ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SANKSI KEBIRI KIMIA PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 42/PID/2021/PT TJK)

ERVIANA, (2023) ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SANKSI KEBIRI KIMIA PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 42/PID/2021/PT TJK). FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS LAMPUNG.

[img]
Preview
File PDF
ABSTRAK.pdf

Download (240Kb) | Preview
[img] File PDF
SKRIPSI FULL.pdf
Restricted to Hanya staf

Download (1896Kb) | Minta salinan
[img]
Preview
File PDF
SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf

Download (1703Kb) | Preview

Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)

Tingginya angka kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia dinilai cukup menghawatirkan. Kejahatan seksual yang terjadi dalam hal ini meliputi berbagai bentuk seperti halnya pemerkosaaan, perbudakan seks, ekploitasi seksual dan lain sebagainya. Hal yang menarik dan cukup memprihatinkan adalah ketika korban dari kejahatan seksual tersebut adalah anak di bawah umur yang pelakunya berasal dari lingkungan terdekat dari anak. Sanksi kebiri kimia termasuk sebagai hukuman tambahan dalam hukum pidana yang diterapkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Seperti halnya dalam Putusan Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn yang menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya dan salah satunya menjatuhkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak yang kemudian dibatalkan dalam Putusan Nomor 42/PID/2021/PTTJK. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana pertimbangan hakim pada Putusan Nomor 42/PID/2021/PTTJK dan apakah putusan yang membatalkan penjatuhan sanksi kebiri kimia telah memenuhi keadilan subtantif. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini yaitu mengetahui pertimbangan hakim dalam membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama serta memahami indikator yang menjadi tolak ukur suatu putusan dikatakan sebagai putusan yang mencerminkan keadilan subtantif. Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data kepustakaann dan jenis data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisa data dilakukan secara kualitatif dengan pemilihan teori, asas, norma dan doktrin serta ketentuan yang termuat dalam perundangundangan yang kemudian seluruh data yang diperoleh dijelasakan secara deskriptif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, hakim harus memperhatikan bahwa sesorang tidak boleh dinyatakan bersalah kecuali terbukti dengan adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah untuk menjadi dasar keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukan tindak pidana. Dalam perkara ini berdasarkan fakta dan keadaan yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 81 ayat (5) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2016, perbuatan terdakwa tidak terbukti telah menyebabkan korban lebih dari 1 (satu) orang maupun terpenuhi kreteria dan persyaratan-persyaratan lainnya serta alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan menunjukkan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya. Maka dengan tidak hanya memperhatikan aspek yuridis, melainkan mempertimbangkan pula aspek filosofis dan sosiologis sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tidak dapat dilaksanakan. Selain itu pembatalan penjatuhan hukuman tambahan berupa kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak dalam perkara ini telah memenuhi keadilan subtantif karena indikator atau muatan yang harus terkadung dalam putusan hakim yang memuat keadilan subtantif telah terpenuhi. Indikator tersebut diantaranya keadilan substantif yaitu objektif, jujur dan imparsial serta rasional. Oleh karena itu, dalam Putusan Nomor 42/PID/2021/PT TJK yang membatalkan sanki kebiri kimia Majelis Hakim tingkat banding telah memberikan putusan yang didasarkan pada pertimbangan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan terhadap penjatuhan pidana kebiri kimia pada pengadilan tingkat pertama dinilai tidak dipertimbangan secara konprehensip berdasarkan fakta dan keadaan yang secara limitatif yang telah ditentukan, dengan demikian cukup berlasan apabila Hakim tingkat banding berpendapat bahwa penjatuhan kebiri kimia pada putusan tingkat pertama merupakan penerapan hukum yang tidak sebagaimana mestinya, sehingga Pengadilan Tinggi memperbaiki putusan tersebut sepanjang mengenai penjatuhan hukuman tambahan kebiri kimia. Putusan Hakim mengenai sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual anak pada Putusan Nomor 42/PID/2021/PT TJK juga telah memenuhi rasa keadilan substantif bagi pelaku maupun korban yang didasari atas 4 (empat) parameter suatu putusan yang mengandung keadilan substantive. Penghapusan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku merupakan penerapan hukum yang mengedepankan hak asasi pelaku dan korban anak atas dasar ketentuan dan fakta persidangan yang terungkap karena penegakan hukum harus memperhatikan keadilan bagi pelaku dan korban serta tidak boleh menimbulkan keresahan dalam masyarakat, maka putusan hakim selain harus memenuhi unsur keadilan harus pula memenuhi unsur kemanfaatan bagi setiap pihak. Kata Kunci: Perlindungan Anak, Kekerasan Seksual, Kebiri Kimia, dan Pertimbangan Hakim. The high incidence of sexual crimes in Indonesia is considered quite alarming. Sexual offenses in this context encompass various forms such as rape, sexual slavery, sexual exploitation, and so on. What is interesting and quite concerning is when the victims of these sexual crimes are minors, and the perpetrators come from the immediate environment of the child. Chemical castration is considered an additional punishment in criminal law applied to those who commit sexual violence against children. As seen in Decision Number 287/Pid.Sus/2020/PN Sdn, which affirmed that the defendant legitimately and convincingly committed the crime by intentionally threatening violence to force a child to engage in sexual intercourse, one of the imposed penalties was chemical castration for the perpetrator of sexual violence against a child. However, this decision was subsequently overturned in Decision Number 42/PID/2021/PT TJK. The main issue in this research is how the judge's considerations in Decision Number 42/PID/2021/PT TJK and whether the decision to annul the imposition of chemical castration has met substantive justice. Based on this problem statement, the research aims to understand the judge's considerations in overturning the first-instance court's decision and to comprehend the indicators that serve as benchmarks for a decision to be considered reflective of substantive justice. The research methodology employed in this writing utilizes a normative juridical approach, drawing on literature as the primary source of data and secondary data types consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is conducted qualitatively, incorporating the selection of theories, principles, norms, doctrines, and provisions outlined in legislation. Subsequently, all obtained data is elucidated descriptively. The results of the research and discussion indicate that in delivering a verdict against the defendant, the judge must consider that an individual should not be declared guilty unless proven by at least two valid pieces of evidence to serve as the basis for the judge's conviction that the defendant truly committed the criminal act. In this case, based on the facts and circumstances specifically outlined in Article 81 paragraph (5) of Law Number 17 of 2016, the defendant's actions are not proven to have caused harm to more than 1 (one) person, and other criteria and requirements are not met. Additionally, the evidence presented in the trial convincingly demonstrates that the defendant deliberately threatened violence to force a child into sexual intercourse. Therefore, by not only considering the juridical aspects but also taking into account philosophical and sociological aspects, the imposition of chemical castration sanctions for perpetrators of sexual violence against children cannot be carried out. Furthermore, the annulment of the additional punishment of chemical castration for the perpetrator of sexual violence against a child in this case has fulfilled substantive justice because the indicators or contents required in a judge's decision that embodies substantive justice have been met. These indicators include substantive justice elements such as objectivity, honesty, impartiality, and rationality. Therefore, in Decision Number 42/PID/2021/PT TJK, which annulled the chemical castration sanction, the appellate panel of judges has issued a decision based on appropriate considerations. This is because the imposition of chemical castration in the first-instance court was deemed not comprehensively considered based on the specific facts and circumstances outlined in a limited manner. Thus, it is reasonable for the appellate judges to believe that the imposition of chemical castration in the first-instance decision was an application of the law that was not as it should be. Consequently, the High Court corrected the decision concerning the imposition of the additional punishment of chemical castration. The judge's decision regarding the chemical castration sanction for perpetrators of child sexual violence in Decision Number 42/PID/2021/PT TJK has also fulfilled the sense of substantive justice for both the perpetrator and the victim. This is based on four parameters of a decision containing substantive justice. The removal of the chemical castration sanction for the perpetrator is a legal application that prioritizes the human rights of both the perpetrator and the child victim, grounded in the provisions and facts revealed during the trial. Law enforcement must consider justice for both the perpetrator and the victim, ensuring it does not cause unrest in society. Therefore, a judge's decision, in addition to meeting justice requirements, must also fulfill the element of utility for all parties involved. Keywords: Child Protection, Sexual Violence, Chemical Castration, and Judge Considerations.

Jenis Karya Akhir: Skripsi
Subyek: 300 Ilmu sosial > 340 Ilmu hukum
Program Studi: Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1
Pengguna Deposit: 2308730788 . Digilib
Date Deposited: 12 Feb 2024 07:25
Terakhir diubah: 12 Feb 2024 07:25
URI: http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/78724

Actions (login required)

Lihat Karya Akhir Lihat Karya Akhir