0852011027, Anna Verta Idayane (2012) ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Digital Library.
|
File PDF
ABSTRAK.pdf Download (19Kb) | Preview |
|
|
File PDF
BAB I.pdf Download (54Kb) | Preview |
|
|
File PDF
BAB II.pdf Download (62Kb) | Preview |
|
|
File PDF
BAB III.pdf Download (22Kb) | Preview |
|
File PDF
BAB IV.pdf Restricted to Hanya pengguna terdaftar Download (102Kb) |
||
|
File PDF
BAB V.pdf Download (19Kb) | Preview |
|
|
File PDF
COVER.pdf Download (28Kb) | Preview |
|
|
File PDF
DAFTAR ISI.pdf Download (16Kb) | Preview |
|
|
File PDF
MOTTO.pdf Download (25Kb) | Preview |
|
|
File PDF
PERSEMBAHAN.pdf Download (38Kb) | Preview |
|
|
File PDF
pngesahan.pdf Download (27Kb) | Preview |
|
|
File PDF
RIWAYAT HIDUP.pdf Download (26Kb) | Preview |
|
|
File PDF
SANWACANA.pdf Download (21Kb) | Preview |
Abstrak (Berisi Bastraknya saja, Judul dan Nama Tidak Boleh di Masukan)
Abstrak . Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang didalam penanganannya diperlukan undang-undang yang luar biasa pula. Salah satu upaya yang dianggap mampu untuk menyelesaikan perkara korupsi tersebut adalah dengan dirumuskannya sistem pembuktian terbalik secara murni di dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Formulasi pembuktian terbalik merupakan pemyimpangan pembuktian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, agar tidak terjadi tumpang tindih maka pembuktian terbalik harus memiliki arah kebijakan hukum pidana yang jelas dalam perumusannya dengan tetap memperhatikan efektifitas dan eksistensi dari kegunaan rumusan pembutian terbalik tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah kebijakan formulasi perumusan pengaturan beban pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, apakah yang melatarbelakangi perubahan pembuktian terbalik secara terbatas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi pembuktian terbalik secara murni dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta bagaimanakah perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Metode pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan mengumpulkan studi kepustakaan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan metode yuridis empiris yaitu meneliti dan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh secara langsung terhadap objek penelitian melalui observasi dan wawancara terhadap responden atau nara sumber yang berhubungan dengan permasalahan. Anna Verta Idayane Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulan bahwa:1.Kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pembuktian secara terbatas dan berimbang. Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menggunakan sistem pembuktian terbalik secara murni.2.Alasan yang melatarbelakangi perubahan pembuktian terbalik secara terbatas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi pembuktian terbalik secara murni dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya sekedar wacana saja, dalam penerapannya di persidangan hakim tidak pernah meminta terdakwa menerangkan asal usul harta kekayaannya, hakim tetap berpatokan pada pembuktian yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum.3.Perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur penerapan pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang, yaitu pembebanan pembuktian dibebankan kepada terdakwa, penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sedangkan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana mengatur penerapan pembuktian terbalik secara murni, yaitu beban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa, penuntut umum tidak lagi dibebankan beban pembuktian. Saran dalam penelitian ini adalah:1.Pembenanan pembuktian terbalik harus diterapkan hanya dalam proses persidangan, hal ini dilakukan guna menghindari pemerasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.2.Sifat melawan hukum materriil dalam tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi semestinya tidak di hapus, apabila hanya menerapkan sifat melawan hukum formil berdasarkan undang-undang saja maka pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat dijerat hukum, pelaku tindak pidana korupsi bisa “mensiasati’’ asal-usul harta kekayaan. Pembuktian Terbalik bisa diberlakukan efektif manakala sifat pembuktian sifat secara materil dihidupkan kembali.3.Kebijakan formulasi pembuktian tebalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menganut sistem pembuktian terbalik secara terbatas sudah seharusnya diubah menjadi pembuktian terbalik secara murni seperti yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, agar pembuktian terbalik dapat segera diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi.
Jenis Karya Akhir: | Artikel |
---|---|
Subyek: | |
Program Studi: | Fakultas Hukum > Prodi Ilmu Hukum S1 |
Pengguna Deposit: | IC-STAR . 2015 |
Date Deposited: | 11 May 2015 05:45 |
Terakhir diubah: | 11 May 2015 05:45 |
URI: | http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/9904 |
Actions (login required)
Lihat Karya Akhir |