PERKAWINAN SEMBAMBANGAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM KELUARGA ISLAM

MUHAMMAD , ARIF MAULIDINO (2023) PERKAWINAN SEMBAMBANGAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM KELUARGA ISLAM. FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.

[img]
Preview
File PDF
ABSTRAK.pdf

Download (146Kb) | Preview
[img] File PDF
SKRIPSI FULL.pdf
Restricted to Hanya staf

Download (2605Kb) | Minta salinan
[img]
Preview
File PDF
SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf

Download (2415Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Masyarakat adat Lampung Saibatin terdapat perkawinan dengan menggunakan uang jujur atau upacara adat begawi dan juga terdapat perkawinan dengan sebambangan tanpa diawali adanya peminangan secara formal. Perkawinan sebambangan adalah proses pengambilan seorang muli tanpa diketahui oleh orang tua muli. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-haknya memang penting. Namun dalam perkembangannya hak-hak masyarakat adat ini harus dikaji apakah perkawinan sebambangan memiliki makna yang positif dan sesuai dengan hukum Islam serta harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana proses perkawinan dengan sebambangan dalam perspektif hukum keluarga islam dan akibat hukum dari proses sebambangan ditinjau dari hukum keluarga islam. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Dengan tipe penelitian deskriptif karena akan menjelaskan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang Perkawinan dengan sembambangan dalam prespektif hukum keluarga islam. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Non Judicial Case Study yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa campur tangan dengan pengadilan. Proses sebambangan tidak sama dengan “bawa lari” pada masyarakat lampung atau kawin lari yang dikenal pada masyarakat umumnya, sebambangan pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kelurahan Negeri Olok Gading tidak bisa asal-asalan dilakukan namun memiliki aturan dan tata cara sehingga dapat sah dikatakan sebambangan. Pertama, mekhanai membawa muli pergi meninggalkan rumah dengan mekhanai meninggalkan sejumlah uang tengepik serta surat bahwa muli telah pergi nyakak. Dalam penyelesaian proses Sebambangan terdiri dari Ngantak Salah, Kumpulan Sangabah Sangapekon, Majeu Manjau, Betangguh dihulun tuha, Sujud, Ngeni Adok, dan Akad sesuai rukun pernikahan dalam Islam. Akibat Hukum dari Sebambangan yaitu perubahan kedudukan “anak”, muli bukan lagi anak dari orangtuanya melainkan sudah menjadi anak dari orangtua mekhanai (anak mantu) dan kedudukan muli dalam hukum adat orangtuanya menjadi “anak pirul”, sedangan mekhanai statusnya tetap anak dari orangtua kandungnya. Kemudian, terjadi perubahan status dalam hukum adat sebanyak dua kali yaitu setelah sebambangan, mekhanai dan muli berubah status menjadi kebayan ragah dan kebayan sebai. Setelah perkawinan, status mekhanai berubah menjadi penggawa, dan muli menjadi bakbai atau maju. Saran dalam penelitian ini adalah Hendaknya Tokoh Adat di Kelurahan Negeri Olok Gading untuk senantiasa berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur agar proses sebambangan tidak menyalahi aturan, terutama mengenai umur yang melakukan sebambangan harus sesuai dalam Pasal 7 Undang-undang Perkawinan agar tidak menimbulkan akibat hukum yang buruk. Masyarakat dapat membedakan “sebambangan” yang bersifat positif dan “bawa lari” yang bersifat negatif karena tidak memiliki tahapan-tahapan yang benar yang bertentangan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum nasional, sedangkan pada sebambangan telah terdapat tata cara proses hingga penyelesaiannya yang menjunjung norma, baik norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum dan bahkan norma agama dipatuhi secara bersamaan agar tidak menimbulkan mispersepsi atau miskonsepsi pada publik. Kata Kunci: Perkawinan, Sebambangan, Hukum Keluarga Islam. The indigenous people of Lampung Saibatin have marriages using honest money or begawi traditional ceremonies and there are also marriages with sebambangan without starting a formal proposal. Sebambangan marriage is the process of taking muli without being known by the noble's parents. Recognition and protection of indigenous peoples and their rights is indeed important. However, in its development the rights of indigenous peoples must be studied whether sebambangan marriages have a positive meaning and are in accordance with Islamic law and must conform to the principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This research discusses the process of marriage with sebambangan from the perspective of Islamic family law and the legal consequences of the sebambangan process in terms of Islamic family law. This research is normative-empirical legal research. With this type of descriptive research because it will explain systematically, factually, and accurately about marriage with sebambangan in the perspective of Islamic family law. The problem approach used in this study is the "Non Judicial Case Study" approach, namely a legal case study approach without interference with the court. The sebambangan process is not the same as "bawa lari" which is known by Lampung people or “eloping” which is known in the general public, sebambangan in the Lampung Saibatin indigenous people in the Negeri Olok Gading Village cannot be done carelessly but has rules and procedures so that it can be legally said to be sebambangan. First, the mekhanai takes the muli to leave the house with the mekhanai leaving some money or tengepik which is called pangluakhan (expenses) and leaves a letter that the muli has gone nyakak (the muli's activities are rushed by the mekhanai). In the completion of the Sebambangan process, it consisted of Ngantak Salah, Sangabah Sangapekon Group, Majeu Manjau, Betaguh dihulun tuha, Sujud, and Ngeni Adok. The consequence of Sebambangan is the change in the position of "child", muli is no longer the child of his parents but has become the child of the mekhanai parents (son-in-law) and the position of muli in the customary law of his parents becomes "son of pirul", while the status of mekhanai is still the child of his biological parents. Then, there was a change of status in customary law twice, namely after sebambangan, mekhanai and muli changed their status to kebayan ragah and kebayan sebai. After the marriage, the mekhanai's status changed to penggawa, and muli became bakbai. Suggestions in this study are that traditional leaders in Olok Gading Kelurahan Negeri Olok Gading should always adhere to the provisions that have been regulated so that the sebambangan process does not violate the rules, especially regarding the age of the person who performs the sebambangan must be in accordance with Article 7 of the Marriage Law so as not to cause consequences bad law. Communities can distinguish between "sebambangan" which is positive and "bawa lari" which is negative because it does not have the correct stages that are contrary to customary law, Islamic law, and national law, whereas in sebambangan there are procedures for the process up to its completion which uphold norms, both norms of decency, norms of decency, legal norms and even religious norms be complied with simultaneously so as not to cause misperceptions or misconceptions in the public Keywords: Marriage, Sebambangan, Islamic Family Law

Jenis Karya Akhir: Skripsi
Subyek: 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum
Program Studi: Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1
Pengguna Deposit: 2308236840 . Digilib
Date Deposited: 15 Nov 2023 08:21
Terakhir diubah: 15 Nov 2023 08:21
URI: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/76907

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir Lihat Karya Akhir