purnama Sari purnamasarips767@gmail.com16120110972022-08-19T07:34:44Z2022-08-19T07:34:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65191This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/651912022-08-19T07:34:44ZIMPLEMENTASI RESTORATIF JUSTICE TERHADAP PERKARA
PENCEMARAN NAMA BAIK DAN PENGHINAAN MELALUI
MEDIA ELEKTRONIK
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa pengaruh positif
dan negatif. namun harus diimbangi dengan Budaya Beretika untuk mewujudkan
ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif, akan tetapi hal tersebut
kontraproduktif dengan masyarakat yang diberikan kebebasan berekspresi serta
berpendapat, jangan sampai dikarenakan tindakan masyarakat yang bermaksud
untuk melakukan kritik serta saran justru menjadi rentan di kriminalisasi,
sehingga pihak kepolisian menggunakan alternatif lain yakni seperti
memaksimalkan metode restoratif justice dalam penyelesaian perkara pencemran
nama baik. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
Bagaimanakah implementasi restoratif justice oleh polri terhadap perkara
pencemaran nama baik dan penghinaan melalui media elektronik? Apakah yang
menjadi faktor penghambat terhadap implementasi restoratif justice oleh polri
terhadap perkara pencemaran nama baik dan penghinaan melalui media
elektronik?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian
normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum,
sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataannya baik berupa penilaian perilaku
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa :
Implementasi restoratif justice oleh polri terhadap perkara pencemaran nama baik
dan penghinaan melalui media elektronik. memiliki dasar hukum yakni Peraturan
Polri No. 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif Keadilan Restoratif dimana pihak kepolisian akan mengupayakan
langkah-langkah yakni Pertama pihak kepolisian akan melakukan penilaian
terhadap pelaku layak atau tidaknya kasusnya dilakukan restoratif justice, Kedua
Mempertemukan antara korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku
serta para mediator guna mendudukan permasalahan tersebut untuk mencari jalan yang terbaik, Ketiga Melakukan mediasi sebagai bentuk dari restorative justice,
melibatkan pihak pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, serta pihak-pihak
yang bersangkutan untuk mengambil kesepakatan bersama sebagai bentuk
pertanggungjawaban pelaku, sehingga tidak ditempatkan dalam proses peradilan
pidana formal, Keempat ditindaklanjuti dengan Membuatkan berita acara
kesepakatan Ketika proses mediasi berhasil dalam tahapan ini pihak kepolisian
akan membuatkan berita acara perdamaian yang dihadiri oleh masing-masing
pihak, Kelima yakni melanjutkan proses penyidikan ketika tahap proses mediasi
gagal Mediasi merupakan bagian dari restorative justice, ketika mediasi gagal
maka dapat digunakan pihak tertentu untuk dijadikan sebagai alat bukti untuk
proses peradilan pidana berikutnya. dan Faktor penghambat terhadap
implementasi restoratif justice oleh polri terhadap perkara pencemaran nama baik
dan penghinaan melalui media elektronik lebih disebabkan oleh Pertama faktor
penegak hukum yakni rentannya oknum penegak hukum yang mudah disuap oleh
pihak yang berkepentingan sehingga seharusnya perkara tersebut bisa dilakukan
restoratif justice, namun karena perkara tersebut adalah atensi dari orang
berpengaruh maka tak ayal oknum tersebut melakukan kriminalisasi demi
mengejar keuntungan semata atau mencari kesempatan dalam kesempitan, Kedua
Faktor Sarana dan Fasilitas yakni kurangnya sarana dan fasilitas untuk melakukan
restoratif justice seperti tidak tersedianya media internet yang mensosialisasikan
pentingnya restoratif justice, Ketiga Faktor Masyarakat Masyarakat memiliki
kecenderungan yang besar masih kolot dan berpikiran bahwa pelaku yang telah
mengakibatkan kerugian kepada korban harus diberikan sanksi yang setimpal, dan
Keempat faktor budaya Patut disadari kebudayaan masyarakat Indonesia masih
bersifat legalistik formil ketika ada perbuatan disitu pelaku harus dihukum sesuai
dengan apa yang dilanggarnya.
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi saran penulis adalah: Pihak
kepolisian sebaiknya lebih mengoptimalkan implementasi restorative justice
dalam penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya diberlakukan dalam kasus
pencemaran nama baik dan pengadilan pada anak. Namun, harus dilakukan dalam
kasuskasus yang lain, sehingga teciptanya keadilan untuk korban, pelaku, ataupun
masyarakat pada umumnya. dan Pemerintah sebaiknya membuat dasar hukum
seperti Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut mengenai restoratif justice.
Sehingga, dalam penerapannya lebih maksimal.
Kata Kunci : Implementasi Restoratif Justice, pencemaran nama baik dan
penghinaan, Media elektronik MAHARANI KUNCORO PUTRI 17420110302022-08-18T08:48:59Z2022-08-18T08:48:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65134This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/651342022-08-18T08:48:59ZANALISIS YURIDIS PRAPERADILAN ATAS PENETAPAN
TERSANGKA DAN PEMERIKSAAN TIDAK DIDAMPINGI
OLEH PENASIHAT HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Putusan Nomor Register : 1/Pid.Pra/2021/PN.Metro)Pemohon yang diduga melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak
dibawah umur telah melakukan dan menjalani proses pada tahap penyidikan.
Dalam proses penyidikan terdapat beberapa hak pemohon sebagai tersangka yang
tidak diberikan oleh termohon (penyidik) yakni tidak ditunjukan surat tugas dan
surat perintah penangkapan, tidak dipanggil untuk klarifikasi sebagai calon
tersangka, dan tidak didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan.
Permasalahan dalam skripsi ini yaitu apakah yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam mengabulkan permohonan Praperadilan terkait penetapan tersangka
dan pemeriksaan yang tidak didampingi oleh penasehat hukum dan bagaimanakah
akibat hukum yang timbul dari dikabulkannya Praperadilan terkait penetapan
tersangka dan tersangka yang tidak didampingi oleh penasihat hukum pada proses
penyidikan.
Pendekatan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris dan data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis
data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yakni
analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk yang tersusun secara
sistematis, jelas dan terperinci untuk memperoleh suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa permohonan yang diajukan oleh
termohon terkait dengan sah atau tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya
penetapan tersangka, dan tidak didampingi oleh penasihat hukum dalam proses
penyidikan. Permohonan yang diajukan pemohon tersebut dikabulkan oleh hakim
Praperadilan, namun tidak sepenuhnya permohonan tersebut dikabulkan oleh
hakim. Permohonan yang dikabulkan oleh hakim Praperadilan yakni terkait
permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan sah atau tidaknya penetapan
tersangka. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan tersebut yakni
pada saat melakukan penangkapan penyidik tidak menunjukan surat perintah
penangkpan dan surat tugasnya dan juga pada saat penetapan tersangka pemohon
tidak diperiksa sebagai calon tersangka. Permohonan terkait tidak didampinginya
pemohon oleh penasihat hukum dalam proses penyidikan tidak dikabulkan dengan
pertimbangan bahwa permohonan tersebut tidak termasuk dalam objek
Praperadian. Dikabulkannya permohonan Praperadilan tersebut maka
menimbulkan beberapa akibat hukum, seperti dihentikannya proses penyidikan
terhadap pemohon dan pemohon dilepaskan statusnya sebagai tersangka, namun
tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya penyidikan ulang. Selain itu,
penyidik (termohon) juga menerima sanksi dari pihak instansi yakni saksi karena
telah melanggar kode etik, dimana penyidik telah melakukan penangkapan dan
penetapan tersangka secara inprosedural.
Adapun saran dari penulis yakni hendaknya aparat penegak hukum penyidik
dalam menjalankan tugas menegakkan hukum lebih cermat dan memperhatikan
ketentuan atau aturan yang berlaku sehingga pelaksaan penegakan hukum dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakatdan dalam hal melakukan
tindakan dan proses hukum pada tahap penyidikan, penyidik agar lebih
memperhatikan ketentuan dan prosedur yang berlaku, sehingga tidak terjadi
tindakan yang tidak sesuai prosedur (improsedural) dalam proses hukum
(penyidikan).
Kata kunci : Praperadilan, Pertimbangan Hakim, Akibat Hukum1812011222 EDO NANANG HUSEN 2022-08-18T07:14:09Z2022-08-18T07:14:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/65106This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/651062022-08-18T07:14:09ZANALISIS ALASAN PENYANGKALAN TERDAKWA TERHADAP
BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH PENYIDIK DI DEPAN
HAKIM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
(Studi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)
ABSTRAK
ANALISIS ALASAN PENYANGKALAN TERDAKWA TERHADAP
BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH PENYIDIK DI DEPAN
HAKIM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
(Studi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)
Oleh
Ari Prabowo
Penyangkalan terdakwa terhadap Berita Acara Pemeriksaan oleh penyidik
dikarenakan adanya tindakan paksaan dan intimidasi dari penyidik terhadap
terdakwa dalam proses penyidikan dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan.
Hal tersebut telah menarik penulis untuk meneliti salah satu studi kasus Putusan
No:842/Pid.B/2019/PN.Tjk, dalam putusan tersebut terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan “tindak pidana penadahan”.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah Apakah yang menjadi alasan penyangkalan
terdakwa terhadap berita acara pemeriksaan dalam proses perkara pidana?
Apakah akibat hukum penyangkalan terdakwa terhadap berita acara pemeriksaan
dalam proses perkara pidana? Dan Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam
memutuskan dan menilai kebenaran penyangkalan terdakwa terhadap berita acara
pemeriksaan dalam proses perkara pidana ?
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder.
Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Penasihat Hukum
Asima Left & Partners, Penyidik Polsek Sukarame, dan Akademisi Fakultas
Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyangkalan terdakwa
terhadap Berita Acara Pemeriksaan diperbolehkan di dalam persidangan dengan
alasan yang mendasar dan logis. Pada dasarnya terdakwa memiliki hak ingkar
yang tercantum dalam Pasal 52 KUHAP dan memilki hak memberikan keterangan
secara bebas Pasal 153 ayat 2 huruf b KUHAP. Terdakwa menyangkal semua isi
BAP atas tindakan paksaan dan intimidasi dari penyidik terhadap terdakwa dalam
proses penyidikan dalam penyusunan BAP, Jaksa Penuntut umum tidak bisa
melakukan pembuktian terhadap barang bukti yang dihadirkan dipersidangan, dan
ketidak sesuaian keterangan saksi-saksi yang memberatkan terdakwa. Akibat
hukum yang timbul di dalam persidangan ketika terdakwa menyangkal Berita
Acara Pemeriksaan ialah di hadirkannya saksi dari penyidik yaitu saksi
Verbalisan. Kegunaan saksi Verbalisan dibawah sumpah untuk menyampaikan
ii
Ari Prabowo
keterangann tentang kebenaran proses penyidikan dan isi Berita Acara
Pemeriksaan. Dalam mempertimbangkan Putusan dan menilai kebenaran
penyangkalan terdakwa sesuai dengan Putusan Nomor: 842/Pid.B/2019/PN.Tjk
Terdakwa Effendi Saputra, Hakim menggunakan 3 teori menurut Mackenzie yaitu
teori keseimbangan, teori Pendekatan Seni dan Intuisi, dan teori Ratio Decidend.
Menurut pertimbangan hakim terdakwa Effendi Saputra terbukti melakukan
tindak pidana penadahan Pasal 480 ke-1 KUHP pidana penjara 1 (satu) tahun 8
(delapan) bulan.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam upaya penegakan hukum
Penyidik Kepolisian seharusnya menitik beratkan pada peran dan fungsi para
aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil serta mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bahwa hakim sebagai aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan pidana harus mempertimbangkan penyelesaianpenyelesaian
terhadap
tindak
pidana
yang
dilakukan
oleh
terdakwa
sesuai
dengan
ketentuan hukum pidana. Jaksa Penuntut Umum seharusnya bisa melakukan
pembuktian atas barang bukti yang telah dihadirkan dalam persidangan yang
diduga membantu terdakwa dalam melakukan tindak pidana.
Kata Kunci: Penyangkalan Terdakwa, Berita Acara Pemeriksaan, Tindak
Pidana.
ABSTRACT
ANALYSIS OF THE REASONS FOR THE DEFENSE OF THE DEFENSE
OF THE MINISTRY OF EXAMINATION BY THE INVESTORS AHEAD
JUDGE IN CRIMINAL CASE EXAMINATION
(Study at the Tanjung Karang District Court)
Ari Prabowo
By:
The defendant's denial of the Minutes of Examination by the investigators was
due to the act of coercion and intimidation from the investigators against the
defendant in the investigation process in the preparation of the Minutes of
Examination. This has attracted the author to examine one of the case studies of
Decision No:842/Pid.B/2019/PN.Tjk, in which the defendant has been legally and
convincingly proven guilty of committing the "criminal act of detention". The
problem in this thesis is what is the reason for the defendant's denial of the
minutes of examination in the criminal case process? What is the legal
consequence of the defendant's denial of the minutes of examination in the
criminal case process? And what is the judge's consideration in deciding and
assessing the truth of the defendant's denial of the minutes of examination in the
criminal case process?
The problem approach used in this study is a normative juridical approach and an
empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data.
Resource persons: Judges at the Tanjung Karang District Court, Legal Advisors
for Asima Left & Partners, Sukarame Police Investigators, and Academics from
the Faculty of Law in the Criminal Law Department at the University of
Lampung.
The results of the research and discussion show that the defendant's denial of the
Minutes of Examination is allowed in the trial for basic and logical reasons.
Basically, the defendant has the right to deny that is stated in Article 52 of the
Criminal Procedure Code and has the right to give information freely Article 153
paragraph 2 letter b of the Criminal Procedure Code. The defendant denied all the
contents of the Examination Report for the acts of coercion and intimidation from
the investigator against the defendant in the investigation process in the
preparation of the Examination Report, the Public Prosecutor was unable to prove
the evidence presented at trial, and the inconsistency in the statements of the
witnesses that incriminated the defendant. The legal consequence that arises in the
trial when the defendant denies the Minutes of Investigation is the presence of a
witness from the investigator, namely witness Verbalisan. The use of verbal
ii
Ari Prabowo
witnesses under oath to convey information about the truth of the investigation
process and the contents of the Minutes of Investigation. In considering the
verdict and assessing the truth of the defendant's denial in accordance with
Decision Number: 842/Pid.B/2019/PN.Tjk Defendant Effendi Saputra, the Judge
used 3 theories according to Mackenzie, namely balance theory, theory of Art and
Intuition Approach, and Ratio Decidend theory. According to the judge's
consideration, the defendant Effendi Saputra was proven to have committed a
criminal act of contemplating Article 480 of the 1st Criminal Code and was
sentenced to 1 (one) year and 8 (eight) months in prison.
Suggestions in this study are expected in law enforcement efforts Police
investigators should focus on the roles and functions of law enforcement officers
to seek material truth and realize justice and public welfare. That judges as law
enforcement officers in the criminal justice system must consider the settlements
of criminal acts committed by the defendant in accordance with the provisions of
criminal law. The Public Prosecutor should be able to prove the evidence that has
been presented in the trial which is suspected of assisting the defendant in
committing a crime.
Keywords: Denial of the Defendant, Minutes of Examination, Crime.
ariprb11@gmail.com Ari Prabowo 18120111882022-08-16T02:10:56Z2022-08-16T02:10:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64983This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/649832022-08-16T02:10:56ZANALISIS KRIMINLOGI KEJAHATAN TRAFFICKING YANG
DILAKUKAN OLEH ORANG TUA KEPADA
ANAK KANDUNGKejahatan perdagangan anak memiliki kekhususan sendiri, dimana kejahatan ini
mengabaikan hak-haknya sebagai anak. Kejahatan perdagangan terjadi dikarenakan
berbagai faktor mulai dari faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor penegakan
hukum, faktor lingkungan dan faktor sosial. Faktor-faktor tersebut yang menjadi
alasan sebagian orang tua tega menjual anak kandungnya kepada orang lain demi
sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah apakah faktor penyebab orang tua melakukan kejahatan
trafficking kepada anak kandung dan bagaimanakah upaya penanggulangan
kejahatan trafficking kepada anak kandung yang dilakukan oleh orang tua.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan
studi lapangan. Narasumber dalam penelititian ini adalah Rumah Psikologi Annisa
Bandar Lampung dan Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung dengan analisis
data menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab orang
tua melakukan kejahatan trafficking kepada anak kandung adalah faktor ekonomi,
faktor pendidikan, faktor spritualisme dan faktor penegakkan hukum. Dari 4
(empat) faktor tersebut faktor ekonomi menjadi faktor yang paling dominan
menjadi penyebab terjadinya kejahatan trafficking kepada anak kandung yang
dilakukan oleh orang tua. (2) Upaya penanggulangan kejahatan trafficking kepada
anak kandung yang dilakukan oleh orang tua adalah upaya penal dengan cara
melakukan penindakan pada saat telah terjadinya kejahatan trafficking kepada anak
kandung yang dilakukan oleh orang tua. Penanggulangan melalui non-penal dengan
cara upaya pre-emtif dan upaya preventif seperti menghimbau kepada penyalur jasa
tenaga kerja Indonesia dan pengusaha hiburan, sosialisasi dan penyuluhanpenyuluhan ke seluruh sekolah melakukan pelatihan dan seminar-seminar terkait
tindak pidana perdagangan manusia serta melakukan kerja sama dengan institusi
pemerintah. Upaya lain yang juga dilakukan adalah upaya rehabilitasi dengan
memberikan pelatihan, keterampilan, perawatan kesehatan dan kesejahteraan
melalui penyediaan lapangan kerja dengan tujuan mengembalikan rasa percaya diri
pada korban perdagangan anak.
Saran dalam penelitian ini yaitu diharuskan adanya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat menjadi pencegah
agar para pelaku tidak melakukan perbuatan perdagangan orang, akan tetapi
ternyata lahirnya undang-undang tersebut tidak membuat para pelaku melakukan
perdagangan orang, sehingga aturan yang ada perlu dilakukan revisi kembali.
masyarakat juga turut membantu mengawasi pada setiap anak yang terindikasi akan
di perjualkan oleh orang tuanya sendiri serta kepolisian harus lebih sigap dalam
menanggapi terjadinya perdagangan anak yang terjadi di masyarakat.
Kata Kunci: Kriminlogi, Trafficking, Orang Tua, Anak Kandung1812011331 ANNISA TAZKIA SABILAtazkiaannisa@gmail.com2022-08-16T00:49:43Z2022-08-16T00:49:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64950This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/649502022-08-16T00:49:43ZANALISIS DISPARITAS PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU USAHA KOSMETIK TANPA IZIN EDAR (STUDI PUTUSAN NOMOR: 1362/PID.SUS/2020/PN.TJK DAN 868/PID.SUS/2019/PN.TJKPemerintah memiliki tugas terkait pengawasan maupun pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, untuk itu pelaku usaha yang mengedarkan kosmetik tanpa izin edar dikenakan pidana. Namun dalam pemidanaannya terjadi disparitas. Disparitas pidana dapat berakibat fatal apabila dikaitkan administrasi pembinaan narapidana, dimana terpidana membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang dikenakan kepada orang lain kemudian merasa menjadi korban atas ketidakpastian hukum. Permasalahan penelitian: Bagaimanakah disparitas putusan pemidanaan terhadap pelaku usaha kosmetik tanpa izin dalam Putusan Nomor: 1362/Pid.Sus/2020/PN Tjk dengan Putusan Nomor: 868/Pid.Sus/2019/PN Tjk? dan Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan berbeda dalam Putusan Nomor: 1362/Pid.Sus/2020/PN Tjk dengan Putusan Nomor: 868/Pid.Sus/2019/PN Tjk?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Hakim, Pegawai Negeri Sipil di BBPOM, dan Dosen Bagian Hukum Pidana. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan: Analisis disparitas putusan pemidanaan terhadap Putusan Nomor: 1362/Pid.Sus/2020/PN Tjk dan Putusan Nomor: 868/Pid.Sus/2019/PN Tjk bahwa adanya disparitas pemidanaan tersebut dikarenakan: Independensi Hakim, Fakta-Fakta Yang Terungkap di Persidangan, Pertimbangan Hukum Hakim, Persepsi Hakim. Putusan Nomor 1362/Pid.Sus/2020/PN.Tjk lebih ringan karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga, dan terdakwa berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Putusan Nomor 868/Pid.Sus/2019/PN.Tjk lebih lama pemidanaannya karena jumlah barang bukti yang ditemukan lebih banyak, terdakwa sebelumnya telah dipanggil oleh BBPOM untuk dilakukan pembinaan namun tetap mengulangi perbuatannya. Kedua putusan telah sesuai karena telah memenuhi syarat-syarat seseorang dapat dikenakan pidana sesuai Pasal 183 KUHAP yang menyatakan seseorang dapat dikenakan pidana apabila sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan berbeda yakni didasari pertimbangan yuridis, filosofis, dan sosiologis. Pertimbangan yuridis dilihat dari dakwaan jaksa penuntut umum dan bukti yang terungkap saat persidangan. Pertimbangan filosofis hakim mengharapkan agar terdakwa sadar dengan kejahatan yang diperbuat itu tidak baik, terdakwa dapat memperbaiki diri selama menjalani pemidanaan. Pertimbangan sosiologis yaitu hakim dalam putusannya melihat pada latar belakang sosial terdakwa dan melihat bahwa putusannya mempunyai manfaat bagi masyarakat.
Saran dari penelitian ini adalah hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap kedua putusan tersebut telah sesuai didasari pada surat dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas. Bahwa disparitas pada kedua putusan ini tidak bertentangan dengan hukum. Hendaknya hakim pada putusan ini dapat dijadikan contoh bagi aparat penegak hukum lain dalam menangani perkara serupa. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan pemidanaan pada kedua putusan tersebut sudah tepat. Hendaknya hakim dalam menjalankan tugasnya dapat selalu dilaksanakan secara profesional dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang ada di persidangan seperti hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.
Kata Kunci: Disparitas, Pelaku Usaha, Kosmetik Ilegal.
1812011181 MAYADIETHA WANGSAPUTRI2022-08-12T02:25:54Z2022-08-12T02:25:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64887This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/648872022-08-12T02:25:54ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU EKSPLOITASI HOMOSEKSUAL TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor 327/Pid.Sus/2019/PN.Tjk)Eksploitasi ialah salah satu bentuk masalah sosial yang memiliki dampak negatif sangat besar terhadap kondisi psikologi korban eksploitasi. Korban eksploitasi seksual adalah anak-anak kecil, remaja, pria dan wanita Anak-anak. Permasalahan penelitian ini Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi homoseksual terhadap anak (Studi Putusan Nomor 327/Pid.Sus/2019/PN.Tjk) dan Apakah putusan yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi homoseksual terhadap anak telah memenuhi fakta-fakta di persidangan Studi Putusan Nomor 327/Pid.Sus/2019/PN.Tjk.
Metode yang digunakan penulisan dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan didukung oleh pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan pengumpulan data terkait praktik dan pelaksanaan secara langsung dengan cara wawancara penulis melalui narasumber.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa Pertimbangan Hakim yaitu dengan pertimbangan yuridis telah terpenuhinya unsur-unsur Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana 3 tahun dan 6 bulan dan denda sebanyak Rp 120.000.000. Pertimbangan Filosofis bahwa dengan hukuman pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa merupakan suatu tindakan yang diberikan dapat memberikan efek jera kepada terdakwa dan tidak melakukan perbuatan itu kembali dimasa yang akan datang, namun seharusnya diperberat dengan hukuman tambahan berupa tambahan masa kurungan pengganti jika terdakwa tidak mampu membayar uang denda karena perbuatan terdakwa sangat merugikan masa dpean anak bangsa dan Pertimbangan Sosiologis bahwa hakim dalam putusannya melihat pada latar belakang sosial terdakwa yaitu seorang mahasiswa yang apabila hukuman telah selesai dijalankan, pelaku masih berkewajiban untuk menyelesaikan kuliahnya dan melihat bahwa putusannya mempunyai manfaat bagi masyarakat agar masyarakat tidak mencontoh perbuatan terdakwa. putusan yang dijatuhkan oleh Hakim telah sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan diantaranya telah terpenuhinya Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP yaitu terdapat 2 (dua) alat bukti berupa 1 (satu) buah handphone merk SONY EPERIA warna putih merah dan 1 (satu) buah handphone merk OPPO warna hitam. Dalam fakta-fakta persidangan terdakwa terbukti melakukan eksploitasi seksual kepada anak korban sebanyak 3 kali kepada sesama jenis yang tidak dikenal dengan diiming-iming uang yang mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tidak pantas dan mengancam psikologis korban dan masa depan korban.
Adapun saran dalam penelitian ini hendaknya hakim dalam menjatuhkan pidana harus lebih mempertimbangkan tujuan pemidanaan yang tidak hanya sebagai pembalasan melainkan juga dilakukannya pembinaan dan pengawasan sehingga nantinya terdakwa dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari sebagai manusia biasa yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan hendaknya Pemerintah perlu meminimalisir tindal pidana eksploitasi homoseksual terhadap anak dan meningkatkan ketersediaan pusat rehabilitasi anak korban eksploitasi seksual, sebab anak korban perlu dibekali Pendidikan agar tidak mudah terjerumus dalam kejahatan yang serupa.
Kata kunci: Pertimbangan Hakim, Eksploitasi Seksual, Anak
1812011001 Wiselly Dina Windarty2022-08-12T01:02:23Z2022-08-12T01:02:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64844This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/648442022-08-12T01:02:23ZANALISIS PENERAPAN CONCURSUS REALIS DALAM PEMIDANAAN
TERHADAP PELAKU PENGANIAYAAN DAN PEMERASAN
(Studi Putusan Nomor: 533/Pid.B/2019/PN Tjk)Sistem hukum Indonesia mengenal beberapa perbuatan tindak pidana yang
dilakukan seseorang secara serentak dan sekaligus. Gabungan melakukan tindak
pidana sering diistilahkan dengan Concursus atau samenloop. Salah satu tindak
pidana perbarengan (concurus realis) yaitu tindak penganiayaan dan pemerasan
dengan ancaman yang diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang ialah
Putusan Nomor: 533/Pid.B/2019/PN Tjk. Permasalahan dalam skripsi ini adalah
bagaimanakah penerapan concursus realis dalam pemidanaan terhadap pelaku
penganiayaan dan pemerasan (Studi Putusan Nomor: 533/Pid.B/2019/PN Tjk dan
apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
concursus realis penganiayaan dan pemerasan (Studi Putusan Nomor:
533/Pid.B/2019/PN Tjk).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan yuridis
normatif yang menggunakan data sekunder. Metode pengumpulan data
menggunakan metode studi pustaka dan didukung dengan wawancara dengan
responden penelitian. Narasumber pada peneitian ini terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa analisis
penerapan Concursus Realis dalam pemidanaan terhadap pelaku penganiayaan
dan pemerasan (Studi Putusan Nomor: 533/Pid.B/2019/PN.Tjk) terdakwa Agus
Suparman Bin Samsudin terbukti secara sah melakukan tindak pidana pemerasan
dan tindak pidana penganiayaan secara secara serentak dan sekaligus atau
berbarengan kepada Korban Iin Nurul Inayah Binti H. Bahrudin. Putusan Nomor
: 533/Pid.B/2019/PN.Tjk telah memenuhi unsur unsur dalam surat dakwaan
Penuntut umum yang terdapat dalam Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Pasal 369 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP yang dilakukan secara berbarengan dan memiliki pidana pokok
yang sejenis, maka terpenuhinya juga unsur-unsur concursus realis pada Pasal 65
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Haya Anastasya Azra
Terdakwa dijatuhi hukuman penjara salama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan yang
dimana pidana maksimum yang dapat dijatuhkan Hakim pada perkara ini ialah 5
(lima) tahun 4 (empat) bulan. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap pelaku concursus realis penganiayaan dan pemerasan dalam
putusan ini didasarkan pada Aspek Yuridis, Filosofis, dan Aspek Sosiologis.
Sejalan dengan tugas dan wewenang hakim yaitu menegakkan kebenaran dan
keadilan dengan berpegang kepada hukum peraturan perundang-undangan yang
ada dan diterapkan, nilai-nilai kebenaran serta keadilan dalam masyarakat, serta
nilai-nilai budaya yang hidup dan bekembang dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan dalam Penerapan
concursus realis dan penjatuhan pidana dalam putusan ini harus dapat memenuhi
rasa keadilan dengan melihat juga kepada teori-teori pemidanaan agar terciptanya
keadilan, kemanfaatan, serta kepastian dalam hukum. Kepada para penegak
hukum khususnya Hakim yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya agar
terwujudnya keadilan bagi semua pihak untuk terus menghasilkan putusanputusan yang berkualitas dengan mempertimbangkan aspek yuridis, aspek
filosofis, aspek sosiologis.
Kata Kunci : Concursus Realis, Pemidanaan, Dasar Pertimbangan Hakim.1812011079 HAYA ANASTASYA AZRAhaya.azra@gmail.com2022-08-11T02:20:56Z2022-08-11T02:20:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64796This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647962022-08-11T02:20:56ZKEBIJAKAN HUKUM PIDANA OVERDIMENSI DAN OVERLOADING MUATAN KENDARAAN TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM LAMPUNG SELATANSalah satu faktor penyebab kecelakaan yang menjadi isu hangat sebagai
permasalahan yang serius sejak tahun 2009 adalah faktor kendaraan, sehingga telah
dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Faktor kendaraan,
lebih spesifiknya adalah kendaraan dengan muatan berlebih, atau yang sering disebut
dengan kendaraan overdimensi dan overloading (ODOL). Permasalahan dalam
penelitian ini adalah Bagaimanakah penerapan kebijakan hukum pidana dari
overdimensi dan overloading muatan kendaraan terhadap kecelakaan lalu lintas dan
Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan kebijakan hukum pidana
overdimensi dan overloading muatan kendaraan terhadap kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Sumber data
yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang digunakan dalam menjawab
permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca,
mengutip, mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada
dan data primer yakni adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan
pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip,
mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada. Kemudian
data tersebut dipelajari dan dianalisis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, Penerapan kebijakan hukum pidana dari overdimensi dan overloading
(ODOL) muatan kendaraan terhadap kecelakaan lalu lintas adalah berdasarkan Pasal
311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Untuk tersangka kedua akan dipidanakan menggunakan Pasal 315 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam hal
penertiban kendaraan overdimensi dan overloading (ODOL) hanya dikenai sanksi tilang berdasarkan Pasal 169, Pasal 307, dan Pasal 316 Undang-Undang Lalu
Lintas.Kedua, Angka kecelakaan belum dapat ditekan selama kendaraan
overdimensi dan overloading (ODOL) masih terus ada. Upaya penertiban
kendaraan overdimensi dan overloading (ODOL) mengalami beberapa faktor
penghambat yakni kurangnya kualitas sumber daya manusia Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Lalu Lintas Angkutan Jalan, Adanya oknum yang nakal,
Keterbatasan sarana dan prasarana, Kesadaran Perusahaan yang rendah,
Kurangnya kontrol publik.
Berdasarkan simpulan maka yang menjadi saran penulis adalah Untuk
mengurangi pelanggaran kendaraan overdimensi dan overloading (ODOL) serta
mengurangi dampak kecelakaan yang diakibatkan oleh kendaraan tersebut
diperlukan aturan yang tegas dari pemerintah dan peran serta dari perusahaan
pemilik kendaraan untuk dapat mengikuti aturan dan regulasi yang berlaku dalam
pemerintahan dan untuk menekan faktor penghambat dalam hal penerapan
kebijakan hukum pidana overdimensi dan overloading (ODOL) muatan kendaraan
terhadap kecelakaan lalu lintas, maka harus dilakukan pembenahan. Dari segi
pemerintah, harus dilakukan pembenahan dalam setiap stake holder yang
berhubungan dengan upaya penertiban kendaraan overdimensi dan overloading
(ODOL).
Kata Kunci : Kebijakan Hukum, Overdimensi dan Overloading, Kecelakaan Lalu Lintas.1812011262 Atasya Syahpa Novelany2022-08-11T01:36:38Z2022-08-11T01:36:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64793This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647932022-08-11T01:36:38ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENYELUNDUPAN BENIH LOBSTER
(Studi Putusan Nomor : 161/Pid.Sus/2020/PN.Liw)Kejahatan penyelundupan merupakan salah satu kejahatan yang masih sering
terjadi di seluruh dunia, sehingga harus diberantas, dan jika tidak segera
diberantas maka akan semakin merajalela. banyak pihak yang menyalahgunakan
tindakan tersebut dengan menyelundupkan benih lobster untuk diekspor keluar
negeri. Pasalnya, bisnis seafood sangat menguntungkan dan dapat diperdagangkan
secara ilegal dengan cara yang cukup sederhana. Permasalahan dalam skripsi ini
adalah: Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku penyelundupan benih lobster
berdasarkan Putusan Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Liw dan Apakah dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana
penyelundupan benih lobster berdasarkan Putusan Nomor
161/Pid.Sus/2020/PN.Liw.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder.
Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa, Jaksa pada Kejaksaan Negeri
Lampung Barat dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada
Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Pemidanaan terhadap
pelaku penyelundupan benih lobster berdasarkan Putusan Nomor
161/Pid.Sus/2020/PN.Liw telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemidanaan terhadap Terdakwa Harison BinHasan berupa hukuman pidana penjara
selama 3 (tiga) Tahun dan denda sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) Bulan. Adanya sanksi berupa pidana ditentukan
oleh ada dan tidaknya perbuatan yang tidak dikehendaki (dilarang). Dalam
Putusan Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Liw atas nama Terdakwa Harison Bin Hasan,
diketahui bahwa penyelundupan benih lobster direalisasikan dengan melibatkan
banyak orang. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadapiii
pelaku tindak pidana penyelundupan benih lobster berdasarkan Putusan Nomor
161/Pid.Sus/2020/PN.Liw menggunakan pertimbangan yuridis. Sedangkan
pertimbangan secara sosiologis perbuatan terdakwa telah merugikan Negara
karena telah melakukan kejahatan Penyelundupan Benih Lobster dan tanpa
adanya izin usaha. Dan Terdakwa Harison Bin Hasan dan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan dengan sengaja
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan
di bidang pengangkutan dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) UU RI Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No.45 tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
Saran dalam penelitian ini adalah Perlu pengawasan lebih ketat terutama untuk
biota laut maupun darat yang hendak diselundupkan karena penyelundupan yang
dilakukan di wilayah Indonesia merupakan tindak pidana yang sering terjadi. Dan
diperlukan aturan hukum yang tegas terhadap pelaku penyelundupan biota laut
atau pun hewan-hewan yang dilindungi, yang memuat tentang larangan serta
sanksi pidana terkhusus bagi pelaku penyelundupan hewan air maupun darat.
Diharapkan dalam upaya penegakan hukum lebih menitikberatkan pada peran dan
fungsi para aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil serta
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Karena perbuatan terdakwa
telah merugikan Negara. Dan pelaku penyelundupan sebaiknya diberikan
pengetahuan tentang kurangnya atau semakin minimnya sumber daya yang
hendak ia selundupkan serta akibat dari tindakan penyelundupan.
Kata Kunci: Analisis, Pemidanaan, Penyelundupan, Benih Lobster.1512011346 TIRTA MAHARDIKAtirtamahardika97@gmail.com2022-08-11T01:33:17Z2022-08-11T01:33:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64788This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647882022-08-11T01:33:17ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN JALANAN
(STREET CRIME) DIMASA PANDEMI COVID 19
(Studi di Wilayah Polresta Bandar Lampung)Kejahatan jalanan (Street crime) sangat meresahkan bagi masyarakat, banyaknya
kasus kejahatan jalanan yang melingkupi masyarakat, akan sangat berpengaruh
pada ketertiban dan keamanan masyarakat. sebagaimana yang telah diketahui
kejahatan jalanan merupakan suatu masalah dalam lingkungan sosial yang masih dan
sangat sulit untuk diberantaskan oleh negara berkembang sebagaimana seperti negara
Indonesia. kejahatan ini jika dibiarkan maka perasaan takut dan tidak aman akan
timbul dikarenakan kejahatan inilah yang paling dekat dengan masyarakat. Masa
pandemi covid-19 saat ini kejahatan jalanan (Street crime) di wilayah Kota Bandar
Lampung justru meningkat atau semakin bertambah hingga 5% dibandingkan
sebelum pandemi, Adanya kejahatan yang semakin hari terus terjadi, dengan keadaan
perekonomian masyarakat yang belum berjalan efektif ini mengakibatkan kejahatan
akan terus terjadi termasuk kejahatan jalanan (Street crime).
Metode dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif yang dilakukan dengan cara melihat, menelaah dan
menginterprestasikan hal – hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas
hukum melalui penelurusan kepustakaan yang terkait secara langsung maupun tidak
langsung dengan penulisan skripsi ini dan pendekatan pendekatan yuridis empiris
yang berupa dukungan dari para pakar hukum pidana dan penegak hukum untuk
mendukung data yuridis normatif.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upaya penegakan hukum haruslah
memperhatikan ketiga tahapan yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap
eksekusi, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri dapat
diwujudkan secara nyata. Agar kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia
dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat
kitapun memang belum berkembang secara sehat. Faktor yang menjadikan
penghambat penegakan hukum yang terjadi hasil dari penelitian dan disandingkan
dengan teori menurut Soejono Soekanto maka faktor penghambat penegakan hukum terhadap kejahatan jalanan (street crime) pada masa pandemi covid-19 di Bandar
Lampung ialah faktor masyarakat dan faktor budaya karena dalam kasus kejahatan
jalanan (street crime) di Kota Bandar Lampung meliputi masyarakat atau korban
tidak segera melaporkan kepada pihak kepolisian setempat, lalu kurangnya kerjasama
serta kooperatif dalam memberikan kesaksian kepada pihak kepolisian selain itu
meningkatnya kasus ini ialah faktor ekonomi yang membuat para pelaku ini nekat
untuk melakukan aksi seperti curanmor.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka pada kedepannya agar pihak kepolisian atau
pemerintah untuk dapat melakukan kegiatan sosial dan penyuluhan mengenai segala
aspek mengenai kejahatan jalanan (street crime), guna menurunkan terjadinya kasus
khususnya dalam curanmor yang marak dilingkungan masyarakat. Polisi selaku
aparat penegakan hukum dalam melakukan patroli bukan hanya daerah rawan tindak
pidana. saja, patroli juga harus dilakukan kesetiap daerah meski ada beberapa daerah
yang melakukan ronda masih banyak daerah yang tidak melakukan ronda, di sini
peran polisi menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan ronda dan
memberikan penerangan terhadap jalan yang kurang penerangan pada malam hari.
Kata Kunci : Kejahatan Jalanan, Pidana Jalanan, Penegakan Hukum1842011003 Muhammad Roby Pramuja2022-08-10T08:23:32Z2022-08-10T08:23:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64763This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647632022-08-10T08:23:32ZANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
PERSETUBUHAN DENGAN HEWANKebijakan hukum pidana terhadap persetubuhan dengan hewan dalam perspektif
hukum pidana sebagai sarana penyelesaian konflik dalam upaya melindungi hakhak hewan dan nilai-nilai kemanusiaan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah:
Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap persetubuhan dengan hewan
melalui kebijakan. Dan Apa yang menjadi alasan persetubuhan dengan hewan tidak
diatur.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder.
Narasumber: Psikolog dan Akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas
Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan adalah 1. Persetubuhan dengan hewan diatur oleh
Undang-Undang namun secara eksplisit sehingga penanganan dan penanggulangan
atas tindak pidana ini tidak maksimal, persetubuhan dengan hewan menyakiti
hewan baik secara fisik ataupun secara mental, dan dampak lain yang dapat
merugikan hewan secara terus menerus, persetubuhan dengan hewan yang
dilakukan pelaku bukanlah suatu kecacatan mental melainkan kelainan seksual,
sehingga tidak termasuk sebagai suatu alasan penghapusan pidana. 2.Pengaturan
terhadap persetubuhan dengan hewan diatur secara eksplisit pada Pasal 66A Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 “setiap orang dilarang menganiaya
dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak
produktif”, namun peraturan ini memiliki celah hukum dimana terdapat unsur cacat
dan gangguang produktif sebagai landasan proses hukum dapat ditegakkan, hal ini
dikarenakan aturan terkait hanya dikeluarkan terakhir pada tahun 2014 sehingga
tidak mengikut arus perkembangan kejahatan dimasa sekarang, kegiatan
persetubuhan yang dianggap sebelah mata dikarenakan objek atau korban
merupakan hewan dan bukanlah manusia merupakan alasan utama proses hukum
tidak dilalui oleh para pelaku dan efek jera atas persetubuhan dengan hewanpun tidak berlaku, hukum yang tunduk atas alasan kejahatan ringan akan menyepelekan
tiap-tiap kriminalisasi jika tidak serius menangani para pelanggar hukum.
Saran dari penelitian ini adalah perlu aturan khusus yang memperbarui aturan
terkait perlindungan hewan, dikarenakan aturan yang lama sudah tidak sesuai
dengan era globalisasi sekarang, dan kejahatan terhadap hewan yang marak dan
dianggap sepele merupakan alasan penting untuk memperbaharui undang-undang a
quo. perlunya proses rehabilitasi terhadap pelaku semasa proses hukuman
berlangsung, hal ini sesuai dengan para pelaku narkotika, pelaku yang mengidap
kelainan sosial atau social disorder, maka perlu penanganan dari para psikiater
untuk memberikan pendampingan agar tercapainya pemulihan untuk pelaku agar
tidak melakukan hal serupa, edukasi terhadap pendidikan seksual bagi anak agar
tidak mengalami proses salah belajar melalui pornografi dan menimbulkan kelainan
seksual.
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Persetubuhan Hewan1652011240 Muhammad Ivander Philothraivanderphilothra@gmail.com2022-08-09T08:09:03Z2022-08-09T08:09:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64729This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/647292022-08-09T08:09:03ZPENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM PADA PEMIDANAAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA)ABSTRAK
Double track system pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya terjadi kecenderungan untuk memutus pidana dibanding tindakan oleh hakim pada berbagai perkara anak. Kenyataan ini juga kerap terjadi di kota Bandar Lampung.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam memutus antara pidana atau tindakan pada pemidanaan anak. Teori yang digunakan adalah dasar pertimbangan hakim, faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya penegakan hukum dan teori tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dari aspek yuridis berdasarkan pada UU-SPPA terutama Pasal 70 dan Pasal 57. Pada aspek filosofis hakim mempertimbangkan masa depan anak setelah menjalani masa pidana dan ada atau tidaknya kesepakatan damai dari kedua pihak. Aspek sosiologis mempertimbangkan latar belakang anak dan manfaat sanksi bagi masyarakat, yang mana terdapat kecenderungan pada pelaku anak di Bandar Lampung untuk melakukan pengulangan tindak pidana sehingga program di LPKA dianggap paling efektif untuk anak.
Faktor dominan yang menghambat penerapan double track system di kota Bandar Lampung adalah faktor sarana atau fasilitas pendukung dan masyarakat yang masih belum memahami manfaat dari double track system. Model ideal dalam menerapkan double track system adalah dengan memaksimalkan sarana atau fasilitas pendukung untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang berporos pada teori tujuan. Pemerintah perlu melakukan rekonstruksi dan relokasi terhadap LPKA Bandar Lampung, juga melakukan optimalisasi terhadap lembaga-lembaga pembinaan anak jalanan di Kota Bandar Lampung.
Kata Kunci: Pemidanaan anak, Double Track System, Pertimbangan Hakim.
ABSTRACT
The double track system in Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System (UU-SPPA) is the government's effort to realize the values in Pancasila as Indonesian ideology. However, in the reality there is a tendency to decide on a crime compared to treatment by judges in various children's cases. This fact also often occurs in the city of Bandar Lampung.
This study aims to analyze the basis of the judge's considerations in deciding between crime or treatment on the children’ punishment. The theory used is the basis for judges' considerations, the factors that influence the obstruction of law enforcement and the theory punishment’ purpose. This research uses a normative juridical approach and an empirical juridical approach.
The results showed that the judge's basic considerations from the juridical aspect were based on the SPPA Law, especially Article 70 and Article 57. In the philosophical aspect the judge considered the future of the child after serving a criminal period and whether or not there was a peace agreement from both parties. The sociological aspect considered the background of the child and the benefits of sanctions for the community, where there is a tendency for child offenders in Bandar Lampung to repeat criminal acts so that the program at LPKA is considered the most effective for children.
The dominant factor that hinders the implementation of the double track system in the city of Bandar Lampung is the supporting facilities factor and people who still do not understand the benefits of the double track system. The ideal model in implementing the double track system is to maximize the supporting facilities or facilities to realize the goal of punishment which pivots on the relative theory. The government needs to reconstruct and relocate LPKA Bandar Lampung, as well as optimize the institutions for fostering street children in Bandar Lampung City.
Keywords: Juvenile Criminal Justice System, Double Track System, Judge’s Considerations.2022011005 DONNA EXSANTI CHARINDA2022-08-09T03:16:15Z2022-08-09T03:16:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64650This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/646502022-08-09T03:16:15ZANALISIS DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN
(Studi Putusan Nomor: 1031/Pid.B/2020/PN.Tjk, 103
dan 383/Pid.B/2021/PN.Tjk)Disparitas pidana merupakan adalah penerapan pidana yang berbeda atau tidak sama
terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana yang sama atau
sejenis. Dalam penelitian ini, disparitas pidana dilihat pada putusan Pengadilan
Negeri terhadap tindak pidana yang sama yaitu penipuan mobil dengan modus
menyewa. Hakim dalam Putusan Nomor: 1031/Pid.B/2020/PN.Tjk menjatuhkan
pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan, Putusan Nomor: 103/Pid.B/2021/PN.Tjk
menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan dan dalam Putusan Nomor:
383/Pid.B/ 2021/PN.Tjk menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan 10 bulan.
Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana yang berbeda (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana
penipuan (2) Apakah penjatuhan pidana yang berbeda (disparitas) oleh hakim
terhadap pelaku tindak pidana penipuan sesuai dengan keadilan substantif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Narasumber penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung
Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis
data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana yang berbeda (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana
penipuan adalah pertimbangan subjektif hakim sesuai dengan kekuasaan kehakiman
yang dimilikinya. Subjektivitas hakim dalam hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
non yuridis, seperti faktor sosial, ekonomi dan gender, sehingga pelaku tindak
pidana yang berjenis kelamin perempuan dijatuhi pidana lebih ringan dibandingkan
dengan pelaku tindak pidana yang berjenis kelamin laki-laki. Selain itu
pertimbangan yuridisnya adalah perbuatan pelaku terbukti secara sah menyakinkan
melanggar Pasal 378 KUHP. Secara filosofis hakim mempertimbangkan pidana
yang dijatuhkan sebagai bentuk pemidanaan terhadap terdakwa. Secara sosiologis
hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Terjadinya disparitas pidana dalam putusan hakim tersebut disebabkan oleh
belum adanya tujuan dan pedoman pemidanaan (2) Penjatuhan pidana yang berbeda
(disparitas) oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana penipuan sudah sesuai dengan
keadilan substantif, hal ini mengingat lamanya pidana yang dijatuhkan Hakim telah
memenuhi 2/3 tuntutan jaksa dan sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami
oleh korban, yaitu dalam Putusan Nomor: 1031/Pid.B/2020/PN.Tjk pidana yang
dijatuhkan hakim adalah 1 tahun dan 3 bulan penjara dengan kerugian korban
sebesar Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah), sedangkan dalam
Putusan Nomor: 103/Pid.B/2021/PN.Tjk pidana yang dijatuhkan adalah 1 tahun dan
3 bulan penjara dengan kerugian korban sebesar Rp.125.000.000,00 (seratus dua
puluh lima juta rupiah) dan dalam Putusan Nomor: 383/Pid.B/2021/PN.Tjk pidana
yang dijatuhkan adalah 1 tahun dan 10 bulan dengan seharga Rp. 181.000.000,00
(seratus delapan puluh satu juta rupiah). Semakin besar tingkat kerugian korban
tindak pidana penipuan maka pidana penjara yang dijatuhkan hakim menjadi
semakin berat.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hendaknya hakim dalam mdmbuat putusan
berdasarkan pada tujuan dan pedoman pemidanaan. Selain itu dalam menjatuhkan
pidana dalam perkara tindak pidana penipuan agar lebih mempertimbangkan aspek
kerugian korban, tidak hanya pada kerugian materil, tetapi juga kerugian secara
moril, berupa kehilangan waktu, tenaga dan menyita pikiran karena menjadi korban
tindak pidana penipuan. (2) Hendaknya pemilik usaha mobil rental lebih berhati-hati
dalam menjalankan usahanya, yaitu dengan melengkapi mobil rental dengan
perangkat teknologi Global Positioning System (GPS) dan chip khusus (tracker)
untuk melacak dan mengontrol kendaraan dari jarak jauh dalam rangka mencegah
terjadinya tindak pidana penipuan.
Kata Kunci: Disparitas, Penjatuhan Pidana, Tindak Pidana PenipuanSKRIPSI HANNA PUTRI AULIA18420110072022-08-09T01:06:26Z2022-08-09T01:06:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64663This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/646632022-08-09T01:06:26ZTINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP KEJAHATAN CYBERPORNCyberporn merupakan kejahatan yang muncul dari kemajuan teknologi yang
termasuk di dalamnya tindak pidana asusila, yang berarti nya memanfatkan media
internet sebagai sarana mencari keuntungan, dalam hal ini meliputi konten konten
pornografi dan penyedia layanan seksual. Jika dikategorikan pada tindak pidana
atau kejahatan cyber, sangat sulit menentukan atau merumuskan perbuatan
menyimpang seseorang. jika pembuktian kejahatan seseorang menitik beratkan
pada perbuatannya maka penentuan seseorang dapat di katakan bersalah dan
secara sah melawan hukum harus lah di buktikan secara benar untuk memperoleh
kepastian hukum. Untuk itu penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya cyberporn? Bagaimanakah upaya
penanggulangan terhadap cyberporn?
Metode penelitian yang digunakan yakni secara yuridis normatif dan yuridis
empiris. Adapun jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer yang
bersumber dari lapangan, berupa hasil wawancara dengan narasumbernarasumber,
data skunder yang bersumber dari kepustakaan. Sedangkan
pengolahan data dilakukan dengan metode identifikasi, klasifikasi, dan sistemisasi
data, kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang didapat, faktor yang
menyebabkan terjadinya kejahatan cyberporn adalah faktor degradasi moral,
faktor ekonomi, agama, serta lingkungan. Kemudian pada upaya penanggulangan
cyberporn, tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana, tetapi
harus ditempuh dengan pendekatan integral/ sistemik. Terdapat 4 (empat) cara
pendekatan non penal policy yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan teknologi,
pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral atau edukatif, pendekatan global.
Saran penulis dalam skripsi ini Pemerintah diharapkan dapat memberikan
sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas
mengenai pornografi serta diharapkan dapat mengakomodir sepenuhnya terutama
pembatasan pornografi itu sendiri kepada masyarakat. Penegak Hukum harus
membatasi penyebaran pornografi melalui perbaikan Tentang kategori porno
dalam perundang-undangan bagi yang melanggar akan dikenakan pelanggaran
Hukuman yang lebih berat di depan. Dan seluruh lingkup masyarakat, orang tua,
diri pribadi harus saling mengawasi, menghindari, serta saling mengingatkan
bahwa kejahatan cyberporn merupakan kejahatan yang memiliki sanksi hukum.
Sehingga jika saling mengingkatkan, diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan kejahatan cyber ini.
Kata Kunci : Cyberporn, Nonpenal, Kejahatan.1812011228 THERESIA YULITA GIRSANGtheresiayulita123@gmail.con2022-08-08T04:20:27Z2022-08-08T04:20:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64577This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/645772022-08-08T04:20:27ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERKARA
PENGGELAPAN DALAM JABATAN SEBAGAI BENTUK
PERBUATAN CONCURCUS VOORTGEZETTE
HANDELING
(Studi Putusan Pekara Nomor: 569/Pid.B/2021/PN.Tjk)Tindak pidana penggelapan dalam jabatan salah satunya dilakukan dalam bentuk
concurcus perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), yaitu gabungan dari beberapa
perbuatan yang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lain belum pernah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum yang
tetap. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim
pada perkara penggelapan dalam jabatan sebagai bentuk perbuatan concurcus
voortgezette handeling pada Putusan Nomor: 569/Pid.B/2021/PN.Tjk? (2) Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan
sebagai bentuk perbuatan concurcus voortgezette handeling pada Putusan Nomor:
569/Pid.B/2021/PN.Tjk?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Jaksa
Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat dan Dosen Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim pada
perkara penggelapan dalam jabatan sebagai bentuk perbuatan concurcus voortgezette
handeling pada Putusan Nomor: 569/Pid.B/2021/PN.Tjk secara yuridis adalah pelaku
terbukti secara sah menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 374 jo. Pasal 64 KUHP. Secara filosofis hakim mempertimbangkan bahwa pidana
yang dijatuhkan adalah sebagai bentuk pemidanaan terhadap terdakwa. Secara sosiologis
hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa
merugikan orang lain dan yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dijatuhi
pidana dan besikap sopan di persidangan. (2) Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagai bentuk perbuatan concurcus
voortgezette handeling didasarkan dengan unsur kesalahan dan kesengajaan dalam
melakukan perbuatan pidana, kemampuan terdakwa untuk bertanggungjawab, tidak ada
alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana tersebut diwujudkan dengan penjatuhan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan dan harus
dijalani oleh terdakwa sebagai wujud pertanggungjawabannya.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim yang menangani tindak pidana
penggelapan dalam jabatan di masa mendatang disarankan untuk mempertimbangkan
besarnya kerugian perusahaan yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Semakin besar
kerugian perusahan maka semakin berat pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku. (2)
Pihak perusahaan disarankan untuk lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap
setiap barang yang keluar dari perusahaan dan mekanisme penagihan serta pelaporannya
kepada perusahaan. Pelaporan kepada perusahaan dapat diperketat dengan cara pelaporan
harian dan mingguan dalam rangka mencegah terjadinya penggelapan dalam jabatan.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penggelapan dalam Jabatan, Concurcus
Voortgezette Handeling1842011036 NADYA TRI ANDINI2022-08-08T04:17:52Z2022-08-08T04:17:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64576This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/645762022-08-08T04:17:52ZSANKSI PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM DALAM PERKARA
PAJAK RESTORAN DENGAN PENGGUNAAN TAPPING BOX
DI BANDAR LAMPUNGSanksi pidana sebagai ultimum remedium merupakan suatu asas dalam hukum
pidana yang berfungsi sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Dalam
kebijakan yang mengatur mengenai Undang-Undang (UU) perpajakan di
Indonesia, definisi dari ultimum remedium sendiri tidak dijelaskan secara
eksplisit, namun penerapan atas asas ultimum remedium di Indonesia telah muncul
sejak masa reformasi pajak jilid pertama pada 1983 dan disampaikan secara
implisit. Berhubung dengan perkara pajak restoran yang tidak mengoptimalkan
penggunaan tapping box di Bandar Lampung sesuai dengan peraturan daerah kota
Bandar Lampung Nomor 06 tahun 2018 (Sistem Pembayaran Pajak Daerah secara
Elektronik [E-Billing]) telah mengatur penggunaan tapping box sebagai alat
transaksi pajak. Mengakibatkan suatu opsi dimana sanksi administrasi dan sanksi
pidana sebagai asas ultimum remedium bisa saling terlibat dalam kasus tersebut.
Permasalahan yang akan diteliti yaitu pertama bagaimanakah penerapan sanksi
pidana sebagai ultimum remedium dalam perkara pajak restoran dengan
penggunaan tapping box dan mengapa sanksi pidana dalam perkara pajak restoran
dengan penggunaan tapping box dapat dikatakan sebagai ultimum remedium.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian yuridis normatif dan
yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan
dari sumber bahan hukum primer dan sekunder, merangkum beberapa catatan
terhadap buku-buku peraturan perundang-undangan serta literatur lainnya
dilakukan untuk mengumpulkan data, dan analisis bahan hukum dengan deskriptif
kualitatif dengan menggunakan argumentasi hukum melalui wawancara secara
langsung terhadap narasumber dalam penelitian ini yang terdiri dari Kepala
BPPRD Kota Bandar Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung serta Dosen Bagian Hukum Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan yang didapat mengenai kasus perkara yang
penulis teliti ini ialah bahwa asas ultimum remedium berperan dalam proses
penyelesaian perkara tersebut sebagai posisi upaya terakhir manakala jika sanksi
admnistrasi tidak mampu untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kasus pada bakso
Son Haji Sony awalnya telah melewati berbagai proses dari penyegelan sementara, surat peringatan dari BPPRD Bandar Lampung hingga penyegelan
berlanjut dikarenakan tidak ada gubrisan dari pihak resto tersebut. Memungkinkan
kasus ini akan berlanjut ke ranah pidana atau asas ultimum remedium sebagai
upaya atau jalan terakhir ketika peringatan serta sanksi administrasi tidak mampu
untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun pada akhirnya pihak resto
menyetujui untuk melunasi pajak yang tidak dibayarkan serta denda sesuai dengan
jumlah yang ditentukan oleh BPPRD kota Bandar Lampung. Oleh sebabnya kasus
ini resmi terhenti hanya pada sanksi administrasi. Sanksi pidana sebagai ultimum
remedium ini sudah semestinya menjadi sebuah hentakan sebagai penegakan
hukum pada Wajib Pajak yang melanggar aturan perpajakan. Karena jika sudah
menyentuh ranah pidana maka ancaman serta hukuman yang diberikan atas
hukum akan lebih serius yang berujung akan memberikan efek jera terhadap
pelanggar hukum tersebut.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini terkait dengan sanksi
pidana sebagai ultimum remedium dalam perkara pajak restoran dengan
penggunaan tapping box di Bandar Lampung adalah diharapkan Pemerintah
daerah kota Bandar Lampung dalam bidang perpajakan selayaknya harus lebih
mengoptimalkan pengawasan serta pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
menggunakan alat tapping box sebagai transaksi pajak pada restoran. Bertujuan
agar Wajib Pajak dapat mematuhi dan melaksanakan sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu perlunya penegakan penerapan asas ultimum remedium di Bandar
Lampung yang bertujuan agar Wajib Pajak dapat mengetahui fungsi ultimum
remedium setelah sanksi administrasi tidak lagi dapat direalisasikan dengan baik
oleh Wajib Pajak yang melanggar aturan.
Kata Kunci: Ultimum Remedium, Penerapan, Sanksi1842011014 MARISSA ARYSTA2022-08-08T03:23:11Z2022-08-08T03:23:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64550This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/645502022-08-08T03:23:11ZANALISIS KEBIJAKAN PELAKSANAAN PIDANA
PENJARA NARAPIDANA TRANSGENDER
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi Pada Rutan Polda Metro Jaya Jakarta)Pada dasarnya manusia yang lahir dibedakan menjadi dua jenis kelamin atau bisa
disebut dengan sex, yaitu laki-laki dan perempuan. Seiring perkembangan zaman,
orientasi gender mulai mengalami perubahan. Perubahan orientasi gender terlihat
dapat terlihat dari sifat setiap individu tersebut, laki-laki berperilaku seperti
perempuan dan perempuan berperilaku seperti laki-laki. Transgender adalah
istilah yang digunakan kepada seseorang atau sekelompok orang dimana berfikir,
berperilaku, merasa atau terlihat tidak sesuai dengan gendernya yang seharusnya.
Bagi masyarakat Indonesia transgender adalah hal yang masih sangat tabu.
Kerasnya hidup di Negara yang sulit menerima keberadaan mereka, membuat
kaum minoritas ini harus berusaha mempertahankan hidup mereka. Berbagai cara
di lakukan agar mereka tetap bisa menyambung hidup, bahkan dengan melakukan
tindak pidana. Namun karena status mereka yang sebagai transgender membuat
pihak berwajib kebingungan dalam melakukan penahanannya.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan
data sekunder. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Wakil Ketua Rutan
Polda Metro Jaya Jakarta dan Bagian Pengamanan Tahanan Rutan Polda Metro
Jaya Jakarta.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan bahwa tidak adanya
perlakuan khusus bagi narapidana berstatus transgender. Semua narapidana lakilaki maupun perempuan bahkan transgender sekalipun di perlakukan sama tanpa
ada diskriminasi baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Tidakadanya perlakuan khusus terhadap narapidana trandgender karena dikhawatirkan
akan terjadi kecemburuan dari narapidana lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan
adanya konflik didalam rutan antar narapidana seperti terjadinya pembullyan atau
bahkan pelecehan seksual terhadap narapidana transgender. Indonesia belum
memiliki aturan mengenai pemidanaan bagi para pelaku tindak pidana yang
bertsatus transgender, karena seperti yang diketahui bahwa transgender di
Indonesia masih di anggap sangat tabu dan sebuah penyimpangan/kelainan
mental. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum mengenai aturan
penahanan dan pelaksanaan pidana penjara bagi transgener yang melakukan tidak
pidana. Kekososngan hukum yang terjadi ini karena transgender merupakan
fenomena baru dalam perkembangan masyarakat di Indonesia. Kekosongan
hukum ini menyebabkan masalah tersendiri bagi Negara, pasalnya tidak adanya
kepastian hukum yang dapat diberikan oleh Negara terhadap pelaku tindak pidana
transgender dalam penempatannya. Pelaksanaan pidana penjara yang dijalani oleh
narapidana transgender terkadang masih mengalami simpang siur. Karena tidak
adanya aturan yang mengatur, pemerintah seharusnya bisa mengganti sanksi
pidana penjara terhadap narapidana transgender. Pidana alternative adalah salah
satu solusi yang dapat diberikan kepada narapidana transgender selain pidana
penjara.
Saran dalam penelitian ini adalah pihak kepolisian seharusnya membuat
kebijakan jika ada narapidana transgender, penempatan dan pelaksanaan pidana
penjaranya berdasarkan kartu tanda pensusuknya atau berdasarkan putusan hakim.
Selain itu dalam menentukan kebijakan, pemerintah bisa menerapkan pidana
alternatif terhadap narapidana transgender selain pidana penjara seperti sanksi
kerja sosial, sanksi pendidikan, dan sanksi pengawasan di luar penjara.
Kata Kunci : Kebijakan, Penjara, Transgender1712011155 Hasnaa Niditya Rosyaadahhsndtyar@gmail.com2022-08-04T07:28:54Z2022-08-04T07:28:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64422This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/644222022-08-04T07:28:54ZPENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI WARGA NEGARA ASING TENTANG PEMBERIAN DATA TIDAK SAH UNTUK MEMPEROLEH DOKUMEN PERJALANAN
(Studi Putusan Nomor: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)ABSTRAK
PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI WARGA NEGARA ASING TENTANG PEMBERIAN DATA TIDAK SAH UNTUK MEMPEROLEH DOKUMEN PERJALANAN
(Studi Putusan Nomor: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)
Oleh
Parlin Yohanes. S
Pada tindak pidana pelaku yang memanipulasi data yang tidak sah atau yang tidak benar untuk memperoleh dokumen perjalan republik indonesia sering dilakukan oleh warga negara (WNA) yang datang ke indonesia, banyak cara yang dilakukan untuk memanipulasi semua dokumen yang terkait agar izin tinggal di indonesia bisa lebih lama dari yang telah diatur oleh UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian yang berlaku di republik indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara pidana (Studi Putusan No: 327/Pid.Sus/2021/PN Tjk) terkait pemberian data tidak sah untuk memperoleh dokumen perjalanan. 2) Apakah penerapan sanksi pidana berdasarkan pasal 126 Huruf c UU No. 6 tahun 2011 dalam perkara pidana (Studi Putusan No: 327/Pid.Sus/2021/PN Tjk) terkait pemberian data tidak sah untuk memperoleh dokumen perjalanan sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normative dan empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, analisis data yang digunakan adalah kualitiatif.
Hasil penilitian dan pembahasan menunjukan, hakim dalam memutuskan perkara putusan Nomor: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk terhadap tindak pidana kasus pemberian data tidak sah untuk memperoleh dokumen perjalanan dengan amar putusan lima bulan kurungan dan denda sebanyak lima juta rupiah, dan hakim mempertimbangkan semua unsur delik pasal 126 huruf c UU No 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian yang didakwakan kepada terdakwa telah terpenuhi, kemudian berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dari hasil pemeriksaan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan di persidangan, hal-hal yang meringankan dan juga hal-hal yang memberatkan juga berpedoman pada pasal 183 KUHAP, pasal 193 (1) dan ayat (2) b KUHAP dan pasal-pasal lain peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Berdasarkan analisis penulis terkait putusan yang diberikan oleh hakim dalam pemberian sanksi terhadap Zahid Alam bin Mohd
3
Husson alias Agung.S ini masih belum sesuai dengan nilai keadilan hukum, melihat bahwa lama sanksi penjara yang termuat dalam Pasal 126 huruf c UU No 6 Tahun 2011 tentang kemigrasian adalah maksimal lima tahun penjara namun dalam kasus ini hakim hanya memberikan sanksi terhadap terdakwa selama lima bulan kurungan saja jadi masih sangat jauh dari kata adil. Dalam Putusan ini hakim dalam memberikan putusan sanksi pidana tersebut apabila dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan telah sesuai dengan teori relatif / tujuan (utilitarian). Teori ini menyatakan bahwa penjatuhan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan hukuman pada umumnya bersifat menakutkan namun hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitas.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis memberikan saran untuk penegak hukum yaitu hakim bahwa dalam memberikan putusan hendaknya mempertimbangkan ketentuan sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku, kemudian terhadap seluruh penegak hukum hendaknya memberikan sanski yang sesuai dan dapat memberikan efek jera terhadsap pelaku tindak pidana pemeberian data tidak sah untuk memperoleh dokumen perjalanan.
Kata Kunci: Sanksi Pidana, Warga Negara Asing, Data Tidak Sah
Parlin Yohanes. S
4
ABSTRACT
APPLICATION OF CRIMINAL SANCTIONS FOR FOREIGN NATIONALS REGARDING THE PROVISION OF UNAUTHORIZED DATA TO OBTAIN TRAVEL DOCUMENTS
(Study of Decision Number: 327/Pid.Sus/2021/PN. TJK)
By:
Parlin Yohanes. S
In criminal acts, perpetrators who manipulate invalid or incorrect data to obtain travel documents for the Republic of Indonesia are often carried out by citizens (foreigners) who come to Indonesia, there are many ways to manipulate all related documents so that their residence permit in Indonesia can be easier. longer than what has been regulated by Law Number 6 of 2011 concerning Immigration in force in the Republic of Indonesia. The problems in this study are 1) What is the basis for judges' considerations in imposing criminal sanctions in criminal cases (Study Decision No: 327/Pid.Sus/2021/PN Tjk) regarding the provision of invalid data to obtain travel documents. 2) Is the application of criminal sanctions based on Article 126 Letter c of Law no. 6 of 2011 in a criminal case (Study of Decision No: 327/Pid.Sus/2021/PN Tjk) related to the provision of invalid data to obtain travel documents is in accordance with the purpose of punishment.
The research method uses a normative and empirical juridical approach, the data used are secondary data and primary data. The study was conducted by means of a literature study and a field study, the data analysis used was qualitative.
The results of the research and discussion show that the judge in deciding the decision case Number: 327/Pid.Sus/2021/PN.Tjk against the criminal act of providing invalid data to obtain travel documents with a verdict of five months in prison and a fine of five million rupiah, and The judge considered that all elements of the offense in Article 126 letter c of Law No. 6 of 2011 concerning Immigration which was charged to the defendant had been fulfilled, then based on the legal facts revealed from the results of the examination in the form of testimony from witnesses, expert statements, statements of the defendant, and evidence presented at trial, mitigating matters as well as aggravating matters are also guided by Article 183 of the Criminal Procedure Code, Article 193 (1) and paragraph (2) b of the Criminal Procedure Code and other articles of the relevant laws and regulations. Based on the author's analysis regarding the decision given by the judge in giving sanctions to Zahid Alam bin Mohd Husson alias Agung.S, this is still not appropriate with the value of legal justice, seeing that the length of imprisonment contained in Article 126 letter c of Law No. 6 of 2011 concerning migration is a maximum of five years in prison but in this case the judge only gave a sanction to the defendant for five months in prison, so it is still very far from the word fair In this decision, the judge in giving the decision on the criminal sanction if it is
5
related to the theory of the purpose of punishment is in accordance with the theory of relative/purpose (utilitarian). This theory states that the imposition of punishment must have a specific purpose, not just as retaliation, punishment is generally scary, but punishment is repairing/rehabilitating.
Based on the research that has been done, the writer gives advice to law enfoCrcers, namely judges that in giving decisions, they should consider the provisions in accordance with the provisions of applicable criminal law, then all law enforcers should provide appropriate sanctions and can provide a deterrent effect on perpetrators of criminal acts. legal to obtain travel documents.
Keywords: Criminal Sanctions, Foreign Citizens, Invalid DataPARLIN YOHANES. S parlinyohanes28@gmail.com18120111422022-08-04T06:04:31Z2022-08-04T06:04:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64406This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/644062022-08-04T06:04:31ZKEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP KEBOCORAN DATA PRIBADI BERDASARKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI
Kebocoran data pribadi yang semakin marak terjadi di Indonesia ini menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan, dengan banyaknya kasus yang terjadi terkait kebocoran data pribadi ini dan belum jelas penyelesaiannya seperti apa dikarenakan aturan atau regulasi di Indonesia ini termuat secara terpisah-pisah di berbagai sektor dan akibatnya terjadi tumpang tindihnya aturan serta bertentangan antar satu sama lainnya. Untuk itu Indonesia membutuhkan regulasi yang tepat dan komprehensif supaya terdapat kepastian hukum, dengan begitu mendesaknya untuk segera difinalisasi dengan adanya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (Perlindungan Data Pribadi) Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap kebocoran data pribadi berdasarkan rancangan undang-undang perlindungan data pribadi dan Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuuridis dalam rancangan undang-undang perlindungan data pribadi.
Penelituan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Narasumber terdiri dari Anggota DPR RI Komisi 1 dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan Kebijakan formulasi terhadap kebocoran data pribadi berdasarkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yaitu suatu perumusan ketentuan pidana tentang suatu tindakan yang menyebabkan bocornya data pribadi. Seperti halnya adanya kebijakan kriminalisasi yang mana adanya perbuatan yang dilarang dalam RUU PDP pada Pasal 61 sampai Pasal 64 RUU PDP, selanjutnya terdapat pertanggungjawaban pidana yang mana dapat di peruntukan untuk orang atau korporasi sesuai dengan subjek yang melakukan, lalu terdapat pidana dan pemidanaan yang mana hal ini tercantum pada Pasal 61 sampai Pasal 64 RUU PDP yang mana banyak dan lamanya pidana disesuaikan dengan perbuatan yang dilanggar sesuai dengan RUU PDP. Adapun landasan filosofis dalam RUU PDP merupakan perwujudan pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar manusia atau HAM sesuai dengan nilai-nilai pancasila, untuk landasan sosiologisnya RUU PDP dibuat sebagai tanggapan atas kebutuhan untuk mempertahankan hak privasi data pribadi khususnya di era digital saat ini, dan yang terakhir landasan yuridis perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 G UUD 1945, hal itu merupakan hak asasi manusia yang mana merupakan bagian dari perlindungan diri pribadi.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya pemerintah segera mengesahkan RUU PDP menjadi UU PDP, dikarenakan regulasi yang khusus dan komprehensif terkait perlindungan data pribadi ini mendesak dibutuhkan supaya terdapat kepastian hukum. Aturan didalam RUU PDP ini sudah cukup mencakup terkait data pribadi, RUU PDP pula sudah disesuaikan dengan keadaan Indonesia saat ini dan sesuai dengan standar General Data Protection Regulation (GDPR). Adanya beberapa landasan yang telah dijabarkan dengan begitu RUU PDP ini perwujudan dari persyaratan konstitusional yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan segala alasan aau pertimbangan baik itu filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kata Kunci: Kebijakan Formulasi, Kebocoran Data Pribadi, RUU PDP
EGA ZELAFIARA 18120110442022-08-03T01:57:30Z2022-08-03T01:57:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64367This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/643672022-08-03T01:57:30ZSISTEM PAKAR HUKUM KESEHATAN BERBASIS ANDROIDABSTRAK
Hubungan dokter dan pasien tidak selalu harmonis. Tidak hanya itu, pasien juga sering bermasalah dengan tenaga kesehatan lain seperti bidan, perawat, dan lainnya. Sengketa kesehatan disebabkan oleh kekecewaan dan ketidakpuasaan pasien atas layanan dan tindakan medis yang diterima pada sebelum, saat, atau setelah perawatan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan membangun sistem pakar yang dapat digunakan untuk identifikasi kasus sengketa kesehatan serta membantu pengguna untuk mengetahui dan mengerti pasal-pasal yang berkaitan dengan hukum kesehatan, berbasis Android. Sistem ini dikembangkan dengan mengadopsi metode penalaran maju (forward chaining) dalam bahasa Kotlin. Sistem diujicobakan dengan menggunakan 5 pelaku dan 35 kasus. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil yang diberikan oleh pakar. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sistem mampu membantu pengguna untuk mengetahui pasal dan sanksi pada suatu kasus sengketa.
Kata kunci: Sistem Pakar, Kecerdasan Buatan, Hukum Kesehatan, Android
ABSTRACT
The relationship between doctor and patient is not always harmonious. Not only that, patients also often have problems with other health workers such as midwives, nurses, and others. Health disputes are caused by patient disappointment and dissatisfaction with the services and medical treatment received before, during, or after treatment. This study aims to design and build an expert system that can be used to identify cases of health disputes and help users to know and understand articles related to health law, Android based. This system was developed by adopting the forward chaining method in the Kotlin language. The system was tested using 5 actors and 35 cases. The results obtained are compared with the results provided by experts. The experimental results show that the system is able to help users to find out the articles and sanctions in a dispute case.
Keywords: Expert System, Artificial Intelligence, Health Law, Android
1517051096 NOVERINA RAHMANIYANTI2022-07-25T05:34:48Z2022-07-25T05:34:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64212This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/642122022-07-25T05:34:48ZPERAN KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DALAM PELAKSANAAN OPERASI AMAN NUSA II KRAKATAU-2020 MENGENAI PERCEPATAN DAN ANTISIPASI DAMPAK
WABAH COVID 19 TAHUN 2020Kepolisian Daerah Lampung melakukan Operasi Aman Nusa II Krakatau-2020 Penanganan Covid-19 Tahun 2020, dalam melakukan Percepatan dan Antisipasi dampak wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Tahun 2020, mendukung adanya kebijakan penanganan COVID-19 dalam memutus mata rantai wabah corona pada masyarakat Lampung. Permasalahan yang menjadi topik dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah peran Kepolisian Daerah Lampung dalam Operasi Aman Nusa II Krakatau-2020, mengenai percepatan dan antisipasi dampak wabah Covid 19. Apakah faktor penghambat peran Kepolisian Daerah Lampung dalam Operasi Aman Nusa II Krakatau-2020 mengenai percepatan dan antisipasi dampak wabah Covid 19.
Penelitian ini menggunakan Metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari hasil studi Pustaka.
Berdasarkan hasil penelitian dari data-data dan wawancara yang peneliti kumpulkan, bahwa peran Kepolisian Daerah Lampung yang pertama melaksanakan Patroli dan Penjagaan pada lokasi-lokasi kegiatan Vaksinasi Covid-19 dan kegiatan masyarakat dalam rangka pendisplinan masyarakat menuju adaptasi kebiasaan baru. Kedua melakukan penyemprotan disinfektan pada daerah-daerah rawan penyebaran Covid-19. Ketiga Melaksanakan tugas sesuai dengan jadwal tim dan rengat yang telah ditentukan. Keempat memberikan himbauan dan peringatan kepada masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan serta memberikan sanksi yang bersifat ringan, sedang dan berat sesuai SOP Adaptasi Kebiasaan Baru. Faktor penghambat dari Peran Kepolisian dalam Operasi Aman Nusa II Karakatau-2020, ialah dari masyarakatnya yang lebih dominan, seperti kesadaran masyarakat terhadap aturan perundang-undangan. Masyarakat Lampung seringkali abai terhadap protokol kesehatan, seperti tidak menggunakan masker atau Pelanggaran lain yaitu dengan tidak menjaga jarak antarsesama. Dan juga masyarakat yang belum memahami isu negatif terkait pandemi Covid-19, seperti haram, dampak vaksin yang bisa menimbulkan kematian. Hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi kepada masyarakat di tingkat RT atau Desa.
Sarannya, Polda Lampung, pada saat bertugas bisa mewujudkan peran ideal sebagai garda terdepan dari pelaksana tugas terkait Pandemi Covid-19. Dan Polda Lampung dapat meningkatkan peran dalam menggerakkan masyarakat Lampung untuk lebih semangat terhadap upaya-upaya penanggulangan pandemi Covid-19, dengan cara melakukan sosialisasi ke daerah-daerah di Lampung.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Operasi Aman II, Polda Lampung.
The Lampung Regional Police carried out Safe Operation Nusa II Krakatau-2020 Handling Covid-19 in the Year, in Accelerating and Anticipating the impact of the Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) outbreak in 2020, supports the existence of a police to handle Covid-19 in breaking the chain of the corona outbreak in Lampung community. Problem that are the topic of this research is what is the role of the Lampung Regional Police in Operation Safe Nusa II Krakatau-2020, regarding the acceleration and anticipation of the impact of the Covid 19 outbreak. What are the inhibiting factors for the role of the Lampung Regional Police in Operation Safe Nusa II Krakatau-2020 regarding the acceleration and anticipation of the impact of the Covid 19 outbreak.
This study uses a normative juridical approach and empirical juridical approach. Sources and types of data used are primary data obtained from field studies and secondary data obtained from library studies. Based on the research results from the data and interviews that the researchers collected, it was the role of the Lampung Regional Police to carry out Patrol and Guard at the locations of Covid-19 Vaccination activities and community activities in the context of community discipline towards adopting new habits. Second, spraying disinfectants in areas prone to the spread of Covid-19. Third, carry out tasks according to the team's schedule and predetermined intervals. Fourth, to give appeals and warnings to the public to comply with health protocols and provide light, moderate and severe sanctions according to the SOP for Adaptation of New Habits. Inhibiting Factors of the Role of the Police in Operation Safe Nusa II Karakatau-2020, is from the people who are more dominant, such as public awareness of the laws and regulations. The people of Lampung often ignore health protocols, such as not wearing masks or other violations, namely by not keeping a distance between each other. And also people who do not understand the negative issues related to the Covid-19 pandemic, such as haram, the impact of vaccines that can cause death. This happened because of the lack of information to the community at the RT or Village level.
His advice, the Lampung Police, when on duty can realize the ideal role as the frontline of implementing tasks related to the Covid-19 Pandemic. And the Lampung Police, can increase its role in mobilizing the people of Lampung, to be more enthusiastic about efforts to overcome the Covid-19 pandemic, by conducting outreach to areas in Lampung.
Keywords: The Role of the Police, Operation Safe II, Polda Lampung.1712011307 ANNISYA2022-07-07T06:36:29Z2022-07-07T06:36:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64082This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640822022-07-07T06:36:29ZANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PATENProduk hukum berupa undang-undang merupakan salah satu wujud konkret dari hadirnya negara guna mewujudkan tujuan dan cita hukum dalam suatu negara karena merupakan kebijakan formulasi dari pembuat undang-undang. Kaitannya dengan hukum pidana, saat ini berbagai instrumen undang-undang senantiasa dilekatkan dengan ketentuan pidana di dalamnya agar menunjang politik hukum dari undang-undang tersebut. Tak terkecuali Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sebagaimana diubah oleh Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang termuat ketentuan pidana didalamnya. Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam Undang-Undang Paten? Bagaimanakah rumusan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Paten terkait unsur tindak pidana, kesalahan/pertanggung jawaban pidana serta pidana dan pemidanaan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung pendekatan yuridis empiris. Sumber data menggunakan data primer dan data sekunder. Narasumber terdiri dari Akademisi Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Perdata, Bagian Hukum Tata Negara, dan Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan penarikan simpulan dilakukan dengan metode deduktif dan metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam Undang-Undang Paten merupakan bagian dari Politik Hukum Pidana guna membentuk suatu peraturan hukum pidana agar sesuai dengan situasi dan waktu di masa yang akan datang. Kebijakan formulasi atau legislasi memiliki peranan yang strategis dalam menunjang tujuan nasional terutama di sektor Paten dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang diformulasikan ketentuan pidana di dalamnya. Ketentuan pidana yang dimuat dalam Undang-Undang Paten merupakan ketentuan administratif namun memuat sanksi pidana sebagai penguat norma yang diatur di dalam Bab XVII tentang Ketentuan Pidana.
Kemudian rumusan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Paten terkait unsur tindak pidana, kesalahan/pertanggung jawaban pidana serta pidana dan pemidanaan merupakan sekumpulan norma aturan yang termuat di dalam Pasal 160 hingga Pasal 166 Undang-Undang Paten dan menjadi pedoman di sektor Paten. Mengenai rumusan Perbuatan Yang Dilarang terkait masalah tindak pidana, apabila dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten serta membocorkan dokumen Permohonan yang bersifat rahasia. Lalu terkait masalah kesalahan/pertanggung jawaban pidana, meliputi setiap orang yang menurut Undang-Undang dapat berupa perseorangan ataupun badan hukum. Kemudian terkait masalah pidana dan pemidanaan meliputi pidana penjara berkisar 2 (dua) tahun hingga 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda berkisar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) hingga Rp3.500.000.000,- (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
Saran dalam penelitian ini adalah pembuat undang-undang yakni DPR dan Pemerintah selaku institusi yang berwenang dalam perumusan suatu aturan tentunya harus selektif dalam merumuskan aturan terutama yang memuat ketentuan pidana agar tidak overkriminalisasi sehingga dapat mengedepankan sarana non-penal terlebih dahulu. Karena bagi masyarakat pencari keadilan di sektor Paten, akan memberikan pilihan hukum bagi pemegang Paten. Formulasi ketentuan pidana yang lebih detail juga diperlukan dalam mengatasi berbagai kompleksitas tindak pidana di bidang Paten, misalkan terkait masalah pidana dan pemidanaan dalam Undang-Undang Paten dapat dilakukan pengurangan jenis pidana karena sanksi pidana dalam Undang-Undang Paten cukup berat.
Kata Kunci: Kebijakan, Ketentuan, Paten.Kevin Danilo18120110232022-07-05T02:27:48Z2022-07-05T02:27:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/33660This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/336602022-07-05T02:27:48ZPERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BEA CUKAI
DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN
ROKOK VIA TOL LAUTTindak pidana penyelundupan rokok via tol laut merupakan salah satu jenis tindak
pidana di bidang kepabeanan yang merugikan pemerintah dari segi pendapatan
negara maupun sangat meresahkan masyarakat dari segi stabilitas ekonomi.
Sehubungan dengan adanya tindak pidana penyelundupan maka Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Bea Cukai melaksanakan peranan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peranan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai dalam pencegahan tindak pidana
penyelundupan rokok via tol laut (2) Apakah faktor-faktor yang mengambat
peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai dalam pencegahan tindak pidana
penyelundupan rokok via tol laut
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian adalah Petugas Pemeriksa pada
Subseksi Penyidikan dan Administrasi Barang Hasil Penindakan Kantor Bea dan
Cukai Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya
data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peranan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Bea Cukai dalam pencegahan tindak pidana penyelundupan rokok via
tol laut termasuk dalam peranan normatif dan faktual. Peran normatif dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P- 53 /BC/2010 tentang
Tatalaksana Pengawasan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Peranan faktual
pencegahan tindak pidana penyelundupan rokok via tol laut dilaksanakan oleh Unit
Penindakan dan Penyidikan dengan menempuh tindakan berupa penyergapan dan
penangkapan terhadap pelaku yang menyelundupkan rokok dengan cara
mengirimkan rokok ilegal melalui jasa ekspedisi antar pulau melalui tol laut
Tanjung Priok–Panjang. (2) Faktor-faktor yang menghambat Peranan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai dalam pencegahan tindak pidana penyelundupan
rokok via tol laut adalah: a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya secara
kuantitas masih kurangnya jumlah PPNS Bea Cukai b) Faktor sarana dan prasarana,
yaitu masih terbatasnya sarana penyidikan dan sarana gudang penyimpanan barang selundupan. c) Faktor masyarakat, yaitu masih kurangnya kesadaran hukum
sehingga partisipasi dalam pencegahan tindak pidana penyelundupan rokok via tol
laut masih minim d) Faktor budaya, yaitu masih adanya terjadinya pergeseran
budaya masyarakat Indonesia yang menyukai barang-barang dari luar negeri dan
masyarakat telah menjadi masyarakat konsumtif.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) PPNS Bea dan Cukai hendaknya
meningkatkan kuantitas dan kualitas penyidikan dalam rangka pencegahan tindak
pidana penyelundupan rokok via tol laut. Selain itu sarana dan prasarana yang dapat
menunjang pelaksanaan penyidikan hendaknya dilengkapi. (2) PPNS Bea dan Cukai
hendaknya meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam
upaya pencegahan tindak pidana penyelundupan rokok via tol laut.
Kata Kunci: Peranan, PPNS Bea Cukai, Penyelundupan Rokok
1412011376 RICO NANDRA PRATAMAriconandraprt@gmail.com2022-07-05T01:32:23Z2022-07-05T01:32:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64059This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640592022-07-05T01:32:23ZINDEPENDENSI HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DIBAWAH MINIMUM KHUSUS PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor 90/Pid.Sus/2018/PN Kla) ABSTRAK
INDEPENDENSI HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DIBAWAH MINIMUM KHUSUS PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor 90/Pid.Sus/2018/PN Kla)
Oleh
MUHAMMAD ZOFRAN
Dalam Putusan Nomor 90/Pid.Sus/2018/PN.Kla hakim memberi putusan terhadap
Terdakwa Setiyadi bin Legimin yaitu dengan hanya dijatuhi pidana penjara selama
1 (satu) tahun 5 (lima) bulan dan tidak ada denda yang harus terdakwa bayar. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim telah menjatuhkan putusan di bawah minimum ancaman pidana yang termuat dalam undang-undang. Dasar independensi hakim dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 24 UUD NRI 1945 dan Penjatuhan pidana dapat dikatakan cermin peradilan pidana, apabila proses peradilan yang berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai dengan asas peradilan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Apa yang menjadi dasar independensi hakim dalam menjatuhkan pidana dibawah ancaman minimum dan Apakah putusan yang dijatuhkan oleh hakim telah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, Anggota Reserse Narkoba Polres Lampung Selatan dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Dasar Independensi Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Dibawah Ancaman Minimum adalah Rumusan Hukum Rapat Pleno KamarMahkamah Agung Repulik Indonesia Tahun 2015, pada bagian A, tentang Rumusan Hukum Kamar Pidana, pada angka 1 tentang Narkotika. Penjatuhan pidana dibawah minimal khusus dalam Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor 90/Pid.Sus/2018/PN.Kla dikarenakan Terdakwa menguasai narkotika jenis shabu tersebut dengan jumlah barang bukti yang relatif kecil, karena Narkotika jenis sabu yang dimiliki Terdakwa hanya dengan berat netto 0,0414 (nol koma nol empat satu empat) gram, yang merupakan sisa dari barang bukti dengan
Muhammad Zofran
berat netto 0,0503 (nol koma nol lima nol tiga) gram 0,061 gram yang termasuk jumlah yang relatif sedikit. Putusan yang Dijatuhkan oleh Hakim dengan Fakta- fakta Persidangan bahwa memperhatikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, khususnya fakta bahwa Narkotika jenis sabu yang dibeli oleh Terdakwa relatif kecil. Narkotika jenis sabu yang dibeli oleh Terdakwa tersebut ditujukan untuk digunakan sendiri bersama temannya dan tidak terdapat fakta yang menunjukkan bahwa Terdakwa terlibat di dalam penyediaan, penyimpanan maupun peredaran Narkotika. Terdakwa telah beberapa kali menggunakan Narkotika jenis sabu.
Saran dalam penelitian ini adalah agar peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan tegas demi terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan sehingga hakim tidak melakukan penafsiran/penemuan hukum yang akan menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana. Hendaknya hakim selalu berusaha untuk meningkatkan diri, menambah pengalaman dan menajamkan analisis untuk dapat menentukan faktor yang dianggap rasional untuk dijadikan dasar pertimbangan putusannya guna mencapai putusan yang memiliki rasa keadilan. Dengan kata lain jenis pidanabila dilihat dari tujuannya lebih mengarah pada pencegahan agar orang tidak melakukan kejahatan, bukan bertujuan mencegah agar kejahatan itu tidakterjadi lagi.
Kata Kunci: Independensi, Minimum Khusus, Tindak Pidana Narkotika.
ABSTRACT
INDEPENDENCE OF JUDGES IN IMPOSING CRIMINALS BELOW THE SPECIAL MINIMUM ON NARCOTICS CRIMES
(Study of Decision Number 90/Pid.Sus/2018/PN Kla)
By
MUHAMMAD ZOFRAN
In Decision Number 90/Pid.Sus/2018/PN.Kla the judge gave a decision against the Defendant Setiyadi bin Legimin, namely by only being sentenced to prison for 1 (one) year 5 (five) months and no fines had to be paid by the defendant. This shows that the judge has handed down a decision below the minimum criminal threat contained in the law. The basis for the independence of judges is guaranteed in the constitution in Article 24 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the imposition of a crime can be said to be a mirror of criminal justice, if the judicial process that ends with the imposition of a criminal proceeds in accordance with the principles of justice. The problem in this thesis is what is the basis for the independence of the judge in imposing a criminal under the minimum threat and whether the decision handed down by the judge is in accordance with the facts of the trial.
The problem approach used in this research is a normative juridical approach and an empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data. Resource persons: Judges at the Kalianda District Court, Prosecutors at the South Lampung District Prosecutors, members of the South Lampung Police Narcotics Investigation and Academics from the Faculty of Law in the Criminal Law Division at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that: The basis for the independence of judges in imposing crimes under the minimum threat is the legal formulation of the 2015 plenary meeting of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, in part A, on the formulation of the law of the criminal chamber, in point
1 on narcotics. The criminal conviction under the specific minimum in the Kalianda District Court Decision Number 90/Pid.Sus/2018/PN.Kla was because the Defendant controlled the methamphetamine narcotics with a relatively small amount of evidence, because the methamphetamine-type narcotics owned by the Defendant only weighed 0, 0414 (zero point zero four one four) grams, which is the
Muhammad Zofran
remainder of the evidence with a net weight of 0.0503 (zero point zero five zero three) grams 0.061 grams which includes a relatively small amount. The verdict handed down by the judge with the facts of the trial that pays attention to the facts that were revealed at the trial, in particular the fact that the narcotics type of methamphetamine purchased by the defendant was relatively small. The methamphetamine type purchased by the Defendant was intended to be used alone with his friends and there are no facts indicating that the Defendant was involved in the supply, storage or distribution of Narcotics. The defendant had several times used methamphetamine.
The suggestion in this research is that the laws and regulations must be clear and firm for the realization of the legal objectives, namely certainty, expediency and justice so that judges do not interpret/find laws that will cause disparities in criminal convictions. Judges should always try to improve themselves, add experience and sharpen analysis to be able to determine factors that are considered rational to be used as the basis for considering their decisions in order to reach decisions that have a sense of justice. In other words, the type of crime when viewed from the point of view of its purpose is more directed at preventing people from committing crimes, not aiming to prevent the crime from happening again.
Keywords: Independence, Special Minimum, Narcotics Crime.
1812011131 MUHAMMAD ZOFRAN2022-07-04T01:36:13Z2022-07-04T01:36:13Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64046This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640462022-07-04T01:36:13ZDASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PENJATUHAN PIDANA PENJARA PADA ANAK PENGGUNA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor : 48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk)
ABSTRAK
DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PENJATUHAN PIDANA PENJARA PADA ANAK PENGGUNA NARKOTIKA
(Studi Putusan Nomor : 48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk)
Oleh
MUHAMMAD IRFAN RATU AGUNG
Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana penjara terhadap anak pengguna narkotika dan apakah pidana penjara terhadap anak pelaku pengguna narkotika dalam putusan Nomor:
48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk telah sesuai dengan keadilan substantif.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Penyidik pada Badan Narkotika Nasional (BNN) Prov. Lampung, LBH Pendamping Anak dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Nomor:
48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk bahwa terkait dengan Pasal 127 UU Narkotika. Terdakwa Rey Firansyah terbukti melakukan tindak pidana ’Penyalahgunaan narkotika’ dan divonis 10 bulan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II Bandar Lampung Dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) Insan berguna kabupaten
Muhammad Irfan Ratu Agung
Pesawaran. Pada dasarnya tidak diatur secara khusus di dalam UU Nomor 35 tahun 2009, akan tetapi penerapan sanksinya selalu dihubungkan dengan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA. Baik pidana pokok yang ditetapkan kepada seorang anak pelaku tindak pidana narkotika serta besar maupun ringannya pidana yang dijatuhkan kepada anak adalah tergantung pada UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA. Ketetapan ini bukan berarti mengabaikan UU Tentang Narkotika, akan tetapi meletakkan UU Tentang Pengadilan Anak sebagai bentuk dari pelaksanaan lanjutan pengaturan yang ada di UU Nomor 35 tahun 2009. Pemenuhan keadilan substantif pidana penjara terhadap anak pelaku pengguna narkotika dalam putusan Nomor : 48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk adalah Anak tidak seharusnya dihukum, melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan. Hakim dalam memberikan sebuah keputusan terhadap anak yang menggunakan narkotika harus mempertimbangkan beberapa keadaan yang dimana harus melihat bagaimana pengaruh anak tersebut dikehidupan selanjutnya, maka dari itu keputusan tersebut harus diambil secara adil dan tepat. Pada dasarnya rehabilitasi merupakan jalan untuk menyelamatkan orang-orang yang menggunakan narkotika.
Saran dalam penelitian ini adalah hakim sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana hendaknya mempertimbangkan penyelesaian- penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan Pemerintah dalam hal ini BNN agar selalu mensosialisasikan bahaya narkotika dikalangan anak-anak remaja, BNN juga harus lebih giat untuk datang kesekolahsekolah dan lingkungan masyarakat umum untuk membuat kegiatan-kegiatan yang positif kepada anak-anak agar lebih mengenal kekejaman dari narkotika ini dapat merusak keluarga,saudara,teman bahkan negara yang kita cintai ini,karena anak-anak dan remaja adalah penerus masa depan bangsa. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika harus tetap mendapat perlidungan hukum dalam proses peradilan demi kepentingan terbaik bagi anak. Perlidungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebaiknya melibatkan kerjasama antara aparat penegak hukum, pemerintah, lembaga-lembaga sosial, sekolah dan terutama orang tua agar dapat mencegah secara dini penyalahgunaan narkotika oleh anak.
Kata Kunci: Pertimbangan Hukum Hakim, Pidana Penjara terhadap Anak, Pengguna Narkotika.
ABSTRACT
JUDGES' LEGAL CONSIDERATIONS ON THE IMPOSITION OF CRIMINAL PRISON ON CHILDREN
NARCOTICS USERS
(Study of Decision Number: 48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk)
By
MUHAMMAD IRFAN RATU AGUNG
A child who is suspected of committing a crime, the existing formal justice system ultimately places the child in prisoner status, of course, it brings considerable consequences in terms of child growth and development. The process of punishment given to children through the formal criminal justice system by placing children in prison did not succeed in deterring the child and becoming a better person to support the process of growth and development. Prison often makes children more professional in committing crimes. The problems in this thesis are: What is the basis for the judge's legal considerations in imposing imprisonment on children who use narcotics and whether the imprisonment for children who use narcotics in the decision Number: 48/Pid.Sus.anak/2020/PN.Tjk is in accordance with substantive justice .
The problem approach used in this study is a normative juridical approach and an empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data. Resource persons: Judge at the Tanjung Karang District Court, Investigator at the National Narcotics Agency (BNN) Prov. Lampung, LBH Child Assistance and Academics of the Faculty of Law, Criminal Law Division at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that: The basis of the judge's considerations in imposing a crime against the Defendant who committed a criminal act of narcotics abuse in Decision Number:
48/Pid.Sus.Anak/2020/PN.Tjk that is related to Article 127 of the Narcotics Law. Defendant Rey Firansyah was proven to have committed the crime of 'narcotics
Muhammad Irfan Ratu Agung
abuse' and was sentenced to 10 months in LPKA (Special Child Development Institution) Class II Bandar Lampung and job training for 3 (three) months at the LPKS (Social Welfare Organizing Agency) Pesawaran District Personnel. Basically, it is not specifically regulated in Law Number 35 of 2009, but the application of sanctions is always linked to Law Number 11 of 2012 concerning SPPA.
Both the main punishment imposed on a child who is a narcotics criminal and the amount or lightness of the sentence imposed on the child depends on Law Number
11 of 2012 concerning SPPA. This stipulation does not mean ignoring the Law on Narcotics, but placing the Law on Juvenile Court as a form of further implementation of the existing regulations in Law No. 35 of 2009. Fulfillment of substantive justice for the imprisonment of children who use narcotics in the decision No. 48/Pid.Sus.Child/2020/PN.Tjk is a child should not be punished, but must be given guidance and coaching. Judges in giving a decision against a child who uses narcotics must consider several circumstances which must see how the child will affect in the next life, therefore the decision must be made fairly and appropriately. Basically, rehabilitation is a way to save people who use narcotics.
Suggestions in this study are judges as law enforcement officers in the criminal justice system should consider settlements of criminal acts committed by the defendant in accordance with the provisions of criminal law and the Government in this case BNN to always socialize the dangers of narcotics among teenagers, BNN also must be more active in coming to schools and the general public to make positive activities for children so that they are more familiar with the cruelty of narcotics, which can damage families, relatives, friends and even this country we love, because children and youth are the successors. the future of the nation. Children who commit criminal acts of narcotics abuse must still receive legal protection in the judicial process for the best interests of children. Legal protection for children who commit criminal acts of narcotics abuse should involve cooperation between law enforcement officials, government, social institutions, schools and especially parents in order to prevent early drug abuse by children.
Keywords: Judge’s Legal Consideration, Imprisonment Against Children, Narcotics Users.
1852011002 MUHAMMAD IRFAN RATU AGUNG2022-07-01T07:50:31Z2022-07-01T07:50:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64043This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640432022-07-01T07:50:31ZPENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MODUS PENGANGKATAN MENJADI PNS OLEH OKNUM APARATUR SIPIL
NEGARA (ASN)Banyaknya kasus tindak pidana penipuan dengan modus pengangkatan menjadi
PNS yang terjadi saat ini sudah sangat meresahkan masyarakat. Semakin banyak
kasus ini terjadi dan semakin banyak masyarakat yang menjadi korban serta
kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana penipuan dengan modus
pengangkatan menjadi PNS ini maka diperlukan adanya upaya dari kepolisian
untuk menanggulangi kasus ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah penegakan hukum oleh Kepolisian terhadap tindak pidana
penipuan dengan modus pengangkatan menjadi PNS oleh oknum Aparatur Sipil
Negara (ASN). Apakah faktor penghamabat dalam penegakan hukum oleh
kepolisian terhadap tindak pidana penipuan dengan modus pengangkatan menjadi
PNS oleh oknum Aparatur Sipil Negara (ASN).
Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris yang menggunakan data
primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi
pustaka dan studi lapangan serta didukung dengan wawancara. Analisis data
dilakukan dengan melakukan analisis secara kualitatif dari responden.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa penegakan hukum oleh
kepolisian terhadap tindak pidana penipuan dengan modus pengangkatan menjadi
PNS adalah tahap aplikasi. Upaya yang dilakukan dalam proses penegakan hukum
terhadap tindak pidana penipuan dengan modus ini adalah upaya preventif dan
upaya represif. Upaya preventif yang dilakukan kepolisian antara lain sebagai
berikut : press release, dan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat seperti
sosialisasi ke sekolah-sekolah, universitas-universitas, masyarakat kelurahan, dan
kantor-kantor dinas maupun swasta. Kemudian upaya represif yang dilakukan
kepolisian dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak penipuan dengan
modus pengangkatan menjadi PNS ialah : melakukan penyelidikan dengan tujuan
untuk mengumpulkan bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut
penyelidikan, dan penyidikan yang merupakan serangkaian guna menemukan
tersangkanya.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses penegakan hukum
oleh kepolisian terhadap tindak pidana penipuan dengan modus pengangkatan
menjadi PNS yaitu pertama faktor substansi hukum, struktur penegakan hukum,
budaya hukum, masyarakat, sarana dan prasarana. Dari kelima faktor tersebut
faktor struktur penegak hukum dan faktor masyarakat yang paling menghambat
proses penegakan hukum seperti kurangnya SDM aparat kepolisian serta
kurangnya respon cepat dari kepolisian jika ada kasus seperti ini dan kesadaran
masyarakat terhadap hukum yang masih minim.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan agar kepolisian
melakukan peningkatan kinerja serta dapat menambahkan sumber daya personil
yang memadai. Kepolisian juga diharapkan lebih inisiatif lagi melakukan
penanganan terhadap kasus ini tidak hanya bertindak saat ada laporan terlebih
dahulu serta diharapkan lebih quick respon lagi. Untuk masyarakat, diharapkan
dapat merubah pola pikir masyarakat. Kemudian masyarakat diharapkan jika ingin
menjadi seorang PNS harus mengikuti tahapan-tahapan sesuai prosedur
perekrutan PNS yang ada dalam Undang-Undang ASN agar tidak mudah tergiur
oleh pelaku tindak pidana penipuan dengan modus pengangkatan menjadi PNS
agar kejadian ini tidak terulang lagi.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Kepolisian, Penipuan, PNS1712011191 MOAMMAR IQBAL TRENGGONO2022-07-01T07:46:20Z2022-07-01T07:46:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64044This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640442022-07-01T07:46:20ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN ANAK PADA MASA COVID 19Salah satu bentuk tindak pidana yang akhir-akhir ini terjadi dan sangat
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat di Kota Bandar Lampung
adalah pencurian kendaaran bermotor. Dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP, buku ke-2 titel XXII mulai dari Pasal 362 KUHP. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana analisis kriminologis terhadap kejahatan
pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan anak pada masa Covid 19 dan 2)
Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor yang dilakukan anak pada masa Covid 19.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Penyidik pada Polresta Bandar Lampung, Dosen Bagian Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, Ahli Kriminologi pada FISIP Univeritas Lampung
dan Anak pelaku tindak pidana pencurian. Analisis data yang digunakan adalah
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor penyebab kejahatan pencurian
kendaraan bermotor yang dilakukan anak pada masa Covid 19 disebabkan oleh 2
faktor, yaitu faktor Intern (faktor ekonomi serta mental pelaku) dan faktor ekstern
(lingkungan sekitar dan pergaulan di masyarakat). Kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh anak pada umumnya dilakukan karena kurang pemahaman
terhadap hal yang baik dan buruk. (2) Upaya yang dilakukan aparat penegakan
hukum untuk menanggulangi kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang
dilakukan anak dengan penerapan manajerial dari pihak kepolisian. Selain itu
diterapkan upaya penanggulangan secara penal dan non penal untuk menekan
terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran pada pihak kepolisian
diharapkan bersama-sama dengan masyarakat saling membantu dalam menekan
faktor-faktor penyebab pencurian kendaraan bermotor oleh anak atau remaja
sehingga angka tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dapat berkurang.
Pihak kepolisian diharapkan dapat menanggulangi/mencegah baik secara pena maupun non penal tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, harapannya
adanya koordinasi dan sinkornisasi diantara keempat komponen peradilan pidana
itu (kepolisian, kejaksaan, hakim, lembaga permasyarakatan) dan untuk mencapai
keberhasilan dalam penanggulangan kejahatan seharusnya keempat komponen
tersebut bekerja secara terpadu.
Kata Kunci: Analisis, Kriminologis, Pencurian, Kendaraan Bermotor, Anak,
Covid 19.1712011213 Kevin William Rengky2022-07-01T06:31:15Z2022-07-01T06:31:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64041This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640412022-07-01T06:31:15ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KASUS
TINDAK PIDANA PELECEHAN ANAK LEWAT
MEDIA SOSIAL (CHILD GROOMING)Peran Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia memuat kewenangan Kepolisian untuk
menanggulangi kejahatan. Salah satu bentuk kejahatan yang membutuhkan peran
Kepolisian adalah pelecehan anak melalui media sosial (Child Grooming). Child
Grooming melanggar Pasal 76 Huruf (I) Undang-Undang Perlindungan Anak dan
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah Peran Kepolisian Dalam
Penanggulangan Kasus Tindak Pidana Pelecehan Anak Lewat Media Sosial
(Child Grooming)? (2) Apa Faktor Penghambat Peran Kepolisian Dalam
Penanggulangan Kasus Tindak Pidana Pelecehan Anak Lewat Media Sosial?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Narasumber dalam penelitian ini adalah Penyidik Sub Direktorat Polisi Daerah
Metro Jaya, Dosen Bagian Hukum Pidana, dan anggota Komisi Perlindungan
Anak (KPAI) Provinsi DKI Jakarta. Pengolahan data yang dilakukan dengan cara
identifikasi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Data hasil pengolahan
tersebut dianalisis secara kualitatif dan dilakukan penarikan kesimpulan
menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian ini menunjukan : (1) Peranan Kepolisian dalam menanggulangi
child grooming dilakukan secara preemtif, preventif, dan represif. (2) Hambatan
yang dihadapi oleh Kepolisian adalah ketiadaan regulasi yang khusus mengatur
tindak pidana child grooming, kurangnya jumlah penyidik PPA maupun penyidik
tindak pidana cyber, Sarana dan Fasilitas yang kurang, dan faktor masyarakat
yang masih menganggap tabu apabila anggota keluarganya menjadi korban
pelecehan seksual.
Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Perlu dibuat regulasi khuss mengenai child
grooming di dunia maya dan penguatan sarana penal maupun non penal oleh pihak Kepolisian. (2) Peningkatan kualitas SDM, Sarana, dan memperkuat
pemahaman masyarakat terhadap bahaya child grooming.
Kata Kunci : Peran, Kepolisian, Penanggulangan, Child Grooming, Media
Sosial1652011239 Calvin Cahyo Wibowo2022-07-01T03:22:48Z2022-07-01T03:22:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64035This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640352022-07-01T03:22:48ZANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PEMALSUAN DOKUMEN DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL ABSTRAK
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PEMALSUAN DOKUMEN DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL
OLEH
LUTHFI SEPIANSYAH MERAH HAMZAH
Notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kewenangan dalam membuat akta otentik yang telah diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris dan kewenangan lainnya yang diatur di dalam undang-undang. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta yang memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Realitanya dalam masyarakat banyak ditemukan adanya para pihak yang memberikan data dan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan kepada Notaris dalam pembuatan suatu akta.Dalam hal ini timbul kekosongan norma hukum dalam Undang-undang Jabatan Notaris yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan para pihak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah analisis pemidanaan terhadap pelaku pemalsuan dokumen dalam pembuatan akta notariil? (2) Apakah faktor yang menjadi penghambat pemidanaan terhadap pelaku pemalsuan dokumen dalam pembuatan akta notariil?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data pada penelitian ini menggunakan sumber data yang relevan dengan permasalahan antara lain bahan hukum sekunder Publikasi tentang hukum meliputi dan komentar ahli atas permasalahan. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Pemalsuan Dokumen Dalam Pembuatan Akta Notarill merupakan suatu proses analisis sanksi hukum pidana yang diterapkan kepada para pelaku tindak kejahatan pemalsuan akta yang dapat dikenakan pasal 263 KUHP. Pemidanaan terhadap pihak Notaris dapat dikenakan apabila terkait dengan pembuatan akta partij yang didasarkan pada keterangan palsu dan tidak dapat memenuhi rumusan unsur tindak pidana pemalsuan. Sehingga seorang notaris dapat dikenakan pidana pemalsuan dengan Pasal 263
KUHP jo Pasal 55 KUHP dengan syarat bahwa notaris tersebut telah dibujuk atau membujuk serta mengetahui keterangan tersebut palsu atau tidak benar.
Luthfi Sepiansyah Merah Hamzah Dalam pemidanaan pelaku pemalsuan akta otentik memiliki beberapa hambatan yang ditemukan, berdasarkan hasil wawancara bersama Notaris di Bandar Lampung hambatan yang dirasakan oleh pihak notaris yaitu kurangnya literasi hukum pada masyarakat setempat, sehingga tidak banyak korban dari tindak pemalsuan akta riil yang melaporkan tindakan tersebut ke pihak kepolisian, lebih
banyak kasus dimana pihak yang dirugikan memilih berdamai dengan pelaku
pemalsuan dokumen akta riil. Sedangkan kurangnya fasilitas dan kelengkapan laboratorium forensik kriminalistik yang berada di wilayah hukum Provinsi Lampung menjadi hambatan bagi pihak kepolisian untuk membuktikan dokumen yang dianggap palsu. Selain itu sering pula Notaris di tarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Hal ini pun menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini bisa menjadi salah satu hambatan dalam penjatuhan pidana pada pelaku pemalsuan akta otentik.
Saran dari penelitian ini adalah: (1) Memberikan pelatihan terhadap notaris secara berkala agar tidak melakukan kesalahan yang fatal dimana membawa dampak merugikan untuk pihak pihak tertentu maupun diri sendiri. (2) Sebagai upaya preventif pemerintah dapat memberikan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai tindak pidana pemalsuan dokumen khususnya akta otentik sehingga diharapkan tidak akan terjadi lagi kasus kasus pemalsuan dokumen khususnya akta otentik.
Kata kunci : Pemalsuan dokumen, Pemidanaan, Notaris
1852011099 LUTHFI SEPIANSYAH MERAH HAMZAH2022-07-01T01:00:21Z2022-07-01T01:00:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64030This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640302022-07-01T01:00:21ZANALISIS PELAKSANAAN ASESMEN TERPADU SEBAGAI UPAYA REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKANarkotika merupakan sebuah ancaman besar bagi keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Pengaturan tersebut membuka peluang bagi orang yang sedang dalam proses hukum terkait kasus narkotika untuk mengajukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dapat atau tidaknya menjalani proses rehabilitasi pada tahap penyidikan dan penuntutan akan tergantung kepada proses asesmen yang dilakukan. Proses asesmen ini berperan penting dalam menentukan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Namun dalam pelaksanaan asesmen terpadu di lapangan tentu saja tidak seluruhnya berjalan dengan baik dan lancar, terdapat beberapa hambatan yang membuat belum optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan asesmen terpadu sebagai upaya rehabilitasi pengguna narkotika dan faktor yang menghambat pelaksanaan asesmen terpadu sebagai upaya rehabilitasi pengguna dan narkotika.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung, Psikolog Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa terhadap pengguna narkotika yang menjalani proses hukum pada tahap penyidikan atau penuntutan dapat menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial setelah melalui proses asesmen terpadu. Asesmen terpadu merupakan strategi untuk mengefektifkan penegakan tindak pidana narkotika dengan menekan angka permintaan melalui upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Proses asesmen dilaksanakan oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Dokter.
Melalui Tim Asesmen Terpadu akan ditentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa penyalahguna narkotika sebagai pengguna atau justru sebagai pengedar, serta melalui Tim Medis akan diuji kandungan serta tingkat keparahan pengguna narkotika. Apabila berdasarkan pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu diputuskan dapat menjalani rehabilitasi medis, maka tersangka atau terdakwa pengguna narkotika akan diserahkan ke lembaga rehabilitasi. Pelaksanaan asesmen terpadu tidak selalu berjalan dengan baik, ditemukan beberapa hambatan yang berasal dari faktor hukum, penegak hukum, sarana dan masyarakat.
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah perlunya memasukkan ketentuan mengenai asesmen terpadu kedalam substansi Undang-Undang Narkotika yang akan datang, perlunya peningkatan kerjasama antara aparat penegak hukum dan instansi pemerintah agar terbentuk sinergitas yang baik dalam pelaksanaan asesmen terpadu, perlu melibatkan Pemerintah Daerah dalam hal penyediaan sarana dan fasilitas rehabilitasi serta perlunya menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat.
Kata kunci: Asesmen Terpadu, Rehabilitasi, Narkotika.
1812011247 KALVARI YAN SITUMORANG Kalvari.yan02@gmail.com2022-06-30T06:28:32Z2022-06-30T06:28:32Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/64020This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/640202022-06-30T06:28:32ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MODUS PENJUALAN PRODUK KESEHATAN MELALUI MEDIA ONLINE (Studi Kasus di Polda Lampung)
Pada saat ini berbagai modus dari penipuan ini semakin berkembang dalam masyarakat. Salah satu bentuknya yaitu penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online yang juga merupakan salah satu jenis kejahatan yang susah dijerat karena keterbatasan aturan dalam kuhp. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah modus operandi, bagaimanakah peranan polisi dalam penanggulangan tindak pidana penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online dan apakah yang menjadi faktor penghambat peranan polisi dalam penanggulangan tindak pidana penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dan Empiris. Penelitian Normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan peranan polisi dalam penanggulangan tindak pidana penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online, pertama dengan upaya pre-emtif dilakukan dengan kegiatan pencegahan awal, kedua upaya preventif dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan antisipasi, ketiga upaya represif tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Faktor penghambat peranan polisi dalam penanggulangan tindak pidana penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online pertama, adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang tindak pidana penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online, kedua yang dihadapi oleh pihak kepolisian dalam menyelesaikan kasus ini adalah, adanya bukti pasti yang menyatakan bahwa korban pada saat itu membeli obat terlarang. Ketiga banyak korban penipuan dengan modus penjualan produk kesehatan melalui media online lewat internet atau telepon melapor karena kerugian yang terlalu besar.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini, sebaiknya rancangan KUHP dan KUHAP yang baru agar segara terealisikan dan memasukan tindak pidana penipuan sebagai salah satu kejahatan konvesional sebagai suatu delik pidana karena kejahatan ini langsung dirasakan oleh masyarakat dan sebaiknya Polri lebih meningkatkan perannya kepada masyarakat dan bersentuhan langsung kepada masyarakat agar memberikan edukasi kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dan pintar dalam menghadapi kondisi seperti sekarang ini.
Kata Kunci: Peranan Polisi, Penanggulangan, Penipuan, Modus, Penjualan Produk, Melalui Media Online.
RIZKY AMELIA TOHA 16120112852022-06-24T08:27:49Z2022-06-24T08:27:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63798This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/637982022-06-24T08:27:49ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN
(Studi Putusan Nomor 1043/Pid.B/2020/PN.Tjk)
ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN
(Studi Putusan Nomor 1043/Pid.B/2020/PN.Tjk)
Oleh
Erik Lesmana Putra
Jenis kejahatan pencurian dengan pemberatan merupakan salah satu kejahatan yang paling sering terjadi dimasyarakat. Permasalahan yang diajukan adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan, (2) Bagaimana fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan (3) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : (1) Pertanggung- jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan pelaku tindak pidaana dengan sengaja melakukan pencurian dengan bersekutu bersama temannya Bima (belum tertangkap), sehingga pelaku patut untuk dipidana dan mempertanggungjawabkan pidana sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya terbukti secara sah dan bersalah melanggar pasal 363 ayat (1) ke-4 dan diberi sanksi pidana dalam Putusan Nomor 1043/Pid.B/2020/PN.Tjk yaitu dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan. (2) Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan yaitu terdakwa dengan sengaja melakukan pecurian dengan pemberatan dan telah mengambil 1 (satu) unit playstation dengan sengaja PS 3 merk Sony dan 2 (dua) buah stik merk Sony pada hari Sabtu Tanggal 13 Juni
2020 sekira jam 08:30 WIB dan (3) Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan berdasarkan Putusan Nomor 1043/Pid.B/ 2020/PN.Tjk yaitu terdiri dari aspek yuridis dan aspek nonyuridis.
Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Majelis Hakim hendaknya dalam memutuskan tindak pidana pencurian dengan pemberatan tidak serta merta menjadi ajang pembalasan saja tetapi dapat memenuhi keseimbangan antara korban dan pelaku, sehingga putusan hakim tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat di masa yang akan datang.
Erik Lesmana Putra (2) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam proses penyusunan fakta hukum berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti sudah baik namun dalam menentukan fakta-fakta hukum harus lebih mengefektifkan pembuktian unsur-unsur kesalahan yang dilakukan terdakwa agar memudahkan hakim menjatuhkan pidana. (3) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memberikan pertimbangan harus memperhatikan tujuan pemidanaan dan nurani,dalam hal ini para penegak hukum dalam hal tindak pidana dengan nilai kerugian ringan sebelum masuk ke pengadilan terlebih dahulu mempertimbangakn metode lain seperti keadilan restorative. Selain metode ini memiliki kebermanfaatan dari masing-masing pihak metode ini juga bermanfaat bagi negara untuk meminimalisir terjadinya pidana lain karena over capacity di dalam rutan dan lapas. Sehingga upaya pemerintah dan peran masyarakat juga menjadi faktor penentu upaya yang ada.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana, Pencurian dengan Pemberatan.
1752011041 Erik Lesmana Putraeriklesmana022@gmail.com2022-06-24T02:22:26Z2022-06-24T02:22:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63648This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/636482022-06-24T02:22:26ZANALISIS PROSES PERSIDANGAN PERADILAN PIDANA DI ERA PANDEMI COVID-19
(Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian. Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. salah satu lembaga yang ada di Sistem Peradilan Pidana ialah Pengadilan, yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Membahas mengenai proses persidangan umum di pengadilan,akibat mewabahnya Virus Corona (Covid-19) yang semakin meningkat di Indonesia, maka proses persidangan umum kemungkinan besar dapat tertunda ataupun digelar secara online. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19 dan apakah faktor penghambat proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yaitu dengan mempelajari beberapa hal yang bersifat teoritis dan yuridis empiris yaitu dengan mempelajari kenyataan yang di dapat di lapangan. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, bahwa proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19 pada dasarnya sama dengan persidangan pidana dengan acara biasa pada KUHAP, Namun perbedaan yang mendasar terletak pada kehadiran terdakwa, pengacara/ advokat, Jaksa maupun saksi yang tidak berada di dalam ruangan yang sama dengan majelis hakim melainkan terpisah menggunakan media elektronik secara online melalui aplikasi Zoom. Dalam proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19. Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah berpedoman menggunakan Perma tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik di Pengadilan, yaitu Peraturan Mahkamah
Sandra Aprilia Vanesa Agung No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Faktor penghambat proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19 menemui beberapa kendala dan permasalahan, seperti sarana prasarana yang kurang memadai misalnya seperti akses internet yang kurang stabil serta kesulitan bagi (Advokat) / Penasehat Hukum dalam menjelaskan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh terdakwa disaat persidangan sedang berlangsung.
Saran dalam penelitian yang dapat disampaikan adalah Pemerintah hendaknya melaksanakan proses persidangan peradilan pidana di era pandemi Covid-19 secara online saja, sebagai pencegahan terhadap meluasnya perkembangan Virus Covid-19 ini. Selain itu pula diharapkan dengan digelarnya proses persidangan secara online ini. Aparat penegak hukum yakni hakim, jaksa, pengacara, dengan terdakwa dan para saksi maupun penonton sidang, tidak saling berkontak secara langsung serta terjaga kesehatannya, maka pelaksanaan proses sidang di era pandemi Covid-19 akan berjalan dengan baik dan mendapat hasil yang maksimal.
Kata Kunci: Persidangan, Peradilan Pidana, Era Pandemi Covid-19.
SANDRA APRILIA VANESA sandraaprilia910@gmail.com17520111062022-06-20T07:18:20Z2022-06-20T07:18:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63279This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/632792022-06-20T07:18:20ZANALISIS SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot)
ABSTRAK
ANALISIS SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot)
Oleh
ALIEF CHANDRA
Penjatuhan pidana dapat dikatakan cermin peradilan pidana, apabila proses peradilan yang berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai dengan asas peradilan. Adanya kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang. Sehingga hakim menjatuhkan pidana mati atau lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut pidana penjara 15 (lima belas) Tahun penjara. Penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Dalam hal ini, penjatuhan pidana merupakan upaya hukum agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimana dasar pertimbangan hakim atas sanksi pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot. dan Apakah putusan hakim dalam perkara Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot sudah sesuai dengan fakta di persidangan.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridisempiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Agung dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot menggunakan pertimbangan yuridis. Sedangkan pertimbangan secara sosiologis perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat karena telah melakukan kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang. Fakta Yuridis di Persidangan tentang Putusan Hakim dalam Perkara Putusan Nomor:
92/Pid.B/2020/PN.Kot adalah berdasarkan fakta persidangan bahwa Terdakwa
Alief Chandra
Anton Jatmiko bin Sugito adalah memang benar yang dihadirkan dalam persidangan tersebut adalah saudara Anton Jatmiko bin Sugito yang tertera dalam surat dakwaan. Unsur barangsiapa sudah memenuhi apa yang ada dan sesuai fakta-fakta di Persidangan. Unsur dengan sengaja dapat disimpulkan bahwa kesengajaan yang dimaksud adalah adanya rencana dari dirinya sendiri untuk menghilangkan nyawa orang lain. Hakim menilai bahwa tujuan Terdakwa adalah untuk membunuh korban. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan bahwa terdapat adanya unsur-unsur menghilangkan nyawa orang lain, berdasar pada keterangan saksi-saksi, terdakwa serta alat bukti yang ada. Unsur orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan orang yang turut serta melakukan Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan bahwa Suwari adalahorang yang melakukan dalam perbuatan tindak pidana tersebut.
Saran dalam penelitian ini adalah bahwa hakim sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana hendaknya harus mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum pidana. Diharapkan dalam Upaya Penegakan hukum lebih menitikberatkan pada peran dan fungsi para aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Karena perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat karena telah melakukan kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang.
Kata Kunci: Analisis, Pidana Mati, Pembunuhan Berencana.
ABSTRACT
ANALYSIS OF DEATH CRIMINAL SANCTIONS AGAINST THE CRIMINAL ACT OF PLANNING MURDER (Study of Decision Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot)
By
Alief Chandar
A criminal sentence can be said to be a mirror of criminal justice, if the judicial process that ends with the sentencing of a criminal proceeds in accordance with the principles of justice. The existence of a crime against life, namely premeditated murder and maltreatment that results in serious injury, which indirectly threatens a person's life. So that the judge imposes a death penalty or higher than the demands of the Public Prosecutor who demands a prison sentence of 15 (fifteen) years in prison. The use of criminal law as a tool for crime prevention is part of criminal policy. In this case, the imposition of a crime is a legal effort to create order, security, justice and legal certainty. The problems in this thesis are: What is the basis for the judge's consideration of the death penalty against the perpetrators of premeditated murder in Decision Number:
92/Pid.B/2020/PN.Kot. and Is the judge's decision in the case of Decision
Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot in accordance with the facts at trial.
Approach The problem used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data. Resource persons: Judges at the Kota Agung District Court and Academics from the Faculty of Law in the Criminal Law Division at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that: The basis of the judge's considerations in imposing a crime against the Defendant who committed the crime of murder with a plan and maltreatment that resulted in serious injuries in Decision Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot using juridical considerations. While sociological considerations, the defendant's actions have disturbed the public because they have committed crimes against life, namely premeditated murder and ill-treatment that resulted in serious injuries, which indirectly threaten a person's life. The Juridical Facts at the Trial regarding the Judge's Decision in Decision Case Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot are based on the facts of the trial that the Defendant Anton Jatmiko bin Sugito is a legal subject who can be held accountable for the actions committed by the defendant, and
Alief Chandra
it is true that the one presented in the trial was Anton Jatmiko bin Sugito's brother who was listed in the indictment. The element of whoever has fulfilled what is there and is in accordance with the facts at the trial. The element of intentional can be concluded that the intention in question is the existence of a plan from himself to kill the lives of others. The judge considered that the Defendant's aim was to kill the victim. Based on the facts at trial that there were elements of killing other people's lives, based on the statements of the witnesses, the defendant and the available evidence. Elements of the person who did, ordered to do, and the person who participated. Based on the facts at trial that Suwari was the person who committed the crime.
The suggestion in this study is that judges as law enforcement officers in the criminal justice system should consider the resolutions of criminal acts committed by the defendant in accordance with the provisions of criminal law. It is hoped that law enforcement efforts will focus more on the roles and functions of law enforcement officers to seek material truth and realize justice and public welfare. Because the defendant's actions have disturbed the public because they have committed crimes against life, namely premeditated murder and ill-treatment that resulted in serious injuries, which indirectly threaten a person's life.
Keywords: Analysis, Death Penalty, Premeditated Murder.
ABSTRAK
ANALISIS SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot)
Oleh
ALIEF CHANDRA
Penjatuhan pidana dapat dikatakan cermin peradilan pidana, apabila proses peradilan yang berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai dengan asas peradilan. Adanya kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang. Sehingga hakim menjatuhkan pidana mati atau lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut pidana penjara 15 (lima belas) Tahun penjara. Penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Dalam hal ini, penjatuhan pidana merupakan upaya hukum agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: Bagaimana dasar pertimbangan hakim atas sanksi pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot. dan Apakah putusan hakim dalam perkara Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot sudah sesuai dengan fakta di persidangan.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridisempiris. Sumber data: Data Primer dan Data Skunder. Narasumber: Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Agung dan Akademisi Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada Putusan Nomor: 92/Pid.B/2020/PN.Kot menggunakan pertimbangan yuridis. Sedangkan pertimbangan secara sosiologis perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat karena telah melakukan kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang. Fakta Yuridis di Persidangan tentang Putusan Hakim dalam Perkara Putusan Nomor:
92/Pid.B/2020/PN.Kot adalah berdasarkan fakta persidangan bahwa Terdakwa
Alief Chandra
Anton Jatmiko bin Sugito adalah memang benar yang dihadirkan dalam persidangan tersebut adalah saudara Anton Jatmiko bin Sugito yang tertera dalam surat dakwaan. Unsur barangsiapa sudah memenuhi apa yang ada dan sesuai fakta-fakta di Persidangan. Unsur dengan sengaja dapat disimpulkan bahwa kesengajaan yang dimaksud adalah adanya rencana dari dirinya sendiri untuk menghilangkan nyawa orang lain. Hakim menilai bahwa tujuan Terdakwa adalah untuk membunuh korban. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan bahwa terdapat adanya unsur-unsur menghilangkan nyawa orang lain, berdasar pada keterangan saksi-saksi, terdakwa serta alat bukti yang ada. Unsur orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan orang yang turut serta melakukan Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan bahwa Suwari adalahorang yang melakukan dalam perbuatan tindak pidana tersebut.
Saran dalam penelitian ini adalah bahwa hakim sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana hendaknya harus mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum pidana. Diharapkan dalam Upaya Penegakan hukum lebih menitikberatkan pada peran dan fungsi para aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Karena perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat karena telah melakukan kejahatan terhadap nyawa yaitu pembunuhan dengan rencana dan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, yang secara tidak langsung mengancam nyawa seseorang.
Kata Kunci: Analisis, Pidana Mati, Pembunuhan Berencana.
ABSTRACT
ANALYSIS OF DEATH CRIMINAL SANCTIONS AGAINST THE CRIMINAL ACT OF PLANNING MURDER (Study of Decision Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot)
By
Alief Chandar
A criminal sentence can be said to be a mirror of criminal justice, if the judicial process that ends with the sentencing of a criminal proceeds in accordance with the principles of justice. The existence of a crime against life, namely premeditated murder and maltreatment that results in serious injury, which indirectly threatens a person's life. So that the judge imposes a death penalty or higher than the demands of the Public Prosecutor who demands a prison sentence of 15 (fifteen) years in prison. The use of criminal law as a tool for crime prevention is part of criminal policy. In this case, the imposition of a crime is a legal effort to create order, security, justice and legal certainty. The problems in this thesis are: What is the basis for the judge's consideration of the death penalty against the perpetrators of premeditated murder in Decision Number:
92/Pid.B/2020/PN.Kot. and Is the judge's decision in the case of Decision
Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot in accordance with the facts at trial.
Approach The problem used in this study is a normative juridical and empirical juridical approach. Data sources: Primary Data and Secondary Data. Resource persons: Judges at the Kota Agung District Court and Academics from the Faculty of Law in the Criminal Law Division at the University of Lampung.
The results of the research and discussion show that: The basis of the judge's considerations in imposing a crime against the Defendant who committed the crime of murder with a plan and maltreatment that resulted in serious injuries in Decision Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot using juridical considerations. While sociological considerations, the defendant's actions have disturbed the public because they have committed crimes against life, namely premeditated murder and ill-treatment that resulted in serious injuries, which indirectly threaten a person's life. The Juridical Facts at the Trial regarding the Judge's Decision in Decision Case Number: 92/Pid.B/2020/PN.Kot are based on the facts of the trial that the Defendant Anton Jatmiko bin Sugito is a legal subject who can be held accountable for the actions committed by the defendant, and
Alief Chandra
it is true that the one presented in the trial was Anton Jatmiko bin Sugito's brother who was listed in the indictment. The element of whoever has fulfilled what is there and is in accordance with the facts at the trial. The element of intentional can be concluded that the intention in question is the existence of a plan from himself to kill the lives of others. The judge considered that the Defendant's aim was to kill the victim. Based on the facts at trial that there were elements of killing other people's lives, based on the statements of the witnesses, the defendant and the available evidence. Elements of the person who did, ordered to do, and the person who participated. Based on the facts at trial that Suwari was the person who committed the crime.
The suggestion in this study is that judges as law enforcement officers in the criminal justice system should consider the resolutions of criminal acts committed by the defendant in accordance with the provisions of criminal law. It is hoped that law enforcement efforts will focus more on the roles and functions of law enforcement officers to seek material truth and realize justice and public welfare. Because the defendant's actions have disturbed the public because they have committed crimes against life, namely premeditated murder and ill-treatment that resulted in serious injuries, which indirectly threaten a person's life.
Keywords: Analysis, Death Penalty, Premeditated Murder.
1742011047 ALIEF CHANDRA chandraalief2@gmail.com2022-06-17T07:55:34Z2022-06-17T07:55:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63219This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/632192022-06-17T07:55:34ZUPAYA DIREKTORAT POLISI AIR DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PERAMPOKAN KAPAL BENDERA ASING
(Studi pada Direktorat Polisi Perairan Polda Lampung)ABSTRAK
UPAYA DIREKTORAT POLISI AIR DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PERAMPOKAN KAPAL BENDERA ASING
(Studi pada Direktorat Polisi Perairan Polda Lampung)
Oleh
Muhammad Ade Irpan
Perairan Indonesia yang merupakan 2/3 bagian wilayah Indonesia menunjukan
bukti bahwa Negara Indonesia ialah sebagai Negara Kepulauan. mencakup perairan
kedaulatan dan yurisdiksi nasional, seluas kurang lebih 6 juta kilometer persegi.
Upaya pengawasan dan pengamanan melalui tindakan pemberantasan yang
dilakukan oleh Polri terhadap kegiatan perampokan di tengah laut termasuk
perampokan kapal berbedera asing. Sehubungan dengan adanya tindak pidana
perampokan kapal berbendera asing maka memerlukan upaya direktorat polisi air
dalam penanggulangan tindak pidana perampokan kapal berbendera asing.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah upaya direktorat polisi air
dalam penanggulangan tindak pidana perampokan kapal berbendera asing dan
apakah faktor penghambat upaya direktorat polisi air dalam penanggulangan tindak
pidana perampokan kapal berbendera asing
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan
pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Penyidik Kepolisian Perairan
Polda Lampung, dan Akademisi bagian hukum pidana Universitas Lampung.
selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan tentang upaya Ditpolairud dalam
penanggulangan tindak pidana perampokan kapal bendera asing dilakukan dengan
sarana penal dan non-penal. Upaua penanggulangan melalui sarana penal yang
dilakukan terhadap kasus tindak pidana perampokan kapal bendera asing ialah
dengan dikenakannya ancaman pidana sebagaimana yang tertera pada Pasal 439
KUHP dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun. Sedangkan sarana non-penal
dilakukan dengan patroli laut dan sosialisasi yang ditujukan kepada masyarakat.
Selain itu, Faktor penghambat penghambat dalam upaya Ditpolairud dalam
penanggulangan tindak pidana perampokan kapal bendera asing ialah (1) faktor
perundangan-undangan, (2) faktor penegak hukum, (3) faktor sarana dan fasilitas,
(4) faktor masyarakat dan (5) faktor kebudayaan. Faktor yang paling dominan
dalam upaya Ditpolairud dalam penanggulangan tindak pidana perampokan kapal
bendera asing ialah faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan berkaitan dengan pola
kehidupan masyarakat yang acapkali saling menutup-nutupi sebuah tindak pidana. Hal ini dibuktikan dengan bocornya informasi proses penggerebekan yang akan
dilakukan oleh Ditpolairud Polda Lampung.
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah Ditpolairud dalam upaya
penanggulangan tindak pidana perampokan kapal berbendara asing melalaui sarana
penal dapat melakukan dan memaksimalkan pola dan strategi penyidikan agar tidak
adanya lagi kasus bocornya informasi terkait rangkaian proses penyidikan.
Ditpolairud dalam upaya penanggulangan tindak pidana perampokan kapal
berbendera asing melalui saran non penal dapat memperkuat jalinan kerjasama
kepada masyarakat itu sendiri. Tidak hanya berapatokan kepada langkah patroli
dengan melakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal yang mencurigakan
Ditpolairud dalam upaya penanggulangan tindak pidana perampokan kapal
berbendera asing diharapkan melakukan serta meningkatkan kerjasama kepada
masyarakat itu sendiri. Singkatnya, penggunaan informan dalam tiap-tiap kasus
perairan semacam ini sangat diperlukan
Kata Kunci: Ditpolairud, Perampokan, Kapal Bendera Asing1652011039 MUHAMMAD ADE IRPAN2022-06-17T03:49:15Z2022-06-17T03:49:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63194This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/631942022-06-17T03:49:15ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP MILITER YANG
MELAKUKAN KEJAHATAN KETIDAKTAATAN YANG DISENGAJA
(Studi Putusan: Nomor 231-K/PM II-08/AU/XII/2020)ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP MILITER YANG
MELAKUKAN KEJAHATAN KETIDAKTAATAN YANG DISENGAJA
(Studi Putusan: Nomor 231-K/PM II-08/AU/XII/2020)
Oleh
AHMAD AKASYAH
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara yang memiliki tugas dalam
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara,
hendaknya para militer dalam mengemban tugas serta dalam hidup dan
kehidupannya ia senantiasa berbakti kepada bangsa dan negara. Akan tetapi
dalam menjalankan dinas keprajuritan masih ditemukan pelanggaran
pelanggaran yang terjadi dan merupakan suatu sikap yang indisipliner.
Pelanggaran pelanggaran ini harus dilakukan penegakan hukum untuk menjaga
kedisiplinan dalam dinas keprajuritan terutama dalam menjalankan perintah
kedinasan.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis (empiris).
Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari Hakim Militer, Oditur Militer, dan
Dosen. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan studi lapangan.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif yang
disajikan secara analisis deskriptif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan simpulan bahwa militer yang
menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan
semaunya melampaui perintah sedemikian itu akan mendapatakan sanksi yang
sebagaimana diatur dalam undang undang yang berlaku (Pasal 103 KUHPM).
Proses penegakan hukum pidana militer melalui mekanisme tahap penyidikan,
tahap penyerahan perkara, tahap pemeriksaan dalam persidangan, dan tahap
pelaksanaan putusan dengan berpedoman pada asas kesatuan komando, asas
komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya, dan asas kepentingan
militer. Terdapat beberapa faktor penghambat penegakan hukum pidana
terhadap kejahatan ketidaktaatan yang disengaja seperti pemahaman terhadap
norma hukum dan keberadaan saksi.
Saran yang disampaikan adalah Atasan (Komandan) hendaknya melakukan
pembinaan terhadap anggotanya atau bawahannya sesuai dengan asas yaitu Asas
Komandan Bertanggungjawab Terhadap Anak Buahnya, serta hendaknya
pembinaan disiplin terhadap para prajurit TNI guna meminimalisir terjadinya
kejahatan ketidaktaatan yang disengaja.
Kata kunci : Penegakan Hukum Pidana, Militer, Kejahatan Ketidaktaatan
yang Disengaja.
1812011312 AHMAD AKASYAH2022-06-17T03:27:43Z2022-06-17T03:27:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/63182This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/631822022-06-17T03:27:43ZANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN BILYET DEPOSITO
(Studi Putusan Nomor. 218/Pid.B/2016/PN.Gns)
Peningkatan penggunaan jasa perbankan berdampak pada potensi meningkatnya pelanggaran tindak pidana perbankan. Salah satunya yaitu pemalsuan bilyet deposito yang dilakukan oleh pegawai bank pada perkara Nomor. 218/Pid.B/2016/PN.Gns. Terdakwa dijerat dengan Pasal 263 KUHP karena membawa uang sebesar Rp.3.100.000.000,00. (tiga milyar serratus juta rupiah) keluar dari tabungan nasabah untuk kepentingan pribadinya. Namun hanya dikenakan hukuman 10 bulan penjara, yang mana putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Permasalahn pada penelitian ini ialah Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam pemalsuan bilyet deposito pada Putusan Nomor. 218/Pid.B/2016/PN.Gns? Serta bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pada perkara tersebut?
Pada masalah penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder. Metodelogi pengumpulan data berdasarkan undang-undang, studi kepustakaan dan studi lapangan dimana narasumber ialah seorang hakim, jaksa serta tenaga pengajar bidang hukum. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perkara ini pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana sudah berdasarkan teori dasar pertimbangan hakim, yaitu menggunakan teori keseimbangan dan teori seni intuisi yang bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Selain itu hakim juga melihat pada hal yuridis maupun non yuridis. Pada pertimbangannya yang menjadi tujuan utama dalam pemidanaan ini bukanlah tentang berapa lamanya pelaku dipenjara, melainkan terbukti bersalah atau tidaknya terdakwa Rina dalam kasus tersebut,sehingga bank dapat segera memproses pengembalian uang nasabah.
Pada pertanggungjawaban pidananya, terdakwa telah memenuhi syarat pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab serta memenuhi unsur pada pasal yang didakwakan. Namun perkara ini tidak menerapkan asas lex spesialis derogat legi generali, sehingga terdakwa tetap dijerat dengan Pasal 263 Ayat (1) KUHP. Hakim menjatuhkan putusan kurungan 10 bulan penjara dengan uang yang sudah dikembalikan pelaku Rina sebesar Rp.2.300.000.000,00. (dua milyar tiga ratus juta rupiah).
Saran dalam penelitian ialah, diharapkan hakim dalam mengambil pertimbanagn putusan lebih mengutamakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku agar memberikan efek jera. Otoritas Jasa Keuangan lebih memeperkuat pengawasan terhadap lembaga keuangan khususnya dibidang perbankan. Kepada aparat penegak hukum hendaknya dapat memberikan hukuman berupa tindak pidana yang menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Serta menerapkan asas lex spesialis derogate legi generali.
Kata Kunci : Pertimbangan hakim, Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan bilyet deposito.
1812011250 ERLIN FARIDHA 2022-06-16T01:04:30Z2022-06-16T01:04:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/62998This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/629982022-06-16T01:04:30ZANALISIS VIKTIMOLOGI TINDAK PIDANA PENCABULAN OLEH OKNUM GURU PONDOK PESANTREN (STUDI KASUS DI POLRES TULANG BAWANG BARAT)ABSTRAK
Viktimologi merupakan studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban. Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana. Meskipun korban memiliki peran dalam memicu terjadinya suatu tindak kejahatan, korban harus tetap mendapatkan perlindungan hukum terhadap haknya sebagai korban dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh viktimilogi. Permasalahan yang akan dibahas ialah : bagaimana analisis viktimologi dan bentuk perlindungan hukum terhadap korban pencabulan oleh oknum guru pondok pesantren, serta apa sajakah faktor penghambat penegakan hukumnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan dan studi lapangan, serta analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Penyidik Polres Tulang Bawang Barat, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Tulang Bawang Barat, dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana tidak semerta-merta dapat dilihat dari sisi pelakunya saja, korban juga memiliki peranan dalam terjadinya suatu tindak pidana. Perilaku korban secara aktif menjadi faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencabulan, dalam hal ini kasus pencabulan dengan korban NK dapat dikategorikan sebagai Biologically weak victim, Participating victims dan provocative victims. Korban NK telah mendapatkan perlindungan hukum sesuai Pasal 64 Ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu mendapatkan rehabilitasi, jaminan keselamatan,dan aksebilitas untuk mendapatkan informasi perkembangan perkara. Penegakan
hukum tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh Polres Tulang Bawang Barat mengalami hambatan yaitu keengganan korban dalam melakukan pengaduan telah terjadi pencabulan karena merupakan perbuatan yang memalukan, sehingga kesadaran hukum masih sangat rendah dan menghambat berlakunya penegakan hukum bagi korban.
Saran yang penulis berikan ialah, orangtua dan lingkungan sekitar anak sebaiknya lebih waspada dalam hal pengawasan terhadap anak, karena dalam hal ini anak belum memiliki kuasa akan dirinya sendiri. Seorang anak yang menjadi santri di pondok pesantren, tetaplah diperhatikan oleh orangtua dan keluarganya. Pelaksanaan perlindungan terhadap korban kekerasan fisik hendaknya dapat ditingkatkan kembali seperti perbaikan mental dan psikis korban agar tidak menyebabkan trauma yang mendalam dan berkepanjangan, suatu kejahatan dapat terungkap apabila adanya pengaduan laporan yang dilakukan oleh korban atau masyarakat meskipun ada juga kejahatan yang terungkap karena pelaku tertangkap tangan oleh aparat. Dengan demikian aparat penegak hukum, terutama
polisi sangat membutuhkan peran aktif korban atau masyarakat.
Kata Kunci : Viktimologi, Anak, Peranan Korban, Pencabulan1812011070 Rendie Meita Sarie Putri2022-06-14T04:48:20Z2022-06-14T04:48:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/62961This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/629612022-06-14T04:48:20ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG
DILAKUKAN OLEH AYAH TIRI
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 1516/PID.SUS/2020/PN.TJK)Tindak pidana perkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh ayah tiri yang
seharusnya berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anak korban namun
merusak masa depan anak korban, hal itu dapat dilihat dalam putusan perkara
nomor: 1516/Pid.Sus/2020/PN.Tjk. dalam kasus tersebut, terdakwa Sikin bin
Rusman dinyatakan dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan memaksa
melakukan perkosaan dengan Widyawati binti Ariyanto yang berumur 9
(sembilan) tahun. Permasalahan penelitian: bagaimanakah dasar pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana
perkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh ayah tiri pada putusan nomor:
1516/Pid.Sus/2020/PN.Tjk? dan apakah putusan yang dijatuhkan terhadap pelaku
pada putusan nomor: 1516/Pid.Sus/2020/PN.Tjk telah sesuai dengan fakta-fakta
persidangan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Hakim, Jaksa, dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi
lapangan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menyatakan bahwa dasar pertimbangan hukum
hakim terhadap pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak oleh ayah tiri
dalam putusan nomor: 1516/Pid.Sus/2020/PN.Tjk adalah secara yuridis mengacu
pada alat bukti dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP yangmana pada putusan
ini telah memenuhi unsur-unsur pada pasal tersebut yaitu adanya minimal 2 alat
bukti yang sah seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Secara filosofis yaitu dalam putusannya hakim
mengharapkan putusan berupa hukuman pidana 15 tahun dan pidana denda
sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsidiair 3 bulan penjara yang
diberikan kepada terdakwa Sikin bin Rusman dapat memperbaiki perilaku
terdakwa sehingga terdakwa jera serta tidak melakukan perbuatan itu kembali
dikemudian hari, namun seharusnya diperberat dengan hukuman tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku karena pada kasus ini pelaku merupakan ayah tiri
anak korban dan perbuatan terdakwa merupakan hal keji yang tidak
berperikemanusiaan. Secara sosiologis yaitu hakim dalam putusannya melihat
pada latar belakang sosial terdakwa yaitu merupakan orang tua dari anak korban
yang apabila hukuman telah selesai dijalankan, pelaku masih berkewajiban untuk
memenuhi kehidupan anaknya dan melihat bahwa putusannya mempunyai
manfaat bagi masyarakat agar masyarakat tidak mencontoh perbuatan terdakwa.
Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku pada putusan nomor:
1516/Pid.Sus/2020/PN.Tjk telah sesuai dengan fakta-fakta persidangan karena
telah memenuhi syarat-syarat seseorang dapat dikenakan pidana sesuai Pasal 183
KUHAP yang menyatakan seseorang dapat dikenakan pidana apabila sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang dimaksud terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Dalam fakta-fakta persidangan terdakwa terbukti merupakan ayah tiri dari anak
korban telah melakukan tindak pidana perkosaan yangmana perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang tidak pantas dan tidak bermoral karena seharusnya
sebagai seorang ayah tiri berkewajiban melindungi anaknya.
Saran dari penelitian ini adalah diharapkan pidana tambahan pengumuman
identitas pelaku ditegakkan karena sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 81 Ayat
(6) dan aparat penegak hukum diharapkan dapat meminimalisir tindak pidana
perkosaan terhadap anak dengan cara mengadakan sosialisasi kepada masyarakat
tentang perlindungan anak.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Perkosaan, Ayah TiriSULISTIANA SARI18120111672022-06-02T08:32:19Z2022-06-02T08:32:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/62329This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/623292022-06-02T08:32:19ZTinjauan Yuridis Terhadap penjatuhan Vonis Pidana Oleh Hakim Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dan UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan KehakimanKekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak adalah sesuatu yang mutlak dan harus ada, karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman mengharamkan adanya tekanan, pengaruh dan campur tangan dari siapa pun.
Tindak Pidana Narkotika adalah kejahatan yang dikategorikan sebagai Tindak Pidana Khusus yang hingga kini masih menjadi permasalahan dalam hal pencegahan hingga pemberantasannya. Maka penanganannya terhadap kejahatan ini masih eksis sampai sekarang di kalangan penegak hukum, baik pihak Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disebut BNN, Kepolisian, dan instansi terkait lainnya yang sedang mencari formulasi yang tepat untuk mengurangi tingkat keterangantungan narkotika di Indonesia.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan mempelajari, melihat, dan menganalisis mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang berkaitan dengan asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan perundang-undangan dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan dan pendekatan yuridis empiris dilakukan bertujuan untuk mempelajari implementasi hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di masyarakat baik dalam bentuk pendapat, sikap, dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
Hasil penelitian dan pembahasan menujukkan bahwa penjatuhan vonis pidana oleh Hakim dalam penanganan perkara Tindak Pidana Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Hakim seharusnya dalam menjatuhkan vonis berkaca terhadap apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Narkotika walaupun dalam penerapannya sangat bertentangan melalui Surat EdaranMahkamah Agung Nomor 05 Tahun 2013 tetapi demi menjunjung tinggi keadilan di mata masyarakat sebagai penegak hukum yang paling dihormati, Hakim juga memutus untuk mencari kebenaran materiil dalam putusannya serta Hakim boleh menilai salah atau tidaknya suatu aturan sehingga boleh disimpangi dalam keadaan tertentu demi kemanusiaan dan efektifitas terhadap tujuan pemidanaan.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa Penjatuhan vonis pidana atas Tindak Pidana Narkotika di bawah ketentuan undang-undang oleh Majelis Hakim menjadi sebuah problematika baik dari segi keadilan maupun segi kepastian hukum yang membuat pesimis Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk menuntut sesuai dengan undang-undang dan penegakan hukum, juga kurangnya ukuran atau beratnya narkoba pada saat tertangkap oleh penyidik yang menggunakan pasal yang sama dengan ancaman pidana yang sama sehingga timbulnya ketidakadilan di pelaku maupun di mata masyarakat.
Kata Kunci : Vonis Pidana, Narkotika, Kekuasaan Kehakiman
1812011258 YOEL HATIGORAN GEMBIRA SITORUSyoelsitorus12345@gmail.com2022-06-02T03:58:14Z2022-06-02T03:58:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/62364This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/623642022-06-02T03:58:14ZPENERAPAN DISKRESI OLEH KEPOLISIAN
DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS
(Studi Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi
yang di hadapi. Poin penting dari kajian ini adalah melihat tolok ukur penilaian
wewenang penggunaan kewenangan diskresi oleh Kepolisian dalam proses
pemeriksaan perkara pidana, stresingnya pada model pengawasan atau kontrol
terhadap penggunaan diskresi yang diperankan oleh hakim dalam proses
penegakan hukum pidana, sebab setama ini terkesan bahwa penggunaan diskresi
oleh Kepolisian maupun Jaksa lepas dari pengawasan maun kontrol dari lembaga
yang berwenang sehingga diskresi dapat digunakan tidak tidak wajar atau salah
dimanfaatkan dalam proses penegakan hukum tindak pidana.
Rumusan Permasalahan: Bagaimanakah penerapan diskresi oleh kepolisianan
dalam perkara kecelakaan Lalu Lintas ?, Apa sajakahkah faktor penghambat
penerapan diskresi oleh Kepolisian dalam perkara kecelakaan lintas ?
Jenis penelitian menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan
yuridis empiris. Hasil pengumpulan dan pengolahan data tersebut kemudian
dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: 1) Penerapan
diskresi oleh Satuan Kepolisian Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas di luar pengadilan. 2) Faktor penghamabat penerapan diskresi oleh
Kepolisian dalam perkara kecelakaan lintas adalah: Faktor hukum dalam
pelaksanaan diskresi, Faktor Kepolisian dalam memberikan diskresi, Faktor
benturan pelaku dan korban akan berbeda kerena adanya kepentingan, Faktor
masyarakat merupakan salah satu hal penting yang menghambat diskresi yang
dilaksanakan oleh pihak kepolisian. Kata Kunci: Penerapan, Diskresi, Kepolisianan, Kecelakaan Lalu Lintas 1642011003 Medikazmedika7@gmail.com2022-05-25T01:10:47Z2022-05-25T01:10:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/61769This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/617692022-05-25T01:10:47ZANALISIS PENJATUHAN SANKSI TINDAK PIDANA PENCABULAN
YANG DILAKUKAN DOSEN TERHADAP MAHASISWI
(STUDI PERKARA NOMOR 732/Pid.B/2019/PN.TJK)ii
ABSTRAK
ANALISIS PENJATUHAN SANKSI TINDAK PIDANA PENCABULAN
YANG DILAKUKAN DOSEN TERHADAP MAHASISWI
(STUDI PERKARA NOMOR 732/Pid.B/2019/PN.TJK)
Oleh
OCHA RIYANI
Tindak Pidana Pencabulan yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswi
merupakan suatu kejahatan dan perbuatan tercela yang mengotori ranah
pendidikan terutama pandangan masyarakat terhadap Dosen (tenaga pendidik).
Penelitian dengan judul “Analisis Penjatuhan Sanksi Tindak Pidana Pencabulan
Yang Dilakukan Dosen Terhadap Mahasiswi (Studi Perkara Nomor
732/Pid.B/2019/PN.TJK)”. Permasalahan dalam penelitian ini yakni
bagaimanakah penjatuhan sanksi tindak pidana yang dilakukan dosen terhadap
mahasiswi serta pandangan masyarakat mengenai pemidanaan yang diberikan
kepada terdakwa. Penelitian ini akan menjelaskan proses penjatuhan sanksi pidana
kejahatan pencabulan serta apakah pemidanaannya telah memenuhi rasa
masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana
penjatuhan sanksi dan pemidanaan yang diberikan kepada pelaku kejahatan
pencabulan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara sebagai data pendukung.
Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa penjatuhan sanksi terhadap dosen pelaku
tindak pidana pencabulan masih sangat ringan dan mengenai pemidanaan dari
sudut pandang masyarakat nampaknya belum menggambarkan keadilan hukum
dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kata Kunci: tindak pidana, pencabulan, penjatuhan sanksi.
iii
ABSTRACT
ANALYSIS OF SANCTIONS OF THE CRIMINAL ACTION OF ABUSE
OF THE LECTURER CONDUCTED TO STUDENTS
(CASE STUDYNOMOR 732/Pid.B/2019/PN.TJK)
By
OCHA RIYANI
The crime of obscenity committed by lecturers against female students is a crime
and despicable act that pollutes the realm of education, especially the public's
view of lecturers (educators). The research entitled "Analysis of the Imposition of
the Crime of Fornication by Lecturers Against Students (Case Study Number 732
/ Pid.B / 2019 / PN.TJK)". The problem in this research is how the imposition of
criminal sanctions by lecturers against female students and the public's view of the
punishment given to the defendant. This study will explain the process of
imposing criminal sanctions for sexual immorality and whether the convictions
have met the taste of society. The purpose of this research is to describe how the
imposition of sanctions and punishment given to perpetrators of crimes of sexual
immorality. This research uses a normative juridical approach and an empirical
juridical approach. The method of data collection is done by using literature study
and interviews as supporting data. The collected data were then processed and
analyzed descriptively qualitatively. The results of the study explain that the
imposition of sanctions against lecturers who are perpetrators of criminal acts of
sexual immorality is still very light and regarding punishment from the
perspective of the community does not seem to describe legal justice and legal
certainty for society.
Keywords: crime, obscenity, imposition of sanctions.1612011089 OCHA RIYANIriyaniocha8@gmail.com2022-05-20T07:57:49Z2022-05-20T07:57:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/61520This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/615202022-05-20T07:57:49ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA TERKAIT SUAP DALAM PENERIMAAN CALON
ANGGOTA BINTARA POLRI TAHUN 2017
(Studi di Polda Lampung)Penegakan hukum pidana adalah proses dilakukan upaya untuk menegakkan
norma-norma hukum secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Praktik tindak pidana suap dalam penerimaan calon Bintara Polri sudah seperti
kebudaayaan dalam masyarakat yang pidananya sulit ditegakkan, permasalahan
dalam skripsi ini adalah (1) bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana suap dalam penerimaan calon Bintara Polri, dan (2) Apakah faktor
penghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana suap penerimaan
calon Bintara Polri
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Kasat Reskrim dan Kabag
Sumda Polres Lampung Selatan, Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana suap dalam penerimaan calon
Bintara Polri bermula pada tahap formulasi yang telah dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu,
tindak pidana suap juga diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1980 tentang Tindak Pidana Suap dan jika yang terjerat dari pihak kepolisian
maka akan diberikan tambahan sanksi kode etik dari instansi. Faktor penghambat
penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana suap dalam penerimaan calon
Bintara Anggota Polri adalah pertama faktor Undang-Undang sanksi yang tidak
equivalen dengan tindak pidana yang dilarang, penggunaan konsep yang berbeda-
beda untuk sesuatu yang sama. Kedua faktor penegak hukum pengetahuan pihak
kepolisan dan pihak pengawas kurangnya pemahaman anggota kepolisian dan
masyarakat. Ketiga faktor sarana dan prasarana dibutuhkan peralatan dan
keuangan yang memadai untuk proses penyidikan dan penyelidikan, sebab
minimnya sarana dan prasarana yang memadai menyebabkan penegak hukum
yang tidak akan berjalan dengan semestinya di sisi lain teknologi yang masih baru
Muhammad Sabikhi
dan belum di terapkan secara merata di setiap tahapan-tahapan tes. Keempat
faktor masyarakat adalah bahwa rata – rata tingkat kesadaran hukum masyarakat
masih rendah. Hal ini dapat di lihat dari banyak nya para pelanggar hukum untuk
menghalalkan berbagai cara agar lulus dalam seleksi anggota polri. Kelima faktor
masyarakat tidak ingin mengikuti peraturan yang sudah ada, mereka sudah
terbiasa dengan aturan sendiri dan mengikuti stigma salah yang telah berkembang
di masyarakat sejak lama dan keenam faktor budaya dimana budaya masyarakat di
Indonesia yang sebagian masyarakatnya senang mencari jalan yang cepat dan
mudah dalam menggapai suatu tujuan, karena mereka menganggap jadi polisi itu
memiliki posisi dan masa depan yang cerah di kemudian hari tanpa peduli yang
dicapai itu halal atau haram.
Saran dalam penelitian ini adalah Pelaksanaan persidangan dalam tindak pidana
suap dalam penerimaan calon bintara anggota polri pemberian sanksi pidananya
harus di berikan secara maksimal, karena yang terlibat dalam perkara ini adalah
Instansi Penegak Hukum. Penerapan sanksi kode etik untuk Anggota Polri
diberikan setelah putusan persidangan setelah sanksi di tetapkan oleh hakim agar
tidak menguntungkan dari pihak kepolisian, mengingat dari tahap penyelidikan
sampai ke penyidikan di periksa oleh anggota polri itu sendiri. Perlu adanya
evaluasi dan sosialisasi dari tahun-tahun karena semakin berkembangnya
teknologi dalam perekrutan calon anggota, pihak aparat maupun masyarakat harus
dituntun mengetahui aturan-aturan hukum yang baru.Pemerintah dan kepolisian
harus bekerja sama dalam meningkatkan kualitas calon anggota polri yang
unggul.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Tindak pidana Suap, Penerimaan Calon
Anggota Bintara Polri
Criminal law enforcement is the practice of enforcing legal standards in society and
the state in real life. The practice of bribery in the acceptance of National Police
Non-Commissioned Officer candidates is similar to a culture in society where the
crime is difficult to enforce; the problems in this thesis are (1) how is criminal law
enforcement against the crime of bribery in the acceptance of National Police Non-
Commissioned Officer candidates enforced, and (2) what are the inhibiting factors
for law enforcement. Bribery in the selection of Non-Commissioned Officer
candidates is a criminal offense.
The topic is approached from both a normative and empirical legal perspective. The
Head of the Criminal Investigation Unit and the Head of the Sumda Police of the
South Lampung Police, as well as academics from the Criminal Law Department
of the Faculty of Law, University of Lampung, served as research resource persons.
A literature review and a field research were used to gather data, which was then
examined qualitatively.
Based on the findings of the research and discussion, it can be concluded that the
enforcement of criminal law against bribery in the acceptance of candidates for the
National Police Officer begins at the formulation stage, as outlined in Law Number
20 of 2001 amending Law Number 31 of 1999 concerning the eradication of
criminal acts. corruption. Furthermore, the crime of bribery is defined in Article 2
of Law No. 11 of 1980 Concerning the Crime of Bribery, and those who are
discovered by the police face further penalties under the agency's code of ethics.
The first factor in the law of punishments that are not equal to forbidden criminal
activities, the use of various conceptions for the same thing, is the obstructing factor
in the implementation of criminal legislation against the crime of bribery in
admitting applicants for members of the National Police. The police and
supervisors' expertise, as well as the members of the police and the community's
lack of understanding, are the two variables in law enforcement.
Muhammad Sabikhi
Because law enforcement cannot function successfully without suitable facilities
and infrastructure, the three aspects of facilities and infrastructure necessitate
enough equipment and funding for the investigation and investigative process.
Stages of testing The average degree of legal awareness in the community is still
low, according to the four community criteria. This may be observed in the number
of lawbreakers used to support various methods of police officer selection. The five
factors of society do not want to follow the existing rules; they are used to their own
rules and follow the wrong stigma that has developed in society for a long time; and
the sixth is cultural factors, where some people in Indonesia prefer to find a quick
and easy way to achieve something purpose, because they believe that being a
police officer has a position and a bright future in the future, regardless of whether
what is achieved is good or bad; and the cultural factors, where some people prefer
to find a quick and easy way.
The execution of the trial in the crime of bribery in the acceptance of prospective
non-commissioned members of the police, the criminal punishments must be
provided to the maximum, because those engaged in this case are Law Enforcement
Agencies, are among the suggestions in this research. The implementation of the
code of ethics sanctions for members of the police is given after the trial decision,
after the judge has set the sanctions so that it is not profitable for the police,
considering that the members of the police themselves are examined from the
investigation stage to the investigation stage. . There needs to be an evaluation and
socialization from the years because of the development of technology in the
recruitment of prospective members, the apparatus and the community must be
guided to know the new legal rules.
Keywords: Enforcement of Criminal Law, Acts of Bribery, Acceptance of
Candidates for National Police Officers1512011056 Muhammad Sabikhi-2022-05-19T07:34:08Z2022-05-19T07:34:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/61382This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/613822022-05-19T07:34:08ZPENERAPAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUPLingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan,dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Asas Ultimum Remedium sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka
peerapan hukum pidana sebisa mungkin dibatasi, dengan kata lain penggunaannya
dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. Penerapan asas Ultimum
Remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan
terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi dan baku mutu
gangguan. Permasalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
proses penerapan asas Ultimum Remedium dalam tindak pidana lingkungan hidup?
Serta faktor-faktor apa saja kah yang menjadi penghambat dalam proses penerapan
asas Ultimum Remedium dalam tindak pidana lingkungan hidup?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan yaitu data
primer dan juga data sekunder yang berasal dari buku-buku dan literatur-literatur
terkait dengan hukum, peraturan perundang-undangan, dan juga dari wawancara.
Terhadap narasumber atau informan. Penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan, serta analisis data
menggunakan analisis kualitatif dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan di
lapangan kedalam bentuk penjelasan yang sistematis.
Elisa Wulandari
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap penerapan asas Ultimum
Remedium dalam tindak pidana lingkungan hidup, diperoleh kesimpulan bahwa
penegakan hukum terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup melalui 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara
sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif, penyelesaian sengketa
di luar pengadilan, dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup atau TPLH.
Penegakan hukum pidana dalam permasalahan lingkungan hidup yaitu dengan tetap
memperhatikan asas Ultimum Remedium sebagai upaya terkahir setelah penerapan
penegakan hukum administratif dan/atau hukum perdata sudah tidak layak lagi untuk
dipertahankan.
Saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum juga instansi-instansi
pemerintah terkait dengan lingkungan hidup kedepannya perlu untuk benar-benar
memahami asas-asas hukum khususnya asas Ultimum Remedium serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidana
lingkungan hidup atau TPLH, sehingga menghasilkan keputusan yang adil dan
bijaksana bagi seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang terdampak dari
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, mengingat lingkungan hidup
merupakan sumber penghidupan bagi seluruh masyarakat.
Kata Kunci: Ultimum Remedium, Hukum Pidana, Lingkungan Hidup.
1512011162 Elisa Wulandari-2022-05-12T03:08:06Z2022-05-12T03:08:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60907This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/609072022-05-12T03:08:06ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAKAN BALAP LIAR
REMAJA YANG MEMBAHAYAKAN KEAMANAN MASYARAKATBalap liar merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial yang sering dilakukan
oleh para remaja. Balap liar merupakan balapan ilegal yang dilarang oleh Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Biasanya aksi
balap liar diawali dari rasa iseng atau persaingan untuk memperoleh sesuatu hal
ataupun memperoleh sebuah pengakuan. Misalnya mereka beradu kecepatan untuk
memperoleh sejumlah uang yang dipertaruhkan sebagai tujuan dari balap liar ini.
Balap liar yang memang dilakukan di jalanan umum ini sangatlah berisiko
membahayakan keamanan serta keselamatan masyarakat pengguna jalan tersebut.
Belum lagi suara bising yang berasal dari kendaraan yang digunakan untuk balap liar
ini juga sangatlah mengganggu ketertiban masyarakat sekitar tempat diadakannya
balap liar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis
empiris. Data yang digunakan merupakan data primer dan data skunder metodelogi
pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis
data dilakukan secara kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari anggota
kepolisian satuan sabhara Polsek Punggur Lampung Tengah, Akademisi Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, pelaku balap liar, dan masyarakat
sekitar tempat terjadinya aksi balap liar.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui faktor yang menyebabkan
terjadinya aksi balap liar, yaitu terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, karena pelaku
yang kebanyakan adalah remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri,
menyebabkan mereka tak jarang terjerumus untuk melakukan penyimpangan-
penyimpangan dan salah satunya adalah melakukan balap liar. Sedangkan faktor
eksternal meliputi faktor ekonomi, lingkungan, pendidikan, dan kelemahan di dalam
penegakkan hukum. Beberapa upaya penanggulangan juga sudah dilakukan oleh
pihak kepolisian, mulai dari upaya pre-emtif, upaya preventif, serta upaya represif.
Upaya pre-emtif dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dan
berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya aksi
balap liar. Upaya preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan
hukum, melakukan berbagai upaya pencegahan lain sebagai bentuk upaya
3
pencegahan lanjutan dari upaya pre-emtif. Upaya represif dilakukan sebagai langkah
akhir yang diambil setelah adanya upaya-upaya pencegahan, dengan melakukan
penggerebekan terhadap pelaku balap liar, melakukan penahanan terhadap pelaku
maupun kendaraan yang digunakan, diharapkan dapat memberikan efek jera agar
para pelaku tidak mengulangi aksinya lagi.
Penulis menyarankan dalam menanggulangi aksi balap liar yang sangat marak terjadi
ini adalah dengan lebih menekankan kepada upaya-upaya pencegahan seperti
bekerjasama dengan berbagai lapisan masyarakat untuk lebih aktif lagi
memperdulikan lingkungan sekitarnya. Mengadakan berbagai kegiatan positif serta
menyediakan wadah bagi para remaja ini sebagai tempat untuk menyalurkan
berbagai kemampuan yang mereka miliki agar menjadi kegiatan yang bermanfaat.
Kata Kunci : Kriminologis, Aksi Balap Liar, Faktor Penyebab, Upaya
Penanggulangan
Illegal racing is a form of social deviation that is often done by teenagers. Illegal
racing is an illegal race which is prohibited by UU No. 22 of 2009 concerning Road
Transport Traffic. Usually the action of wild racing begins with a sense of fad or
competition to get something or get a recognition. Illegal racing which is indeed
carried out on public roads is very risky to endanger the security and safety of the
people who use the road. Not to mention the noise that comes from the vehicles used
for illegal racing is also very disturbing the order of the community around where
the illegal racing is held.
This research was conducted with the aim of knowing, understanding, and analyzing
the factors causing the occurrence of illegal racing by teenagers, as well as efforts to
overcome them. This study uses a normative juridical approach and empirical
juridical approach, which uses data collection techniques by means of literature
studies and field studies, which are enriched with source data consisting of the police
who have a specialty in this field, legal academics, illegal racing actors, and the
community around the place where the illegal racing takes place.
Based on the results of the study, it can be seen that the factors that cause illegal
racing are internal factors and external factors. Internal factors are factors that come
from within the individual itself, because the perpetrators are mostly teenagers who
are still in the process of searching for their identity, causing them to often fall into
deviations and one of them is doing illegal racing. While external factors include
economic factors, environment, education, and weaknesses in law enforcement.
Several countermeasures have also been carried out by the police, ranging from pre-
emptive efforts are carried out by collaborating with various parties and various
levels of society as a form of prevention against illegal racing. Preventive efforts are
carried out by holding legal counseling, carrying out various other prevention efforts
as a form of further prevention efforts from pre-emptive efforts. Repressive efforts
are carried out as the final step taken after the prevention efforts, by conducting raids
on illegal racing perpetrators, detaining the perpetrators and the vehicles used, which
are expected to provide a deterrent effect so that the perpetrators do not repeat their
actions again.
The author suggests that in tackling this very rampant illegal racing, it is by placing
more emphasis on prevention efforts such as collaborating with various levels of
society to be more active in caring for the surrounding environment. Holding various
positive activities and providing a forum for these youth as a place to channel their
various abilities so that they can become useful activities.
Keyword : Criminology, Illegal Racing, Causing Factors, Countermeasures1712011070 M. NIKO KURNIAWAN-2022-05-11T07:12:17Z2022-05-11T07:12:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60837This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/608372022-05-11T07:12:17ZANALISIS PENJATUHAN PIDANA DENDA TERHADAP ANAK DALAM PERKARA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 13/PID.SUS-ANAK/2017/PT.PBR)
Putusan nomor 13/Pid.Sus-Anak/2017/PT.PBR memutus terdakwa HM dengan pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan dan denda sebesar Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) Permasalahan : (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana denda terhadap anak? (2) Apakah putusan hakim berupa pidana denda terhadap anak sudah memenuhi keadilan subtantif?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yaitu meliputi data primer dan sekunder, dimana masing masing data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: (1) Kejanggalan putusan ini adalah dalam hal penjatuhan sanksi pidana yakni berupa penjara dan denda sebesar Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti (konversi) dengan pelatihan kerja wajib 2 bulan. Pengaturan dibayar diganti (konversi) putusan ini mendasarkan pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana di Indonesia (KUHP), sementara itu tindak pidana dengan pelaku anak telah memiliki ketentuan tersendiri yakni dalam UU SPPA. Dalam Pasal 71 ayat 3 menjelaskan bahwa apabila dalam hukum materiel diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja, dan Pasal 71 ini tidak diterapkan pada Putusan Nomor 13/PID.SUS-ANAK/2017/PT.PBR. (2) Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).
Saran penelitian ini adalah: (1) Agar diharapkan aparat penegak hukum harus lebih bijak, lebih adil dan lebih memihak kepada kepentingan bagi anak dalam setiap mengambil keputusan. (2) Ultimum remedium pada pelaku pidana anak benar – benar harus ditegakkan.
Kata Kunci : Pidana Denda, Anak, Narkotika
1712011120 TONI HERMAWAN Tonihermawan25@gmail.com2022-05-10T06:43:04Z2022-05-10T06:43:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60730This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/607302022-05-10T06:43:04ZANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG
TERHADAP BARANG BUKTI ALAT ANGKUT MILIK
PIHAK KETIGA PADA TINDAK PIDANA
DI BIDANG KEHUTANAN
(Studi Perkara Nomor : 896/Pid.B/LH/2019/PN.TJK)Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan dan
atau pengeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Illegal
logging merupakan kerusakan lingkungan yang sering terjadi di beberapa negara
yang mempunyai hutan yang luas termasuk di Indonesia. Kejahatan illegal
logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang
perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut
pengelolaan hasil hutan kayu. Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum
kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara
umum yaitu pengrusakan, pencurian, penyelundupan, pemalsuan, penggelapan,
dan penadahan. Permasalahan yang timbul dalam skripsi ini adalah : (1) Apakah
yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
perampasan barang bukti pada kasus tindak pidana kehutanan? (2) Bagaimanakah sisi
kemanfaatan hukum bagi pihak ketiga terhadap putusan perampasan barang bukti
tersebut?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang difokuskan melalui
pendekatan undang-undang dan kasus dari putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor
17/Pid/2015/PT.MTR dan Pengadilan Negeri Dompu Nomor 135/Pid.B/2014/PN.DPU
, sumber bahan hukum primer dan sekunder, pencatatan terhadap buku-buku peraturan
perundang-undangan serta literatur lainnya dilakukan untuk mengumpulkan data, dan
analisis bahan hukum dengan menggunakan argumentasi hukum melalui wawancara
langsung dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Pada Kejaksaan
Tinggi Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Almira Sari Ananza
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan perampasan alat angkut milik pihak
ketiga dikarenakan hakim berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana pada putusan Nomor: 896/Pid.B/LH/2019/PN.TJK yaitu hakim
berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan selain itu hakim juga dalam putusannya telah
mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan juga sosiologis. Bahwa dalam hal
ini sisi kemanfaatan hukum belum terlihat karena dalam putusan Nomor
896/Pid.B/LH/2019/PN.TJK hakim merampas alat angkut milik pihak ketiga,
dimana putusan hakim tersebut hanya mengandung kepastian hukum. Hakim dapat
mempertimbangkan untuk mengembalikan barang milik pihak ketiga berdasarkan
pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III Tanggal 1 Maret
2006 putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 17/Pid/2015/PT.MTR dan
Pengadilan Negeri Dompu Nomor 135/Pid.B/2014/PN.DPU.
Saran dalam penelitian ini adalah untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik
dari upaya penegakan hukum terkait penyitaan dan perampasan barang bukti untuk
negara yang diyakini menimbulkan banyak potensi kerugian sebaiknya dilakukan
evaluasi terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana, untuk melindungi kepentingan
pihak ketiga yang secara tidak langsung telah dirugikan. Hakim dalam menjatuhkan
sebuah putusan harus melihat juga sisi dari kemanfaatan hukum bagi pihak ketiga yang
telah dirugikan karena tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi
sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat bukan hanya kepastian hukum saja.
Kata Kunci : Barang Bukti, Pihak Ketiga, Alat Angkut, Tindak Pidana
Kehutanan. 1742011021 Almira Sari Ananzaananzaalmira14@gmail.com2022-04-28T01:21:41Z2022-04-28T01:21:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60583This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/605832022-04-28T01:21:41ZANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PUTUSAN TERHADAP PELAKU PENCABULAN ANAK
DI LAMPUNG TIMUR
(Studi Putusan Nomor : 19/Pid.Sus/2020/PN Sdn)Kekerasan terhadap anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya
diharapkan dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah kasus-
kasus kekerasan terhadap anak selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan
tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi tindak
kekerasan pada anak disertai dengan tindak pidana pencabulan pada anak.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pertimbangan hukum
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan.
Apakah mengetahui putusan hakim apakah sudah memenuhi keadilan substantif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan
pendekatan yuridis empiris. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer
dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan,
selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa, Pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku pencabulan anak di Lampung Timur
berdasarkan Putusan 19/Pid.Sus/2020/PN Sdn secara yuridis adalah terdakwa terbukti
melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Jo. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Secara filosofis
adalah menilai bahwa pidana yang dijatuhkan sebagai upaya pembinaan terhadap
perilaku Terdakwa. Secara sosiologis terdiri dari hal yang memberatkan yaitu
Terdakwa merupakan kerabaat daripada anak korban. Terdakwa telah diancam
Pidana Penjara selama 14 (empat belas) tahun dan Pidana Denda sebesar Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila Pidana Denda tersebut
tidak dapat dibayarkan oleh Terdakwa maka diganti dengan Pidana Penjara selama 2
(dua) bulan; Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dan sedang
dijalani oleh Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan.
1
Andika Saputra
Selain itu, putusan Hakim dalam perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak
oleh telah memenuhi rasa keadilan substantif, sebab seorang hakim dalam menjatuhi
pidana tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang tetapi faktor non yuridis yaitu
ketentuan norma yang berkembang di masyarakat sehingga perbuatan yang dilakukan
pelaku setimpal dengan hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim.
Adapun saran dalam penelitian ini adalah agar pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana perbuatan pencabulan terhadap anak oleh kerabat anak korban
diberikan hukuman yang berat sehingga dapat menimbulkan efek jera terhadap
pelaku dan tidak ada lagi peluang kejahatan asusila seperti ini khususnya yang
dilakukan oleh kerabat anak korban yang sewajarnya tidak melakukan kejahatan
asusila. Penulis menyarankan kepada penegak hukum dalam mengkaji suatu perkara
diharapkan dapat benar-benar cermat mempertimbangkan pertimbangan yuridis
maupun non yuridis. Selain itu, hendaknya Hakim menjatuhkan pidana maksimum
kepada Terdakwa yang melakukan tindak pidana tindak pidana pencabulan terhadap
anak oleh kerabat anak korban Hakim harus benar-benar melihat semua aspek
berdasarkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum, agar keadilan
sebenar-benarnya dapat tercapai dan dapat dirasakan semua pihak.
Mempertimbangkan adanya dampak negatif bagi psikologis anak yang menjadi
korban. Mengingat bahwa kejahatan terhadap anak di Indonesia terus meningkat
sehingga hal ini dapat menjadi salah satu pertimbangan Hakim dalam memberikan
pidana maksimum. Selain itu perlu menjadi tanggung jawab bersama bagi
pemerintah, aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak, maka hal yang penting dilakukan
adalah meningkatkan pendidikan moral dan agama yang kuat pada masing masing
individu dan menjauhkan anak dari pengaruh kehidupan yang tidak baik..
Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hukum, Pencabulan Anak, Lampung Timur 1742011016 Andika Saputraepoychamp@gmail.com2022-04-28T01:19:34Z2022-04-28T01:19:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60591This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/605912022-04-28T01:19:34ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN KEKERASAN
OLEH UNIT KEGIATAN MAHASISWA PECINTA ALAM YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN
(Studi Pada Kepolisian Resor Pesawaran )Kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa pecinta alam di Desa
Cekoak Pesawaran saat melakukan kegiatan diksar merupakan salah satu tindak
pidana yang menyebabkan kematian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimanakah analisis kriminologis terhadap terjadinya kejahatan kekerasan
oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam yang mengakibatkan kematian, (2)
Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap kejahatan kekerasan oleh Unit
Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam yang mengakibatkan kematian.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif yaitu pengambilan data dengan melihat kaidah hukum tertulis
dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris yaitu menggali informasi dan
melakukan penelitian di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis dengan analisis kualitatif,
yaitu memaparkan kenyataan-kenyataan yang didasarkan atas hasil penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan yaitu faktor penyebab terjadinya kejahatan
kekerasan adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor
genetik atau keturunan dari pelaku, adanya dorongan insting dari alam bawah
sadar manusia, serta serta daya emosional. Faktor eksternal meliputi faktor
lingkungan, faktor tontonan, dan lemahnya SOP. Serta faktor lain yang
mempengaruhi tindak kejahatan kekerasan yaitu adanya ketersediaan target yang
sesuai, tidak adanya pengawal atau pengawas, dan adanya/munculnya motivasi
dari pelanggar (the routine activities theory). Upaya penanggulangan yang
dilakukan dalam menanggulangi kasus tesebut dilakukan dengan upaya Penal dan
Non Penal. Upaya Penal dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tindakan
penyelidikan yang bertujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan agar
penyidikan dapat ditindak lanjuti, selanjutnya penyidikan yaitu mengumpulkan
bukti bukti untuk menemukan pelaku tindak pidana, pemeriksaan yaitu
mengumpulkan dan atau mengolah data dengan wawancara atau interview,
pemanggilan yaitu memanggil saksi-saksi yang dianggap mengetahui dan ada di
TKP, penggeledahan yaitu tindakan pemeriksaan untuk mengumpulkan barang
Khiki Dea Arisca
dan bukti dan informasi terkait kasus, serta pemberkasan yaitu hasil dari
penyidikan dan keterangan korban, saksi-saksi dan terlapor dalam kasus kejahatan
kekerasan ini akan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan
berpedoman pada KUHAP, KUHP, dan Perkapolri. Upaya Non Penal meliputi:
melakukan pencegahan dengan mengadakan penyuluhan ke mahasiswa melalui
UKM dan Organisasi, adanya peran dosen atau panitia penanggungjawab dalam
mengawasi jalannya kegiatan, juga adanya partisipasi dari universitas atau rektor.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan Polres Pesawaran lebih tegas dalam
memberikan sanksi kepada pelaku agar tidak terulang kembali kasus serupa dan
tidak ada kasus kejahatan kekerasan yang merugikan hingga mengakibatkan
kematian, harus memberikan penyuluhan tentang akibat yang ditimbulkan dari
pelanggaran hukum. Diharapkan kepada pihak universitas agar lebih memperketat
pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa yang dilakukan baik di sekitar kampus
maupun di luar kampus Universitas Lampung. Diperlukan adanya peran dari
pihak dosen untuk mengawasi jalannya kegiatan yang dilakukan mahasiswa untuk
meminimalisir tindak kejahatan kekerasan.
Kata Kunci : Analisis kriminilogis, kekerasan, mahasiswa pecinta alam. Violent crime by Student Association for Environmental and Adventure Activity
is one of the crimes that causes death. The problems in this study were: (1) How is
the criminological analysis of the occurrence of violent crimes by Student
Association for Environmental and Adventure Activity that causes death, (2) How
are the preventions of violent crimes by Student Association for Environmental
and Adventure Activity that causes death.
Study approach that was used in this study were normative juridical approach
which was to take data by looking at written legal norms and was supported by an
empirical juridical approach which was to dig up information and conduct
research in the field. Data collection was carried out with literature and field
studies, then the data were analyzed qualitatively, which described the facts based
on the research results.
Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the
factors causing violent crime were internal and external factors. Internal factors
include genetic factors or heredity from the perpetrator, instinct from the human
subconscious, and emotional power. External factors include environmental
factors, impact of films, and weakness of standard operating procedures (SOP).
Other factors that influence violent crime were a suitable target, the absence of a
capable guardian, a motivated offender (the routine activities theory).
Countermeasures in handling these cases were carried out with Penal and Non-
Penal measures. Penal efforts undertaken in handling this case must go through
several stages, namely the act of investigation, investigation, prosecution as well
as examining and adjudicating in accordance with the Criminal Procedure Code,
the Criminal Code, and Perkapolri. Non-Penal Efforts were held socializations to
students through UKM and organizations, the role of the lecturer or committee in
charge of overseeing the activities.
Suggestions in this study are that it is hoped that the Pesawaran Police will be
more assertive in giving sanctions to perpetrators so that similar cases do not recur
Khiki Dea Arisca
and there are no cases of violent crimes that are caused to death, must provide
counseling about the consequences of violating the law. It is hoped that the
university will further tighten supervision of student activities carried out both
around the campus and outside the Lampung University campus. It is necessary
for the role of the lecturer to supervise the activities carried out by students to
minimize violent crimes.
Keywords : Criminological analysis, violent crimes, Students association for
environmental and adventure activity.1652011259 Khiki Dea Ariscakhikidea@gmail.com2022-04-27T02:49:36Z2022-04-27T02:49:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60565This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/605652022-04-27T02:49:36ZUPAYA PENANGGULANGAN ATAS KELALAIAN DALAM
PENATALAKSANAAN LIMBAH MEDIS
DI BANDAR LAMPUNGSubdit Tipidter Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda
Lampung mulai melakukan penyelidikan terkait pembuangan limbah medis di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Teluk Betung Bandar Lampung.
Sebelumnya Kasubdit Tipidter IV Ditreskrimsus Polda Lampung turun langsung
ke TPA Bakung melakukan penyelidikan terkait laporan penemuan sampah medis
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) ditumpukan sampah seluas 20 meter persegi
tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah
penanggulangan atas kelalaian dalam penatalaksanaan limbah medis di Bandar
Lampung dan 2) Apa sajakah faktor penghambat penanggulangan atas kelalaian
dalam penatalaksanaan limbah medis di Bandar Lampung.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan
adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan. Adapun narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Rumah Sakit Urip Sumoharjo Kota Bandar Lampung, Dinas Lingkungan
Hidup (DLH) Kota Bandar Lampung, Diterkrimsus Polda Lampung dan Dosen
Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, analisis data yang
digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penanggulangan atas kelalaian dalam
penatalaksanaan limbah medis di Bandar Lampung dilakukan dengan dua cara
yaitu upaya penal dan non penal. Upaya penal dilakukan dengan cara menerapkan
sanksi pidana terhadap pihak yang secara sah dan menyakinkan melakukan
kelalaian dalam penatalaksanaan limbah medis, sedangkan upaya non penal
dilakukan cara penyelesaian sengketa secara administratif terhadap orang maupun
intsansi rumah sakit atas atas kelalaiannya dalam penatalaksanaan limbah medis.
(2) Faktor penghambat penanggulangan atas kelalaian dalam penatalaksanaan
limbah medis di Bandar Lampung berasal faktor perundang-undangan seperti
penerapan undang-undang yang belum tegas terhadap orang atau instansi yang
melakukan kelalaian dalam pengelolaan limbah medis. Faktor penegak hukum
pun dapat menjadi faktor penghambat seperti kurangnya jumlah petugas penegak
hukum yang ahli dalam bidang lingkungan khususnya limbah dan kurangnya
koordinasi antar penegak hukum seperti koordinasi pihak kepolisian dengan dinas
lingkungan hidup serta pihak terkait lainnya. Serta faktor sarana dan fasilitas yang3
mendukung, terutama sarana dan fasilitas limbah yang ada di rumah sakit yang
masih kurang.
Berdasarkan simpulan di atas, hendaknya Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk
mengoptimalkan penanggulangan atas kelalaian dalam penatalaksanaan limbah
medis melalui badan-badan yang terkait lebih tegas lagi dalam melakukan
pengawasan dan pembinaan serta penyuluhan terhadap rumah sakit khususnya
pada sistem penatalaksanaan limbah medis. Pengawasan dan pembinaan agar
rumah sakit dapat mematuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dengan melakukan penyuluhan mengenai bahaya pembuangan limbah
medis terhadap manajemen rumah sakit. Serta bekerja sama dengan pihak
Kepolisian dalam penyelidikan kelalaian dalam penatalaksanaan limbah medis
oleh rumah sakit. Diharapkan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar
Lampung dalam rangka mengatasi faktor penghambat penanggulangan atas
kelalaian dalam penatalaksanaan limbah medis untuk membentuk sebuah tim
untuk bekerja sama dalam melakukan penegakan hukum lingkungan terkait
pembuangan limbah medis di wilayah Kota Bandar Lampung sehingga dapat
memudahkan dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penatalaksanaan limbah medis oleh rumah sakit.
Kata Kunci: Penanggulangan, Kelalaian, Penatalaksanaan Limbah Medis.1852011030 Velia Dwi Permata Putriveliadwi.permatap05@gmail.com2022-04-27T02:24:52Z2022-04-27T02:24:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60549This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/605492022-04-27T02:24:52ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA PELANGGARAN LARANGAN
MASYARAKAT MENGAWAL DAN MEMBUKAKAN JALAN
MOBIL AMBULANS
(Studi pada Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Lampung)Mobil ambulans merupakan salah satu kendaraan yang harus diberi prioritas di
jalan raya. namun terkadang masih banyak pengguna jalan yang kurang peduli
ketika ada mobil ambulans lewat dalam kondisi darurat. Faktor kemacetan dan
ketidaksadaran masyarakat sekitar akan keberadaan ambulans meskipun sirine
dibunyikan yang membuat masyarakat ingin mengawal dan membukakan jalan
ambulans agar ambulans segera tiba di rumah sakit. hal ini yang membuat penulis
tertarik untuk mengkaji bagaimanakah penegakan hukum pidana pelanggaran
larangan masyarakat mengawal dan membukakan jalan mobil ambulans dan
apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana
pelanggaran larangan masyarakat mengawal dan membukakan jalan mobil
ambulans.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan
data sekunder. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Kasi Audit dan Inspeksi
DITLANTAS Polda Lampung, Kasi Pelanggaran Subdit Penegakan Hukum
DITLANTAS Polda Lampung, Supir Ambulans Pospera dan Akademisi Bagian
Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan bahwa dalam
penegakan hukum pidana yang dilakukan kepolisian dalam pelanggaran larangan
masyarakat yang mengawal dan membukakan mobil ambulans melalui tahap-
tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi. Dalam penegakan hukumnya polisi
melakukan peranannya sesuai dengan Pasal 287 Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Terdapat juga faktor-faktor
Novian Nurdinsyah
penghambat dalam penegakan hukum pidana pelanggaran larangan masyarakat
yang mengawal dan membukakan mobil ambulans ini yang paling dominan
adalah faktor masyarakatnya sendiri yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
pengawalan terhadap ambulans ini sendiri.
Saran dalam penelitian ini yaitu perlu ditingkatkannya kesadaran hukum didalam
masyarakat karena kesadaran hukum masyarakat yang rendah dapat menjadi
faktor penghambat yang paling dominan polisi dalam melakukan penegakan
hukum pidana khususnya penegakan hukum pidana pelanggaran larangan
masyarakat yang mengawal dan membukakan jalan mobil ambulans.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Kepolisian, Pengawalan, Ambulans 1712011139 NOVIAN NURDINSYAHnoviannurdinsyah@gmail.com2022-04-26T05:20:02Z2022-04-26T05:20:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60509This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/605092022-04-26T05:20:02ZPENERAPAN PERATURAN KEJAKSAAN AGUNG RI NO 15 TAHUN 2020 TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
(Studi pada Kejaksaan Negeri Tulang Bawang)
Berbagai kasus kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) seringkali terjadi di berbagai wilayah di tanah air, salah satunya adalah Lakalantas yang melibatkan oknum anggota Polres Mesuji. Penyelesaian suatu perkara melalui restorative justice pada kasus kali ini berdasarkan ketenuan Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah penerapan peraturan kejaksaan agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam kecelakaan lalu lintas dan apakah faktor penghambat penerapan peraturan kejaksaan agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam kecelakaan lalu lintas.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, Banit Laka Sat Lantas Polres Mesuji dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penerapan Peraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan restoratif dalam kecelakaan lalu lintas telah terlaksana, dimana perkara yang berhasil diselesaikan melalui upaya perdamaian Penerapan restorative justice dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas diterapkan dengan syarat: pemulihan kembali pada keadaan semula, adanya perdamaian antara korban dan tersangka, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana yang diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 (lima) tahun dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian ketentuan minimal ancaman lebih dari 5 (lima) tahun dapat dikecualikan serta mengganti kerugian dan mengganti biaya yang timbul dari akibat tindak pidana. Faktor penghambat penerapan Peraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Dalam Kecelakaan Lalu Lintas adalah faktor masyarakat dimana adanya perbedaan pandangan mengenai makna keadilan oleh pihak korban, keluarga pihak korban, pelaku, keluarga pihak pelaku, aparat penegak hukum, dan masyarakat terhadap penerapan restorative justice dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui upaya perdamaian berupa penghentian penuntutan yang didasarkan pada keadilan restoratif. Serta Faktor hukumnya sendiri yaitu tidak konsistennya terhadap pelaksanaan peraturan terkait, khususnya yang diatur dalam Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dihubungkan dengan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Saran, diharapkan kepada aparat penegakan hukum seperti Kepolisian dan Pengadilan Negeri untuk dapat mengaplikasikan suatu penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan melalui restorative justice yang dapat memberikan keputusan yang dibangun oleh para pihak sendiri (win win solution) yang lebih mencerminkan rasa keadilan. Selain itu diperlukannya koordinasi antar penegak hukum atau persamaan persepsi, kesepahaman konsep keadilan restoratif para Aparat Penegak Hukum (APH), dukungan infrastruktur (anggaran & sarpras), kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), serta penyuluhan terhadap masyarakat mengenai pemaparan upaya perdamaian berupa penghentian penuntutan yang didasarkan pada keadilan restoratif.
Kata Kunci: Penerapan, Peraturan Kejaksaan Agung, Penghentian Penuntutan, Keadilan Restoratif, Kecelakaan Lalu Lintas.
Various cases of traffic accidents (Lakalantas) often occur in various areas in the country, one of which is Lakalantas which involves members of the Mesuji Police. The settlement of a case through restorative justice in this case is based on the provisions of Article 5 Paragraph (1) of the Republic of Indonesia Prosecutor's Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice. The problems in this study are 1) How is the application of the Indonesian Attorney General's Regulation No. 15 of 2020 regarding the termination of prosecution based on restorative justice in traffic accidents? and what are the inhibiting factors for the application of the Indonesian Attorney General's Office Regulation Number 15 of 2020 concerning the termination of prosecution based on restorative justice in traffic accidents?
The research method uses a normative and empirical juridical approach, the data used are secondary data and primary data. The study was carried out using literature studies and field studies through interviews with the Prosecutor at the Menggala State Prosecutor, Banit Laka Sat Traffic Mesuji Police and a Lecturer in the Criminal Law Section of the Unila Faculty of Law. The data analysis used is qualitative.
The results of the research and discussion show that the application of the Republic of Indonesia Attorney General's Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on restorative justice in traffic accidents has been carried out, where cases have been successfully resolved through peace efforts . conditions: restoration to its original state, peace between the victim and the suspect, the suspect committing a crime for the first time, a crime punishable by a criminal offense of not more than 5 (five) years in the event that the crime was committed due to negligence of the minimum penalty of more than 5 (five) years (five) years may be excluded as well as compensate for losses and compensate for costs arising from the consequences of a criminal act. The inhibiting factor for the application of the Republic of Indonesia Attorney General's Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice in Traffic Accidents is the community factor where there are different views on the meaning of justice by the victim, the victim's family, the perpetrator, the perpetrator's family, law enforcement officers, and the community towards the application of restorative justice in the process of resolving cases of traffic accidents through peace efforts in the form of cessation of prosecution based on restorative justice. And the legal factor itself is inconsistent with the implementation of related regulations, especially those stipulated in Article 310 Paragraph (4) of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation which is linked to the Attorney General's Regulation No. 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice.
Suggestions, it is hoped that law enforcement officers such as the Police and District Courts can apply a settlement of criminal cases outside the court through restorative justice which can provide decisions built by the parties themselves (win win solutions) that better reflect a sense of justice. In addition, there is a need for coordination between law enforcers or shared perceptions, understanding the concept of restorative justice for Law Enforcement Officials (APH), infrastructure support (budget & infrastructure), readiness of Human Resources (HR), as well as outreach to the community regarding the presentation of peace efforts in the form of stopping prosecution. based on restorative justice.
Keywords: Application, Attorney General's Regulations, Termination of Prosecution, Restorative Justice, Traffic Accidents.
1752011017 PERA ANTIKA antikapera43@gmail.com2022-04-26T02:11:54Z2022-04-26T02:11:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60491This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/604912022-04-26T02:11:54ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENERBITAN FAKTUR PAJAK YANG TIDAK SESUAI DENGAN TRANSAKSI SEBENARNYA
(Studi Putusan Nomor: 343/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk membayar Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)
sebesar 10% dari Nilai Transaksi yang Tertera dalam Faktur Penjualan. Pada
kenyataannya terdapat PKP yang menerbitkan faktur pajak yang tidak sesuai
dengan transaksi sebenarnya dengan tujuan untuk memperkecil besarnya PPN
yang harus dibayarkan pada negara. Permasalahan penelitian adalah: (1)
Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi
sebenarnya (2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak
pidana penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya
sudah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penerbitan faktur pajak yang
tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya dalam Putusan Nomor:
343/Pid.Sus/2021/PN.Tjk secara yuridis yaitu hakim menjatuhkan putusan
berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan memenuhi minimal dua
alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, sehingga hakim berkeyakinan
bahwa perbuatan pelaku terbukti secara sah menyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta Undang-Undang Cipta
Kerja. Pertimbangan yuridis lainnya adalah hal-hal yang memberatkan yaitu
perbuatan terdakwa merugikan pendapatan negara dan terdakwa sudah pernah
dihukum. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan selama
persidangan dan telah dilakukan upaya pembayaran dalam rangka pengungkapan
ketidakbenaran sebagai pengurang kerugian pada pendapatan negara. Secara
filosofis hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang dijatuhkan sebagai
pemidanaan dan dapat memberikan efek jera karena pidana penjara yang
dijatuhkan hakim yaitu 2 tahun 6 bulan tidak jauh berbeda dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum yaitu 3 tahun. Selain itu terdakwa dijatuhi pidana denda
sebanyak 2 (dua) kali dari jumlah pajak yang tidak disetor oleh Terdakwa yaitu
Rp8.391.802.082,00 (delapan miliar tiga ratus sembilan puluh satu juta delapan
ratus dua ribu delapan puluh dua rupiah). Secara sosiologis hakim
mempertimbangkan latar belakang terdakwa yang sudah pernah dihukum dan
mempertimbangkan bahwa putusan yang dijatuhkan dapat bermanfaat bagi
masyarakat. (2) Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana
penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya dalam
Putusan Nomor: 343/Pid.Sus/2021/PN.Tjk telah sesuai dengan fakta yang
terungkap di persidangan, yaitu adanya keterangan para saksi yang saling
bekesesuaian, keterangan terdakwa yang mengakui perbuatannya serta adanya alat
bukti berupa surat yaitu faktur penjualan yang tidak sesuai dengan transaksi
sebenarnya yang digunakan oleh terdakwa dalam melakukan tindak pidana.
Hakim berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut memperoleh petunjuk bahwa
telah terjadi tindak pidana penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan
transaksi sebenarnya yang dilakukan oleh terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim hendaknya lebih optimal dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana menggunakan faktur pajak
yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya, karena tindak pidana ini
merupakan jenis tindak pidana ekonomi yang sangat merugikan penerimaan
negara atas pajak, yang pada dasarnya merugikan kepentingan masyarakat umum.
(2) Pemerintah melalui instansi terkait disarankan untuk memperketat aturan atau
regulasi mengenai penerbitan faktur pajak penjualan agar sesuai dengan transaksi
yang sebenarnya, misalnya dengan menunjuk pihak ketiga yang independent
untuk melegalisasi atau mengesahkan faktur pajak tersebut, sehingga tindak
pidana ini dapat diantisipasi.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Penerbitan Faktur Pajak, Tidak
Sesuai dengan Transaksi Sebenarnya1812011291 M. DZAKY AL-RAFIDzakyalrafi12@gmail.com2022-04-21T07:52:27Z2022-04-21T07:52:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60334This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/603342022-04-21T07:52:27ZANALISIS KESALAHAN PROSEDUR OLEH PIHAK KEPOLISIAN YANG MENYEBABKAN KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
( Studi Polres Lampung Utara )Kesalahan prosedur oleh pihak kepolisian dalam menetapkan tersangka
menyebabkan munculya korban salah tangkap yang merugikan tidak hanya
kepada masyarakat atau orang yang tidak bersalah melainkan juga kepada nama
baik institusi yaitu Kepolisian. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimana prosedur pihak Kepolisian dalam menentapkan tersangka dalam tindak
pidana pembunuhan dan Bagaimana akibat hukum terhadap pihak kepolisian yang
menyebabkan salah tangkap dalam suatu tindak pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis Normatif dan yuridis empiris yaitu
pendekatan yang didasarkan pada perundang-undangan, teori-teori dan konsepkonsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian berupa asas-asas, nilainilai, serta dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, data terdiri dari
data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data
sekunder yang kemudian di analisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan, prosedur yang dilakukan Penyidik Reskrim Polres
Lampung Utara dalam menetapkan tersangka tindak pidana pembunuhan
seharusnya mengikuti Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Penetapan tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup
minimal dua alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Alat bukti ditentukan melalui gelar perkara dan
keyakinan Penyidik yang secara objektif mendasarkan alat bukti tersebut telah
terjadi tindak pidana. Akibat hukum terhadap penyidik Reskrim Polres Lampung
Utara dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona berupa penjatuhan
sanksi pidana jika penyidik dalam melakukan upaya paksa terhadap tersangka
menimbulkan pelanggaran terhadap hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan hak asasi dan Selain
itu diberi sanksi pelanggaran kode etik jika penyidik dalam wewenangnya
melanggar atas hak warga negara berkaitan langsung dengan penyalahgunaan
wewenang oleh anggota Polri yang dilarang.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian dalam menetapkan tersangka agar
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan,
supaya tidak menghilangkan rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas polisi
dalam memberi jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat. Pentingnya
Penegakan hukum pidana yang tegas dan pemberian sanksi terhadap oknum polisi
dalam hal terjadinya salah tangkap bukan hanya peraturannya tetapi dalam
penerapan juga.
Kata Kunci : Kesalahan Prosedur, Korban Salah Tangkap, Kepolisian1812011235 ARSAEL JASOND DICKWAHYUDI SIANTURIarsael.sianturi01@gmail.com2022-04-20T05:07:39Z2022-04-20T05:07:39Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58459This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584592022-04-20T05:07:39ZANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAKAN PENGANIAYAAN OLEH
PENGEMUDI TRANSPORTASI KONVENSIONAL TERHADAP
PENGEMUDI TRANSPORTASI ONLINE
Tindakan penolakan oleh ojek pangkalan terhadap keberadaan Go-Jek ini telah
menjadi fenomena yang tidak asing lagi dibeberapa wilayah tempat beroperasinya
Go-Jek. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor penyebab pelaku
melakukan tindakan penganiayaan oleh pengemudi transportasi konvensional
terhadap pengemudi transportasi online? dan bagaimanakah upaya
penanggulangan tindak pidana penganiayaan oleh pengemudi transportasi
konvensional terhadap pengemudi transportasi online?
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris dan normatif. Sumber data
yang didapat dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian
lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan faktor penyebab terjadinya
kekerasan terhadap pelaku transportasi online adalah karena faktor persaingan
usaha yang dengan hadirnya mode transporatasi yang baru, sehingga merasa
tersaingi sampai berakibat pada kekerasan, faktor pengawasan yang masih
dianggap kurang sehingga member peluang bagi pelaku untuk melakukan
tindakan kekerasan terhadap orang lain, dan yang terakhir adalah faktor
kedudukan hukum yang belum jelas yang dimiliki oleh para mitra kerja
transportasi online sehingga menimbulkan protes dari berbagai pihak yang
berakibat pada tindakan kekerasan. Upaya penanggulangan tindak pidana
penganiayaan oleh pengemudi transportasi konvensional terhadap pengemudi
transportasi online adalah upaya pre-emtif. upaya preventif (pencegahan) dan
upaya represif (penindakan).
Saran, pemerintah diharapkan dapat memberikan solusi yang baik dengan
menentukan tarif angkut yang sama bagi semua angkutan umum dan memperbaiki
pelayanan dan kenyamanan dari moda transportasi umum konvensional dan bagi
seluruh masyarakat khususnya para pihak yang terkait dalam bidang angkutan
umum, agar lebih saling menghargai satu sama lainnya dengan tidak melakukan
tindakan mengancam, atau bahkan mencederai orang lain sehingga dapat
merugikan orang lain maupun diri sendiri.
Kata Kunci: Penganiayaan, transportasi konvensional, transportasi online
The act of refusal by the motorcycle taxi to the existence of Go-Jek has become a
familiar phenomenon in several regions where Go-Jek operates. The problem in
this study is whether the factors causing perpetrators to commit acts of
persecution by conventional transportation drivers to drivers of online
transportation? and how are the efforts to deal with criminal acts of abuse by
conventional transport drivers against drivers of online transportation?
The problem approach is done empirically and normatively. Sources of data
obtained using primary data and secondary data. Data collection procedures are
carried out by means of library studies and field research. Data analysis in this
study uses qualitative analysis.
The results of the study show that the factors that cause violence against online
transportation actors are due to business competition factors with the presence of
new modes of transportation, so that they feel competitive to the point that they
result in violence, supervision factors that are still considered lacking so as to
provide opportunities for perpetrators to commit acts of violence against others
and the last is the unclear legal position factor that is owned by online
transportation partners, which has caused protests from various parties that have
resulted in acts of violence. Efforts to tackle criminal acts of persecution by
drivers of conventional transportation to drivers of online transportation are preemptive efforts. Preventive efforts (prevention) and repressive efforts (repression).
Suggestions, the government is expected to provide a good solution by
determining the same transportation rates for all public transports and improving
the service and comfort of conventional public transportation modes and for all
people, especially the parties involved in the field of public transport, to be more
respectful of each other by not threatening or even injuring others so that they can
harm others or themselves
Keywords: Criminal acts, persecution, conventional transportation, online
transportation1442011019 M. AJI ALIEF RIANTO-2022-04-20T05:07:37Z2022-04-20T05:07:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58456This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584562022-04-20T05:07:37ZPERSPEKTIF PENERAPAN PIDANA ADAT DALAM PEMBAHARUAN
PEMIDANAAN PADA RUU KUHPKeberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki Hukum
Pidana Adat yang berbeda sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah tersebut
dengan ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan Saat ini penyelesaian
perkara pidana menggunakan hukum adat sudah sangat jarang sekali dilakukan,
padahal penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat bisa menjadi alternatif
jalan tengah bagi permasalahan hukum pidana di Indonesia. kontradiksi penerapan
pemidanaan menurut hukum adat dengan hukum positif kita di Indonesia yang
menjadi masalah yang harus diselesaikan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimana
rancangan formulasi penerapan pidana adat pada RUU KUHP? Bagaimanakah
perspektif penerapan dalam pembaharuan pemidanaan di Indonesia?. Penelitian
ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian normatif
dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan
pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataannya baik berupa penilaian perilaku.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa :
rancangan formulasi penerapan pidana adat pada RUU KUHP dalam substansinya
tidak menghilangkan asas fundamental yakni asas legalitas Tetapi pada Pasal 1
ayat (3) RUU tegas disebutkan bahwa ketentuan nullum delictum tadi tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat. Dalam formulasi
RUU KUHP menjelaskan bahwa dalam ketentuan Pasal 2 RUU KUHP disebutkan
bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat dapat menentukan seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. Meski demikian, dipersyaratkan bahwa hukum yang hidup dalam
masyarakat tersebut berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945), hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang
diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu
M Oktazan Dirgantara
hidup. Artinya kendati seseorang melakukan perbuatan yang tidak diatur oleh
Undang-undang Negara yang tetulis, namun perbuatan tersebut melanggar hukum
adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat, maka seseorang tersebut tetap
dapat dipidana. Perspektif penerapan pidana adat dalam pembaharuan pemidanaan
di Indonesia mengenai penerapan hukum pidana adat sebagai kontribusinya dalam
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia sebagai contoh masyarakat adat
Megoupak Tulang Bawang masih hidup di dalam masyarakat, hanya saja tidak
terlalu menonjol. Berkaitan dengan sanksi pidana belum ada karena hukum adat
hanya memberikan sanksi sosial ataupun denda, Masyarakat adat Megoupak
sendiri belum memiliki hukum sendiri karena untuk memutus sesuatu perkara adat
masih dalam musyawarah bersama antara ketua adat dan pemuka adat lain, mau
tidak mau harus diakui oleh pemerintah karena dalam undang-undang masyarakat
adat diakui oleh negara, jadi memang secara ius constitundum hukum adat
memang telah diperhitungkan sebagai hukum jati diri bangsa Indonesia buktinya
didalam RUU KUHP telah memasukan unsur tindak pidana adat sebagai
konsekuensi hukum yang harus diperhitungkan.
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi saran penulis adalah: Hendaknya
pemerintah segera merealisasikan RUU KUHP sebagai bentuk wujud
implementasi hukum kodifikasi yang dibuat oleh bangsa sendiri mengingat di
dalam substansinya hukum adat diperhitungkan sebagai hukum yang berlaku di
Indonesia;Sebaiknya pidana adat ketika diterima sebagai hukum positif di
Indonesia dimasa yang akan datang kelak harus memperhatikan juga Hak Asasi
Manusia, Agama dan juga keseimbangan antara lelaku dan juga perempuan.
Kata Kunci : Perspektif Penerapan Pidana, Pidana Adat, RUU KUHP1212011182 M OKTAZAN DIRGANTARA-2022-04-20T05:07:34Z2022-04-20T05:07:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58453This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584532022-04-20T05:07:34ZUPAYA BATALYON PELOPOR SATUAN BRIMOB POLDA LAMPUNG
DALAM PENANGGULANGAN UNJUK RASA YANG DISERTAI
DENGAN KEKERASANUnjuk rasa secara ideal seharusnya dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggung
jawab, namun pada kenyataannya sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku
yang mengarah pada tindak pidana seperti kekerasan, pengerusakan dan anarkhis.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah upaya Batalyon Pelopor
Satuan Brimob Polda Lampung dalam penanggulangan unjuk rasa yang disertai
dengan kekerasan? Apakah faktor penghambat upaya Batalyon Pelopor Satuan
Brimob Polda Lampung dalam penanggulangan unjuk rasa yang disertai dengan
kekerasan?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi
lapangan. Narasumber penelitian terdiri dari Anggota Batalyon Pelopor Satuan
Brimob Polda Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan: Upaya Batalyon Pelopor Satuan
Brimob Polda Lampung dalam penanggulangan unjuk rasa yang disertai dengan
kekerasan dilaksanakan secara non penal dan penal. Upaya non penal dilakukan
dengan pengamanan secara wajar tanpa melakukan kekerasan dan melakukan
negosiasi dengan pengunjuk rasa dan menghimbau agar situasi menjadi kembali
kondusif dan aman. Upaya penal dilakukan dengan penggunaan kekuatan secara
bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian dan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku yang
melakukan kekerasan dalam unjuk rasa. Faktor-faktor penghambat upaya Batalyon
Pelopor Satuan Brimob Polda Lampung dalam penanggulangan unjuk rasa yang
disertai dengan kekerasan terdiri dari: faktor Perundang-undangan yaitu UndangUndang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum yang sering disalah tafsirkan oleh para pengunjuk rasa; faktor
penegak hukum yaitu petugas di lapangan terpancing oleh situasi yang berkembang
Leonardo Akbar
di lapangan; faktor sarana dan prasarana yang kurang mengantisipasi jumlah
pengunjuk rasa yang sangat besar; faktor masyarakat yaitu adanya para massa
bayaran dalam pelaksanaan unjuk rasa.
Saran dalam penelitian ini adalah: Anggota Satuan Brimob Polda Lampung
hendaknya meningkatkan profesionalisme dalam pengamanan unjuk rasa dengan
tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas kewajaran kepada pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa disarankan untuk secara optimal memahami hak dan kewajiban
dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum serta melaksanakan hak
dan kewajiban tersebut secara seimbang.
Kata Kunci: Upaya Penanggulangan, Unjuk Rasa, Kekerasa1412011207 LEONARDO AKBAR-2022-04-20T05:07:33Z2022-04-20T05:08:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58451This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584512022-04-20T05:07:33ZPERAN DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN POLDA LAMPUNG DALAM
MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN DAN TANPA IZIN
PENGANGKUTAN BBM JENIS SOLAR DI PERAIRAN LAUT LAMPUNG
( Studi pada Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung)Tindak pidana penyalahgunaan dan tanpa izin pengangkutan terhadap BBM jenis
solar yang terjadi di perairan Laut Lampung merupakan tindak pidana yang harus
ditanggulangi dalam rangka menjamin ketersedian dan kelancaran pendistribusian
BBM. Sehubungan dengan hal tersebut maka Ditpolair Polda Lampung
melaksanakan peran sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang yang
dimiliki.Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah peran Ditpolair Polda
Lampung dalam mengatasi perkara penyalahgunaan dan tanpa izin pengangkutan
BBM jenis solar yang terjadi di Perairan Laut Lampung. Apakah faktor
penghambat peran Ditpolair Polda Lampung dalam penanganan perkara tindak
pidana penyalahgunaan dan tanpa izin pengangkutan BBM jenis solar yang terjadi
di Perairan Laut Lampung.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber penelitian terdiri dari Penyidik Ditpolair Polda Lampung dan Dosen
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Peran Ditpolair Polda
Lampung dalam mengatasi perkara tersebut termasuk dalam peran normatif dan
faktual. Peran normatif dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
sedangkan peranan faktual dilaksanakan dengan tindakan penyidikan. Penyidikan
dilaksanakan dengan serangkaian tindakan yang ditempuh oleh penyidik menurut
cara yang diatur dalam undang-undang. (2) Faktor yang menghambat peran
Ditpolair Polda Lampung dalam penanganan perkara tindak pidana pengangkutan
BBM jenis solar secara illegal yang terjadi di Perairan Laut Lampung terdiri dari
faktor sarana dan prasarana, yaitu adanya disparitas harga solar dan keterbatasan
Kurnia Hayu
faktor sarana dan prasarana patroli pada Ditpolair Polda Lampung, sehingga
terkadang menjadi kendala.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pihak Ditpolair Polda Lampung disarankan
untuk melaksanakan upaya sosialisasi kemasyarakat akan peraturan yang
mengatur tentang pengangkutan BBM, serta pentingnya kesadaran masyarakat
akan distribusi BBM yang tepat sasaran, guna mencapai efisiensi dan efektifitas
dalam sistem peradilan pidana. (2) Ditpolir Polda Lampung disarankan untuk
mengembangkan jaringan kerja sama dengan berbagai pihakguna mengantisipasi
berkembangnya tindak pidana pengangkutan BBM jenis solar secara illegal di
perairan Laut Lampung.
Kata Kunci: Peran Kepolisian Perairan, Pengangkutan Solar,Illega1542011081 KURNIA HAYU-2022-04-20T05:07:31Z2022-04-20T05:07:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58449This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584492022-04-20T05:07:31ZPERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT
JENDRAL BEA DAN CUKAI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA PEREDARAN ROKOK ILEGAL
(Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai
Bandar Lampung)Upaya pemerintah untuk memberantas setiap tindak kejahatan adalah bertujuan
untuk menciptakan suasana yang tentram serta damai agar pelaksanaan
pembangunan dapat berjalan lancar tanpa memenuhi hambatan yang berarti.
Peredaran barang ilegal adalah salah satu jenis kejahatan yang sangat
membahayakan perekonomian negara, apalagi Negara Indonesia harus
mewujudkan cita-cita yang ada dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yaitu memajukan kesejahteraan umum. Permasalahan dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut: Bagaimanakah peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dalam penyidikan tindak pidana peredaran rook ilegal?
Apa sajakah hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai dalam penyidikan tindak pidana peredaran rokok ilegal?
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan, sedangkan
data primer adalah data yang diperoleh langsng dari penelitian di lapangan dengan
cara melakukan wawancara dengan narasumber.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: bentuk
pengawasan dan penegakan hukumterhadap peredaran rokok ilegal yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah melalui pengendalian
produksi di wilayah pemasok cukai hasil tembakau ilegal dan pengendalian
peredaran di wilayah peredaran cukai hasil tembakau ilegal. Selain itu
pengendalian terhadap peredaran rokok ilegal juga dilakukan melalui
koordinasi. Sedangkan Penegakan hukumnya melalui Penindakan dan
Penyidikan (P2) dalam melakukan penindakan dan penegakan peraturan
terhadap peredaran rokok ilegal. Faktor yang dapat menghambat Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka efektifitas pengawasan dan penegakan
hukum terhadap peredaran rokok ilegal adalah masih kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap peredaran rokok ilegal, masih lemahnya pengawasan dan
penindakan yang dilakukan oleh aparat terkait, masih kurangnya kesadaran
Kharel Prames Triargo
produsen rokok dalam memproduksi rokok ilegal (keuntungan dengan modal
dagang yang kecil), masih lemahnya aturan atau regulasi terhadap peresdaran
rokok ilegal, adanya kenaikan tarif cukai. Langkah-langkah yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam mengatasi faktor penghambat
efektifitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal
adalah melalui program sosialisasi dan melalui evaluasi langsung dilapangan.
Selain itu juga perlu adanya penyederhanaan struktur tarif cukai dan
penindakan yang intensitasnya rutin untuk memberi sinyal terhadap produsen
agar tidak melakukan praktik-praktik yang curang.
Saran yang diberikan penulis berkaitan dengan peranan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Direktorat Bea dan Cukai dalam penyidikan tindak pidana
peredaran rokok ilegal adalah sebagai berikut: Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai diharapkan dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap peredaran rokok ilegal untuk lebih tegas lagi, pencarian solusi
terhadap permasalahan tersebut diharapkan dapat dilakukan bersama dengan
dinas instansi terkait. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai diharapkan dalam mengatasi faktor penghambat
efektifitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal
tidak hanya berhenti pada program yang sudah ada, melainkan harus tetap
melakukan kajian secara mendalam dalam berbagai aspek permasalahan yang
belum terselesaikan, sehingga permasalahan tentang peredaran rokok ilegal
benar-benar dapat dihentikan.
Kata kunci: Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Penyidikan, Peredaran
Rokok Ilegal.1212011164 Kharel Prames Triargo-2022-04-20T05:07:28Z2022-04-20T05:07:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58448This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584482022-04-20T05:07:28ZPERAN DIREKTORAT TINDAK PIDANA SIBER BARESKRIM DALAM
PENANGGULANGAN KEJAHATAN PEMALSUAN SURAT
KETERANGAN SAKIT MELALUI MEDIA ONLINEDirektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim memiliki tugas dan tanggung jawab
melakukan proses penyelidikan serta penyidikan, atau melakukan pencegahan
maupun pencegahan dan penegakan hukum di dunia maya yang berkaitan dengan
internet. Bermula informasi dari Kementerian Kesehatan bahwa telah beredar surat
sakit yang diperjualbelikan melalui media sosial yang kemudian ditindak lanjuti oleh
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim dengan melakukan penyelidikan serta
penyidikan yang dilakukan oleh Satgas e-Commerce Direktorat Tindak Pidana Siber
Bareskrim. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dirumuskan permasalahan hukum
mengenai peran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim dalam penanggulangan
kejahatan pemalsuan surat keterangan sakit melalui media online dan faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum kejahatan pemalsuan surat keterangan sakit
melalui media online.
Pada penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan ini dengan
cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan Peran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim
Dalam Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Surat Keterangan Sakit Melalui Media
Online sesuai dengan peranan normatif dan peranan faktual. Peran normatif yang
dimiliki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim ialah berperan dalam hal
penegakan hukum di Bidang ITE yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan peran faktual Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim ialah berperan menyelenggarakan dan membina
fungsi pencegahan yang berhubungan hakikat dengan ancaman di bidang ITE, dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan dengan cara pre-emtif, preventif dan
Kania Khadafi Putra
represif. Upaya pre-emtif dilakukan Kepolisian denga cara melakukan kerja sama
dengan instansi terkait untuk melakukan penyuluhan berkaitan tata cara pembuatan
surat sakit yang sesuai prosedur. Upaya preventif yang dilakukan ialah dengan cara
Press Release baik itu melalui media online, media cetak maupun televisi. Upaya
represif berkaitan dengan penegakan hukum yang berakibat jatuhnya hukuman yang
dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku. Kurangnya pemahaman kepolisian
mengenai teknologi sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala, Sarana dan
prasarana yang belum memadai dalam menunjang kinerja kepolisian, Masih sangat
sedikit jumlah personil, serta kebudayaan yang seiring waktu terkikis oleh
modernisasi sehingga semua menuntut kepraktisan merupakan faktor penghambat
dalam melaksanakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat Tindak
Pidana Siber Bareskrim
Penulis menyarankan kepada pihak kepolisian untuk meningkatkan sarana dan
prasarana yang memadai guna memaksimalkan kinerja dalam melakukan penyidikan
dan penyelidikan. Disertai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas dari kepolisian
itu sendiri dengan cara diberikannya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
teknologi dan informasi khususnya pelatihan di bidang siber serta penambahan
jumlah personil dan peningkatan anggaran yang cukup. Kepolisian perlu mengadakan
sosialisasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini ialah
Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia serta Kementerian Komunikasi dan
Informatika dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak dari
penggunaan surat keterangan sakit palsu dan tata cara membuat surat keterangan sakit
yang sesuai prosedur.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Pemalsuan Surat, Media online1312011157 Kania Khadafi Putra 1312011157-2022-04-20T05:07:26Z2022-04-20T05:07:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58447This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584472022-04-20T05:07:26ZPERAN DIREKTORAT TINDAK PIDANA SIBER BARESKRIM DALAM
PENANGGULANGAN KEJAHATAN PEMALSUAN SURAT
KETERANGAN SAKIT MELALUI MEDIA ONLINEDirektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim memiliki tugas dan tanggung jawab
melakukan proses penyelidikan serta penyidikan, atau melakukan pencegahan
maupun pencegahan dan penegakan hukum di dunia maya yang berkaitan dengan
internet. Bermula informasi dari Kementerian Kesehatan bahwa telah beredar surat
sakit yang diperjualbelikan melalui media sosial yang kemudian ditindak lanjuti oleh
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim dengan melakukan penyelidikan serta
penyidikan yang dilakukan oleh Satgas e-Commerce Direktorat Tindak Pidana Siber
Bareskrim. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dirumuskan permasalahan hukum
mengenai peran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim dalam penanggulangan
kejahatan pemalsuan surat keterangan sakit melalui media online dan faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum kejahatan pemalsuan surat keterangan sakit
melalui media online.
Pada penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan ini dengan
cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan Peran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim
Dalam Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Surat Keterangan Sakit Melalui Media
Online sesuai dengan peranan normatif dan peranan faktual. Peran normatif yang
dimiliki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim ialah berperan dalam hal
penegakan hukum di Bidang ITE yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan peran faktual Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim ialah berperan menyelenggarakan dan membina
fungsi pencegahan yang berhubungan hakikat dengan ancaman di bidang ITE, dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan dengan cara pre-emtif, preventif dan
Kania Khadafi Putra
represif. Upaya pre-emtif dilakukan Kepolisian denga cara melakukan kerja sama
dengan instansi terkait untuk melakukan penyuluhan berkaitan tata cara pembuatan
surat sakit yang sesuai prosedur. Upaya preventif yang dilakukan ialah dengan cara
Press Release baik itu melalui media online, media cetak maupun televisi. Upaya
represif berkaitan dengan penegakan hukum yang berakibat jatuhnya hukuman yang
dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku. Kurangnya pemahaman kepolisian
mengenai teknologi sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala, Sarana dan
prasarana yang belum memadai dalam menunjang kinerja kepolisian, Masih sangat
sedikit jumlah personil, serta kebudayaan yang seiring waktu terkikis oleh
modernisasi sehingga semua menuntut kepraktisan merupakan faktor penghambat
dalam melaksanakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat Tindak
Pidana Siber Bareskrim
Penulis menyarankan kepada pihak kepolisian untuk meningkatkan sarana dan
prasarana yang memadai guna memaksimalkan kinerja dalam melakukan penyidikan
dan penyelidikan. Disertai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas dari kepolisian
itu sendiri dengan cara diberikannya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
teknologi dan informasi khususnya pelatihan di bidang siber serta penambahan
jumlah personil dan peningkatan anggaran yang cukup. Kepolisian perlu mengadakan
sosialisasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini ialah
Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia serta Kementerian Komunikasi dan
Informatika dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak dari
penggunaan surat keterangan sakit palsu dan tata cara membuat surat keterangan sakit
yang sesuai prosedur.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Pemalsuan Surat, Media Online.1312011157 Kania Khadafi Putra-2022-04-20T05:07:24Z2022-04-20T05:07:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58446This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584462022-04-20T05:07:24ZANALISIS PEMBATALAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA
YANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA
(Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa Bandar Lampung)Remisi merupakan hak yang harus diberikan kepada setiap narapidana, namun
demikian terdapat pengeculian pemberian remisi terhadap narapidana yang
menggunaan narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yaitu remisi terhadap
narapidana dapat dibatalkan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah pelaksanaan pembatalan remisi terhadap narapidana yang
menggunakan narkotika selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Rajabasa Bandar Lampung? (2) Apakah pembatalan remisi terhadap narapidana
yang menggunakan narkotika selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
sesuai dengan tujuan pemidanaan?
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan
narasumber yaitu pihak Pemasyarakatan Rajabasa dan Dosen Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Pembatalan remisi terhadap narapidana yang
menggunakan narkotika selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Rajabasa Bandar Lampung sebagai bentuk pembinaan terhadap narapidana yang
seharusnya menjadi pribadi yang lebih baik ketika menjalani masa hukuman tetapi
justru kembali melakukan tindak pidana. Prosedurnya adalah Kepala Lapas
mengusulkan pembatalan remisi kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM, selanjutnya dilakukan Penetapan Pembatalan Remisi kepada
Narapidana dilaksanakan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah atas nama
Menteri. (2) Pembatalan remisi terhadap narapidana yang menggunakan narkotika
selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan tujuan
pemidanaan yaitu untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan
pemidanaan. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku
terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah
orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan
pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, dan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat.
Jody Setiawan
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pembatalan remisi terhadap narapidana yang
melakukan tindak pidana di dalam Lapas perlu tetap dilaksanakan, namun demikian
perlu juga ditingkatkan kualitas pembinaan narapidana dari aspek kualitas dan
kuantitasnya agar program dan jenis-jenis pembinaan yang telah ditetapkan akan
dapat terlaksana secara optimal. (2) Upaya untuk meningkatkan pembinaan
terhadap narapidana di dalam Lapas perlu didukung oleh sarana dan prasarana
pembinaan.
Kata Kunci: Pembatalan Remisi, Narapidana, Narkotika, Lembaga Pemasyarakatan1412011194 JODY SETIAWAN-2022-04-20T05:07:22Z2022-04-20T05:07:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58442This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584422022-04-20T05:07:22ZKEDUDUKAN MOTIF DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI PUTUSAN No.
777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST)Tindak pidana pembunuhan berencana merupakan tindak pidana materiil.
Pembunuhan berencana sudah diatur dalam KUHP yaitu Pasal 340. Pembunuhan
berencana, terjadi karena adanya motif yang mendasari perbuatan tersebut.
Pembunuhan berencana seringkali terjadi karena, pelaku mempunyai motif
sebelum melakukan kejahatan tersebut. Akan tetapi, didalam membuktikan tindak
pidana pembunuhan berencana terdapat beberapa masalah yang muncul, yaitu
bagaimanakah kedudukan motif itu dan seberapa penting motif itu.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat serta Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa: (1) Kedudukan motif dalam
pembuktian tindak pidana pembunuhan berencana. Walaupun motif tidak
termasuk unsur dalam hal pembuktian, akan tetapi motif tersebut akan tersirat
adanya, hal ini bisa dilihat dari surat dakwaan JPU. Dalam dakwaan JPU tidak
disebutkan motif terdakwa, akan tetapi dalam dakwaan itu secara tersirat sudah
dijelaskan motif terdakwa. Sehingga motif sebagai pertimbangan JPU dalam
dakwaannya dan juga sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam menentukan
putusannya. (2) Seberapa pentingnya motif dalam pembunuhan berencana. Sangat
penting, karena segala tindakan akan didasari oleh motif. Berbicara tentang motif,
manusia normal pada umumnya akan melakukan suatu tindakan didasari oleh
motif atau alasan untuk melakukannya.
Saran dalam penelitian ini adalah bahwa dalam menegakkan suatu keadilan harus
dilakukan dengan sesuai aturan yang ada, sehingga tercipta suatu kadilan yang
sudah sesuai dengan aturan dan menciptakan suasana yang aman dan tertib serta
adil. Sudah seharusnya dalam menindak lanjuti suatu kasus tindak pidana,
terutama tindak pidana pembunuhan berencana, perlu menambahkan unsur motif
dalam pembuktiannya, hal ini dikarenakan pembunuhan berencana dilakukan
Jeki Leonar Andika Tampu Bolon
dengan rencana terlebih dahulu, maka perlu adanya motif. Jika tidak ada motif
maka bukan pembunuhan berencana akan tetapi pembunuhan biasa.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Pembunuhan Berencana, Pembuktian1512011327 Jeki Leonar Andika Tampu Bolon-2022-04-20T05:07:20Z2022-04-20T05:07:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58432This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584322022-04-20T05:07:20ZPERAN JAKSA DALAM PELAKSANAAN PENGEMBALIAN
BARANG BUKTI PADA TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN DI KOTA METROTindak pidana pencurian merupakan suatu perbuatan yang melanggar
norma-norma pokok atau dasar yang hidup di masyarakat, yaitu norma
agama dan norma hukum. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
yaitu: Bagaimanakah peran Jaksa dalam pelaksanaan pengembalian barang
bukti pada tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Kota Metro?
Apakah faktor penghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti
pada tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Kota Metro?
Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini dengan pendekatan yuridis
normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-
kaidah atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah
yang akan dibahas. Terdiri dari data primer dan data sekunder. Prosedur
dalam pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka, studi lapangan.
Prosedur dalam pengolahan data dengan cara seleksi data, klasifikasi data
dan penyusunan data dan selanjutnya menganalisis data.
Hasil penelitian dan pembahasan ini memberikan jawaban bahwa: Perkara
yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang sudah
mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim membuat surat petikan
putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht.
Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung
membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat
berita acara pengambilan barang bukti (BA-20). Sedangkan faktor
penghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti pada tindak
pidana pencurian dengan kekerasan di Kota Metro dapat disebabkan apabila
orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan tidak
mau mengambil barang bukti. Sehingga barang bukti yang tidak diambil
atau pengambilanya terlalu lama mengakibatkan Rupbasan menjadi penuh.
Saran dari penelitian ini adalah hendaknya ditambahkan dan diperbaharui
terhadap sarana prasarana untuk meminimalisir terjadinya penumpukan
barang bukti di Rupbasan. Meningkatkan kualitas dari para aparat penegak
hukum serta agar barang bukti tidak menumpuk di kejaksaan. Serta
hendaknya dirumuskan terkait Undang-Undang atau peraturan pelaksana
tentang jangka waktu pengambilan barang bukti pada Rupbasan.
Kata Kunci: Jaksa, Barang Bukti, dan Pencurian
The crime of theft is an act that violates the basic norms or basic life in the
community, namely religious norms and legal norms. The problems discussed in
this study are: What is the role of the Prosecutor in carrying out the return of
evidence in a criminal act of theft with violence in Metro City? What are the
inhibiting factors in the return of evidence in violent theft with Metro City?
The research method in this scientific paper with a normative juridical approach is
an approach carried out by examining the rules or norms, the rules relating to the
problem to be discussed. Consists of primary data and secondary data. The
procedure in data collection is through literature study, field studies. Procedures in
data processing by means of data selection, data classification, and data
preparation next analyze the data.
The results of this study and discussion provide answers that: Cases that have
received an inkracht decision (a decision that has received permanent legal force)
then the judge makes an excerpt letter of decision, an excerpt of the decision
comes out 1 (one) week after the inkracht decision. The excerpt was then given to
the prosecutor so that the prosecutor immediately made the minutes of the
implementation of the judge's appointment (BA-6) and made the minutes of
taking evidence (BA-20). While the inhibiting factor in carrying out the return of
evidence in a criminal act of theft with violence in Metro City can be caused if the
person who has been mentioned or explained in the contents of the decision
verdict does not want to take evidence. So the evidence that was not taken or
taken too long resulted in Rupbasan being full.
Suggestions from this research are to be added and updated to the infrastructure to
minimize the accumulation of evidence in Rupbasan. Improving the quality of law
enforcement officers and so that evidence does not accumulate in the prosecutor's
office. And it should be formulated in relation to the Act or implementing
regulations concerning the period of time taking evidence in Rupbasan.
Keywords: Attorney, Evidence, Crime, Theft and Violence.1512011249 IRFAN HANIF MUNANDAR-2022-04-20T05:07:18Z2022-04-20T05:07:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58426This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584262022-04-20T05:07:18ZPENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENGGUNAAN
GADGET SAAT BERKENDARA OLEH PENGEMUDI
TRANSPORTASI ONLINELalu lintas dan angkutan jalan merupakan subsistem dari ekosistem kota, sistem
lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran strategis sebagai sarana
memperlancar arus transportasi barang dan jasa. Lalu lintas dan angkutan jalan
(LLAJ) harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,
kesejahteraan, ketertiban. Kemajuann teknologi dan ilmu pengetahuan dapat pula
semakin memudahkan dalam memperoleh transportasi, dalam hal ini transportasi
online. Pelaksanaan transportasi online mengharuskan pengemudi menggunakan
gadget saat beroperasional karena pemesanan transportasi online tersebut hanya
bisa dilakukan melalui aplikasi pada gadget, yang sesungguhnya sangat
mengganggu konsentrasi hal ini dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah Penerapan Sanksi
Pidana Terhadap Penggunaan Gadget Saat Berkendara Oleh Pengemudi
Transportasi Online? dan Apakah Kendala Dalam Penerapan Sanksi Pidana
Terhadap Penggunaan Gadget Saat Berkendara Oleh Pengemudi Transportasi
Online?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah: pendekatan yuridis normatif, dan
pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah: data primer dan data
sekunder dimana data primer didapatkan dengan melakukan wawancara dengan
Anggota Satlantas Polresta Bandar lampung, Akademisi pada Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, serta dengan Pengemudi
Transportasi online, dan data sekunder menggunakan analisis kualitatif guna
mendapatkan data – data berupa pemaparan kenyataan yang diperoleh dari
penelitian.
Hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah Penerapan sanksi terhadap
penggunaan gadget saat berkendara oleh pengemudi transportasi online yang
termasuk pelanggaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu langsung diberikan surat bukti
pelanggaran (tilang) dan setelah itu dilanjutkan dengan proses persidangan di
pengadilan lalu membayar denda sesuai dengan yang ditentukan oleh pihak
pengadilan dan disesuaikan dengan Pasal 283 Udang – Undang Nomor 22 Tahun
2009. Kendala dalam penerapan sanksi pidana terhadap penggunaan gadget saat
berkendara oleh pengemudi transportasi online ini terletak pada faktor masyarakat
serta faktor budaya.
Intan Elisaputri
Dimana faktor masyarakat sangat mempengaruhi karena aturan hukum yang
diterapkan tidak akan berjalan dengan baik jika sumber daya manusia atau
masyarakatnya sendiri tidak menyadari akan pentingnya mematuhi aturan lalu
lintas yang dijelaskan di dalam Undang – undang nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan demi ketertiban dan keamanan serta keselamatan
masyrataka dalam melakukan aktifitas sehari-hari, serta faktor budaya dimana
seluruh masyarakat dari semua kalangan yang menggunakan gadget tidak
mengenal tempat dan waktu.
.
Saran dari hasil penelitian ini adalah : Pengemudi transportasi online agar lebih
memperhatikan dan sadar agar aturan hukum yang bertujuan untuk keamanan dan
keselamatan diri sendiri, sehingga pada saat menerima dan mencari pesanan dapat
berhenti terlebih dahulu. serta Perusahaan transportasi online sebaiknya
melakukan kerjasama dengan aparat kepolisian dalam meningkatkan sosialisasi
serta edukasi tentang Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan kepada pengemudi transportasi online agar pengemudi
transportasi online serta calon mitra kerja transportasi online dapat bekerja dengan
baik tanpa melanggar aturan hukum.
.
Kata Kunci : Sanksi Pidana, Penggunaan Gadget, Transportasi online.1512011293 INTAN ELISAPUTRI-2022-04-20T05:07:14Z2022-04-20T06:47:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58422This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584222022-04-20T05:07:14ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PERDAGANGAN OBAT
KERAS TANPA RESEP DOKTER MELALUI MEDIA ONLINEApotek sebagai salah satu sarana pelayanan obat keras secara legal diduga banyak
melakukan pelayanan obat keras secara ilegal dalam bentuk pelayanan tanpa dasar
resep dokter. Perdagangan obat keras ilegal sangat dipengaruhi perkembangan
teknologi informasi, terutama kemunculan internet. Akibatnya, kejahatan
perdagangan menjadi mudah dilakukan. Permasalahan yang dibahas penulis
dalam skripsi berjudul Analisis Kriminologis Kejahatan Perdagangan Obat Keras
Tanpa Resep Dokter Melalui Media Online, dengan mengajukan dua
permasalahan yaitu: (1) Apakah faktor penyebab terjadinya perdagangan obat
keras tanpa resep dokter melalui media online? Dan (2) bagaimanakah upaya
menanggulangi perdagangan obat keras tanpa resep dokter melalui media online?
Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari
penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni
dilakukan wawancara terhadap Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di
Bandar Lampung, Unit Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Lampung dan Dosen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh
dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa faktor-faktor penyebab
terjadinya kejahatan perdagangan obat keras tanpa resep dokter melalui media
online adalah faktor ekonomi,faktor peran pemerintah, faktor masyarakat dan
faktor kebudayaan. Upaya penanggulangan terhadap kejahatan perdagangan obat
keras tanpa resep dokter melalui media online, yaitu : (1) melalui upaya non
penal/tindakan preventif, artinya mengupayakan pencegahan kepada semua
Imam Tanjung
individu mulai dari penyuluhan tentang bahaya mengkonsumsi obat keras ilegal,
dan (2) melalui upaya penal/tindakan represif, artinya tindakan penegak hukum
sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah meningkatkan
kinerja kepolisisan khususnya dalam bidang Informasi Teknologi, melakukan
kerjasama antara Kepolisian Daerah Lampung dengan Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan di Bandar Lampung serta peran peran masyarakat, dan peningkatan
sosialisasi oleh Balai Besar pengawas obat dan Makanan di Bandar Lampung.
Dengan terjalinnya kerjasama yang baik antar aparat penegak hukum, pemerintah
dan masyarakat, maka dapat bahu membahu meminimalisir atau mencegah
kejahatan perdagangan obat keras tanpa resep dokter melalui media online.
Kata Kunci: Kriminologis, Perdagangan Obat Ilegal, Media Online.
Pharmacy as one of the legal drugs service facility is allegedly doing a lot of
illegal drug services in the form of hard drug without a doctor’s prescription.
The illegal hard drug trade is greatly influenced by the development of
information technology, especially the emergence of the internet. As a result,
trade crimes are easily committed. The problems discussed by the author in the
essay entitled Criminological Analysis of Hard Drug Trafficking Crimes Without
Prescription Through Online Media, by proposing two problems, that is: (1) What
are the factors causing the occurrence of hard drug trafficking without
prescription through online media? And (2) how is the effort to confront hard
drug trafficking without prescription through online media?
The research method used in this essay are normative and empirical juridical
approach. Primary data obtained directly from research in the field that has to do
with the problem under study, that is conducted interviews with The National
Agency of Drug and Food Control in Bandar Lampung, Special Criminal Unit of
Lampung Regional Police and Lecturer in Criminal Law, Faculty of Law,
University of Lampung. Secondary data was obtained from library research
which included literature books, laws and regulations, official documents and
others.
Based on the results of research and discussion, the factors that cause the
occurrence of hard drug trafficking without prescription through online media
are economic factors, government role factors, community factors and cultural
factors. Crime prevention efforts against hard drug trafficking without
prescription through online media, that is (1) Through non-penal efforts /
preventive measures, which means seeking prevention to all individuals ranging
from counseling about the dangers of consuming illegal hard drugs, and (2)
through penal efforts / repressive measures, which means law enforcement
actions are in accordance with Law Number 36 of 2009 concerning Health
Imam Tanjung
Suggestions that the authors can convey in this essay are improving the
performance of police especially in the field of Information Technology,
collaborating between Lampung Regional Police and The National Agency of
Drug and Food Control in Bandar Lampung as well as the role of Community,
and increasing socialization by The National Agency of Drug and Food Control
in Bandar Lampung. With good cooperation between law enforcement officers,
Government and Community, it can work hand in hand to minimize or prevent the
crime of hard drug trafficking without prescription through online media.
Keywords : Criminology, Illegal Drug Trafficking, Online Media.1212011150 Imam Tanjung-2022-04-20T05:07:02Z2022-04-20T05:07:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58420This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584202022-04-20T05:07:02ZANALISIS KRIMONOLOGIS KEJAHATAN PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA YANG DILAKUKAN DUA OKNUM PEGAWAI NEGERI
SIPIL PEMKAB TULANG BAWANG BARATKejahatan seperti melakukan penyalahgunaan narkotika bukanlah kejahatan asing
lagi di negara ini baik muda, tua, kalangan artis sampai dengan kalangan pejabat
juga banyak menggunakan narkotika.Tindak pidana narkoba atau narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 (UU No. 35 Tahun 2009),
memberikan sanksi pidana cukup berat, adapun kasus yang terjadi dua oknum
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat
(Tubaba) ditangkap petugas Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung,
atas kasus penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan latar belakang tersebut yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah faktor penyebab
Kejahatan Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Dua Oknum Pegawai
Negeri Sipil Pemkab Tulang Bawang Barat dan Bagaimanakah upaya
penanggulangan Kejahatan Kejahatan Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan
Oleh Dua Oknum Pegawai Negeri Sipil Pemkab Tulang Bawang Barat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Anggota
Reskrim Polresta Bandar Lampung, Psikolog Bandar Lampung, Tokoh
Masyarakat dan dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
Faktor-faktor yang menyebabkan seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan
kejahatan penyalahgunaan narkotika di Pemkab Tulang Bawang Barat terdapat
dari faktor intern (dalam) dan ekstern (luar). Faktor intern yang bersumber dari
dalam diri individu, seperti untuk meningkatkan stamina, lemahnya mental dan
gangguan kepribadian. Faktor ekstern yang bersumber dari luar individu, yaitu
seperti faktor lemahnya keimanan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, dan
lingkungan pergaulan yang negatif. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi penyalahgunaan narkotika oleh Pegawai Negeri Sipil tersebut
dilakukan secara preventif oleh Badan Narkotika Provinsi Lampung seperti
I MADE SWASTRE
konseling dan tes urine secara berkala dan berkesinambungan di dalam Lapas
Narkotika paling tidak satu bulan sekali. Tidak hanya secara preventif, upaya
penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh
Pegawai Negeri Sipil juga secara represif dengan sanksi penegakan hukum
ditindak langsung peredaran gelap di dalam Lapas Narkotika. Upaya
penanggulangan ini dilakukan secara penal dan non-penal.
Adapun saran yang diberikan penulis Aparat penegak hukum melakukan upaya
pendekatan humanis ke para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika juga
penting, dalam rangka menekan demand narkoba. Serta mengadakan penyuluhan
narkotika bagi masyarakat agar masyarakat mengerti dan memahami bagaimana
proses penyalahgunaan narkotika.
Kata kunci: Penyalahgunaan, Narkotika, Kordinasi, Kepolisian dan Dinas,
Konseling
Crime such as committing narcotics abuse is no longer foreign crimes in this
country, not only young, but also old, artists and officials also use narcotics. Drug
or narcotics crimes based on Law Number. 35 of 2009 (Law No. 35 of 2009),
providing aquite severe sanctions for the criminals, as for the cases that occurred
in two Civil Servants (PNS) Government of Tulangbawang Barat District
(Tubaba) were arrested by officers of the Bandar Lampung Police Narcotics
Investigation Unit, for cases of narcotics abuse . Based on this background, the
problem in this study is whether the factors causing Narcotics Abuse Crime Are
Conducted By Two Personnel of Civil Servants of West Tulang Bawang Regency
and How the Narcotics Abuse Crime Prevention Measures Are Done By Two
Personnel of Civil Servants of West Tulang Bawang Regency Government.
This study uses a normative juridical approach and empirical jurisdiction. The
type of data consists of primary and secondary data. The resource person
consisted of members of the Bandar Lampung Police Criminal Investigation Unit,
Bandar Lampung Psychologist, Community Leader and Criminal Law Lecturer at
the Law Faculty of the University of Lampung. Data analysis using qualitative
analysis.
Based on the results of the research and discussion, it can be concluded that the
factors that cause a civil servant to commit narcotics abuse in the West Tulang
Bawang Regency are from internal (inside) and external (outside). Internal
factors come from their own individual, such as to increase stamina, weak mental
and personality disorders. External factors come from outside the individual, such
as lack of faith, poor living environment, and negative social environment.
Prevention efforts that can be done to handle narcotics abuse by Civil Servants
are carried out preventively by the Provincial Narcotics Agency in Lampung such
as regular and continuous urine counseling and testing in Narcotics Prisons at
least once in a month. Not only preventively, but also the efforts to combat
I MADE SWASTRE
narcotics abuse committed by Civil Servants is repressively , with sanctions for
law enforcement are directly dealt with in the illegal circulation in Narcotics
Prisons. These preventions are carried out through reasoning and non-reasoning.
The suggestion given by the authors of law enforcement officials is making an
effort to approach humanists and addicts of narcotics abuse in order to reduce
drug demand. As well as conducting narcotics counseling for the community so
that the community understands the process how the narcotics abused.
Keywords: Abuse, Narcotics, Coordination, Police and Service, Counseling1442011044 I Made Swastre-2022-04-20T05:06:57Z2022-04-20T05:06:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58405This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584052022-04-20T05:06:57ZUPAYA DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN POLDA LAMPUNG
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENJUALAN
BAHAN PEMBUATAN BOM IKAN KEPADA NELAYANPenangkapan ikan secara ideal dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan,
dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak merusak sumber daya
perikanan, tetapi permasalahannya adalah para nelayan masih menggunakan bahan
peledak dalam menangkap ikan. Pemicunya adalah adanya para penjual bahan-
bahan pembuat bom ikan kepada nelayan, permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah upaya Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung dalam
penanggulangan tindak pidana penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada
nelayan dan apakah faktor-faktor penghambat upaya Direktorat Kepolisian Perairan
Polda Lampung dalam penanggulangan tindak pidana penjualan bahan pembuatan
bom ikan kepada nelayan?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris di Direktorat Polair Polda Lampung. Narasumber penelitian ini adalah
Penyidik Direktorat Polair Polda Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa upaya penanggulangan
tindak pidana penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada nelayan dilakukan oleh
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung melalui sarana non penal dan penal.
Upaya non penal dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi dan melakukan patroli
menggunakan sarana berupa kapal patroli yang berukuran kecil (Tipe C3). Petugas
dalam patroli ini segera melakukan tindakan terhadap pelaku tindak pidana
penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada nelayan jika menemukan adanya
dugaan tindak pidana. Upaya penal dilaksanakan dengan penyelidikan dan
penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Upaya penal
ini diaplikasikan oleh Penyidik dengan menyelesaikan berkas penyidikan sebanyak
8 kasus pada tahun 2017 dan sebanyak 7 kasus pada tahun 2018 dan telah
dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan. Faktor-faktor yang menjadi penghambat
upaya penanggulangan tindak pidana penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada
nelayan adalah faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya
jumlah penyidik dan secara kualitas masih belum optimalnya taktik dan teknik
penyidikan. Faktor sarana dan prasarana, yaitu kapal-kapal patroli yang dimiliki
Ghina Khairunnisa
masuk dalam kategori kapal kecil (Tipe C3), yang dikhususkan untuk sungai.
Faktor masyarakat yaitu ketakutan dan keengganan masyarakat dalam melaporkan
tindak pidana penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada nelayan kepada aparat
penegak hukum. Faktor paling dominan yang menjadi penghambat adalah faktor
penegak hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Upaya penanggulangan tindak pidana
penjualan bahan pembuatan bom ikan kepada nelayan hendaknya dioptimalkan
melalui kegiatan sosialisasi kepada para nelayan dan patroli di wilayah perairan. (2)
Sarana dan prasarana penanggulangan tindak pidana penggunaan bom dalam
menangkap ikan oleh nelayan hendaknya ditingkatkan melalui pengadaan kapal-
kapal patroli berukuran sedang Tipe C2 dan kapal besar Tipe C1.
Kata Kunci: Upaya Ditpolairud, Tindak Pidana Penjualan, Bom Ikan1512011020 GHINA KHAIRUNNISA-2022-04-20T05:06:54Z2022-04-20T05:06:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58417This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584172022-04-20T05:06:54ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENAMBANGAN BATU ILEGAL
(Studi Pada Polres Pesawaran)Penambangan batu ilegal di Kabupaten Pesawaran masih banyak dilakukan dan
perlu penanganan yang tegas oleh pihak Polres Pesawaran. Keberadaan tambang
ilegal sekarang ini tersebar dibeberapa wilayah seperti di desa Wiyono yang sudah
diamankan oleh Ditreskrimsus Polda Lampung, di desa Bantar yang sedang dalam
tahap penyelidikan. Penambangan tersebut dijadikan mata pencaharian oleh warga
sekitar dan belum memiliki izin resmi dari pemerintah sehingga mengakibatkan
dampak yang cukup buruk bagi lingkungan sekitarnya. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan
tindak pidana penambangan batu illegal dan apakah faktor penghambat kepolisian
dalam penanggulangan tindak pidana penambangan batu illegal.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normative dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan cara wawancara dengan
Ipda Edi Suandi Subdit IV Ditreskrimsus Polda Lampung dan Dr. Erna Dewi,
S.H.,M.H selaku Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis
data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan upaya Kepolisian dalam
menanggulangi penambangan batu ilegal (Studi Pada Polres Pesawaran) melalui
2 upaya, yaitu upaya secara preventif yaitu melalui beberapa faktor seperti
faktor penegak hukum dengan berkoordinasi bersama satuan kepolisian Polres
Pesawaran untuk melaksanakan patroli, razia, operasi keamanan yang
dilakukan secara rutin dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat Pesawaran
dalam rangka menciptakan keamanan serta cara mengatasi penambangan batu
illegal. Sedangkan upaya represif yaitu dengan mengoptimalkan upaya
penindakan serta menghimpun bukti-bukti guna menindak secara hukum pelaku
kejahatan tersebut dengan pemberian sanksi tegas dan berefek jera. Faktor
Penghambat upaya Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penambangan
batu illegal Kabupaten Pesawaran yaitu pertama faktor Penegak Hukum seperti
masih kurang maksimal dalam menjalankan programnya contohnya program
penyuluhan Polres Pesawaran yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga
mengakibatkan peningkatan penambangan batu ilegal Faktor penghambat kepolisian
dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana penambangan batu
illegal dikarenakan masyarakatnya kurang sadar hukum dan penegak hukumnya
kurang berpartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan sehingga banyak terjadi
tindak pidana penambangan batu illegal.
Saran, upaya utama dalam penanggulangan tindak pidana penambangan batu ilegal
pihak kepolisian khususnya Polres Pesawaran sebaiknya harus mengutamakan upaya
preventif guna menekan angka pertumbuhan kejahatan ini yaitu dengan
meningkatkan kinerja kepolisian seperti razia, patroli dan pengawasan daerah
pertambangan, perbaikan sarana dan prasarana serta melakukan pendekatan kepada
masyarakat. Masyarakat pastinya akan membantu terlaksananya upaya tersebut
apabila pihak kepolisian mampu menjalin hubungan yang bersifat seperti
kekeluargaan dalam menayomi dan melindungi masyarakat. Peran pemerintah
diperlukan agar dapat mengurangi kasus tindak pidana penambangan batu illegal dan
berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kata Kunci: Kepolisian, Penanggulangan, Tindak Pidana, Penambangan Batu
Ilegal1512011068 Hikmah Selasih-2022-04-20T05:06:46Z2022-04-20T05:06:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58413This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584132022-04-20T05:06:46ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN
PENIPUAN DENGAN MODUS PENGOBATAN
SUPRANATURAL
(Studi Putusan Nomor 2/Pid.B/2019/PN.Kot)Tindak pidana penipuan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai objek
terhadap benda atau barang untuk dimiliki secara pribadi, seperti halnya kasus
penipuan dengan dalih pengobatan supranural dengan Putusan Nomor
2/Pid.B/2019/PN.Kot yang terjadi di Kota Agung Provinsi Lampung.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu apa saja yang menjadi faktor penyebab
terjadinya tindak pidana penipuan dengan modus pengobatan supranatural pada
putusan Nomor 2/Pid.B/2019/PN.Kot? dan bagaimanakah upaya penanggulangan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap tindak pidana penipuan
dengan modus pengobatan supranatural?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber
dalam penelitian ini adalah Jaksa Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri
Kota Agung, terdakwa penipuan dengan modus pengobatan supranural serta
dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab
terjadinya tindak pidana penipuan dengan modus pengobatan supranatural pada Putusan
Nomor 2/Pid.B/2019/PN.Kot adalah gaya hidup, ekonomi, lingkungan, sosial
budaya, pendidikan, mudahnya melakukan kejahatan penipuan, keinginan,
masyarakat dan keluarga. (2) Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum terhadap tindak pidana penipuan dengan modus pengobatan supranatural
adalah yaitu melalui upaya pre-emtif, upaya preventif dan upaya represif. Upaya
pre-emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak penegak hukum
untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya preventif adalah merupakan tindak
lanjut dari upaya pre-emtif yang dimana masih dalam tataran pencegahan seperti
melakukan kegiatan penyuluhan, pembinaan generasi muda, dan memberikan
himbauan melalui media sebelum terjadinya kejahatan tersebut. Upaya represif
adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadinya tindak pidana atau kejahatan yang
tindakannya berupa penindakan dan penerapan hukuman oleh Pengadilan Negeri Kota
Agung Kabupaten Tanggamus bagi pelaku kejahatan penipuan dengan modus
pengobatan supranatural sesuai Pasal 378 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan.
Hendi Oktavianda
Saran dalam penelitian ini yaitu bagi tokoh masyarakat hendaknya turut
meningkatkan kegiatan bimbingan keagamaan kepada masyarakat, bagi seluruh
warga masyarakat untuk selalu waspada akan adanya segala bentuk jenis dan
bentuk pengobatan yang biasa dilakukan oleh supranatural yang bisa jadi
merupakan suatu jenis tindak kejahatan penipuan. Bagi pihak aparat penegak
hukum agar memberikan himbauan bagi seluruh warga masyarakat untuk selalu
waspada akan iming-iming kerabat atau orang yang baru anda kenal mengenai
adanya penyembuhan penyakit dengan menggunakan ritual-ritual supranatural
yang tidak masuk di akal.
Kata Kunci: Kriminologis, Penipuan, Pengobatan, Supranatural
Criminal acts of fraud are one of the crimes that have objects of objects or goods
to be privately owned, as does the case of fraud in the pretext of a supranural
treatment with verdict number 2/Pid. B/2019/PN.Kot that occurred in the great
city of Lampung province. The problem in this research is what is the cause of
criminal acts of fraud with the mode of supernatural treatment on the verdict
number 2/Pid. B/2019/PN.Kot? And how is the countermeasures made by law
enforcement officials on fraudulent criminal acts with supernatural treatment
mode?
The approach to the problem used in this study is to use normative and juridical
juridical approach to empirical. The speaker in this study is the public prosecutor
and judge of the supreme city district court, accused of fraud with supernatural
treatment mode as well as lecturer at the faculty of law of Lampung University..
The results showed that: (1) The cause of criminal acts of fraud in the mode of
supernatural treatment on ruling number 2/Pid. B/2019/PN. Kot is a lifestyle,
economic, environmental, socio-cultural, educational, easy to commit crimes of
deception, desire, society and family. (2) Countermeasures made by law
enforcement officials against criminal acts of fraud in supernatural treatment
mode are through pre-emptive efforts, preventive efforts and repressive efforts.
The pre-emptive effort was the initial efforts undertaken by law enforcement to
prevent crime. Preventive effort is a follow up of the pre-emptive effort which is
still in the precautionary measure such as conducting counselling activities,
coaching the younger generation, and giving an appeal through the media before
the crime. The repressive effort is an attempt to be committed in the event of a
criminal offence or a crime in which the action is an act of oppressing and the
application of punishment by the City district court of Tanggamus regency for
fraud criminals with supernatural treatment pursuant to article 378 jo article 55
paragraph 1 to 1 criminal KUHP with imprisonment for 1 (one) year 3 (three)
months
The advice in this study is for community leaders should also increase religious
guidance to the community, for all citizens to always be vigilant in the form of all
types and forms of treatment that is commonly done By a supernatural that could
be a type of fraud crime. For the law enforcement authorities to provide an
appeal for all citizens to always be wary of the lure of relatives or people you just
know about the healing of diseases using supernatural rituals that do not Come to
mind.
Keywords: Criminological, Fraud, Treatment, Supernatural1542011097 HENDI OKTAVIANDA-2022-04-20T05:06:42Z2022-04-20T05:06:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58409This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584092022-04-20T05:06:42ZPERAN KEJAKSAAN DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
(Studi pada Putusan Nomor 1177/Pid.B/2016/PN.Tjk)Theft by violence is a crime against property so that in the prosecution, the
Prosecutor acts for and on behalf of the State responsible according to the
channel hierarchy so that the prosecutor must have a valid proof tool, for the sake
of justice and The Truth In addition prosecutors act on the law and heed religious
norms and morality, and must dig into the values of humanity, law, and justice
that live in society. Therefore, the problem in this study is how the role of
prosecutors in the prosecution of criminal acts of theft by the study violence
verdict number 1177/Pid. B/2016/PN. TJK and what is the result of the attorney
prosecuting prosecution based on matters His wife as a victim of violent criminal
theft.
The approach to the problem used in this study is the normative and juridical
juridical approach to empirical. The speakers in this study were the judges of the
Tanjung Karang District Court, Kejaksaaan Negeri Tanjung Karang and
academics of the Faculty of Law of Lampung University.
The results showed that: (1) The role of Tanjung Karang district attorney in
implementing the prosecution of criminal acts of theft is accompanied by the
ruling number 1177/Pid. B/2016/PN. TJK is through the normative role, the ideal
role and factual role . The normative role in which the prosecutor prosecuting the
prosecution of article 365 paragraph (1), paragraph (2) 1, the 2nd Book of the
Criminal Code article 65 paragraph (1) of the criminal code and article 363
clause (1) of the 4th code of the criminal code of law jo article 65 paragraph (1)
of the criminal code and about the type of criminal given by the judge in article 10
of the Penal code other than that of Tanjung Karang state attorney in carrying out
its role in accordance with the laws that have been regulated in the regulation
other. The ideal role of prosecutors is to implement the prevention of criminal
acts of theft by violence through socialization to communities at the village level
as well as implementing the prosecutor's school admission program to conduct
counseling among students. The factual role of the Tanjung Karang District
Attorney is to conduct a re-inquiry to the perpetrators with violence before the
case of theft with violence in the state or entered into prosecution by a judge in
court (2) due to the attorney's law Prosecution based on the case of his wife as a
Hedy Andre. K
victim of criminal acts of theft by force then the general closing attorney violated
the Perja number: PER-067/A/JA/07/2007 concerning the Code of Conduct of
Prosecutors article 3 points E and H and article 157 of the KUHAP that can be
Penalty or dismissal.
The advice in this study is that the Prosecutor should conduct a legal counseling
activities to reduce the number of violent theft, prosecutors should examine
carefully the appointment of the attorney and the state attorney of Tanjung
Karang should investigate and award quickly in the case of violations committed
by the attorney.
Keywords: Role of Prosecutors, Criminal Acts, Theft With Violence1512011058 HEDY ANDRE.K-2022-04-20T05:06:33Z2022-04-20T05:06:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58399This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583992022-04-20T05:06:33ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN BARANG MUATAN TRUK DENGAN
MODUS OPERANDI BAJING LONCAT
(Studi pada Polresta Bandar Lampung)Salah satu jenis tindak pidana yang meresahkan masyarakat, khususnya supir
angkutan barang adalah pencurian barang muatan truk dengan modus operandi
bajing loncat. Kepolisian dalam hal ini melaksanakan dalam penanggulangan tindak
pidana sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah: (1) Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana
pencurian barang muatan truk dengan modus operandi bajing loncat? (2) Apakah
faktor-faktor yang menjadi penghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan
tindak pidana pencurian barang muatan truk dengan modus operandi bajing loncat?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan empiris. Narasumber penelitian ini adalah Penyidik Satreskrim
Polresta Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.
Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Upaya penanggulangan tindak
pidana pencurian barang muatan truk dengan modus operandi bajing loncat
dilakukan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung melalui sarana non penal
dan penal. Upaya non penal dilaksanakan dengan melaksanakan patroli
pengamanan pada titik-titik kerawanan dan pemasangan kamera pengawas atau
CCTV pada titik-titik jalan tertentu yang berpotensi terjadi pencurian barang
muatan truk dengan modus operandi bajing loncat. Upaya penal dilaksanakan
dengan penyelidikan dan penyidikan, yaitu upaya penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana pencurian barang
muatan truk dengan modus operandi bajing loncat yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. (2) Faktor-faktor penghambat Upaya penanggulangan
tindak pidana pencurian barang muatan truk dengan modus operandi bajing loncat
adalah: Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih kurangnya personil
Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung yang khusus melakukan
penyidikan tindak pidana pencurian barang muatan truk dengan modus operandi
bajing loncat. Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu tidak adanya sarana laboratorium
forensik sehingga penyidikan terkadang mengalami hambatan. Faktor masyarakat,
Fitria Ayu Widyanti
yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi
dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencurian barang
muatan truk dengan modus operandi bajing loncat. Faktor budaya, yaitu masih
digunakannya cara-cara kekeluargaan oleh masyarakat dalam penyelesaian perkara
pidana
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat kepolisian disarankan untuk
meningkatkan patroli dalam rangka pengamanan dan pengawasan terhadap lokasi-
lokasi yang berpotensi menjadi tempat bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana
pencurian barang muatan truk dengan modus operandi bajing loncat. (2) Pengemudi
truk disaranakan untuk memberikan pengamanan lebih terhadap barang angkutan
muatannya, misalnya dengan menggunakan penutup bak truk yang kuat sehingga
tidak mudah dibobol oleh para pelaku tindak pidana pencurian barang muatan truk
dengan modus operandi bajing loncat.
Kata Kunci: Upaya Penanggulangan, Pencurian, Bajing Loncat
One type of crime that disturbs the public, especially the freight forwarder, is
truckloads theft with modus operandi bajing loncat. The police in this case carry out
in the handling of crimes in accordance with their main duties and functions. The
problems in this study are: (1) What is the the police effort in handling criminal acts
of truckloads theft with modus operandi bajing loncat? (2) What are the factors that
inhibit the police effort in handling criminal acts of truckloads theft with modus
operandi bajing loncat?
The approach to the problem in this study uses a normative juridical approach and
empirical approach. The resource persons of this study were Investigator
Satreskrim, Bandar Lampung Police and Lecturer in the Criminal Law Section of
Unila Law Faculty. Data collection is done by literature study and field studies.
Data analysis in this study is qualitative analysis.
The results of the research and discussion show: (1) The police effort in handling
criminal acts of truckloads theft with modus operandi bajing loncat through non-
reasoning and reasoning facilities. Non-reasoning efforts are carried out by carrying
out security patrols at points of vulnerability and the installation of surveillance
cameras or CCTV at certain road points that have the potential to truckloads theft
with modus operandi bajing loncat . Reasoning efforts are carried out by
investigation and investigation, namely the investigator's efforts in terms of and
according to the manner stipulated in the law to search for and collect evidence with
evidence that makes it clear about the crime of theft of truckloads of jumping
modus operandi and to find the suspect. (2) The police effort in handling criminal
acts of truckloads theft with modus operandi bajing loncat are: Factors in law
enforcement, namely in quantity, there is still a lack of personnel from Bandar
Lampung Police Investigators who specifically carry out criminal investigations
into truckloads theft with modus operandi bajing loncat . Factors of Facilities and
Infrastructure, namely the absence of forensic laboratory facilities so that
investigations sometimes experience obstacles. Community factor, that is, there is
still fear or reluctance by the public to become witnesses in the law enforcement
process against the perpetrators of criminal acts of truckloads theft with modus
operandi bajing loncat . Cultural factors, namely the use of family ways in the
settlement of criminal cases
Suggestions in this study are: (1) Police officers are advised to increase patrols in
the context of security and supervision of locations that have the potential to
become a place for perpetrators to commit theft of truckloads of goods with
jumping modus operandi. (2) Truck drivers are advised to provide more security for
their cargo, for example by using a strong truck cover so it is not easily broken into
by the perpetrators of criminal acts of truckloads theft with modus operandi bajing
loncat .
Keywords: Efforts to Overcome, Theft, Bajing loncat1542011077 FITRIA AYU WIDYANTI-2022-04-20T05:06:31Z2022-04-20T05:06:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58398This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583982022-04-20T05:06:31ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA
PENGOLAHAN GARAM ILEGAL
(Studi Putusan Nomor: 137/PID.B/2017/PN.Sdn.)Salah satu jenis tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
adalah pengolahan garam secara ilegal yaitu dalam putusan Pengadilan Negeri
Sukadana Nomor: Nomor: 137/PID.B/2017/PN.Sdn. Isu hukum dalam putusan ini
adalah majelis hakim tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa,tetapi
hanya pidana denda. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
usaha pengolahan garam ilegal dalam Putusan Nomor: 137/PID.B/2017/PN.Sdn.?
(2) Apakah putusan hakim terhadap pelaku usaha pengolahan garam ilegal telah
sesuai dengan keadilan substantif?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri Sukadana, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Lampung Timur dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan pidana denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) subsider
dua bulan kurungan terhadap pelaku tindak pidana pengolahan garam ilegal dalam
Putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor: 137/Pid.B/2017/PN.Sdn terdiri dari
pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara yuridis yaitu perbuatan
terdakwa Pasal 142 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Secara sosiologis yaitu hakim menilai melihat peristiwa yang melatar belakangi
perbuatan pidana tersebut secara keseluruhan serta sikap dan perbuatan terdakwa
sehari-harinya dalam masyarakat. Secara filosofis hakim menilai bahwa
pemidanaan tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya
tetapi lebih penting lagi adalah sebagai upaya pemidanaan terhadap terdakwa. (2)
Putusan hakim yang menjatuhkan pidana denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) subsider dua bulan kurungan terhadap pelaku tindak pidana pengolahan
Fitri Wahyuni
garam ilegal belum sesuai dengan keadilan substantif, karena tidak memberikan
efek jera kepada pelaku dan tidak berfungsi memberikan pembelajaran kepada
pelaku lainnya.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Hakim yang menangani tindak pidana
pengolahan garam ilegal pada masa mendatang disarankan untuk dapat
menjatuhkan pidana secara tepat, sehingga dapat memberikan efek jera dan
sebagai pembelajaran bagi pihak lain (2) Pemerintah melalui instansi terkait
disarankan untuk meningkatkan pengawasan terhadap usaha olahan pangan dalam
kemasan eceran yang dilakukan masyarakat khususnya di pedesaan dan
meningkatkan sosialiasi mengenai perizinan dalam aktivitas usaha masyarakat.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penjatuhaan Pidana, Garam Ilegal1542011005 FITRI WAHYUNI-2022-04-20T05:06:26Z2022-04-20T05:06:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58395This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583952022-04-20T05:06:26ZDISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN
BERENCANA (studi putusan No.135/Pid.B/2016/PN.Met
dan No: 846/Pid.B/2016/PN.Tjk)Disparitas adalah perbedaan dalam penjatuhan putusan pidana yang tertuang
dalam putusan hakim. Penjatuhan pidana oleh hakim berpedoman pada KUHAP
yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak, selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Rumusan tersebut menimbulkan ruang disparitas putusan hakim.
Disapritas tersebut seringkali menimbulkan rasa ketidakadilan (keadilan
substantif) bagi terpidana. Hakim dalam memberikan putusan pengadilan tunduk
pada teori dasar pertimbangan hakim, serta sifat ke-indpendensian yang dimiliki
oleh hakim yang membuat hakim tidak dapat di intervensi oleh pihak manapun
dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Permasalahan penelitian ini adalah
Mengapa terjadi disparitas pidana pada putusan hakim (Studi Putusan
No.135/Pid.B/2016/PN.Met dan No.846/Pid.B/2016/PN.Tjk) dan faktor
penyebab terjadinya disparitas pemidanaan terhadap pelaku pembunuhan
berencana No:135/Pid.B/2016/PN.Met dan putusan No: 846/Pid.B/2016/PN.Tjk?
Apakah Putusan No.135/Pid.B/2016/PN.Met dan No.846/Pid.B/2016/PN.Tjk
yang telah diputuskan hakim terhadap terdakwa telah memenuhi rasa keadilan
substantif ?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
primer diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara terhadap
Hakim Pengadilan Negeri Kelas IB Metro, Hakim Pengadilan Negeri IA
Tanjungkarang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku
literatur, perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.
Hasil penelitian ini dan pembahasan disparitas pidana pada putusan pidana No.
135/Pid.B/2016 /PN.Met dan No.846/Pid.B/2016/PN.Tjk adalah dikarenakan
hakim memiliki pertimbangannya sendiri dalam menentukan berat ringannya
hukuman, melalui pembuktian materil dipersidangan untuk mendukung
kesimpulan dalam pertimbangan hakim. Dimana hakim melihat bagaimana para
terdakwa melakukan suatu tindak pidana dan dampak yang di berikan terhadap
keluarga maupun masyarakat sekitar. Hakim dalam menentukan berat ringannya
hukuman di lihat dari pembuktian materil yang masih menilai secara segi subjektif
dan objektif, yang seringkali menyebabkan perbedaan antara satu putusan dengan
putusan yang lainnya atau biasa disebut dengan disparitas pemidanaan. Saran
penulis dalam penelitian ini adalah bahwa untuk memenuhi keadilan substantif
dalam setiap putusan Hakim. Hakim harus berpedoman pada Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dimana hakim dituntut untuk menggali,
mengikuti, dan memenuhi nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dimaysarkat.
Sehingga masyarakat dapat lebih percaya lagi terhadap putusan pengadilan yang
berlaku.
Kata Kunci: Disparitas, Pemidanaan, Keadilan
Disparity is the difference in imposing criminal punishment embodied in the
judge’s verdict. The judge’s imposition of penalty refers to the code of criminal
procedure based on the principle of freedom, honesty, and impartiality, and
further in the provision of Article 4 paragraph (2) of Law No.48 of 2009
concerning Judicial Power. This formulation creates a space for disparity in
judges' verdict. The disparity frequently evokes a sense of injustice (substantive
justice) for the convicted. When it comes to making a verdict, judges fully submit
to the basic theory of judicial considerations, as well as their independent nature
which prevents intervention from any party in imposing court pronouncement.
The problem of this study was why there was a criminal disparity in the judges’
verdict (Study on the Verdict No.135 / Pid.B / 2016 / PN.Met and No.846 / Pid.B
/ 2016 / PN.Tjk) and the causes of the disparity in penalizing perpetrators of
premeditated murder No: 135 / Pid.B / 2016 / PN.Met and decision No: 846 /
Pid.B / 2016 / PN.Tjk? Are the verdicts No.135 / Pid.B / 2016 / PN.Met and
No.846 / Pid.B / 2016 / PN.Tjk that have been made by the judges against the
defendant havemet thesubstantive justice?
This study employed a normative juridical approach and empirical jurisdiction.
Primary data was obtainedfirsthand from the field research on the problemsunder
investigation conducted through interviews with IB Metro District Court Judges,
District Court Judges IA Tanjungkarang and Lecturers of criminal law at the Law
Faculty of the University of Lampung. Secondary data was gathered from the
library research which comprised perusing literature books, laws, official
documents and so forth. The results of this study and discussion on the disparity
in the pronounced criminal verdict No. 135 / Pid.B / 2016 /PN.Met and No.846 /
Pid.B / 2016 / PN.Tjk were that the judges had their judgment to rely on in
determining the severity of sentence by examining the material in the trial to
buttress the conclusion derived from the consideration they made. At this point
the judges weighed on how the defendants committed a crime and the impact
brought on the family and the community. In determining the severity of sentence
pertaining to the examining ofmaterialsjudges turned to subjective and objective
assessment that, more often than not, gave rise to ensuingdifference between one
decision and others which are commonly referred to as sentencing disparity. The
author made suggestion that in order to meet substantive justice in making a
verdict, judges had to begoverned by Article 5 Paragraph (1) of the Laws
concerning Judicial Power where the judges arerequired to delve into, follow, and
meet the legal value and sense of justice prevailing in the society that secures
people’s confidence in the applicable court decisions.
Keywords: Disparity, Sentence, Justice1512011290 Fitri Lili Andini-2022-04-20T05:05:07Z2022-04-20T05:05:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58394This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583942022-04-20T05:05:07ZPENERAPAN ALASAN PEMBENAR TERHADAP TERSANGKA
PEMBUNUH PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
( Studi Pada Polres Metro Kota Bekasi )Kejahatan selalu terjadi di dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya mengancam
harta benda tetapi juga mengancam keselamatan jiwa seseorang. Salah satunya
yaitu tindak pidana pembunuhan yang merupakan suatu perbuatan sangat
keji.Tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan kekerasan oleh Polres Metro
Kota Bekasi dibebaskan dengan alasan pembenar yang didasarkan pada Pasal 49
Ayat (1) dan Pasal 48. Permasalahan dalam skripsi ini adalah : Bagaimanakah
penerapan alasan pembenar terhadap tersangka pembunuh pelaku pencurian
dengan kekerasan Dan Apakah faktor yang mempengaruhi penerapan alasan
pembenar terhadap tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan kekerasan.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber pada penelitian ini adalah dari Kepolisian
Metro Kota Bekasi dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa :Penerapan
Alasan Pembenar terhadap tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan
kekerasan yang dilakukan oleh Polres Metro Kota Bekasi mulai dari adanya niat
baik dan buruk dari korban dan tersangka yang melaporkan kejadian pembunuhan,
dilakukannya penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian, melakukan
rekontruksi ulang dijembatan summarecon, pemeriksaan kembali terhadap korban
dan tersangka dan merujuk pada KUHP Pasal 49 Ayat (1) dan Pasal 48. Adanya
pembelaan darurat dan keadaan darurat dari tersangka menyebabkan tidak
dipidananya tersangka. Diskresi adalah suatu wewenang menyangkut
pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan
keyakinan pribadi seseorang, dalam hal ini polisi. Kepolisian memiliki diskresi
untuk tidak melanjutkan kasus pembunuhan yang dilakukan tersangka terhadap
pelaku pencurian dengan kekerasan. Diskresi yang dimiliki oleh kepolisian diatur
dalam Pasal 15 Ayat (2), Pasal 16 Ayat (1 dan 2), Pasal 18 Ayat (1) Undang –
Fitri Almunawaroh
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Pasal 5 Ayat (1) angka 4, Pasal 7 Ayat (1) huruf j Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Sehingga kepolisian melakukan penerapan alasan pembenar
terhadap tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan kekerasan. Faktor yang
mempengaruhi penerapan alasan pembenar adalah penyidik Polres Metro Kota
Bekasi yang menangani perkara pembunuhan yang dilakukan tersangka terhadap
pelaku pencurian dengan kekerasan melakukan tugasnya dengan semaksimal
mungkin.Adanya faktor yang mempengaruhi penerapan alasan pembenar terhadap
tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan kekerasan yakni faktor hukum
faktor penegak hukumnya dan faktor sarana dan fasilitas. Hal ini disebabkan oleh
baiknya Undang-undang disusun oleh penegak hukum, dan penerapannya pun
dilaksanakan oleh penegak hukum
Saran dalam penelitian ini Polres Metro Kota Bekasi telah menerapkan alasan
pembenar terhadap tersangka pembunuh pelaku pencurian dengan kekerasan yang
membela diri karena dalam pembelaan darurat dan keadaan darurat. Kepada para
penegak hukum yang ada di Indonesia khususnya Kepolisian, penerapan alasan
pembenar dapat dijadikan contoh bagi pihak Kepolisian untuk menangani kasus
pembunuhan dalam pembelaan darurat dan keadaan darurat. Kepada masyarakat
jika dia melakukan hal yang benar dalam pembelaan darurat dan keadaan darurat
maka wajib membela hak – hak nya ketika memang dia tidak melakukan
kesalahan atau kejahatan.
Kata Kunci : Alasan Pembenar, Pembunuh, Pelaku Pencurian Dengan
Kekerasan,1512011034 FITRI ALMUNAWAROH-2022-04-20T05:05:04Z2022-04-20T05:05:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58387This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583872022-04-20T05:05:04ZANALISIS PELAKSANAAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN
TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA
DALAM KUHP
(Studi Kasus Putusan Nomor : 266 / Pid.B / 2016 / PN.Tjk.)Tindak Pidana Pencurian yang nominalnya dibawah Rp. 2,5 juta (dua juta lima
ratus ribu rupiah) yang di proses pada pengadilan memunculkan tanggapan miring
atas sistem peradilan Indonesia yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Jumlah denda dalam KUHP sangat ringan dan tidak sesuai dengan keadaan
masyarakat saat ini. Permasalahan dalam Skripsi ini adalah: Bagaimanakah
Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
Studi Kasus Putusan Nomor : 266 / Pid.B / 2016 / PN.Tjk.? Apakah faktor yang
menghambat pelaksaanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP ?
Permasalahan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris. Data : studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data: kualitatif.
Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Penyidik Kepolisian Daerah Lampung,
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Penasehat Hukum pada Kantor Sopian Sitepu and Partners dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa : Pelaksanaan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 pada proses peradilan di Indonesia
khususnya di Provinsi Lampung belum terlaksana dengan baik karena penegak
hukum dalam menangani perkara pencurian yang nominalnya dibawah Rp. 2,5
juta (dua juta lima ratus ribu rupiah) masih menggunakan KUHP. Faktor
penghambat Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
yang paling dominan adalah faktor penegakan hukum yang kurang memahami isi
dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012.
Findi Senja Kinanti
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan kepada Majelis Hakim sebelum
memutus suatu perkara hendaknya melaksanakan ketentuan aturan hukum pada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
dikarenakan Lembaga Kehakiman bukan saja penegak hukum tetapi juga penegak
keadilan. Selain itu, aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara tindak
pidana ringan turut mempertimbangkan aturan hukum diluar ketentuan KUHP
dengan memberlakukan secara efektif ketentuan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 02 Tahun 2012 pada setiap perkara tindak pidana ringan.
Kata Kunci : Pelaksanaan, Peraturan Mahkamah Agung, Batasan Tindak
Pidana Ringan1512011101 FINDI SENJA KINANTI-2022-04-20T05:05:02Z2022-04-20T06:46:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58386This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583862022-04-20T05:05:02ZANALISISIS EFEKTIVITAS AUTOPSI MAYAT KORBAN TINDAK
PIDANA DALAM UPAYA MENEMUKAN KEBENARAN MATERIILProses penyidikan pada perkara tindak pidana pembunuhan harus dilalukan
pemeriksaan terhadap tubuh mayat bagian dalam atau sering disebut dengan
autopsy. Autopsy biasanya dilakukan pada korban kasus pembunuhan, ataupun
bunuh diri tujuan dilakukan pemeriksaan terhadap tubuh mayat bagian dalam atau
autopsy untuk memeberikan kepastian atau dapat menentukan sebab-sebab
kematian seseorang yang diduga mati karena mendadak atau mati yang tidak jelas
penyebabnya. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang diambil dalam
penulisan skripsi ini antara lain Bagaimanakah efektivitas autopsi mayat korban
tindak pidana dalam upaya menemukan kebenaran materiil? dan Apakah faktor
penghambat bagi penyidik dalam mendapatkan keterangan autopsi sebagai alat
bukti?
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari
Reserse Kriminal Polres Lampung Barat, Reserse Kriminal Polsek Sumber Jaya
Lampung Barat, Dokter Puskesmas Lampung Barat, dan Dosen Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan
analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa autopsy
terhadap mayat sangat penting dilakukan dalam membantu proses penyidikan
pada perkara tindak pidana pembunuhan. Dengan dilakukannya autopsy proses
penyidikan dapat berjalan dengan baik dan mempermudah penyidik dalam
menemukan alat bukti dan mengetahui dengan jelas penyebab kematian korban.
Filza Elfrizza Pratiwi
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka perlu diberikan
saran dalam skripsi ini, yaitu kepolisian dan dokter selaku penyidik untuk saling
berkolaborasi dengan baik dan lebih memahami tentang pentingnya di lakukan
autopsy, karena dari hasil dari autopsy sangat membantu dan mempermudah
dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian untuk mencaritahu sebab
dan penyebab kematian korban. Dan hasil dari autopsy dapat juga dijadikan
sebagai alat bukti yang sah menurut hukum sebagai pertimbangan hakim pada
saat proses persidangan.
Kata Kunci: Efektivitas, Autopsi, Kebenaran Materiil.1412011155 Filza elfrizza pratiwi-2022-04-20T05:04:59Z2022-04-20T06:45:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58382This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583822022-04-20T05:04:59ZPEMIDANAAN TERHADAP NARAPIDANA PELAKU
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI DALAM
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi di Cabang Rutan Muaradua Sumatera Selatan)Pemidanaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, seharusnya dapat
menjadikan narapidana menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi
masyarakat setelah selesai menjalani masa pidana. Pada kenyataannya terdapat
narapidana yang kembali melakukan tindak pidana narkotika ketika menjalani masa
pidana. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan: (1) Bagaimanakah proses
penjatuhan pidana terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan? (2) Bagaimanakah
pemidanaan terhadap narapidana pelaku penyalahgunaan narkotika di dalam
Lembaga Pemasyarakatan yang ditambah hanya 1 (satu) tahun penjara sesuai
dengan tujuan pemidanaan?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
studi lapangan. Narasumber penelitian adalah Kepala Subseksi Pelayanan Tahanan
pada Cabang Rutan Muaradua, Staf Registrasi pada Cabang Rutan Muaradua,
Narapidana dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Analisis data
dilakukan secara kualitatif untuk menarik kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Proses penjatuhan pidana
terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di
dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah dengan pemberatan pidana dengan
memperberat atau menambah lamanya pidana. Pelaku adalah narapidana yang
dipidana selama 10 tahun kerena melakukan tindak pidana pembunuhan dan sudah
menjalani masa pidana selama 3 tahun, tetapi di dalam Lembaga Pemasyarakatan
melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri
sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga hakim menjatuhkan pidana selama 1
tahun. Dengan demikian lamanya terdakwa menjalani pidana adalah akumulasi
penjatuhan pidana pertama dan kedua, yaitu 11 tahun penjara. (2) Pemidanaan
terhadap narapidana pelaku penyalahgunaan narkotika di dalam Lembaga
Pemasyarakatan yang ditambah hanya 1 (satu) tahun sesuai dengan teori
pembalasan atau absolut, karena narapidana selain dijatuhi pidana juga tidak dapat
Ferantika Sintauli
diberikan beberapa hak di antaranya adalah hak Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat dan Remisi. Hal ini disebabkan tidak terpenuhinya
persyaratan narapidana untuk memperoleh hak-hak tersebut, khususnya narapidana
harus berkelakukan baik, karena narapidana pelaku tindak pidana narkotika di
dalam lapas secara otomatis tidak memenuhi syarat berkelakukan baik tersebut.
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pihak lembaga
pemasyarakatan hendaknya meningkatkan upaya pembinaan dan pengawasan
secara intensif terhadap narapidana yang menjalani pidana. (2) Pihak lembaga
pemasyarakatan hendaknya mengintensifkan pengawasan terhadap berbagai hal
yang dapat menjadi celah masuknya narkotika.
Kata Kunci: Penjatuhan Pidana, Narapidana, Narkotika1512011005 FERANTIKA SINTAULI-2022-04-20T05:04:57Z2022-04-20T05:04:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58378This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583782022-04-20T05:04:57ZANALISIS PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEDAGANG YANG
MENGAKIBATKAN GANGGUAN FUNGSI JALAN UMUM
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009Keberadaan pedagang kaki lima memunculkan permasalahan sosial dan
lingkungan berkaitan dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu
kota. Ruang-ruang publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat
umum untuk mendapatkan kenyamanan baik untuk berolah raga, jalan kaki
maupun berkendara menjadi terganggu. Penegakan sanksi pidana terhadap
Pedagang Kaki Lima/Warung Tenda (pedagang) yang mengakibatkan gangguan
fungsi jalan umum, ternyata tidak menyurutkan perbuatan pidana tersebut untuk
tidak terulang, sebagai contoh yang terjadi di Bandar Lampung. Berdasarkan latar
belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah Penegakan Sanksi Pidana Terhadap Pedagang Yang
Mengakibatkan Gangguan Fungsi Jalan Umum Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya dan Faktor-
Faktor Apa Saja Yang Menghambat Penegakan Sanksi Pidana Terhadap Pedagang
Yang Mengakibatkan Gangguan Fungsi Jalan Umum
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kepolisian Resor Tanjung Karang, dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis
data menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
penegakan sanksi pidana terhadap pedagang yang mengakibatkan gangguan
fungsi jalan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya bahwa aparat penegak hukum mencantumkan
sanksi pidana yang dapat diberikan kepada orang yang menggunakan trotoar
sebagai milik pribadi dan mengganggu pejalan kaki aparat penegak hukum baik
FARHATIN NISA MARENA
Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Pengadilan yakni Hakim jangan lemah
dalam menegakan hukum, melanggar ketentuan berdagang diatas trotoar yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan yang telah ditentukan
oleh (UU LLAJ). Faktor paling dominan yang menjadi penghambat upaya
penegakan sanksi pidana terhadap pedagang yang mengakibatkan gangguan
fungsi jalan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya adalah faktor aparat penegak hukum, yaitu
secara kuantitas masih terbatasnya jumlah personel kepolisian dan secara kualitas
sumber daya manusia,
Adapun saran yang diberikan penulis perlunya untuk lebih mengoptimalkan peran
polisi dalam rangka pencegahan pelanggaran maupun tindak pidana dan
meningkatkan pelaksanaan patrol terhadap berbagai titik yang dianggap yang
mengakibatkan gangguan fungsi jalan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya. Kemudian Para tokoh
masyarakat ataupun para pejalan kaki disarankan untuk tidak takut untuk
melaporkan kepada Kepolisian apabila ada pedagang yang melanggar aturan
berjualan di atas trotoar yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan umum.
Kata kunci: Analisis, Penegakan, Sanksi Pidana, Pedagang, Jalan Umum1512011089 FARHATIN NISA MARENA-2022-04-20T05:04:55Z2022-04-20T05:04:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58377This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583772022-04-20T05:04:55ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PERUSAKAN ALAT
PERAGA KAMPANYE DI KABUPATEN TANGGAMUSSalah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem Pemilihan Umum
(Pemilu) yang jujur dan adil. Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia
perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu sekaligus melindungi
para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada
umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, perusakan
alat peraga kampanye dan berbagai praktik curang lainnya yang akan
mempengaruhi hasil Pemilu Oleh karena itu, Pemilu yang jujur dan adil
membutuhkan peraturan perundang-undangan Pemilu beserta aparat yang
bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan Pemilu tersebut. Sehingga
tidak terjadinya praktik curang yang terjadi.Pemilihan Umum merupakan bentuk
nyata dari kedaulatan yang berada ditangan rakyat dalam penyelenggaraan
Negara. Pasal 69 huruf g Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang penerapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memberikan larangan berkaitan
dengan pelaksanaan kegiatan kampanye, yakni merusak alat peraga kampanye.
Permasalahan dan ruang lingkup yang diangkat adalah bagaimanakah pelaksanaan
Penegakan Hukum terhadap pelaku perusakan alat peraga kampanye dan apakah
faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku perusakan alat peraga
kampanye di kabupaten tanggamus.
Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris, pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-
konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian
ini juga dengan melihat fakta dalam praktik yang ada dilapangan dengan tujuan
melihat fakta-fakta yang konkrit tentang proses penegakan hukum dan faktor
penghambat penegakan hukum dalam perusakan alat peraga kampanye.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa penegakan hukum terhadap
pelaku perusakan alat peraga dikabupaten tanggamus adalah dilakukan oleh sentra
gakkumdu yaitu kejaksaan, kepolisan,dan bawaslu harus sesuai dengan proses
hukum yang berlaku dan mengacu pada peraturan bersama bawaslu untuk
melaksanakan proses penegakan hukum yang cepat singkat dan dalam waktu yang
ditentukan, dari mulainya laporan yang diterima oleh bawaslu, kemudian
Fajar Ryan Akbar AM
ditingkatkan ke proses penyidikan oleh kepolisian sampai keproses penuntutan
yang dilakukan oleh kejaksaan tetapi dalam proses pelaksanaan penegakan hukum
ketiga instansi terkait saling berkomunikasi dan menjalankan tugasnya bersama
sentra gakkumdu.adapun yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan
hukum yaitu faktor budaya,dan factor masyarakat itu sendiri mengingat
masyarakat yang belum mengerti akan peraturan ataupun larangan dalam
pengrusakan alat peraga kampanye, kemudian faktor budaya dimana saksi-saksi
yang kurang kooperatif dalam menyikapi kasus perusakan alat peraga kampanye.
Sebaiknya sentra gakkumdu yang terdiri dari kepolisian, bawaslu,dan kejaksaan
lebih memberikan sosialisasi terhadap masyarakat tentang peraturan dan larangan
dalam perusakan ataupun penghilangan alat peraga kampanye dan memberikan
tindakan pencegahan untuk kedepanya seperti mengadakan sosialisasi ataupun
simulasi jika ada yang melakukan penghilangan atau perusakan alat peraga
kampanye sehingga masyarakat mengerti akan peraturan dan sanksi yang
diberikan jika melakukan perusakan alat peraga kampanye,dimana alat peraga
kampanye mempunyai fungsi dalam menyampaikan visi dan misi calon pemilu
dan dalam proses penegakan hukumnya lebih meningkatkan koordinasi antara
kepolisian,bawaslu,dan kejaksaan.
Kata Kunci : Penegakan Hukum,Alat Peraga,Kampanye1542011029 FAJAR RYAN AKBAR AM-2022-04-20T05:04:53Z2022-04-20T05:04:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58374This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583742022-04-20T05:04:53ZANALISIS PERAN SENTRA PENEGAKAN HUKUM TERPADU
(GAKKUMDU) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Studi Pada Provinsi Lampung)Gakkumdu sebagai sentra penegakan hukum terpadu memiliki peran penting
dalam penanganan pidana Pilkada.. Permasalahan peneltiian adalah bagaimanakah
peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam penanggulangan
tindak pidana pemilihan kepala daerah dan apakah faktor penghambat peran
Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam penanggulangan tindak
pidana pemilihan kepala daerah.
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris yaitu dengan melakukan
penelitian langsung di lokasi penelitian dengan melihat, bertanya dan mendengar
dari pihak-pihak yang terkait. Sumber data yang di dapat dengan menggunakan
data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara
studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif.
.
Hasil penelitian menunjukkan peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu
(Gakkumdu) sebagai sentra penegakan hukum terpadu memiliki peran penting
dalam penanganan tindak pidana Pilkada, dibentuknya Gakkumdu bermaksud
untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pilkada oleh
Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Para anggota Gakkumdu sendiri berasal dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan penuntut yang berasal dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Faktor penghambat peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu
(Gakkumdu) dalam penanggulangan tindak pidana pemilihan kepala daerah,
Sentra Gakkumdu sesungguhnya punya kewenangan untuk mengumpulkan dan
mendalami bukti-bukti yang dibutuhkan maupun keterangan saksi sebelum
laporan/temuan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu diteruskan kepada
pihak kepolisian oleh lembaga Pengawas Pemilu. faktor penghambat yang paling
menonjol pada peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam
penanggulangan tindak pidana pemilihan kepala daerah dari pihak masyarakat
dimana masyarakat yang mengetahui adanya pelanggaran Pemilu tidak
melaporkan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Saran, ketika bicara dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu maka harapan itu
ada di tangan Sentra Gakkumdu, lembaga Pengawas Pemilu hanya sebagai pintu
masuk, analisis dan keputusan selanjutnya berada di pundak Sentra Gakkumdu
(Pengawas Pemilu, Kepolisian dan Kejaksaan) di pundak mereka lah semoga
masih ada secercah harapan untuk penegakan tindak pidana pemilu di Indonesia
guna melaksanakan pesta demokrasi pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
2019.
Kata Kunci: Peran Sentra Penegakan Terpadu (Gakkumdu), Tindak
Pidana, Kepala Daerah1512011157 EWIED FEBRIAN SAFITRI-2022-04-20T05:04:50Z2022-04-20T05:04:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58373This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583732022-04-20T05:04:50ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMALSUAN
DOKUMEN OTENTIK DALAM KREDIT FIKTIFTindak pidana Perbankan membuat pencatatan dokumen palsu mendorong pihak
bank melakukan perbaikan dalam kinerjanya. Terdakwa RS yang telah divonis
bebas dalam perkara Nomor 294 /Pid.B/2012 /PN.TK. Permasalahan yang ada
dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku
pemalsuan dokumen otentik dalam kredit fiktif dan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pelaku pemalsuan dokumen
otentik dalam kredit fiktif. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan empiris. Jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh
dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian dan pemabahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
pidana pelaku pemalsuan dokumen otentik dalam kredit fiktif yakni didasarkan
pada unsur kesalahan namun dalam perkara Nomor 294 /Pid.B/2012 /PN.TK tidak
adanya unsur kesalahan oleh Terdakwa, sehingga ada alasan pembenar maupun
bagi Terdakwa untuk terhindar dari pemidanaan. Hakim menilai bahwa
penyimpangan berupa pengambilan uang simpanan nasabah dan kredit yang
bermasalah tersebut telah diselesaikan dengan cara dikembalikan sehingga
Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) karena perbuatan tersebut
bukan perbuatan pidana melainkan dalam ruang lingkup keperdataan dan kode
etik perbankan dalam hal prudentian banking (etik perbankan prinsip kehati- hatian). Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan yakni dakwaan
jaksa namun dalam pertimbangannya perbuatan terdakwa bukan merupakan
perbuatan pidana sebagaimana terjadinya pendapat berbeda (Dessenting Opinion)
Majelis Hakim. Selanjutnya pertimbangan hal-hal yang meringankan dan
memberatkan, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak
pidana, akibat yang ditimbulkan serta menerapkan beberapa teori tujuan hukum
yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum. Saran dalam penelitian ini adalah agar Hakim hendaknya lebih objektif dalam
menjatuhkan vonis terhadap pelaku pelaku tindak pidana Perbankan. Hakim
hendaknya lebih menggali dan pro aktif mencari bukti-bukti terkait permasalahan
dalam delik yang di dakwakan. Kata Kunci: Pertanggungjawaban pidana, Pelaku Pemalsuan, Kredit Fiktif.
Criminal action Banks make recording of false documents encouraging the bank
to make improvements in its performance. The defendant of the hospital has been
acquitted in case Number 294 / Pid.B/2012 /PN.TK. The problems in this study
are: how is the criminal responsibility of the perpetrator of the falsification of
authentic documents in a fictitious credit and what is the basis for the Judge's
consideration in making decisions on the perpetrators of forgery of authentic
documents in fictitious credit.
This study uses a normative and empirical juridical approach. The types of data
used are primary data and secondary data. The data obtained were analyzed
qualitatively and deductively conclusions.
The results of the research and explanation show that the criminal responsibility
of authentic document forgery in fictitious credit is based on an element of error
but in Case Number 294 / Pid.B/2012 /PN.TK there is no element of mistake by
the Defendant, so there is justification and forgiveness for the Defendant to avoid
being convicted. The judge considered that the deviation in the form of taking
customer deposits and troubled loans had been settled by returning them so that
the Defendant was acquitted of all charges (vrijspraak) because the actions were
not criminal but within the banking and ethical codes in terms of banking
termination (banking ethics the principle of caution). The Judge's basis in making
a decision is the prosecutor's charges, but in the consideration of the defendant's
actions it is not a criminal act as the Dessenting Opinion of the Judge.
Furthermore, consideration of mitigating and burdensome matters, expectations of
the perpetrators not repeating their actions, motives for criminal acts,
consequences caused and applying several theories of legal objectives, namely
legal certainty, expediency and legal justice.
Suggestions in this study are that the Judge should be more objective in giving a
verdict on the perpetrators of banking crimes. Judges should be more digging and
pro active in looking for evidence related to the problems in the offense being
charged.
Keywords: Criminal Liability, Perpetrators Forgery, Fictitious Credit.1542011025 ERA FITRIANY-2022-04-20T05:04:42Z2022-04-20T05:04:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58372This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583722022-04-20T05:04:42ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK
PIDANA YANG DILAKUKAN PENDERITA GANGGUAN JIWAPeristiwa tindak pidana yang dilakukan penderita gangguan jiwa seringkali terjadi
dalam masyarakat akhir-akhir ini, akibatnya terdapat korban yang mengalami
kerugian, baik kerugian materil maupun formil. Hukum sebagai sarana untuk
menegakkan keadilan dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi
korban. Seperti kasus tindak pidana penembakan yang terjadi kepada dua warga
Teluk Betung Selatan, pelaku penembakan diduga mengalami gangguan jiwa dan
sedang menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa. Permasalahan yang diteliti
adalah bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana yang dilakukan penderita gangguan jiwa dan apa saja faktor yang
menghambat perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana yang dilakukan
penderita gangguan jiwa. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan yuridis normatif dan yuridis empiris. Dari hasil
penelitian dan pembahasan bahwa upaya perlindungan hukum yang diberikan
kepada korban sampai pada tahap penyidikan, sebab peristiwa ini ialah neb is
idem yang pelakunya terbukti mengalami gangguan kejiwaan. Perlindungan
hukum yang dapat diberikan pada korban tindak pidana yang dilakukan penderita
gangguan jiwa dapat berupa pencegahan terjadinya tindak pidana kejahatan yang
dilakukan oleh penderita gangguan jiwa, terapi psikis pada korban yang
dimungkinkan mengalami shock atau trauma, serta penjaminan rehabilitasi kepada
orang yang terbukti mengalami gangguan jiwa. Faktor penghambat perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana yang dilakukan penderita gangguan jiwa
adalah faktor undang-undang, faktor aparat penegak hukum, faktor eksistensi
hukum dan faktor minimnya pengetahuan korban mengenai hak-hak korban.
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah hendaknya perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana yang dilakukan penderita gangguan jiwa
dapat diberikan secara individual dan communal, dijadikan tanggungjawab
bersama-sama sehingga dapat melakukan pengawasan secara bersama-sama dan
mencegah terjadinya peristiwa ini terjadi kembali.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Penderita Gangguan Jiwa1412011132 ELVA-2022-04-20T05:04:41Z2022-04-20T05:04:41Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58367This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583672022-04-20T05:04:41ZIMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA)
NOMOR. 02 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENADAHAN
DALAM PRAKTIK
( Studi Putusan Nomor 208 / Pid.C / 2014 / Pn.Rap)Tindak Pidana Ringan (Tipiring) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 02 Tahun 2012 dimana sangat berbeda dengan tindak pidana lain
jika ditinjau dari nilai kerugian yang ditimbulkan oleh pelakunya, Tipiring sering
kali di lakukan oleh pelaku dikarenakan kondisi kebutuhan ekonomi. Tindak
Pidana yang nominalnya dibawah Rp. 2,5 juta (dua juta lima ratus ribu rupiah)
yang di proses pada pengadilan memunculkan tanggapan miring atas sistem
peradilan Indonesia yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Jumlah
denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat ringan dan
tidak sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang. Permasalahan dalam Skripsi
ini adalah: Bagaimana Implementasi Perma No 02 Tahun 2012 dalam rangka
penyelesaian Tindak pidana ringan dan tindak pidana penadahan dalam Praktik
(Studi Putusan Nomor 208/ Pid.C / 2014 / Pn Rap) dan Apakah yang menjadi
faktor penghambat Implementasi Perma Tahun 2012 dalam rangka penyelesaian
tindak pidana penadahan di dalam Praktik.
Pendekatan masalah dalam penelitihan ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitihan ini terdiri dari
Hakim pada Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Kepolisian Resor Labuhanbatu
serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik studi pustaka dan studi Lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan Perma 02
Tahun 2012 pada proses peradilan di Indonesia khususnya di Kota Rantau
Prapat,Sumatera Utara sudah terlaksana baik karena penegak hukum dalam
menangani perkara tipiring Khususnya Penadahan ringan yang nominalnya
dibawah Rp.2,5 juta sudah mengimplementasikan Perma 02 Tahun 2012 dan 482
KUHP. Faktor penghambat Perma Nomor 02 Tahun 2012 yang paling dominan
adalah faktor penegakan hukum yang kurang memahami isi dari Perma 02 Tahun
2012 oleh karena itu para penegak hukum lebih dominan menggunakan KUHP.
Ega Gamalia
Saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum khususnya pihak
kepolisian dalam penyelesaian perkara tipiring turut mempertimbangkan dengan
memberlakukan secara efektif ketentuan Perma Nomor 02 Tahun 2012, dan
substansi Perma No 02 Tahun 2012 ini dinaikan menjadi peraturan perundang-
undangan lain yang lebih mencangkup peradilan yang lebih luas misalnya sebagai
peraturan perundang-undangan dan KUHP sudah waktunya untuk diperbaharui
substasinya agar dapat menyelesaikan perkara pidana yang muncul sesuai dengan
kondisi yang terjadi sekarang.
Kata Kunci : Implementasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun
2012, Penadahan1512011230 EGA GAMALIA-2022-04-20T05:04:40Z2022-04-20T05:04:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58369This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583692022-04-20T05:04:40ZPERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA
TERHADAP PELAKU PENYIMPANGAN SEKSUAL PEDOFILIA
(Studi Putusan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS)Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegak dan
berfungsinya norma hukum secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Pedofilia
merupakan suatu aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap
anak di bawah umur untuk menjadi pasangan orang dewasa. Di Kabupaten
Lampung Tengah terdapt seorang pelaku penyimpangan seksual yang telah diadili
oleh putusan pengadilan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS. Permasalahan yang
diteliti penulis adalah Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor Putusan No
197/Pid.Sus/2018/PN.GnS dan Apakah putusan pengadilan pada perkara No
197/Pid.Sus/2018/PN.GnS telah sesuai dengan pertanggungjawaban pidana.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. data yang digunakan berupa data primer
dan data sekunder. metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah
kepustakaan dan penelitian lapangan. Analis data yang digunakan analisis data
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan: Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana melakukan tipu muslihat membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya. dalam Putusan Nomor 197/ PID.SUS/ 2018/
PN.GnS. berdasarkan Dakwaan penuntut umum, keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa (Pasal 183 dan Pasal 184 KUHP) serta memperhatikan
hukum yang hidup dimasyarakat. Sementara itu berdasarkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan Pelaksanaan Putusan Nomor
197/PID.SUS/2018/PN. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Nomor:
197/Pid.SuS/2018/PN.GnS telah sesuai dengan teori pertanggungjawaban pidana
yakni menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pada diri terdakwa tidak ditemukan cacat mental atau kelainan jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Perbuatan terdakwa yang melakukan
persetubuhan terhadap dua anak korban telah memenuhi unsur delik yang termuat
dalam Pasal 81 ayat (2) ayat (5) Jo Pasal 76D Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Elgidhea Andreta
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Penulis menyarankan hakim yang berwenang untuk mempertimbangkan Perppu
Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah satunya adalah hukuman kebiri
kimia (chemical castration) ) dan pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi
pelaku penyimpangan seksual pedofilia. Serta Perlu menjadi tanggung jawab
bersama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat untuk
mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku penyimpangan
seksual pedofilia terhadap anak, maka hal yang penting dilakukan adalah
meningkatkan pendidikan moral dan agama yang kuat pada masing masing
individu, mengawasi anak dengan intensif dan menjakatuhkan anak dari pengaruh
kehidupan yang tidak baik.
Kata kunci: Putusan Hakim, Pertanggungjawaban Pidana, Pedofilia1512011333 Elgidhea Andreta-2022-04-20T05:04:36Z2022-04-20T05:04:36Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58364This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583642022-04-20T05:04:36ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENGANIAYAAN OLEH
PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN KEPADA NARAPIDANA
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Merah Mata Klas IA Palembang)Correctional Institutions as a place for fostering and improving prisoners are
expected to function as they should so that they can deal with crime in the
community as mandated in Law No. 12 of 1995 concerning Corrections.
Penitentiary has a very strategic role in the framework of fostering human
resources, the implementation of fostering Prisoners including how conducive
conditions are created in carrying out their duties in Correctional Institutions
(Lapas). But in fact many Prisoners actually commit new crimes within the
Penitentiary. The problems of this thesis are: 1. What are the factors that cause the
criminal acts of persecution by Penitentiary in the Penitentiary Class IAMerah
Mata Palembang? 2. What is the effort to deal with the Criminal Act of Abuse by
Penitentiary Officers in the Red Eye Class IA Penitentiary in Palembang? The
researcher uses a juridical normative and empirical juridical approach. The
sources and types of data in this study are primary data obtained from field studies
with interviews at Penitentiary Class IA Red Eye Palembang and academics in the
Criminal Law Section of the Faculty of Law, University of Lampung. And secondary
data obtained from library research. the factors causing the crimes of mistreatment
are carried out by prison officers to caused by 2 factors, namely: internal (internal)
and external (external) factors. Factors from within namely, lack of ability to adapt,
and emotional level factors, factors from outside namely, economic factors, and
environmental factors inadequate room capacity, weak security in Correctional
Institutions
Keywords: Persecution, Prisoners, Penitentiar
Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan dan perbaikan terhadap para
narapidana diharapkan dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga dapat
menanggulangi kejahatan dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakataan. Pemasyarakatan
memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka pembinaan sumber daya
manusia, pelaksanaan pembinaan Narapidana termasuk bagaimana terciptanya
keadaan kondusif dalam pelaksanaan tugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Namun pada kenyataanya banyak Narapidana yang justru melakukan tindak pidana
baru di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Adapun permasalahanya: Apakah faktor
penyebab terjadinya tindak pidana penganiayaan oleh Petugas Lemabaga
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IAMerah Mata Palembang ?
Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap Tindak Pidana Penganiayaan oleh
Petugas Lembaga Pemasyaraktan di LembagaPemasyarakatan Kelas IA Merah
Mata Palembang?
Penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yurudis empiris.
Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari studi lapangan dengan wawancara di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IA Merah Mata Palembang dan kalangan Akademisi Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dan data sekunder diperoleh dari studi
kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa faktor
penyebab kejahatan penganiayaan dilakukan oleh petugas lembaga pemasyarakatan
kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Merah Mata Kelas IA Palembang
disebabkan oleh 2 faktor yaitu : faktor penyebab dari dalam (internal) dan faktor
dari luar (eksternal). Faktor dari dalam yaitu, kurang memiliki kemampuan
penyesuaian diri, dan faktor tingkat emosional, faktor dari luar yaitu, faktor
ekonomi,dan faktor lingkungan kapasitas kamar yang tidak memadai, lemahnya
keamanan dalam Lapas. Upaya menanggulangi tindak pidana penganiayaan oleh
Petugas Lembaga Pemasyaraktan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Merah
Mata Palembang ialah dengan melakukan cara preventif dan represif. Preventif
upaya yang dilakukan ialah dengan cara penggeledahan baik yang bersifat rutinitas
maupun insidentil dan mengupayakan pendekatan keamanan dan ketertiban.
Represif upaya yang dilakukan yaitu dengan memeriksa penghuni yang terindikasi
Duwi Ulandari
melakukan ganguan keamanan dan ketertiban. Adapun saran dalam penelitian ini
adalah untuk menunjang penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan kepada narapidana , Lapas perlu di dukung dengan sarana dan
prasarana yang cukup begitu pula dengan peningkatan kualitas SDM (sumber daya
manusia). Hendaknya pihak Lapas perlu meningkatkan kerja sama dengan pihak
instansi lainya dalam hal pengamanan keamanan dan ketertiban di Lapas.
Meingkatkan skill individu tentunya guna menunjang keberhasilan keamanan, dan
juga perlunya perubahan infrastruktur gedung lapas yang lebih besar, untuk
menciptakan keadaan lapas yang lebih tertib dan damai, bentuk pencegahan seperti
penggeledahan perlu ditingkatkan.
Kata kunci : Penganiayaan , Narapidana, Lembaga1512011123 DUWI ULANDARI-2022-04-20T05:04:33Z2022-04-20T05:04:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58359This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583592022-04-20T05:04:33ZANALISIS PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERUSAHAAN
YANG MEMBAYAR UPAH TENAGA KERJA DIBAWAH UPAH
MINIMUM KABUPATEN/KOTAUpah adalah hak pekerja atau karyawan yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja atau peraturan
perundang-undangan, adanya sanksi pidana terhadap perusahaan yang membayar
upah minimum serta minimnya penegakan sanksi pidana terhadap perusahaan
yang membayar upah buruh dibawah upah minimum, Penegakan sanksi pidana
terhadap perusahaan (pengusaha) yang melakukan pemberian upah tenaga kerja di
bawah upah minimum, ternyata tidak menyurutkan perbuatan pidana tersebut
untuk tidak terulang, sebagai contoh yang terjadi di Provinsi Lampung.
Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah Bagaimanakah Penegakan Sanksi Pidana Terhadap Perusahaan Yang
Membayar Upah Tenaga Kerja DiBawah Upah Minimum Kabupaten/Kota dan
Faktor – Faktor Apa Saja Yang Menghambat Penegakan Sanksi Pidana Terhadap
Perusahaan Yang Membayar Upah Tenaga Kerja DiBawah Upah Minimum
Kabupaten/Kota
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai permasalahan yang
diajukan dalam skripsi ini, diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan melanggar
ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota, maka pekerja dapat menempuh upaya
pidana yakni melaporkan ke pihak pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas
Tenaga Kerja apabila setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya
tindak pidana, maka pegawai pengawas memberikan nota pembinaan apabila
dalam proses pembinaan ternyata tidak dilaksanakan maka pegawai pengawas
melakukan kordinasi dengan pihak kepolisian untuk dilakukan penyidikan. Faktor
penghambatnya adalah adanya kepincangan dari substansi UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Jumlah pengawas ketenagakerjaan di Provinsi Lampung
Dirham Fathurusi
tidak sebanding dengan jumlah Perusahaan yang diawasi. Minimnya fasiltas dan
sarana yang ada di Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Lampung. Masyarakat
khususnya pekerja/buruh belum mengetahui sarana pidana. Kurangnya kesadaran
masyarakat atas pentingya penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepada Dinas Ketenagakerjaan Provinsi
Lampung, hendaknya meningkatkan sosialisasi kepada perusahaan mengenai
ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Sehingga perusahaan dapat mengerti
akan kewajibannya untuk melaksanakan upah minimum sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Kepada Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Lampung, kedepannya
perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Hal ini diperlukan untuk memaksimalkan pengawasan terhadap pelaksanaan Upah
Mimimum Kabupaten/Kota (UMK).
Kata Kunci: Analisis, Penegakan, Sanksi Pidana, Perusahaan, Upah.1412011116 DIRHAM FATHURUSI-2022-04-20T03:22:04Z2022-04-20T03:22:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58638This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586382022-04-20T03:22:04ZUPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN SEKSUAL
TERHADAP ANAK
(Studi Kasus di Polsek Tanjung Karang Timur)Maraknya tindak kejahatan yang sering terjadi dimasyarakat salah satunya yang
membuat miris yaitu kekerasan seksual yang banyaknya terjadi pada anak-anak
dibuktikan dengan berdasarkan data statistik dari UPTD P2TP2A Provinsi Lampung
yang menunjukan adanya peningkatan yang signifikan terkait kekerasan seksual
terhadap anak dalam kurun waktu satu tahun saja. Makhluk kecil yang masih sangat
bergantung pada orang dewasa untuk selalu dibimbing dan dilindungi ini sering
menjadi target dari kejahatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah upaya Polri dalam menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak
(2) Apakah yang menjadi faktor penghambat Polri dalam upaya penanggulangan
kekerasan seksual terhadap anak.
Metode penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari
Penyidik Polsek Tanjung Karang Timur, Tim UPTD P2TP2A Provinsi Lampung dan
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Prosedur
pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan
lapangan. Data yang diperoleh dikelola dengan menggunakan metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian di Polsek Tanjung Karang Timur dapat diketahui bahwa:
upaya Polri dalam menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak dilakukan melalui
(1) Upaya Pre-emtif yaitu, dilakukan dengan sosialisasi terhadap masyarakat maupun
anak-anak untuk pencegahan kekerasan seksual yang marak terjadi pada anak agar
berpartisipasi aktif menjaga keamanan dan dan mencegah serta mengantisipasi
terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.(2) Upaya Preventif dilakukan oleh
petugas dengan aktivitas
Stella marsha
rutin yang dilakukan kepolisian untuk upaya pencegahan yakni dengan melaksanakan
patroli dan kegiatan hunting untuk mengantisipasi segala tindak kejahatan terutama
kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi dalam upaya penanggulangan
dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak (3) Upaya Represif, yaitu
dilakukan oleh pihak kepolisian dengan memberikan sanksi tegas kepada pelaku serta
memberikan pembinaan kepada pelaku selama menjalani masa hukuman.
Tahapannya yaitu antara lain penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai
dilaksanakannya pidana. Faktor penghambatnya yaitu, rendahnya kesadaran
masyarakat untuk terlibat dalam upaya menjaga dan memelihara Kamtibmas dapat
menjadi pemicu maraknya kasus-kasus kriminalitas di masyarakat peran masyarakat
dalam memberikan informasi.
Saran yang dapat penulis berikan adalah (1) Pemerintah hendaknya lebih
meningkatkan kualitas dalam bidang sarana dalam fasilitas agar lebih cepat dan
efisien dalam melakukan suatu penyidikan serta memberikan sanksi yang tegas
terhadap para penjual yang menjual bebas minuman keras sehingga dapat dijangkau
dengan mudah oleh anak-anak. (2) Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) khusus
perempuan dan anak lebih aktif dalam memberikan sosialisasi ke kelurahan-
kelurahan, terutama ke sekolah-sekolah yang sasaran nya sendiri banyak merupakan
anak-anak .
Kata Kunci : Upaya Polri, Menanggulangi Kekerasan, Seksual Anak1542011100 STELLA MARSHA-2022-04-20T03:21:14Z2022-04-20T03:21:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58635This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586352022-04-20T03:21:14ZKOORDINASI ANTARA KEPOLISIAN DENGAN DINAS KOMUNIKASI
DAN INFORMATIKA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN
PENYEBARAN KONTEN ASUSILA BERMUATAN LESBIAN, GAY,
BISEKSUAL DAN TRANSGENDER MELALUI MEDIA SOSIALUpaya Kepolisian dalam penanggulangan kejahatan penyebaran konten asusila
bermuatan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender Melalui Media Sosial (LGBT)
memerlukan koordinasi dengan instansi lain, sehingga upaya tersebut dapat
dilaksanakan secara optimal. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
koordinasi antara Kepolisian dengan Dinas Komunikasi dan Informatika dalam
penanggulangan kejahatan penyebaran konten asusila bermuatan Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender melalui media sosial? (2) Apakah faktor-faktor
penghambat koordinasi antara Kepolisian dengan Dinas Komunikasi dan Informatika
dalam penanggulangan kejahatan penyebaran konten asusila bermuatan Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender melalui media sosial?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris,
dengan sumber data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Narasumber
terdiri dari Penyidik pada Polresta Bandar Lampung, Pegawai pada Dinas
Komunikasi dan Informatika Kota Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Koordinasi antara Kepolisian dengan Dinas
Komunikasi dan Informatika dalam penanggulangan kejahatan penyebaran konten
asusila bermuatan LGBT melalui media sosial dilaksanakan dalam bentuk pertukaran
informasi mengenai adanya konten yang melanggar hukum. Dinas Komunikasi dan
Informasi Kota Bandar Lampung menyampaikan kepada Kepolisian dalam hal
menemukan adanya konten tersebut. Pihak Kepolisian menyampaikan kepada Dinas
Komunikasi dan Informasi yang selanjutnya diajukan rekomendasi pemblokiran situs
atau akun yang menyebarkan konten asusila bermuatan LGBT oleh Kementerian
Komunikasi dan Informasi (2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat koordinasi
antara Kepolisian dengan Dinas Komunikasi dan Informatika dalam penanggulangan
kejahatan penyebaran konten asusila bermuatan LGBT melalui media sosial terdiri
dari faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam
penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya. Dari kelima faktor tersebut,
maka faktor yang paling dominan adalah faktor penegak hukum, yaitu tidak semua
penegak hukum (penyidik) memiliki penguasaan teknologi yang memadai dalam
menanggulangi penyebaran konten asusila bermuatan LGBT melalui media sosial.
Robiyan
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Diperlukan komitmen dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan penyebaran konten asusila bermuatan LGBT melalui media sosial
(2) Diperlukan sinergi antara kesadaran hukum dan kesadaran moral dari masyarakat
dalam penanggulangan kejahatan penyebaran konten asusila bermuatan LGBT
melalui media sosial.
Kata Kunci: Penanggulangan, Konten Asusila, Media Sosial1512011008 ROBIYAN -2022-04-20T03:20:33Z2022-04-20T03:20:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58632This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586322022-04-20T03:20:33ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA WANITA SEBAGAI
PERSYARATAN BEKERJA DI LUAR NEGERI
(Studi pada Kepolisian Daerah Lampung)Salah satu tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah
pemalsuan dokumen Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagai persyaratan bekerja di
luar negeri. Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) saat ini
terus menjadi sorotan. TKI sering dijadikan obyek perdagangan manusia, kerja
paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas hak asasi
manusia. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peran Kepolisian
Daerah Lampung dalam penyidikan tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga
kerja wanita sebagai persyaratan bekerja di luar negeri? (2) Apakah faktor-faktor
yang menghambat peran Kepolisian Daerah Lampung dalam penyidikan tindak
pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita sebagai persyaratan bekerja di
luar negeri?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari penyidik Polda
Lampung, Pegawai Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung dan dosen hukum
pidana Fakultas Hukum Universita Lampung. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dalam penelitian ini
adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peran Kepolisian dalam
penyidikan tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita sebagai
persyaratan bekerja di luar negeri termasuk dalam peran normatif, ideal dan
faktual. Peran normatif dilaksanakan peraturan perundang-undangan, khususnya
Undang-Undang Kepolisian dan Hukum Acara Pidana. Peran ideal dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan penyidikan dan pelaksanaan tugas pokok
kepolisian. Peran faktual dilaksanakan berdasarkan kenyataan adanya kasus
pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita sebagai persyaratan bekerja di luar
negeri terhadap 53 TKW ilegal oleh Tersangka M. Yasin dan Siti Mariyah di
Condet Jakarta Selatan. Peran ini dilaksanakan melalui proses penyidikan, yaitu
M. Fadjeri Ramadhan
serangkaian tindakan yang tempuh oleh penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
tentang tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita sebagai
persyaratan bekerja di luar negeri. (2) Faktor-faktor penghambat peran Kepolisian
dalam penyidikan tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita sebagai
persyaratan bekerja di luar negeri adalah: a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu
secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber
daya manusia b) Faktor sarana, yaitu tidak adanya tidak adanya sarana
laboratorium forensik di Polda Lampung c) Faktor masyarakat, yaitu masih
adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses
penegakan hukum d) Faktor budaya, yaitu masih adanya nilai-nilai toleransi yang
dianut masyarakat untuk menempuh jalur di luar hukum positif untuk
menyelesaikan suatu tindak pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik Kepolisian Daerah Lampung
mengembangkan jaringan kerja sama dengan berbagai pihak dalam upaya
penanggulangan tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja. (2) Aparat
penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan penyuluhan
ketenagakerjaan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Penyidikan, Pemalsuan Dokumen, TKW1542011076 M. FADJERI RAMADHAN-2022-04-20T02:49:01Z2022-04-20T02:49:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58659This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586592022-04-20T02:49:01ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN TIDAK SAHNYA PENGHENTIAN
PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK POLRES WAY KANAN
(Studi Putusan Praperadilan Nomor: 1/Pid.Pra./2019/PN Bbu)Salah satu mekanisme yang disediakan KUHAP dalam menjamin perlindungan
akan hak asasi menusia, ketidakpastian hukum dan keadilan adalah melalui
Praperadilan. Salah satu putusan praperadilan adalah mengabulkan permohonan
penghentian penyidikan sebagai tersangka tindak pidana penyerobotan lahan dan
kerusakan adalah putusan Nomor : 1/Pid.Pra/2019/PN BBu. Permasalahan
penelitian ini adalah : Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan tidak sahnya penghentian penyidikan oleh penyidik dalam putusan
praperadilan Nomor : 1/Pid.Pra/2019/PN BBu dan Bagaimanakah proses hukum
terhadap tersangka setelah adanya putusan praperadilan Nomor :
1/Pid.Pra/2019/PN BBu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Blambangan
Umpu Kelas II, Kasat Reskrim Polres Way Kanan, Penasehat Hukum dari Pihak
Pemohon dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukan: (1) Dasar pertimbangan hakim
terhadap dikabulkannya permohonan praperadilan terhadap penghentian
penyidikan dalam putusan Nomor: 1/Pid.Pra/2019/PN BBu. Adalah penghentian
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres Way Kanan adalah tidak sah,
karena alasan penyidik melakukan penghentian penyidikan karena mengunakan
asas subsideritas dan dihentikan demi hukum namun didalam persidangan
penyidik tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada
jaksa/penuntut umum yang telah ditentukan oleh Pasal 109 Ayat (1) KUHAP
adalah salah satu dasar yang dilakukannya penyidikan, sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 4 Perkap Nomor: 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana yang kemudian lebih dipertegas lagi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015 . (2) Setelah adanya putusan praperadilan
Nomor: 1/Pid.Pra/2019/PN BBu hakim memerintah penyidik untuk melanjutkan1612011057 YULIANSYAH-2022-04-20T02:43:46Z2022-04-20T02:43:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58578This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585782022-04-20T02:43:46ZPERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MELAKUKAN OPPERASI
TANGKAP TANGAN TERHADAP PEJABAT PUBLIK
(Studi Wilayah Lampung Tengah)Peningkatan tindak pidana korupsi di Indonesia terjadi karena korupsi telah
merasuki berbagai sendi-sendi pemerintahan di berbagai institusi Negara baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Salah satu tipe korupsi yang
bersumbangsih besar dalam terjadinya peningkatan tindak pidana korupsi adalah
tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan. Dalam operasi tangkap
tangan, KPK mempergunakan teknik-teknik pengumpulan barang bukti untuk
dapat menandingi kecanggihan aktivitas korupsi yang dilakukan oleh koruptor.
Adapun teknik yang mengemuka adalah penyadapan dan penjebakan. melakukan
operasi tangkap tangan ini ada dua teknik yang digunakan KPK untuk mebuat
para koruptor tidak berkutik yaitu penyadapan dan penjebakan. Penyadapan hanya
diatur secara umum dalam UU No. 30 Tahun 2002, sedangkan penjebakan tidak
dikenal dalam berbagai aturan tentang korupsi.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa peran
lembaga KPK kewenangannya di berikan oleh undang-undang KPK. Berdasarkan
pasal 6 undang-undang KPK, bertugas untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.Pasal 11 undang-
undang KPK selanjutnya membatasi bahwa kewenangan KPK melakukan
penyidikan, penyelidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak pidana korupsi
yang :a.) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara Negara. B.) Mendapatkan perhatian yang
meresahkan masyarakat, dan atau c.) Menyangkut kerugian Negara paling sedikit
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Faktor penghambat Operasi Tangkap
Tangan yang dilakukan oleh KPK khususnya Operasi Tangkap Tangan yang
dilakukan oleh KPK terhadap beberapa pejabat di Kabupaten Lampung Tengah.
Putu Diah Trisna Pradana Suari
Hambatan-hambatan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantara faktor
substansi hukum, masyarakat, dan budaya hukum.
Saran dalam penelitian ini adalah: Diperlukan peraturan perundang-undangan
yang mendukung kinerja KPK dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana korupsi. Sehingga perlu dirancang undang-undang tindak pidana korupsi
yang lebih relevan untuk saat inidan di masa-masa mendatang, agar dapat
mencegah terjadinya korupsi, menimbulkan efek jera, dan mengembalikan
kerugian Negara.Pejabat negara, KPK dan masyarakat harus mempunyai
komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi.
Kata Kunci: KPK, Operasi Tangkap Tangan, Pejabat Publik1542011098 Putu Diah Tisna Pradana Suari-2022-04-20T02:43:44Z2022-04-20T02:43:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58576This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585762022-04-20T02:43:44ZANALISIS PUTUSAN PRA PERADILAN TERHADAP PENYITAAN
KENDARAAN HASIL LELANG NEGARA
(Studi Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2017/PN Kla)One of the powers granted by law to pretrial is to examine and dispatch the
legitimacy of forced efforts. Expansion of the Object of Pre-Judicial Request after
Decision Number 21 / PUU-XII / 2014 there are special characteristics of pre-trial
submission, one of which is illegal seizure such as in a Pre-Judicial case examined
in the Kalianda District Court Decision Number: 2 / Pid.Pra / 2017 / PN Kla. The
problems in this study are: What is the basis of the Judge's consideration in
imposing a Pre-Judicial Decision on illegitimate seizure and how the legal
implications of the Pre-Judicial Decision on illegal seizure by the Pesawaran
Resort Police on State Auction Results in the Decision Number: 2
/Pid.Pra/2017/PN Kla.
The study was conducted with a normative and empirical juridical approach. The
data used in this study secondary data obtained from library materials, and field
research carried out by observation and interviews (interviews), the data obtained
were analyzed qualitatively juridically and deductively drawn conclusions.
The results of research and exposition show that the Judge's basic consideration in
imposing a Pre-Judicial Decision on illegal seizure by the Pesawaran Resort
Police on State Auction Results in Decision Number: 2 / Pid.Pra / 2017 / PN Kla
is with legal considerations that the Respondent's actions those who do not want
to issue evidence in the form of 1 (one) unit of Mitsubishi Strada with vehicle
identity: Nopol BE-64-UL is contrary to Article 215 of the Criminal Procedure
Code. In the case the matter must be distinguished regarding handling of regular
ticketing cases and cases where based on Article 211 of the Criminal Procedure
Code must be examined based on a quick inspection event and when it is decided
the return of confiscated objects is carried out unconditionally immediately after
the convict fulfills the contents of the verdict but in this case, Satlantas Police
Resort Pesawaran did not comply with the reason that the evidence was allegedly
related to a criminal act so that it was delegated to Sat Reskrim the Police of
Pesawaran Resort. In his consideration that the seizure of the Applicant's goods
was illegitimate, then the Respondent was ordered to immediately return to the
Applicant the vehicle goods of the Mitsubishi Nopol BE-64-UL Car No. Frame:
MMBJNK74061037000 No. The 4D56-CH8684 engine is appropriately like the
situation when the car was confiscated. The legal implication of the Pre-Judicial
Decision on illegal seizure by the Pesawaran Resort Police towards State Auction
Results in Decision Number: 2 / Pid.Pra / 2017 / PN Kla that is after the Judge has
sentenced the Petitioners to submit a Pre-Judicial petition in part and ordered the
Respondent ( Pesawaran Resort Police) to immediately return to the Applicant the
vehicle goods of the Mitsubishi Nopol BE-64-UL Car No. Frame:
MMBJNK74061037000 No. The 4D56-CH8684 engine is appropriately like the
situation when the car was confiscated according to its truth and belief. So the
seizure carried out by the investigator in the case analyzed was invalid because it
was not carried out in accordance with the procedures specified in the Criminal
Procedure Code.
The suggestion in this study is that the Pesawaran Resort Police should be more
digging and pro-active in looking for evidence related to problems in illegal
seizure of vehicles from State Auction Results in Decision Number:
2/Pid.Pra/2017/PN Kla.
Keywords: Analysis, Pre-trial, Foreclosure, State Auction Vehicle.
Salah satu wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan adalah
memeriksa dan menutus sah atau tidaknya upaya paksa. Perluasan Objek
Permohonan Pra Peradilan pasca Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 terdapat
karakteristik khusus pengajuan pra peradilan salah satunya terhadap penyitaan
yang tidak sah seperti dalam kasus Pra Peradilan yang diperiksa di Pengadilan
Negeri Kalianda Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2017/PN Kla. Permasalahan yang ada
dalam penelitian ini adalah: Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan Putusan Pra Peradilan terhadap penyitaan yang tidak sah dan
bagaimana implikasi hukum Putusan Pra Peradilan terhadap penyitaan yang tidak
sah oleh Kepolisian Resor Pesawaran terhadap kendaraan Hasil Lelang Negara
dalam Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2017/PN Kla.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Data yang
digunakan dalam penelitian ini data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka,
dan penelitian lapangan dilakukan dengan observasi dan wawancara (interview),
data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif dan ditarik kesimpulan
secara deduktif.
Hasil penelitian dan pemabahasan menunjukkan bahwa Dasar pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan Putusan Pra Peradilan terhadap penyitaan yang tidak
sah oleh Kepolisian Resor Pesawaran terhadap kendaraan Hasil Lelang Negara
dalam Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2017/PN Kla yakni dengan pertimbangan
hukum bahwa tindakan pihak Termohon yang tidak mau mengeluarkan barang
bukti berupa 1 (satu) unit mobil Mitsubishi Strada dengan identitas kendaraan:
Nopol BE-64-UL bertentangan dengan Pasal 215 KUHAP. Dalam pokok perkara
haruslah dibedakan mengenai penanganan perkara tilang dan perkara biasa
dimana berdasarkan Pasal 211 KUHAP harus diperiksa berdasarkan acara
pemeriksaan cepat dan ketika diputus maka pengembalian benda sitaan dilakukan
tanpa syarat segera setelah terpidana memenuhi isi amar putusan tetapi dalam
perkara ini, pihak Satlantas Kepolisian Resor Pesawaran tidak mematuhinya
dengan alasan barang bukti tersebut diduga terkait tindak pidana sehingga
dilimpahkan ke Sat Reskrim Kepolisian Resor Pesawaran. Dalam
pertimbangannya bahwa tindakan penyitaan atas barang Pemohon adalah tidak
sah secara hukum, maka kepada Termohon diperintahkan untuk segera
mengembalikan kepada Pemohon barang kendaraan Mobil Mitsubishi Nopol BE-
64-UL No. Rangka: MMBJNK74061037000 No. Mesin 4D56-CH8684 secara
patut seperti keadaan saat mobil disita. Implikasi hukum Putusan Pra Peradilan
terhadap penyitaan yang tidak sah oleh Kepolisian Resor Pesawaran terhadap
kendaraan Hasil Lelang Negara dalam Putusan Nomor: 2/Pid.Pra/2017/PN Kla
yakni pasca Majelis Hakim memvonis mengabulkan permohonan Pra Peradilan
Pemohon untuk sebagian dan memerintahkan kepada Termohon (Kepolisian
Resor Pesawaran) agar segera mengembalikan kepada Pemohon barang kendaraan
Mobil Mitsubishi Nopol BE-64-UL No. Rangka: MMBJNK74061037000 No.
Mesin 4D56-CH8684 secara patut seperti keadaan saat mobil disita menurut
kebenaran dan keyakinannya. Jadi penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam
kasus yang dianalisa tidak sah karena tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang ditentukan dalam KUHAP.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian Resor Pesawaran hendaknya lebih
menggali dan pro aktif mencari bukti-bukti terkait permasalahan dalam penyitaan
yang tidak sah terhadap kendaraan Hasil Lelang Negara dalam Putusan Nomor:
2/Pid.Pra/2017/PN Kla.
Kata Kunci: Analisis, Pra Peradilan, Penyitaan, Kendaraan Lelang Negara.1542011064 Puteri Dwi Natami-2022-04-20T02:43:42Z2022-04-20T02:43:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58562This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585622022-04-20T02:43:42ZPERAN BALAI PEMASYARATAN KELAS II METRO DALAM
PENGAWASAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN
YANG MEMPEROLEH ASIMILASI
(Studi pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Metro)Balai Pemasyarakatan Kelas II Metro melaksanakan pembinaan di luar Lembaga
Pemasyarakatan, sebagai rangkaian kegiatan pembinaan, bimbingan dan
pengawasan terhadap anak didik pemasyarakatan. Balai Pemasyarakatan
mempunyai Peran dalam pengawasan terhadap anak didik pemasyarakatan yang
memperoleh asimilasi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
peran Balai Pemasyaratan Kelas II Metro dalam pengawasan terhadap anak didik
pemasyarakatan yang memperoleh asimilasi? (2) Apakah faktor penghambat peran
Balai Pemasyaratan Kelas II Metro dalam pengawasan terhadap anak didik
pemasyarakatan yang memperoleh asimilasi?
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
empiris. Narasumber terdiri dari Balai Pemasyarakatan Kelas II Metro dan dan
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Peran Balai Pemasyaratan Kelas II Metro
dalam pengawasan terhadap anak didik pemasyarakatan yang memperoleh asimilasi
termasuk dalam peran normatif dan peran faktual. Peran normatif dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Peran faktual dilaksanakan dengan pembimbingan dan penelitian
kemasyarakatan terhadap anak didik pemasyarakatan yang menjalani asimilasi.
Penelitian Kemasyarakatan dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap anak
didik pemasyarakatan yang disusun dalam bentuk laporan sebagai salah satu syarat
administratif dan bahan pertimbangan dalam peningkatan pembinaan anak didik
pemasyarakatan dalam rangka program integrasi sosial ke dalam masyarakat.
Sedangkan peran ideal belum dapat dilaksanakan karena terdapat berbagai faktor
penghambat pengawasan terhadap anak didik pemasyarakatan yang memperoleh
asimilasi. (2) Faktor-faktor yang menghambat peran Balai Pemasyaratan Kelas II
Metro dalam pengawasan terhadap anak didik pemasyarakatan yang memperoleh
asimilasi terdiri dari faktor penegak hukum yaitu masih kurangnya kuantitas
Pembimbing Kemasyarakatan, Faktor sarana dan fasilitas yaitu tidak tersedianya
perangkat teknologi yang dapat mendeteksi perkembangan kepribadian dan di Kota
Oxfian Saputra
Metro tidak ada Rumah Sakit Jiwa yang dapat dijadikan sebagai mitra kerja Bapas
dalam memantau perkembangan kejiwaaan anak didik pemasyarakatan. Faktor
masyarakatyaitu adanya masyarakat yang menjauhi dan menjaga jarak dengan anak
didik pemasyarakatan. Faktor kebudayaan yaitu adanya pandangan masyarakat
yang memberikan stigma buruk terhadap mantan anak didik pemasyarakatan
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai
Pemasyarakatan Kelas II Metro hendaknya ditingkatkan jumlahnya dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugas-tugas pembimbingan dan pengawasan terhadap anak
didik pemasyarakatan guna memenuhi hak-hak mereka selama menjalani masa
pidana (2) Anak didik pemasyarakatan yang menjalani asimilasi Balai
Pemasyarakatan Kelas II Metro hendaknya melakukan berbagai kegiatan yang
diprogramkan dengan penuh kesadaran dan keseriusan, sebab hal upaya ini
ditempuh untuk memudahkan proses integrasi ke tengah-tengah masyarakat apabila
anak didik pemasyarakatan telah menyelesaikan masa pidana.
Kata Kunci: Peran, Balai Pemasyaratan, Pengawasan, dan Asimilasi1512011117 OXFIAN SAPUTRA-2022-04-20T02:43:40Z2022-04-20T02:43:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58571This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585712022-04-20T02:43:40ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
VANDALISME
(Studi Kasus di Wilayah Kota Bandar Lampung)Vandalisme adalah suatu perbuatan membinasakan atau merusak benda pribadi
maupun umum yang dilakukan seseorang dengan cara coret-coret terhadap ruang
publik tanpa persetujuan dari pemiliknya. Tindak pidana vandalisme belakangan
ini marak terjadi tidak hanya di kota-kota besar saja seperti pulau Jawa tetapi
marak juga Terjadi di Kota Bandar Lampung. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana
vandalisme di wilayah Kota Bandar Lampung? Apa yang menjadi faktor
penghambat dalam penanggulangan tindak pidana vandalisme?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan yuridis empiris. Data: studi lapangan dan studi kepustakaan. Narasumber pada
penelitian ini terdiri dari penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Dinas
Sosial Kota Bandar Lampung dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Upaya Kepolisian Resor
Kota Bandar Lampung dalam Penanggulangan Tindak Pidana Vandalisme
dilakukan dengan menggunakan sarana penal dan nonpenal. Penanggulangan
sarana penal yaitu dengan menindak pelaku tindak pidana vandalisme sesuai
dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan serta melihat dari kasusnya dalam hal ini apabila kasus tindak pidana
vandalisme sudah terjadi proses hukum dan masuk keranah pengadilan. Kemudian
penanggulangan dengan sarana nonpenal yaitu dengan tindakan pencegahan
dalam hal ini upaya preventif dalam menanggulangi tindak pidana vandalisme.
Tindakan tersebut berupa mengadakan penyuluhan kepada masyarakat dan
melakukan patroli ke seluruh wilayah Kota Bandar Lampung. Faktor yang
menjadi penghambat upaya pihak kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana
vandalisme adalah faktor undang-undang, faktor undang-undang menjadi yang
pertama karena Pemerintah belum mempunyai aturan khusus mengenai tindak
pidana vandalisme. Kemudian faktor masyarakat, kurangnya ikatan sosial dengan
masyarakat, kebanyakan masyarakat memiliki sifat apatis terhadap vandalisme
sehingga tidak tercipta kerjasama yang bersinergi. Faktor sarana dan prasarana,
Ojie Bagastova
kurang memadai sarana dan prasana merupakan salah satu faktor penghambat
dalam penanggulangan tindak pidana vandalisme.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pemerintah hendaknya lebih berkoordinasi
dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, masyarakat dan instansi lainnya
untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana vandalisme serta pemerintah perlu
merumuskan aturan mengenai tindak pidana vandalisme supaya aparat penegak
hukum tidak melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus tindak pidana
vandalisme. (2) Kepolisian hendaknya dapat mengoptimalkan upaya nonpenal
dalam penanggulangan tindak pidana vandalisme karena melakukan pencegahan
lebih baik daripada memberantas. (3) Masyarakat diharapkan dapat bekerjasama
dengan pihak kepolisian dalam mengatasi tindak pidana vandalisme, maka
masyarakat dituntut untuk berperan aktif dalam penanggulangan tindak pidana
vandalisme agar tindak pidana vandalisme yang ada di Indonesia dapat berkurang
karena tanpa peran masyarakat kepolisian akan sulit melakukan pemberantasan
tindak pidana vandalisme.
Kata Kunci : Upaya Kepolisian, Penanggulangan, Vandalisme1412011327 Ojie Bagastova-2022-04-20T02:43:38Z2022-04-20T02:43:38Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58567This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585672022-04-20T02:43:38ZPERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK YANG DIIKUTSERTAKAN
DALAM KAMPANYE PARTAI POLITIKDi Indonesia sering kita jumpai anak-anak yang diikutsertakan dalam kampanye
partai politik.Larangan tersebut sudah jelas diatur dalam Pasal 15 UU
Perlindungan Anak. Dalam situasi riil politik dan perilaku politik saat ini, sangat
mungkin sekali terjadi penyalahgunaan dan pelanggaran hak anak dalam pelibatan
aktivitas kampanye. Penyalahgunaan dan pelanggaran tersebut dapat berdampak
pada kesehatan psikologis dan fisik anak. Maraknya pelibatan anak dalam
kampanye serta dampak buruk yang dapat ditimbulkan, menjadi alasan penulis
untuk membahas mengenai (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak
yang diikutsertakan dalam kampanye partai politik? (2) Apakah yang menjadi
faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku yang
mengikutsertakan anak dalam kampanye partai politik?
Pendekatan masalah yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sedangkan pengolahan
data yang diperbolehkan dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan
penyusunan data. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dan
penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukan : (1) Perlindungan hukum bagi
anak yang diikutsertakan dalam kampanye di Indonesia diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 280 ayat
(2) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan Pasal 1 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 yang telah diperbaharui oleh
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 (2) Faktor penghambat perlindungan anak
yang diikutsertakan dalam kampanye partai politik yaitu faktor penegakan hukum,
faktor masyarakat, faktor kebudayaan, faktor sarana dan fasilitas.
Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Hendaknya orang tua lebih memperhatikan
dampak kepada anak saat mengajak anak dalam kegiatan kampanye partai politik
Octyarus Wianty
karena hal tersebut sering dilakukan secara sadar dan tidak sadar. Jika anak
diikutsertakan dalam kampanye parpol dan mendengar bahasa, tutur kata, atau
prilaku yang tidak baik akan berdampak pada psikologi mereka. (2) Hendaknya
Partai politik mempertimbangkan substansi serta pesan-pesan yang hendak
disampaikan dalam kampanye partai politik. Saat berkampanye harus memiliki
konsep kampanye ramah anak. Sehingga pelaksanaan kampanye tersebut
meminimalisir dampak negatif yang bisa berpengaruh secara psikologis atau
kekerasan emosional seperti meniru hal yang tidak pantas untuk dilihat oleh anak.
Kata Kunci : Perlindungan Anak, Kampanye, Partai Politik1512011300 OCTYARUS WIANTY-2022-04-20T02:43:37Z2022-04-20T02:43:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58501This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585012022-04-20T02:43:37ZIMPLEMENTASI STANDARD MINIMUM RULES FOR THE TREATMENT
OF PRISONERS TERHADAP WARGA BINAAN DALAM
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandar Lampung)Pelaksanaan Pembinaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan dan sebagai aparat
pemerintah sekaligus sebagai pranata hukum, aparat pembina harus dapat menjaga
keseimbangan dan memberikan perlakuan yang sama atau adil terhadap sesama
warga binaan. Instansi atau Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan
tugasnya harus memperhatikan sisi kemanusiaan karena warga binaan merupakan
bagian dari masyarakat yang haruslah secara wajar diperhatikan hak–haknya
terutama bagi warga binaan yang telah selesai menjalani masa hukumannya dan
siap kembali kemasyarakat. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah
Bagaimanakah Implementasi Standard Minimum Rules For The Treatment Of
Prisoners Terhadap Warga Binaan Dalam Lembaga Pemasyarakatan kelas I
Bandar Lampung dan Apakah faktor penghambat dalam Mengimplementasikan
Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners Terhadap Warga
Binaan Dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.
Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari
Kepala Bagian Pembinaan, Kepala Bagian Kesehatan, Warga Binaan, dan
Akademis Hukum Pidana Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi perpustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan dengan
cara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa, (1) Implementasi Standard Minimum Rules Of The Treatment For
Prisoners dilakukan dengan cara meratifikasikan ke dalam bentuk UndangUndang yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
agar sesuai dengan keadaan yang ada di Indonesia. Dalam
pengimplementasiannya sudah sesuai dengan undang-undang dan peraturanperaturan yang berlaku di Indonesia sehingga apa yang menjadi cita-cita dalam
pembinaan tersebut tercapai.
Nur setiawan
(2) Faktor Penghambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar
Lampung adalah: Faktor perundang-undangannya atau hukumnya sendiri, yaitu
belum membedakan proses pembinaan antara warga binaan tindak pidana umum
dengan tindak pidana khusus. Faktor penegak hukum, yaitu kurangnya petugas
pembina pemasyarakatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Faktor sarana
dan prasarana, yaitu bangunan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan yang tidak
seimbang dengan jumlah penghuni. Faktor Masyarakat, yaitu masyarakat yang
sulit menerima kehadiran warga binaan ditengah lingkungan masyarakat serta
kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat warga binaan. Faktor kebudayaan,
yaitu kurangnya kesadaran diri dari warga binaan untuk mengikuti proses
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan,
Saran dalam penelitian ini adalah yang pertama Hendaknya Aparat Penegak
Hukum khususnya kepada Aparatur Lembaga Pemasyarakatan dalam melakukan
pembinaan terhadap warga binaan sungguh-sungguh menerapkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta undang-undang lainnya
dalam pelaksanaannya, yang kedua Hendaknya Pemerintah memperhatikan apa
yang menjadi kebutuhan bagi warga binaan dan Lembaga Pemasyarakatan agar
warga binaan bisa mengikuti proses pembinaan yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan dengan baik dan terhindar dari terjadinya residivis.
Kata kunci : Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners,
Warga Binaan, Lembaga Pemasyarakatan.
Implementation founding the correctional officer and as a government apparatus
as well as legal institutions, the guiding apparatus must be able to maintain
balance and give the same treatment or fair a fellow fostered citizens. Correctional
institutions institutions in carrying out their duties must pay attentions to the
human side because the fostered people are part of the community whose rights
should be properly considered especially for fostered citizens who have finished
serving their sentences and are ready to return to community. The problems
discussed in this thesis are how is the implementation of standard minimum rules
for the treatment of prisoners towards fostered residents in Bandar Lampung class
1 penitentiary and what are the inhibiting factors in implementing standard
minimum rules for the treatment of prisoners towards fostered residents in
correctional institutions class 1 Bandar Lampung.
Writing this thesis uses two problem approaches namely juridical normative and
empirical juridical approach. The resource person of this research consisted of the
headof the coaching section, head of health, fostered citizens, academic criminal
law university of lampung. Data collection is done by library study and field
study. Data analysis was carried out in a qualitative manner.
Based on the results of research on discussion a conclusion can be drawn that. (1)
implementation standard minimum rules for the treatment of prisoners done by
ratifying it into the form of the law namely law number 12 of 1995 concerning
correctionalservise to suite the conditions in Indonesia. The implementation is in
accordance with the law and regulations in force in Indonesia so that what is to be
achieved in the development is achieved. (2) inhibitory factor faced by the
correctional institution class 1 Bandar Lampung is the laws factor or the law it self
that is they have not differentiated the fostering process between those fostered by
generalcriminal acts from specific criminal acts from specific criminal acts I am
Nur Setiawan
enforcement factors namely the lack of correctional supervisors in terms of both
quantity and quality. Facilities and infrastructure factors namely buildings in
prison are not balanced with the number of occupants. Community factors,
namely the community that is difficult to accept the presence of fostered people in
the midst of the community and the lack of support form those closest to the
fostered people cultural factors namely the lack of self awareness of fostered
citizens to follow the quidance process in a penitentiary.
The suggestion in this study is that the first one should be law enforcement
officersin particular to the penitentiary. Apparatus in guiding the fostered citizens
really applying law number 12 of 1995 concerning correctional and other laws in
its implementation the second one is that the government should pay attention to
the needs of the fostered citizens and correctional institutions so that fostered
citizens can follow the guidance process in prison properly and avoid recidivist.
Keywords : Standard minimum rules for the treatment of prisoners, fostered
citizens, correctional institution.1412011321 NUR SETIAWAN-2022-04-20T02:43:35Z2022-04-20T02:43:35Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58555This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585552022-04-20T02:43:35ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEPALA
DESA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
PROGRAM REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
(Studi Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)Program rehabilitasi rumah tidak layak huni seharusnya dilaksanakan sesuai dengan
peruntukannya yaitu perbaikan rumah masyarakat tidak mampu yang sangat
membutukan bantuan dari pemerintah, tetapi faktanya justru dana yang dianggarkan
untuk program tersebut dikorupsi oleh Kepala Desa. Pelaku tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum yang berlaku.
Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program
rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK. dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program
rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK.
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber
penelitian terdiri dari Hakim Tipikor pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan
Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data
menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak
huni dilakukan dengan penjatuhan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider (2) dua bulan kurungan
sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan
perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa
dalam melakukan korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni,
sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena
memenuhi unsur kesengajaan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi
rumah tidak layak huni pada Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK adalah
Nanda Novia Putri
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim juga
mempertimbangkan bahwa pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera dan
sebagai pembinaan terhadap terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah pemerintah hendaknya meningkatkan pengawasan
terhadap program pembangunan di desa melalui dana bantuan pemerintah untuk
pembangunan dan kelengkapan sarana prasarana dalam rangka mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di
masa yang akan datang diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Kepala Desa, Korupsi1542011051 NANDA NOVIA PUTRI-2022-04-20T02:43:33Z2022-04-20T02:43:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58558This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585582022-04-20T02:43:33ZANALISIS KRIMINOLOGIS PENIPUAN DAN PENGGELAPAN SEWA
KAMERA DENGAN MODUS PEMALSUAN
IDENTITAS DI WILAYAH
BANDAR LAMPUNGPenipuan kejahatan penggelapan dan penggelapan kamera dengan modus pemalsuan
identitas merupakan tindak pidana yang cukup meresahkan, karena niat pelaku yang
terencana dan tersusun rapi sehingga sulit untuk dilacak. Hal inilah yang membuat
pemalsuan identitas diatur dan termasuk suatu tindakan pidana. Tindak pidana
pemalsuan pada umumnya dilakukan oleh pelaku yang memiliki kewenangan dalam
suatu kumpulan masyarakat, lembaga atau instansi dan organisasi pemerintahan.
Pemalsuan terhadap tulisan atau surat terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak
benar digambarkan sebagai benar. Kejahatan pemalsuan identitas di atas tidak hanya
korban saja yang merasa dirugikan tetapi, nama yang dicatut oleh tersangka pun
mengalami kerugian yang sama, peran pihak berwenang salah satu syarat penting
dalam menanggulangi dan melakukan pencegahan terjadinya kejahatan penipuan
dengan modus pemalsuan identitas di wilayah Bandar Lampung.
Penulis skripsi ini mengunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan dalam
penulisan proposal skripsi ini adalah data primer dan data skunder, Pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Responden penelitian ini
terdiri dari Polisi Sektor Kedaton Bandar Lampung, Narasumber, dan Dosen Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data penelitian dianalisis
secara kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penunulis maka ditarik kesimpulan
bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab pelaku melakukan kejahatan penipuan
dan penggelapan kamera dengan modus pemalsuan identitas yaitu faktor ekonomi
yaitu faktor paling utama faktor yang paling mendasari pelaku melakukan kejahatan
penipuan dengan modus pemalsuan identitas untuk memenuhi kebutuhan keluarga
yang dilanda kemiskinan. Faktor lingkungan, lingkungan yang merupakan faktor
yang membuat pelaku terdorong untuk melakukan kejahatan tersebut. Faktor
pendidikan faktor ini memperlihatkan bahwa kurang pemahaman mengenai dampak
hukum oleh pelaku dari apa yang dilakukannya. Faktor iseng dan coba-coba faktor ini
yang menjadi awal sebab-musabab nya pelaku melakukan kejahatan penipuan,
dengan berawal
Nur Rahma Lestari
sesekali mencoba dan berhasil ini yang menyebabkan pelaku ketagihan. Faktor
peranan korban, aktor ini menjadi sangat penting dalam kasus ini, karna kurang nya
kewaspadaan korban yang mudah tegiur oleh iming iming pelaku membuat pelaku
senang dan merasa berhasil sehingga mengulang kejahatan tersebut. Selanjutnya,
faktor terakhir yang menjadi faktor pelaku melakukan kejahatan ini yaitu factor
minimnya tertangkap oleh pihak berwajib, kurangnya kepedulian masyarakat akan
hal tesebut, sehingga pelaku kejahatan ini sulit untuk diungkap oleh aparat penegak
hukum. Upaya penangulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tentang
kejahatan penipuan dan penggelapan kamera dengan modus pemalsuan identitas
berupa Mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat Kota Bandar Lampung.
Menyebar informasi berupa tulisan. Memberikan ceramah-ceramah agama kepada
masyarakat. Berkerjasama dengan masyarakat.
Saran penulis Bagi pihak berwenang agar banyak memberikan himbauan bagi seluruh
warga masyarakat khususnya kota Bandar Lampung untuk selalu waspada akan
iming-iming kerabat atau orang yang baru anda kenal yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih, Selain mengadakan penyuluhan hukum
mengenai kewaspadaan terhadap kejahatan penipuan dengan modus pemalsuan
identitas di kota Bandar Lampung, hendaknya turut memfungsikan kementrian agama
sebagaimana mestinya dalam hal ini guna meningkatkan kegiatan bimbingan
keagamaan kepada masyarakat agar masyarakat dapat memiliki keimanan yang kuat
serta kesadaran yang tinggi sehinga tidak melakukan tindak pidana penipuan.
Kata Kunci : Kriminologis, Penipuan, Penggelapan, Pemalsuan Identitas.1512011267 NUR RAHMA LESTARI-2022-04-20T02:43:31Z2022-04-20T02:43:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58502This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585022022-04-20T02:43:31ZPERAN GEGANA KORPS BRIMOB POLRI DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA TERORISME
(Studi pada Gegana Korps Brimob Polda Lampung)Aksi teror merupakan kejahatan luar biasa sehingga siapapun pelakunya dan apapun
motifnya, tindakan tersebut tidak bisa ditolerir. Aksi teror pada ruang publik sebagai
kejahatan yang bukan semata-mata pada tindakannya, namun juga pada dampak
kelanjutan yang diakibatkannya. Salah satu Korps Kepolisian yang memiliki peranan
dalam penanggulangan tindak pidana terorisme adalah Korps Brigade Mobile
(Brimob), khususnya Detasemen Gegana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimanakah peran Gegana Korps Brimob Polri dalam penanggulangan tindak
pidana terorisme? (2) Bagaimanakah standar operasional prosedur penanggulangan
tindak pidana terorisme oleh Gegana Korps Brimob Polri?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Narasumber terdiri dari pihak Detasemen Gegana Korps Brimbob Polda
Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peran Gegana Korps Brimob
Polri dalam penanggulangan tindak pidana terorisme terdiri atas peran normatif dan
peran faktual. Peran normatif dilaksanakan beradasarkan Undang-Undang
Kepolisian, sedangkan peran faktua dilaksanakan oleh Unit Penjinak Bom dengan
cara menjinakkan benda yang diduga bom di Supermarket Transmart Bandar
Lampung. Penjinakannya adalah dengan menggunakan sinar X atau X- Ray sampai
dengan melakukan discrupter terhadap benda yang diduga berisi bom di TKP.
Setelah benda yang diduga bom tersebut dipastikan aman, selanjutnya benda tersebut
dibawa ke Mako Brimob Polda Lampung dan diserahterimakan kepada Polresta
Bandar Lampung. (2) Standar operasional prosedur penanggulangan tindak pidana
terorisme oleh Gegana Korps Brimob Polri mengacu kepada Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penanganan
Penjinakan Bom. Adapun prosedurnya dilakukan melalui tahap persiapan,
pelaksanaan dan konsolidasi serta mengindahkan larangan dan keharusan bagi
petugas demi keselamatan diri, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Muhammad Rizki Saputro
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Unit Penjinak Bom Detasemen Gegana Satuan
Brimob disarankan untuk mengadakan sosialisasi kepada Polisi Kewilayahan terkait
parameter pada saat penanganan TKP bom. (2) Masyarakat disarankan untuk
mendukung tugas Unit Penjinak Bom Detasemen Gegana Satuan Brimob dengan
cara mengikuti semua instruksi yang disampaikan petugas dalam penanganan bom,
agar tidak ada hal-hal yang dapat membahayakan masyarakat di sekitar lokasi
penanganan bom.
Kata Kunci: Peran, Gegana Korps Brimob, Terorisme1412011285 MUHAMMAD RIZKI SAPUTRO-2022-04-20T02:43:29Z2022-04-20T02:43:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58500This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585002022-04-20T02:43:29ZANALISIS PERANAN INTELKAM DALAM PENYELIDIKAN
TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi pada Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Lampung)Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang membahayakan masa depan
bangsa dan negara, sehingga Kepolisian melaksanakan penegakan hukum secara
optimal yang dimulai dari penyelidikan tindak pidana. Penyelidikan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika memerlukan peranan Intelkam kepolisian. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah peranan intelkam dalam penyelidikan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Direktorat Narkoba Kepolisian
Daerah Lampung dan apakah yang menjadi faktor penghambat peranan intelkam
dalam penyelidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Direktorat
Narkoba Kepolisian Daerah Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Narasumber terdiri dari Penyidik Direktorat Narkoba Polda Lampung dan
akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa peranan intelkam dalam
penyelidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Direktorat Narkoba
Kepolisian Daerah Lampung termasuk dalam peranan normatif dan faktual. Peranan
normatif didilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khususnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Surat Keputusan Kapolri Nomor: Skep/37/I/2005 tentang Intelijen
Polri. Peran faktual dilaksanakan dengan kegiatan pengumpulan bahan/data,
pembuatan hipotesa, pengumpulan data tambahan, analisis dan konklusi data
intelijen penyalahgunaan narkotika. Setelah didapatkan data intelijen selanjutnya
dilaksanakan penyelidikan melalui tindakan penyamaran dan penindakan
pemberantasan, kemudian dilaksanakan penyidikan terhadap pelaku sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku dan setelah lengkap berkas dilimpahkan ke
Kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya. Faktor-faktor penghambat peranan
intelkam dalam penyelidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh
Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Lampung faktor penegak hukum yaitu
secara kuantitas masih kurangnya personil Intelkam dan secara kualitas masih
belum optimalnya pelaksanaan identifikasi ancaman kamtibmas, faktor sarana
prasana yaitu keterbatasan sarana dan prasarana untuk mengidentifikasi keberadaan
Muhammad Rifasani Riadi
bandar narkotika, faktor masyarakat yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan
masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika dan faktor budaya yaitu masih digunakannya hukum adat
oleh masyarakat dalam menyelesaikan perkara pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah agar sistem deteksi dini intelkam Polri lebih
mendapat pemahaman dan perhatian yang lebih sehingga dapat melakukan
antisipasi yang tepat nantinya ketika melakukan tugas di lapangan. Penyidik
disarankan untuk melaksanakan teknik penyelidikan yang paling efektif dan efisien
dalam mengungkap tindak pidana narkotika.
Kata Kunci: Peranan Intelkam, Penyidikan, Narkotika 1412011284 MUHAMMAD RIFASANI RIADI-2022-04-20T02:43:28Z2022-04-20T02:43:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58497This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584972022-04-20T02:43:28ZPERSPEKTIF PERAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA TERORISMETindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang membahayakan
keamanan dan perdamaian dunia serta merupakan pelanggaran berat terhadap hak
asasi manusia, terutama hak untuk hidup masyarakat. Upaya pencegahan
terorisme tidak dapat mengabaikan peran masyarakat luas dan lingkungan sosial,
mengingat terorisme hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pendekatan masalah dalam penelitian dan pembahasan ini adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi lapangan dan studi kepustakaan. Setelah data terkumpul
kemudian dianalisis secara deskrptif kualitatif untuk mendapatkan suatu
kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perspektif peran masyarakat dalam
upaya pencegahan tindak pidana terorisme terdiri dari peran normatif, peran ideal
dan peran faktual. Peran normatif terdapat dalam Pasal 30 Undang-Undang
Dasar 1945 “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 tentang Kamtibnas “keamanan dan
ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu
prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka
tercapainnya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung
kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat
dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran
hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Peran ideal disini seharusnya Kepolisian dan BNPT lebih melibatkan masyarakat
dalam upaya pencegahan terorisme melalui pemberdayaan dengan membangun
kemitraan (partnership building), membangun kepedulian masyarakat,
menciptakan kolaborasi antar organisasi masyarakat sipil, mensosialisasikan
teknik deteksi dini terhadap pencegahan terorisme. Sedangkan Peran faktual
dalam rangka pencegahan terorisme adalah seharusnya masyarakat dapat lebih
berperan aktif terkait pencegahan tindak pidana dengan peningkatan kemampuan
dan kepekaanmasyarakat dengan melaporkan hal-hal yang dianggap
mencurigakan di lingkungan sekitar dan lebih memperhatikan dan mengenali
tetangga di tempat tinggal masing-masing. Peran serta masyarakat dibutuhkan
dalam hal memutus ideologisasi yang menyimpang, mendeteksi keberadaan
teroris, deteksi dini. Faktor penghambat dari peran serta masyarakat dalam upaya
pencegahan tindak pidana terorisme ada 4 faktor yaitu faktor hukum, faktor
penegak hukum, .faktor sarana prasarana, faktor masyarakat. Saran dalam skripsi ini yaitu pemerintah khususnya legislatif hendaknya
menambahkan kata wajib dalam Undang-Undang Terorisme No 5 Tahun 2018. Masyarakat hendaknya berperan aktif dalam upaya pencegahan tindak pidana
terorisme. Penegak hukum hendaknya melibatkan masyarakat dalam deteksi dini
pencegahan tindak pidana terorisme.
Kata kunci: perspektif, peran masyarakat, pencegahan terorisme1412011281 M. REGA-2022-04-20T02:43:27Z2022-04-20T02:43:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58494This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584942022-04-20T02:43:27ZANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP SAKSI PELAKU YANG
BERPERAN SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
(Studi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)Tahun 2011 Mahkamah Agung mengeluarkan Sema (Surat Edaran Mahkamah
Agung) tentang Justice Collaborator. Namun, walaupun peraturan perundang- undangan menyatakan keterangan Justice Colaborator menjadi pertimbangan
hakim meringankan hukuman, dalam praktek di Indonesia tidak selalu demikian.
Ini misalnya terjadi dalam beberapa kasus dengan terdakwa yang juga berstatus
sebagai Justice Collaborator Majelis hakim tetap memvonis terdakwa sesuai
besarnya hukuman yang dituntut jaksa. Permasalahan dalam skripsi ini adalah
Bagaimana Penjatuhan Pidana dan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelaku
yang Berperan Sebagai Justice Collaborator serta Apakah Faktor Yang
Mempengaruhi Dikabulkan atau Tidak Dikabulkannya Status Justice
Collaborator Terhadap Saksi Pelaku.
Pendekatan Masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode Pengumpulan Data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung serta Akademisi Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil Penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Penjatuhan Pidana
terhadap Saksi Pelaku yang Berperan Sebagai Justice Collaborator yaitu kepada
Justice Collaborator yang telah memberikan bantuan itu hakim dengan tetap
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dapat mempertimbangkan untuk:
Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau Menjatuhkan pidana
berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti
bersalah dalam perkara yang dimaksud. Faktor Yang Mempengaruhi Dikabulkan
atau Tidak Dikabulkannya Status Justice Collaborator Terhadap Saksi Pelaku
antara lain Mengakui Tindak Pidana yang dilakukannya, Bukan pelaku utama
dalam tindak pidana yang diungkapkannya, Memberikan keterangan sebagai saksi
dalam persidangan, Mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap
pelaku lain yang mempunyai peran lebih besar, Jaksa Penuntut Umum dalam
tuntutannya mencantumkan peranan yang telah diberikan oleh pelaku.
Muhammad Raka Priatmaja
Saran dalam penelitian ini adalah Perlu adanya pemahaman yang benar dan lebih
menyeluruh mengenai konsep Justice Collaborator oleh Penutut Umum dan
Majelis Hakim agar perbedaaan pertimbangan yang terjadi antara penuntut umum
dan majelis hakim dapat diminimalisir sehingga dalam memberikan putusan
terhadap para saksi pelaku yang bekerjasama dapat berkeadilan bagi para saksi
pelaku yang bekerjasama. Setiap unsur aparat penegak hukum yang menangani
justice collaborator perlu memiliki pemahaman yang sama tentang aturan hukum, mekanisme serta hak-hak justice collaborator sehingga justice collaborator tidak
berakhir menjadi korban di kemudian hari. Kata Kunci : Penjatuhan Pidana, Saksi Pelaku, Justice Collaborator.1512011219 MUHAMMAD RAKA PRIATMAJA-2022-04-20T02:43:25Z2022-04-20T02:43:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58491This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584912022-04-20T02:43:25ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA
PRODUKSI OBAT KERAS TIPE BERBAHAYA (GEVAARLIJK)
TANPA IZIN
(Studi Kasus di Polresta Tangerang)Obat keras tipe berbahaya (gevaarlijk) adalah obat daftar G, obat yang untuk
memperolehnya harus dengan resep dokter dan obat tersebut ditandai dengan
lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat ini
dinamakan obat keras tipe berbahaya karena jika digunakan secara sembarangan
dapat membahayakan, menurunkan fungsi otak, meracuni tubuh bahkan bisa
menyebabkan kematian. Dalam penelitian ini dibahas dua pokok permasalah, pertama
bagaimanakah upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana produksi obat
keras daftar G (gevaarlijk) tanpa izin? Kedua, apakah faktor-faktor yang menjadi
penghambat kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana produksi obat keras
daftar G (gevaarlijk) tanpa izin?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan data
sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Kasat Reskrim Polsek Balaraja,
Kepada Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Kabupaten Tangerang, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Mantan Pengguna Obat Keras Daftar G.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa upaya
kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana produksi obat keras tipe berbahaya
(gevaarlijk) tanpa izin melalui upaya represif dan preventif. Faktor-faktor
penghambat dalam menanggulangi tindak pidana produksi obat keras tipe berbahaya
(gevaarlijk) tanpa izin merupakan faktor hukumnya sendiri yaitu terjadi timpang
tindih kewenangan antara kepolisian dan BPOM, faktor penegak hukum yaitu masih
ada aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana, faktor sarana atau fasilitas yaitu
belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan faktor masyarakat yaitu kurangnya
kesadaran masyarakat tentang Obat Keras tipe berbahaya.
Muhammad Iqbal Marino Kusumo
Saran dalam penelitian ini merupakan penegak hukum harus meningkatkan
kerjasamanya dalam pengawasan untuk meminimalisir tindak pidana produksi obat
keras tipe berbahaya (gevaarlijk) tanpa izin. Pemerintah lebih tegas dan konsisten
dalam menerapkan ketentuan hukum agar dapat memberikan efek jera terhadap
pelaku usaha obat keras tipe berbahaya (gevaarlijk) tanpa izin.
Kata kunci : Penanggulangan, Kepolisian, Produksi Obat Keras, Tanpa izin1542011091 MUHAMMAD IQBAL MARINO KUSUMO-2022-04-20T02:43:23Z2022-04-20T02:43:23Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58489This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584892022-04-20T02:43:23ZKAJIAN PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH
TERHADAP TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH BADAN
NARKOTIKA NASIONALAsas praduga tidak bersalah adalah salah satu ketentuan yang diatur dalam hukum
acara pidana yaiu pada Penjelasan Umum Angka 3 Huruf C Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) terkait dengan penerapan asas praduga tidak bersalah dalam
implementasinya seringkali dibenturkan dengan kebijakan tindakan tembak di
tempat sehingga terjadi penyimpangan dalam penerapan terhadap asas tersebut hal
ini dapat dilihat pada kasus penggunaan tindakan tembak di tempat oleh Badan
Narkotika Nasional kepada pelaku penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan hal
tersebut permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu bagaimanakah
kajian penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap tindakan tembak di tempat
oleh Badan Narkotika Nasional dan bagaimanakah tindakan tembak di tempat oleh
Badan Narkotika Nasional dalam perspektif hak asasi manusia.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Penyidik Badan Narkotika
Nasional Provinsi Lampung, Advokat Lembaga Bantuan Hukum 74 WA, dan
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung. pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis dapat diketahui bahwa (1)
Penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap penggunaan tindakan tembak di
tempat kepada pelaku penyalahgunaan narkotika oleh penyidik Badan Narkotika
Nasional telah sesuai dengan kebijakan diskresi dalam melakukan tindakan tembak
di tempat sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, dan Perkap BNN No. 22 tahun
2016 tentang Pengelolaan Senjata Api Di Lingkungan Badan Narkotika Nasional,
sehingga bukanlah penyimpangan terhadap asas tersebut hal ini dikarenakan
terdapat alasan pembenar yang melindungi tindakan penyidik dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 sampai dengan 51 KUHP. (2)
Tindakan tembak di tempat dalam perspektif HAM erat kaitannya dengan hak hidup
seseorang yang termasuk ke dalam hak yang tidak dapat ditangguhkan atau
dikurangi dalam pelaksanaannya (nonderogable rights). Akan
Muhammad Edy Priyono
tetapi di dalam UUD 1945 tidak menganut kemutlakan HAM sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 28 J Ayat 2 UUD 1945, sehingga pemberlakuan kebijakan
tindakan tembak di tempat sepanjang terdapat peraturan yang memberikan
kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan senjata api, dan
dijalankan sesuai dengan SOP yang berlaku maka bukanlah sebagai bentuk
pelanggaran HAM.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya diadakan suatu aturan khusus untuk
membatasi pemberlakuan asas praduga tidak bersalah hal ini bertujuan supaya tidak
terjadinya multitafsir mengenai asas praduga tidak bersalah antara penegak hukum,
masyarakat, ataupun perorangan sehingga asas praduga tidak bersalah tidak
dijadikan sebagai pelindung para pelaku penyalahgunaan narkotika ataupun
kejahatan lainnya untuk menutupi perbuatannya akibat dari ketidaksepahaman
mengenai asas tersebut, serta hendaknya diadakan pengaturan yang tegas mengenai
akibat hukum atas pelanggaran tindakan aparat penegak hukum yang tidak sesuai
dengan SOP.
Kata Kunci: Penerapan, Asas Praduga Tidak Bersalah, Tembak Di Tempat,
Badan Narkotika Nasional.1512011358 MUHAMMAD EDY PRIYONO-2022-04-20T02:43:22Z2022-04-20T02:43:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58486This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584862022-04-20T02:43:22ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU ABORSI
AKIBAT PERKOSAAN
(KAJIAN TERHADAP PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN
REPRODUKSI)Aborsi merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 346 KUHP (diancam 4 tahun
penjara), yang menjadi legal secara hukum dengan syarat daurat medis atau
kehamilan akibat perkosaan yang diatur didalam PP No. 61 Tahun 2014 (tentang
Kesehatan Reproduksi). Maka berlaku asas lex posteriori derogate legi priori
(peraturan baru dapat mengesampingkan peraturan lama). Permasalahan dalam
skripsi ini adalah Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku aborsi akibat
perkosaan dan apakah faktor penghambat penerapan aborsi akibat perkosaan sesuai
dengan PP No. 61 Tahun 2014.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Kanit Perlindungan Perempuan dan
Anak pada Kepolisian Resort Kota Metro serta Sekretaris Provinsi pada Komisi
Nasional Perlindungan Anak Provinsi Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Korban perkosaan tidak
dapat dikenakan ancaman pidana apabila melakukan aborsi dikarenakan alasan
pemaaf dari daya paksa (overmacht) perkosaan dan alasan pembenar didalam Pasal
31 Ayat (1) huruf (b) PP No. 61 Tahun 2014. Terdapat dua faktor penghambat
dalam penerapan legalisasi aborsi korban perkosaan yaitu masih kurangnya
sosialisasi dan kebudayaan yang menolak adanya aborsi.
Saran dalam penelitian ini adalah: Negara harus lebih memperhatikan dalam
memberikan cara menyelesaikan masalah, apabila cara tersebut melanggar ham
lebih baik digunakan cara lain, aborsi bukan satu-satunya cara dalam
menyelesaikan trauma psikologis korban perkosaan. Dalam penerapan legalisasi
aborsi korban perkosaan para Penegak Hukum dapat memberikan sosialisasi aturan
Muhammad Aziz Al Khairi
aborsi korban perkosaaan secara menyeluruh, kedepannya masyarakat paham dan
mengerti serta membuka pikiran bahwa aborsi tetap dapat dilakukan dengan syarat
tertentu.
Kata Kunci: Aborsi, Korban Perkosaan, Pertanggungjawaban Pidana1512011309 Muhammad Aziz Al Khairi-2022-04-20T02:43:17Z2022-04-20T02:43:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58480This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584802022-04-20T02:43:17ZPERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP REKENING
NASABAH BANK KORBAN SKIMMING MELALUI MESIN
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)Banyaknya fasilitas ATM yang disediakan oleh bank sebagai bentuk kemudahan
kepada nasabahnya, disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan
tindak pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
perlindungan hukum pidana terhadap rekening nasabah bank korban skimming
melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM)? dan apakah faktor yang
mempengaruhi perlindungan hukum pidana terhadap rekening nasabah bank
korban skimming melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM)?
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris dan normatif. Sumber data
yang didapat dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian
lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan perlindungan hukum pada korban
kejahatan skimming merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia
atau kepentingan hukum seseorang yang sudah seharusnya perlu mendapatkan
perhatian serius dan penting adanya perluasan bentuk perlindungannya, mengingat
dewasa ini bentuk kejahatan dan korbannya begitu kompleks seiring dengan
majunya peradaban. Faktor yang mempengaruhi perlindungan hukum pidana
terhadap rekening nasabah bank korban skimming melalui mesin Anjungan Tunai
Mandiri (ATM), antara lain yaitu faktor perbankan, dimana dalam
penyelenggaraan layanan internet banking yang menyediakan sarana fisik seperti
ATM, bank kurang melakukan pengendalian pengamanan fisik terhadap peralatan
dan ruangan yang digunakan terhadap bahaya pencurian, perusakan dan tindakan
kejahatan lainnya oleh pihak yang tidak berwenang.
Saran, diharapkan aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi
informasi/internet, sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat
penegak hukum tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti
yang dipakai menjerat pelaku terleih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki
sistem pengoperasian sangat rumit.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Rekening, Nasabah, Bank, Skimming
The number of ATM facilities provided by banks as a form of convenience to their
customers, is misused by criminal offenders to commit criminal acts. The problem
in this study is how does criminal legal protection against bank accounts of
victims of skimming through an Automated Teller Machine (ATM)? and what are
the factors that influence criminal law protection against the bank account of the
victim's skimming through the Automated Teller Machine (ATM)?
The problem approach is carried out in an empirical and normative juridical
manner. Sources of data obtained by using primary data and secondary data. The
procedure of data collection is done by means of library research and field
research. Data analysis in this study used qualitative analysis.
The results and discussion of the study show that legal protection for victims of
skimming crime is a form of protection of human rights or legal interests of
someone who should need serious attention and it is important to expand the form
of protection, considering that today the form of crime and victims is so complex
as civilization advances. The most dominant factor influences criminal legal
protection against bank accounts of victims of skimming through the Automatic
Teller Machine (ATM), among others, namely banking factors, where in the
provision of internet banking services that provide physical facilities such as
ATMs, banks do not control physical security of equipment and the room used
against the danger of theft, destruction and other acts of crime by unauthorized
parties.
Siuggestion, it is expected that law enforcement officials who understand the ins
and outs of information technology/internet, so that when criminal offenders are
arrested, law enforcement officers will not have difficulty finding evidence that is
used to ensnare the most abused if the crime has an extremely complicated
operating system.
Keywords: Law Protection, Account, Customer, Bank, Skimming1342011118 MORIX ARNANDO ARSYAD-2022-04-20T02:43:11Z2022-04-20T02:43:11Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58479This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584792022-04-20T02:43:11ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU
PENYALAHGUNAAN APLIKASI TWITTER SEBAGAI PENYALUR
PROSTITUSI ONLINEInternet media that are so big and easy if not used wisely will give birth to crime
in the virtual world or known as cyber crime. One example of Cyber Crime in
Indonesia today is online prostitution. Online prostitution is an activity that makes
humans in terms of sexuality as an object to be traded through electronic media,
the existence of online prostitution is more difficult to touch and in practice
almost invisible because it is done with social media and applications. The
problems in this thesis are: (1) What is the role of the Police in investigating
perpetrators of Twitter application abuse as online prostitution dealers? (2) What
is the obstacle factor for the Police in investigating the misuse of Twitter
applications as a distributor of prostitution? The informants in this study consisted
of Investigator Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Lampung and
Criminal Law academics Faculty of Law, University of Lampung. The results of
the research and discussion show that: (1) the role of the Police in investigating
the misuse of twitter applications as a distributor of Online prostitution is
normatively referring to the Criminal Procedure Code and the Police Law and
factually based on the facts in the field. (2) The inhibiting factors of the Police in
investigating the abuse of Twitter applications as the most dominant prostitution
distributor are cultural factors and facilities and infrastructure factors. Suggestions
in this study were (1) Strengthening penalties for pimps and prostitutes to have a
deterrent effect. (2) To the public to be able to filter negative shows such as
pornography
Keywords: Investigation, Online Prostitution, Twitter
Media Internet yang begitu besar dan mudah jika tidak dipergunakan dengan bijak
maka akan melahirkan kejahatan di dunia maya atau dikenal dengan istilah cyber
crime, Salah satu contoh Cyber Crime yang sedang populer di Indonesia saat ini
adalah prostitusi online. Prostitusi online merupakan kegiatan prostitusi atau suatu
kegiatan yang menjadikan manusia khusunya dalam hal seksualitas sebagai objek
untuk diperdagangkan melalui media elektronik atau online. Media elektronik
adalah semua informasi atau data yang diciptakan, didistribusikan, serta diakses
memakai bentuk elektronik, salah satu media elektronik yang digunakan salah
satunya adalah twitter. Praktik prostitusi online ini menjadikan seseorang sebagai
objek untuk diperdagangkan melalui media elektronik atau online. Para mucikari
memasarkan anak asuhnya melalui aplikasi seperti twitter. berbeda dengan
prostitusi lainnya yang membutuhkan tempat tertentu atau lokalisasi untuk
„manjajakan‟ dirinya, keberadaan prostitusi online lebih sulit tersentuh dan dalam
prakteknya nyaris tidak terlihat karena dilakukan dengan media sosial dan
aplikasi. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimanakah peran
Kepolisian dalam penyidikan terhadap pelaku penyalahgunaan aplikasi twitter
sebagai penyalur prostitusi online ? (2) Apakah yang menjadi faktor penghambat
Kepolisian dalam penyidikan penyalahgunaan aplikasi twitter sebagai penyalur
prostitusi ?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber pada penelitian
ini terdiri dari penyidik, Penyidik Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda
Lampung dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis
data dilakukan secara kualitatif.
Mohammad Wildan Kharisma
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) peran Kepolisian
dalam penyidikan terhadap penyalahgunaan aplikasi twitter sebagai penyalur
prostitusi Online secara normatif adalah mengacu kepada KUHAP dan UndangUndang Kepolisian dan secara faktual yang didasakan pada fakta yang ada di
lapangan, saat ini kepolisisan belum menggunakan peranan ideal karena masih
banyak hambatan-hambatan yang terjadi di lapangan. (2) Faktor penghambat
Kepolisian dalam penyidikan penyalahgunaan aplikasi twitter sebagai penyalur
prostitusi yang paling dominan adalah Faktor budaya dan faktor sarana dan
prasarana.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Tindak pidana prostitusi dalam media
elektronik merupakan salah satu tindak pidana yang sangat meresahkan
masyarakat. Karena modus melalui media elektronik sangat mudah dilakukan dan
telah terjadi peningkatan dari tahun ketahun maka hukumannya diperberat untuk
memberikan efek jera pada pelakuknya (2) Menginat bahwa kejahatan prostitusi
telah berkembang dengan modus kejahatan yang lebih modern dan menjadi tindak
pidana yang mersahkan masyarakat. Oleh Karena itu, diharapkan kepada seluruh
aparat penegak hukum, agar melakukan penindakan secara tegas kepada setiap
pelaku, karena beratnya sanksi akan memberikan pengaruh besar terhadap
pemberian efek jera dan daya cegah sebagai upaya pencegahan tindak pidana
dalam masyarakat.
Kata kunci: Penyidikan, Prostitusi online, Twitter1512011242 MOHAMMAD WILDAN KHARISMA-2022-04-20T02:43:09Z2022-04-20T02:43:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58472This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584722022-04-20T02:43:09ZANALISIS PRAPERADILAN TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN
YANG DILAKUKAN PADA TAHAP PRAPENUNTUTAN
(Studi Komparatif Antara Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.
01/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dengan No. 3/Pid.Prap/2018/PN.Tjk)
KUHAP mengatur ada 2 lembaga yang dapat menghentikan perkara yang sedang
berjalan yaitu Penyidik dengan mengeluarkan Surat Perintah pemberhentian
penyidikan (SP3) dan Penuntut Umum dengan mengeluarkan Surat Ketetepan
Penghentian Penututan (SK2P). Permasalahan mengenai siapa yang berwenang untuk
menghentikan perkara timbul ketika perkara yang sedang berjalan masuk ke tahap
prapenuntutan karena dalam tahap ini kedua lembaga tersebut bersama-sama
melakukan penilaian secara substantive atas perkara yang sedang berjalan. Ada dua
keputusan yang masuk dalam tahap prapenuntutan namun mempunyai keputusan yang
berbeda. Putusan 01/Prapid/2016/PN Tjk. Mengabulkan permohonan pemohon
sedangkan putusan no 03/Prapid/2017/PN Tjk menolak permohonan pemohon.
Permasalahan yang dirumuskan pertama bagaimanakah batas kewenangan antara
penyidikan dan penuntutan ketika perkara masuk dalam tahap prapenuntutan, dan
kedua siapakah yang berwenang menghentikan perkara ketika perkara masuk dalam
tahap prapenuntutan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative yaitu metode
pendekatan dengan menganalisis data-data sekunder berupa putusan pengadilan, teoriteori. Disamping itu juga menggunakan metode yuridis empiris yaitu dengan
melakukan wawancara untuk melihat pendapat narasumber berkaitan dengan
permasalahan yang telah dirumuskan,
Berdasarkan hasil penelitian batas antara penyidikan dan penuntutan berdasarkan
putusan no. 01/Prapid/2016/PN Tjk adalah sebelum ada intervensi dari penuntut umum
adalah merupakan wilayah penyidik, maka menurut putusan tersebut tahap
prapenuntutan sudah masuk wilayah yang dimiliki oleh penuntut umum. Sedangkan
dalam putusan no. 03/Prapid/2018/PN Tjk tidak menunjukkan kejelasan batas tersebut
karena fakta persidangan ternyata Penasihat Hukumnya tidak dapat membuktikan
bahwa perkaranya masuk dalam tahap prapenuntutan. Adapun pejabat yang
berwenanag untuk menghentikan dalam tahap prapenuntutan menurut putusan nomor
Mochammad Aditya Permana
01/Prapid/2016 adalah penuntut umum karena dalam tahap ini sudah ada intervensi
atau campur tangan penuntut umum dalam menilai perkara. Sedangkan untuk putusan
nomor 03/Prapid/2018/PN Tjk karena Penasihat Hukum tidak bisa membuktikan
bahwa telah terjadi prapenuntutan maka perkara tersebut belum ada intervensi atau
campurtangan penuntut umum dengan kata lain masih wewenang sepenuhnya dari
penyidik sehingga kewenangan untuk menghentikan perkara dalam putusan ini adalah
wewenang penyidik.
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang diberikan adalah perlu di formulasikan
lagi mengatur yang tegas tentang batas penyidikan dan penuntutan, serta pejabat yang
berwenang untuk menghentikan penyidikan ketika perkara masuk ke dalam tahap
prapenuntutan.
Kata Kunci : PraPeradilan, PraPenuntutan, Penghentian Penyidikan.1512011336 MOCHAMMAD ADITYA PERMANA-2022-04-20T02:43:03Z2022-04-20T02:43:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58471This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584712022-04-20T02:43:03ZANALISIS KOORDINASI PENYIDIK KEPOLISIAN DAN DOKTER
FORENSIK DALAM MENGIDENTIFIKASI TULANG KORBAN
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIDAHULUI DENGAN
KEKERASAN Kasus penemuan tengkorak manusia pada 9 Mei 2018, dua pekerja perkebunan
tebu menemukan tengkorak manusia di kilometer 17, PT Sweet Indo Lampung.
Anggota Polsek Gedung Meneng mengecek ke lokasi setelah mendapat laporan.
Saat itu, identitas tengkorak belum diketahui. Mereka lalu membawa tengkorak
tersebut ke Rumah Sakit Menggala, Tulang Bawang.
Proses identifikasi terhadap penemuan mayat tanpa identitas dilakukan oleh
Penyidik Kepolisian dan Dokter yang ahli di bidang kedokteraan kehakiman agar
menjadi alat bukti yang sah di dalam kepentingan peradilan sehingga penyidik
dalam melakukan pencarian tersangka lebih mudah.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris.Data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder.Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.Analisis data menggunakan
analisis data kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis maka koordinasi antara
penyidik kepolisian dan dokter forensik dalam mengidentifikasi tulang korban dan
pelaku agar tidak terjadi kesalahan ldentitas. Pelaku atau korban tidak dapat
dibuktikan hanya dengan pengakuan atau keterangan saksi saja tetapi juga dengan
pembuktian secara ilmiah, salah satunya adalah identifikasi oleh dokter ahli
forensik tulang sebagai sarana identifikasi yang lebih mudah, ekonomis dan
akurat. Sebagai alat bukti keterangan ahli menjadi petunjuk bagi hakim dalam
memutus suatu perkara.
2
Meldha Latiefah Azka
Penulis menyarankan hendaknya ahli identifikasi forensik/dokter ahli forensik
(dalam kepolisian) ada personilnya dan ditempatkan di setiap sektor kepolisian
untuk menangani setiap kasus yang memerlukan ahli identifikasi di wilayah atau
sektor kepolisian. Dan hendaknya ada perbaikan koordinasi dan administrasi
antara penyidik polri dengan dokter spesialis forensik, agar sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP dan SOP penyelenggaran pemeriksaan forensik
terhadap mayat tanpa identitas, seperti kasus korban dalam penelitian ini.
Kata kunci: Koordniasi, identifikasi korban, dokter ahli forensik. tindak
pidana pembunuhan dengan kekerasan.1512011261 Meldha Latiefah Azka-2022-04-20T02:43:00Z2022-04-20T02:43:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58469This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584692022-04-20T02:43:00ZIMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG NO. 028/A/JA/10/2014
TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PERKARA PIDANA
KORUPSI DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
(STUDI PADA KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG)Peraturan Jaksa Agung No. 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi mengatur mengenai pedoman
bagi Kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana dengan subjek hukum
korporasi salah satunya tindak pidana korupsi. Mengingat Peraturan Jaksa Agung
tersebut masih tergolong baru, maka perlu dilakukan penelitian dengan
permasalahan: Bagaimanakah implementasi penanganan perkara pidana korupsi
dengan subjek hukum korporasi? Apakah faktor-faktor penghambat implementasi
Peraturan Jaksa Agung No. 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa
implementasi penanganan perkara pidana korupsi dengan subjek hukum korporasi
di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan
Peraturan Jaksa Agung No. 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Hal ini dikarenakan kurangnya
jaksa penuntut umum dan kurangnya pemahaman Jaksa mengenai tindak pidana
korporasi. Sehingga dalam proses penanganan perkara pidana korupsi oleh
korporasi belum sesuai dengan ketentuan Peraturan Jaksa Agung No.
028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek
Hukum Korporasi. Faktor penghambatnya adalah kurangnya pengaturan
mengenai tindak pidana korupsi oleh korporasi. Fasilitas yang tersedia masih
kurang, kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat masih rendah.
Mashuril Anwar
Faktor penghambat yang dominan dalam penanganan perkara pidana korupsi
dengan subjek hukum korporasi adalah petugas itu sendiri, dikarenakan
kurangnya kuantitas serta kurangnya pemahaman mengenai tindak pidana korupsi
dengan subjek hukum korporasi.
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada Kejaksaan Tinggi Provinsi Lampung,
perlu diadakan pelatihan/training bagi para jaksa yang menangani perkara pidana
korupsi oleh korporasi. Kepada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dalam
tuntutan terhadap perkara pidana korupsi oleh korporasi yang berbadan hukum,
perlu dituntut pula pertanggungjawaban korporasi itu sendiri bukan hanya
pengurusnya, sebaiknya dalam penanganan perkara pidana korupsi dengan subjek
hukum korporasi kedapnnya lebih terbuka kepada publik. Kedepannya lebih
mengoptimalkan peran intelejen kejaksaan dan peran ahli dalam penanganan
perkara pidana korupsi dengan subjek hukum korporasi. Kemudian perlu menjalin
kerjasama yang lebih intensif dengan BPKP Provinsi Lampung dalam memantau
laporan keuangan korporasi sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana
korupsi oleh korporasi.
Kata Kunci: Perkara, Korupsi, Korporas1512011016 MASHURIL ANWAR-2022-04-20T02:42:48Z2022-04-20T02:42:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58467This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584672022-04-20T02:42:48ZPERAN APARATUR PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP)
DALAM UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Pada Pemerintah Kota Bandar Lampung)Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adanya kekhawatiran akan
terjerat Tindak Pidana Korupsi dari Para Pejabat dan Aparatur Sipil Negara
(ASN) dalam Penggunaan Anggaran. Aparatur Pengawas Intern Pemerintah
(APIP) berperan dalam hal memerangi Tindak Pidana Korupsi dengan cara
pencegahan, pendeteksian, dan investigasi pada Anggaran melalui Audit, Review,
Evaluasi, dan Pemantauan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah
Peran Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi serta Apakah faktor penghambat dari Peran Aparatur
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Studi kepustakaan dan studi
lapangan. Narasumber: Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada
Pemerintah Kota Bandar Lampung, Kasubbag Penyuluhan Hukum dan Bantuan
Hukum Kota Bandar Lampung, dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Analisis data: kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Peran Aparatur
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi dapat ditinjau dari segi peran secara Normatif, Ideal, dan Faktual. Peran
normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada nilai-nilai ideel atau yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan kedudukannya di dalam suatu sistem. Peran faktual adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara
kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata. Faktor
penghambat yang paling dominan dalam Peran Aparatur Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi adalah
faktor kuantitas dari penegak hukum. .
Muhammad Yuda Dwi Saputra
khususnya Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus memiliki
integrasi yang tinggi dan mampu untuk tidak terlibat dengan budaya korupsi serta
suap menyuap serta Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus
memiliki kompetensi kinerja yang tinggi dan handal serta profesional dalam
melaksanakan pekerjaannya. dan di tinjau dari segi kuantitas penegak hukum
dalam hal ini Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) masih Kurang jika
dibandingkan dengan banyaknya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang perlu
diawasi.
Saran dalam penelitian ini, Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
diharapkan harus bekerja secara profesional karena di tangan para penegak hukum
yang akan menentukan hukum akan hidup atau sebaliknya. Peran Aparatur
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus memiliki integritas yang tinggi dan
mampu untuk tidak terlibat dengan budaya korupsi serta suap menyuap. Aparatur
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus lebih memaksimalkan kinerja serta
memberikan keyakinan kepada masyarakat.
Kata Kunci : Peran, APIP, Pencegahan, Korupsi1542011084 Muhammad Yuda Dwi Saputra-2022-04-20T02:42:45Z2022-04-20T02:42:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58465This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584652022-04-20T02:42:45ZANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA KELALAIAN DALAM BERLALU LINTAS YANG
MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA SESEORANG
(Studi Putusan Nomor 458/Pid.Sus/2018/PN.Gns)Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa kecelakaan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang dapat dijatuhi hukuman penjara
selama enam tahun dengan denda sebesar dua belas juta rupiah. Namun dalam
putusan Nomor 458/Pid.Sus/2018/Pn.Gns hakim memutuskan terdakwa dijatuhi
hukuman selama satu tahun empat bulan penjara dan denda sebesar lima juta
rupiah. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah Pertimbangan
Hukum Hakim Terhadap Putusan Nomor 458/Pid.Sus/2018/Pn.Gns tentang
Tindak Pidana Kelalaian dalam Berlalu Lintas yang Menyebabkan Hilangnya
Nyawa Seseorang serta Apakah Akibat Hukum atas Putusan Nomor
458/Pid.Sus/2018/PN.Gns.
Pendekatan Masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode Pengumpulan Data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung
Sugih, serta Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Hasil Penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Dasar pertimbangan
hukum hakim terhadap tindak pidana kelalaian dalam berlalu lintas yang
menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dalam putusan nomor
458/Pid.Sus/2018/PN.Gns terdiri dari pertimbangan yuridis dimana semua unsur
telah terpenuhi, pertimbangan filosofis yaitu tindak pidana yang dilakukan
merupakan suatu jenis kelalaian atau alpa karena melakukan pengereman secara
mendadak ketika mengemudikan kendaraan sehingga menyebabkan orang lain
meninggal dunia serta pertimbangan sosiologis yaitu hal-hal yang memberatkan
dan meringankan atas diri terdakwa. Akibat hukum atas putusan nomor
458/Pid.Sus/2018/PN.Gns adalah berdasarkan fakta persidangan mmajelis hakim
memutus perkara tersebut dengan menjatuhi pidana yang lebih ringan terhadap
terdakwa dari ketentuan dalam Pasal yang dilanggar.
M. Soparid Maulana
Saran dalam penelitian ini adalah bagi para penegak hukum khususnya hakim
tidak serta merta berdasar pada surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam
menjatuhkan Pidana, melainkan pada dua alat bukti yang sah ditambah dengan
keyakinan hakim. Hakim harus lebih peka untuk melihat fakta-fakta apa yang
timbul pada saat persidangan, sehingga dari fakta yang timbul tersebut,
menimbulkan keyakinan hakim bahwa terdakwa dapat atau tidak dapat dipidana.
Kata Kunci : Pertimbangan Hukum Hakim, Tindak Pidana, Kelalaian Berlalu
Lintas.1512011096 M. SOPARID MAULANA-2022-04-20T02:42:40Z2022-04-20T02:42:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58460This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/584602022-04-20T02:42:40ZUPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRIPendekatan masalah dilakukan secara normatif dan didukung dengan
pendekatan empiris. Tempat penelitian dilakukan di Polsek Jati Agung Sumber
data yang di dapat dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Prosedur
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian
lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa upaya kepolisian dalam
penanggulangan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
menyebabkan kematian istri, dilakukan melalui upaya pre-emtif, prefentif dan
refresif. Upaya pre-emtif dengan melakukan upaya sosialsiasi dengan masyarakat
serta melakukan penyuluhan tentang KDRT yang dalam materinya tentang
pencegahan KDRT dalam masyarakat. Upaya preventif dilakukan dengan
komunikasi yang baik dalam keluarga dan juga jika ada masalah diselsaikan
dengan dialog atau musyawarah serta jika terjadi pertengkaran serius salah satu
harus ada yang mengalah. Upaya refresif dilakukan dengan melakukan pidana
penjara pada pelaku KDRT. Faktor penghambat upaya kepolisian dalam
penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
menyebabkan Kematian Istri adalah yakni: Faktor hukumnya sendiri, dalam hal
ini dibatasi pada undang-undang saja, faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak
yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum., faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.Saran, untuk Kepolisian Sektor Jati Agung dalam menanggulangi
kekerasan dalam rumah tangga yakni mendirikan Ruang dan Pelayanan Khusus
(RPK), sebagai tempat penanganan kasus KDRT dan pelanggaran anak.
Kepolisian Sektor Jati Agung diharapkan ke depannya memiliki penyidik khusus
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), hal ini sesuai dengan Peraturan Kapolri
Nomor 10 tahun 2007 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (Unit PPA), dengan cara adanya penambahan jumlah polisi
wanita (Polwan) khususnya di bagian Unit PPA. Selain itu untuk mencegah
kekerasan dalam rumah tangga di rumah, harus dikembangkan cinta kasih dan
kasih sayang. Sejak dini, ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada
anak-anak di rumah untuk saling mencintai dan saling menyayangi.
Kata Kunci: Upaya Kepolisian, Penanggulangan, KDR1512011107 M. Dzaky Prasetyo-2022-04-20T00:55:03Z2022-04-20T00:55:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58358This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583582022-04-20T00:55:03ZPERAN PANGKALAN TNI ANGKATAN LAUT (LANAL) DAN
BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) PROVINSI
LAMPUNG DALAM MENANGGULANGI
PENYELUNDUPAN NARKOTIKAUpaya penanggulangan tindak pidana narkotika dilaksanakan oleh berbagai
intitusi di antaranya adalah Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) yang
berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung.
Permasalahan Penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peran Pangkalan TNI
Angkatan Laut Lampung dan BNN Provinsi Lampung dalam upaya
menanggulangi penyelundupan narkotika? (2) Apakah faktor-faktor penghambat
koordinasi Pangkalan TNI Angkatan LautLampung dan BNN Provinsi dalam
upaya menanggulangi penyelundupan narkotika?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Komandan Denpom Pangkalan TNI
Angkatan Laut Lampung, Staf BNN Provinsi Lampung, Penyidik Ditpolair Polda
Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakuakan
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Peran Pangkalan TNI
Angkatan Laut Lampung dan BNN Provinsi Lampung dalam upaya
menanggulangi penyelundupan narkotika adalah dengan melaksanakan kegiatan
patrol di wilayah perairan laut dalam rangka pengamanan dan pencegahan
berbagai pelanggaran hukum dan tindak pidana laut. Pangkalan TNI Angkatan
Laut Lampung menjalin kerja sama dan berkoordinasi dengan BNN Provinsi
Lampung setelah melakukan penangkapan terhadap pelaku penyelundupan
narkotika, yaitu melimpahkan pelaku dan barang bukti narkotika kepadan BNN
Provinsi Lampung untuk dilakukan proses penyidikan terhadap pelaku
penyelundupan narkotika tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (2) Faktor-faktor yang menghambat koordinasi Pangkalan TNI
Angkatan Laut Lampung dan BNN Provinsi Lampung dalam upaya
menanggulangi penyelundupan narkotika adalah faktor aparat penegak hukum,
faktor sarana dan prasarana, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana penyelundupan narkotika. Faktor aparat penegak
hukum yaitu masih terbatasnya Penyidik BNN Provinsi Lampung, sedangkan
faktor sarana dan prasarana, yaitu belum adanya laboratorium forensik di Provinsi
Lampung.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Peran Lintas Lembaga dalam upaya
penanggulangan tindak pidana narkotika hendaknya diperluas dan ditingkatkan
dangan cara menyusun kesepahaman bersama (memorandum of understanding)
dalam rangka mengoptimalkan penanggulangan tindak pidana Penyelundupan
narkotika (2) BNN Provinsi Lampung hendaknya meningkatkan kuantitas dan
kualitas penyidik dalam rangka penanggulangan tindak pidana penyelundupan
narkotika.
Kata Kunci : Peran, Pangkalan TNI Angkatan Laut Lampung, BNN Provinsi
Lampung, Penyeludupan Narkotika.
Narcotic criminal’s overcome carried out by various institutions include the
Navy’s Indonesian National Army which coordinates with the National Narcotics
Agency of Lampung Province. The problems of this study are: (1) What is the role
of Navy’s Indonesian National Army and National Narcotics Agency in an effort
to tackle narcotics smuggling? (2) What are the inhibiting factors of Navy’s
Indonesian National Army and National Narcotics Agency of Lampung Province
in coordinate to effort narcotics smuggling?
The research approach uses a normative and empiric yuridical approach. The
person who interviewed in this study are the Commender of Navy’s Indonesian
National Army in Lampung , Staff of National Narcotics Agency in Lampung ,
Investigator of Regional Police in Lampung and Lecturer of Criminal Law
Faculty of Lampung University. Data collection is from literature and field
studies. Data analysis is qualitative
.
The results and discussion of the research show that : (1) The role of the navy’s
Indonesian National Army and National Narcotics Agency in Lampung to
overcome narcotics smuggling is carried out by patrol activities in marine waters
in order security and prevention of various violations of law and sea crime. The
navy’s Indonesian National Army of Lampung collaborated and coordinated with
the National Narcotics Agency of Lampung after arresting the perpetrators of
narcotics smuggling. That is delegating the perpetrators and narcotics evidence
to the National Narcotics Agency of Lampung to conduct an investigation process
against the perpetrators of narcotics smuggling in accordance with the applicable
laws and regulations. (2) Factors that inhibit the coordination of the navy’s
Indonesian National Army and National Narcotics Agency of Lampung in an
effort to combat narcotics smuggling are factors of law enforcement officials,
factors of facilities and infrastructure and lack of participation community in the
handling of criminal acts of smuggling narcotics. Factors of law enforcement
officials are the limited
investigations of National Narcotics Agency of Lampung, and factors of facilities
and infrastructure are the absence of forensic laboratories in Lampung Province.
Suggestion of this study are: (1) The role of cross institutions in efforts to combat
narcotics crimes should be expanded and improved by compiling memorandum of
understanding in order to optimize the crime of narcotics smuggling (2) National
Narcotics Agency of Lampung should increase quantity and quality of
investigators in order to dealing with criminal acts of narcotics smuggling.
Keywords: Role, The navy’s Indonesian National Army of Lampung, National
Narcotics Agency of Lampung , Narcotics Smuggling.1442011006 DIO BUANA YUDHA-2022-04-20T00:46:26Z2022-04-20T00:46:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58355This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583552022-04-20T00:46:26ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
PERBUATAN MENGHALANG-HALANGI PROSES PERADILAN
(OBSTRUCTION OF JUSTICE)Obstruction of justice merupakan suatu tindakan seseorang yang menghalangi
proses hukum dan mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses
peradilan. Tindakan obstruction of justice merupakan perbuatan melawan hukum
yang menerabas dan menentang penegakan hukum. Secara normatif, tindakan
menghalang-halangi proses peradilan sudah diatur banyak dalam peraturan, baik
dalam KUHP maupun dalam hukum pidana khusus. Perbuatan obstruction of
justice kerap terjadi pada proses pra-adjudikasi; sebelum perkara dilimpahkan
kepengadilan, baik di tingkat penyidikan, maupun tingkat penuntutan dan pada
tahap adjudikasi yaitu tahap pemeriksaan di persidangan. Permasalahan dalam
skripsi ini adalah: Apasajakah bentuk perbuatan menghalang-halangi proses
peradilan (obstruction of justice) yang diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Bagaimanakah penegakan hukum pidana
terhadap perbuatan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice)?
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Studi kepustakaan dan studi
lapangan. Analisis data: kualitatif. Narasumber: Jaksa pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, Advokat pada Kantor Hukum Zul Armain Aziz &
Associates dan Hakim Tipikor pada Pengadilan Negri Jakarta Pusat.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: bentuk perbuatan
menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice) dimuat dalam empat
pasal, yakni Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Perbuatan yang dapat dikatakan sebagai obstruction of justice
harus memenuhi unsur delik, yaitu tindakan dapat menyebabkan tertundanya
proses hukum, pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya,
pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan
mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum serta pelaku
memiliki motif untuk melakukan tindakan menghalangi proses hukum. Penegakan
hukum terhadap norma ini dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap
ii
Dhanty Novenda Sitepu
formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan bentuk perbuatan menghalang-
halangi proses peradilan (obstruction of justice) lebih dirumuskan secara spesifik
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspsi sehingga
terciptanya kesepahaman bersama antara aparat penegak hukum baik Hakim,
Jaksa dan Advokat. Selain itu, diharapkan aparat penegak hukum dalam
penyelesaian perkara obstruction of justice dapat melaksanakan tugas secara baik,
bertanggungjawab dan professional melalui tahapan penegakan hukum yaitu tahap
formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi sehingga tujuan hukum untuk
memberikan kepastian, kemanfaatan serta keadilan kepada masyarakat dapat
tercapai.
Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Perbuatan Menghalang-Halangi
Proses Peradilan, Obstruction of Justice.
Obstruction of justice is an act of someone who obstructs the legal process and
disrupts the functions that should be in a judicial process. An obstruction of
justice is an act against the law which violates and opposes law enforcement.
Normatively, actions to obstruct the judicial process have been regulated in many
regulations, both in the Criminal Code and in special criminal law. Obstruction of
justice often occurs in the pre-adjudication process; before the case is handed over
to the court, both at the investigation level, and the level of prosecution and at the
stage of adjudication, namely the examination stage at the trial. The problems in
this thesis are: What are the forms of obstruction of justice that are regulated in
the Law on the Eradication of Corruption? How does criminal law enforcement
against conduct obstruct the trial process (obstruction of justice)?
Approach Problems used in this study are normative juridical and empirical
juridical approaches. Data sources: Literature studies and field studies. Data
analysis: qualitative. Speaker: Prosecutor at the Corruption Eradication
Commission, Advocate at the Law Office of Zul Armain Aziz & Associates and
Corruption Judge at the Central Jakarta District Court.
The results of the research and discussion show that: forms of conduct obstruct
the judicial process (obstruction of justice) contained in four articles, namely
Article 21, 22, 23 and Article 24 of the Law on the Eradication of Corruption
Crimes. Actions that can be regarded as obstruction of justice must fulfill the
element of offense, namely actions can cause delays in the legal process, the
perpetrator knows his actions or is aware of his actions, the perpetrator performs
or tries to deviate with the intention of interfering with or intervening in the legal
administration obstructing the legal process. Law enforcement against this norm
can be done through three stages, namely the formulation stage, the application
stage, and the execution phase.
iv
Dhanty Novemda Sitepu
The suggestion in this study is that it is expected that the form of action obstructs
the judicial process (obstruction of justice) is more specifically formulated in the
Law on the Eradication of Criminal Acts of Corruption so that the mutual
understanding between law enforcement officers, Judges and Advocates is
created. In addition, it is expected that law enforcement officials in resolving
cases of obstruction of justice can carry out their duties properly and
professionally through the stages of law enforcement, namely the formulation
stage, application stage and execution stage so that the legal objectives to provide
certainty, benefit and justice to the community can be achieved.
Keywords: Criminal Law Enforcement, Acts Obstruct Judicial Process,
Obstruction of Justice.1512011134 DHANTY NOVENDA SITEPU-2022-04-20T00:45:04Z2022-04-20T00:45:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58353This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583532022-04-20T00:45:04ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENCULIKAN ANAK
(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)Penculikan merupakan salah satu tindak pidana yang menggangu keamanan dan
ketertiban masyarakat, dan menimbulkan kekawatiran orang tua terhadap anak-
anaknya. Oleh karena itu pihak Kepolisian melakukan melaksanakan peran
dalam upaya menangulangi tindak pidana penculikan. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah upaya Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung dalam penanggulangan tindak pidana penculikan anak? (2) Apakah
faktor yang menghambat upaya Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam
penanggulangan tindak pidana penculikan anak?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Data
dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber
penelitian terdiri dari Penyidik Polresta Bandar Lampung dan Dosen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara
kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Peran penyidik Kepolisian Resor Kota
Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana penculikan terhadap anak
termasuk dalam peran normatif, ideal dan faktual. Peran normatif dilaksanakan
peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Kepolisian dan
KUHAP. Peran ideal dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan penyidikan dan
pelaksanaan tugas pokok kepolisian. Peran faktual dilaksanakan melalui sarana
non penal dan sarana penal. Penanggulangan melalui sarana non penal dengan
sosialisasi dan pencegahan terhadap kemungkinan adanya tindak pidana
penculikan terhadap anak. Penanggulangan melalui sarana penal dilaksanakan
melalui proses penyidikan, yaitu serangkaian tindakan yang tempuh oleh penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti tentang tindak pidana penculikan anak untuk
dilaksanakan proses penegakan hukum selanjutnya. (2) Faktor-faktor penghambat
upaya penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam penanggulangan
tindak pidana penculikan terhadap anak adalah sebagai berikut: Faktor substansi
hukum, yaitu adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa minimal alat bukti
Devi Lia Nindi Safitri
adalah dua alat bukti. Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih
terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih
belum optimalnya profesionalisme penyidik dalam taktik dan teknik penyidikan.
Faktor sarana, yaitu tidak adanya tidak adanya sarana laboratorium forensik di
Polda Lampung. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau
keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan. Faktor
budaya, yaitu masih adanya nilai-nilai toleransi yang dianut masyarakat untuk
menempuh jalur di luar hukum positif untuk menyelesaikan suatu tindak pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung disarankan untuk meningkatkan upaya penanggulangan tindak pidana
penculikan anak dengan cara memproses secara hukum pelaku secara cepat dan
profesional, sehingga dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada
masyaakat. (2) Pihak sekolah dan orang tua disarankan untuk mengantisipasi
terjadinya tindak pidana penculikan terhadap anak dengan cara membuat
peraturan atau tata tertib mengenai kewajiban menjemput anak dari sekolah.
Kata Kunci: Peran Kepolisian, Penanggulangan, Penculikan Anak1512011224 DEVI LIA NINDI SAFITRI-2022-04-20T00:43:06Z2022-04-20T00:43:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58351This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583512022-04-20T00:43:06ZPROSPEKTIF PENERAPAN RECHTERLIJK PARDON (PEMAAFAN
HAKIM) DALAM PUTUSAN PENGADILAN
(Studi Konsep RKUHP 2018)Gagasan mengenai rechterlijk pardon atau pemaafan hakim dalam konsep
RKUHP merupakan nilai hukum terbaru yang merupakan reformasi dari
kekakuan sistem pemidanaan dalam KUHP. Formulasi ide pemaafan hakim dalam
RKUHP 2018 tertuang pada Pedoman Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Pasal
60 Ayat (2) RKUHP 2018. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah
konsep Rechterlijk Pardon ditinjau dari tujuan dan pedoman pemidanaan serta
Bagaimanakah prospektif penerapan Rechterlijk Pardon dalam putusan
pengadilan?.
Pendekatan Masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode Pengumpulan Data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri IA
Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepala Urusan
BIN dan Ops Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung serta Akademisi Hukum
Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil Penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Konsep Rechterlijk
Pardon ditinjau dari tujuan dan pedoman pemidanaan adalah Rechterlijk Pardon
tidak dapat berjalan bersamaan dengan tujuan pemidanaan yang bersifat absolut
dan relatif namun terdapat kemungkinan diterapkan bersamaan dengan teori
gabungan. Konsep ini akan sangat sesuai dengan tujuan dan pedoman pemidanaan
yang terdapat di dalam RKUHP 2018 yang nantinya dasar pembenaran atau
justifikasi adanya tindak pidana tidak hanya merujuk kepada tindak pidana
sebagai syarat objektif dan kesalahan sebagai syarat subjektif, tetapi juga pada
tujuan dan prinsip pemidanaan. Prospektif penerapan Rechterlijk Pardon
(pemaafan hakim) dalam putusan pengadilan apabila diterapkan nantinya akan
berperan sebagai katup pengaman terakhir dalam sistem peradilan pidana jika
suatu perkara tidak tersaring di tahap penuntutan dan hakim pemeriksa
pendahuluan. Hakim dalam memberikan putusan Rechterlijk Pardon harus
berdasarkan rambu-rambu sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 Ayat (2)
RKUHP 2018.
Destria
Saran dalam penelitian ini adalah melihat keperluan hukum pidana saat ini dan
juga KUHP yang masih merupakan hasil kolonial dan dirasa kaku sudah tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, kiranya lembaga pembentuk
undang-undang segera mengesahkan Rancangan KUHP demi tercapainya sistem
peradilan pidana yang lebih efektif di Indonesia. Perlu dilakukannya peningkatan
kemampuan para penegak hukum khususnya hakim agar nantinya konsepsi
Rechterlijk Pardon dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan pedoman dalam
penjatuhan putusan pemaaf yang telah diatur dalam RKUHP serta tidak
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kata Kunci : Rechterlijk Pardon, Putusan Pengadilan, Konsep RKUHP.1512011070 DESTRIA-2022-04-19T07:53:18Z2022-04-19T07:53:18Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59999This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/599992022-04-19T07:53:18ZIMPLEMENTASI SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PENGGUNAAN TROTOAR BERDASARKAN PERATURAN DAERAH
KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG
KETENTRAMAN MASYARAKAT DAN
KETERTIBAN UMUMPelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung saat ini semakin kompleks
dengan adanya penggunaan trotoar dan bahu jalan yang tidak semestinya. Mulai
dari penggunaan trotoar untuk berjualan hingga praktek parkir ilegal.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah: bagaimanakah implementasi sanksi pidana
terhadap tindak pidana penggunaan trotoar dan apakah yang menjadi faktor-faktor
yang menghambat implementasi sanksi pidana terhadap tindak pidana
penggunaan trotoar.
Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Data Primer dan Data Sekunder.
Narasumber dalam penelitian ini Satpol PP Kota Bandar Lampung dan Satlantas
Polresta Bandar Lampung serta Akademisi bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa implementasi sanksi pidana
terhadap tindak pidana penggunaan trotoar hingga saat ini tidak pernah
diterapkan. Hal ini dikarenakan Satpol PP Kota Bandar Lampung sebagai garda
terdepan dalam penerapan Perda Nomor 1 Nomor 01 Tahun 2018 tentang
Ketentraman Masyarakat dan Ketertiban Umum, tidak pernah meneruskan
permasalahan penggunaan trotoar ke ranah hukum pidana. Adapun
penyelesaiannya hingga saat ini dilakukan melalui jalur kekeluargaan atau non
litigasi. Selain itu, faktor penghambat paling dominan dalam implementasi sanksi
pidana terhadap tindak pidana penggunaan trotoar adalah faktor masyarakat,
dimana masih rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah memberikan ruang khusus
guna berdagang demi terjaganya wilayah trotoar dan bahu jalan, serta tak lupa
ialah pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuka lowongan pekerjaan
bagi masyarakat. Mengingat, dalam hal penyalahgunaan trotoar dalam hal ini PKL
sangat erat kaitannya dengan faktor ekonomi masyarakat. Serta, segenap civitas
akademi di wilayah Kota Bandar Lampung dapat ikut serta dalam melaksanakan sosialisasi terkait Perda Kota Bandar Lampung Nomor 01 Tahun 2018 secara
umum atau penggunaan trotoar dan bahu jalan secara khusus, serta sosialisasi
lainnya yang berkenaan dengan kesadaran hukum. Selain itu, aparat penegak
hukum pun diharapkan dapat melakukan sosialisasi dalam keadaan tidak bertugas
seperti halnya saat sedang ada di pos ronda bersama masyarakat.
Kata Kunci: Implementasi, Pidana, Penggunaan, Trotoar.1742011048 ALDO PRIMA ARYAAldoprimaarya05@gmail.com2022-04-19T07:42:28Z2022-04-19T07:42:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59988This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/599882022-04-19T07:42:28ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DI RUANG LINGKUP YURIDIS DAN SOSIOLOGIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
(Studi Putusan Nomor: 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk)
Tindak pidana penistaan agama merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perilaku penghinaan terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW serta merusak aqidah islam, seperti kasus penodaan agama yang akan dibahas dalam putusan 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk, bahwa dalam kasus tersebut Gunarto bin Sihono menyuruh lakukan dengan ancaman kepada Muhammad Yasin Alviansyah mengencingi kitab suci Al-Qur’an. Kemudian Muhammad Yasin Alviansyah melaporkan kasus tersebut ke Polresta Bandar Lampung dan dalam putusan nya Gunarto bin Sihono terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama terhadap kitab suci Al-Qur’an. Namun dalam hal ini pembuat materil pengencingan Al-Qur’an tidak di tuntut dalam sidang pengadilan. Permasalahan penelitian: bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana penistaan agama dalam studi putusan nomor: 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk dan mengapa pelaku penodaan Al-Qur’an tidak di tuntut dalam sidang pengadilan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan metode analisis kualitatif melalui teknik studi pustaka dan studi lapangan yaitu wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi, Dosen bagian hukum pidana, dan Tokoh Agama pondok pesantren araffah yayasan insan rabbani.
Hasil penelitian dan pembahasan dasar pertimbangan hukum dalam memutus kasus dalam putusan nomor 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk, bahwa Gunarto bin Sihono telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama, yang telah memenuhi unsur Pasal 156a sebagaimana dakwaan alternatf jaksa penunutut umum ke-tiga, dengan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dan kemudian menetapkan agar Gunarto Bin Sihono membayar biaya perkara sejumlah Rp2000,00 (dua ribu rupiah). kemudian mengapa Muhammad Yasin Alviansyah yang disuruh lakukan oleh terdakwa Gunarto untuk mengencingi Al-Qur’an tidak dituntut dalam sidang pengadilan, berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan oleh para narasumber yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, akademisi fakultas hukum. Bahwa, yang dilakukan oleh Muhammad Yasin Alviansyah adalah masuk dalam kategori daya paksa overmacht, yaitu adanya alasan pemaaf strafuitsluitings gronden
sebagai penghapus pidana yang mana telah tercantum dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan: “barang siapa melakukan perbuatam karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Apabila di pandang di lingkup sosiologisnya faktanya penduduk Indonesia mayoritas adalah beragama islam maka dari itu perlakuan menista Al-Qur’an telah melukai hati seluruh umat islam. Hasil wawancara dengan tokoh agama, bahwa penodaan terhadap Al-Qur’an sama saja perbuatan yang menentang Allah dan Rasul, maka patutlah daripada mereka yang berbuat penistaan terhadap kitab suci Al-Qur’an siksa yang menghinakan dan neraka jahanam, kemudian dalam surah Al-Ahzab Ayat 61 bahwa siapa saja yang melakukan penistaan terhadap agama Allah termasuk kitab suci al-Quran halal untuk dibunuh, namun di Indonesia tentu aturan tersebut tidak diberlakukan di Indonesia karena telah ada yang mengatur. Dalam teori yang di pakai yaitu teori perlindungan agama bahwa agama di lihat sebagai kepentingan hukum /objek yang akan di lindungi oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang di buatnya, yaitu telah tercantum dalam KUHP Pasal 156 huruf a.
Saran dalam penilitian ini untuk seluruh aparat penegak hukum harus mempertimbangkan secara komperhensif terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana, kemudian penegak hukum selain menegakkan keadilan sesuai dengan pancasila dan peraturan perundang-undangan juga harus memberikan pemahaman hukum terhadap masyarakat agar tidak terjadi keasalah pahaman dan menimbulkan stigma negatif terhadap penegak hukum.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Yuridis, Sosiologis, Putusan Pengadilan, Penistaan Agama.
ABSTRACT
BASIC ANALYSIS OF JUDGE CONSIDERATIONS IN THE JURISDICTION AND SOCIOLOGICAL SCOPE OF JURISDICTIONS AGAINST
THE CRIME OF RELIGION BLASPHEMY
(Study of Decision Number: 1469/Pid.B/2020/PN. TJK)
By:
Rahmat Riansah
The criminal act of blasphemy is an act that can be categorized as an insult to Allah SWT and the Prophet Muhammad SAW as well as damaging the Islamic creed, such as the case of blasphemy which will be discussed in decision 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk, that in that case Gunarto bin Sihono ordered Muhammad Yasin Alviansyah to urinate on the holy book of the Qur'an. Then Muhammad Yasin Alviansyah reported the case to the Bandar Lampung Police and in his decision Gunarto bin Sihono was proven to have committed a crime of blasphemy against the holy book Al-Qur'an. However, in this case, the maker of the Qur'anic curing material was not prosecuted in court. The research problem: what is the basis for the judge's consideration in passing the decision on the crime of blasphemy in the study of decision number: 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk and why the perpetrators of blasphemy of the Qur'an were not prosecuted in court.
This study uses a normative juridical and empirical juridical approach with qualitative analysis methods through library research techniques and field studies, namely interviews with several sources consisting of judges, prosecutors, police, lecturers in criminal law, and religious leaders at the Arafah Islamic Boarding School, the rabbani human foundation.
The results of the research and discussion of the basic legal considerations in deciding the case in decision number 1469/Pid.B/2020/PN. Tjk, that Gunarto bin Sihono has been legally and convincingly proven to have committed a criminal act of blasphemy, which has fulfilled the elements of Article 156a as stated in the third alternative indictment of the public prosecutor, by being sentenced to imprisonment for 1 (one) year, and then stipulating that Gunarto Bin Sihono paid a court fee of Rp. 200,000 (two thousand rupiah). then why Muhammad Yasin Alviansyah who was told to do by the defendant Gunarto to urinate on the Qur'an was not prosecuted in court, based on interviews that have been conducted by the sources, namely the police, prosecutors and courts, academics from the law faculty. Whereas, what Muhammad Yasin Alviansyah did was fall into the category of overmacht coercion, namely the excuse of forgiving strafuitsluitings gronden
as a criminal eraser which has been stated in Article 48 of the Criminal Code which states: "Whoever commits an act due to the influence of coercion is not punished. If you look at the sociological scope, the fact is that the majority of the Indonesian population is Muslim, therefore the treatment of insulting the Qur'an has hurt the hearts of all Muslims. The results of interviews with religious leaders, that blasphemy against the Qur'an is the same as an act that is against Allah and the Messenger, then it is better for those who commit blasphemy against the holy book of the Qur'an, a humiliating torment and hell, later in Surah Al-Qur'an. Ahzab verse 61 states that anyone who blasphemes against Allah's religion, including the holy Koran, is lawful to be killed, but in Indonesia, of course, these rules are not enforced in Indonesia because there are regulations. In the theory used, namely the theory of religious protection, religion is seen as a legal interest / object that will be protected by the state through the laws and regulations that it makes, which is stated in the Criminal Code Article 156 letter a.
Suggestions in this research for all law enforcement officers must consider comprehensively the perpetrators of criminal acts in accordance with the provisions of criminal law, then law enforcers in addition to upholding justice in accordance with Pancasila and statutory regulations must also provide legal understanding to the community so that there is no misunderstanding and creates a negative stigma against law enforcement.
Keywords: Basis for Judges' Consideration, Juridical, Sociological, Court Decisions, Blasphemy.
1812011177 RAHMAT RIANSAHrahmatriansah123@gmail.com2022-04-19T06:49:19Z2022-04-19T06:49:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/60008This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/600082022-04-19T06:49:19ZPELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (CURAT) MENGGUNAKAN METODE TRACE IMEI (Studi Pada Polres Pesawaran) ANDIKA KURNIAWAN Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam yang dilaksanakan berdasarakan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pelaksanaan penyelidikan serta penyidikan diawali setelah adanya laporan, pengaduan, dan informasi dari masyarakat dimana telah diketahui atau diduga terjadi suatu tindak pidana. Penyelenggaraan peradilan pidana adalah sebuah kebijakan yakni kebijakan perlindungan masyarakat (social defence policy). Kebijakan melindungi masyarakat adalah diarahkan kepada perlindungan dari berbagai gangguan keamanan dan keselamatan serta kehormatan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, yang mana menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan dan dilengkapi dengan narasumber yaitu penyidik Polres Pesawaran dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil penelitian yang didapat ialah dari penyidikan dan proses hukum kasus tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Curat) terdakwa Mat Yusuf , dimana dalam putusan pengadilan negeri Gedongtataan Nomor 96/Pid.B/2021/PN Gdt , menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Mat Yusup dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan. Hambatan maupun kendala yang dihadapi secara langsung oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung terkhusus Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Pesawaran dalam proses penyidikan Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Curat) masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan, serta metode pelacakan dan pencarian baik alat bukti dan kejahatan yang semakin tinggi serta lebih berkualitas. Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia membutuhkan peralatan yang mendukung berbagai kegiatan penyidikan serta perawatan atas barang yang telah menjadi program pengadaan. Namun mengingat kurangnya sosialisasi tentang Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/34/VIII/2008 tentang indikator Kinerja Utama di lingkungan Polri. Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Pencurian, Metode Trace IMEI 1852011005 Andika Kurniawan andikakurniawan99122@gmail.com2022-04-19T04:15:59Z2022-04-19T04:15:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58703This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/587032022-04-19T04:15:59ZTINJAUAN VIKTIMOLOGIS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
TINDAK PIDANA PENCULIKAN
(Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)Sistem peradilan pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana kurang
mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan. Kurangnya
perlindungan terhadap korban menjadi perhatian dalam suatu kasus tindak pidana.
Seharusnya perlindungan terhadap korban dapat diutamakan dengan
mengembangkan viktimologi dan penerapannya dalam sistem hukum pidana di
Indonesia. Seperti kasus penculikan yang terjadi pada anak yang bernama Tasya
pada 24 Agustus 2018 di Bukit Rindingan, Perum Wana Asri, Kelurahan Beringin
Jaya, Kemiling Bandar Lampung. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban penculikan,
bagaimana upaya penanggulangan yang dilakukan dalam mengatasi tindak pidana
penculikan anak di Kota Bandar Lampung dan apakah faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan penculikan anak di Kota Bandar Lampung.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder
diperoleh dari studi pustaka, kemudian diolah, dan dianalisis secara kualitatif guna
mendapatkan suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Perlindungan hukum
terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan merupakan upaya
yang harus dilakukan oleh seluruh elemen pemerintah maupun masyarakat dengan
wujud Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dengan
mengutamakan kepentingan serta hak-hak anak. Perlindungan hukum dilakukan
oleh pihak kepolisian dan lembaga perlindungan perempuan dan anak damar.
Upaya penanggulangan yang dilakukan dalam mengatasi tindak pidana
penculikan anak dilakukan dengan upaya nonpenal dan penal. Faktor penyebab
kejahatan penculikan anak di Kota Bandar Lampung adalah faktor internal yang
berasal dari dalam diri pelaku berupa adanya niatan untuk melakukan kejahatan.
Selain dari sisi pelaku, korban juga merupakan salah satu faktor penyebab suatu
kejahatan. Ketidaktahuan dan kepolosan anak tersebutlah yang membuat pelaku
dengan sangat mudah untuk memperdaya si korban. Faktor eksternal yaitu
lingkungan dan ekonomi.
Ziah Ardiyanti
Saran dalam penelitian ini adalah pemerintah, masyarakat dan keluarga
hendaknya harus memberikan perhatian khusus terhadap anak yang menjadi
korban penculikan, karena penculikan kerap terjadi akhir-akhir ini dikalangan
anak-anak dibawah umur. Aparat kepolisian, masyarakat dan Lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang khusus menangani masalah anak hendaknya dapat
berperan aktif dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan. Masyarakat
dan orang tua diharapkan untuk lebih meningkatkan pengawasan terhadap anak
agar tidak menjadi korban kejahatan penculikan.
Kata kunci: Viktimologi, Anak, Penculikan.
1512011216 Ziah Ardiyanti-2022-04-19T04:14:10Z2022-04-19T04:14:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58698This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/586982022-04-19T04:14:10ZKAJIAN KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PEMERKOSAAN TERHADAP
ANAK YANG DILAKUKAN OLEH AYAH TIRIPemerkosaan adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang di dorong oleh
keinginan nafsu seksual untuk melakukan pemerkosaan sehingga menimbukan
kepuasan bagi dirinya sendiri. Kerena pemerkosaan terhadap anak ini dapat
merusak mental fisik, kecerdasan emosional, kehidupan sosial di masyarakat serta
serta tahap tumbung kembangnya, maka dari itu harus di berikan sanksi yang
berat bagi pelaku kejahatan pemerkosaan agar tindak mengulangi perbuatannya
lagi di samping itu dapat menimbulkan efek jera bagi bagi pelaku atau calon
pelaku kejahatan serta masyarakat harus berperan aktif dalam melakukan
pengamanan lingkungan tempat tinggalnya. Rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah (1) Bagaimanakah faktor terjadinya kejahatan pemerkosaan terhadap
anak oleh ayah tiri, (2) Bagimanakah upaya-upaya yang harus dilakukan untuk
menanggulangi kejahatan pemerkosaan oleh ayah tiri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengunakan pendekatan
yuridis normatif dilakukan dengan cara hal-hal yang bersifat teoritis, asas-asas
hukum serta teori-teori dan konsep-konsep dan pedekatan yuridis
empiris.dilakukan dengan cara menelaah huku atau berdasarkan fakta dilapangan
berupa pendapat narasumber. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini
adalah data primer yang yang diperoleh dari studi lapangan dengan wawancara
Sat Reskrim Polres Tanggamus, Dosen bagian Pidana pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Pelaku kejahatan Permekosaan. Data sekunder di peroleh
dari studi kepustakaan data dan data tersier literature, media massa dan internet.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan : faktor
internal terjadinya kejahatan di bagi menjadi dua macam yaitu : 1. faktor
penyebab pelaku kejahatan pemerkosaan melakukan kejahatan yaitu faktor
biologis yaitu kerena nafsu seksual pelaku kejahatan sangat besar dan tidak di
dapat dari istrinya dari istrinya sehingga melampiaskan nafsu seksualnya kepada
anak tirinya. 2. Faktor psikologis yaitu penyimpangan kejiwaan seksual pelaku
kejahatan yang krang sehat sehingga mencari kepausan kepada anak tirinya. Maka
harus adanya tindakan preventif yang dilakukan oleh semua elemen, masyarakat,
individu, kepolisian, pemerintah. Sementara untuk tindakan refresif dilakukan
oleh aparat penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta
lembaga pemasyarakatan.
zainuri
Berdasarkan kesimpulan di atas maka yang menjadi saran penulis adalah :
sebaiknya dalam mencegah kejahatan pemerkosaan para penegak perlu sosialisasi
hukum kepada masyarakat agar jika terjadi kejahatan pemerkosaan masyarakat
dapat mengambil tindakan serta melaporkan kepada kepolisian. Maka untuk
membuat jera pelaku kejahatan pemerkosaan harus diberikan sanksi berat serta
masyarakat harus berperan aktif dalam menanggulangi kejahatan di lingkungan
tempat tinggalnya.
Kata Kunci : Kajian Kriminologis, Pemerkosaan Anak, Ayah Tiri1542011002 ZAINURI-2022-04-19T02:47:12Z2022-04-19T02:47:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59939This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/599392022-04-19T02:47:12ZANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
(PKWT) ANTARA PERUSAHAAN DENGAN PEKERJA (Studi Terhadap PT Bank Muamalat Indonesia Tbk Kantor Cabang Pembantu Kotabumi)
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dalam menyusun dan
melaksanakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) harus memperhatikan
prinsip-prinsip perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata secara umum, dan
secara khusus pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) juga harus
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003,
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 dan peraturan pelaksana lainnya. Pada
penelitian ini menganalisis dan mengkaji tentang pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) antara PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dengan
Pekerja, dan penyelesaian hukum apabila terjadi wanprestasi antara PT Bank
Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dengan Pekerja.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris, dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah live case study, data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen
studi pustaka dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan
data, penandaan data dan sistematisasi data. Analisis yang digunakan merupakan
analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) antara PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dengan
Pekerja terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pra kontraktual, kontraktual dan pasca
kontraktual. Pada tahap pra kontraktual PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP
Kotabumi melakukan serangkaian kegiatan mulai dari open recruitment, kualifikasi,
interview dan tes kesehatan. Lalu pada tahap kontraktual dilakukan penandatanganan
PKWT oleh para pihak, dan perjanjian yang ditandatangani para pihak tersebut
merupakan bentuk perjanjian baku, tertulis dan di bawah tangan. Kemudian tahap
pasca kontraktual antara PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dengan
Pekerja, di mana kedua belah pihak melaksanakan hak dan kewajiban dengan iktikad
baik yang telah tercantum dalam PKWT. Penyelesaian hukum apabila terjadi
wanprestasi antara PT Bank Muamalat Indonesia Tbk KCP Kotabumi dengan Pekerja
dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila musyawarah tidak
tercapai maka penyelesaian perselisihan terkait wanprestasi dilakukan berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 dengan pilihan penyelesaian melalui
mediasi, konsiliasi, arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.
Kata Kunci: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perusahaan, Pekerja
1812011138 Muhammad Rafi Mubarak rafimubarak15@gmail.com2022-04-19T01:01:09Z2022-04-19T01:01:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59914This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/599142022-04-19T01:01:09ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN TELEPON SELULER UNTUK PEREDARAN NARKOTIKA
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung)
ABSTRAK
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN TELEPON SELULER UNTUK PEREDARAN NARKOTIKA
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung)
Oleh
PRITIE ANISSA IKA PUTRI
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013, Pasal 4 huruf J menyatakan bahwa setiap Narapidana atau Tahanan dilarang memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti telepon seluler dan sejenisnya. Hal yang dikhawatirkan dengan adanya alat komunikasi di dalam Lapas ialah pengendalian Narkotika dari dalam Lapas. Adapun Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum terhadap penggunaan telepon seluler untuk peredaran narkotika dan apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap penggunaan telepon seluler untuk peredaran narkotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan didukung pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka serta studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Penyidik Polresta Bandar Lampung, Petugas Pada Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung, dan Akademisi Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap penggunaan telepon seluler untuk peredaran narkotika dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama yakni tahap formulasi dimana pengaturan larangan penggunaan telepon seluler di dalam Lembaga Pemasyarakatan mengacu pada Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Terkait peredaran narotika tahap formulasi ini dilaksanakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk. Pada tahapan aplikasi dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain penyelidikan, penyidikan, pemberkasan, penuntutan hingga peradilan. Terakhir tahap eksekusi. Pada tahapan ini, penegakan hukum pidana menemui ujung daripada tindak pidana yaitu pemidanaan itu sendiri. Selain itu, faktor penghambat penegakan hukum terhadap penggunaan telepon seluler untuk peredaran narkotika yang paling dominan adalah faktor aparat penegak hukum, dan faktor kebudayaan. Faktor aparat penegak hukum berkaitan dengan kualitas petugas lapas yang mana masih ditemukannya oknum-oknum yang ikut membantu aksi-aksi pelanggaran seperti penggunaan telepon seluler di dalam Lapas. Selain itu terkait kuantitas, jumlah petugas lapas, tidak berimbang dibandingkan dengan jumlah narapidana yang mengakibatkan adanya ruang
Pritie Anissa Ika Putri
gerak untuk para narapidana melakukan pelanggaran-pelanggaran. Faktor kebudayaan berkaitan erat dengan kerja sama antara narapidana dan petugas Lapas oleh sebab adanya ikatan kekerabatan.
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain diharapkan adanya koordinasi dan kerja sama secara intens antara Aparat Lembaga Pemasayarakat dan Aparat Kepolisian dalam hal penegakan hukum pidana terhadap narapidana pengguna telepon seluler untuk tindak pidana peredaran narkotika baik melalui tindakan represif seperti mempermudah akses penyidikan dan penyelidikan terhadap narapidana maupun tindakan preventif seperti sosialisasi. Selain itu, diharapkan pihak Kepolisian serta pihak Lapas meningkatkan kualitas dan kuantitas anggotanya melalui serangkaian pelatihan dan lain sebagainya agar dapat bertindak lebih baik lagi terhadap penanganan, penindakan serta pencegahan terhadap narapidana pengguna telepon seluler untuk tindak pidana peredaran narkotika
Kata Kunci: Penegakan, Narapidana, Telepon, Peredaran, Narkotika
1712011102 PRITIE ANISSA IKA pritieanissaikaputri@gmail.com2022-04-18T09:30:25Z2022-04-18T09:30:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58390This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583902022-04-18T09:30:25ZANALISIS KRIMINILISASI PERBUATAN PENGHINAAN TERHADAP
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN KONSEP RKUHP 2015Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali di masukan kedalam
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), hal ini menimbulkan
polemik dimasyarakat, disatu pihak ada yang setuju dimasukan kembali pasal tersebut
dalam RKUHP, mengatakan bahwa Presiden dan Wapres merupakan simbol negara oleh
karenanya perlu dilindungi. Dilain pihak, yang tidak setuju khawatir pencantuman pasal
tersebut dalam RKUHP dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, khususnya
hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat apalagi pasal yang serupa dalam KUHP
telah dicabut oleh MK. Permasalahan yang diteliti penulis adalah Apakah perlu adanya
kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ke dalam
RKUHP dan Bagaimanakah proses Kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden RKUHP tahun 2015 dalam presfektif hukum pidana.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis komperatif. Data penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
analitis yang menggunakan sumber data sekunder, berupa bahan – bahan kepustakaan.
Data – data yang diperoleh akan dianalisis dengan kualitatif dengan penguraian secara
deskriptif analitis dan preskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden masih sangat diperlukan, karena banyak terjadi kasus penghinaan Presiden,
akibat dari kekosongan hukum, hal sangat melukai martabat Presiden dan menimbulkan
keresahan dalam masyarakat. Presiden merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan
dan keagungan/kebesaran dari seorang Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan. dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang
sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan
Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana sedangkan penghinaan terhadap
Presiden tidak, terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan
orang biasa. Pemerintah mesti memperhatikan negara-negara lain yang secara tegas
melindungi martabat Presiden. Terlepas dari itu, Pemerintah mesti merumuskan pasal
martbat Presiden ini harus cermat dan teliti agar tidak terjadi lagi muncul pasal multi
tafsir dan tidak mencederai demokrasi. Proses Kriminalisasi tindak pidana melalui
beberapa tahapan yaitu harus memperhatikan kriteria-kriteria atau faktor-faktor
kriminaliasasi dan dalam proses pembentukan undang-undangnya mesti berdasar asas
kriminaliasasi yaitu, asas legalitas, asas subsidaritas dan asas persaman/kesamaan hukum.
Fitra Agustama
Disarankan hendaknya Aturan Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
dipertahankan di RKUHP, karena masih sangat diperlukan di Indonesia, untuk
melindungi martabat Presiden dan Wakil Presiden dan dalam penyusunannya aturan
Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden mesti dibentuk dengan cermat
dan hati-hati tiap rumusan pasalnya dan mesti ada pengawasan dari para pihak penegak
hukum agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan undang-undang seperti pasal sebelumnya
yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kata kunci: Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan, Presiden dan Wakil Presiden,
RKUHP1412011156 FITRA AGUSTAMA-2022-04-18T09:30:20Z2022-04-18T09:30:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58348This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583482022-04-18T09:30:20ZANALISIS KRIMINOLOGIS PENANGGULANGAN KEJAHATAN
PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIALDefamation through social media is included in the category of cyber crime which is
regulated in Act Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions.
One example of the case is the crime of defamation in the Police Report Number: LP / B-
216 / II / 2017 / LPG / SPKT and has been decided by the Class IA District Court
Tanjung Karang Case Number: 1281 / Pid.Sus / 2017 /PN.Tjk. The problems that exist in
this study are: whether the factors causing the perpetrators to commit defamation crimes
through social media and how to overcome the defamation crimes through social media.
The study was conducted with a normative and empirical juridical approach. The data
used in this study secondary data obtained from library materials, and field research
carried out by observation and interviews (interviews), the data obtained were analyzed
qualitatively juridically and deductively drawn conclusions.
The results of research and analysis show that the causes of perpetrators of crimes of
defamation through social media include intrinsic factors including: job environment,
psychology which is seen from evil talents, personality, emotion which is a problem from
the beginning of cases in the work environment and extrinsic factors include: social
environment factors, intention and opportunity. Countermeasures against defamation
crimes through social media are carried out using non-reasoning facilities and means of
reasoning. The penal approach is carried out by using criminal law (ultimum remidium),
which is carried out by means of legal remedies against criminal offenders through social
media being processed according to the provisions of laws and regulations to the level of
courts and executions to obtain criminal sanctions and guarantee legal certainty . The
perpetrators of criminal acts of defamation through social media are processed by law
based on the provisions of legislation up to the court level based on Case Verdict
5
Number: 1281 / Pid.Sus / 2017 / PN. Rp. 5,000,000 (Five Million Rupiah) provided that
the unpaid fine is replaced by imprisonment for 2 (two) months in order to guarantee
legal certainty The non-reasoning approach is carried out by counseling, socialization in
order to develop social responsibility of citizens aware of crime defamation through
social media, legal counseling and handling criminal objects.
The suggestion in this study is that law enforcement officials can maximize criminal
sanctions against perpetrators of criminal defamation through social media in order to be
able to provide a deterrent effect and to suppress the factors causing criminal acts of
defamation through social media.
Keywords: Criminological Analysis, Crime, Defamation, Social Media.1542011047 DESTI WIJAYA-2022-04-18T07:50:53Z2022-04-18T07:50:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58345This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583452022-04-18T07:50:53ZPENGGUNAAN TAPPING BOX DALAM UPAYA PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK DAERAH
(Studi Di Kota Bandar Lampung)Tapping Box merupakan mesin atau alat perekam transaksi yang mencatat atau
menangkap semua data transaksi yang terjadi dari mesin kasir ke printer point of
sales dan kemudian mengirimkannya melalui jaringan Global System for Mobile
(GSM) keserver Badan Pendapatan Daerah (BPD). Aplikasi pengelolaan data dan
pelaporan akan menampilkan laporan rekap transaksi dan pajak secara total
maupun masing-masing dari wajib pajak guna mendukung transparansi
pembayaran pajak. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah penggunaan
Tapping Box dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pajak Daerah
(di Kota Bandar Lampung) dan apakah faktor penghambat penggunaan Tapping
Box dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pajak Daerah (di Kota
Bandar Lampung).
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.Jenis
data terdiri dari data primer dan data sekunder.Sumber data yang didapat dengan
menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber terdiri dari
Pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandar Lampung, Ketua Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data
dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan Tapping Box dalam upaya
penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pajak Daerah (di Kota Bandar Lampung)
merupakan sistem pengawasan/monitoring pemungutan pajak daerah secara
elektronik (E-Billing) memanfaatkan teknologi modern yaitu Tapping boxdan
pemerintah lebih banyak menggunakan upaya non-penal kepada wajib pajak yang
melakukan tindak pidana korupsi pajak daerah. Faktor penghambat paling
dominan penggunaan Tapping box dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi Pajak Daerah (di Kota Bandar Lampung) yaitu faktor sarana dan
prasarana yang masih kurang memadai, faktor kesadaran pengusaha (wajib pajak)
yang masih kurang akan pentingnya menjaga data dan perangkat Tapping box
yang telah terpasang, serta faktor penegakan hukum yang dilakukan oleh
Kepolisian, serta tim pengawas Tapping box, dan petugas pajak (fiskus) yang
Desta Riska Fauzi
masih kurang tegas dan professional dalam menjalankan tugasnya.
Saran, Pemerintah dalam menyelesaian kasus penggunaan Tapping box dalam
upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pajak Daerah lebih
mengoptimalkan penggunaan upaya penal agar wajib pajak yang melakukan
Tindak Pidana Korupsi Pajak Daerah tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Pemerintah harus menambah jumlah Tapping box yang ada, melengkapi sarana
dan prasarana yang dibutuhkan, memberikan pendidikan, pelatihan, dan
menambah jumlah petugas pajak (fiskus) dan tim pengawas Tapping Box di setiap
wilayah Kota Bandar Lampung agar lebih efektif dan fokus dalam menjalankan
tugasnya. Melakukan sosialisasi kepada wajib pajak agar sadar akan pentingnya
penggunaan Tapping box dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Pajak Daerah (di Kota Bandar Lampung).
Kata Kunci: Tapping Box, Penanggulangan, Tindak Pidana Korupsi Pajak1512011132 DESTA RISKA FAUZI-2022-04-18T07:50:50Z2022-04-18T07:50:50Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58344This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583442022-04-18T07:50:50ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP BADAN
USAHA YANG MEMPEKERJAKAN ANAK
(Studi Pada PT Panca Buana Cahaya Sukses)Pada hakikatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya
dimanfaatkan untuk belajar, bermain, berada dalam suasana damai, mendapatkan
kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan
perkembangan fisik, psikologi, intelektual, dan sosialnya. Ketentuan tentang anak
diatur dalam Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang
menyatakan bahwa “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”. Sudah dijelaskan juga dalam Pasal 68 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa “Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak”. Dapat dikatakan, masalah pekerja anak
merupakan masalah klasik dalam hal perlindungan anak. Upaya perlindungan
hukum bagi anak di berbagai daerah di Tanah Air masih lemah. Ini ditandai belum
efektifnya penerapan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam
berbagai kasus kejahatan terhadap anak. Pihak penegak hukum pun cenderung
hanya memakai KUHP saja. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian dengan permasalahan: Bagaimanakah penegakan hukum pidana
terhadap badan usaha yang mempekerjakan anak berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Apa saja faktor penghambat
penegakan hukum pidana terhadap badan usaha yang mempekerjakan anak?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Dea Prahesti Sari
Penegakan hukum pidana terhadap badan usaha yang mempekerjakan anak
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jika
dikaitkan dengan kasus dalam penelitian ini, penegakan hukum pidana terhadap
badan usaha yang mempekerjakan anak yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah
Metro Jaya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Antara Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak terdapat disharmonisasi mengenai anak seharusnya
dilindungi atau boleh bekerja.Dimana anak dilindungi oleh negara bukannya
dipekerjakan seperti pada kasus PT panca Buana Cahaya Sukses atau pabrik
mercon. Ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang
menentukan bahwa "Pemeriksaan terhadap korporasi sebagai tersangka pada
tingkat penyidikan diwakili oleh seorang pengurus." Tersangka yang telah
ditetapkan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya yakni, Indra Liyono, Andria
Hartanto, dan Suparna Ega
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya,
kedepannya perlu dilakukan upaya preventif sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Selain itu tiga tahap
penegakan hukum pidana yakni tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi perlu
dimaksimalkan kembali. Kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Banten, kedepannya perlu meningkatkan sinerginya dalam melakukan
pengawasan terhadap badan usaha yang mempekerjakan anak di Provinsi Banten
tanpa harus menunggu laporan terlebih dahulu. Selain itu kedepannya Pemerintah
Daerah Provinsi Banten melalui instansi terkait perlu melakukan koordinasi
dengan berbagai pihak untuk mengatasi berbagai hambatan dalam proses
penegakan hukum terhadap badan usaha yang mempekerjakan anak. Kepada
Pemerintah, kedepannya perlu memperhatikan kembali kasus anak yang
dipekerjakan. Dimana seharusnya anak dilindungi oleh negara bukan dipekerjakan
untuk mencukupi ekonomi keluarganya. Mengingat seharusnya anak
memanfaatkan waktu mereka untuk belajar, bermain, berada dalam suasana
damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Badan Usaha, Pekerja Anak.1512011100 Dea Prahesti Sari-2022-04-18T07:50:47Z2022-04-18T07:50:47Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58343This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583432022-04-18T07:50:47ZUPAYA POLISI KHUSUS KEHUTANAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KEHUTANANPeran Polisi Kehutanan sangatlah besar dalam melindungi dan mengamankan
hutan, mengingat polisi kehutanan sebagai aparat keaamanan di bidang
kehutanan. Tindak pidana kehutanan di atur dalam peraturan pemerintah Nomor
45 Tahun 2014 tentang perlindungan hutan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Permasalahan
yang di bahas dalam skripsi terdiri dari dua permasalahan yaitu : Bagaimanakah
upaya polisi kehutanan dalam penyidikan tindak pidana kehutanan? Apakah
faktor penghambat polisi khusus kehutanan dalam penyidikan tindak pidana
kehutanan?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang di gunakan adalah data primer
dan data sekunder. Penentuan narasumber di lakukan dengan wawancara dengan
respoden. Metode pengumpulan data di lakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa upaya polisi kehutanan
dalam penyidikan tindak pidana kehutanan pada hakikat nya merupakan bagian
dari penegakan hukum yang terdiri dari upaya preemtif,preventif dan refresif.
Yaitu melakukan penanggulangan agar tidak terjadi lagi tindak pidana dan upaya
di lakukan pada saat telah terjadi tindakan berupa penegakan hukum dengan
menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatan nya sehingga tidak mengulangi
nya dan orang lain juga tidak akan melakukan nya mengingat sanksi yang di
tanggung nya sangat berat. Faktor penghambat yang paling dominan dapat
mempengaruhi pelaksanaan upaya kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
kehutanan yaitu penegakan hukum nya,faktor sarana dan fasilitas dan faktor
masyarakatnya.
Cici Afriyanti
Saran yang dapat diberikan dalam upaya polisi khusus kehutanan dalam
penyidikan tindak pidana kehutanan adalah perlunya meningkatkan sarana dan
prasarana yang kurang memadai sehingga dapat membantu melancarkan proses
penyidikan.dan lebih tegas akan sanksi hukum yang sudah di atur dalam undang-
undang yang berlaku sehingga setiap kasus tindak pidana kehutanan bisa
diselesaikan melalui pengadilan bukan melalui di balik layar,atau kasus berhenti
sebelum sampai ke pengadilan.1412011083 CICI AFRIYANTI-2022-04-18T07:50:44Z2022-04-18T07:50:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58342This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583422022-04-18T07:50:44ZANALISIS PELAKSANAAN E-TILANG DALAM UPAYA PENCEGAHAN
PRAKTIK PUNGUTAN LIAR YANG DILAKUKAN OLEH POLISI LALU
LINTAS
(Studi Kasus Polres Metro Jakarta Selatan)E-tilang adalah proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang memakai
sistem teknologi dan komunikasi. Sistem E-tilang mempunyai tujuan untuk
mencegah praktik pungutan liar yang beberapa kali dilakukan oleh oknum polisi
lalu lintas yang meresahkan masyarakat maupun masyarakat sendiri yang
menawarkan suap kepada oknum polisi lalu lintas. Landasan hukum dari
dilaksanakannya sistem E-tilang yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah : Bagaimanakah Pelaksanaan E-tilang
dalam Upaya Pencegahan Praktik Pungutan liar yang dilakukan Oleh Polisi Lalu
Lintas dan Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan E-tilang.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian ini terdiri dari dari
Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan dan Dosen bagian Hukum Pidana
Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka
dan studi Lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan E-tilang di
Wilayah Jakarta Selatan terlaksana dengan baik karena sudah lebih dominan
digunakannya sistem E-tilang ini untuk penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas. Kelebihan dari sistem ini adalah untuk memperkecil peluang oknum polisi
lalu lintas untuk melakukan praktik pungutan liar dan mempersingkat waktu
proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas. Tetapi masih banyak
kelemahan dari sistem ini diantaranya adalah Sarana dan Fasilitas yang kurang
maksimal untuk mendukung pelaksanaannya serta masih ada nya peluang untuk
melakukan praktik pungutan liar. Proses dari E-tilang juga terdiri dari beberapa
tahapan yaitu, penindakan kepada pelanggar lalu lintas, melakukan input data
yang dilakukan oleh petugas, pembayaran denda tilang, serta pengambilan barang
bukti yang disita oleh petugas.
Christoffer Sitepu
Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya kesadaran hukum yang baik dari
aparat kepolisian sebagai penegak hukum untuk mampu melaksanakan tugas nya
dengan baik dan profesional, masyarakat agar mematuhi peraturan lalu lintas
atupun aturan hukum yang berlaku, maupun dari pemerintahan untuk
memperbaiki sarana dan fasilitas untuk mendorong sistem hukum yang yang lebih
baik lagi.
Kata Kunci : E-Tilang, Pencegahan, Praktik Pungutan Liar.1412011082 Christoffer Sitepu-2022-04-18T07:50:42Z2022-04-18T07:50:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58340This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583402022-04-18T07:50:42ZANALISIS TERHADAP BATAS MAKSIMAL WARGA BINAAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN
NEGARA DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN ( STUDI
KASUS DI LAPAS DAN RUTAN KELAS I BANDAR LAMPUNG )Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 di Dunia dan
tingkat kriminalitas yang tinggi. Kejahatan semakin hari semakin meningkat terkait
dengan bertumbuhnya jumlah penduduk. Kejahatan yang semakin meningkat tanpa
diimbangi dengan penambahan kapasitas Lapas maupun Rutan menyebabkan
Lapas dan Rutan mengalami masalah pada batas maksimal warga binaan yang
merujuk pada tercapai atau tidaknya suatu tujuan pemidanaan. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: Bagaimanakah ketentuan batas maksimal warga binaan
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara ditinjau dari tujuan
pemidanaan dan bagaimanakah dampak dari batas maksimal warga binaan dalam
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara terhadap pembinaan
narapidana.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah: pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dengan
melakukan wawancara dengan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung
dan Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandar Lampung terkait bahasan dalam skripsi
ini dan data sekunder dengan menggunakan analisis kualitatif guna mendapatkan
suatu simpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari
penelitian.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: batas maksimal ketika ditinjau dari
tujuan pemidanaan bahwa Tujuan pemidanan dalam Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Bandar Lampung dan Rumah Tahanan Kelas I Bandar lampung Tujuan
pemidanan dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dan Rumah
Tahanan Kelas I Bandar lampung belum tercapai sepenuhnya. Dalam teori Relatif
( tujuan ), tujuan pemidanaan dalam keadaan Lapas atau Rutan yang mengalami
masalah pada batas maksimal menyebabkan tidak dapat terlaksana nya teori tujuan,
hal itu terbukti atas banyak nya warga binaan yang menjadi residivis atau
pengulangan tindak pidana dan masih banyak terjadi tindak pidana yang terjadi
dalam Lapas atau Rutan itu sendiri. Sehingga teori tujuan yang diharapkan tercapai
ketika warga binaan ditempatkan dalam Lapas atau Rutan tidak tercapai. Lapas
Kelas I Bandar Lampung memiliki warga binaan berjumlah 1.049 dan kapasitas
hanya 620 warga binaan dan Rutan Kelas I Bandar Lampung memiliki warga
binaan berjumlah 1.148 dan berkapasitas 285 warga binaan, sehingga berdampak
pada pembinaan kepribadian dan pembinaan keterampilan. Pembinaan dalam Lapas
Kelas I Bandar Lampung dan Rutan Kelas I tetap dapat berjalan, namun masih
belum optimal, dimana masih banyak warga binaan yang tidak mendapatkan
pembinaan yang sesuai dengan hak nya yang diakibatkan oleh masalah pada batas
maksimal itu sendiri.
Saran dalam penelitian ini adalah: Pemerintah diharapkan memiliki langkah konkrit
dalam penyelesaian masalah batas maksimal, berupa penambahan kapasitas juga
diharapkan petugas bekerja lebih professional serta Lapas dan Rutan lebih
meningkatkan aspek yang menunjang pembinaan terkait sarana-prasarana serta
petugas pembinaan.
Kata kunci: Batas Maksimal, Warga Binaan, Tujuan Pemidanaan.1512011245 Bima Sandra-2022-04-18T07:50:40Z2022-04-18T07:50:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58339This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583392022-04-18T07:50:40ZUPAYA KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DAN DINAS KOMUNIKASI INFORMATIKA
DAN STATISTIK LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN UJARAN
KEBENCIAN MELALUI MEDIA SOSIALUjaran Kebencian melalui media sosial adalah tindakan komunikasi yang
dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan,
ataupun hinaan kepada individu atau kelompok dalam aspek SARA melalui media
sosial seperti Facebook, Twitter,dan Instagram yang berakibat dibencinya atau
didiskriminasi seseorang atau golongan tertentu. Ujaran kebencian melalui media
sosial telah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini yaitu bagaimanakah upaya Kepolisian Daerah Lampung dan Dinas
Komunikasi Informatika dan Statistik dalam penanggulangan ujaran kebencian
melalui media sosial ? dan apakah faktor penghambat dalam melakukan upaya
Kepolisian Daerah Lampung dan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik
Lampung dalam penanggulangan ujaran kebencian melalui media sosial?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah
data primer dan data sekunder. Penelitian dilakukan dengan wawancara terhadap
narasumber. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa upaya Polda Lampung dan
Diskominfotik Lampung dalam penanggulangan ujaran kebencian melalui media
sosial adalah dengan menggunakan upaya integratif. upaya integratif yaitu
melakukan upaya penanggulangan dengan pendekatan penal dan non penal secara
bersama-sama. Upaya non penal yang dilakukan meliputi sosialisasi dan patroli
siber terhadap ujaran kebencian serta, upaya penal yang dilakukan meliputi
penegakan hukum ujaran kebencian, penetapan dasar hukum UU ITE yang tepat
dalam penanganan perkara ujaran kebencian dan merekomendasikan ahli ITE
Bill Clinton
dalam proses penegakan hukum. Sedangkan, faktor penghambat dalam
melakukan Upaya Polda Lampung dan Diskominfotik Lampung dalam
penanggulangan ujaran kebencian melalui media sosial yaitu faktor hukumnya
dan faktor masyarakat sebagai faktor penghambat yang paling dominan.
Saran yang dapat diberikan dalam penanggulangan ujaran kebencian melalui
media sosial adalah Polda Lampung bersama Diskominfotik perlu membentuk,
membina dan meningkatkan extra-legal system atau informal system, melakukan
penegakan hukum dengan cepat tanpa menunda-nunda, selanjutnya formulasi
Undang-Undang Cyber Crime baru, penambahan kewenangan dan ahli ITE
Diskominfotik Lampung terhadap penanganan konten negatif, peningkatan jumlah
dan Iptek personil Polda Lampung serta pemerataan teknologi hingga ke satuan
wilayah terkecil Polda Lampung, membina dan meningkatkan pengetahuan
masyarakat terakhir, mempelajari dan memahami budaya masyarakat yang
berkembang.
Kata Kunci: Polda, Diskominfotik, ujaran kebencian1512011353 Bill Clinton-2022-04-18T07:47:06Z2022-04-18T07:47:06Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58237This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582372022-04-18T07:47:06ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENIPUAN OLEH
NARAPIDANA MELALUI FACEBOOK
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Rajabasa Bandar Lampung)Manfaat teknologi informasi dan komunikasi selain memberikan dampak positif juga disadari
memberi peluang untuk dijadikan sarana melakukan kejahatan baru (cyber crime). Kejahatan
bukan hanya terjadi pada kehidupan didunia nyata saja namun kejahatan saat ini sudah
menyebar ke jaringan intenet. Dengan adanya media sosial pelaku kejahatan memanfaatkan
kejahatan penipuan melalui media sosial facebook. Dengan adanya media sosial facebook
kejahatan didunia maya bukan hanya dilakukan oleh pelaku diluar Lembaga Pemasyarakatan
tetapi dapat juga dilakukan oleh Narapidana yang sedang menjalankan hukuman dibalik jeruji
besi sehingga dapat meraup keuntungan. Untuk mengetahui aspek kriminologi sari kejahatan
tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan permasalah: Apakah faktor penyebab
terjadinya penipuan yang dilakukan oleh narapidana melalui facebook? Bagaimanakah upaya
penanggulangan terhadap penipuan oleh narapidana melalui facebook?.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan responden.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa faktor penyebab terjadinya penipuan
yang dilakukan oleh narapidana melalui facebook ada dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Adapun upaya penanggulangan terhadap penipuan oleh narapidana melalui
facebook pada Lapas adalah dengan cara preventif.
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia
agar meningkatkan kualitas lapas dengan mengkontruksikan sarana dan prasarana yang ada
baik dari SDM maupun fasilitas lapasnya. Kepada Menteri Hukum dan Ham agar
meningkatkan anggaran kepada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang khusus digunkan
untuk meningkatkan kualitas lapas baik dari sisi infrastruktur dan SDM nya.
Kata Kunci: Penipuan, Narapidana, Facebook.
1412011442 YOGI HANDIKA-2022-04-18T07:47:04Z2022-04-18T07:47:04Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58234This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582342022-04-18T07:47:04ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP WANITA SEBAGAI KURIR
NARKOTIKARizky Prima Arya, Gunawan Jatmiko, Emilia Susanti
E-mail: aryarizkyprima@gmail.com
Kejahatan narkotika mulai marak akhir-akhir ini, salah satunya adalah kejahatan
narkotika. Kejahatan narkotika adalah modus operandi, dilakukan secara
sistematis dan terorganisir. Dampak dari adanya kejahatan narkotika ini sangat
besar dan bisa merusak generasi bangsa indonesia, namun ternyata kejahatan
tersebut tak menutup kemungkinan dilakukan oleh seorang wanita, yang pada
permasalahan hukum ini adalah wanita sebagai pelaku nya yakni menjadi Kurir
Narkotika. Sebagai perantara atau yang disebut kurir membuat wanita yang
menjadi pelaku tersebut menimbulkan permasalahan hukum. Maka dari sisi
Hukum cukup menarik untuk dikaji dan menjadi bahan penelitian bagi penulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan
normatif dan pendekatan Empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan wawancara
Direktorat Reserse Khusus Narkoba pada Polda Lampung dan Dosen bagian
Sosiologi dalam prodi ilmu kriminologi pada Fakultas Fisip Universitas Lampung. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan: Faktor- Faktor penyebab pelaku wanita melakukan kejahatan sebagai kurir narkotika
diantaranya : (1) Pergaulan atau Budaya yaitu cara memilih dalam berkawan tidak
sesuai, yang membuat terjerumusnya pelaku dalam perkawanan yang
menyimpang (2) Psikologis yaitu dari pelaku sangat bingung dalam menentukan
sikap dan mengambil tindakan yang mulai beranjak dewasa (3) Agama yaitu
pemahaman ilmu agama yang dangkal membuat tembok keimanan pelaku sangat
mudah untuk digoyah dan dipengaruhi, ekonomi yaitu keadaan terlilit hutang
yang dialami oleh pelaku dengan temannya yang tak lain adalah pemakai
narkotika pula, dan sosiologis yakni masyarakat lingkungan yang kurang
memperhatikan dan kurangnya berinteraksi antar masyarakat bertetangga menjadi
salah satu faktor pelaku melakukan kejahatan. Kemudian Upaya penanggulangan
dengan cara Penanggulangan penal yakni: (1) tindakan represif dari Kepolisian
Rizky Prima Arya
ketika adanya aduan atau terlihat langsung dan atau tertangkapa tangan oleh pihak
Kepolisian (2) Penanggulangan non penal: pendekatan preventif atau pendekatan
dengan masyarakat dengan diadakan sosialisasi melibatkan tokoh agama dan
masyarakat, seperti Seminar Bahayanya Narkotika bagi Masa depan dan
Kesehatan jangka Panjang.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Mencegah terjadinya kejahatan narkotika
sebagai kurir sangat diperlukan peran aparat penegak hukum yakni Kepolisian, dan keterlibatan masyarakat dalam mengambil tindakan dan melaporkan kepada
pihak yang berwajib itu akan membantu pihak Kepolisian melakukan tindakan
penangkapan atas adanya laporan dari masyarakat. (2) upaya Preventif dengan
melakukan sosialisasi ataupun seminar yang diadakan oleh pihak kepolisian yang
melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. (3) Aturan hukum yang telah
dibuat, harus betul-betul diterapkan sebaik mungkin sesuai dengan fungsinya.
Kata Kunci :Kriminologis, Wanita, Narkotika
Narcotics crime is starting to bloom lately, one of which is narcotics crime.
Narcotics crime is a modus operandi and is carried out systematically and in an
organized manner. The impact of this narcotics crime is very large and can
damage the generation of the Indonesian nation, but it turns out the crime did not
rule out the possibility of being committed by a woman, who in this legal problem
is the woman as the perpetrator, namely becoming a Narcotics Courier. As an
intermediary or so-called courier, the women who become the perpetrators cause
legal problems. So in terms of Law is quite interesting to be studied and become
research material for writers.
The method used in this research is to use a normative approach and an Empirical
approach. The sources and types of data in this study are primary data obtained
from field studies with interviews of the Directorate of Special Investigation of
Drugs in the Lampung Regional Police and Lecturers in the Department of
Sociology in criminology at the Faculty of Social Sciences, University of
Lampung.
Based on the results of research and discussion, it can be concluded: Factors that
cause female perpetrators to commit crimes as narcotics couriers include: (1)
Intercourse or Culture, namely how to choose friends is not appropriate, which
makes the offender in a deviant friendship (2) Psychological namely from the
perpetrators are very confused in determining attitudes and taking actions that
begin to grow up (3) Religion is a shallow understanding of religious knowledge
making the wall of the faith of the perpetrators very easy to be shaken and
influenced, the economy is a state of debt experienced by the offender with his
friend who is none other than drug users as well, and sociologists, namely the
environmental community which is less concerned and lack of interaction
between neighboring communities is one of the factors that perpetrators commit
crimes. Then the prevention efforts by way of overcoming the penalties namely:
(1) repressive actions from the Police when there is a complaint or is seen directly
and / or the hands of the police (2) Non-penal countermeasures: a preventive
approach or approach to the community with socialization involving religious and
Rizky Prima Arya
community leaders, such as Narcotics Danger Seminar for the Future and Long-
term Health.
Suggestions in this study are: (1) Preventing the occurrence of narcotics crimes as
a courier is very necessary the role of law enforcement officers, with the
community taking action and reporting to the authorities and repressive action
from the Police (2) Preventive efforts by conducting socialization by the police
together with religious leaders and community leaders (3) The legal rules that
have been made, must really be applied as best as possible in accordance with
their functions.
Keywords: Criminology, Women, Narcotics1512011338 Rizky Prima Arya-2022-04-18T07:47:02Z2022-04-18T07:47:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58228This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582282022-04-18T07:47:02ZIMPLEMENTASI CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TINDAK
PIDANA KORUPSI
(STUDI DI LAPAS KELAS I BANDAR LAMPUNG)Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum. Hal itu secara
tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Salah satu ciri negara hukum adalah melindungi hak asasi manusia.. Setiap
warga negara berhak mendapat akses terhadap perlindungan hukum, termasuk
narapidana yang telah kehilangan hak kemerdekaannya. Cuti Bersyarat
marupakan salah satu bentuk hak narapidana berupa pengintegrasian narapidana
ke dalam kehidupan masyarakat. Maka permasalahan yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi hak Cuti Bersyarat bagi
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung serta apakah
faktor-faktor penghambat Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung ?
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
yaitu analisis kualitatif. Narasumber yaitu Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IA Bandar Lampung, serta Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil Penelitian dan Pembahasan menunjukkan bahwa Implementasi cuti
bersyarat bagi Narapidana yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IA Bandar Lampung telah sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2018 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Namun tidak
semua narapidana bisa mengajukan usulan Cuti Bersyarat karena tidak bisa
memenuhi syarat syarat yang berlaku pembebasan bersyarat. yang membedakan
adalah pada syarat substantif yaitu telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa
pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6
(enam) bulan, untuk memperoleh cuti bersyarat, narapidana harus memenuhi
persyaratan yang sama, namun yang membedakan ada pada syarat substantif yaitu
berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin dalam waktu 6
(enam) bulan terakhir dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan
Marta wardana
bahwa Pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti
bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandarlampung. Hambatan yang
dihadapai dalam pemenuhan hak Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IA Bandar Lampung adalah Faktor hukumnya, Faktor aparat penegak
hukum, Faktor sarana dan fasilitas, Faktor masyarakat, Faktor kebudayaan serta
kurangnya dukungan keluarga narapidana, kurangnya sosialisasi dan kurangnya
komunikasi antar sub sistem peradilan pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada pembuat peraturan perundang-
undangan hendaknya membuat peraturan yang sesuai dengan perkembangan
zaman khususnya yang berkaitan dengan cuti bersyarat sehingga dalam proses
penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan mudah dan berasaskan sederhana
dan biaya murah. Kepada Lembaga Pemasyarakatan khususnya perkara tindak
pidana korupsi kedepannya diharapkan untuk dapat melaksanakan proses cuti
bersyarat sesuai dengan pancasila sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia sehingga terlaksana dengan baik.
Kata Kunci : Implementasi, Cuti Bersyarat, Narapidana Tindak Pidana
Korupsi.
151201053 Marta Wardana-2022-04-18T07:46:59Z2022-04-18T07:46:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58223This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582232022-04-18T07:46:59ZPERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN SEPEDA MOTOR di PT.WOM (Wahana
Ottomitra Multiartha) FINANCE CABANG BANDAR LAMPUNG
Berkaitan dengan kebutuhan yang mendasar tersebut banyak perusahaan- perusahaan leasing yang bergerak di bidang pembiayaan seperti pada perusahaan
pembiayaan seperti pada perusahaan leasing PT.WOM Finance cabang Bandar
Lampung. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Peran Kepolisian
dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penggelapan Sepeda Motor di PT.Wom
Finance Cabang Bandar Lampung dan Bagaimanakah Upaya kepolisian dalam
Menanggulangi tindak pidana pengelapan sepeda motor di PT. Wom Finance
cabang Bandar Lampung.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini secara yuridis normative dan
pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari Kasat Reskrim
Polresta Bandar Lampung, Ketua HRD PT.Wom Finance cabang Bandar
Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Penggelapan Sepeda Motor di PT.Wom Finance cabang Bandar Lampung factor-
faktor yang menimbulkan terjadinya penggelapan sepeda motor yaitu factor
internal yang berasal dari dalam diri sang pelaku, factor internal diantaranya
adanya hawa nafsu ingin memiliki dan pemanfaatan kesempatan terjadinya
kejahatan pengelapan. Faktor eksternal yaitu factor yang berasal dari luar diri sang
pelaku yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan, upaya
penanggulangan penggelapan sepeda motor ialah melalui upaya preventif dan
upaya represif. Upaya preventif dapat dilakukan dengan cara peranan pencegahan
agar tidak terjadi tindak pidana penggelapan sedangkan upaya represif dapat
dilalukan dengan cara melalui tugas-tugas penyelidikan, penyidikan dan upaya
dimaksutkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya
serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatannya yang
dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
Hendro Purnomo
Saran dalam penelitian ini adalah kepada Kasat Reskrim Polresta Bandar
Lampung melakukan penyeluhuan kepada pihak perusahaan terkait dengan
peningkatan keamanan dalam menajalankan proses pengambilan kendaraan
sepeda motor dengan memeriksa dengan detail sesuai prosedur yang tertera dari
perusahaan. Selanjutnya untuk pihak perusahaan PT. WOM Finance cabang
Bandar Lampung usahakan harus melakukan atau menjalankan prosedur
pengecekan kepada konsumen yang akan melakukan pembelian kendaraan di
perusahaan. Kata Kunci : Peran Kepolisian, Tindak Pidana Penggelapan, Sepeda Motor.
1542011028 HENDRO PURNOMO-2022-04-18T07:46:57Z2022-04-18T07:46:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58310This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583102022-04-18T07:46:57ZIMPLEMENTASI ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA
PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK PASAL 27 UU
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIKKehadiran jejaring sosial di dalam masyarakat membawa perubahan dalam
berkomunikasi. Ketika berada didalamnya maka harus punya etika yang baik dan
benar dalam berinteraksi dengan orang lain, karena Negara telah menjamin melalui
undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE adalah
ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum,
termasuk pencemaran nama baik, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
yang memiliki akibat hukum bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan
Negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi
Ultimum Remedium dalam perkara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Pasal 27 Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE? dan apakah faktor yang menjadi
penghambat dalam pengimplementasian tersebut.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum
normatif - empiris yang menggunakan data sekunder dan data primer yang berasal
dari buku-buku, atau literatur-literatur hukum, peraturan perundang-undangan,
wawancara serta bahan-bahan lainnya. Sedangkan analisis data menggunakan
analisis kualitatif.
Berdasakan hasil penelitian didapatkan bahwa implementasi ultimum remedium
dalam tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama dilakukan apabila
pelapor dan terduga mengambil langkah mediasi atau musyawarah bedasarkan asas
delik aduan murni dan apabila dilakukan pencabutan perkara oleh pelapor maka
otomatis pidana yang dilakukan akan gugur, dan karena ini delik aduan murni maka
sebagai penyidik (Polri dan Kejaksaan) hanya dapat menghentikan suatu perkara
jika pelapor mencabut perkara tersebut. Faktor yang menjadi penghambat salah
satunya adalah faktor hukum, dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertantangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang normatif.
Benny Rachmansyah
Kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum tentang UU ITE membuat
masyarakat merasa enggan untuk mematuhinya terlebih sekarang media sosial
mudah diakses oleh semua kalangan.
Saran dalam penelitian ini adalah kesadaran masyarakat, pemerintah, aparat
penegak hukum dan produsen media massa elektronik dan non-elektronik untuk
mengklarifikasi, menyaring berita/informasi yang di dapat, agar tidak
mendistribusikan, berita/informasi hoax yang di dapat untuk mencegah kasus
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terulang kembali, dan demi terciptanya
Indonesia bebas hoax.
Kata kunci: Implementasi, ultimum remedium, pencemaran nama baik.1412011070 Benny Rachmansyah-2022-04-18T07:46:56Z2022-04-18T07:46:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58308This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583082022-04-18T07:46:56ZUPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP KEJAHATAN PENCURIAN
DATA PRIBADI KARTU KREDIT (CARDING) PADA TRANSAKSI
ONLINEKejahatan carding merupakan salah satu kejahatan dunia maya atau cybercrime,
carding merupakan salah satu bentuk pencurian informasi kartu kredit milik orang
lain untuk kemudian dimanfaatkan pelaku dalam melakukan transaksi pembelian
barang atau jasa maupun pencairan nominal saldo yang terdapat pada kartu kredit
korban ke dalam rekening pelaku. Kejahatan carding diatur dalam Pasal 30 Ayat
3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Sehubungan dengan adanya kejahatan tersebut maka Pihak kepolisian
dan Bank melakukan penanggulangan melalui sarana Non penal dan Penal.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya penanggulangan
kejahatan carding dan faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat aparat
penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan carding.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari anggota subdit IV reskrimsus
Kepolisian Polda Metro Jaya, Manager Bank Sentral Republik Indonesia Regional
Lampung dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya
data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka
diperoleh kesimpulan mengenai upaya kepolisian terhadap penanggulangan
kejahatan carding yang dilakukan secara upaya penal yaitu dengan tindakan
represif yaitu penindakan dan pemberantasan pelaku carding melalui jalur hukum.
Selanjutnya dengan upaya non penal yaitu preventif, untuk mencegah timbulnya
kejahatan yang pertama kali. Upaya ini meliputi: Tindakan Patroli yaitu tindakan
melalui pendeteksian, penindakan atau represif, dialogis. Penyuluhan Hukum dan
Koordinasi antara instansi Kepolisian dan Bank dengan Masyarakat. Faktor-faktor
penghambat adalah Penegak hukum yang dinilai masih banyak yang belum
memahami teknologi sehingga proses penyidikan sedikit terkendala, faktor sarana
dan fasilitas yaitu belum adanya komputer forensik yang memadai, faktor
Bayu Septya Yuda
masyarakat yang kurang kesadaran dan kepedulian dalam penanggulangan
kejahatan Carding dan faktor budaya yang belum bisa mengikuti perkembangan
zaman.
Saran dalam penelitian ini adalah Perlunya peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai teknis pelaksanaan dalam penindakan kejahatan cybercrime dan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 semestinya dikaji ulang agar dapat
menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw dan juga dikembangkan
secepat atau lebih cepat dari hacker agar dapat mengontrol cybercrime. Perlu
adanya fasilitas yang memadai dalam pencarian alat bukti seperti komputer
forensik untuk dapat mengungkap data-data digital serta merekam dan
menyimpan bukti digital. Disertai dengan peningkatan kualitas dari kepolisian
dengan cara diberikannya pemahaman yang mendalam tentang perkembangan
teknologi.
Kata Kunci : Upaya Penanggulangan, Carding, Transaksi Online.1512011248 BAYU SEPTYA YUDA-2022-04-18T07:46:53Z2022-04-18T07:46:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58307This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583072022-04-18T07:46:53ZKEBIJAKAN REHABILITASI SEBAGAI TREATMENTTERHADAP
PENCANDU NARKOTIKA
(Studi pada Loka Rehabilitasi BNN Kalianda Lampung Selatan)Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini sudah sampai pada tingkat
yang memprihatinkan untuk itu pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan
khusus kepada para pecandu untuk dilakukan rehabilitasi sebagai treatment
dengan tujuan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Apa dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi sebagai treatment terhadap pencandu
narkotika serta bagaimanakah kebijakan rehabilitasi sebagai treatment terhadap
pencandu narkotika yang dilaksanakan oleh Loka Rehabilitasi BNN Kalianda
Lampung Selatan Provinsi Lampung.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber
dalam penelitian ini adalah HakimPengadilan Negeri Tanjung Karang, Kepala
Loka RehabilitasiBNN Kalianda Lampung Selatan dan Akademisi Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:(1) Dasar pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi sebagai treatment terhadap pencandu
narkotika sudah berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat dari peraturan
perundang-undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum,
keterangan saksi dan keterangan terdakwa di dalam persidangan dan dasar
pertimbangan non yuridis yaitu berdasarkan kebijaksanaan dan keyakinan hati
nurani seorang hakim, dalam melihat keadaan yang di golongkan antara lain latar
belakang perbuatan, kondisi diri, kondisi sosial ekonomi, sifat sopan dan santun
terdakwa dalam persidangan. (2) Kebijakan yang dilaksanakan oleh Loka
Rehabilitasi Kalianda Lampung Selatan Provinsi Lampung untuk
mengoptimalkan pelaksanaan rehabilitasi sebagai treatment bagi para pengguna
narkotika adalah sebagai berikut: (a) Kebijakan mengintensifkan wajib lapor
pecandu narkotika yang dilaksanakan sudah berhasil dijalankan hal tersebut
ditunjukkan dalam capaian yang sudah melampaui target yang tekah ditetapkan
sebelumnya. (b) Kebijakan pelayanan treatmentdan rehabilitasi baik medis serta
sosial telah berhasil dijalankan dengan baikhal ini dapat dilihat dalam pencapaian
Bahara Rizki
jumlah penyalahguna yang direhabilitasi terus meningkat. (c) Kebijakan
pembinaan lanjut kepada korban penyalahgunaan dan pecandu narkoba melalui
treatmentdan rehabilitisirelatif sudah baik dan efektif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada yang dilihat dari semakin banyaknya residen yang
pulih setelah mengikuti treatmentdan rehabilitisi.
Saran dalam penelitian ini yaitu bagi aparat penegak hukum, dalam menjalankan
tugas diharapkan dapat bersikap obyektif untuk dapat memberikan kesempatan
pecandu narkotika untuk direhabilitasi, pemerintah daerah sebaiknya
memaksimalkan fungsi-fungsi lembaga-lembaga sosial berhubungan dengan
kebijakan rehabilitasi sebagai treatment terhadap pencandu narkotik, bagi pecandu
narkotika, sebaiknya untuk melaporkan diri untuk mendapatkan pengobatan
rehabilitasi secara sukarela dengan niatan untuk sembuh serta masyarakat
hendaknya selalu melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan khususnya
peradilan narkotika.
Kata Kunci: Kebijakan, Rehabilitasi, Treatment, Narkotika
Abuse and illegal circulation of narcotics is already up to a degree of concern for
the Government to issue a special policy to the addicts to do rehabilitation as a
treatment with the aim to liberate Addicts from narcotic dependence. The problem
in this research is the basis of the legal considerations of judges in dropping a
rehabilitation decision as a treatment of narcotics and how the policy of
rehabilitation as a treatment of narcotics prevention Implemented by the BNN
Kalianda in Lampung Selatan province.
The approach to the problem used in this study is to use normative and juridical
juridical approach to empirical. The resource in this study was the justice of the
Tanjung Karang District Court, the head of the BNN Rehabilitation Department
of South Lampung and the academic Faculty of Law of Lampung University.
The results showed that: (1) The basis of legal considerations in dropping a
rehabilitation decision as a treatment of narcotics is based on juridical
considerations that are looking at the legislation, letters Indictment, the
prosecution by the Prosecutor, the information of the witness and the information
of the defendant in the proceeding and the basis of non-juridical considerations is
based on the wisdom and conviction of a judge's conscience, in view of the
circumstances in which Among other background deeds, self-conditions, socio-
economic conditions, polite and courteous nature of the defendant in the trial. (2)
The policy carried out by Kalianda Rehabilitation workshop South Lampung
Province to optimize the implementation of rehabilitation as a treatment for the
users of narcotics is as follows: (a) mandatory intensifying policy The reported
narcotics addict conducted successfully executed it is shown in the achievement
that has exceeded the previously established target. (b) Both medical and social
treatment and rehabilitation service policies have been successfully executed this
can be seen in achieving the amount of abusers rehabilitated continues to
increase. (c) The policy of advanced coaching to victims of abuse and drug
addicts through treatment and rehabilitation of relatively well-being and effective
in accordance with existing laws and regulations seen from the growing number
of residents After following treatment and rehabilitisi.
Bahara Rizki
The advice in this study is for law enforcement officials, in carrying out the task is
expected to be objective to be able to provide a drug addict opportunity to be
rehabilitated, the local government should maximize the functions Social
institutions relate to rehabilitation policy as a treatment of narcotic addicts, for
drug addict, preferably to report for voluntary rehabilitation treatment with intent
to heal And the public should always supervise the course of the judiciary,
especially the narcotics.
Keywords: Policy, Rehabilitation, Treatment, Narcotics1512011097 BAHARA RIZKI-2022-04-18T07:46:00Z2022-04-18T07:46:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58306This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583062022-04-18T07:46:00ZANALISIS FUNGSI DAN KEGUNAAN UJI LABOLATORIUM
FORENSIK AIR LIUR PADA TUBUH KORBAN TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN DAN PEMERKOSAAN
(Studi Putusan Nomor : 15/ PID/ 2017/ PT BTN)Memecahkan kasus tindak pidana penyidik kepolisian diberikan wewenang untuk
melakukan meyelidik dan penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan barang
bukti. penyidik dalam melakukan penyelidikan dibantu oleh ahli terutama ahli
forensik agar dapat menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan forensik
maka permasalahan yang diambil dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah fungsi
uji labolatorium forensik air liur pada tubuh korban tindak pidana pembunuhan
dan pemerkosaan dan Faktor penghambat dalam uji labolatorium forensik air liur
pada tubuh korban tindak pidana pembunuhan dan pemerkosaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data
sekunder. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah wawancara dengan
narasumber. Hasil wawancara responden kemudian diolah dan dianalisis secara
kualitatif dengan mengambil kesimpulan deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa ilmu
kedokteran forensik air liur berperan penting dalam proses penyidikan pada kasus
putusan no : 15/PID/2017/PT BTN barang bukti berupa uji labolatorium forensik
air liur yang digunakan sesuai dengan pasal 184 KUHAP yaitu keterangan ahli.
penghambatnya adalah faktor hukum dan penegak hukum yang masih kurang
paham pentingnya ilmu kedokteran forensik, kemudian faktor sarana dan
prasarana yang masih kurang memadai yaitu dikarenakan kurangnya fasilitas
labolatorium forensik yang ada .Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
penulis, maka perlu diberikan saran dalam skripsi ini, yaitu kepolisian dan dokter
selaku penyidik untuk saling berkolaborasi dengan baik menambah sumber daya
manusia dan sarana prasarana agar tercapainya suatu keadilan bagi masyarakat
Kata Kunci: Ilmu Kedokteran Forensik, Air liur, Pembunuhan,
Pemerkosaan1442011066 Bagas Dewantara-2022-04-18T07:45:57Z2022-04-18T07:45:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58305This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583052022-04-18T07:45:57ZKEDUDUKAN HAKIM KOMISARIS (HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN) SEBAGAI PENGGANTI PRAPERADILAN DALAM
RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANADalam upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional, pemerintah melalui
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) bermaksud
untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam hal pengawasan penggunaan
upaya paksa serta memberikan keadilan dan kepastian hukum akan mengganti
lembaga Pra Peradilan dan digantikan dengan suatu sistem Hakim Komisaris yang
memiliki kewenangan lebih konkret dan luas dibanding dengan lembaga
praperadilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kedudukan
Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) sebagai pengganti PraPeradilan
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Apakah
keberadaan Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat memberikan keadilan dan
kepastian hukum bagi tersangka
Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawacara responden.
Narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang, Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepala Urusan BIN dan Ops Kepolisian
Resort Kota Bandar Lampung, Advokat di kantor Sopian Sitepu and Partners, serta
Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan Studi Pustaka (Library Research) dan Studi
Lapangan (Field Research). Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil Penelitian dan pembahasan menunjukkan Kedudukan hakim komisaris
Hakim komisaris didalam konsep Rancangan KUHAP akan terletak terletak
diantara penyidik dan penuntut umum di satu pihak serta hakim di pihak lainnya.
Ayuza Adriani
Hakim komisaris dinilai sebagai alternatif pilihan terbaik sebagai pengganti
Praperadilan dengan kewenangan yang lebih luas dan lebih lengkap sehingga
memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan terutama bagi seorang
tersangka.
Saran dalam penelitian ini yaitu dengan munculnya Hakim Komisaris atau Hakim
Pemeriksa Pendahuluan diharapkan dapat memperbaiki permasalahan yang muncul
dalam praperadilan terutama dengan kewenangan lebih luas yang dimilikinya.
Namun apabila melihat beberapa faktor pendukung, lembaga hakim komisaris akan
sulit untuk diterapkan dalam sistem peradilan Indonesia. Oleh karena itu, akan lebih
baik apabila lembaga praperadilan tetap dipertahankan tetapi dengan memperjelas
pengaturan dan rambu-rambu untuk menjaga agar proses praperadilan berjalan
dengan baik.
Kata Kunci : Praperadilan, Hakim Komisaris, RUU KUHAP1512011073 Ayuza Adriani-2022-04-18T07:45:55Z2022-04-18T07:45:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58304This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583042022-04-18T07:45:55ZANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PENYEBARAN
FILM BAJAKAN SECARA ONLINE
(Studi di Wilayah Bandar Lampung)Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi menjadikan pembajakan di
bidang Hak Cipta sebagai lahan untuk mengambil keuntungan dari hal tersebut
dan menjadikan Indonesia sebagai surga bagi para pembajak sehingga pemegang
Hak Kekayaan Intelektual banyak yang dirugikan. Dengan melakukan
pembajakan terhadap film-film yang diputar di bioskop didukung dengan bantuan
alat-alat perekam yang sudah semakin banyak jenisnya, pembajakan film di
bioskop sering terjadi walaupun sudah dilakukan pengawasan dari pihak bioskop
untuk mengurangi pembajakan tersebut. Bagaimanakah Kebijakan Yang
Digunakan Untuk Menanggulangi Perbuatan Penyebaran Film Bajakan Secara
OnlinedanApa sajakah Faktor Penghambat Upaya Perlindungan Hak Cipta Dalam
Penyebaran Film Bajakan Secara Online Oleh Penegak Hukum Dan Pihak Yang
Terkait
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dariHakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung,
Kepolisian Daerah Lampung, Kanwil Hukum dan HAM, dan Dosen Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data
menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
Kebijakan Yang Digunakan Untuk Menanggulangi Perbuatan Penyebaran Film
Bajakan Secara Online. Bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Ada beberapa yang menjadi faktor penghambat upaya perlindungan Hak Cipta
dalam penyebaran film bajakan secara online seperti penegak hukum dibatasi
AYU KARTIKA PUTRI
pada kalangan pihak-pihak yang bertugas di Kepolisian maupun di Pengadilan
baik hakim maupun PPNS. Faktor hukum lebih menekankan pada peraturan
perundang-undangannya. Faktor budaya keadaan yang berlarut-larut tanpa ada
tindakan, akan semakin menimbulkan sikap bahwa pembajakan sudah merupakan
hal yang biasa dan tidak lagi merupakan tindakan yang melanggar undang-
undang. Faktor sarana dan fasilitas alasan yang dikirim hanya perwira Polisi
adalah karena masalah kurangnya dana dan sarana tempat pendidikan. Faktor
kesadaran masyarakat rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, sejauh ini
harus diterima kenyataan bahwa pengetahuan masyarakat secara umum terhadap
perlindungan HAKI.
Adapun saran yang diberikan penulis perlunya untuk lebih memberikan
wewenang aparat penegak hukum yakni pihak Kepolisian kuhusnya penyidik
dalam perkara tindak pidana Hak Cipta perlu dilaksanakan oleh pejabat kepolisian
negara republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil. Wewenang penyidik
untuk melakukan pemeriksaan terhadap jenis-jenis perkara tindak pidana Hak
Cipta perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan instansi pemerintah yang
berkaitan dengan Hak Cipta termasuk menerima dan memeriksa laporan dan
pengaduan dari masyarakat mengenai terjadinya tindak pidana Hak Cipta.
Kata kunci: Analisis, Kebijakan Kriminal, Film Bajakan, Online1512011015 AYU KARTIKA PUTRI-2022-04-18T07:45:53Z2022-04-18T07:45:53Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58302This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583022022-04-18T07:45:53ZPRAKTEK PEMIDANAAN PELAKU YANG MELAKUKAN BEBERAPA
TINDAK PIDANA (CONCURSUS) DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANAPerbarengan tindak pidana (concursus) ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana
oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi
pidana, atau antara pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi
oleh suatu putusan hakim. Dalam hukum pidana, tindak pidana perbarengan atau
Concursus terdiri dari tiga hal, yaitu perbarengan aturan (concursus idealis),
perbarengan perbuatan (concursus realis), dan perbuatan berlanjut (concursus
handelings). Ketiga bentuk perbarengan tersebut bertujuan untuk mempermudah
penjatuhan dan penghitungan sanksi pidana atas beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh satu orang. Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan
satu pidana. Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa Praktek Pemidanaan Pelaku
Yang Melakukan Beberapa Perbuatan Tindak Pidana (concursus) Dalam Prespektif
Hukum Pidana dalam praktiknya dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi
pelaku tindak pidana gabungan, yaitu sistem absorbsi, sistem kumulasi, sistem
absorbsi diperberat, dan sistem kumulasi terbatas. Bentuk-Bentuk Praktek
Pemidanaan Pelaku Yang Melakukan Beberapa Perbuatan Tindak Pidana (concursus)
Dalam Prespektif Hukum Pidana dalam Dalam Prespektif Hukum Pidana dalam
KUHP ada 3 (tiga) yakni Perbarengan berlanjut (vorgezette handeling), Perbarengan
peraturan (concursus idealis;) dan Perbarengan perbuatan (concursus realis).
Kata Kunci: Pemidanaan, Concursus, Hukum Pidana.1412011061 AULIA RAMADHAN-2022-04-18T07:45:46Z2022-04-18T07:45:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58301This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583012022-04-18T07:45:46ZPEMBERIAN HAK REMISI TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKARemisi merupakan hak narapidana untuk mendapat pengurangan masa pidana dengan
syarat-syarat yang ditentukan dan secara khusus terdapat pengeculian pemberian
remisi terhadap narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika,
yaitu menjadi justice collaborator atau bersedia untuk bekerjasama dengan aparat
penegak hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
pemberian hak remisi terhadap justice collaborator dalam tindak pidana narkotika?
(2) Bagaimanakah hambatan dalam pemberian hak remisi terhadap justice
collaborator dalam tindak pidana narkotika?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris, menggunakan
data primer dan sekunder. Narasumber penelitian terdiri dari Staf Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Way Hui, Balai Pemasyarakatan Kelas II Bandar Lampung
dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Data dianalisis secara yuridis
kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Pemberian hak remisi terhadap justice
collaborator dalam tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Way Hui Bandar Lampung adalah masa hukuman ≥ 5 tahun, berkelakuan baik, telah
menjalani 6 bulan dari masa hukuman dan diwajibkan untuk menjadi Justice
Collabolator. Pelaksanaan justice collaborator adalah narapidana menyatakan
bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara
tindak pidana narkotika secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah narapidana
memenuhi semua persyaratan maka prosedurnya adalah Kepala Lembaga
Pemasyarakatan mengusulkan remisi kepada Kepala Kantor Wilayah Hukum dan
HAM selanjutnya dilakukan penetapan pemberian remisi melalui Keputusan Direktur
Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri. (2) Faktor-faktor penghambat pemberian
hak remisi terhadap justice collaborator dalam tindak pidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Way Hui Bandar Lampung adalah secara internal yaitu
adanya narapidana yang melakukan tindakan indisipliner dan narapidana yang yang
masih menjalani masa pidana yang menjadi syarat ketentuan remisi, sedangkan
hambatan eksternal adalah tidak disetujuinya pengajuan Justice Collabolator bagi
narapidana yang menjalani masa hukuman di atas lima tahun.
Aulia Khoiron Nisa
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Agar diperjelas batasan mengenai lamanya
waktu seorang narapidana bersedia menjadi justice collabolator sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan remisi. (2) Agar pemberian remisi bagi narapidana
tindak pidana narkotika lebih diperketat lagi dan jika perlu seharusnya remisi tidak
diberikan bagi narapidana narkotika.
Kata Kunci: Remisi, Justice Collaborator, Narkotika1412011059 AULIA KHOIRON NISA-2022-04-18T07:45:44Z2022-04-18T07:45:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58300This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583002022-04-18T07:45:44ZPENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN ANAK OLEH IBU KANDUNG
(Studi di Polres Pesawaran)Penegakan hukum pada pembunuhan anak oleh orangtua kandung sudah dijalan
atau sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu penegakan pada tahap
aplikasi. Kasus ini hanya pada sampai tahap aplikasi karena kepolisian
menurunkan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3), berdasarkan hasil
bukti berupa hasilSurat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum Et Repertum
Psychiatricum) No: 441 / 3567 / VII.03/ 2018 yang menyatakan bahwa pelaku
mengalami gangguan jiwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP dan Pasal
109 ayat (2) KUHAP Bahwa penyidik melakukan SP3 karena terbukti pelaku
mengalami gangguan jiwa yang artinya pengahpusan pidana dengan lasan tidak
dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu
(inwending) yang tidak dapat diperpetanggung jawabkan. Permasalahan
penelitian: Bagaimanakah penegakan hukum oleh kepolisian terhadap tindak
pidana pembunuhan anak oleh ibu kandung? dan apakah faktor penghambat
penegakan hukum oleh kepolisian terhadap tindak pidana pembunuhan anak oleh
ibu kandung?
Penelitian inimenggunakan pendekatanyuridis normatif dan yuridis empiris,
narasumber terdiri darikepolisian Polres Pesawaran Lampung dan akademisi
fakultas hukum Universitas Lampungpengumpulan data dilakukan dengan teknik
studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang dilakukan secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan : Penegakan hukum terhadap tindak pidana
pembunuhan anak oleh ibu kandung dilaksanakan pada tahap aplikasi dan
kepolisian mengeluarkan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3). surat
perintah pemberhentian penyidikan dikeluarkan karena pada kasus ini pelaku
dinyatakan mengalami gangguan jiwa sehingga mendapatkan penghapusan pidana
sesuai dengan Pasal 44 KUHP, dimana suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat tidak dapat dipidana dan faktor-faktor yang menghambat
penegakan hukum terhadap pembunuhan anak yang dilakukan oleh orangtua
kandung yaitu: faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor
masyarakat.
Asyiva Adietta
Saran dari penelitian ini adalah Kepolisian disarankan untuk memulai membuat
program –progam yang bersifat edukatif dan kepolisian diharapkan mampu
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta masyarakat pun diharapkan
memberikan kerjasama yang baik saat terjadi tindakan kriminal seperti segera
melapor, kepada polisi dan bersedia menjadi saksi jika mengetahui atau
mengalami tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Kepolisian, Pembunuhan Anak1512011332 ASYIVA ADIETTA-2022-04-18T07:45:42Z2022-04-18T07:45:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58299This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582992022-04-18T07:45:42ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENIPUAN
DAN PENGGELAPAN DENGAN PELAKU MENGGUNAKAN
IDENTITAS PALSU MELALUI MEDIA SOSIAL
( Studi Kasus di Polres Salatiga Jawa Tengah )Kejahatan penipuan dan penggelapan dengan pelaku menggunakan identitas palsu
di polres Salatiga dari Tahun 2016-2018 terdapat 413 kasus. Berdasarkan hal
tersebut penulis membuat skripsi dengan judul Analisis Kriminologis Terhadap
Kejahatan Penipuan dan Penggelapan Dengan Pelaku Menggunakan Identitas
Palsu Melalui Media Sosial.. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
faktor penyebab terjadinya kejahatan penipuan dan penggelapan dengan pelaku
menggunakan identitas palsu melalui media sosial, bagaimanakah upaya
penanggulangan kejahatan penipuan dan penggelapan terhadap pelaku
menggunakan identitas palsu melalui media sosial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari Satreskrim Kepolisian Polres
Salatiga, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan
Pelaku. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan,
selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan ada beberapa faktor
penyebab terjadinya penipuan dan penggelapan dengan pelaku menggunakan
identitas palsu melalui media sosial diantaranya factor intern yaitu faktor
pendidikan dan coba-coba dari dalam diri pelaku dan faktor ekstern yaitu faktor
ekonomi, faktor lingkungan, faktor perkembangan global dan faktor penegakan
hukum. Ada beberapa cara penanggulangan yang dapat dilakukan dengan upaya
penanggulangan secara pre-emtif yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan.
Upaya preventif atau tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya penipuan
dan penggelapan dengan mengadakan penyuluhan hukum, pencegahan,
pendekatan, program berteman, media sosial dan dor to dor system. Selain upaya
preventif ada pula upaya represif yang harus dilakukan aparat penegak hukum
yaitu dengan menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadap pelaku pernipuan dan
penggelapan sesuai dengan Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP yaitu maksimal 4
tahun penjara.
Saran dalam penelitian ini adalah masyarakat disarankan meningkatkan
kewaspadaan kepada siapa pun dengan tidak mudah percaya pada segala macam
bujuk rayu atau bentuk ajakan kerjasama atau apapun itu, mengingat kejahatan
penipuan dan penggelapan kerap kali terjadi, Pihak Kepolisian disarankan lebih
giat melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kewaspadaannya kepada orang-orang sekitar agar tidak mudah menjadi korban
penipuan dan penggelapan serta menindak tegas segala macam bentuk penipuan
dan penggelapan yang sering kali terjadi.
Kata kunci: Kriminologis, Penipuan dan Penggelapan, Pelaku Palsu.1542011117 ARIF MUNANDAR-2022-04-18T07:45:40Z2022-04-18T07:45:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58296This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582962022-04-18T07:45:40ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN
SURAT TANDA BUKTI LAPORAN KEHILANGAN KENDARAAN
BERMOTOR OLEH PERUSAHAAN LEASING
(Studi Putusan No.197/Pid.B/2018/Pn.Mgl Tahun 2018)Tindak pidana pemalsuan surat (valschheid in geschrift) merupakan keajahatan
yang cukup sering terjadi di masyarakat. Pemalsuan surat dilakukan dalam
berbagai bentuk, mulai dari surat pada umumnya, pengakuan uang, akta, surat
keterangan dokter, surat perjalanan dinas dan sebagainya. adalah kejahatan yang
di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek)
yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal
sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Permasalahan dalam skripsi
ini adalah : Bagaimanakah penegakan Hukum terhadap tindak pidana pemalsuan
surat tanda bukti laporan kehilangan kendaraan bermotor oleh perusahaan leasing
dalam putusan NO.197/Pid.B/2018/Pn.Mgl Tahun 2018, Apa saja yang menjadi
pertimbangan hukum dari hakim dalam menjatuhkan putusan bagi Terdakwa
tindak pidana pemalsuan surat tanda bukti laporan kehilangan kendaraan bermotor
dalam putusan No.197/Pid.B/2018/Pn.Mgl Tahun 2018.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Penegakan
hukum terhadap perkara putusan No.197/Pid.B/2018/Pn.Mgl, telah sesuai
berdasarkan Undang-undang yang mengatur, yaitu dalam kasus ini ialah pasal 263
KUHP. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
perkara putusan No.197/Pid.B/2018/Pn.Mgl, menurut penulis sudah sesuai karena
Majelis Hakim dalam memeberikan sanksi pidana sudah melalui pertimbangan
yuridis berdasarkan fakta-fakta persidangan yang ada yaitu tuntutan jaksa
penuntut umum, penjabaran keterangan para saksi, keterangan terdakwa, barang
bukti, dan juga pertimbangan non yuridis yaitu, dapat dilihat dari segi jenis barang
yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, latar belakang perbuatan, akibat
perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, kondisi sosial ekonomi terdakwa,
Arif Kurniawan
faktor agama terdakwa dan sifat sopan dan santun terdakwa dalam persidangan,
serta memperhatikan Undang-Undang yang berkaitan dan diperkuat dengan
keyakinan dan hati nurani hakim.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya bagi majelis hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa harus memiliki keyakinan bahwa memang
terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tersebut
berdasarkan bukti-bukti ang ada selama proses peradilan. Penulis berhadap
majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tindak pidana
pemaksuan surat diharapkan adil dan dapat menimbulkan efek jera sehingga untuk
yang akan dating tidak ada pengulangan terhadap tindak pidana dan tindak pidana
tersebut adapat diminimalisir.
Kata kunci : Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Pemalsuan Surat1512011348 Arif Kurniawan-2022-04-18T07:45:37Z2022-04-18T07:45:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58295This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582952022-04-18T07:45:37ZPERAN TIM SABER PUNGLI POLDA LAMPUNG DALAM OPERASI
TANGKAP TANGAN TERHADAP PELAKU PUNGLI PROGRAM
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL)Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) diberlakukan oleh
pemerintah dengan tujuan agar masyarakat dapat memiliki sertifikat tanah dengan
biaya yang murah dan serentak. Pemberlakuan program ini ternyata dijadikan
kesempatan oleh pelaku tindak pidana pungutan liar (pungli). Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peran Tim Saber Pungli Polda Lampung
dalam operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli program PTSL? (2) Apakah
faktor-faktor yang mengambat peran Tim Saber Pungli Polda Lampung dalam
operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli program PTSL?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris.
Narasumber terdiri dari Anggota Tim Saber Pungli Polda Lampung dan Dosen
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Peran Tim
Saber Pungli Polda Lampung dalam operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli
program PTSL dilaksanakan secara faktual, yaitu melaksanakan operasi tangkap
terhadap pelaku dan melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dengan
pemberantasan pungli dalam rangka pengumpulan bukti-bukti bahwa telah diduga
keras terjadi pungli yang merugikan masyarakat sebagai penerima layanan publik
dari pelaku pungli tersebut. (2) Faktor penghambat peran Tim Saber Pungli Polda
Lampung dalam operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli program PTSL
yang paling dominan adalah faktor penegak hukum yaitu masih kurangnya
koordinasi antar instansi atau lembaga pemerintahan dengan Tim Saber Pungli.
Selain itu, faktor sarana dan fasilitas adalah tidak adanya saling tukar informasi dari
semua pihak yang bekerjasama mengenai kegiatan dan hasilnya termasuk masalah-
masalah yang dihadapi masing-masing, faktor masyarakat yaitu masih adanya
keengganan berperan serta dalam penegakan hukum khususnya terhadap pungli,
baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor dan saksi dalam tindak pidana pungutan
liar.
Arief Setiabudi
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penanggulangan tindak pidana pungli agar
ditingkatkan lagi efektifitas penyidikan dan koordinasi antara Tim Saber Pungli
dengan pemerintah daerah, sehingga koordinasi tidak hanya dilakukan pada saat
terjadinya penemuan atau adanya laporan telah terjadi tindak pidana pungli, tetapi
lebih ditekankan pada upaya pengawasan atau penanggulangan. (2) Badan Pertanahan
disarankan untuk meningkatkan penyuluhan hukum atau sosialisasi mengenai
program PTSL kepada masyarakat sehingga tidak dimanfaatkan oleh oknum pejabat
untuk dijadikan sebagai sasaran pungutan liar.
Kata Kunci: Peran Tim Saber Pungli, Operasi Tangkap Tangan, Program PTSL1542011021 ARIEF SETIABUDI-2022-04-18T07:45:33Z2022-04-18T07:45:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58293This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582932022-04-18T07:45:33ZANALISIS VIKTIMOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PERDAGANGAN
KOSMETIK ILEGAL BERBAHAYA DI KOTA BANDAR LAMPUNGKejahatan perdagangan kosmetik ilegal merupakan suatu kejahatan yang tidak
hanya terjadi karena pihak pelaku saja namun juga ada peranan dari pihak korban
itu sendiri. Pengaturan tentang peredaran kosmetik diatur dalam Undang-undang
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun kejahatan peredaran kosmetik ilegal
masih saja terus terjadi. Permasalahannya adalah Bagaimanakah peranan korban
dalam terjadinya kejahatan konsumen pada produk kosmetik ilegal berbahaya di
Kota Bandar Lampung? Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh BPOM dalam
menanggulangi terjadinya kejahatan perdagangan kosmetik ilegal berbahaya di
Kota Bandar Lampung?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data
yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukan bahwa peranan korban dalam
terjadinya kejahatan perdagangan kosmetik ilegal yaitu (a) Ketidaktahuan korban
tentang kosmetik ilegal (b) Mudah percaya dengan kosmetik-kosmetik yang
beredar di Kota Bandar Lampung (c) Keadaan ekonomi yang lemah dan keinginan
untuk tampil beda (d) Terlalu mengikuti trend dan mode. Selanjutrnya upaya
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Bandar Lampung dalam
menanggulangi peredaran kosmetik ilegal melalui upaya (a) Upaya Represif (b)
Upaya Preventif dan (c) Upaya Pre-emptif.
Aria Damara
Saran dari penelitian ini adalah bagi konsumen kosmetik harus memperbanyak
wawasan tentang perdagangan kosmetik ilegal serta berhati-hatilah dan teliti
dalam membeli dan menggunakan kosmetik yang beredar dan bagi pemerintah
harus saling berkordinasi, dan berkerjasama dalam memberantas peredaran
kosmetik ilegal agar tidak ada lagi konsumen yang menjadi korban dengan
menerapkan prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, khususnya
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan instansi lainnya.
Kata Kunci : Viktimologi, Kejahatan Perdagangan, Kosmetik Ilegal.1512011305 ARIA DAMARA-2022-04-18T07:45:26Z2022-04-18T07:45:26Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58292This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582922022-04-18T07:45:26ZPERAN POLISI DALAM MELAKUKAN OPERASI TANGKAP TANGAN
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMERASAN DOKTER PUSKESMAS
(Studi : LP/884-A/VII/2018/POLDA Lampung/SPK RES LAMUT)Argumentasi yang muncul terkait Operasi Tangkap Tangan yang termasuk juga
dalam tugas, fungsi dan weweang dari aparat penegak hukum yakni Kepolisisan
dan apabila dikaitkan dengan definisi Tertangkap Tangan dalam KUHAP. Karena
itupenegak hukum haruslah siap dan cepat segala macam bentuk tindakan
kejahatan yang terjadi di Indonesia tidak bisa tebang pilih dalam
menanggulanginya seperti satu contoh kasus yang terjadi didaerah Kabupaten
Lampung Utarayaitu dua oknum anggota LSM dan wartawan mingguan di
Wilayah Lampung Utara terjaring oprasi tertangkap tangan (OTT) oleh petugas
karena diduga melakukan pemerasan terhadap seorang dokter menjabat kepala
Puskesmas. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan
permasalahan: Bagaimanakah Peran Polisi Dalam Melakukan Operasi Tangkap
Tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Terhadap Tindak Pidana
Pemerasan Dokter Puskesmas dan Apa sajakah faktor Penghambat Polisi Dalam
Melakukan Operasi Tangkap Tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Dokter Puskesmas
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari,
Kepolisian Resor Lampung Utara, Dokter puskesmas Lampung Utara dan Dosen
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data
menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian mengenai permasalahan yang
diajukan dalam skripsi ini, diperoleh kesimpulan bahwa peran Kepolisian Resor
Lampung Utara dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Dokter Puskesmas yakni
melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan serta melakukan upaya
represif dan upaya prenventif terhadap tindak pidana pemerasan berdasarkan
ARI SETIA BEKTI
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku demi memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri. Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Polres
Lampung Utara terhadap oknum LSM dan wartawan yang diduga melakukan
tindak pidana pemerasan, sejauh ini memang masih mengalami berbagai
hambatan. Hambatan-hambatan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal, diantaranya faktor substansi hukum, penegak hukum,
sarana dan fasilitas pendukung, masyarakat dan budaya hukum.
Adapun saran yang diberikan penulis perlunya perlu diadakan pemantauan dan
penanganan yang lebih serius terhadap kejahatan harta benda, khususnya
kejahatan pemerasan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
pemerasan dan pihak kepolisian lebih mengintensifkan kerja mereka seperti
meningkatkan koordinasi dengan saling tukar informasi dari semua pihak yang
bekerjasama mengenai kegiatan dan hasilnya termasuk masalah-masalah yang
dihadapi masing-masing, serta membuat kesepakatan dan kesatuan pengertian
mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama yaitu
penanggulangan tindak pidana pemerasan di lingkungan pemerintah daerah.
Kata Kunci: Operasi Tangkap Tangan, Lembaga Swadaya Masyarakat,
Pemerasan1412011049 ARI SETIA BEKTI-2022-04-18T07:45:22Z2022-04-18T07:45:22Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58291This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582912022-04-18T07:45:22ZANALISIS PENERAPAN ULTIMUM REMEDIUM TERHADAP ANAK
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA TERORISMEPenerapan ultimum remediumterhadap anakpelaku tindak pidana terorisme
merupakan keseluruhan proses peradilanpidana anak sebagai jalan terakhir.
Asaspemidanaan yang dijatuhkan terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme
mengacukepada asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Dalam semuatindakan yang menyangkut anak yang dilakukanoleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif, danbadan yudikatif maka kepentingan yang
terbaikbagi anak harus menjadi pertimbangan utama.Proses peradilan pidana
sejauh mungkindihindarkan dari anak apabila tidak ada cara lain(ultimum
remedium) dan penjatuhan pidananya punharus bersifat non-custodial,
sehinggameminimalisasi adanya dampak negatif daridijatuhkannya pidana
penjara.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap analisis penerapan ultimum
remediumterhadap anak yang melakukan tindak pidana terorisme, diperoleh
kesimpulan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim dalam penerapan Ultimum
remedium terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme,Majelis hakim dalam
menjatuhkan pidana dalam putusan No:22/Pid/Sus.Anak/2016/PN.Jkt.Tim terkait
anak pelaku tindak pidana terorisme. Dengan kata lain, hakim tidak menerapkan
prinsip ultimum remedium. Dalam penjatuhan vonis dua tahun pidana penjara
terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme, hakim mempertimbangan beberapa
hal-hal yang bersifat yuridis, nonyuridis, hal-hal yang memberatkan, serta hal-hal
yang meringankan kepada terdakwa. Adapun implikasi penerapan Ultimum
remedium terhadap Anak pelaku Tindak Pidana Terorisme terdapat dua macam,
yakni implikasi positif dan implikasi negatif. Implikasi positif dan negatif dapat
ditinjau dari segi pembuat delik dan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Anyta Situmorang
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada hakim anak, kedepannya perlu untuk
benar-benar memahami asas-asas hukum pidana khususnya asas ultimum
remedium serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana terorisme, sehingga menghasilkan
putusan pengadilan yang bijaksana bagi anak yang berkonflik dengan
hukum.Kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kedepannya
perlu memaksimalkan perannya dalam melakukan langkah pencegahan tindak
pidana terorisme khususnya yang melibatkan anak. Hal ini diperlukan agar anak
tidak terjerat paham radikal mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa.
Kata Kunci: Ultimum Remedium, Anak, Terorisme.1512011081 ANYTA SITUMORANG-2022-04-18T07:45:19Z2022-04-18T07:45:19Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58289This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582892022-04-18T07:45:19ZANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PELAKU PENGHILANG ALAT PERAGA KAMPANYE
DI KABUPATEN TANGGAMUS
(Studi Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2018/PN Kot)Pemilihan umum selanjutnya disebut (pemilu) merupakan bentuk kehidupan
demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga Negara Republik Indonesia.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah dasar pertimbangan
hukum hakim terhadap pelaku penghilang Alat Peraga Kampanye di Kabupaten
Tanggamus berdasarkan Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2018/PN Kot dan apakah
putusan hakim terhadap pelaku penghilang Alat Peraga Kampanye di Kabupaten
Tanggamus berdasarkan Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2018/PN Kot telah memenuhi
rasa keadilan substantif?.
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris yaitu dengan melakukan
penelitian langsung di lokasi penelitian dengan melihat, bertanya dan mendengar
dari pihak-pihak yang terkait. Sumber data yang di dapat dengan menggunakan
data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara
studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dasar Pertimbangan Hakim
dalam Perkara Nomor 91/Pid.Sus/2018/PN Kot terdakwa secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana turut serta menghilangkan alat peraga
kampanye dan dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) bulan.
Hakim tidak menjatuhkan pidana maksimal atau lebih dari 1 bulan 15 hari..
Kesesuaian Putusan Hakim dalam menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku
Menghilangkan alat peraga Kampanye dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku
Kasus menghilangkan alat peraga kampanye termasuk ke dalam Pidana Khusus
dan dijatuhkan pidana penjara dua bulan yang merupakan tuntutan yang
lebih ringan dari pada tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu enam bulan
penjara dan telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal tersebut.
Saran, hakim harus mempertimbangkan unsur atau tujuan dari menghilangkan alat
peraga kampanye, Kesesuaian hakim dalam menjatuhkan putusan dapat
mempertimbangkan faktor-faktor dari terdakwa tersebut
Kata Kunci: Pertimbangan Hukum, Pelaku, Alat Peraga Kampanye
The next general election (election) is a form of democratic life that is the right of
every citizen of the Republic of Indonesia. The problem in this study is how is the
legal basis of judges judging the perpetrators of Campaign Props in Tanggamus
Regency based on Decision Number 91/Pid.Sus/2018/PN Kot and whether the
judge's decision against the perpetrators of Campaign Props in Tanggamus
Regency is based on Decision Number 91/Pid.Sus/2018/PN Kot has fulfilled a
sense of substantive justice?.
Approach to the problem is carried out in an empirical juridical way by
conducting research directly at the research location by looking, asking questions
and hearing from the parties concerned. Data sources obtained by using primary
data and secondary data. The procedure of data collection is done by means of
library research and field research. Data analysis in this study used qualitative
analysis.
The results of the research and discussion show that the basis of Judge
Considerations in Case Number 91 / Pid.Sus / 2018 / PN Kot defendants have
legally and convincingly committed criminal acts and eliminated campaign props
and were sentenced to prison for 1 (one) month each. . The judge does not impose
a maximum sentence of more than 1 month and 15 days. The suitability of the
Judge's decision to impose a criminal offense against the campaign props with the
applicable legal provisions. which is lighter than the claim by the Public
Prosecutor, which is six months in prison and has fulfilled the elements in the
Article.
Suggestion, the judge must consider the element or purpose of eliminating the
campaign props, the suitability of the judge in making decisions can consider the
factors of the defendant
Keywords: Legal Considerations, Actors, Campaign Props1542011116 ANNISA AMANDA PRATIWI-2022-04-18T07:45:14Z2022-04-18T07:45:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58287This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582872022-04-18T07:45:14ZTINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PERSEKUSI YANG
DISEBARKAN MELALUI MEDIA SOSIALPersekusi atau tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), sebenarnya bukan
merupakan suatu jenis tindak pidana yang diatur secara jelas dan tegas dalam
KUHP atau undang-undang diluar KUHP. Masalah pada penelitian ini adalah
bagaimana bentuk perbuatan oleh pelaku dalam kaitannya dengan persekusi dan
bagaimanakah pengaturan terhadap perbuatan persekusi yang disebarkan melalui
media sosial. Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris. Sumber data yang di dapat
dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis yuridis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa bentuk perbuatan oleh
pelaku dalam kaitannya dengan persekusi adalah pengancaman, penganiayaan dan
pengeroyokan yang salah satunya dapat dilakukan melalui media sosial yaitu
dengan memposting ujaran berupa pengancaman, penganiayaan dan
pengeroyokan dalam akun media sosial. Pengaturan terhadap perbuatan persekusi
yang disebarkan melalui media sosial adalah dengan Pasal 368 KUHP tentang
pengancaman, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang
pengeroyokan dan Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan
pengancaman serta Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Saran, aparat penegak hukum
sebaiknya lebih profesional dalam menangani kasus persekusi, dalam arti aparat
hukum tidak hanya sekadar menunggu laporan, namun disamping itu harus segera
dipikirkan langkah atau strategi khusus dalam menangani kasus ini. Aparat hukum
sebaiknya dapat meningkatkan kinerjanya dalam penegakan hukum dengan
menjalin kemitraan dengan masyarakat secara langsung dan menjadi contoh atau
teladan bagi masyarakat untuk persoalan ketaatan terhadap hukum.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Persekusi, Media Sosial
Persecution or vigilante actions (eigenrichting), is actually not a type of crime
that is clearly and explicitly regulated in the Criminal Code or laws outside the
Criminal Code. The problem in this study is how the form of action by the
perpetrator in relation to persecution and how the arrangement of acts of
persecution are disseminated through social media.
The approach to the problem is done in an empirical juridical manner. Data
sources obtained by using primary data and secondary data. Data analysis in this
study used juridical qualitative analysis.
The results of the research and discussion show that the form of actions by the
perpetrators in relation to persecution are threats, abuse and beating, one of
which can be done through social media, namely by posting speeches in the form
of threats, abuse and beatings in social media accounts. The arrangement of
persecution actions spread through social media is Article 368 of the Criminal
Code concerning threats, Article 351 of the Criminal Code concerning
maltreatment, Article 170 of the Criminal Code concerning beatings and Article
368 of the Criminal Code governing extortion and threats as well as Article 28
Paragraph (2) Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic
Transactions. Suggestions, law enforcement officials should be more professional
in handling cases of persecution, in the sense that the law apparatus is not just
waiting for reports, but besides that, special steps or strategies must be
considered in handling this case. Legal apparatuses should be able to improve
their performance in law enforcement by establishing partnerships with the
community directly and becoming an example or example for the community to
issue compliance with the law.
Keywords: Crime, Persecution, Social Media1412011044 ANJAS ASMARA-2022-04-18T07:45:12Z2022-04-18T07:45:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58285This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582852022-04-18T07:45:12ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PEREDARAN
SPARE PART SEPEDA MOTOR PALSU
(Studi pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung)Spare part kendaraan bermotor merupakan komponen penting dalam penggantian
bagian-bagian kendaraan yang mengalami kerusakan, sehingga spare part yang
dijual harus benar-benar asli sehingga terjamin kualitas dan keamanannya. Pada
kenyataannya terdapat peredaran spare part palsu atau tidak sesuai dengan
spesifikasi dan kualitasnya dibandingkan dengan spare part asli. Permasalahan
penelitian: (1) Apakah faktor- faktor penyebab terjadinya kejahatan peredaran spare
part sepeda motor palsu (2) Upaya apakah yang dilakukan Polda Lampung dalam
rangka menanggulangi kejahatan peredaran spare part sepeda motor palsu
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Penyidik Direktorat Reserse
Kriminal Khusus Polda Lampung, pelaku kejahatan pemalsuan spare part sepeda
motor dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab
peredaran spare part sepeda motor palsu terdiri dari faktor ekonomi, yaitu pedagang
memperjual belikan spare part sepeda motor palsu untuk memperoleh keuntungan.
Pelaku menganggap menjual barang spare part sepeda motor bukan sebagai
kejahatan, karena hal tersebut sudah lumrah terjadi pada usaha jual beli spare part
sepeda motor. Selain itu adanya faktor adanya permintaan spare part palsu dari
konsumen karena harganya lebih murah dibandingkan dengan spare part asli. (2)
Upaya penanggulangan kejahatan peredaran spare part sepeda motor palsu
dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Lampung melalui sarana non
penal dan penal. Upaya non penal dilaksanakan dengan melakukan razia terhadap
peredaran spare part sepeda motor palsu. Upaya penal dilaksanakan dengan
penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku penjual spare part sepeda motor
palsu, yaitu upaya penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang kejahatan peredaran spare part sepeda motor palsu yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
Andrian Pranata D.Muhyi
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Kepolisian disarankan untuk meningkatkan
razia dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan peredaran spare part sepeda
motor palsu. (2) Masyarakat yang mengetahui adanya kejahatan peredaran spare
part sepeda motor palsu disarankan untuk segera melaporkan kepada pihak
kepolisian, sehingga akan cepat untuk ditindak lanjuti oleh kepolisian.
Kata Kunci: Analisis Kriminologis, Peredaran, Spare Part Palsu1412011039 ANDRIAN PRANATA D. MUHYI-2022-04-18T07:45:09Z2022-04-18T07:45:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58283This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582832022-04-18T07:45:09ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
PENCULIKAN OLEH TENAGA PENDIDIK
DI LAMPUNG SELATANTindak pidana penculikan terhadap anak merupakan perbuatan yang tidak
sewajarnya dilakukan oleh seorang pendidik. Apalagi sekolah merupakan institusi
pendidikan yang sangat diperlukan untuk tumbuh kembang anak di masa yang
akan datang, setiap anak yang menjadi korban penculikan biasanya akan
mengalami dampak buruk terhadap perkembangan kejiwaannya seperti kasus
yang terjadi di Lampung Selatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga
pendidik? Apakah faktor penghambat perlindungan hukum terhadap anak korban
penculikan oleh tenaga pendidik?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data terdiri dari data
primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data diperoleh dengan cara studi
kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara secara
langsung dengan responden. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis secara
kualitatif yang kemudian di ambil sebuah kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di peroleh kesimpulan bahwa
perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga pendidik di
Lampung Selatan yakni dengan cara menempatkan anak korban penculikan oleh
tenaga pendidik di rumah aman Polrest Lampung Selatan dan dilakukan
rehabilitasi lalu di kembalikan kepada orangtua nya. Perlindungan anak korban
penculikan juga dilakukan melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis
Masyarakat (PATBM), mensosialisasikan hak anak, melalui Lembaga Advokasi
Anak, dan Kepolisian sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan faktor-
faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana penculikan
terhadap anak adalah faktor adanya perilaku menyimpang (dendam), yang tepat
karena kurangnya ketaatan dalam menjalankan perintah agama, kurangnya
pemahaman tentang nilai-nilai akidah dari dalam diri pelaku, serta rendahnya
tingkat pendidikan dan pengetahuan dari dalam diri pelaku. Faktor penghambat
perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga pendidik yaitu
kurannya kesadaran hukum masyarakat dan buruknya budaya hukum dalam
masyarakat hal ini dapat dilihat dari tindakan masyarakat yang tidak koopratif
terhadap penyidik dan kurangnya ketaatan hukum.
Andi Setiawan
Perlindungan hukum yang bersifat represif (pemberantasan) dan preventif
(pencegahan) hal ini melibatkan para aparat penegak hukum yakni Kepolisian,
Lembaga Perlindungan Anak, Kejaksaan dan Pengadilan.
Saran penelitian ini adalah untuk Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak,
kedepannya perlu mengitensifkan bagi penyuluhan dan sosialisasi oleh aparat
penegak hukum maupun pemerintah kedesa-desa, supaya dapat menambah
pemahaman warga masyarakat akan dampak dari melakukan suatu tindak pidana.
Kepolisian Resort Lampung Selatan kedepannya perlu meningkatkan kualitas dan
kuantitas sumber daya manusianya agar terlaksananya program pencegahan dan
penanggulangan yang terarah dan terpadu untuk penanganan kasus-kasus pidana
khususnya kasus penculikan terhadap anak.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Korban Penculikan1512011002 Oleh Andi setiawan-2022-04-18T07:45:07Z2022-04-18T07:45:07Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58281This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582812022-04-18T07:45:07ZPENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK YANG DILAKUKAN
OLEH IBU KANDUNG
(Studi Kasus di Satreskrim Polresta Palembang)Tindak pidana perdagangan anak merupakan perbuatan yang mengingkari
kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME yang memiliki harkat
dan martabat yang mulia dan melanggar hak asasi manusia. Sehubungan dengan
adanya tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh ibu kandung maka
Kepolisian melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum
oleh kepolisian terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan ibu
kandung? (2) Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum oleh kepolisian
terhadap pelaku perdagangan anak yang dilakukan ibu kandung?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris, dengan narasumber penelitian dari pihak
Satreskrim Polresta Palembang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Penegakan hukum terhadap tindak pidana
perdagangan anak oleh ibu kandung dilakukan oleh Satreskrim Polresta Palembang
dilaksanakan secara non penal dan penal. Penegakan hukum non penal dilaksanakan
dengan penyuluhan hukum dan pendampingan terhadap anak korban perdagangan
orang. Penegakan hukum penal dilaksanakan dengan penyelidikan dan penyidikan,
yaitu upaya penyidik Satreskrim Polresta Palembang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana perdagangan anak oleh ibu
kandung yang terjadi dan guna menemukan tersangka yaitu FM (48 Tahun)
seorang ibu yang menjual anak kandungnya AA (5 tahun) seharga Rp.20.000.000
(dua puluh juta rupiah) kepada orang lain. (2) Faktor paling dominan yang menjadi
penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak yang
dilakukan oleh ibu kandung adalah faktor aparat penegak hukum, yaitu secara
Ananda Tri Alda
kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya
manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna
penanggulangan tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh ibu kandung.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum disarankan untuk
menyusun dan menjatuhkan pidana yang maskimal terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan anak. (2) Agar sarana prasarana teknis yang menunjang kinerja aparat
penegak hukum dalam bidang penyuluhan dan pendampingan terhadap korban
dilengkapi secara memadai.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perdagangan Anak, Ibu Kandung1412011037 ANANDA TRI ALDA-2022-04-18T07:45:03Z2022-04-18T07:45:03Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58279This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582792022-04-18T07:45:03ZPERANAN EKSAMINASI PUTUSAN PENGADILAN YANG
DIPANDANG BERTENTANGAN DENGAN RASA KEADILAN
(Studi Putusan Pengadilan Nomor 304/Pid.Sus/2011/PN.Tjk)Prinsip independensi peradilan merupakan salah satu prinsip penting dalam
negara demokrasi, pada hakikatnya hakim dalam memutus perkara didasari oleh
keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Kenyataannya yang terjadi saat ini
dalam praktik peradilan di Indonesia tidak jarang bahkan sebagian besar dari
putusan pengadilan tidak mengedepankan rasa keadilan bagi masyarakat,
sehingga dalam banyak kasus putusan pengadilan sesungguhnya tidak lebih dari
sebuah akumulasi proses ketidakadilan. Terhadap putusan yang kontroversial
itulah perlu dilakukan eksaminasi atau sebuah penilaian terhadap putusan
pengadilan, terhadap pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan hakim
dalam pengadilan, sehingga diketahui apakah putusan tersebut telah menyentuh
rasa keadilan masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah dasar
pertimbangan hukum hakim dalam putusan pengadilan Nomor
304/Pid.Sus/2011/PN.Tjk sudah menyentuh rasa keadilan dan bagaimanakah
peran eksaminasi putusan pengadilan yang dipandang bertentang dengan rasa
keadilan.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap peranan eksaminasi
putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan rasa keadilan, diperoleh
kesimpulan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan
bebas pada putusan No 304/Pid.Sus/2011/PN.Tjk, dilihat dari aspek yuridisnya
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas berdasar pada pasal 27 Undang-
Undang No. 1 tahun 2004 Tentang Pebendaharaan Negara, sehingga hakim
menilai bahwa perbuatan terdakwa bukan perbuatan melawan hukum. Kemudian
Alvin Fritz Situmeang
dari aspek sosiologisnya atau kemanfaatan, dilihat dari segi kemanfaatan bagi
terdakwa, bahwa terdakwa mendapatkan kembali kedudukan, harkat dan
martabatnya sebagai kepala daerah, namun dilihat dari segi kemanfaatan bagi
masyarakat, terhadap putusan bebas tersebut tidak memberikan suatu manfaat
bagi masyarakat, begitupun dari aspek filosofisnya, putusan tersebut tidak
memberikan keadilan bagi masyarakat, karena masyarakat menilai bahwa
terhadap hilangnya dana APBD kabupaten Lampung timur tersebut merupakan
tanggung jawab terdakwa. Sehingga putusan pengadilan dirasakan tidak adil dan
tidak rasional. Hasil penelitian juga menunjukkan peran eksaminasi dalam
memberikan penilaian terhadap putusan pengadilan yang dipandang bertentangan
dengan rasa keadilan adalah peranan faktual, dimana esensi dari eksaminasi
adalah memberikan penilaian terhadap putusan pengadilan, terhadap
pertimbangan-pertimbangan hukumnya apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar.
Saran dalam penelitian ini adalah hakim dalam memberikan putusan harus lebih
mempertimbangkan segala aspek, yaitu yang besifat yuridis (kepastian hukum),
sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan) supaya menghasilkan putusan
yang berkualitas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan eksaminasi yang
dilakukan oleh masyarakat perlu dikembangkan dalam sistem peradilan pidana
guna mendorong peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil serta perlu untuk
dibentuk aturan yang mengatur secara khusus mengenai eksaminasi putusan.
Kata Kunci: Eksaminasi, Putusan Pengadilan, Keadilan1512011080 ALVIN FRITZ SITUMEANG-2022-04-18T07:45:01Z2022-04-18T07:45:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58277This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582772022-04-18T07:45:01ZEFEKTIVITAS PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK DALAM RANGKA
MENURUNKAN TINGKAT PELECEHAN SEKSUAL DI NANGGROE
ACEH DARUSSAAMQonun dalam sistem hukum negara Indonesia didasarkan pada Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam
Pasal 1 angka 21 ditentukan bahwa “Qonun aceh adalah peraturan perundang-
undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh”. Berbagai macam Jarimah atau
Tindak Pidana diatur dalam Qonun Jinayah, salah satunya adalah pelecehan
seksual. Qonun Jinayah mengatur secara tegas mengenai setiap perbuatan dan
tidakan yang bertentangan dengan Syariat Islam. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana tidak mengatur secara jelas mengenai istilah pelecehan seksual hanya secara
Implisit saja yakni dengan istilah perbuatan cabul.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah : Bagaimanakah efektivitas penerapan
hukuman cambuk dalam rangka menurunkan tingkat pelecehan seksual di
Nanggroe Aceh Darussalam, Apakah faktor penghambat penerapan hukuman
cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan secara yuridis normative dan yuridis empiris. Narasumber dari
penelitian ini terdiri dari Anggota Kepolisian Republik Indonesia Polresta
Kabupaten Aceh Besar, Wilayatul Hisbah,, Tokoh Masyarakat atau Kepala Adat,
dan Akademisi Hukum Pidana dan Hukum Perdata Universitas Lampung.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis
data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penerapan hukuman cambuk dalam rangka
menurunkan tingkat pelecehan seksual di Nanggroe Aceh Darussalam dianggap
efektif dalam menurunkan angka kejahatan khususnya dalam jarimah pelecehan
seksual. Sedangkan faktor penghambat penerapan hukuman cambuk sendiri ialah,
faktor hukum,faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor budaya dan
masyarakatnya sendiri.
AJENG LUKITA RIZKI PANGESTU
Hukum lahir karna adanya kebutuhan masyarakat, hukum sebagai alat untuk
melindungi masyarakat. Efektif atau tidaknya suatu aturan atau hukum dapat dilihat
dari angka kriminalitas yang mulai menurun. Perkembangan hukum pidana yang
terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan bentuk dari perlindungan
pemerintah terhadap masyarakat yang diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Dalam menerapkan suatu aturan pastinya terdapat beberapa hambataan, antara lain,
seperti kurangnya pengetahuan serta kecakapan penegak hukum, faktor undang-
undang dimana hukum yang diterapkan belum sesuai dengan semestinya. Akan
tetapi pada dasarnya hukum Islam yang mengatur mengenai hukuman cambuk yang
ada di Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikatakan efektif dalam menekan angka
kejahatan khususnya Jarimah pelecehan seksual.
Kata Kunci : Efektivitas, Hukuman Cambuk, Jarimah Pelecehan Seksual.1512011092 Ajeng Lukita Rizki Pangestu-2022-04-18T07:44:59Z2022-04-18T07:44:59Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58276This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582762022-04-18T07:44:59ZHUBUNGAN KOORDINASI ANTARA BHABINKAMTIBMAS
DENGAN APARATUR DESA DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA PENCURIAN MELALUI
MEDIASI PENALKonsep dalam sistem peradilan pidana, tidak dikenal dengan mediasi, namun saat
ini berkembang mediasi penal dengan dikaji di tataran regulasi dibawah undang-
undang yang bersifat parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal di atur
dalam Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
serta Peraturan Kepala Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. masyarakat yang terkena ruang
lingkup pengaturan Rembuk Pekon di Marga Tiga masih memiliki kepercayaan
dari pihak yang tingkatannya lebih tinggi dari masyarakat dan nilai-nilai yang
terkandung dari penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan melalui
mediasi penal tersebut. Hal ini memberikan tempat untuk aparatur desan dan
Bhabinkamtibmas untuk terus melakukan pembinaan, arahan dan keamanan di
kalangan masyarakat Marga Tiga.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
respoden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa model mediasi penal melalui
Rembuk Pekon dalam penyelesaian kasus pencurian terdiri dari beberapa tahapan,
yakni persiapan tempat mediasi dan pembahasan dari pihak aparatur desan dan
Bhabinkamtibmas. Kedua, tahap mengumpulkan para pihak. Ketiga, tahap
penjelasan mengenai sanksi dan hukum. Keempat, tahap musyawarah antara
pelaku dan korban yang di dampingin dan di mediatori dengan aparatur desa dan
Bhabinkamtibmas. Kelima, tahap perdamaian dan pembuatan perjanjian di atas
Agnessia Kurnia Puspa Herwoko
materai. Sedangkan hubungan antara Bhabinkamtibmas sudah terjalin dengan
sangat baik sampai tingkat desa. Terlebih dalam perkara tindak pidana pencurian
dalam mediasi penal. Namun tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan
melalui hubungan koordinasi antara Bhabinkamtibmas dan aparatur desa
setempat.
Saran dalam penelitian ini adalah kerjasama antara kepolisian dan aparatur dalam
penyidikan tindak pidana pencurian sebaiknya ditingkatkan lagi, agar dalam
menguak kasus-kasus lainnya dapat berjalan dengan baik dan sesuai prosedur
serta dapat ditingkatkan pembinaan terhadap masyarakat pentingnya mengetahui
hukum dan kepada Bhabinkamtibmas agar lebih melakukan penyidikan secara
intens kepada pelaku-pelaku tindak pidana. Perlunya kualitas penyidik polisi yang
berkaitan dengan penyidikan tindak pidana pencurian agar proses penyidikan
dapat berjalan lancar dan sesuai prosedur.
Kata Kunci: Koordinasi, Bhabinkamtibmas, Aparatur Desa, Pencurian,
Mediasi Penal.1512011058 Agnessia Kurnia Puspa Herwoko-2022-04-18T07:44:57Z2022-04-18T07:44:57Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58274This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582742022-04-18T07:44:57ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN DATA PRIBADI
PENGGUNA PROVIDERKeberadaan provider saat ini bermanfaat dan berpengaruh besar atas segala
aktivitas penggunaan media telekomunikasi dan informasi, yang dibuktikan
dengan semakin maraknya penggunaan telepon seluler atau smartphone lainnya
oleh masyarakat. Pelayanan jasa provider dalam penyediaan jaringan dalam
telekomunikasi telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan tawaran yang
menarik serta menguntungkan bagi pihak konsumen. Dibalik kemudahan
penggunaan provider, terdapat resiko yang besar untuk memberikan peluang bagi
pelaku kejahatan cyber untuk melakukan pencurian data pribadi pengguna
provider, seperti kasus pencurian data Nomor Induk Kependudukan dan Nomor
Kartu Keluarga pada registrasi kartu prabayar. Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dijelaskan maka dapat dirumuskan permasalahan hukum
mengenai bagaimanakah penegakan hukum terhadap pencurian data pribadi
pengguna provider dan apa sajakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum
terhadap pencurian data pribadi pengguna provider.
Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan masalah yuridis normatif
adalah pendekatan yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah data
skunder yang berupa peraturan perundang-undangan, dan yuridis empiris dengan
melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yaitu; (1) Penyidik Subdit IV
Cyber Crime Reskrimsus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, (2)
Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika,
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Komunikasi dan Informatika, (4)
Akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung.. Data yang
digunakan adalah data primer, dan data sekunder. Data-data tersebut lalu
dilakukan pengolahan melalui tahap pengumpulan data, pengeditan data,
interpretasi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah tersebut
kemudian disajikan dalam bentuk uraian, dan dianalisis secara kualitatif dengan
metode induktif.
Berdasarkan hasil penerlitian dan pembahasan yang dilakukan bahwa dalam
penegakan hukum terhadap pencurian data pribadi pengguna provider dilakukan
dengan upaya penal dan non penal oleh pihak Kepolisian Daera Metropolitan
Jakarta Raya dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan berpedoman
pada Kitab
ii
Agnes Putri Arzita
Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undanga Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan
Data Pribadi dalam Sistem Elektronika. Faktor penghambat dari penegakan
hukum terhadap pencurian data pribadi pengguna provider yaitu; (1) faktor
perundang-undang yang dimana di Indonesia belum adanya peraturan perundang-
udangan secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi di cyber
space, (2) faktor dari penegak hukum yang terbatas pada kualitas dan kuantitas
pihak penyidik yang ahli dalam bidang informasi dan teknologi, (3) faktor dari
masyarakat yang dimana masih kurang kesadaran akan bahaya yang timbul dari
ketidakhati-hatian penggunaan sarana telekomunikasi, (4) faktor sarana yang
masih terbatas untuk menunjang segala bentun operasional penegakan hukum
tersebut, (5) faktor budaya yang semakin terpengaruhi pada modernisasi dan
globasasi sehingga membentuk sikap masyarakat yang semakin pragmatis.
Saran terhadap penegakan hukum terhadap pencurian data pribadi pengguna
provider yaitu, diharapkan segera membentuk Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi untuk mendapat kepastian hukum, serta meningkatan
kemampuan sumber daya manusia dalam kualitas dan kuantitas serta sarana dan
prasarana aparat penegak hukum di bidang informasi dan teknologi.
Kata Kunci : Penegakan Hukum. Pencurian, Data Pribadi, Provider1512011179 AGNES PUTRI ARZITA-2022-04-18T07:44:55Z2022-04-18T07:44:55Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58273This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582732022-04-18T07:44:55ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENIMBULKAN KORBANAsas Vicarious Liability atau asas pertanggungjawaban pengganti merupakan
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan dan
kesalahan orang lain. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 315 Ayat (1) yang menyatakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap perusahaan dan/atau pengurusnya. Namun, walaupun
pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum sudah diatur dalam
ketentuan pidana, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan
umum, para penegak hukum masih saja menempatkan pengemudi kendaraan sebagai
subyek tidak pidana yang harus bertanggungjawab secara pidana. Maka perlu
dilakukan penelitian dengan permasalahan: Bagaimanakah pertanggungjawaban
korporasi dalam kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban berdasarkan asas
vicarious liability. Apa faktor penghambat penerapan asas vicarious liability
terhadap korporasi dalam kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan responden.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menyimpulkan bahwa
Korporasi dapat diminta pertanggunggjawaban pidananya berdasarkan asas
vicarious liability dalam tindak pidana umum, apabila terlebih dahulu dapat
dibuktikan adanya hubungan subordinasi antara pemberi kerja atau pemberi kuasa
dengan individu yang melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud
dalam hal ini adalah tidak termasuk tindak pidana terhadap kesusilaan seperti
perzinahan, dan tindak pidana tersebut dilakukan dalam ruang lingkup
perkerjaannya. Selain itu, tindak pidana tersebut dilakukan dengan niat (bukan satu-
satunya niat) untuk memberikan keuntungan bagi korporasi baik dalam bentuk
berupa keuntungan finansial ataupun bukan misalnya pemulihan nama baik
korporasi.
Agil Ratna Dila
Faktor penghambat penerapan asas vicarious liability terhadap korporasi dalam
kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban adalah undang-undang yang belum
secara jelas dan tidak membatasi secara ketat dalam hal apa dan perbuatan yang
bagaimana pertanggungjawaban pidananya. Dan belum pernah ada perusahaan
angkutan umum yang dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat dipidana.
Saran dalam penelitian ini adalah Perlu dilakukannya penyempurnaan dan perbaikan
terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum atau korporasi Perlu
perumusan pasal yang lebih jelas dan terperinci kapan dan perbuatan yang
bagaimanakah yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Perusahaan angkutan
umum ataupun korporasi. Dan diperlukan adanya pengetahuan lebih mengenai asas
pertanggungjawaban korporasi khususnya asas vicarious liability.
Kata Kunci: Korporasi, Kecelakaan Lalu Lintas, Asas Vicarious Liability1512011197 AGIL RATNA DILA-2022-04-18T07:44:52Z2022-04-18T07:44:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58271This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582712022-04-18T07:44:52ZPERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)
DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
WANITA KORBAN TRAFFICKINGLembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga mandiri yang didirikan
dan bertangggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan
pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang. LPSK dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Permasalahan dalam skripsi ini adalah
Bagaimanakah Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Korban Trafficking serta Apakah faktor
penghambat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Mengupayakan dan
Menerapkan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Trafficking.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Studi kepustakaan dan Studi
Lapangan. Analisis data: kualitatif. Narasumber: Kepala Sub Bagian Pelayanan
Perlindungan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Penyidik Reskrim
Polresta Bandar Lampung, dan Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas
Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Peran Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Perlindungan Hukum Terhadap Wanita
Korban Trafficking dapat ditinjau dari segi peran secara Normatif, Ideal, dan
Faktual. Faktor penghambat yang paling dominan dalam Peran Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban adalah berkembangnya jaringan perdagangan
manusia internasional yang makin kuat dan canggih. Globallisasi dan percepatan
teknologi informasi kemudahan mengakses di berbagai dunia bagi oprasionalisasi
organisasi kriminal khususnya perdagan perempuan.
Saran dalam penelitian ini, diharapkan adanya penguatan peran mengenai
kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang sebab keduanya akan
memudahkan membongkar suatu tindak pidana karena dilihat dari posisi mereka
Ade Elendris
sebagai alat bukti saksi. Serta Perlu ditingkatkannya koordinasi yang baik antara
LPSK dengan aparat penegak hukum dari Kepolisian, Kejaksaan hingga sampai
proses Peradilan demi efektifnya pengungkapan kasus-kasus yang berkaitan
dengan perdagangan orang.
Kata Kunci : Peran, LPSK, Traficcking1512011354 ADE ELENDRIS-2022-04-18T07:44:51Z2022-04-18T07:44:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58265This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582652022-04-18T07:44:51ZANALISIS PENYALAHGUNAAN APLIKASI BIGO LIVE SEBAGAI
BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTABigo Live sebagai salah satu aplikasi broadcast dalam bentuk video live streaming
bagi pengguna smartphone android dapat disalahgunakan dan menjadi pelanggaran
atas hak cipta di bidang hak cipta film (sinematografi). Pelaku merekam film yang
sedang ditayangkan di bioskop dan rekaman film tersebut disiarkan secara langsung
menggunakan aplikasi Bigo Live. Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah
akibat hukum penyalahgunaan aplikasi Bigo Live dalam bioskop sebagai bentuk
pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta sebuah film (sinematografi)? (2)
Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta sebuah film (sinematografi)?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,
dengan narasumber dari Polresta Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum. Pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Akibat hukum penyalahgunaan aplikasi Bigo
Live dalam bioskop sebagai bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta
sebuah film (sinematografi) meliputi akibat hukum bagi pelaku dan akibat hukum
bagi pemegang hak cipta. Akibat hukum bagi pelaku adalah pelaku dapat dikenakan
sanksi pidana baik pidana penjara atau denda atas pelanggaran yang dilakukannya
tanpa hak menyiarkan film melalui aplikasi Bigo Live. Sementara itu akibat hukum
bagi pemilik hak cipta adalah mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya
pelanggaran hak ciptanya yang disalahgunakan orang lain. (2) Pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan hak
cipta sebuah film (sinematografi) didasarkan pada unsur kesalahan dan kesengajaan
dalam melakukan perbuatan pidana, kemampuan terdakwa untuk bertanggung
jawab, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta sebuah film (sinematografi).
Saran penelitian adalah: (1) Masyarakat pengguna aplikasi media berbasis internet
agar lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan media (2)
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana agar mengedankan
upaya pembinaan terhadap agar tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari.
Kata Kunci: Penyalahgunaan, Aplikasi Bigo Live, Pelanggaran Hak Cipta1342011005 ACTA YOGA PRATAMA-2022-04-18T07:44:48Z2022-04-18T07:44:48Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58263This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582632022-04-18T07:44:48ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANGGOTA
KEPOLISIAN YANG TIDAK NETRAL DALAM
PEMILIHAN UMUM (PEMILU)Kepolisian sebagai salah satu instansi penegakan hukum diharuskan untuk netral
dalam penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berkaitan dengan tugas pokok Kepolisian
menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap anggota
Kepolisian yang tidak netral dalam Pemilihan Umum (Pemilu)? (2) Apakah faktor
penghambat penegakan hukum pidana terhadap anggota Kepolisian yang tidak
netral dalam Pemilihan Umum (Pemilu)?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Narasumber penelitian terdiri dari Staf Seksi Profesi dan Pengamanan Polda
Lampung, Staf Hukum Bawaslu Provinsi Lampung dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan selanjutnya
diambil simpulan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Penegakan hukum pidana
terhadap anggota Kepolisian yang tidak netral dalam Pemilihan Umum (Pemilu)
belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 280 Ayat (2) huruf (g) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 494 yaitu pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Selama ini
apabila terdapat dugaan anggota Kepolisian tidak netral dalam Pemilu, hanya
diselesaikan secara internal oleh Kepolisian dan sanksi yang diberikan kepada
pelaku hanya bersifat administratif. (2) Faktor-faktor penghambat penegakan
hukum pidana terhadap anggota Kepolisian yang tidak netral dalam Pemilihan
Umum (Pemilu), terdiri dari: a) Faktor substansi hukum, yaitu adanya ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memberikan
waktu terbatas kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikan penanganan
Fajar Hadid Prastyo
terhadap tindak pidana Pemilu, sementara proses penegakan hukumnya
membutuhkan waktu yang lebih lama mengingat kompleksitas tindak pidana
Pemilu b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya Jaksa Penuntut Umum yang
mengalami kesulitan dalam menghadirkan terdakwa atau saksi ke depan
persidangan maupun melakukan eksekusi putusan hakim dan kurangnya koordinasi
antara subsistem peradilan pidana dengan institusi terkait seperti KPU dan Bawaslu.
c) Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu tidak adanya alokasi dana khusus dalam
penanganan perkara pidana Pemilu dan keterbatasan waktu penganganan perkara,
sementara Jaksa Penuntut Umum juga memprioritaskan penyelesaian perkara lain.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pejabat Kepolisian (Kapolda dan Kapolres)
hendaknya meningkatkan mekanisme pengawasan kepada para anggota Polri dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, memantau dan mencatat perkembangan
kepribadian dan perilaku anggota secara berkala dengan tetap mempedomani
berbagai kebijakan Polri yang berkaitan dengan upaya pencegahan terjadinya
pelanggaran disiplin oleh anggota kepolisian pada masa-masa yang akan datang. (2)
Pejabat Kepolisian (Kapolda dan Kapolres) hendaknya memberikan tindakan dan
hukuman yang tegas kepada anggota polri yang terbukti melakukan pelanggaran
disiplin, hal ini akan memberikan efek jera dan sebagai pelajaran bagi anggota polri
lainnya agar tidak melakukan pelanggaran disiplin maupun tindak pidana.1412011141 FAJAR HADID PRASTYO-2022-04-18T07:44:46Z2022-04-18T07:44:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58262This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582622022-04-18T07:44:46ZIMPLIKASI TAX AMNESTY TERHADAP
PENEGAKAN HUKUM PIDANAKebijakan Tax Amnesty merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang,
tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang
perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Pengampunan Pajak seyogianya diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan
hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Apakah
yang menjadi hambatan dalam penerapan Tax Amnesty? (2) Bagaimanakah
kepastian hukum bagi wajib pajak yang tidak taat pajak?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber terdiri dari Pegawai Dirjen Pajak KPP PRATAMA Teluk Betung dan
akademisi hukum pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan.Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Jaminan
kepastian hukum dan Keamanan menjadi hambatan serius penerapan program tax
amnesty atau pengampunan pajak. Sepanjang keamanan tidak terjamin, para
pelaku usaha tidak bakal secara terbuka melakukan deklarasi dan repatriasi modal.
Serta kurangnya sosialisasi. (2)Kepastian hukum bagi wajib pajak diatur
UndangUndang No.19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat
paksa.memberi wewenang kepada pejabat pajak untuk menerbitkan Surat Paksa
dengan ancaman penyitaan dan lelah terhadap harta wajib pajak. Sita dan lelang
dalam pajak dapat dilakukan langsung tanpa melalui pengadilan karena Undang- Undang No.19 Tahun 2000 memberikan titel executorial kepada Surat Paksa dan
kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang sudah tetap (inkracht van
gewijsde).
Saran dalam penelitian ini adalah: (1).Memberikan sosialisasi dari kota hingga
pelosok desa dan memberikan himbauan (tertulis) kepada wajib pajak untuk
memanfaatkan Program Pengampunan Pajak. Hal ini dapat berupa selebaran-
selebaran, Short Message Service (SMS), maupun baliho-baliho yang
menjelaskan programPengampunan Pajak,untuk memberi informasi kepada
masyarakat. (2) implementasi berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan dalam penerapan uu tax amnesty diperlukan untuk kebaikan
bersama.
Kata kunci: Tax amnesty, Penegakan Hukum1342011164 SONAL SIDABUTAR-2022-04-18T07:44:44Z2022-04-18T07:44:44Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58259This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582592022-04-18T07:44:44ZPERLINDUNGAN HUKUM TERADAP PENGEMUDI TAKSI ONLINE
DARI ASPEK HUKUM PIDANAKeberadaan taksi online pada sekarang ini memberi kemudahan bagi setiap
pengguna jasa transportasi umum, namun keberadaan taksi online menimbulkan
berbagai persoalan diantara berkaitan dengan kejahatan Tindak kejahatan yang
sering terjadi pada pengemudi taksi online diantaranya pencurian dengan
kekerasan, dan pembunuhan berencana yang mana dapat menimbulkan kerugian
sampai hilangnya nyawa seseorang. Permasalahan yang diteliti oleh penulis
adalah Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pengemudi taksi online
dalam tindak pidana pembunuhan berencana dari aspek hukum pidana dan
Apakah yang menjadi faktor penghambat suatu perlindungan hukum terhadap
pengemudi taksi online.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan bahan sekunder. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan
dan penelitian lapangan. Prosedur pengolahan dan pengumpulan data dilakukan
dengan seleksi data, klasifikasi data, penyusunan data dan analisis data.
Hasil penelitian dan pembahasan yaitu mengenai bentuk perlindungan hukum
terhadap pengemudi taksi online untuk saat ini belum ada aturan khususnya,
dimana jika dilihat dari sisi aspek hukum pidannya bahwa masih bergantung pada
Undang-Undang yang ada. Dimana UU tersebutlah yang mengatasi jika terjadi
suatu tindak kejahatan yang terjadi pada pengemudi taksi online. Tujuan
diberikannya suatu perlindungan hukum khususnya untuk pengemudi taksi online
yang menjadi korban tindak kejahatan yang dilakukan oleh setiap penumpang
taksi online yaitu adalah untuk menghormati hak asasi korban agar nasibnya tidak
terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi korban tindak kejahatan
khususnya pada kasus ini yang menimpah pengemudi taksi online dan
menghindari perlakuan sewenang-wenang bahkan perlakuan yang tidak wajar.
Saran dan upaya perlindungan hukum terhadap pengemudi taksi online yaitu
Pihak perusahaan hendaknya harus lebih teliti dan tegas dalam melihat dan
Mutiara Agung Vanessa Gumay
menyesuaikan data yang di isi oleh para driver dan penumpang, Kepastian hukum
perlu diusahakan demi berlangsungan kegiatan perlindungan bagi pengemudi
taksi online dan Adanya kerjasama yang dilakukan oleh pihak taksi prusahaan
online sendiri kepada pihak penegak hukum yaitu misalnya pihak kepolisian,
pengadilan, kejaksaan, Pemerintah maupun pihak-pihak yang dapat membantu
pihak perusahaan.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Taksi Online, Aspek Pidana1512011075 Mutiara Agung Vanessa Gumay-2022-04-18T07:44:42Z2022-04-18T07:44:42Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58252This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582522022-04-18T07:44:42ZPERAN KEJAKSAAN SEBAGAI TIM PENGAWAL PENGAMANAN PEMERINTAH
DAN PEMBANGUNAN DAERAH (TP4D) DALAM UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Pada Pemerintah Kota Bandar Lampung)Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan (TP4) dibentuk berdasarkan
Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015
tanggal 01 Oktober 2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah
dan Pembangunan (TP4). Pembentukan TP4 memiliki tujuan untuk memberikan
pengawalan dan penerangan hukum kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam
upaya pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan dalam skripsi ini adalah
Bagaimanakah Peran Kejaksaan sebagai Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan
Pembangunan Daerah (TP4D) dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi serta
Apakah faktor penghambat dari Peran Kejaksaan sebagai Tim Pengawal, Pengamanan
Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi.
Pendekatan Masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data: Studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis
data: kualitatif. Narasumber: Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepala
Bidang Pembangunan Manusia dan Masyarakat Badan Pembangunan Daerah Kota Bandar
Lampung (BAPPEDA), Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Bandar Lampung, Kasubbag Penyuluhan Hukum dan Bantuan
Hukum Kota Bandar Lampung, dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: Peran Kejaksaan sebagai Tim
Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) dalam Upaya
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dapat ditinjau dari segi peran secara Normatif, Ideal,
dan Faktual. Faktor penghambat yang paling dominan dalam Peran Kejaksaan sebagai
Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) adalah faktor
kualitas dan kuantitas dari penegak hukum khususnya jaksa yang terlibat dalam Tim
Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) harus memiliki
integritas yang tinggi dan mampu untuk tidak terlibat dengan budaya korupsi serta suap
menyuap dan ditinjau dari segi kuantitas penegak hukum dalam hal ini jaksa yang terlibat
dalam Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) masih
Yuris Oktaviyani Warganegara
Kurang jika dibandingkan dengan banyaknya proyek pembangunan yang harus ditangani.
Saran dalam penelitian ini, diharapkan Kejaksaan Republik Indonesia membentuk seksi
khusus Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D)
sehingga penegakan hukum dan pelaksanaan dari Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah
dan Pembangunan Daerah (TP4D) lebih efektif dan fokus. Serta menambah jumlah jaksa
yang terlibat dalam Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah
(TP4D) sehingga seimbang dengan proyek pembangunan yang ditangani. Diharapkan
kepada Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D)
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dapat melaksanakan program sosialisasi lebih
mendalam mengenai Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah
(TP4D) kepada instansi pemerintahan Kota Bandar Lampung serta Tim Pengawal,
Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung lebih Pro Aktif dalam menawarkan bantuan kepada Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Kota Bandar Lampung.
Kata Kunci : Peran, TP4D, Pencegahan, Korupsi1512011103 Yuris Oktaviyani Warganegara-2022-04-18T04:29:17Z2022-06-10T20:18:21Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59831This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/598312022-04-18T04:29:17ZPERSPEKTIF PEMBUNUHAN YANG DISEBABKAN GANGGUAN KEJIWAAN PASCA MELAHIRKAN SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PIDANA
Gangguan kejiwaan pasca melahirkan merupakan suatu keadaan di mana seorang ibu setelah melahirkan bayi, mengalami tekanan atau depresi secara psikologis sehingga kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil dan pada kondisi tertentu dapat melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap bayinya. Ketentuan Pasal 44 KUHP mengatur adanya alasan pemaaf terhadap pelaku yang yang melakukan tindak pidana karena gangguan kejiwaan. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah perspektif pembunuhan yang disebabkan gangguan kejiwaan pasca melahirkan sebagai alasan penghapus pidana dan bagaimanakah proses penegakan hukum dalam hal terjadi pembunuhan yang disebabkan gangguan kejiwaan pasca melahirkan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Narasumber terdiri dari Psikiater pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa perspektif pembunuhan yang disebabkan gangguan kejiwaan pasca melahirkan sebagai alasan penghapus pidana adalah pelaku tidak memenuhi syarat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum karena sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, terdapat alasan pemaaf bagi pelaku yang melakukan pembunuhan tersebut yaitu adanya gangguan kejiwaan berupa tekanan atau depresi yang berlebihan sehingga pelaku melakukan pembunuhan terhadap anaknya karena merasa takut, cemas serta tertekan keadaan jiwanya. Proses penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan yang disebabkan gangguan kejiwaan pasca melahirkan adalah penyidik setelah mendapatkan bukti yang cukup dari keterangan ahli (psikiater dari rumah sakit jiwa) yang menyatakan bahwa pelaku mengalami gangguan
kejiwaan pasca melahirkan. Penyidik setelah memperoleh bukti yang cukup bahwa pembunuhan benar-benar dilakukan karena gangguan kejiwaan maka penyidik menghentikan proses penyidikan dan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Penegakan hukum dilaksanakan sesuai konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yaitu dengan adanya diskresi atau kewenangan penyidik untuk menghentikan proses penyidikan karena adanya alasan pemaaf bagi pelaku sehingga tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum karena perbuatan pidana yang dilakukan disebabkan oleh gangguan kejiwaan pasca melahirkan.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya dirumuskan suatu definisi yang jelas dan limitatif terhadap ketentuan Pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena gangguan kejiwaan. Pelibatan psikiater dalam penanganan perkara pembunuhan yang dilakukan karena gangguan kejiwaan hendaknya dijadikan acuan bersama oleh aparat penegak hukum, sehingga sejak proses penyidikan perkara ini tidak perlu diproses secara hukum.
Kata Kunci: Perspektif, Pembunuhan, Babyblues, Penghapus Pidana
Aldo Fedika VataraNPM16520112292022-04-18T04:15:29Z2022-04-18T04:15:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59825This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/598252022-04-18T04:15:29ZDISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TERDAKWA
PENYIRAMAN AIR KERAS
(Studi Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr)Hakim dalam memutuskan perkara sering terjadi disparitas pidana, sehingga
disparitas pidana membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di
Indonesia, seperti halnya kasus penganiayaan berat kasus penyiraman air keras
terhadap korban Novel Baswedan, dengan Putusan Nomor
371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr dari hasil persidangan terdakwa diberikan sanksi
pemidanaan dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
keputusan tersebut dianggap kurang tepat karena rata-rata pelaku dengan kasus
yang sama di jatuhkan hukuman kuruangan penjara lebih dari 5 tahun.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertimbangan hakim
terhadap terdakwa penyiraman air keras dengan Putusan Nomor
371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr, bagaimanakah dampak Putusan Hakim terhadap
terdakwa penyiraman air keras dengan Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr
dan apakah putusan hakim terhadap terdakwa penyiraman air keras dengan
Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr sudah memenuhi rasa keadilan.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber
dalam penelitian ini adalah Hakim, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri
Kelas I A Tanjung Karang dan dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Data yang diperoleh di analisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pertimbangan hakim terhadap terdakwa
penyiraman air keras dengan Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr,
pertimbangan hakim didasarkan pada Tuntutan Jaksa Penutun Umum, nota
pembelaan dari penasihat hukum terdakwa, keadaan korban yang kehilangan salah
satu panca indra pengelihatan, dari sisi terdakwa dimana hakim mengangap
terdakwa telah bersikap ksatria mengakui dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya, namun hakim kurang secara rinci mempertimbangkan tentang pasal
yang menjerat terdakwa yang seharusnya memberatkan terdakwa bukan lebih
meringankannya. Sehingga putusan hakim ini belum tentu menyebabkan efek jera
terhadap terdakwa, maupun masyarakat yang ingin melanggar hukum. (2)
Dampak Putusan Hakim terhadap terdakwa penyiraman air keras dengan Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr, antara lain ketidakpercayaan terhadap
masyarakat kepada lembaga peradilan, terjadi rasa ketidakpuasan karena
diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya, memunculkan rasa
ketidakadilan, menimbulkan kebencian kepada sistem dan menghasilkan
ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. (3) Putusan hakim terhadap
terdakwa penyiraman air keras dengan Putusan Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt.Utr
sudah memenuhi rasa keadilan, hakim dan jaksa dalam menuntut maupun
menjatuhkan putusan belum mencerminkan nilai keadilan, kemanfaatan, dan
keapstian hukum, hal ini bisa dilihat dari putusan hakim maupun tuntutan jaksa
yang sangat ringan yaitu jaksa menuntut hukuman penjara selama 1 (satu) tahun,
dan hakim memutuskan lebih rendah dari jaksa yaitu hanya penjara selama 1
(satu) Tahun 6 (enam) bulan, dalam hal ini hakim dan jaksa penuntut menjatuhkan
hukuman yang minimal dan relatif ringan, seharusnya hukuman terhadap pelaku
diperberat karna belum tentu terdakwa merasakan efek jera setelah menerima
hukuman yang relatif ringan serta pelaku merupakan anggota Polri aktif.
Saran dalam penelitian ini yaitu hakim selaku orang yang memutus perkara di
pengadilan seharusnya menerapkan atau menegakkan hukum sesuai dengan ilmu
hukum yang selalu berorientasi kepada keilmuan, hakim dalam memberikan
putusan harus memuat fakta-fakta yuridis dengan memperhatikan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan, hakim dalam menjatuhkan pidana agar selalu
memerhatikan tujuan pemidanaan, jaksa penuntut umum dan hakim sebagai
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, perlu tetap megusahakan agar putusan hakim
mencerminkan tiga unsur yakni nilai keadilan,kemanfaatan,dan kepastian hukum.
Kata Kunci: Disparitas, Putusan Hakim. Penyiraman Air Keras1642011023 MUHAMMAD FAZLURRAHMANmuhammadfazlurrahman08@gmail.com2022-04-18T03:50:25Z2022-04-18T03:50:25Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59817This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/598172022-04-18T03:50:25ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENGRUSAKAN FASILITAS UMUM PADA DEMONSTRASI OKTOBER 2020
DI DPRD PROVINSI LAMPUNGPada bulan Oktober 2020 demonstrasi tersebut menolak pengesahan undang- undang Cipta Kerja, dalam aksi tersebut terjadi pengrusakan fasilitas umum yaitu pengrusakan gedung DPRD Lampung, berdasarkan hal tersebut maka aparat kepolisian melakukan penegakan hukum bagi pelaku pengrusakan fasilitas umum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku pengrusakan fasilitas umum pada demonstrasi Oktober 2020 di DPRD Provinsi Lampung dan faktor apa yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku pengrusakan fasilitas umum pada demonstrasi Oktober 2020 di DPRD Provinsi Lampung.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitiian ini adalah Penyidik Subdit Dalmas Sabhara Polda Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung dengan analisis data menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: (1) Penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh oleh Kepolisian Polda Lampung pada kasus pengrusakan fasilitas umum di kantor DPRD Provinsi Lampung pada saat aksi demonstrasi penolakan Undang – undang Cipta Kerja bulan Oktober tahun 2020 sudah dilaksanakan dengan tepat atau sudah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Perkap Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. (2) Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan fasilitas umum pada demo massa Oktober 2020 adalah faktor masyarakat dimana faktor masyarakat lebih dominan mempengaruh penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan fasilitas umum pada demo massa Oktober 2020, kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal ini mahasiswa untuk mentaati larangan- larangan sebagaimana yang di peringatkan dalam surat tanda terima pemberitahuan dan larangan-larangan yang sudah di atur dalam peraturan perundang-undangan
Saran dalam penelitian ini yaitu: (1) Perlunya diberikan pembinaan mengenai cara penyampaian unjuk rasa yang dilakukan dimuka umum serta prosedur-prosedur yang dilakukan sebelum unjuk rasa dijalankan. (2) Pada proses penanganan unjuk rasa yang melakukan pengrusakan fasilitas umum aparat kepolisian harus lebih mengutamakan tindakan yang berdasarkan prosedur tetap (Protap) dan menekankan kepada upaya memberikan kesadaran hukum kepada para pengunjuk rasa.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Pengrusakan Fasilitas Umum, Demonstrasi.1642011001 FEBI FAHMIfebifahmi1234@gmail.com2022-04-18T02:55:14Z2022-04-18T02:55:14Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58253This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582532022-04-18T02:55:14ZKEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENERAPAN DISKRESI PADA
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)Domestic violence is actually nothing new. Moreover, the issue of domestic
violence (domestic violence) also concerns human rights issues. The existence
of domestic violence (domestic violence) can be caused by the lack of
appreciation in fulfilling basic human rights, including the same rights and
obligations in the law. Acts of domestic violence committed by a husband
against his wife or vice versa are often considered as common things in a
family. The focus of the study in this scientific paper is related to police policy
in applying discretion to criminal acts of violence in households in Bandar
Lampung as well as inhibiting factors in the application of discretion by the
police to criminal acts of domestic violence in Bandar Lampung.
The research method in scientific writing is a normative juridical approach,
namely the approach taken by examining the rules or norms, the rules relating
to the problem to be discussed.
The results of this study provide an answer that the police policy in law
enforcement against discretion in domestic violence at Bandar Lampung Police
is because it is based on situations and conditions that are felt as a need to
make a policy that is morally and legally responsible, while the obstacles that
arise in police policy in enforcement the law on discretion on domestic
violence in Bandar Lampung police is a factor regarding investigator
knowledge due to lack of education to prospective investigators so that
investigators have not been maximized in carrying out discretion against
criminal acts, legal factors that show how law enforcement in Indonesia seems
to lose its ability to achieve balance Among the three legal objectives that
attract each other, namely legal certainty, justice, and benefits, in addition to
the obstacles that arise in the police policy in law enforcement against
discretion in domestic violence in the Polrest a Bandar Lampung is a factor
regarding investigator's knowledge due to lack of maximum education for
prospective investigators so that investigators have not been maximized in
carrying out discretion against criminal acts, legal factors that show how
conditions in law enforcement in Indonesia seem to lose their ability to achieve
a balance between three interrelated legal objectives attraction is legal
certainty, justice, and benefit, as a result of only being guided by formal
legality, and the lack of participation of the parties in assisting the police to
process cases.
The suggestion from this research is for the police who are authorized to use
discretionary policies on domestic violence, should implement different
treatments by taking other actions based on law to be alternatives that can be
used by investigator, because the legal problems faced by investigators in the
community are different and varied in style and model, besides the substance
of the Invitation is now not explicitly and in detail regulating it, therefore the
government should give a serious response in making a good basis for
regulation. and firmly for discretionary actions which include the validity of
investigative duties, qualification of case forms that can be carried out
discretion as well as the consequences of discretionary investigative actions so
that legal umbrella is more legal and does not conflict with the law. Special
regulatory arrangements for investigator discretionary actions to be used as a
basis and consideration in taking subjective policies from investigators as
public officials of the country concerned for the smooth functioning of their
duties, so that the investigator's discretionary actions can be legitimate and
legally strong. And the community is expected to understand that the
discretionary authority is indeed given by the law to the police within the scope
of its duties, but within the boundaries determined by law, so that does not
mean that the police who do discretion are police who do not enforce the law
and are against the law
Keywords: Police, Discretion, Domestic Violence.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan hal yang baru. Terlebih lagi
persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menyangkut juga persoalan
hak asasi manusia. Adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat
disebabkan tidak adanya penghargaan dalam memenuhi hak-hak dasar
manusia, diantaranya hak dan kewajiban yang sama di dalam hukum. Tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seorang suami terhadap
istrinya atau sebaliknya sering dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam
sebuah keluarga. Fokus kajian dalam tulisan ilmiah ini terkait kebijakan
kepolisian dalam penerapan diskresi pada tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga di Bandar Lampung serta faktor penghambat dalam penerapan
diskresi oleh kepolisian terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
di Bandar Lampung. Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini dengan pendekatan yuridis normatif
yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau
norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas. Hasil penelitian ini memberikan jawaban bahwa kebijakan kepolisian dalam
penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar Lampung
adalah karena berdasarkan situasi dan kondisi yang dirasakan sebagai sesuatu
kebutuhan untuk membuat suatu kebijakan yang bertanggungjawab secara
moral dan hukum, sedangkan hambatan yang timbul pada kebijakan kepolisian
dalam penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar
Lampung adalah faktor mengenai pengetahuan penyidik yang disebabkan
kurang maksimalnya pendidikan terhadap calon penyidik sehingga penyidik
belum maksimal dalam melaksanakan diskresi terhadap tindak pidana, faktor
Hukum yang menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia
yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara
tiga tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan, selain itu hambatan yang timbul pada kebijakan kepolisian
dalam penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar
Lampung adalah faktor mengenai pengetahuan penyidik yang disebabkan
kurang maksimalnya pendidikan terhadap calon penyidik sehingga penyidik
belum maksimal dalam melaksanakan diskresi terhadap tindak pidana, faktor
Hukum yang menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia
yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara
tiga tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan, akibat hanya berpedoman kepada sisi legalitas formal
semata, dan kurangnya partisipasi para pihak dalam membantu aparat
kepolisian untuk memproses suatu perkara.
Saran dari penelitian ini adalah kepada pihak kepolisian yang berwenang
menggunakan kebijakan diskresi terhadap KDRT, hendaknya untuk
mengimplementasikan penanganan yang berbeda-beda dengan melakukan
tindakan lain berdasarkan hukum menjadi alternatif yang dapat digunakan oleh
penyidik, karena permasalahan hukum yang dihadapi penyidik di masyarakat
berbeda-beda dan beraneka ragam corak dan modelnya, selain itu subtansi
perUndang-Undangan sekarang belum secara tegas dan detail mengaturnya,
maka dari itu hendaknya pemerintah memberikan suatu tanggapan yang serius
dalam membuat dasar peraturan yang baik serta tegas bagi tindakan diskresi
yang meliputi ruang berlaku tugas penyidikan, kualifikasi bentuk perkara yang
dapat dilakukan diskresi serta bentuk konsekuensi dari tindakan diskresi
penyidik supaya lebih dapat payung hukum yang sah dan tidak bertentangan
dengan hukum. Kepengaturan peraturan yang khusus bagi tindakan diskresi
penyidik untuk dijadikan landasan serta pertimbangan dalam mengambil
kebijakan subyektif dari penyidik selaku pejabat publik Negara bersangkutan
demi kelancaran tugas-tugasnya, supaya tindakan diskresi penyidik tersebut
dapat sah dan kuat secara hukum. Dan kepada masyarakat diharapkan untuk
memahami bahwa kewenangan diskresi memang diberikan oleh hukum kepada
polisi didalam lingkuptugasnya,tetapi dalam batas-batas yang ditentukan
hukum, jadi bukan berarti polisiyang melakukan diskresi adalah polisi yang
tidak menegakkan hukum danmalah melawan hukum.
Kata Kunci: Kepolisian, Diskresi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT)1442011021 MUHAMMAD IMAN HERBARI HNT-2022-04-16T02:06:54Z2022-04-16T02:06:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58246This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582462022-04-16T02:06:54ZANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
PENCULIKAN OLEH TENAGA PENDIDIK
DI LAMPUNG SELATANTindak pidana penculikan terhadap anak merupakan perbuatan yang tidak
sewajarnya dilakukan oleh seorang pendidik. Apalagi sekolah merupakan institusi
pendidikan yang sangat diperlukan untuk tumbuh kembang anak di masa yang
akan datang, setiap anak yang menjadi korban penculikan biasanya akan
mengalami dampak buruk terhadap perkembangan kejiwaannya seperti kasus
yang terjadi di Lampung Selatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga
pendidik? Apakah faktor penghambat perlindungan hukum terhadap anak korban
penculikan oleh tenaga pendidik?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data terdiri dari data
primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data diperoleh dengan cara studi
kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara secara
langsung dengan responden. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis secara
kualitatif yang kemudian di ambil sebuah kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di peroleh kesimpulan bahwa
perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga pendidik di
Lampung Selatan yakni dengan cara menempatkan anak korban penculikan oleh
tenaga pendidik di rumah aman Polrest Lampung Selatan dan dilakukan
rehabilitasi lalu di kembalikan kepada orangtua nya. Perlindungan anak korban
penculikan juga dilakukan melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis
Masyarakat (PATBM), mensosialisasikan hak anak, melalui Lembaga Advokasi
Anak, dan Kepolisian sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan faktor�faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana penculikan
terhadap anak adalah faktor adanya perilaku menyimpang (dendam), yang tepat
karena kurangnya ketaatan dalam menjalankan perintah agama, kurangnya
pemahaman tentang nilai-nilai akidah dari dalam diri pelaku, serta rendahnya
tingkat pendidikan dan pengetahuan dari dalam diri pelaku. Faktor penghambat
perlindungan hukum terhadap anak korban penculikan oleh tenaga pendidik yaitu
kurannya kesadaran hukum masyarakat dan buruknya budaya hukum dalam
masyarakat hal ini dapat dilihat dari tindakan masyarakat yang tidak koopratif
terhadap penyidik dan kurangnya ketaatan hukum.
Andi Setiawan
Perlindungan hukum yang bersifat represif (pemberantasan) dan preventif
(pencegahan) hal ini melibatkan para aparat penegak hukum yakni Kepolisian,
Lembaga Perlindungan Anak, Kejaksaan dan Pengadilan.
Saran penelitian ini adalah untuk Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak,
kedepannya perlu mengitensifkan bagi penyuluhan dan sosialisasi oleh aparat
penegak hukum maupun pemerintah kedesa-desa, supaya dapat menambah
pemahaman warga masyarakat akan dampak dari melakukan suatu tindak pidana.
Kepolisian Resort Lampung Selatan kedepannya perlu meningkatkan kualitas dan
kuantitas sumber daya manusianya agar terlaksananya program pencegahan dan
penanggulangan yang terarah dan terpadu untuk penanganan kasus-kasus pidana
khususnya kasus penculikan terhadap anak.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Korban Penculikan
1512011002 ANDI SETIAWAN-2022-04-16T02:06:51Z2022-04-16T02:06:51Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58243This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582432022-04-16T02:06:51ZPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENIMBULKAN KORBAN Asas Vicarious Liability atau asas pertanggungjawaban pengganti merupakan
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan dan
kesalahan orang lain. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 315 Ayat (1) yang menyatakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap perusahaan dan/atau pengurusnya. Namun, walaupun
pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum sudah diatur dalam
ketentuan pidana, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan
umum, para penegak hukum masih saja menempatkan pengemudi kendaraan sebagai
subyek tidak pidana yang harus bertanggungjawab secara pidana. Maka perlu
dilakukan penelitian dengan permasalahan: Bagaimanakah pertanggungjawaban
korporasi dalam kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban berdasarkan asas
vicarious liability. Apa faktor penghambat penerapan asas vicarious liability
terhadap korporasi dalam kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan responden.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menyimpulkan bahwa
Korporasi dapat diminta pertanggunggjawaban pidananya berdasarkan asas
vicarious liability dalam tindak pidana umum, apabila terlebih dahulu dapat
dibuktikan adanya hubungan subordinasi antara pemberi kerja atau pemberi kuasa
dengan individu yang melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud
dalam hal ini adalah tidak termasuk tindak pidana terhadap kesusilaan seperti
perzinahan, dan tindak pidana tersebut dilakukan dalam ruang lingkup
perkerjaannya. Selain itu, tindak pidana tersebut dilakukan dengan niat (bukan satu�satunya niat) untuk memberikan keuntungan bagi korporasi baik dalam bentuk
berupa keuntungan finansial ataupun bukan misalnya pemulihan nama baik
korporasi.
Agil Ratna Dila
Faktor penghambat penerapan asas vicarious liability terhadap korporasi dalam
kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban adalah undang-undang yang belum
secara jelas dan tidak membatasi secara ketat dalam hal apa dan perbuatan yang
bagaimana pertanggungjawaban pidananya. Dan belum pernah ada perusahaan
angkutan umum yang dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat dipidana.
Saran dalam penelitian ini adalah Perlu dilakukannya penyempurnaan dan perbaikan
terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum atau korporasi Perlu
perumusan pasal yang lebih jelas dan terperinci kapan dan perbuatan yang
bagaimanakah yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Perusahaan angkutan
umum ataupun korporasi. Dan diperlukan adanya pengetahuan lebih mengenai asas
pertanggungjawaban korporasi khususnya asas vicarious liability.
Kata Kunci: Korporasi, Kecelakaan Lalu Lintas, Asas Vicarious Liability
1512011197 Agil Ratna Dila-2022-04-16T02:06:12Z2022-04-16T02:06:12Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58244This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582442022-04-16T02:06:12ZHUBUNGAN KOORDINASI ANTARA BHABINKAMTIBMAS
DENGAN APARATUR DESA DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA PENCURIAN MELALUI
MEDIASI PENALKonsep dalam sistem peradilan pidana, tidak dikenal dengan mediasi, namun saat
ini berkembang mediasi penal dengan dikaji di tataran regulasi dibawah undang�undang yang bersifat parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal di atur
dalam Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
serta Peraturan Kepala Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. masyarakat yang terkena ruang
lingkup pengaturan Rembuk Pekon di Marga Tiga masih memiliki kepercayaan
dari pihak yang tingkatannya lebih tinggi dari masyarakat dan nilai-nilai yang
terkandung dari penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan melalui
mediasi penal tersebut. Hal ini memberikan tempat untuk aparatur desan dan
Bhabinkamtibmas untuk terus melakukan pembinaan, arahan dan keamanan di
kalangan masyarakat Marga Tiga.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
respoden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa model mediasi penal melalui
Rembuk Pekon dalam penyelesaian kasus pencurian terdiri dari beberapa tahapan,
yakni persiapan tempat mediasi dan pembahasan dari pihak aparatur desan dan
Bhabinkamtibmas. Kedua, tahap mengumpulkan para pihak. Ketiga, tahap
penjelasan mengenai sanksi dan hukum. Keempat, tahap musyawarah antara
pelaku dan korban yang di dampingin dan di mediatori dengan aparatur desa dan
Bhabinkamtibmas. Kelima, tahap perdamaian dan pembuatan perjanjian di atas
Agnessia Kurnia Puspa Herwoko
materai. Sedangkan hubungan antara Bhabinkamtibmas sudah terjalin dengan
sangat baik sampai tingkat desa. Terlebih dalam perkara tindak pidana pencurian
dalam mediasi penal. Namun tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan
melalui hubungan koordinasi antara Bhabinkamtibmas dan aparatur desa
setempat.
Saran dalam penelitian ini adalah kerjasama antara kepolisian dan aparatur dalam
penyidikan tindak pidana pencurian sebaiknya ditingkatkan lagi, agar dalam
menguak kasus-kasus lainnya dapat berjalan dengan baik dan sesuai prosedur
serta dapat ditingkatkan pembinaan terhadap masyarakat pentingnya mengetahui
hukum dan kepada Bhabinkamtibmas agar lebih melakukan penyidikan secara
intens kepada pelaku-pelaku tindak pidana. Perlunya kualitas penyidik polisi yang
berkaitan dengan penyidikan tindak pidana pencurian agar proses penyidikan
dapat berjalan lancar dan sesuai prosedur.
Kata Kunci: Koordinasi, Bhabinkamtibmas, Aparatur Desa, Pencurian,
Mediasi Penal.
1512011058 Agnessia Kurnia Puspa Herwoko-2022-04-16T02:06:10Z2022-04-16T02:06:10Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58241This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582412022-04-16T02:06:10ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENIPUAN OLEH
NARAPIDANA MELALUI FACEBOOK
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Rajabasa Bandar Lampung)
Manfaat teknologi informasi dan komunikasi selain memberikan dampak positif juga disadari
memberi peluang untuk dijadikan sarana melakukan kejahatan baru (cyber crime). Kejahatan
bukan hanya terjadi pada kehidupan didunia nyata saja namun kejahatan saat ini sudah
menyebar ke jaringan intenet. Dengan adanya media sosial pelaku kejahatan memanfaatkan
kejahatan penipuan melalui media sosial facebook. Dengan adanya media sosial facebook
kejahatan didunia maya bukan hanya dilakukan oleh pelaku diluar Lembaga Pemasyarakatan
tetapi dapat juga dilakukan oleh Narapidana yang sedang menjalankan hukuman dibalik jeruji
besi sehingga dapat meraup keuntungan. Untuk mengetahui aspek kriminologi sari kejahatan
tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan permasalah: Apakah faktor penyebab
terjadinya penipuan yang dilakukan oleh narapidana melalui facebook? Bagaimanakah upaya
penanggulangan terhadap penipuan oleh narapidana melalui facebook?.
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan responden.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa faktor penyebab terjadinya penipuan
yang dilakukan oleh narapidana melalui facebook ada dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Adapun upaya penanggulangan terhadap penipuan oleh narapidana melalui
facebook pada Lapas adalah dengan cara preventif.
Saran dalam penelitian ini adalah: Kepada Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia
agar meningkatkan kualitas lapas dengan mengkontruksikan sarana dan prasarana yang ada
baik dari SDM maupun fasilitas lapasnya. Kepada Menteri Hukum dan Ham agar
meningkatkan anggaran kepada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang khusus digunkan
untuk meningkatkan kualitas lapas baik dari sisi infrastruktur dan SDM nya.
Kata Kunci: Penipuan, Narapidana, Facebook.
1412011442 YOGI HANDIKA-2022-04-16T02:06:08Z2022-04-16T02:06:08Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58240This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582402022-04-16T02:06:08ZKEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENERAPAN DISKRESI PADA
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)Domestic violence is actually nothing new. Moreover, the issue of domestic
violence (domestic violence) also concerns human rights issues. The existence
of domestic violence (domestic violence) can be caused by the lack of
appreciation in fulfilling basic human rights, including the same rights and
obligations in the law. Acts of domestic violence committed by a husband
against his wife or vice versa are often considered as common things in a
family. The focus of the study in this scientific paper is related to police policy
in applying discretion to criminal acts of violence in households in Bandar
Lampung as well as inhibiting factors in the application of discretion by the
police to criminal acts of domestic violence in Bandar Lampung.
The research method in scientific writing is a normative juridical approach,
namely the approach taken by examining the rules or norms, the rules relating
to the problem to be discussed.
The results of this study provide an answer that the police policy in law
enforcement against discretion in domestic violence at Bandar Lampung Police
is because it is based on situations and conditions that are felt as a need to
make a policy that is morally and legally responsible, while the obstacles that
arise in police policy in enforcement the law on discretion on domestic
violence in Bandar Lampung police is a factor regarding investigator
knowledge due to lack of education to prospective investigators so that
investigators have not been maximized in carrying out discretion against
criminal acts, legal factors that show how law enforcement in Indonesia seems
to lose its ability to achieve balance Among the three legal objectives that
attract each other, namely legal certainty, justice, and benefits, in addition to
the obstacles that arise in the police policy in law enforcement against
discretion in domestic violence in the Polrest a Bandar Lampung is a factor
regarding investigator's knowledge due to lack of maximum education for
prospective investigators so that investigators have not been maximized in
carrying out discretion against criminal acts, legal factors that show how
conditions in law enforcement in Indonesia seem to lose their ability to achieve
a balance between three interrelated legal objectives attraction is legal
certainty, justice, and benefit, as a result of only being guided by formal
legality, and the lack of participation of the parties in assisting the police to
process cases.
The suggestion from this research is for the police who are authorized to use
discretionary policies on domestic violence, should implement different
treatments by taking other actions based on law to be alternatives that can be
used by investigator, because the legal problems faced by investigators in the
community are different and varied in style and model, besides the substance
of the Invitation is now not explicitly and in detail regulating it, therefore the
government should give a serious response in making a good basis for
regulation. and firmly for discretionary actions which include the validity of
investigative duties, qualification of case forms that can be carried out
discretion as well as the consequences of discretionary investigative actions so
that legal umbrella is more legal and does not conflict with the law. Special
regulatory arrangements for investigator discretionary actions to be used as a
basis and consideration in taking subjective policies from investigators as
public officials of the country concerned for the smooth functioning of their
duties, so that the investigator's discretionary actions can be legitimate and
legally strong. And the community is expected to understand that the
discretionary authority is indeed given by the law to the police within the scope
of its duties, but within the boundaries determined by law, so that does not
mean that the police who do discretion are police who do not enforce the law
and are against the law
Keywords: Police, Discretion, Domestic Violence.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan hal yang baru. Terlebih lagi
persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menyangkut juga persoalan
hak asasi manusia. Adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat
disebabkan tidak adanya penghargaan dalam memenuhi hak-hak dasar
manusia, diantaranya hak dan kewajiban yang sama di dalam hukum. Tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seorang suami terhadap
istrinya atau sebaliknya sering dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam
sebuah keluarga. Fokus kajian dalam tulisan ilmiah ini terkait kebijakan
kepolisian dalam penerapan diskresi pada tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga di Bandar Lampung serta faktor penghambat dalam penerapan
diskresi oleh kepolisian terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
di Bandar Lampung. Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini dengan pendekatan yuridis normatif
yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau
norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas. Hasil penelitian ini memberikan jawaban bahwa kebijakan kepolisian dalam
penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar Lampung
adalah karena berdasarkan situasi dan kondisi yang dirasakan sebagai sesuatu
kebutuhan untuk membuat suatu kebijakan yang bertanggungjawab secara
moral dan hukum, sedangkan hambatan yang timbul pada kebijakan kepolisian
dalam penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar
Lampung adalah faktor mengenai pengetahuan penyidik yang disebabkan
kurang maksimalnya pendidikan terhadap calon penyidik sehingga penyidik
belum maksimal dalam melaksanakan diskresi terhadap tindak pidana, faktor
Hukum yang menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia
yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara
tiga tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan, selain itu hambatan yang timbul pada kebijakan kepolisian
dalam penegakan hukum terhadap diskresi pada KDRT di Polresta Bandar
Lampung adalah faktor mengenai pengetahuan penyidik yang disebabkan
kurang maksimalnya pendidikan terhadap calon penyidik sehingga penyidik
belum maksimal dalam melaksanakan diskresi terhadap tindak pidana, faktor
Hukum yang menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia
yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara
tiga tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan,
dan kemanfaatan, akibat hanya berpedoman kepada sisi legalitas formal
semata, dan kurangnya partisipasi para pihak dalam membantu aparat
kepolisian untuk memproses suatu perkara.
Saran dari penelitian ini adalah kepada pihak kepolisian yang berwenang
menggunakan kebijakan diskresi terhadap KDRT, hendaknya untuk
mengimplementasikan penanganan yang berbeda-beda dengan melakukan
tindakan lain berdasarkan hukum menjadi alternatif yang dapat digunakan oleh
penyidik, karena permasalahan hukum yang dihadapi penyidik di masyarakat
berbeda-beda dan beraneka ragam corak dan modelnya, selain itu subtansi
perUndang-Undangan sekarang belum secara tegas dan detail mengaturnya,
maka dari itu hendaknya pemerintah memberikan suatu tanggapan yang serius
dalam membuat dasar peraturan yang baik serta tegas bagi tindakan diskresi
yang meliputi ruang berlaku tugas penyidikan, kualifikasi bentuk perkara yang
dapat dilakukan diskresi serta bentuk konsekuensi dari tindakan diskresi
penyidik supaya lebih dapat payung hukum yang sah dan tidak bertentangan
dengan hukum. Kepengaturan peraturan yang khusus bagi tindakan diskresi
penyidik untuk dijadikan landasan serta pertimbangan dalam mengambil
kebijakan subyektif dari penyidik selaku pejabat publik Negara bersangkutan
demi kelancaran tugas-tugasnya, supaya tindakan diskresi penyidik tersebut
dapat sah dan kuat secara hukum. Dan kepada masyarakat diharapkan untuk
memahami bahwa kewenangan diskresi memang diberikan oleh hukum kepada
polisi didalam lingkuptugasnya,tetapi dalam batas-batas yang ditentukan
hukum, jadi bukan berarti polisiyang melakukan diskresi adalah polisi yang
tidak menegakkan hukum danmalah melawan hukum.
Kata Kunci: Kepolisian, Diskresi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT)1442011021 MUHAMMAD IMAN HERBARI HNT-2022-04-16T02:06:05Z2022-04-16T02:06:05Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58238This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582382022-04-16T02:06:05ZANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PENERAPAN PIDANA MATI PASCA
PUTUSAN HAKIMSanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 10 menyebutkan jenis-jenis pidana
salah satunya adalah pidana mati. Pidana mati merupakan sanksi terberat yang masih
dilakukan di Indonesia. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sudah dijelaskan
dalam UU nomor 2/PNPS/1964 akan tetapi Undang-Undang ini tidak menjelaskan
secara rinci berapa lama jarak waktu antara vonis yang dijatuhkan oleh hakim sampai
pelaksanaan pidana mati. Hal ini menjadi alasan penulis untuk membahas mengenai,
Bagaimanakah kebijakan formulasi penerapan hukuman pidana mati pasca putusan
hakim? Apakah faktor penghambat dalam kebijakan formulasi penerapan hukuman
pidana mati pasca putusan hakim?
Pendekatan masalah yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sedangkan pengolahan data yang
diperbolehkan dengan cara identifikasi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data.
Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan
dilakukan dengan metode induktif.
Hasil Penelitian ini menunjukan : Kebijakan formulasi penerapan hukuman pidana
mati pasca putusan hakim memungkinkan terpidana mati untuk melakukan upaya
hukum setelah vonis dijatuhkan oleh hakim karena putusan hakim di Pengadilan
Negeri belum memiliki kekuatan hukum tetap. Faktor penghambat dalam
melaksanakan pidana mati yaitu faktor perundang-undangan ini tidak menjelaskan
kapan eksekusi mati dilaksanakan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap,
faktor penegak hukum kesiapan mental eksekutor, faktor sarana dan fasilitas tentang
kesiapan tempat dimana eksekusi pidana mati akan dilaksanakan.
Muhammad Fakhrie Syah Syamsir
Saran dalam penelitian ini adalah para aparat penegak hukum dan aparat pembuat
hukum segera membuat Undang-Undang yang mengatur tentang adanya batasan
waktu eksekusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap (In Kracht), membuat
Undang-undang yang mengatur tentang adanya batasan waktu dalam mengajukan
PK, membuat Undang-undang yang mengatur tentang adanya batasan waktu Presiden
dalam Menerima Permohonan Grasi guna memperlancar eksekusi pidana mati pada
pelaku tindak pidana narkotika sehingga memperoleh kepastian hukum yang jelas.
Dibutuhkannya pendekatan psikologis, dimana merupakan pendekatan yang sangat
penting bagi eksekutor pidana mati, agar membuat eksekutor lebih percaya diri
sehingga setelah melakukan eksekusi mati tidak merasa bersalah. Hendaknya Negara
menambah tempat eksekusi mati selain di Lembaga Pemasyarakatan Nusa
Kambangan yang sesuai dengan standar tempat pelaksanaan pidana mati. Perlunya
sosialiasi terhadap masyarakat terkait pelaksanaan eksekusi pidana mati agar
masyarakat dapat mengetahui bahwa pidana mati diperlukan.
Kata kunci : Analisis, Kebijakan Formulasi, Pidana Mati.1412011461 MUHAMMAD FAKHRIE SYAH SYAMSIR-2022-04-16T02:06:02Z2022-04-16T02:06:02Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58235This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582352022-04-16T02:06:02ZPERAN UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM UPAYA
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
PERDAGANGAN ORANG
(Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)Tingginya kasus perdagangan manusia di Indonesia, menimbulkan keprihatinan
tersendiri. Berbagai kasus perdagangan manusia yang terjadi saat ini
menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia khususnya pada anak
membutuhkan perhatian yang khusus. Oleh karena itu diperlukannya suatu
perlindungan hukum kepada anak sebagai korban perdagangan orang yang dalam
skripsi ini adalah peran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah Peran Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak dalam upaya melakukan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan orang dan apakah yang menjadi faktor penghambat Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak dalam upaya melakukan perlindungan terhadap anak
sebagai korban perdagangan orang?
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian ini terdiri dari
Penyidik Unit PPA Kepolisian Polresta Bandar Lampung dan Dosen Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data di
lakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya data di analisis
secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat di simpulkan bahwa Peran
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dalam melakukan upaya perlindungan
terhadap anak sebagai korban perdagangan orang dilakukan dengan upaya
preventif dengan cara pemetaan tindak pidana perdagangan orang, peningkatan
pendidikan masyarakat, peningkatan pengetahuan masyarakat, memberikan
jaminan aksesbilitas untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan
pendapatan, dan pelayanan sosial, razia atau pendataan dokumen identitas di
setiap perbatasan wilayah dan upaya represif melalui tugas-tugas penyelidikan,
penyidikan, melimpahkan berita acara pemeriksaan kepada kejaksaan untuk
selanjutnya oleh kejaksaan diajukan ke pengadilan untuk diproses melalui sidang
pidana dan memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Faktor-faktor
yang menghambat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dalam melakukan
perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan orang antara lain faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor
masyarakat dan faktor kebudayaan.
Saran dalam penelitian ini adalah kepada UPPA hendaknya lebih meningkatkan
perlindungan terhadap korban pedagangan orang , lebih sigap, dan lebih responsif, pemerintah untuk kedepannya dapat merevisi atau mebentuk regulasi terkait
perdagangan anak dengan lebih spesifik dan lebih terinci dengan sanksi yang
lebih tegas dan berat pula dan masyarakat hendaknya dapat meningkatkan
kesadarannya akan dampak negatif dari tindak pidana perdagangan orang dan
lebih berperan aktif dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang
contohnya dengan melaporkan kepada Kepolisan Republik Indonesia apabila
melihat atau mengetahui adanya tindak pidana perdagangan orang.
Kata kunci : Peran, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Perdagangan
Orang.1542011038 M. Dimas Abdillah-2022-04-16T02:06:01Z2022-04-16T02:06:01Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58233This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582332022-04-16T02:06:01ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN
MODUS HIPNOTIS DI KOTA BANDAR LAMPUNGThe crime of theft with a hypnotic mode in the city of Bandar Lampung in the
development of science and technology has an effect on people's lives that have
positive and negative impacts. Crime is a human act that has evil nature as if
people kill, rob, steal and so forth. The problem in this thesis is What are the
causes of theft crimes committed by hypnotic mode? What efforts are made in the
context of overcoming the crime of theft with hypnotic mode?
The problem approach used in this research is to use normative and empirical
juridical problem approaches. Data collection was carried out with literature
study and field study. Data analysis was carried out qualitatively. The speakers in
this study consisted of Bandar Lampung City Police Department Investigators,
Psychologist Specialists, Criminal Law Academics, Faculty of Law, University of
Lampung.
The results of the research and discussion that the efforts of the Bandar Lampung
City Police Department in the Theft of Crimes with the Hypnotic Mode are
carried out in two ways, namely: Non-penal efforts by conducting socialization
conducted by the police and prioritizing information before a crime occurs so that
the public can know the appeal so that they can be more careful careful and
increase his vigilance against the crime of theft with a hypnotic mode, the efforts
of the penalties by optimizing the efforts of the action of crime by providing
criminal sanctions against perpetrators of theft are regulated in the Criminal
Code Act contained in Article 362 through Article 367. In the case of the
perpetrator has fulfilled all elements of criminal liability and is considered
capable of taking responsibility for his actions by looking at the elements of theft
and deterrent effect as well as gathering evidence to act legally. The causal factor
in overcoming theft crime with hypnosis mode in Bandar Lampung City is
personal factor and situational factor in uncovering the crime of theft with
hypnosis mode.
Suggestion in this research is that the Police should be able to optimize the non�penal efforts in overcoming the crime of theft with hypnosis because prevention is
better than eradication. the government is expected to be able to improve facilities
and provide police support facilities in overcoming theft crime by using hypnosis
mode by adding security equipment in the form of CCTV and the community is
expected to be able to work closely with the police so as not to impede the
investigation process
Keywords: Criminology, Theft, Hypnosis
Kejahatan pencurian dengan modus hipnotis di Kota Bandar Lampung dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat yang memberikan dampak positif dan negatif. Kejahatan
merupakan suatu perbuatan manusia yang mempunyai sifat jahat sebagaimana
bila orang membunuh, merampok, mencuri dan lain sebagainya. Permasalahan
dalam skripsi ini adalah Apakah faktor penyebab kejahatan pencurian yang
dilakukan dengan modus hipnotis? Upaya apa yang dilakukan dalam rangka
penanggulangan kejahatan pencurian dengan modus hipnotis?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Narasumber pada penelitian ini terdiri
dari Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Pakar Psikolog,
Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan bahwa Upaya Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung dalam Kejahatan Pencurian Dengan Modus Hipnotis dilakukan dengan
dua cara yaitu: Upaya non penal dengan cara mengadakan sosialisasi yang
dilakukan kepolisian dan lebih mengedepankan informasi sebelum terjadi
kejahatan sehingga masyarakat dapat mengetahui himbauan tersebut agar lebih
dapat berhati-hati serta meningkatkan kewaspadaannya terhadap tindak kejahatan
pencurian dengan modus hipnotis, Upaya penal dengan mengoptimalkan upaya
penindakan kejahatan tersebut dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
dimuat dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367. Dalam kasus pelaku sudah
memenuhi semua unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dan dianggap mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan melihat unsur-unsur pencurian
dan berefek jera serta menghimpun bukti-bukti guna menindak secara hukum.
Faktor penyebab dalam penanggulangan kejahatan pencurian dengan modus
hipnotis di Kota Bandar Lampung adalah faktor personal dan faktor situasional
dalam mengungkap kasus kejahatan pencurian dengan modus hipnotis.
Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian hendaknya lebih bisa
mengoptimalkan upaya non penal dalam penanggulangan kejahatan pencurian
dengan modus hipnotis karena pencegahan lebih baik daripada pemberantasan.
pemerintah diharapkan dapat memperbaiki sarana dan memberikan fasilitas
penunjang kepolisian dalam penanggulangan kejahatan pencurian dengan modus
hipnotis dengan menambah alat pengamanan berupa CCTV serta masyarakat
diharapkan bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian agar tidak menghambat
proses penyidikan.
Kata Kunci : Kriminologis, Pencurian, Hipnotis1512011183 Livia Sepany Megalenawati Sibatuara-2022-04-16T02:05:58Z2022-04-16T02:05:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58232This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582322022-04-16T02:05:58ZANALISIS YURIDIS HAK IMUNITAS PROFESI ADVOKAT DALAM
PERLINDUNGAN HAK KONASTITUSIONAL KLIENPandangan berbeda tentang arti hak imunitas dapat memicu adanya suatu
permasalahan dalam penegakan hukum. Hak imunitas merupakan hak kekebalan
seseorang dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya, bahwa ia
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
profesinya. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah
batas-batas hak imunitas profesi advokat dalam perlindungan hak konstitusional
klien? Dan bagaimanakah perlindungan hukum hak imunitas profesi advokat
dalam perlindungan hak konstitusional klien?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Sifat, bentuk dan tujuannya merupakan penelitian deskriptif dan problem
identification, yaitu mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan
berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta
ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode
analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini secara kualitatif, dan
prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi
kepustakaan dan lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, diketahui bahwa
profesi advokat memiliki hak imunitas yang dilindungi undang-undang ketika
menjalankan tugas profesinya, namun hak imunitas tersebut tetap dibatasi oleh
kode etik serta undang-undang. Batasan yang dimaksud adalah hak imunitas akan
tetap melekat sepanjang dalam menjalankan profesinya untuk kepentingan
pembelaan klien dilaksanakan dengan itikad baik. Pengertian itikad baik sendiri
tetap merujuk penjelasan Pasal 16 UU Advokat yaitu menjalankan tugas profesi
demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan
kliennya. Dengan begitu, hak imunitas advokat berlaku ketika menjalankan tugas
profesi di dalam maupun luar sidang pengadilan selama dilakukan dengan itikad
baik, tidak melanggar Kode Etik Advokat Indonesia dan tidak melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah agar hak imunitas ini
diperjelas kembali tentang batasan-batasan apa yang dimaksud dengan itikad baik
tersebut, karena setiap aparat penegak hukum mempunyai satu persepsi atau
pandangan yang berbeda tentang arti dari itikad baik tersebut.
Kata Kunci: Hak imunitas profesi advokat, Perlindungan hak konstitusional,
Klien1542011040 KARTIKA ROSELLINI-2022-04-16T02:05:56Z2022-04-16T02:05:56Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58230This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582302022-04-16T02:05:56ZANALISIS PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN
MENURUT HUKUM ADAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG
KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG
TENGAHKeberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana penyelesaian tindak pidana perzinahan menurut hukum adat Bali di
Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah
dan bagaimanakah kedudukan keputusan lembaga adat Bali terhadap tindak
pidana perzinahan dalam hukum positif Indonesia. Penelitian dilakukan secara yuridis empirisSumber data yang di dapat dengan
menggunakan data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyelesaian tindak pidana
perzinahan menurut hukum adat Bali di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih
Mataram Kabupaten Lampung Tengah adalah dengan denda emas sebesar 10
gram, denda uang dan membersihkan pura agung suci (pura desa), membersihkan
diri (melukat), mengadakan upacara pembersihan desa dan penutup malu atau
meminta maaf. Kedudukan keputusan lembaga adat Bali terhadap tindak pidana
perzinahan dalam Hukum Positif Indonesia adalah sebagai Hukum adat
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju kepada unifikasi pembuatan
peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan
berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
Saran dalam skripsi ini yaitu kepada Lembaga Adat Desa Wirata Agung
hendaknya sanksi adat yang diberikan lebih berat lagi terhadap pelaku tindak
pidana perzinahan Agar menimbulkan efek jera bagi mereka. Kepada Lembaga
Adat kedepannya harus tegas terhadap anggotanya, agar Kepala Lembaga Adat di
Desa setempat berlaku adil kepada masyarakat.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Perzinahan, Hukum Adat Bali1512011042 KADEK AYU GANDI-2022-04-16T02:05:54Z2022-04-16T02:05:54Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58227This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582272022-04-16T02:05:54ZUPAYA PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN
PROSTITUSI BERKEDOK PANTI PIJAT TRADISIONAL
(Studi Pada Kepolisian Resor Prabumulih)Prostitusi merupakan salah satu jenis tindak pidana konvensional yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat dan terus berkembang menjadi sebuah bisnis berpotensi
mendatangkan keuntungan bagi pelakunya. Salah satu modus yang digunakan
adalah menyalahgunakan panti pijat tradisional menjadi tempat prostitusi.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya penyidik Kepolisian
Resor Prabumulih dalam penanggulangan prostitusi berkedok panti pijat tradisional
dan apakah faktor penghambat upaya penyidik Kepolisian Resor Prabumulih dalam
penanggulangan prostitusi berkedok panti pijat tradisional?
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris. Narasumber penelitian ini adalah Penyidik Satreskrim Polres
Prabumulih dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya penyidik dalam penanggulangan
prostitusi berkedok panti pijat tradisional dilakukan oleh Kepolisian Resor
Prabumulih melalui sarana non penal dan penal. Upaya non penal dilaksanakan
dengan melakukan patroli dan inspeksi terhadap praktik usaha panti pijat tradisional
di wilayah hukum Prabumulih. Upaya penal dilaksanakan dengan penyelidikan dan
penyidikan terhadap pemilik panti pijat tradisional yang menggunakan tempat
usahanya sebagai tempat prostitusi, yaitu upaya penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang prostitusi berkedok panti pijat
tradisional yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Faktor paling dominan
yang menjadi penghambat upaya penyidik Kepolisian Resor Prabumulih dalam
penanggulangan prostitusi berkedok panti pijat tradisional di Prabumulih adalah
faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah
penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik
dan teknik penyidikan guna penanggulangan prostitusi berkedok panti pijat
tradisional.
Ilham Akbar
Saran dalam penelitian ini adalah aparat kepolisian disarankan untuk meningkatkan
kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pelaksanaan patroli dan inspeksi
terhadap berbagai lokasi panti pijat tradisional yang diduga menjadi tempat
dilakukannya prostitusi. Masyarakat yang mengetahui adanya prostitusi berkedok
panti pijat tradisional disarankan untuk segera melaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga akan cepat untuk ditindak lanjuti oleh kepolisian.
Kata Kunci: Upaya Penyidik, Penanggulangan, Prostitusi, Panti Pijat1512011006 ILHAM AKBAR-2022-04-16T02:05:52Z2022-04-16T02:05:52Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58226This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582262022-04-16T02:05:52ZANALISIS KRIMINOLOGIS PEMALSUAN IDENTITAS DALAM
KEJAHATAN PENCABULAN ANAKPemalsuan identitas dalam kejahatan pencabulan kini bukan hanya terjadi pada
lawan jenis tetapi juga pada sesama jenis sehingga melabui korban dengan cara
memalsukan identitas tersangka sehingga dalam pemalsuan identitas tersangka
dapat berkenalan dengan korban, terjadinya pemalsuan identitas dalam kejahatan
pencabulan adalah terkait peranannya dipengaruhi oleh faktor kepribadian,
kepercayaan/iman, hubungan korban dengan pelaku, pendidikan, krisis moral di
masyarakat, teknologi dan media massa, perhatian dan pengawasan orang tua /
keluarga, perhatian masyarakat/lingkungan. Perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu difikirkan, direncanakan, dan
diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Kejahatan suatu konsepsi
yang bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali
akibatnya saja. Dalam penulisan ini dibahas dua pokok permasalahan yaitu,
apakah faktor penyebab terjadinya pemalsuan identitas dalam kejahatan
pencabulan, dan bagaimanakah upaya penanggulangan pemalsuan identitas dalam
kejahatan pencabulan.
Pendekatan Masalah dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dengan cara wawancara kepada responden, serta data skunder melalui
studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. . Responden dalam
penelitian ini ialah orang-orang yang dapat memberikan keterangan serta pendapat
sesuai dengan fakta yang ada yaitu, Penyidik Polresta Bandar Lampung, Dosen
Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila. Pelaku tindak pidana pemalsuan identitas
dalam kejahatan pencabulan. Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan
dengan cara analisis deskriptif kualitatif.
Febri Tri Santi
Hasil penelitian ini memberikan jawaban bahwa faktor penyebab terjadinya
pemalsuan identitas dalam kejahatan pencabulan adalah terkait peranannya
dipengaruhi oleh faktor kepribadian, kepercayaan/iman, hubungan korban dengan
pelaku, pendidikan, krisis moral di masyarakat, teknologi dan media massa,
perhatian dan pengawasan orang tua / keluarga, perhatian masyarakat/lingkungan.
Selain itu upaya penanggulangan pemalsuan identitas dalam kejahatan pencabulan
adalah dilakukan oleh orang tua yakni menanamkan nilai-nilai agama yang kuat
kepada anak, menanamkan nilai moral yang berlaku dalam masyarakat kepada
anak, upaya preventif yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian yakni
mengadakan sosialisasi disekolah-sekolah seperti sekolah SMP dan SMU dan
juga melakukan penertiban di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadi tindak
pidana melanggar norma kesusilaan, dan penjatuhan hukuman sanksi pidana yang
tepat oleh hakim sebagai upaya represif.
Saran dari penelitian ini adalah pemerintah lebih memperhatikan masalah
kesejahteraan sosial, sarana dan prasana umum bagi masyarakatnya sehingga
dapat mengurangi angka kejahatan di tengah-tengah masyarakat, lebih tegas
dalam membuat rambu-rambu hukum dan perlindungan terhadap anak maupun
korban kejahatan, mengevaluasi kinerja para penegak hukum. Penyuluhan atau
sosialisasi yang diberikan oleh para penegak hukum sebaiknya dilakukan secara
berkala dan tepat sasaran sehingga mencapai hasil yang diharapkan, memberi
pelayanan kepada masyarakat dengan lebih meningkatkan ketertiban dan
keamanan sehingga tidak terjadi kejahatan di tengah-tengah masyarakat.
Kata Kunci: Analisis Kriminologis, Pemalsuan Identitas, Pencabulan.
Falsification of identity in sexual abuse is not only happening to the opposite sex
but also to the same sex so that it misses the victim by falsifying the identity of
the suspect so that the falsification of the identity of the suspect can be identified
with the role of personality factors, trust / faith, the relationship of victims with
perpetrators, education, moral crisis in society, technology and mass media,
attention and supervision of parents / family, community / environmental
concerns. Criminal acts are acts that are prohibited by a legal rule which is
accompanied by threats (sanctions) in the form of certain crimes, for those who
violate the prohibition. Crime can be carried out consciously, that is, thought,
planned, and directed at certain intentions, which is truly right. Crime is an
abstract conception, where evil cannot be touched and seen except the
consequences. In this paper, two main issues are discussed, namely, what are the
factors that cause identity fraud in sexual abuse, and how to overcome identity
forgery in the crime of sexual abuse.
Approach Problems in this research are using normative juridical and empirical
juridical approaches, the data used are primary data obtained by means of
interviews with respondents, as well as secondary data through library studies.
Data analysis was carried out qualitatively. . Respondents in this study were
people who could provide information and opinions according to the facts,
namely, Bandar Lampung Police Investigator, Unila Law Faculty Criminal
Lecturer. The perpetrators of criminal acts of counterfeiting in crimes of sexual
abuse. Analysis of the data obtained was carried out by means of qualitative
descriptive analysis.
Febri Tri Santi
The results of this study provide answers that the factors that cause identity fraud
in sexual abuse are related to their role influenced by personality factors, trust /
faith, the relationship of victims with perpetrators, education, moral crisis in
society, technology and mass media, attention and supervision of parents /
families , community / environmental attention. In addition, efforts to counterfeit
identity in crimes of sexual abuse are carried out by parents by instilling strong
religious values on children, instilling moral values that apply in society to
children, preventive efforts that have been made by the police to conduct
socialization in schools such as Middle and high school and also controlling in
places that are considered prone to criminal acts violate the norms of decency, and
the imposition of penalties for appropriate criminal sanctions by judges as
repressive efforts.
Suggestions from this study are that the government pays more attention to social
welfare issues, public facilities and infrastructures for its people so that it can
reduce crime rates among the people, be more assertive in making legal signs and
protection for children and victims of crime, evaluating the performance of law
enforcement . Counseling or socialization provided by law enforcers should be
carried out periodically and on target so as to achieve the expected results, provide
services to the community by further improving order and security so that there is
no crime in the midst of society.
Keywords: Criminological analysis, Identity forgery, sexual abuse.1412011147 FEBRI TRI SANTI-2022-04-16T02:05:49Z2022-04-16T02:05:49Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58225This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582252022-04-16T02:05:49ZKAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN GENG MOTOR
(KLITIH) DI TENGAH MALAM
(Studi di Wilayah Hukum Polresta Yogyakarta)Remaja yang sedang dalam masa pencarian identitas pada umumnya bersosialisasi
atau bergaul dengan teman-teman sebaya yang dianggap memiliki kesamaan
identitas dengan dirinya, tetapi yang disayangkan adalah adanya kenyataan para
remaja terjebak dalam lingkungan pergaulan yang salah, di antaranya menjadi
anggota geng motor (klitih) dan melakukan kejahatan. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah: apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan geng
motor (klitih) di tengah malam dan bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan
geng motor (klitih) di tengah malam?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Narasumber penelitian ini adalah Penyidik Polresta Yogyakarta, anggota Geng
Motor (Klitih), masyarakat di Yogyakarta dan Dosen Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya
kejahatan geng motor (klitih) di tengah malam terdiri dari faktor internal dan
eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pelaku,
terdiri dari adanya hubungan di dalam keluarga yang tidak harmonis dan minimnya
tingkat pendidikan remaja. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri
pelaku, yaitu pergaulan remaja yang salah dan perkembangan media massa atau
media sosial. Upaya penanggulangan kejahatan geng motor (klitih) di tengah malam
dilakukan oleh Polresta Yogyakarta melalui sarana non penal dan penal. Upaya non
penal dilaksanakan dengan melaksanakan sosialisasi tentang keselamatan berlalu
lintas dan pelaksanaan patroli. Upaya penal dilaksanakan dengan penyelidikan dan
penyidikan, yaitu upaya penyidik Polresta Yogyakarta dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang kejahatan geng motor (klitih) di tengah
malam yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum agar meningkatkan
sosialisasi mengenai pentingnya upaya pencegahan terjadinya kejahatan geng motor
(klitih) dan meningkatkan patroli dan masyarakat agar melaksanakan kegiatan ronda
malam dalam rangka mendukung tugas kepolisian.
Kata Kunci: Kajian Kriminologis, Kejahatan, Geng Motor (Klitih)1512011091 CINDY ARUM SEKARJATI-2022-04-16T02:05:46Z2022-04-16T02:05:46Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58224This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582242022-04-16T02:05:46ZPERSEFEKTIF PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN SANSKI
TINDAKAN (DOUBLE TRACK SYSTEM) TERHADAP
PERNIKAHAN SEJENIS MENURUT RUU KUHPPelanggaran terhadap perkawinan sejenis dengan perkembangan zaman dan
teknologi mulai menyebar luas di daerah Indonesia yang pada saat ini sudah
menyebar dibeberapa situs internet.pernikahan sejenis awalnya tidak dicurigai
oleh para petugas pencatat akta nikah dikarenakan kedua mempelai dengan
sengaja mempalsukan salah satu identitas agas tidak terditeksi oleh petugas
pencacat akta nikah. Tindak pidana pemalsuan akta autentik dan lain-lainnya
dengan kesengajaan menggunakan akta autentik dan lain-lain yang palsu atau
dipalsukan oleh pembentuk Undang-Undang telah diatur dalam Pasal 454 ayat (1)
juncto pasal 495 ayat (1)(2) RKUHP. Sistem dua jalur (double track system) yaitu
model pemberian sanksi pidana dengan menggunakan dua macam sanksi pidana
yang terdiri dari pidana dan tindakan yang penerapannya dapat di alternatifkan
atau dikumulatifkan. namun pada kenyataannya hakim jarang menerapkan
putusan berupa double track system, karena hakim cendrung menggunakan single
track system.permasalahan dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana persepektif
penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (double track system) terhadap
pernikahan sejenis menurut RUU KUHP ? 2. Faktor apakah yang menjadi
penghambat dalam penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (Double Track
System) terhadap pernikahan sejenis ?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normative dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data
skunder.penentuan wawancara dengan responden. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang
digunakan adalah analisis kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa
penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (double track system). Penerapan
sanksi pidana dan sanksi tindakan (double track system) menggunakan teori
penegakan hukum yang teridiri dari tiga tahapan yaitu :1. Tahap formulasi 2.
Tahap aplikasi 3. Tahap eksekusi. Terhadap pernikahan sejenis menurut RUU
KUHP sesuai dengan Pasal 454 ayat (1) juncto Pasal 495 ayat (1)(2) RKUHP
dengan mendapatkan ancaman hukuman 9 (Sembilan) tahun penjara. Faktor
penghambat dalam penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (double track
system) yang lebih dominan Faktor tersebut adalah faktor hukum (Undang-
Undang) dan faktor masyarakat karena dalam hal ini undang-undang itu sendiri
belum memiliki ketegasan terkait tindak pidana pernikahan sejenis dan
pengawasan akan kesadaran hukum dari masyarakat kurang karena ketidakpaham
masyarakat tentang pentingnya suatu identitas asli.
Saran dalam penelitian ini adalah Terhadap perkara penikahan sejenis yang terjadi
pada daerah jember jawa timur penulis harapkan agar petugas dalam penerbitan
surat lebih teliti dalam pemeriksaan surat sebelum diterbitkan dan disesuaikan
dengan fakta-fakta yang ada seperti ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, kartu
tanda penduduk bahkan paspor, serta data otentik lainnya, untuk disamakan semua
data nya sesuai dengan keaslian data otentik tersebut. Terhadap perkara tindak
pidana pernikahan sejenis ini penulis harapkan agar mempertegas rancangan kitab
undang-undang hukum pidana terkait pasal perbuatan cabul, perbuatan cabul yang
dilakukan terhadap tindak pidana pernikahan sejenis ini tidak hanya dijatuhkan
pidana apabila ada nya pemaksaan atau delik aduan tetapi juga dipertegas untuk
perbuatan cabul yang dilakukan atas dasar suka sama suka, karena pada dasarnya
perbuatan cabul yang dilakukan dengan sesama jenis melanggar ideologi
pancasila.
Kata kunci : RUU KUHP, Pernikahan sejenis, Double Track System.1512011012 BETI EKA WAHYUNI-2022-04-16T02:05:43Z2022-04-16T02:05:43Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58219This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/582192022-04-16T02:05:43ZDASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN ASAL USUL PERKAWINAN
DALAM PUTUSAN NOMOR 562/PID.SUS/2017/PN.TJKPerkawinan siri dilakukan di luar ketentuan hukum yang menimbulkan
konsekwensi hukum yang berupa sanksi pidana seperti dalam Perkara Nomor
562/Pid.Sus/2017/PN.Tjk. Perbuatan Terdakwa RA sesuai dengan ketentuan
Pidana Pasal 279 Ayat (1) KUHP. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini
adalah: Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkawinan siri dan bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana pelaku perkawinan siri. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan empiris. Jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh
dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Responden
dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang
dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pemabahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
pidana pelaku pemalsuan dokumen otentik dalam kredit dasar pertimbangan
hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkawinan siri dalam
Putusan Nomor: 562/Pid.Sus/2017/PN.Tjk yakni dakwaan Jaksa, hal-hal yang
meringankan dan memberatkan, pertimbangan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP serta
menerapkan beberapa teori tujuan hukum yakni kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan hukum. Pertanggungjawaban pidana pelaku perkawinan siri dalam
Putusan Nomor: 562/Pid.Sus/2017/PN.Tjk ditinjau dari keadilan subtantif yakni
didasarkan pada kesalahan yang memenuhi unsur melawan hukum dan tidak
adanya alasan pemaaf/penghapusaan sifat melawan hukum atas perbuatan
dilakukan. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur
kesengajaan oleh pelaku (dolus), sehingga ada alasan pembenar maupun pemaaf
baginya untuk terhindar dari pemidanaan. Saran dalam penelitian ini adalah Hakim dalam menjatuhkan Putusan lebih
mengedepankan nilai-nilai keadilan berdasarkan hati nuraninya agar putusan yang
dijatuhkan tidak menimbulkan kedzoliman bagi pihak-pihak yang berperkara baik
dengan logika penalaran hukum maupun lebih menggali dan pro aktif mencari
Afadya Faisal Dhio Auli
bukti-bukti terkait permasalahan dalam delik yang di dakwakan serta melihat
akibat lain dari perbuatan pelaku tindak pidana perkawinan siri. Kata Kunci: Pertimbangan Hukum, Hakim, Perkawinan Siri.1412011015 AFADYA FAISAL DHIO AULI-2022-04-14T04:43:20Z2022-04-14T04:43:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59780This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/597802022-04-14T04:43:20ZANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PRAKTIK PROSTITUSI
BERMODUS KAWIN KONTRAK
(Studi Kasus di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor)Prostitusi atau biasa disebut pelacuran telah ada sebelum peradaban modern, pada
zaman dahulu prostitusi telah ada dan menjadi gambaran masa tersebut. Salah satu
contoh studi kasus prostitusi bermodus kawin kontrak terjadi di Bogor dan Jakarta.
Permasalahan yang ada dalam penelitian ini membahas soal Faktor penyebab
terjadinya praktik prostitusi bermodus kawin kontrak, dan upaya penanggulangan
terjadinya praktik prostitusi bermodus kawin kontrak.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa: Faktor penyebab terjadinya prostitusi kawin
kontrak di wilayah Bogor ialah faktor lingkungan, faktor ekonomi, faktor
pendidikan. Faktor lingkungan dalam penelitian ini berkaitan dengan kondisi
lingkungan sekitar di wilayah Bogor. Kondisi masyarakat yang ada di wilayah
Bogor memiliki kontrol sosial yang lemah. Faktor yang kedua adalah faktor
ekonomi yang mempengaruhi terjadinya kegiatan prostitusi bermodus kawin
kontrak. Faktor ekonomi dalam hal ini berkaitan dengan kondisi keuangan dari para
pelaku prostitusi bermodus kawin kontrak. Ketiga, faktor pendidikan yang rendah
menjadi salah satu faktor yang dominan untuk menjadi faktor terjadinya kegiatan
prostitusi bermodus kawin kontrak di wilayah Bogor. Upaya penanggulangan
dibagi menjadi dua, yaitu menggunakan sarana penal dan saran non-penal pertama,
upaya penanggulangan penal dan kedua upaya non-penal. Upaya penal tentunya
merupakan penanganan melalui jalur hukum dan pengadilan bila memenuhi unsur
dari pasal-pasal terkait. Kedua ialah upaya non-penal yang terdiri atas tiga tindakan.
Pertama, ialah melakukan pengecekan visa bagi Warga Negara Asing yang berada di wilayah terkait. Kedua, melaksanakan tindakan razia gabungan antara berbagai
pihak seperti Polisi, Satpol pp dan Tentara Negara Indonesia di tempat-tempat yang
terindikasi menjadi lokasi prostitusi. Ketiga, tindakan selanjutnya ialah melakukan
sosialisasi bagi para masyarakat sekitar lokalisasi untuk membantu masyarakat
sadar akan dampak buruk dari kegiatan ini.
Saran yang perlu dilakukan ialah membentuk satuan tugas khusus di dalam lembaga
Polres kabupaten Bogor untuk mentertibkan kegiatan ini. Selain itu, kepolisian
berkordinasi dengan warga setempat untuk berkontribusi dalam penanganan
permasalahan kegiatan prostitusi kawin kontrak di Kabupaten Bogor
Kata Kunci: Kawin Kontrak, Prostitusi, Tindak Pidana.1612011144 YOGA AJI BAGASKARAyogaaji07@gmail.com2022-04-14T04:05:17Z2022-04-14T04:05:17Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59759This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/597592022-04-14T04:05:17ZStudi Komparasi Double Track System dalam Sistem Pemidanaan pada KUHP dan Rancangan KUHP 2019Indonesia menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. KUHP yang saat ini menjadi acuan utama dalam pemidanaan menerapkan double track system pada stelsel sanksinya, namun tidak mengakomodasi secara komprehensif mengenai jenis sanksi tindakan dan kurang memuat aturan mengenai bentuk sanksi pidana lain sebagai alternatif dari pidana penjara. Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitan ini yaitu berfokus pada pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan pada KUHP dan Rancangan KUHP 2019, serta perbandingan double track system dalam sistem pemidanaan pada KUHP dengan Rancangan KUHP 2019. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk mengetahui pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan pada KUHP dan Rancangan KUHP 2019, serta perbandingan double track system dalam sistem pemidanaan pada KUHP dengan Rancangan KUHP 2019.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan pendekatan yuridis empiris melalui wawancara secara mendalam dengan beberapa narasumber. Data yang digunakan adalah data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang masing-masing bersumber atau diperoleh dari lapangan dan kepustakaan, kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan pada KUHP terdapat pada Pasal 10 KUHP yang memuat sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, serta Pasal 44 KUHP yang memuat sanksi tindakan yang diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab. Sedangkan pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan pada RKUHP 2019 terdapat pada Pasal 64 s.d. Pasal 131 yang telah mengatur secara menyeluruh mengenai sanksi pidana dan tindakan terhadap pelaku tindak pidana.
Perbedaan pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan antara KUHP dengan Rancangan KUHP 2019 di antaranya terdapat dalam hal perumusan jenis sanksi, subjek hukum yang dapat dikenai sanksi, dan pola penjatuhan sanksi. Pengaturan double track system dalam sistem pemidanaan pada RKUHP 2019 yang lebih komprehensif serta memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, negara, korban, dan pelaku, menjadikan RKUHP 2019 lebih baik apabila dibandingkan dengan KUHP.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah agar Pemerintah sebaiknya memberikan ruang yang lebih luas untuk memungkinkan penjatuhan jenis sanksi lain sebagai alternatif dari pidana penjara, yang sedapat mungkin tidak sebatas mengarah hanya pada pembalasan, melainkan lebih diharapkan untuk melakukan pencegahan. Serta agar Pemerintah dapat menyegerakan pengesahan RKUHP 2019 menjadi KUHP untuk memperkuat kedudukan RKUHP 2019 sebagai induk dari hukum pidana materiil yang tidak hanya lebih sempurna dari KUHP dalam pengaturan double track system, namun juga selaras dengan pengaturan double track system yang pernah diatur dalam ketentuan pidana lain di luar KUHP.
Kata Kunci: Double Track System, Sistem Pemidanaan, KUHP, Rancangan KUHP 20191812011102 Nirmala Rosanirmalarosa16@gmail.com2022-04-13T01:37:20Z2022-04-13T01:37:20Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/59543This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/595432022-04-13T01:37:20ZANALISIS PENERAPAN TILANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT) DALAM UPAYA MENGURANGI PELANGGARAN LALU LINTAS
(Studi di Polresta Bandar Lampung)
Tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) adalah digitalisasi proses tilang dengan memanfaatkan teknologi agar seluruh proses tilang semakin efisien dan semakin efektif. Penilangan umumnya dilakukan oleh Polisi dengan langsung memberhentikan pengendara, namun seiring perkembangan teknologi dan informasi kini tilang telah menggunakan sistem elektronik yang saat ini dikenal dengan tilang elektronik. Pada Kota Bandar Lampung telah diterapkan tilang elektronik sejak Selasa, 23 Maret 2021. Permasalahan yang diangkat menjadi topik penelitian ini adalah bagaimana proses dan prosedur pelaksanaan tilang elektronik dalam upaya mengurangi pelanggaran lalu lintas di Bandar Lampung dan apakah yang menjadi kendala dalam penerapan tilang elektronik dalam upaya mengurangi pelanggaran lalu lintas di Bandar Lampung.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan sumber datanya yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, dan studi lapangan. Data kemudian diolah dan pengolahannya meliputi seleksi data hingga klasisfikasi dan sistematisasi data yang kemudian dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang diperoleh dari penelitian.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa proses penerapan tilang elektronik diawali dari proses penangkapan pelanggar oleh kamera tilang, proses validasi oleh pihak Satlantas Polresta Bandar Lampung, proses konfirmasi melalui pengiriman surat konfirmasi kepada pemilik kendaraan, dan terakhir setelah terkonfirmasi maka kepolisian akan melakukan proses penilangan. Kendala pada penerapan tilang elektronik di Bandar Lampung adalah dari faktor sarana dan fasilitas yaitu jumlah titik penerapan dan kualitas alat serta sistem yang masih minim, juga faktor substansi hukum yang hanya masih mengatur terkait kedudukan hukum dari alat perekam saja. Faktor aparat penegak hukum dan faktor masyarakat juga menjadi kendala karena aparat penegak hukum masih kurang dalam memberi sosialisasi dan masyarakat juga masih banyak yang menjual/membeli kendaraan tanpa disertai perpindahan kepemilikan yang sah.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya pihak kepolisian tetap berjaga secara manual di titik-titik rawan pelanggaran walaupun telah dipasang kamera tilang elektronik dan kamera pengawas. Kemudian untuk menanggulangi kendala-kendala dalam penerapan tilang elektronik di Bandar Lampung dapat ditanggulangi dengan memperbanyakan kamera tilang elektronik, meningkatkan kualitas alat dan sistem tilang elektronik, pematangan sosialisasi kepada masyarakat sekaligus pembuatan papan pemberitahuan penerapan tilang elektronik dititik-titik penerapan tilang elektronik di Bandar Lampung.
Kata Kunci : Tilang Elektronik, ETLE, Pelanggaran Lalu Lintas, Satlantas.
1812011060 AGUNG SURYADI SIMBOLONagungsimbolon88@gmail.com2022-04-08T07:26:16Z2022-04-08T07:26:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58882This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/588822022-04-08T07:26:16ZANALISIS KRIMINOLOGIS KEJAHATAN PENANGKAPAN IKAN
MENGGUNAKAN BAHAN PELEDAK OLEH NELAYAN
DI WILAYAH PERAIRAN PROVINSI LAMPUNG
Kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak merupakan suatu
perbuatan yang melanggar hukum. Kejahatan penangkapan ikan ini merupakan
tindak kejahatan yang melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
tentang Bahan Peledak dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Kejahatan penangkapan ikan ini merupakan tindakan yang merusak lingkungan
laut dan dapat membahayakan nelayan dari dampak digunakannya bahan peledak
dalam menangkap ikan. Tindakan yang dilakukan oleh nelayan tersebut
merupakan suatu kejahatan yang harus diperhatikan agar tidak terulang kembali
dikemudian hari sehingga diperllukan analisis secara kriminologis dalam
menentukan kejahatan yang dilakukan oleh nelayan yang berperan sebagai pelaku
kajahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Rumusan masalah dari
penelitian penulis adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan
penangkapan ikan menggunakan bahan peledak oleh nelayan di wilayah perairan
Provinsi Lampung, modus operandi yang dilakukan dalam melakukan kejahatan
penangkapan ikan menggunakan bahan peledak oleh nelayan di wilayah perairan
Provinsi Lampung, dan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak oleh nelayan di wilayah perairan Provinsi Lampung.
Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam melakukan penelitian adalah
menggunakan metode yuridis empiris. Dalam mengumpulkan data menggunakan
pengumpulan data secara primer dan secara sekunder serta menggunakan sumber
data primer, sekunder dan tersier yang diperlukan sesuai keterangan-keterangan
yang terkait dengan permasalahan. Adapun narasumber dalam penelitian ini
adalah Penyidik Dirutpolairud Provinsi Lampung, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Dinas Perikanan Provinsi Lampung,Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, dan Nelayan pelaku kejahatan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak. Analisis data yang dilakukan adalah analisis
kualitatif.Muhammad Humam Ghiffary
Hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis dari penelitian yang telah dilakukan
adalah faktor-faktor yang menyebabkan pelaku kejahatan penangkapan ikan
menggunakan khususnya nelayan di wilayah perairan Pesawaran adalah adanya
faktor ekonomi kehidupan pelaku kejahatan yang kurang mencukupi
kehidupannya, faktor lingkungan pelaku kejahatan yang ikut mendorong pelaku
dalam melakukan tindak kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan
peledak, dan faktor pendidikan pelaku kejahatan yang dinilai masih rendah.
Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak khususnya oleh nelayan di wilayah perairan
Pesawaran adalah menggunakan cara yang dilakukan dengan cara melempar
bahan peledak/bom ke arah tempat ikan berkumpul dan memberikan pemberat
pada bahan peledak agar bahan peledak tersebut tenggelam dan kemudian
meledak. Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
menanggulangi kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak berupa
tindakan preventif dan represif.
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran perlu adanya koordinasi
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun dinas terkait untuk lebih
memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut agar dapat
mencegah terjadinya kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak.
Apabila dilihat dari modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan
penangkapan ikan menggunakan bahan peledak tersebut, maka penulis
menyarankan kepada pemerintah serta dinas terkait untuk lebih memperketat
penjualan serta penyebaran bahan bahan-bahan serta alat-alat yang digunakan
untuk membuat bahan peledak dalam penangkapan ikan serta memperketat izin
dalam produksi bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat bahan peledak.
Untuk upaya aparat penegak hukum, perlu adanya koordinasi yang baik antara
dinas terkait yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum untuk lebih bisa
bersinergi dan bekerja sama dalam menanggulangi kejahatan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak oleh nelayan di wilayah perairan Provinsi Lampung.
Kata kunci : Kriminologis, Kejahatan Penangkapan Ikan, Nelayan,
Penggunaan Bahan Peledak1812011124 Muhammad Humam Ghiffaryhumamghiffary10@gmail.com2022-04-07T08:02:24Z2022-04-07T08:02:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58850This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/588502022-04-07T08:02:24ZANALISIS PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor 16/Pid.Sus-Anak/2019/PN Gns.)
Penyalahgunaan narkotika sering kali melibatkan anak di bawah umur. Dalam hukum di Indonesia anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau kejahatan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, pelaku didorong untuk mendapat pendidikan atau masuk ke pelayanan masyarakat, namun jika harus dipidana , pasal 81 menjelaskan bahwa hukuman pidana anak paling lama dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Celakanya dinegeri kira, ketentuan UU SPPA ini yang kemudian dipergunakan para bandar narkotika untuk mengeksploitasi anak. Hal ini sebagaimana yang terjadi di TERUSAN bin ROMZAH dan SLAMET bin SUDARTO yang terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana, “Secara tanpa hak menjual Narkotika Golongan I bukan tanaman”. Dengan menjatuhkan pidana kepada anak I dan II masing-masing selama 7 bulan di LPKA Bandar Lampung di pesawaran, dan selama 2 bulan LPKS. Untuk menggali permasalahan secara komprehensif rumusan penelitian ini adalah bagaimana penerapan pidana terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika berdasarkan Putusan Nomor 16 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN Gns.? Mengapa Hakim Menjatuhkan Hukuman Pidana Kurungan terhadap Anak sebagai pelaku Penyalahgunaan Narkotika berdasarkan Putusan Nomor 16 / Pid.Sus-Anak / 2019 / PN Gns.?
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber dalam penelitian ini adalag Hakim Anak Pengadilan Negeri Gunung Sugih, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian menemukan bahwa alah satu teori yaitu Deviant place Theory mengatakan bahwa faktor tempat tinggal/lingkungan pelaku tindak pidana sangat berpengaruh sehingga adanya rasa keingintahuan yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan sekitar yang menyebabkan adanya gejala sosial seperti penyalahgunaan Narkotika. Selain itu berkaitan dengan lingkungan sekunder dimana bukan lagi pengaruh dari keluarga melainkan lingkungan tempat si anak berinteraksi sosial.
Penulisan ini membahas bahwa kedudukan korban berasal dari faktor lingkungan sekitar. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku penyalahguna narkotika adalah korban atas dirinya sendiri. Kasus yang berkaitan dengan narkotika tidak semata-mata harus dengan penjatuhan pidana, melainkan dengan upaya medis dan kerja sosial. Dalam UU SPPA menyebutkan bahwa pembinaan dan pembimbingan anak. Perlindungan hukum mengenai sistem rehabilitasi merupakan upaya setelah terjadinya penyalahgunaan narkotika atau yang lebihdikenal dengan upaya represif. Tetapi, ada pun cara perlindungan lain seperti yang berkaitan dengan Deviant place theory bahwa perlunya kajian kembali mengenai tempat tinggal/lingkungan si anak berada.
Saran yang diberikan yaitu hendaknya aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial dengan dilakukannya pelatihan dan pembinaan terhadap sang anak. Seharusnya para penegak Hukum dan Instansi yeng berwenang lebih giat dalam mensosialisasikan Undang-undang mengenai ancaman pidana bagi anak yang menyalahugunakan Narkotika, Sosialisasi harus lebih diupayakan oleh BNNP serta pengawasan oleh orang tua harus diperketat untuk melindungi anak dari bahaya narkoba.
Kata Kunci : Penerapan Pidana, Anak, Narkotika
1712011204 Muhamad Octovyadi Moctovyadi16@gmail.com2022-04-07T07:49:45Z2022-04-07T07:49:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58798This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/587982022-04-07T07:49:45ZANALISIS PELAKSANAAN REHABILITASI MEDIS BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA PUBLIK FIGUR Rehabilitasi medis merupakan suatu kewajiban bagi korban penyalahguna narkotika yang termuat dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya ini dapat diberikan kepada para pihak yang menjadi korban dan pihak yang berkebutuhan akan barang haram tersebut termasuk salah satunya adalah publik figur. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan upaya pembimbingan menuju kehidupan yang lebih baik. Guna menjawab pertanyaan yang bergelut di masyarakat penelitian ini menentukan rumusan masalah sebagai berikut yakni Bagaimanakah pelaksanaan rehabilitasi medis bagi penyalahguna narkotika publik figur? Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan rehabilitasi medis bagi penyalahguna narkotika publik figur? Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Untuk sumber data penelitian ini adalah data primer dan juga data sekunder. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang dalam proses penyusunannya dilakukan secara deduktif guna mendapatkan sebuah kesimpulan. Narasumber yaitu Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung, Penyidik Kepolisian Daerah Provinsi Lampung, serta Akademisi Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi medis merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan kepada siapapun yang telah melakukan penyalahgunaan narkotika baik masih dalam tahap penyidikan maupun sudah masuk dalam tahap putusan pengadilan. Pada dasarnya pelaksanaan rehabilitasi medis untuk korban penyalahguna narkotika tidak harus menunggu putusan dari pengadilan karena penentuan rehabilitasi medis sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik. Tidak terdapat perbedaan antara masyarakat umum dengan publik figur dalam hal pelaksanaan rehabilitasi medis atas penyalahgunaan narkotika, publik figur dan masyarakat umum semuanya sama apabila dilihat dari perspektif hukum, karena pelaksanaan rehabilitasi medis bukan dilihat dari siapakah yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika namun dilihat dari seberapa layak untuk diberikan rehabilitasi medis yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari penyidik dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku.
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan rehabilitasi medis bagi korban penyalahguna narkotika publik figur yaitu, faktor penegak hukum yang mana terkait dengan kinerja dari penegak hukum itu sendiri yang masih kurang baik sehingga seringkali penegak hukum ikut serta bermain dalam kasus tindak pidana narkotika yang mana pelaksanaan rehabilitasi medis sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik sehingga sudah seharusnya sebagai penegak hukum mereka harus menegakkan hukum secara adil dan benar. Ada juga faktor sarana dan prasarana yang masih perlu adanya tambahan lokasi rehabilitasi disetiap provinsi di Indonesia dan juga disetiap lokasi rehabilitasi harus ada ruangan khusus yang tertutup dan nyaman supaya memudahkan pelaksanaan rehabilitasi medis bagi penyalahguna narkotika. Selain dari pada itu ada faktor dari masyarakat yang masih kurang pemahaman tentang hukum yang akhirnya muncul perasaan masa bodo di kalangan masyarakat itu sendiri.
Saran yang diberikan yaitu perlu adanya peningkatan dalam hal pelaksanaan rehabilitasi medis bagi korban penyalahguna narkotika publik figur maupun masyarakat umum oleh semua pihak yang berwenang dalam pelaksanaan rehabilitasi medis supaya korban penyalahguna narkotika dapat pulih dan kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologi, sosial, dan spiritual. Perlu adanya tindakan yang tegas terhadap penegak hukum yang ikut serta dalam kasus tindak pidana narkotika dan lebih diperbanyak sosialisasi tentang hukum kepada masyarakat agar masyarakat lebih paham tentang hukum, karena penegak hukum dan masyarakat merupakan faktor signifikan yang menghambat pelaksanaan rehabilitasi medis bagi korban penyalahguna narkotika.
Kata Kunci : Rehabilitasi Medis, Narkotika, Publik Figur 1712011201 DAFFAZIO FACIRA PUTRA daffaziofp28@gmail.com2022-04-06T07:03:34Z2022-04-06T07:03:34Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58550This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585502022-04-06T07:03:34ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN
PENEREBOS PALANG PINTU KERETA APIPerkembangan moda transportasi di Indonesia setiap tahunnya semakin
meningkat, salah satunya adalah moda transportasi kereta api. Hal tersebut
membuat sarana transportasi jalan raya sering sekali membentuk pertemuan
dengan sarana transportasi jalan rel. Pertemuan tersebut dinamakan perlintasan
sebidang. Beberapa kecelakaan di perlintasan sebidang adalah murni kecelakaan
lalu lintas akibat pelanggaran pengendara kendaraan bermotor, roda empat, dan
pengendara lainnya menerobos palang pintu kereta api di perlintasan sebidang,
untuk itu permasalahan penulis buat : (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana
terhadap pelanggaran penerobos palang pintu kereta api ? (2) Apakah faktor
penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran penerobos palang
pintu kereta api ?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan masaalah yuridis normatif adalah pendekatan dalam
bentuk usaha mencari kebenaran berdasarkan norma-norma atau peraturan
perundang-undangan yang mengikat serta mempunyai konsekuensi hukum yang
jelas sebagaimana yang tertera di dalam literatur-literatur hukum berupa buku
referensi dan sumber hukum lainnya. Pendekatan yuridis empiris adalah
pendekatan yang digunakan dengan metode wawancara langsung kepada 1 orang
Penyidik Sub Direktorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Polda Metro Jaya, 1
orang Petugas Perlintasan kereta api Senen Jakarta, dan 1 orang Akademisi
Bagian Hukum Pidana FH Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang telah di olah kemudian di
analisis dengan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan penegakan hukum pidana
terhadap pelanggaran penerobos palang pintu kereta api dilakukan proses
pemeriksaan Tilang sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor
80 Tahun 2016 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 dilakukan dengan sistem pemeriksaan acara cepat. Beberapa faktor
Nadia Mayang Sari
penghambat dalam penelitian ini yaitu dari Faktor Hukumnya (undang-undang),
Faktor Penegak Hukum, Faktor Sarana atau Fasilitas dan Faktor Masyarakat dan
Kebudayaan.
Saran yang dapat penulis berikan adalah perlu adanya kesadaran hukum baik dari
sisi pelanggar, aparat penehakan hukum maupun dari sisi pemerintah serta pula di
tingkatkannya kerja sama antar jaringan lembaga penegak hukum dalam
menyelesaikan perkara pelanggaran lalu lintas khususnya pelanggaran menerobos
palang pintu kereta api.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pelanggaran Lalu Lintas, Penerobosan
Palang Pintu Kereta Api
1512011041 Nadia Mayang Sari-2022-04-06T06:58:45Z2022-04-06T06:58:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58546This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585462022-04-06T06:58:45ZANALISIS AKIBAT HUKUM SAKSI VERBALISAN
(Studi kasus Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Kalianda)Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim dipergunakan dalam
penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan
pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. Tujuan penelitian adalah untuk
memahami kekuatan hukum keterangan saksi penyidik (Verbalisan) dari pihak
kepolisian dalam proses penegakan hukum dan faktor penghambat atas upaya
dalam menghadirkan saksi penyidik (Verbalisan) dari pihak kepolisian dalam
proses penegakan hukum. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
kekuatan hukum keterangan saksi penyidik (Verbalisan) dari pihak kepolisian
dalam proses penegakan hukum? dan apakah faktor yang menjadi penghambat
dalam menghadirkan saksi penyidik (Verbalisan) dari pihak kepolisian dalam
proses penegakan hukum?.
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis empiris yaitu dengan melakukan
penelitian langsung di lokasi penelitian dengan melihat, bertanya dan mendengar
dari pihak-pihak yang terkait. Sumber data yang di dapat dengan menggunakan
data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara
studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Kekuatan hukum
keterangan saksi penyidik (verbalisan) dari pihak kepolisian dalam proses
penegakan hukum diperlukan apabila dalam pemeriksaan sidang pengadilan saksi
dan atau terdakwa memungkiri keterangan yang ada berita acara penyidikan
karena adanya unsur paksaan atau tekanan baik itu berupa tekanan mental
maupun fisik dari pihak penyidik pada waktu pembuatan berita acara penyidikan,
sehingga menyebabkan fakta-fakta hukum yang di dapat dalam pemeriksaan
pengadilan menjadi kurang jelas. Faktor yang menjadi penghambat dalam
menghadirkan saksi penyidik (verbalisan) dari pihak kepolisian dalam proses
penegakan hukum adalah Kekuatan pembuktian saksi verbalisan sebagai alat
bukti dalam persidangan adalah bersifat bebas, tidak mengikat dan tidak
menentukan bagi hakim. Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat
pada keterangan saksi verbalisan ini.
Saran, Jaksa Penuntut Umum sebaiknya setelah proses penyidikan dimulai
akan menerima surat pemanggilan untuk mengawasi proses pemeriksaan
ditingkat penyidikan agar kelak didalam persidangan penyangkalan atau
pencabutan keterangan oleh terdakwa maupun saksi dapat dihindari sehingga
kelak saksi verbalisan tidak perlu dihadirkan dalam proses persidangan. Hakim
tidak lantas langsung percaya dengan keterangan yang diberikan, melainkan
menimbang secara seksama serta mencari kesesuaian antara keterangan saksi
verbalisan dengan alat-alat bukti yang lain.
Kata Kunci: Analisis, Akibat Hukum, Saksi Verbalisan1412011291 MUKTI KY JANGKUNG-2022-04-06T06:54:16Z2022-04-06T06:54:16Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58505This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/585052022-04-06T06:54:16ZANALISIS KRIMONOLOGIS TINDAKAN MELARIKAN DIRI DARI
RAZIA KEPOLISIAN YANG MENYEBABKAN PETUGAS KEPOLISIAN
MENJADI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS
(Studi Pada Polres Pesawaran)
The Hit-and-Run accident which has caused one police officer to become victim
is a traffic accident where the perpetrator was not responsible, abandoned the
victim and not stopping his vehicles. This accident indicated that there are still
many drivers who are less cooperative when dealing with vehicle raids and traffic
discipline. The problems in this thesis are formulated as follows: What are factors
causing a hit-and-run that has caused a police officer to become a victim and how
is the effort to deal with a hit-and-run accident that has caused a police officer to
become a victim?
This study applied normative and empirical approaches. Data: literature study and
field study. Data analysis: qualitative. The informants in this study consisted of
Pesawaran Police Investigator, Pesawaran Police Traffic Unit and a Criminal
Law Academics at the Faculty of Law, University of Lampung.
The results of research and discussion showed that: The factors that cause a hit-
and-run consisted of two factors namely; personal factor, in this case the
negligence of the driver and the society assumption that a hit-and-run was just an
ordinary accident; situational factor, in which the perpetrator of the hit-and-run
accident tried to escape from his legal liability. Among the hit-and-run prevention
efforts, the Police Traffic Unit of Pesawaran applied pre-emptive efforts in form
of counseling and environmental development; while the preventive efforts were
carried out by conducting socialization, ticketing the perpetrators of traffic
violations, increasing police vehicle operations (raids) periodically, and installing
traffic signs along the road. While the repressive effort was to impose a
punishment against hit-and-run perpetrators.
The suggestion for this study is the need for public awareness to obey the rules of
the law and the applicable rules so that it can decrease the level of traffic
violations; and further to improve legal awareness in form of spreading
knowledge how to do an appropriate and correct traffic activity. Then the Police
Traffic Unit of Pesawaran should continue improving socialization and outreach
services to all levels of society regarding the appropriate and correct traffic
procedures and conduct the regular motor vehicle police operations (raids) that do
not meet the standards according to the applicable procedures or rules as well as
to provide education to every member of the police force not to carry out extortion
practices against traffic violations so the vehicle drivers will be more relax to face
the raid operation.
Keywords: Analysis, Criminology, Hit-and-Run.1542011026 MUHAMMAD YUSUF-2022-04-06T01:47:00Z2022-04-06T01:47:00Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58318This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583182022-04-06T01:47:00ZPENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENGHINAAN DAN ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL
(Studi Putusan Nomor 204/Pid.Sus/2021/PN.Tjk)
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi tidak hanya membawa dampak positif namun juga dapat membawa dampak yang negatif seperti menimbulkan kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi internet, atau dalam istilah asing sering disebut cybercrime. Salah satu yang marak di dunia maya adalah penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informas idan Transaksi Elektronik. Permasalahan dalam skripsi adalah penegakan hokum pidana dan pertimbangan hakim pada pelaku penghinaan dan atau pencemaran nama baik melalui media sosial melalui Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 204/Pid.Sus/2021/PN.Tjk. Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah penegakan hokum pidana pada pelaku penghinaan dan atau pencemaran nama baik melalui media social melalui Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 204/Pid.Sus/2021/PN Tjk? (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim memutuskan perkara penghinaan dan atau pencemaran nama baik melalui Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 204/Pid.Sus/2021/PN.Tjk?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris dimana penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan juga dilakukan dengan mempelajari hokum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penghinaan dan atau pencemaran nama baik melalui media sosial dilakukan melalui tiga tahapan yaitu formulasi, aplikasi oleh aparat penegak hukum dan eksekusi.Tahap formulasi yang berarti pemeberian pasal kepada pelaku, lalu tahap aplikasi oleh aparat penegak hukum yang dimulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, dan tahap eksekusi yang dimana Hakim menjatuhkan putusannya dengan tidak menahan pelaku dikarenakan masa percobaan dibawah 10 bulan. Selanjutnya Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 204/Pid.Sus/2021/PN Tjk sudah mempertimbangkan semua aspek sehingga pada akhirnya keputusan yang dibuatdengan menitikberatkan pada keadilan dan kepentingan semua pihak.
Pada akhirnya disarankan Penulis kepada hakim adalah dalam membuat suatu keputusan sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hokum dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.
Kata Kunci: Penegakan, Hukum Pidana, Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, Media Sosial
1652011192 YOSHUA P. NAINGGOLANyoshua.nainggolan@gmail.com2022-04-06T01:26:24Z2022-04-06T01:26:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/58317This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/583172022-04-06T01:26:24ZANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN MOBIL RENTAL DI WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG
Penegakan hukum apabila ditinjau dari sudut subjeknya dapat dilihat dari subjek yang luas dengan melibatkan semua subjek hukum dalam setiap melakukan sesuatu dengan dasar norma dan aturan hukum yang berlaku. sedangkan dalam arti yang terbatas hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, pelaku yang diancam karena penggelapan dengan pidana paling lama empat tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah, timbul permasalahan hukum dimana denda dan hukuman tersebut tidak sebanding dengan apa yang dialami korban, juga terdapat permasalahan dimana tinggi nya kasus penggelapan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan jumlah penyelesaian kasus nya, atau dapat dikatakan tidak seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami serta menganalisa penegakan hukum pidana dan faktor penghambat penegakan hukum tersebut terhadap pelaku penggelapan kendaraan bermotor khususnya pada bidang usaha rental mobil. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, yang mana menggunakan tekhnik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan dan dilengkapi dengan narasumber yaitu penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan kesimpulan yang didapat ialah menunjukkan bagaimana upaya penegakan hukum dalam menanggulangi tindak pidana penggelapan mobil rental yang terjadi di Kota Bandar Lampung melalui Tindakan non penal dengan dilakukan sosialisasi kepada pemilik mobil rental untuk lebih waspada saat bertransaksi dan sosialisasi melalui program “Jaksa Menyapa” ke masyarakat. Serta dengan upaya penal yang dilaksanakan dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana penggelapan mobil rental. Dalam tahap formulasi dalam tahap formulasi, Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan kendaraan rental yaitu dikarenakan substansi hukum yang relatif rendahnya ancaman yaitu hanya maksimal selama 4 (empat) tahun, dimana hal ini dirasa masih dianggap kurang dan tidak sebanding dengan apa yang dirugikan dari korban. Dan terkait penegak hukumnya dapat dikatakan masih kurangnya kordinasi antara aparat penegak hukum antar daerah, masih kurangnya koordinasi antar penegak hukum dan masyarakat
Saran dalam peneitian ini yaitu diharapkan adanya kordinasi yang baik antara Aparat penegak hukum dan masyarakat untuk mencegah terulangnya tindak pidana penggelapan kendaraan rental , serta masyarakat diharapkan dapat bekerjasama dan bersifat terbuka dengan kepolisian dalam pencarian pelaku dan barang bukti. Juga aparat penegak hukum hendaknya lebih memperhatikan korban dan meningkatkan kewaspadaan dalam penanganan tindak pidana penggelapan mobil rental .
Kata kunci : Penegakan Hukum, Penggelapan, Mobil Rental 1812011178 ENDI PRATAMApratamaendi00@gmail.com2022-03-31T18:54:24Z2022-03-31T18:54:24Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57156This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571562022-03-31T18:54:24ZPENERAPAN PRIMUM REMEDIUM TERHADAP
ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(Studi di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)
Saat ini banyak kejahatan yang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi
juga oleh Anak dan rentang usianya 6 sampai 17 tahun, Kasus Anak yang
berhadapan dengan hukum sebagian besar berakhir pada pemidanaan, mayoritas
pelakunya adalah Anak Laki-laki . Permasalahan dalam Tesis ini adalah :
Bagaimanakah Penerapan Primum Remedium terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana, dan Mengapa Hakim menjatuhkan pidana terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan empiris. Jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh
dianalisis secara yuridis kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Penerapan primum remedium dalam
mekanisme prosesnya dilakukan melaui tahap penyidikan yang dilakukan melalui
pendekatan secara efektif dan simpatik, kemudian pada proses penuntutan dimana
dalam penuntutan dilakukan berdasarkan fakta persidangan dari keterangan saksisaksi dan keterangan terdakwa dan disesuaikan dengan tindak pidana yang
didakwakan. Selanjutnya pada tahap persidangan hakim sebelum menjatuhkan
putusan memberikan kesempatan kepada orang tua/wali/pendamping untuk
mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak. Namun terdapat hambatan yang
dihadapi aparat penegak hukum diantaranya adalah kurangnya kerjasama antar
pihak yang terlibat. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
berdasarkan Pertimbangan yuridis dan non yuridis, serta hal yang meringankan
dan memberatkan terdakwa, namun dalam pertimbangan non yuridis tidak selalu
digunakan oleh hakim, karena dilihat dari tingkat keseriusan tindak pidana yang
dilakukan oleh Anak.
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka penulis menyarankan agar Perlu bagi
penegak hukum yang meyelesaikan perkara anak untuk benar-benar memahami
asas-asas hukum, hak-hak anak serta peraturan dalam Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang adil tetapi dapat
memberikan efek jera sehingga kejahatan yang dilakukan oleh anak dapat
berkurang.
Kata Kunci : Primum Remedium, Anak, Tindak Pidana
At present there are many crimes that are not only committed by adults but also
by children and range from 6 to 17 years, the case of children dealing with most
of the law ends in punishment, most of the perpetrators of crime are boys. The
problems in this Thesis are: How is the Application of Primum Remedium to
Child as an Offender, and Why do Judge's impose criminal sanction to Child as an
Offender.
This study uses a normative and empirical juridical approach. The types of data
used are primary data and secondary data. The data obtained were analyzed
qualitatively juridically and deductively drawn conclusions.
The results of the study show that in the primum remedium application in the
mechanism of the process was carried out through the stages of investigation
carried out through an effective and sympathetic approach, then in the prosecution
process where the prosecution was carried out based on the facts of the witness
testimony and the defendant's testimony and was adjusted to the accused crime .
Furthermore, at the trial stage the judge before making a decision provides an
opportunity for parents / guardians / assistants to present things that are beneficial
to the child. However, there are obstacles faced by law enforcement officials
including the lack of cooperation between the parties involved. The basic
consideration of the judge in imposing criminal sanctions based on juridical and
non-juridical considerations, as well as things that alleviate and burden the
defendant, but in non-juridical considerations are not always used by the judge,
because it is seen from the seriousness of the crime committed by the child.
Based on the results of the Research study the authors suggest that it is necessary
for law enforcers to resolve child cases to truly understand the principles of law
and legislation relating to the settlement of child cases so as to produce judicial
decisions that are wise but can provide deterrent effects so that crimes done by
children can be reduced.
Keywords: Primum Remedium, Child, Crime 1722011017 INTAN SYAPRIYANI-2022-03-31T18:53:15Z2022-03-31T18:53:15Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57112This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571122022-03-31T18:53:15ZANALISIS PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN DAN TINDAK PIDANA PERCABULAN
TERHADAP ANAK
Tindak pidana persetubuhan adalah salah satu bagian dari kejahatan kesusilaan
yang dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita itu sendiri dengan memasukan
alat kelaminnya ke dalam vagina (alat kelamin wanita). Tindak pidana pencabulan
adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan seseorang
mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya
yang dapat merangsang nafsu seksual. Dalam hal ini terdapat perbandingan antara
putusan tindak pidana persetubuhan dan tindak pidana percabulan, dimana
putusan tindak pidana persetubuhan tersebut lebih rendah dibandingkan putusan
tindak pidana percabulan.putusan tersebut diantaranya putusan nomor : 72 /
Pid.Sus / 2018 / PN.Kng, putusan nomor : 170 / Pid.sus / 2016 / PN.Kng, putusan
nomor : 313 / Pid.sus / 2018 / PN.Trg, dan putusan nomor : 163 / Pid.Sus / 2015 /
PN.Kng. Permasalahan yang di teliti penulis adalah Bagaimana Perbandingan
Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana
Percabulan Terhadap Anak dengan alat Bukti Visum Et Repertum? Dan Apakah
putusan hakim terhadap tindak pidana percabulan lebih besar dibandingkan
dengan tindak pidana persetubuhan terhadap anak sudah memenuhi rasa keadilan?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan berupa data primer
dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah
kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data yang digunakan analisis data
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Perbandingan
putusan hakim terhadap tindak pidana persetubuhan dan tindak pidana percabulan
terhadap anak dengan alat bukti visum et repertum hakim dalam memeriksa suatu
perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana seperti
yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku. Dalam Visum Et
Reperetum Berdasarkan simpulan, penulis menyarankan hakim dalam memeriksa
suatu perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana
seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku, serta perlunya
kebijakan pemerintah dalam mengubah pasal persetubuhan dan pencabulan di
dalam undang-undang perlindungan anak. Agar kedua pasal tersebut tidak
disamakan penjatuhan hukumannya.
Kata kunci : Perbandingan Putusan Hakim, Pencabulan, Persetubuhan.
The crime of intercourse is one part of the crime of decency committed by a man
against the woman herself by inserting her genitals into the vagina (female
genitalia). The crime of sexual abuse is a crime that contradicts and violates a
person's modesty regarding and relating to the genitals or other body parts that can
stimulate sexual desire. In this case there is a comparison between the conviction
of sexual acts of sexual intercourse and the act of sexual immorality, where the
decision of the criminal act of sexual intercourse is lower than the decision of
sexual acts of sexual immorality. These decisions include decision number: 72 /
Pid.Sus / 2018 / PN.Kng, decision number: 170 / Pid.sus / 2016 / PN.Kng, verdict
number: 313 / Pid.sus / 2018 / PN.Trg, and decision number: 163 / Pid.Sus / 2015
/ PN.Kng. The problems examined by the author are How is the Comparison of
Judges' Decisions Against Child Cutody and Criminal Offenses with Visum Et
Repertum evidence?. And Is the Judges' decision to commit sexual abuse more
than the criminal aet of sexual intercourse with a child has fulfilled a sense of
justice?.
The problem approach in this study uses a normative juridical approach and an
empirical juridical approach, the data used are primary data and secondary data.
Data collection methods in this research are literature and field research. Analysis
of the data used qualitative data analysis.
Based on the results of research and discussion shows that the Comparison of
judges' decisions on sexual offenses and sexual offenses against children with
evidence visum et repertum judges in examining a case at trial must be more
selective, proportionate and prudent as mandated by applicable law . In Visum Et
Reperetum Based on the conclusions, the authors suggest the judge in examining
a case in a trial must be more selective, proportionate and prudent as mandated by
applicable law, as well as the need for government policy in changing the articles
of promiscuity and obscenity in the protection law. child. So that the two articles
are not equated with the sentence imposed.
Keywords: Comparison of Judge's Decisions, Sexual Abuses, Sex.1722011048 MAROJAHAN HUTABARAT-2022-03-31T08:46:29Z2022-03-31T08:46:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57107This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571072022-03-31T08:46:29ZANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TINDAKAN TANGKAP TANGAN
(Studi Menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan tindakan tangkap
tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi publik bahwa
kewenangan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan
melanggar HAM yakni melakukan tindakan yang sewenang-wenang
(unproccedur). Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana
kekuatan hukum tindakan tindakan tangkap tangan KPK jika ditinjau dari aspek
KUHAP dan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan tindak pidana Korupsi? Bagaimana kriteria suatu dugaan tindak
pidana menggunakan tindakan tangkap tangan? Bagaimanakah idealnya KPK
dalam melakukan tindakan tangkap tangan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas
hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum
di lapangan
Adapun hasil penelitian yang didapatkan kekuatan hukum tindakan tangkap
tangan KPK jika di tinjau dari aspek KUHAP dan UU KPK sebenarnya tindakan
tindakan tangkap tangan KPK tidak memiliki dasar hukum kuat dengan adanya
perubahan undang-undang KPK yang baru ini dinyatakan dalam Pasal 12 B UU
KPK bahwa penyadapan sudah dibatasi dalam hal ini penyadapan dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas, Kriteria suatu dugaan
tindak pidana menggunakan tindakan tangkap tangan disebabkan tipe atau kualitas
sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana oleh sebab itu
perlunya dilakukan tindakan tangkap tangan, dan Ideal nya KPK dalam
melakukan tindakan tangkap tangan dibutuhkan sistem administrasi perkara yang
baik mulai dari tahap pengumpulan data dan informasi yang berpijak pada sumber
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, harus sesuai di dalam peraturan
perundang-undangan.
Adapun saran yang dapat dilakukan adalah sebaiknya dasar hukum tindakan
tangkap tangan harus segera dimasukkan di dalam instrument pasal dalam
undang-undang KPK agar kewenangannya pun tidak dipermasalahkan
Kata Kunci: Kewenangan, KPK, Tindakan Tangkap Tangan
The ambiguity regarding the mechanism and limits of the authority of the
arresting operations carried out by the corruption eradication commission raises
public assumption that the authority exercised by the corruption eradication
commission has violated the law and even violated human rights, namely taking
arbitrary actions (unprocedure). The problem in writing this thesis is How can the
legal force of actions be caught red-handed by the Corruption Eradication
Commission if viewed from the aspect of the Criminal Procedure Code and Law
Number 19 Year 2019 Concerning the Corruption Eradication Commission?
What are the criteria for an alleged crime using the act of being caught redhanded? What is the ideal way for the Corruption Eradication Commission to
carry out acts of arrest?
This study uses a Normative and Empirical Juridical approach. Normative
research is conducted on things that are theoretical principles of law, while the
empirical approach is carried out to study the law in the field.
The research results obtained by the legal force of the act of being caught in the
Corruption Eradication Commission if viewed from the aspect of the Criminal
Procedure Code and Law Number 19 Year 2019 Regarding the Corruption
Eradication Commission actually the act of being caught red handed by the
Corruption Eradication Commission does not have a strong legal basis with
changes in the law The new Corruption Eradication Commission stated in Article
12 B of Law Number 19 year 2019 concerning Corruption Eradication
Commission that wiretapping has been limited in this case wiretapping is carried
out after obtaining written permission from the Supervisory Board. Criteria for a
suspected criminal act using an act of being caught red handed due to type or the
quality of the target of corruption is not a simple crime and therefore the need for
an act of being caught red-handed, and Ideally the Corruption Eradication
Commission in Conducting an act of being caught red-handed, it needs a system
of administrative administration. A good team starting from the stage of data and
information collection which is based on an accurate and reliable source of
information, must comply with the laws and regulations.
The suggestion that can be done is that the legal basis for Operation of Catching
Hands must be immediately included in the article instrument in the corruption
eradication commission law so that its authority is not at issue
Keywords: The authority, corruption eradication commission, hand catch action1622011005 FRISCA TYARA M FANHAR-2022-03-31T08:46:28Z2022-03-31T08:46:28Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/57105This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/571052022-03-31T08:46:28ZANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TINDAKAN TANGKAP TANGAN
(Studi Menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan tindakan tangkap
tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi publik bahwa
kewenangan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan
melanggar HAM yakni melakukan tindakan yang sewenang-wenang
(unproccedur). Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana
kekuatan hukum tindakan tindakan tangkap tangan KPK jika ditinjau dari aspek
KUHAP dan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan tindak pidana Korupsi? Bagaimana kriteria suatu dugaan tindak
pidana menggunakan tindakan tangkap tangan? Bagaimanakah idealnya KPK
dalam melakukan tindakan tangkap tangan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas
hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum
di lapangan
Adapun hasil penelitian yang didapatkan kekuatan hukum tindakan tangkap
tangan KPK jika di tinjau dari aspek KUHAP dan UU KPK sebenarnya tindakan
tindakan tangkap tangan KPK tidak memiliki dasar hukum kuat dengan adanya
perubahan undang-undang KPK yang baru ini dinyatakan dalam Pasal 12 B UU
KPK bahwa penyadapan sudah dibatasi dalam hal ini penyadapan dilaksanakan
setelah mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas, Kriteria suatu dugaan
tindak pidana menggunakan tindakan tangkap tangan disebabkan tipe atau kualitas
sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana oleh sebab itu
perlunya dilakukan tindakan tangkap tangan, dan Ideal nya KPK dalam
melakukan tindakan tangkap tangan dibutuhkan sistem administrasi perkara yang
baik mulai dari tahap pengumpulan data dan informasi yang berpijak pada sumber
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, harus sesuai di dalam peraturan
perundang-undangan.
Adapun saran yang dapat dilakukan adalah sebaiknya dasar hukum tindakan
tangkap tangan harus segera dimasukkan di dalam instrument pasal dalam
undang-undang KPK agar kewenangannya pun tidak dipermasalahkan
Kata Kunci: Kewenangan, KPK, Tindakan Tangkap Tangan
The ambiguity regarding the mechanism and limits of the authority of the
arresting operations carried out by the corruption eradication commission raises
public assumption that the authority exercised by the corruption eradication
commission has violated the law and even violated human rights, namely taking
arbitrary actions (unprocedure). The problem in writing this thesis is How can the
legal force of actions be caught red-handed by the Corruption Eradication
Commission if viewed from the aspect of the Criminal Procedure Code and Law
Number 19 Year 2019 Concerning the Corruption Eradication Commission?
What are the criteria for an alleged crime using the act of being caught redhanded? What is the ideal way for the Corruption Eradication Commission to
carry out acts of arrest?
This study uses a Normative and Empirical Juridical approach. Normative
research is conducted on things that are theoretical principles of law, while the
empirical approach is carried out to study the law in the field.
The research results obtained by the legal force of the act of being caught in the
Corruption Eradication Commission if viewed from the aspect of the Criminal
Procedure Code and Law Number 19 Year 2019 Regarding the Corruption
Eradication Commission actually the act of being caught red handed by the
Corruption Eradication Commission does not have a strong legal basis with
changes in the law The new Corruption Eradication Commission stated in Article
12 B of Law Number 19 year 2019 concerning Corruption Eradication
Commission that wiretapping has been limited in this case wiretapping is carried
out after obtaining written permission from the Supervisory Board. Criteria for a
suspected criminal act using an act of being caught red handed due to type or the
quality of the target of corruption is not a simple crime and therefore the need for
an act of being caught red-handed, and Ideally the Corruption Eradication
Commission in Conducting an act of being caught red-handed, it needs a system
of administrative administration. A good team starting from the stage of data and
information collection which is based on an accurate and reliable source of
information, must comply with the laws and regulations.
The suggestion that can be done is that the legal basis for Operation of Catching
Hands must be immediately included in the article instrument in the corruption
eradication commission law so that its authority is not at issue
Keywords: The authority, corruption eradication commission, hand catch action1622011005 FRISCA TYARA M FANHAR-2022-03-25T07:56:09Z2022-03-25T07:56:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56226This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/562262022-03-25T07:56:09ZTINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMUTUSAN PERJANJIAN
KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG
DAN PT PRABU ARTHA DEVELOPER TENTANG PEMBANGUNAN
DAN PENATAAN ULANG PASAR SMEP KOTA BANDAR LAMPUNGPemutusan perjanjian adalah perbuatan yang timbul dari pelanggaran terhadap hak
dan kewajiban para pihak yang saling mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian.
Penulisan sekripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan akibat hukum
pemutusan perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dan PT
Prabu Artha Developer Tentang pembangunan dan penataan ulang Pasar Smep
Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif
dengan didukung data empiris. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum
normatif dan analisis data secara kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara sebagai data pendukung.
Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk teks dan disusun secara
sistematis.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan perjanjian kerjasama Bangun
Guna Serah atau BOT (Build Operate Transfer) Nomor :20/PK/HK/2013, Nomor
:888/PAD/VII/2013 antara pemerintah Kota Bandar Lampung dengan PT Prabu
Artha Developer tentang pembangunan dan penataan ulang Pasar Smep, dan telah
dilakukan Addendum perjanjian kerjasama pada tanggal 7 September 2015
Nomor :23/PK/KH/2015, Nomor :018/IX/PAD/2015 yang telah dibuat dan
ditandatangani para pihak adalah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa, Undang Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi dan Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor
19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang secara
khusus mengatur mengenai perjanjian BOT (Build Operate Transfer). Dimana
para pihak yang telah mengikatkan dirinya untuk melaksanakan hak dan
kewajiban para pihak. tetapi sampai dengan berakhirnya waktu yang diperjanjikan
PT Prabu Artha Developer tidak dapat melenyelesaikan pekerjaan pembangunan
dan penataan ulang Pasar Smep Kota Bandar Lampung sehingga Pemerintah Kota
Bandar Lampung mengambil keputusan untuk memutus perjanjian kerjasama
dengan PT Prabu Artha Developer dikarenakan lalai dalam melaksanakan
tugasnya hal ini telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
diatur dalam pasal 10 ayat (1) addenndum perjanjian yang secara khusus diatur
dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Milik Daerah yang secara khusus mengatur mengenai
perjanjian BOT (Build Operate Transfer).
Akibat hukum pemutusan perjanjian pembangunan dan penataan ulang Pasar
Smep Kota Bandar Lampung adalah Pemerintah Kota Bandar Lampung berhak
menerima Bank Garansi dari PT Prabu Artha Developer sebagaimana tertuang
dalam Pasal 5 dan Pasal 6 addendum perjanjian senilai 5% dari nilai yaitu sebesar
Rp. 14.341.518.375,- (empat belas miliyar tiga ratus empat puluh satu juta lima
ratus delapan belas ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah). tidak hanya itu
pemutusan perjanjian pembangunan dan penataan ulang pasar smep juga
berdampak kepada pihak lain yakni pedagang Pasar Smep yang terkena dampak
berupa uang muka untuk ruko di lokasi yang akan dibangun yang besaran uang
muka senilai Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) s/d Rp.5.000.000,- (lima juta
rupiah) dengan jumlah keseluruhan uang muka kios sebesar Rp. 5.800.000.000,-
(lima miliyar delapan ratus juta rupiah) yang hingga saat ini belum dikembalikan.
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis, Pemutusan Perjanjian, Pembangunan,
Penataan Ulang Termination of the agreement is an act that arises from a violation of the rights
and obligations of the parties that mutually tie themselves into an agreement. The
writing of this description aims to find out the reasons and consequences of the
legal termination of the cooperation agreement between Bandar Lampung City
Government and PT Prabu Artha Developer concerning the development and
rearrangement of Bandar Lampung Smep Market.
This research was conducted using a type of normative legal research supported
by empirical data. This study uses a normative legal approach and qualitative
data analysis. The method of data collection is done by using literature studies
and interviews as supporting data. The collected data is then presented in text
form and arranged systematically.
The results of this study indicate that based on the cooperation agreement for
Build Operate Transfer Number: 20 / PK / HK / 2013, Number: 888 / PAD / VII /
2013 between Bandar Lampung City Government and PT Prabu Artha Developer
regarding development and the rearrangement of Smep Market, and the
Addendum of the cooperation agreement on September 7, 2015 Number: 23 / PK /
KH / 2015, Number: 018 / IX / PAD / 2015 which has been signed and signed by
the parties is in accordance with the provisions of the Legislation regarding
Procurement of Goods and Services, Law Number 2 of 2017 concerning
Construction Services and Minister of Home Affairs Regulation Number 19 of
2016 concerning Guidelines for Regional Property Management which
specifically regulates BOT (Build Operate Transfer) agreements. Where the
parties who have bound themselves to carry out the rights and obligations of the
parties. but until the end of the promised time PT Prabu Artha Developer was
unable to complete the construction work and rearrangement of the Bandar
Lampung Smep Market so that the Bandar Lampung City Government made a
decision to decide on a cooperation agreement with PT Prabu Artha Developer
due to negligence in carrying out its duties. Legislation as stipulated in article 10
paragraph (1) of the agreement which is specifically regulated in the Minister of
Home Affairs Regulation Number 19 of 2016 concerning Guidelines for Regional
Property Management which specifically regulates the BOT (Build Operate
Transfer) agreement
The legal consequences of terminating the development agreement and
rearrangement of the City of Bandar Lampung Smep Market are the Bandar
Lampung City Government entitled to receive a Bank Guarantee from PT Prabu
Artha Developer as stated in Article 5 and Article 6 of the addendum agreement
worth 5% of the value of Rp. 14,341,518,375, - (fourteen billion three hundred
forty one million five hundred eighteen thousand three hundred seventy five
rupiahs). not only that the termination of the construction agreement and the
rearrangement of the smep market also had an impact on other parties, namely
the Smep Market traders who were affected in the form of advances for
shophouses in the location to be built, the amount of advance payments of Rp.
2,000,000 (two million rupiahs) up to Rp.5,000,000 (five million rupiahs) with the
total amount of the kiosk down payment of Rp. 5,800,000,000 (five billion eight
hundred million rupiah) which until now has not been returned.
Keywords: Juridical Review, Termination of Agreement, Development,
Rearrangement1512011133 SALESTINA-2022-03-25T07:56:09Z2022-03-25T07:56:09Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56228This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/562282022-03-25T07:56:09ZANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI DALAM PERLUASAN
DEFINISI TERORISME
(STUDI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018)Untuk mengoptimalkan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu
penguatan landasan hukum yang menjamin pelindungan dan kepastian hukum
dalam pencegahan serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum
masyarakat, dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan
hukum, pelindungan hak asasi manusia, dan kondisi sosial politik di Indonesia.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah urgensi yang
mengakibatkan perlu disahkan secara cepat perluasan definisi terorisme pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan bagaimanakah kebijakan formulasi
dalam perluasan definisi terorisme dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2018.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Anggota Tim
Ahli DPR Rancangan Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018 dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan urgensi perlu disahkan
dengan segera perluasan definisi terorisme pada Undang-Undang
Antiterorisme didukung dengan Landasan Sosiologis yakni Terorisme di
Indonesia telah berkembang masif sepanjang tahun 2018 dan
menimbulkan ketakutan masyarakat yang berdampak pada kehidupan
politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat
yang mengakibatkan perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang
Antiterorisme serta perluasan dalam definisi terorisme agar dapat
memberikan ruang lebih luas kepada aparat penegak hukum serta
penanganan secara khusus dalam menangani terorisme. Dalam Perluasan
definisi terorisme adanya kebijakan formulasi ditandai dengan adanya
perubahan serta penambahan dalam Rumusan Tindak Pidana, Rumusan
Kesalahan/Pertanggung Jawaban Pidana serta Rumusan Pidana dan
Pemidanaan berupa perluasan definisi terorisme, perluasan dan
penambahan klasifikasi tindak pidana yang dapat dikatakan tindak pidana
terorisme serta pemberatan dalam hal pemidanaan.
Saran dalam penelitian ini Dengan diadakannya kebijakan formulasi dalam
definisi terorisme diharapkan dapat mengkibatkan aspek pencegahan
menjadi lebih simultan, terencana dan terpadu demi meminimalisasir
Saphira Amelinda Shalun
terjadinya Tindak Pidana Terorisme serta mengedepankan supremasi
hukum dan hak asasi manusia. Perluasan definisi yang mencakup
permasalahan yang lebih luas dan kongkrit sebaiknya menjadikan para
aparat penegak hukum mampu mencegah sejak dini perkembangan
radikalisme dan aksi terorisme secara lebih komprehensif, sehingga
masyarakat terhindar dari pelbagai bentuk teror dan tindakan-tindakan
yang mencemaskan dan merusak
Kata Kunci: Kebijakan formulasi, perluasan definisi, terorisme. 1512011196 SAPHIRA AMELINDA SHALUN-2022-03-25T07:55:45Z2022-03-25T07:55:45Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56206This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/562062022-03-25T07:55:45ZTinjauan Hukum Ekonomi Islam Terhadap Transaksi Financial Technology (FinTech)
Pada Layanan Peer To Peer Lending Syariah
(Studi Pada Layanan Pinjaman Online PT Investree Radhika Jaya).Platform Peer To Peer Lending Syariah (P2PL) merupakan suatu sarana yang memudahkan
orang-orang yang membutuhkan dana untuk membuka atau mengembangkan usahanya
secara online tanpa harus bertatap muka. Pada praktek muamalah terdapat 2 (dua) pandangan
mengenai pinjam meminjam secara online pada platform berbasis P2PL yaitu pandangan
yang memperbolehkan dan pandangan yang tidak memperbolehkan. Hal tersebut
menimbulkan adanya keragu-raguan yang dirasakan oleh masyarakat untuk melakukan
transaksi pinjam meminjam secara online ini menimbulkan adanya unsur riba’ atau tidak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis syarat dan prosedur layanan Financial
Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending Syariah pada PT Investree Radhika
Jaya dan pandangan Hukum Islam terhadap Layanan Fintech berbasis Peer To Peer Lending
Syariah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis-normatif
dengan tipe deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif. Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data tersebut kemudian
dianalisis secara kualitatif.
Hasil Penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan pandangan dalam hukum islam terhadap
layanan Financial Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending (P2PL). Pandangan
yang memperbolehkan menyatakan bahwa akad pinjam meminjam dalam layanan Financial
Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending (P2PL) adalah akad al-qard dan akad
Wakalah bil ujrah. Sebaliknya dalam Al-Quran dan Al Hadist, implementasi dari Peer To
Peer Lending (P2PL) ini tidak diperbolehkan karena masih mengandung adanya riba’.
Kata Kunci: Financial Technology, Peer To Peer Lending Syariah (P2PL), Hukum
Ekonomi Islam. Peer To Peer Lending Sharia (P2PL) platform is a facility that makes it easy for
people who need funds to open or develop their business without having to meet
face to face. In muamalah practice there are two opinions about lending and
borrowing online on a P2PL-based platform namely opinions that allow and
opinions that do not allow. This raises the doubts felt by the public to conduct
transactions online lending and borrowing that allows the element of riba 'or not.
This study aims to analyze the terms and procedures of Peer To Peer Lending
Sharia-based Financial Technology (Fintech) services at PT Investree Radhika
Jaya and Islamic Legal opinions on Peer To Peer Lending Sharia-based Fintech
Services.
This type of research used in this study is juridical-normative research with
descriptive type. The problem approach used is the normative approach. The data
used in this paper comes from secondary data consisting of primary legal
materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The data is then
analyzed qualitatively.
The results of this study are that there are differing views in Islamic law on
Financial Technology (Fintech) services based on Peer To Peer Lending Sharia
(P2PL). The view that allows states that the loan and loan agreement in the
Financial Technology (Fintech) service based on Peer To Peer Lending Sharia
(P2PL) is an al-qard contract and Wakalah bil ujrah contract. On the contrary in
Al-Quran and Al Hadist, this implementation of Peer To Peer Lending (P2PL) is
not permitted because it still contains riba’.
Keyword: Financial Technology, Peer To Peer Lending Sharia (P2PL), Islamic Law.1512011032 SITI KHOLIFAH-2022-03-25T07:55:40Z2022-03-25T07:55:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56201This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/562012022-03-25T07:55:40ZPELAKSANAAN KONSEP CREATING SHARED VALUE (CSV) DALAM
PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN ANTARA
PT GREAT GIANT PINEAPPLE (GGP) DAN PETANI PISANG
DI TANGGAMUSPasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa
perusahaan wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate
Social Responsibility (CSR). PT Great Giant Pineapple (GGP) sebagai
perusahaan juga telah melaksanakan CSR dengan konsep Creating Shared Value
(CSV). Pelaksanaan CSV dilakukan dalam bentuk kerjasama antara PT GGP,
Koperasi, Koordinator Petani dan Petani Pisang. Permasalahan dalam skripsi ini
yaitu tentang hak dan kewajiban para pihak, tanggung jawab para pihak dan
kendala dalam pelaksanaan CSV.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris
dengan tipe deskriptif. Tipe pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang didapat dari lokasi penelitian dan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang kemudian
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa hak dan kewajiban para
pihak antara lain PT GGP memberikan bibit pisang kepada petani dan
pengawasan, petani pisang harus menjual seluruh hasil panennya kepada
perusahaan melalui koordinator petani yang kemudian dilakukan pengemasan di
packing house lalu dikirim oleh koperasi. Tanggung jawab perusahaan apabila
terdapat keterlambatan dalam penyediaan bibit maka petani dapat mengambil bibit
dari lahan milik petani lain dan perusahaan akan mengganti seluruh biayanya.
Kendala dalam pelaksanaan konsep CSV ini adalah dalam hal penyediaan pupuk,
faktor cuaca, kurangnya pengetahuan terhadap tanaman pisang, SDM,
penggunaan E-Grower, manajemen koperasi dan waktu pembayaran.
Kata Kunci: PT GGP, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Creating Shared
Value (CSV). 1512011243 ZAHRIA HUMAIROH-2022-03-25T07:54:40Z2022-03-25T07:54:40Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56200This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/562002022-03-25T07:54:40ZPENERAPAN AKAD TABARRU’ DALAM ASURANSI SYARIAH
MENURUT PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR
69/POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN
ASURANSI SYARIAH PADA KANTOR PEMASARAN SAMARA
TAKAFUL LAMPUNGPasal 56 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Syariah mengatur mengenai
ketentuan penerapan akad tabarru’ dalam penyelenggaraan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah. Kantor Pemasaran Samara Takaful Lampung sebagai Perusahaan
Asuransi Syariah yang menerapkan akad tabarru’ dalam penyelenggaraan
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu
tentang penerapan akad tabarru’ di Kantor Pemasaran Samara Takaful Lampung
dan kesesuaian penerapan akad Tabarru’ menurut Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan
Asuransi Syariah di Kantor Pemasaran Samara Takaful Lampung. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif terapan
dengan tipe deskriptif. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dari lokasi penelitian dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data tersebut kemudian
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penerapan akad tabarru’ di
Kantor Pemasaran Samara Takaful Lampung sudah terselenggara dengan baik.
Kesesuaian penerapan akad tabarru’ di Kantor Pemasaran Samara Takaful
Lampung kurang sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi Syariah. Terdapat ketidaksesuain dalam perubahan akad tabarru’ ke akad tijarah Kantor
Pemasaran Samara Takaful Lampung memperbolehkannya sedangkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi Syariah tidak memperbolehkannya.
Kata Kunci: Akad Tabarru’, Asuransi Syariah, Kantor Pemasaran Takaful
Lampung Article 56 Financial Services Authority Regulation Number 69 / POJK.05 / 2016
Concerning the Implementation of Business Sharia Insurance Companies
regulates the provisions for applying the Tabarru Akad in the operation of the
Sharia Life Insurance Company. Samara Takaful Marketing Office Lampung as a
Sharia Insurance Company that applies the tabarru akad in the implementation of
the Sharia Life Insurance Company. The problems in this research are about the
application of Tabarru 'contract in Samara Takaful Lampung Marketing Office
and the suitability of the application of Tabarru contract' according to Financial
Services Authority Regulation Number 69 / POJK.05 / 2016 concerning the
Implementation of Sharia Insurance Companies in Samara Takaful Marketing
Office Lampung.
The type of research used in this study is applied normative with descriptive type.
The approach to the problem in this study is an empirical juridical approach. The
data used are primary data obtained from the research location and secondary
data consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary
legal materials. The data is then analyzed qualitatively.
The results of the research and discussion show that the application of the
Tabarru akad in the Samara Takaful Marketing Office in Lampung has been well
organized. According to the Financial Services Authority Regulation Number 69 /
POJK.05 / 2016, the conformity of the application of the Tabarru contract
regarding the Implementation of Sharia Insurance Companies in Samara Takaful
Marketing Office Lampung is quite appropriate. However, there is a mismatch in
the changes in the Tabarru contract to the contract of agreement Samara Takaful
Lampung Marketing Office allows it, while in the Financial Services Authority
Regulation Number 69 / POJK.05 / 2016 concerning the Implementation of Sharia
Insurance Companies it does not allow it.
Keywords: Contract tabarru’, Islamic insurance, Samara Marketing office
Takaful Lampung.1512011244 YUNDA EKAMARTA-2022-03-25T07:54:37Z2022-03-25T07:54:37Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56198This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561982022-03-25T07:54:37ZTINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI MURTAD SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN
(Studi Putusan Nomor 15/Pdt.G/2017/PA.Karangasem)Perkawinan merupakan suatu ikatan untuk menyatukan antara laki-laki
dan perempuan dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga. Sebelum
melakukan perkawinan seringkali kedua calon pasangan menganut agama
berbeda, namun akhirnya salah satu pihak yang beragama non Islam memutuskan
untuk memeluk agama Islam. Selama menjalani perkawinan seringkali terjadi
kesalahpahaman dalam rumah tangga terutama mengenai agama, sehingga yang
beragama non Islam memutuskan untuk kembali keagamanya semula, seperti
halnya perkara perceraian Nomor: 15/Pdt.G/2017/PA.Karangasem yang
disebabkan karena pihak suami telah murtad. Berdasarkan Pasal 116 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam perkawinan tersebut harus diceraikan. Hal itulah yang
menjadi dasar ketertarikan penulis dalam menulis skripsi ini, permasalahan yang
diangkat apakah dasar hukum hakim dalam memutus perkara, bagaimanakah
akibat hukum perceraian bagi salah satu pasangan yang murtad.
Tipe penelitian yang digunakan adalah normatip. Jenis penelitian yang
digunakan adalah deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu yuridis
normatif. Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka.
Hasil penelitian mengenai penyebab perceraian karena salah satu pasangan
murtad adalah berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
peralihan agama (murtad) yang mengakibatkan terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga. Syarat pengajuan perceraian adalah melengkapi semua data yang
akan dijadikan bukti yang mempunyai kekuatan tetap. Proses persidangan terbagi
menjadi dua yaitu prosedur perlengkapan alat bukti dan prosedur penyelesaian
perkara perceraian dipersidangan. Akibat hukum perceraian karena salah satu
pasangan murtad adalah perkawinan kedua pasangan diputus oleh majelis hakim
secara fasakh. Putusan perceraian tersebut menimbulkan akibat terhadap status
perkawinan dan anak.
Kata kunci: Hukum Islam, Alasan perceraian, Murtad 1312011350 YONI HARTATI-2022-03-25T07:54:33Z2022-03-25T07:54:33Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56193This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561932022-03-25T07:54:33ZTINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGGUNAAN MEDIA
SOSIAL SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIANTujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan YME dan mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Seiring berjalannya perkawinan terdapat pasangan suami isteri yang
tidak harmonis yang menyebabkan perceraian. Penyebab perceraian seiring
dengan perkembangan teknologi dan pengaruh global modernisasi salah satunya
disebabkan oleh media sosial. Penggunaan media sosial yang tidak sesuai dengan
kegunaannya dapat membuat pertengkaran antara suami isteri yang menyebabkan
perceraian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis
penggunaan media sosial yang menyebabkan terjadinya perceraian? dan
bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap penggunaan media sosial sebagai
penyebab terjadinya perceraian ?
Penelitian ini menggunakan metode penelitin normatif-empiris. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis
secara kualitatif. Kajian pustaka terhadap metode ijtihad sadd adz-dzari’ah
diterapkan pada kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor:
0472/Pdt.G/2018/PA.Tnk kemudian diberlakukan untuk kasus-kasus serupa yang
dapat dianalogikan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa media sosial yang sejatinya
adalah alat komunikasi justru disalahgunakan untuk perselingkuhan hingga
dampak negatif yang ditimbulkan seperti tidak harmonisnya hubungan suami
isteri. Media sosial banyak disalahgunakan yang akhirnya menjadi sumber
masalah dalam pasangan yang memicu melakukan alasan-alasan perceraian yang
sudah di atur dalam peraturan. Dalam metode sadd adz-dzari’ah apabila terdapat
suatu perbuatan yang mana motif pelakunya adalah untuk kejelekkan, perbuatan
itu dapat berdampak terjadinya kerusakan maka perbuatan itu dilarang untuk
dilakukan. Hal ini untuk menghindari adanya kerusakan tersebut (perceraian).
Dengan demikian, ketika sadd adz-dzari’ah diterapkan pada penggunaan media
sosial yang digunakan untuk perselingkuhan maka penggunaan media sosial yang
seperti itu perlu dicegah dan sebisa mungkin diminimalisir.
Kata kunci: Perkawinan, Perceraian, dan Media Sosial Aim marriage forming a happy family and eternal Air ity Godhead YME and
manifest life that sakinah , mawaddah , and rahmah . Along with running
marriage there is partner husband and wife that not harmonized lead divorce .
Cause divorce together with development technology and global influence of
modernization wrong the other caused by social media . The use of social media
that is not in accordance with its uses can make it quarrel between husband and
wife which causes divorce . Problem in research this is How analysis social media
usage that causes occurrence divorce ? and How review Islamic law against use
of social media as cause occurrence divorce ?
Research this use method researcher normative empiris . Data collection is done
with studies library and studies field, then da ta analyzed in a manner qualitative .
Study library to method ijtihad sadd adz- dzari'ah applied on cases are in
Decision Religious Court Number : 0472 / Pdt.G / 2018 / PA.Tnk then enforced
for cases Similar to analogous .
Based on the results researchers an and discussion , that social media is true is
tool communication precisely misused for infidelity to impact the negative as not
ha rmonis relationship husband wife . Social media many who finally misused it to
be source problem in the pair that triggers do reasons divorce has been set in
regulations . In method sadd adz- dzari'ah if there is something acts which the
perpetrator motives is for ugliness , deed that could impact occurrence damage
then deed that banned for done . this for avoid existence damage The (divorce).
With so , when sadd adz- dzari'ah applied on the use of social media used for
infidelity then the use of social media such as that need prevented and as much as
possible maybe minimized .
Keywords: Marriage, Divorce, and Social Media1542011037 Winda Oktavia-2022-03-25T07:54:31Z2022-03-25T07:54:31Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56192This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561922022-03-25T07:54:31ZTANGGUNG JAWAB DOKTER TERHADAP KESALAHAN DIAGNOSIS
DALAM LAYANAN KLINIK KESEHATAN BERBASIS WEBSITE
(KLINIK ONLINE)Kemajuan dibidang teknologi dan informasi membawa dampak dalam bidang
kesehatan yaitu adanya telemedicine, yang berimplikasi adanya layanan klinik
kesehatan berbasis website (klinik online). Berbeda dengan layanan klinik
kesehatan konvensional, klinik online dilakukan antara dokter dan pasien melalui
media internet dengan mengesampingkan tahapan-tahapan yang seharusnya
dilakukan dalam praktik kedokteran sebelum ditegakannya diagnosis.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai kedudukan hukum
penyelenggaraan klinik online, tanggung jawab dokter terhadap kesalahan
diagnosis serta perlindungan hukum bagi pasien pengguna layanan klinik online.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian hukum
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif. Data yang
digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum sekunder, primer dan tersier.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka. Pengolahan data dilakukan
dengan cara pemeriksaan, penandaan, rekontruksi, dan sistematisasi data yang
selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan klinik online tidak dapat
disamakan dengan klinik kesehatan pada umumnya, karena penyelenggaraan klinik
online tidak memenuhi kualifikasi minimum penyelenggaraan sebuah klinik,
namun klinik online dapat diartikan sebagai penyelenggaraan sistem elektronik
yang diselenggarakan oleh dokter. Tanggung jawab dokter terhadap kesalahan
diagnosis dalam klinik online berupa penegakan disiplin kedokteran oleh MKDKI.
Perlindungan hukum bagi pasien pengguna klinik online adalah dibentuknya KKI
sebagai lembaga yang bertugas melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
praktik kedokteran, serta perlindungan data dan informasi elektronik yang didapat
selama proses penggunaan sistem elektronik.
Kata Kunci: Telemedicine, Klinik Online, Sistem Elektronik, dan Praktik
Kedokteran 1512011022 Widya Saputri-2022-03-25T07:54:30Z2022-03-25T07:54:30Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56189This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561892022-03-25T07:54:30ZPELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PINJAMAN AMAN TERBATAS
(PANTAS) UNTUK PEGAWAI AKTIF DI PT. BANK LAMPUNG
KANTOR CABANG UTAMA BANDAR LAMPUNGPerjanjian kredit merupakan perjanjian antara debitur dengan kreditur (dalam hal
ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana debitur
berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur, dengan
berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak. Perjanjian
kredit PANTAS yang dibuat antara PT Bank Lampung dan nasabah debitur
merupakan langkah yang dilakukan untuk melaksanakan rangkaian kegiatan
transaksi kredit. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
bagaimana syarat dan prosedur pengajuan kredit PANTAS, bagaimana hak dan
kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut dan bagaimana
penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian
kredit tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif terapan dengan tipe
penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat dari
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui
studi kepustakaan, dokumen dan wawancara sebagai data pendukung. Pengolahan
data dilakukan dengan tahapan seleksi data, klasifikasi data dan penyusunan data
yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan, menunjukkan syarat dan prosedur pengajuan
kredit PANTAS yang berdasarkan atas asas 5C, dilanjutkan dengan proses
pelaksanaan perjanjian yang mencakup hak dan kewajiban para pihak yang telah
disepakati dalam pelaksanaan perjanjian kredit seperti yang tercantum dalam surat
perjanjian kredit PANTAS, jangka waktu pembayaran kredit, plafond kredit, dan
asuransi. Pemberian asuransi kredit dalam perjanjian kredit PANTAS merupakan
upaya pengurangan risiko wanprestasi yang diikuti dengan adanya negosiasi yang
diberikan oleh pihak bank agar debitur dapat memenuhi kewajibannya jika debitur
melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan kredit.
Kata kunci: Perjanjian, Kredit, Pegawai Aktif, Bank 1512011263 Widita Febby Cahyani-2022-03-25T07:54:29Z2022-03-25T07:54:29Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56188This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561882022-03-25T07:54:29ZPELAKSANAAN PROGRAM PELAYANAN
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN
DI RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNGPada dasarnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dibentuk
untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat. Terbentuknya BPJS
akan memunculkan hubungan hukum antara peserta BPJS, pihak BPJS kesehatan,
dan rumah sakit mitra BPJS. Setiap hubungan hukum, akan mengikatkan masing-
masing pihak kepada rantai ikatan hak dan kewajiban. Ikatan itu mutlak dilakukan
oleh semua pihak, termasuk dalam hal ini adalah pihak BPJS Kesehatan, pihak
Rumah Sakit Imanuel selaku rumah sakit mitra BPJS kesehatan, danpeserta BPJS
Kesehatan. Hal tersebut yang menjadi alasan penulis untuk menulis dengan tema
Pelaksanaan Program Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Rumah Sakit Imanuel Bandar Lampung.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hokum
normatif empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Jenis pendekatan masalah dalam
penelitian ini adalah normatif empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang kemudian dianalisis secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa hubungan hukum yang
terjalin diantara para pihak belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan
semua pihak, masih sering lalai dalam memenuhi isi dari perjanjian. Seperti dalam
hal pelunasan pembayaran premi dan klaim yang tidak tepat waktu.
Pertanggungjawaban yang diambil oleh pihak BPJS adalah memberikan pelaporan
secara langsung kepada presiden, menjamin layanan kesehatan, serta pembayaran
klaim. Pihak rumah sakit memiliki tangung jawab, pemutusan kerjasama jika gagal
dalam memenuhi kewajibannya, untuk pihak peserta BPJS memiliki tanggung
jawab dalam hal membayarkan denda keterlambatan jika terlambat membayarkan
premi. Kendala yang ditemui, adalah dalam hal keterbatasan. Baik itu keterbatasan
biaya, keterbatasan fasilitas, juga minimnya pemahaman akan program BPJS
kesehatan. Kendala ini dapat teratasi dengan peran aktif dari semua pihak.
Kata Kunci: Pelaksanaan, Program BPJS Kesehatan, Hubungan Hukum 1412011434 VERENA LESTARI-2022-03-25T07:54:27Z2022-03-25T07:54:27Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56186This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561862022-03-25T07:54:27ZSAHAM PERSEROAN TERBATAS GO PUBLIC
SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIAPerseroan membagi kekayaan yang dimilikinya menjadi saham-saham. Saham- saham ini ternyata dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang. Hal ini sesuai
dengan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang menyebutkan “Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan
fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar”. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah alasan saham perseroan terbatas go public dapat
dijadikan objek jaminan fidusia, proses terjadinya pengikatan saham perseroan
terbatas go public sebagai objek jaminan fidusia, dan preses eksekusi saham
perseroan terbatas go public yang dijadikan objek jaminan fidusia apabila terjadi
cidera janji pada perjanjian pokoknya oleh pihak debitor.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif
dengan tipe penelitian deskriptif dan pendekatan masalah dilakukan secara yuridis
normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Metode pengumpulan data
yang digunakan adalah studi pustaka. Semua data yang dikumpulkan dianalisis
secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, menunjukan bahwa saham
perseroan terbatas go public termasuk sebagai benda bergerak sehingga saham
tersebut dapat dijadikan sebagai objek penjaminan utang dengan menggunakan
lembaga jaminan fidusia. Proses terjadinya pengikatan saham perseroan terbatas
go public sebagai objek jaminan fidusia dimulai saat pemegang rekening efek
mengajukan permohonan agunan efek secara tertulis kepada PT Kustodian Sentral
Efek Indonesia. Akibat hukum dari debitor yang melakukan cidera janji akan
menimbulkan kegiatan eksekusi jaminan fidusia. Eksekusi jaminan fidusia
merupakan penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Kata Kunci: Saham, Perseroan Terbatas Go Public, Jaminan Fidusia 1412011426 Tio Riyanaji-2022-03-25T07:07:58Z2022-03-25T07:07:58Zhttp://digilib.unila.ac.id/id/eprint/56166This item is in the repository with the URL: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/561662022-03-25T07:07:58ZPENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS TERHADAP
AKUISISI PERUSAHAAN INDONESIA OLEH PERUSAHAAN ASING
BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHAHukum persaingan usaha mengatur mengenai akuisisi perusahaan agar tidak
menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui kewajiban
notifikasi. Notifikasi pelaku usaha yang melakukan akuisisi wajib dilaporkan
kepada KPPU. Kegiatan Akuisisi memungkinkan melibatkan suatu kelompok
usaha yang tidak hanya berada dalam suatu wilayah negara (teritorial), tetapi juga
di luar wilayah suatu negara (ekstrateritorial). UU No. 5 Tahun 1999 pada
dasarnya menganut prinsip teritorial dalam hal kegiatan akuisisi, tetapi pada
prakteknya KPPU telah menerapkan prinsip ekstrateritorialitas yang dibuktikan
dengan beberapa perkara akuisisi yaitu Putusan KPPU No. 07/KPPU-M/2007,
Putusan KPPU No. 16/KPPU-M/2015 serta Putusan KPPU No. 17/KPPU-
M/2015. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prinsip
ekstrateritorialitas terhadap akuisisi perusahaan Indonesia oleh perusahaan asing
berdasarkan hukum persaingan usaha dan bagaimana penerapan prinsip
ekstrateritorialitas dalam perkara akuisisi perusahaan berdasarkan hukum
persaingan usaha.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif-terapan (applied law research). Jenis data yang digunakan adalah data
sekunder. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa UU No.5 Tahun 1999 pada
dasarnya menganut prinsip teritorial dalam hal kegiatan akuisisi. Undang-undang
ini hanya berlaku untuk pelaku usaha yang berkedudukan atau yang melakukan
kegiatan usahanya di wilayah hukum Indonesia. Prinsip ekstrateritorialitas dapat
diberlakukan apabila perusahaan asing tersebut memiliki anak perusahaan di
Indonesia dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah yurisdiksi
Indonesia, untuk itu kegiatan akuisisi perusahaan Indonesia oleh perusahaan asing
yang memiliki anak perusahaan dan melakukan kegiatan di wilyah Indonesia akan
tetap berlaku hukum wilayah Indonesia. KPPU telah menerapkan prinsip
ekstrateritorialitas terhadap 3 ( tiga ) kasus akuisisi perusahaan asing terhadap
perusahaan Indonesia, yaitu akuisisi perusahaan Telekomunikasi Selular oleh
Temasek Holding Pte. Ltd., akuisisi perusahaaan PT Binsar Natorang Energi oleh
LG International Corp., dan akuisisi perusahaan Woongjin Chemical Co. oleh
Toray Advance Materials Korea Inc. Prinsip ekstrateritorialitas dapat diterapkan
pada ketiga kasus tersebut dikarenakan dalam kasus tersebut pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran berada di luar wilayah yuridiksi Indonesia, dan memiliki
anak perusahaan di wilayah Indonesia. Kemudian KPPU memutuskan bahwa
perusahaan Temasek Holding, LG International dan Toray Advance telah terbukti
melanggar pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenai keterlambatan pemberitahuan
pengambilalihan saham.
Kata Kunci: Prinsip Ekstrateritorialitas, Akuisisi, dan Hukum Persaingan
Usaha.141201142 TIARA RATU PUSPITA HAKIM-